Anda di halaman 1dari 3

Nama : Farah Nur Indah

NIM : 190341621648

Offering : C – Pendidikan Biologi 2019

Muhammad Ali

Muhammad Ali merupakan seorang petinju legendaris dunia yang berasal dari
Amerika. Muhammad Ali yang terlahir dengan nama Cassius Marcellus Clay. Jr, lahir di
Louisville, Kentucky, Amerika Serikat pada tanggal 17 Januari 1942. Clay mulai berlatih
sebagai petinju sejak usia 12 tahun. Dan pada usianya yang ke-22, ia telah meraih juara pada
Heavyweight World Championship. Tidak lama setelah itu, Clay memeluk agama islam dan
mengubah namanya menjadi Muhammad Ali. Ia juga memberikan pesan kebanggan ras
untuk Afrika Amerika serta perlawanan terhadap dominasi putih selama Gerakan Hak-Hak
Sipil Afrika-Amerika.

Muhammad Ali memutuskan mengucapkan kalimat Syahadat saat namanya sedang naik
daun. Sejak memeluk islam, ia menjadi ikon bagi muslim Amerika. Muhammad Ali hidup di
Amerika pada masa ketika kaum kulit hitam secara frontal mulai berani mendobrak kultur
rasialisme. Salah satu kelompok terdepan dalam melakukan hal itu adalah Nation of Islam.
Dalam struktur kelas sosial Amerika saat itu, Nation of Islam sebetulnya berada dalam
lapisan terendah, minoritasnya minoritas, karena mereka adalah kelompok para Muslim
berkulit hitam. Namun, sikap ekstrim mereka yang kerap mengutuk kebejatan kaum kulit
putih membuat gaung Nation of Islam dengan cepat dikenal khalayak.

Ali, yang turut pula menjadi korban sentimen rasialis pada saat itu,
kemudian bergabung dengan Nation of Islam pada 1964, tak lama usai mendengarkan
ceramah berapi-api Elijah Muhammad di Philadelphia. Dalam wawancaranya dengan jurnalis
Michael Parkinson, Ali mengungkap bagaimana Elijah menyebut kaum kulit putih sebagai
iblis. Pada tahun yang sama pula Ali memutuskan untuk berpindah keyakinan ke Islam. Ali
mengungkap kepindahannya pada sebuah konferensi pers yang semula digelar untuk
menyambut pertandingan melawan Liston.

Ali yang muak karena rombongan jurnalis mulai bertanya mengenai relasinya dengan
Black Muslims label yang secara diskriminatif kerap digunakan media AS dalam menyebut
Nation of Islam kemudian memproklamirkan fakta mengejutkan: ia bukan lagi seorang
Kristiani. Namun, dalam artikelnya yang tayang di Washington Post pada 26 Oktober 2017
lalu, Eig juga mengungkap versi lain terkait keputusan Ali untuk masuk Islam. Eig sebetulnya
sudah mengetahui hal ini sejak ia mewawancarai Belinda Boyd, istri kedua Ali, untuk
kepentingan penulisan Ali: A Life. Kala itu, Belinda memberikan Eig secarik surat dari Ali
yang isinya kurang lebih mengenai sisi spiritual sang legenda. Berdasarkan pertimbangan
tertentu, Eig memutuskan untuk tidak mencantumkan nama Belinda di biografi yang ia tulis.
Menurut Eig berdasarkan surat tadi, iman Ali mulai bergejolak ketika pada suatu hari ia
melihat kolom kartun dalam koran pagi. Kolom tersebut menunjukkan gambar seorang kulit
putih tengah memukul budak kulit hitam miliknya dan memaksanya beribadah seperti yang
dijalani kebanyakan orang kulit putih. Menariknya, kolom tersebut justru menggugah
nalarnya.
Ali memang tidak pernah mempermasalahkan ajaran Kristen yang dulu ia anut.
Namun, yang mengusik pikirannya adalah bagaimana ia (dalam hal ini juga termasuk kaum
kulit hitam lainnya) yang menjadi pemeluk Kristen dengan cara pemaksaan.

Sebagai sosok yang dididik dalam aturan Kristiani sejak kecil, Ali mengaku
perpindahan agama yang dijalaninya tersebut tidak membuat keluarga, terutama sang ibu,
memusuhi dirinya. Dalam salah satu biografinya yang lain karya Thomas
Hauser, Muhammad Ali: His Life and Times, ia mengungkapkan hal itu sambil turut
mengenang masa kecilnya. Sejak memutuskan menjadi Muslim dan bergabung secara aktif
dengan Nation of Islam, Ali pun turut pindah ke Chicago agar dapat tinggal dekat dengan
masjid Maryam, markas komunitas tersebut. Ia menetap di Chicago dengan berpindah-pindah
selama kurang lebih 12 tahun. Ali juga sempat dua kali mengubah namanya. Semula ia
menggunakan Cassius X, namun Elijah memilihkan nama yang kemudian dipakainya hingga
akhir hayat yakni Muhammad Ali.
Bergabung dengan Nation of Islam membuat Ali menjadi jauh lebih berani dalam
menyatakan sikap politiknya. Ketika invasi AS ke Vietnam terjadi pada 1 November 1955,
hingga kejatuhan kota Saigon pada 30 April 1975 dan membuat perang tersebut meluas
hingga Laos dan Kamboja, pemerintah Negeri Paman Sam memutuskan untuk menggelar
kebijakan wajib militer. Ali secara kontroversial menolak ikut wamil karena tidak sesuai
dengan keyakinannya. Sikap Ali tersebut berujung penahanan dan denda sebesar US$10 ribu.
Pemerintah AS pun juga mencabut gelar juara milik Ali, dan melarangnya bertanding tinju
sepanjang 1967-1970. Selama tidak aktif berlaga di atas ring, Ali memperoleh dukungan
seiring tumbuhnya berbagai penolakan terhadap invasi AS ke Vietnam. Ia pun sering
diundang menjadi pembicara di berbagai wilayah AS untuk mengkritik invasi tersebut. Pada
3 Januari 1972, Ali pun akhirnya berkesempatan menunaikan haji ke tanah suci Mekkah.
Namun, kendati keras dalam mempertahankan prinsipnya, tidak pernah sekalipun Ali
menjadi seorang Muslim ekstremis yang memusuhi agama lain. Terutama sejak ia mulai
berguru kepada putra sekaligus penerus Elijah, Wallace Muhammad. Berbeda dengan Elijah,
Wallace mengajarkan Islam yang lebih moderat, menyatakan bahwa orang kulit putih tidak
selamanya dipandang sebagai iblis. Lewat Wallace, pemikiran Ali tentang Islam pun perlahan
berubah menjadi inklusif dibanding Nation of Islam yang tetap eksklusif.
Ali sempat pula mendalami sufisme berdasarkan pengakuan dari putrinya, Hana
Yasmeen Ali, yang juga turut menulis autobiografi sang ayah, The Soul of a Butterfly (2004).
Dalam wawancara yang dilansir beliefnet.com 2005 lalu, Hana menyebut Ali mulai tertarik
kepada sufisme setelah membaca buku Inayat Khan dan secara perlahan itu mengubah
kepribadiannya dari yang dulu amat religius, kini lebih mementingkan sisi spiritual
keimanan.

Barangkali, salah satu hal yang dapat dikenang dari Muhammad Ali hingga ia
meninggal pada 3 Juni 2016, bukan hanya figurnya kontroversial, melainkan bagaimana
keberaniannya dalam mempertanyakan ulang segala hal yang terberi dalam hidup, lalu
merumuskannya dalam proses pencarian berdarah-darah. Dan yang terbaik dari semuanya:
Ali melakukan itu semua untuk kebahagiaan orang banyak.

Anda mungkin juga menyukai