Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN BBDM MODUL 6.

1
SKENARIO 1
“ BAYI LAHIR TIDAK LANGSUNG MENANGIS”

Daftar Anggota Kelompok BBDM 12 :


Nurismatul Izzah 22010117120004
Nadia Ayu Octaviani 22010117120005
Nabila Zenska Firdauzi Putri 22010117120006
Diondra Eka Rizkiawan 22010117120014
Iqbal Muhammad 22010117110015
Nugrahani Wiraningrum 22010117120016
Desti Putri Setyorini 22010117120009
Vania Verina Himawan 22010117120010
Qonita Qurotta-A’yun 22010117120019
Thania Lathifatunisa Putri A. 22010117120020

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM


SKENARIO 2
BAYI LAHIR TIDAK LANGSUNG MENANGIS

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK BBDM 12

Diajukan sebagai pemenuhan tugas BBDM pada Modul 6.1

Telah disahkan pada Kamis, 20 Februari 2020

Moderator Kelompok BBDM Skenario 2 Sekretaris

Iqbal Muhammad Thania Lathifatunnisa Putri Agusti


NIM 22010117120015 NIM 22010117120010

Dosen Pembimbing BBDM Skenario 2

dr. Rahmi Isma Asmara Putri, Sp.KFR


SKENARIO 2
BAYI LAHIR TIDAK LANGSUNG MENANGIS

Saat bertugas stase luar kepaniteraan senior di puskesmas, datang pasien


membawa seorang bayi yang baru saja lahir di rumah, lahir tidak langsung
menangis dan tonus otot lemah, berat lahir 1800gram, deng. an usia gestasi ibu 35
minggu. Air ketuban tampak keruh dan berbau. Keluarga mengatakan air ketuban
sudah tampak mengalir sejak 5 hari yang lalu, namun pasien menunda untuk kontrol
ke puskesmas.

I. TERMINOLOGI
1. Air ketuban
Cairan yang terdapat di dalam ruangan yang diliputi selaput janin.
Ruang tersebut, yaitu rongga amnion yang terbentuk pada hari ke-
12 masa pembuahan dan dapat dihirup dan ditelan oleh janin.
2. Tonus otot
Kontraksi otot yang mempertahankan keberadaannya oleh tonus itu
sendiri. Pengecekan dapat dilakukan oleh palpasi dan reflex
fisiologis.
3. Kepaniteraan
Tahap pembelajaran setelah masa preklinik dengan tujuan agar
mahasiswa dapat belajar keseharian pekerjaan sebelum menjadi
dokter.
4. Usia gestasi
Usia kehamilan, yaitu masa terjadinya sejak konsepsi hingga
kehamilan dan dapat dihitung dari siklus menstruasi awal (HPHT).
Preterm : <37 minggu
Aterm : 37 minggu - 41 minggu 6 hari
Post-term : >42 minggu

II. RUMUSAN MASALAH


1. Mengapa bayi lahir tidak menangis dan tonus otot lemah?
2. Bagaimana hubungan pecahnya ketuban 5 hari yang lalu, serta bau
dan keruh dengan kondisi bayi tersebut (bayi tidak menangis)?
3. Mengapa dapat terjadi Ketuban Pecah Dini (KPD) pada kehamilan
pre-term?
4. Bagaimana hubungan antara BBLR dengan usia gestasi pre-term?
5. Apakah terdapat komplikasi jika pasien tidak langsung ditangani
secara komprehensif dan dirujuk?
III. ANALISIS MASALAH
1. Pada kehamilan tersebut teradi oligohidramnion, sehingga
menyebabkan penekanan pada plasenta, sehingga mengalami
penyempitan yang menyebabkan oksigen yang seharusnya
dihantarkan menjadi terhambat dan menyebabkan asfiksia
neonatorum. Oleh karena itu, bayi tidak langsung menangis. Dapat
pula terjadi karena organ pernafasan yang belum berkembang secara
sempurna, sehingga surfaktan pada paru kurang dan paru kolaps.
Hal lainnya yang memungkinkan hal tersebut adalah sindrom
aspirasi meconium. Faktor lain yaitu lilitan tali pusat.
Dapat dinilai dari APGAR Score yang dinilai pada saat menit ke 1-
5 dan dilanjutkan setelah 30 menit dengan nilai Normal (7-10), baik
(5-7), dan dibutuhkan perawatan intensif (<7).
2. Kemungkinan lain yang dapat terjadi, yaitu infeksi bayi pada
kantung dan air ketuban yang terjadi sebelum atau selama persalinan
(chorioamnionitis). Kondisi ini dapat menyebabkan kelahiran
premature atau sepsis pada ibu dan bayi atau dalam keadaan yang
terinfeksi dapat menyebabkan lahir preterm. Selain itu, anemia
hemolitik pada bayi dapat menyebabkan air ketuban keruh dan
kuning yang menunjukkan adanya bilirubin pada cairan ketuban.
3. Etiologi:
 Infeksi (chorioamnionitis),
 Anemia hemolitik,
 Sindroma meconium,
 Kontraksi uterus yang berlebih,
 Riwayat penyakit terdahulu pada ibu,
 Jarak kehamilan <6 bulan,
 Ibu hamil dengan berat badan kurang.
4. Dapat terjadi prematuritas murni (sebanding dengan usia kehamilan)
atau terjadi dismaturitas kehamilan. Dapat terjadi Intrauterine
growth restriction (IUGR)
5. Komplikasi Neonatal:
 Defisit neurologis, seperti kejang
 Gagal jantung
 Hipoglikemia karena berkurangnya produksi glucagon
 Ikterus karena gangguan fungsi metabolik
Komplikasi pada Ibu:
 Syok sepsis
 Kematian maternal
IV. SKEMA
IV. SASARAN BELAJAR
1. Mengetahui pengertian dan cara penegakkan diagnosis asfiksia
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi asfiksia
3. Mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya asfiksia
4. Mengetahui langkah resusitasi neonatus sebagai upaya penanganan asfiksia
5. Mengetahui komplikasi dan komorbiditas yang dapat terjadi akibat asfiksia
6. Mampu memberikan pemahaman terhadap pasien dan keluarga terkait
langkah resusitasi yang perlu dilakukan dan prognosis yang terjadi sebagai
dampak akibat asfiksia

V. BELAJAR MANDIRI

1. Mengetahui pengertian dan cara penegakkan diagnosis asfiksia


 Definisi

Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, yang berarti nadi yang


berhenti (stopping of the pulse) .Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai
dan melanjutkan pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru
lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam kondisi
asfiksia (Asfiksia Primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi kemudian
mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (Asfiksia Sekunder).
 Diagnosis
1) Anamnesis :
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko terhadap
terjadinya asfiksia neonatorium.
2) Pemeriksaan fisik:
Memperhatikan apakah terdapat tanda-tanda berikut atau
tidak, antara lain:
a) Bayi tidak bernafas atau menangis
b) Denyut jantung kurang dari 100x/menit
c) Tonus otot menurun
d) Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium,
atau sisa mekonium pada tubuh bayi
e) BBLR
Keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran juga dapat
dinilai menggunakan metode APGAR. Penilaian ini perlu untuk
mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak, yang
dinilai adalah frekuensi jantung (Heart rate), usaha nafas
(respiratory effort), tonus otot (muscle tone), warna kulit
(colour) dan reaksi terhadap rangsang (respon to stimuli) yaitu
dengan memasukkan kateter ke lubang hidung setelah jalan
nafas dibersihkan.

3) Pemeriksaan Penunjang:
Hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis
pada darah tali pusat jika: a) PaO2 < 50 mmHg
b) PaCO2 > 55 mmHg
c) Ph < 7,3

2. Mengetahui dan memahami patofisiologi asfiksia

1. Kegalalan energi primer:


- Berkurangnya cerebral blood flow
- Over stimulasi neurotransmitter reseptor
- Homoetasis terganggu
2. Kegagalan energi sekunder
- Akumulasi asam amino ekstrasel
- Kerusakan membran lipid dan DNA
- Kegagalan fungsi mitokondria
- Hipoksia iskemi otak neonatal
- Akimulasi calcium intraseluller

Kegagalan energi sekunder terjadi beberapa jam sampai beberapa hari


setelah kegagalan energi primer.
3. Mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya asfiksia

Etiologi asfiksia ditinjau dari 3 faktor:

a. Faktor ibu

1. Preeklampsia dan eklampsia


2. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
3. Partus lama atau partus macet
4. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
5. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat


1. Lilitan tali pusat
2. Tali pusat pendek
3. Simpul tali pusat
4. Prolapsus tali pusat

c. Faktor bayi
1. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
2. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
3. Kelainan bawaan (kongenital)
4. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
(DepKes RI, 2009).

Faktor risiko:
1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika
atau anestesia dalam.
Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke
janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus,
misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b)
hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit
eklampsia dan lain- lain.
2. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, isalnya
solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam


pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-
lain.

4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu :

(a) pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara


langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin,

(b) trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial,

(c) kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika,


atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain

4. Mengetahui langkah resusitasi neonatus sebagai upaya


penanganan asfiksia

Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas


pada saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian
awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah
bayi cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi
baik. Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi
dikeringkan dan Dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi
berbaring di dada ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak
memenuhi kriteria tersebut, dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berurutan di bawah ini:
A. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas
jika diperlukan, mengeringkan, merangsang)
B. Ventilasi
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan
ke langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu
pernapasan dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP)
atau setelah pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu
frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan
pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk
resusitasi neonatus:
1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda
vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk
menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.
2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan
udara dibanding dengan oksigen 100%.
3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen) , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.
4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur
mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada
Langkah Awal).
5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika
diketahui adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat
dipertimbangkan.
6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.
7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.
8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi
yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk
merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.
Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di
bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah
untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan
bayi, dan stimulasi napas.
Membersihkan jalan napas:
a. Jika cairan amnion jernih.
Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi
hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang
memerlukan VTP.
b. Jika terdapat mekonium.
Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan
rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau
depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk
merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang
dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan
mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama
dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama
jika terdapat bradikardia persisten.

Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen


Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena
adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak
bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma.
Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
1. Resusitasi diantisipasi
2. VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
3. Sianosis menetap
4. Oksigen tambahan diberikan.

Pemberian oksigen tambahan


Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau
oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen
untuk mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit)
setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen
ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang
dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.

Pernapasan awal dan bantuan ventilasi


Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit
untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per
menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi
denyut jantung.

Tekanan akhir ekspirasi


Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure
(CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir.
Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan
dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak
mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin.

Alat untuk ventilasi


Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak
Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece
resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat
digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥34 minggu. LMA
dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi
endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk digunakan
pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau untuk
pemberian obat melalui trakea.

Pemasangan intubasi endotrakeal


Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
1. Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar.
2. Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu
lama.
3. Jika dilakukan kompresi dada.
4. Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat
lahir
amat sangat rendah.

Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit
setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio
kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi
harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai
frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.

Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin
atau pengembang volume atau ke duanya dapat dilakukan.

Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis
intrvena 0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat
dipertimbangkan sambil menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini
belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah
1:10.000 (0,1 mg/mL).

Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah
dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap
upaya resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang
bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi.

Perawatan pasca resusitasi


Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal,
mempunyai risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan
sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi
gangguan.

Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang
bersalin untuk bayi dengan depresi napas.

Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat
untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik
iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah
resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia.
Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur
kehamilan 36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan
berat. Hasil penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan
neurologik yang lebih rendah pada bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding
bayi yang tidak diberi terapi hipotermia. Penggunaan cara ini harus menuruti
panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang memadai.
5. Mengetahui komplikasi dan komorbiditas yang dapat terjadi
karena asfiksia

1. Ensefalopati Hipoksik Iskemik


ensefalopati hipoksik-iskemik adalah defisit suplai oksigen ke otak. Kelainan
neurologis yang dapat ditimbulkan akibat ensefalopati hipoksikiskemik adalah
gangguan intelegensia, kejang, gangguan perkembangan psikomotor dan kelainan
motorik yang termasuk di dalam palsi serebral

2. Sistem kardiovaskuler
Bayi dengan asfiksia perinatal dapat mengalami iskemia miokardial transien.
Secara klinis dapat ditemukan gejala gagal jantung seperti, takipnu, takikardia,
pembesaran hati dan irama derap.

3. Gagal ginjal
Dampak terhadap ginjal Hipoksia ginjal dapat menimbulkan gangguan perfusi dan
dilusi ginjal, serta kelainan filtrasi glomerulus. Hal ini timbul karena proses
redistribusi aliran darah akan menimbulkan beberapa kelainan ginjal antara lain
nekrosis tubulus dan perdarahan medula.
4. Dampak terhadap paru
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal persisten, mekanisme
terjadinya adalah vasokonstriksi paru akibat hipoksia dan asidosis, pembentukan
otot arteriol paru pada masa pranatal, pelepasan zat aktif seperti leukotrin dan
pembentukan mikrotrombus, perdarahan paru, edem paru karena gagal jantung,
acute respiratory distress syndrome, HMD sekunder akibat gangguan produksi
surfaktan karena asfiksia, dan aspirasi mekonium. Pengobatan berupa oksigenasi
dan ventilasi yang adekuat.

6. Mampu memberikan pemahaman terhadap pasien dan keluarga


terkait langkah resusitasi yang perlu dilakukan dan prognosis
yang terjadi sebagai dampak akibat asfiksia

Program S.T.A.B.L.E dirancang sebagai sumber informasi tentang stabilisasi


neonatus untuk semua kalangan fasilitas kesehatan. Tujuannya adalah sebagai
referensi tindakan stabilisasi yang telah dilakukan pasca resusitasi /pre-transport
pada bayi yang sakit. Tujuan lainnya adalah memperbaikikeselamatan pasien,
dengan melakukan standariasi prosedur, mendukung kerja tim, mengidentifikasi
kesalahan yang terjadi dan mengurangi kondisimerugikan yang dapat dicegah.
1. S-Sugar and safe care (kadar gula darah dan perawatan yang aman)
Pasca resusitasi bayi rentan mengalami hipoglikemia. Risiko hipoglikemia dapat
terjadi pada bayi kecil masa kehamilan, bayi besar masa kehamilan, bayi dengan
hipotermia, bayi dari ibu diabetik, bayi dari ibu yang memperoleh pengobatan
propranolol, obat hipoglikemia oral, atau infus glukosa saat persalinan. Bayi sakit
butuh dipuasakan untuk mencegah aspirasi, mengurangi kejadian cedera iskemik
terkait penurunan aliran darah ke usus, serta adanya obstruksi usus dan berisiko
mengalami hipoglikemia saat dipuasakan.
Pada neonatus kadar glukosa harus dipertahankan dalam rentang normal (50-110
mg/dL). Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan dalam 30-60 menit setelah lahir
terutama pada bayi yang sakit atau bayi dengan risiko hipoglikemia. Pemeriksaan
dapat diulang dalam 1-3 jam sesuai hasil pemeriksaan kadar gula darah dan kondisi
bayi.
Hipoglikemi dapat dihindari dengan mencegah terjadinya:
- hipotermia
- pemberian minum secara dini dalam 30-60 menit setelah lahir yang dilanjutkan
minimal setiap 3 jam atau lebih sering
- mulai pemberian infus dekstrosa 10% sebanyak 60 mL/kg/hari bila pemberian
nutrisi secara enteral tidak memungkinkan.
2. T-Temperatur
Pemeliharaan suhu tubuh normal harus menjadi prioritas baik untuk bayi sehat atau
sakit. Pada bayi cukup bulan yang sehat, kegiatan untuk mencegah hipotermia
termasuk mengganti linen basah, menutup tubuh bayi dengan selimut hangat,
meletakkan bayi di dada ibu, tutup kepala bayi dengan topi dan bayi diberi pakaian.
Pada bayi sakit atau prematur, prosedur perawatan normal diganti dengan kegiatan
resusitasi dan stabilisasi. Selama resusitasi dan stabilisasi, risiko stres dingin dan
hipotermia meningkat oleh karena itu perawatan ekstra harus dilakukan untuk
mencegah hipotermia.
Suhu aksila normal pada bayi baru lahir berkisar antara 36,5–37,5 C. Pemantauan
suhu dilakukan setiap 15-30 menit hingga bayi dapat mencapai suhu normal dan
minimal setiap jam hingga bayi dipindahkan. Bayi yang memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami hipotermia adalah bayi kurang bulan, bayi berat lahir rendah
(terutama <1500 gram) dan bayi kecil masa kehamilan. Hal ini disebabkan karena
rasio permukaan tubuh dibanding massa tubuh yang lebih luas, jumlah lemak yang
lebih sedikit, kulit tipis, kemampuan vasokonstriksi rendah, tonus dan kemampuan
fleksi rendah, serta simpanan lemak coklat yang lebih sedikit.
Upaya pencegahan hipotermia selama stabilisasi dapat dilakukan dengan cara:
- suhu ruangan ditingkatkan menjadi 25–28° C dan tidak meletakkan bayi di
bawah pendingin ruangan.
- posisikan bayi di bawah infant warmer selama resusitasi atau tindakan pada bayi.
- menghangatkan benda yang akan bersentuhan dengan bayi (tempat tidur,
stetoskop, selimut, dan tangan pemeriksa).
- memakaikan topi.
- membungkus bayi (< 1500 gram) dengan plastik bening, jangan sampai menutup
wajah atau menghambat jalan napas.
- oksigen yang akan diberikan dihangatkan dan dilembabkan dahulu.
- menghangatkan inkubator sebelum meletakkan bayi di dalamnya.
- menggunakan inkubator transport yang telah dihangatkan atau kontak skin-to-
skin saat pemindahan bayi dari kamar bersalin

3. A-Airway (Jalan napas)


Distres napas merupakan sebuah alasan utama bayi membutuhkan perawatan.
Evaluasi distres napas harus dilakukan selama stabilisasi. Komponen yang
dievaluasi mencakup:
- Laju napas
Laju napas normal bayi berkisar antara 40-60 kali per menit. Tanda bayi
mengalami kelelahan bernapas adalah bila napas kurang dari 30 kali per menit
disertai dengan penggunaan otot napas tambahan.
- Usaha napas
Termasuk penilaian air entry, retraksi, merintih, napas cuping hidung, dan apnea.
- Kebutuhan oksigen
Kebutuhan oksigen harus disesuaikan dengan kondisi klinis bayi dan saturasi
oksigen. Oksigen dititrasi untuk mempertahankan target saturasi oksigen.
- Saturasi oksigen
Saturasi oksigen dipertahankan antara 88-92% dan pengukuran saturasi sebaiknya
dilakukan pada pre-duktal (tangan kanan) dan postduktal (salah satu kaki).
Perbedaan saturasi preduktal dan postduktal yang lebih dari 10% menandakan
adanya pirau.
- Gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika bayi membutuhkan oksigen atau
kemungkinan mengalami syok. Penilaian ini penting untuk menentukan derajat
distres napas serta membantu diagnosis dan tatalaksana distres napas.
Stabilisasi jalan napas perlu dilakukan untuk memertahankan jalan napas tetap
terbuka. Stabilisasi ini dilakukan dengan mengganjal bahu dengan gulungan kain.
Bayi juga dapat diposisikan telentang dengan sedikit tengadah untuk agar posisi
faring, laring dan trakea berada dalam satu garis lurus. Posisi telentang merupakan
posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon sungkup ataupun
pemasangan pipa endotrakeal.

4. B-Blood pressure (Tekanan darah)


Kegagalan untuk segera mengenali dan mengatasi keadaan syok (hipovolemik,
kardiogenik, septik) dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan bahkan
kematian pada bayi baru lahir, sehingga pengobatan harus cepat dan agresif.
Langkah pertama dalam pengobatan syok adalah untuk mengidentifikasi
sumbernya. Langkah kedua adalah mengidentifikasi dan memperbaiki masalah
yang terkait atau yang mendasari yang dapat mengganggu.
Tatalaksana syok diawali dengan identifikasi penyebab syok. Tatalaksana syok
secara umum bertujuan untuk mencapai kadar normal pH, menurunkan
pembentukan asam laktat dan metabolisme anaerob, meningkatkan oksigenasi dan
perfusi jaringan, serta meningkatkan curah jantung. Perawatan suportif harus segera
diberikan dengan menjaga patensi jalan napas, memberikan terapi oksigen, serta
memasang akses intravascular. Tatalaksana selanjutnya disesuaikan dengan
masingmasing bentuk syok yang terjadi.
5. L-Laboratorium work up (pemeriksaan laboratorium)
Pemeriksaan laboratorium berikut dapat membantu mengevaluasi syok dan jika
hasil tidak normal, dapat membantu menentukan terapi korektif yang tepat:
 Analisis gas darah
 Gula
 Elektrolit
 Calcium Ion
 Tes fungsi hati
 Tes Fungsi ginjal
 Pemeriksaan koagulasi
Pemeriksaan lainnya dan observasi
- Ekokardiogram untuk mengevaluasi fungsi jantung dan untuk menyingkirkan
penyakit jantung bawaan
- Evaluasi output urin untuk oliguria atau anuria
- Evaluasi untuk sepsis (CBC dengan diferensial dan kultur darah)
- Skrining metabolik asam amino dan asam organik (urin dan serum)

6. E-Emotional support (Dukungan emosional)


Emosi yang orang tua alami ketika bayi mereka sakit dan atau prematur adalah rasa
bersalah, marah, tidak percaya, perasaan gagal, ketidakberdayaan, ketakutan,
menyalahkan, dan depresi. Pada umumnya, pada periode awal setelah onset
penyakit bayi, orang tua mungkin tidak mengekspresikan emosi tertentu, tetapi
mungkin muncul “mati rasa”. Mereka mungkin tidak tahu pertanyaan apa yang
harus ditanyakan, atau apa yang harus dilakukan dalam situasi yang mereka tidak
harapkan atau siap. Rasa bersalah dan rasa tanggung jawab untuk situasi ini
mungkin yang pertama dialami oleh ibu. Bila memungkinkan, berikan dukungan
dan bantuan untuk membantu keluarga mengatasi krisis ini dan kesedihan mereka.
Orangtua/ keluarga sebaiknya diberi dukungan sejak awal hingga bayi menjalani
perawatan meliputi:
- Mengijinkan ibu untuk melihat bayi.
-Memberikan ucapan selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi dengan
nama yang sudah dipersiapkan oleh keluarga
- Menawarkan dukungan tambahan dari pihak lain seperti kerabat atau pemuka
agama.
- Memberikan penjelasan yang sederhana namun akurat kepada orangtua terkait
kondisi bayi dan rencana tatalaksana yang akan diberikan.
- Memberikan kesempatan kepada orangtua untuk bertanya mengenai
Kondi si bayi.
- Melibatkan peran orangtua dalam perawatan bayi dan pengambilan keputusan
terkait tatalaksana.
PROGNOSIS ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR
1. Dampak sistem kardiovaskular
Bayi dengan asfiksia perinatal dapat mengalami iskemia miokardial transien.3
Secara klinis dapat ditemukan gejala gagal jantung seperti, takipnu, takikardia,
pembesaran hati dan irama derap. Bising sistolik dapat terdengar di garis sternalis
kiri bawah (regurgitasi trikuspid) dan dapat terdengar di apeks (regurgitasi mitral).
Foto toraks memperlihatkan kardiomiopati dan kongesti vena pulmonalis.3 EKG
memperlihatkan depresi segmen S-T di mid precordium dan gelombang T yang
negatif abnormal di left precordium. Serum kreatin kinase plasma MB isoenzime
meningkat >5- 10% mungkin menunjukkan adanya kerusakan miokard.3
Ekokardiografi memperlihatkan struktur jantung yang normal tetapi kontraksi
ventrikel kiri berkurang terutama di dinding posterior. Selain itu ditemukan
hipertensi pulmonal persisten, insufisiensi trikuspid, nekrosis miokardium, dan
renjatan.

2. Dampak terhadap ginjal


Hipoksia ginjal dapat menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal, serta
kelainan filtrasi glomerulus.1 Hal ini timbul karena proses redistribusi aliran darah
akan menimbulkan beberapa kelainan ginjal antara lain nekrosis tubulus dan
perdarahan medula.Dalam penelitian terhadap 7 orang neonatus dengan asfiksia
perinatal, Dauber dkk (1976) menemukan 4 dari 7 orang neonatus dengan gagal
ginjal.24 Gejala utama
oliguria disertai peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin. Gagal ginjal
diduga terjadi karena ginjal sangat sensitif terhadap hipoksia.Hipoksia yang terjadi
dalam 24 jam pertama kehidupan akan
mengakibatkan iskemia ginjal yang awalnya bersifat sementara namun bila
hipoksia berlanjut akan
menyebabkan kerusakan korteks dan medula yang bersifat menetap.24 Bayi dengan
asfiksia mempunyai
risiko untuk terjadinya nekrosis tubular akut dan SIADH.Oleh karena itu perlu
dilakukan pemantauan
jumlah urin, urinalisis, berat jenis urin, osmolaritas dan elektrolit urin dan serum.3
Pengukuran kadar kreatinin urin dan serum bersamaan dengan kadar natrium urin
dan serum diperlukan untuk menghitung fraksi ekskresi natrium dan indeks ginjal
untuk memastikan adanya gangguan ginjal.3 Pengukuran kadar b2-mikroglobulin
di urin juga berguna untuk mengetahui disfungsi tubulus proksimal ginjal.3 Besar
ginjal perlu dipantau dengan USG.
3. Dampak terhadap saluran cerna
Bayi asfiksia mempunyai risiko terjadinya iskemia saluran
cerna dan enterokolitis nekrotikan (EKN). Hal ini disebabkan pada bayi asfiksia
terjadi redistribusi aliran
darah ke organ-organ vital. Perfusi otak dan jantung dipertahankan dengan
mengorbankan ginjal dan usus.Gejala klinis EKN ada 2 tipe berdasarkan saat
timbulnya, yaitu EKN dini dan EKN lambat.26 Tipe
pertama seringkali terjadi 24-48 jam sesudah lahir. Tipe seperti ini pada umumnya
terjadi pada bayi cukup bulan yang sakit berat. Faktor risiko pada kelompok ini
adalah asfiksia neonatorum, gagal nafas, polisitemia dan transfusi tukar. Bayi-bayi
ini biasanya belum mendapat makanan enteral. Penyebab EKN dini adalah
hipoksikiskemik. Tipe yang kedua terjadinya agak lambat dan terutama pada bayi
kurang bulan, yaitu bayi yang telah mendapat makanan enteral. Penyebab EKN tipe
ini adalah makanan enteral yang berlebihan dan bakteri tumbuh lampau, sedangkan
fungsi intestinal dan daya tahan tubuhnya masih rendah. Tata laksana EKN adalah
dengan tidak memberikan makanan oral, aspirasi cairan lambung, pemberian
antibiotik dan nutrisi parenteral. Operasi dilakukan bila terjadi perforasi atau
peritonitis.27 Untuk mencegah EKN pada bayi asfiksia adalah pemberian makanan
enteral yang isotonik atau hipotonik dengan volume yang kecil dimulai pada hari
ke 5-7 atau setelah bising usus normal dan feses tidak berdarah.

4. Dampak terhadap hati


Hati dapat mengalami kerusakan yang berat (shock liver), sehingga fungsinya dapat
terganggu. Kadar transaminase serum (SGOT, SGPT), faktor pembekuan (PT, PTT,
dan fibrinogen), albumin dan
bilirubin harus dipantau. Kadar amoniak serum harus diukur. Diberikan faktor-
faktor pembekuan jika
diperlukan. Kadar gula darah dipertahankan pada 75- 100 mg/dl. Obat-obat yang
didetoksifikasi di hati juga harus dimonitor kadarnya secara ketat. Kegagalan fungsi
hati merupakan pertanda prognosis yang buruk.
5. Dampak terhadap sistem darah
Seringkali ditemukan KID akibat rusaknya pembuluh darah, kegagalan hati
membuat faktor pembekuan dan sumsum tulang gagal memproduksi trombosit.
Penanganannya meliputi pemantauan Protrombin Time (PT)/Partial
Tromboplastin Time (PTT), fibrinogen dan trombosit serta pemberian faktor-faktor
pembekuan jika diperlukan. Korst dkk (1996) meneliti 153 neonatus cukup bulan
dengan ensefalopati dibandingkan dengan kontrol, dilaporkan hitung sel darah
merah berinti pada kelompok neonatus cukup bulan dengan ensefalopati lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Diperkirakan peningkatan sel darah merah
berinti dapat dipakai sebagai petunjuk saat terjadinya gangguan neurologis pada
fetus. Black well dkk (2000) meneliti hubungan antara jumlah sel darah merah
berinti dengan onset terjadinya kejang pada neonatus. Kesimpulan dari penelitian
ini mendukung hipotesis kerusakan otak akibat onset kejang terjadi 48- 72 jam
sebelum periode intrapartum. Jazayeri dkk (2000) meneliti kadar eritropoetin pada
203 orang neonatus cukup bulan, 70 di antaranya dengan mekonium pada cairan
amnion. Hasil penelitian didapatkan kadar eritropoetin neonates cukup bulan
dengan mekonium pada cairan amnion lebih tinggi dibandingkan kontrol, sehingga
keluarnya mekonium dapat dihubungkan dengan kejadian hipoksia fetus kronik.

6. Dampak terhadap paru


Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal persisten, mekanisme
terjadinya adalah
vasokonstriksi paru akibat hipoksia dan asidosis, pembentukan otot arteriol paru
pada masa pranatal,
pelepasan zat aktif seperti leukotrin dan pembentukan mikrotrombus; perdarahan
paru, edem paru karena
gagal jantung, acute respiratory distress syndrome, HMD sekunder akibat
gangguan produksi surfaktan karena asfiksia, dan aspirasi mekonium.Pengobatan
berupa
oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.

Anda mungkin juga menyukai