Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SEROTINUS

NUR PADLI

2111040043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2021
A. Pengertian kehamilan serotinus
Kehamilan serotinus (postterm) adalah kehamilan yang berlangsung
melebihi 42 minggu dan masa kehamilan 249 hari dari kehamilan normal.
Dihitung berdasarkan rumus Neagle dengan siklus haid rata-rata 28 hari.
Rumus Neagle ini adalah untuk menghitung tanggal kelahiran bayi yaitu
(tanggal +7, bulan -3, tahun +1) atau (tanggal +7, bulan +9, tahun +0).
Meskipun kehamilan postterm ini mungkin mencakup 10 persen dari
seluruh kehamilan, sebagian di antaranya mungkin tidak benar-benar
postterm, tetapi lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam memperkirakan usia
gestasional. Sekali lagi nilai informasi yang tepat mengenai lama kehamilan
cukup jelas, karena pada umumnya semakin lama janin yang benar-benar
postterm itu berada didalam rahim, semakin besar pula resiko bagi janin dan
bayi baru lahir untuk mengalami gangguan yang berat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kehamilan serotinus adalah kehamilan
yang lewat waktu lebih dari 42 minggu belum terjadi persalinan yang bisa
berpengaruh pada janin dapat meninggal dalam kandungan karena
kekurangan zat makanan dan oksigen.
B. Etiologi
Etiologi kehamilan lewat waktu atau kehamilan serotinus sampai saat ini
belum diketahui secara pasti. Beberapa teori yang menjadi pendukung
terjadinya kehamilan serotinus antara lain sebagai berikut:
1. Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan
dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting
dalam memacu proses biomolekuler pada persalinan dan
meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga
beberapa penulis menduga bahwa terjadinya kehamilan postterm
adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesterone.
2. Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan
postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara
fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan
dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab
kehamilan postterm.
3. Teori Kortisol/ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa “pemberi tanda” untuk
dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-
tiba kadar kortisol plasma janin. Kortisol janin akan mempengaruhi
plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar
sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya
produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti
anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya
kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat
bulan (Prawirohardjo, 2009: 687).
4. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser
akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak
ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat
pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai
penyebab terjadinya kehamilan postterm.
5. Herediter
Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang
mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan
untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya.
Bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan
anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya
akan mengalami kehamilan postterm (Prawirohardjo, 2009: 687).
6. Kurangnya air ketuban
7. Insufisiensi plasenta
C. Klasifikasi Kehamilan Serotinus
Klasifikasi pada bayi lewat bulan adalah :
1. Stadium I yaitu kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan
terjadi maserasi seperti kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
2. Stadium II seperti stadium I dan disertai pewarnaan mekonium
(kehijauan) di kulit.
3. Stadium III seperti stadium I dan disertai dengan pewarnaan kekuningan
pada kuku, kulit, dan tali pusat
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pada kehamilan post matur antara lain:
 Janin postterm dapat terus bertambah beratnya di dalam uterus dan
dengan demikian menjadi bayi besar yang abnormal pada saat lahir, atau
bertambah berat postterm serta berukuran besar menurut usia
gestasionalnya.
 TFU tidak sesuai dengan umur kehamilan.
 Pada USG ditemukan adanya oligohidramnion dan penurunan jumlah
cairan amnion disertai dengan kompresi tali pusat yang dapat
menimbulkan gawat janin, termasuk defekasi dan aspirasi mekonium
yang kental.
 Pada sisi ekstrim lainnya, lingkungan intrauterin dapat begitu
bermusuhan sehingga pertumbuhan janin yang lebih lanjut akan terhenti
dan janin menjadi postterm serta mengalami retardasi pertumbuhan.
Hasil pengkajian manifestasi klinis meliputi:
 Bayi panjang, kurus dengan penampilan menyusut, kulit seperti kertas
dan kulit kuku dan tali pusat terwarnai mekonium, kuku panjang dan
lanugo tidak ada.
 Sindrom aspirasi mekonium ditandai dengan hipoksia janin, cairan
amnion yang bercampur dengan mekonium, gawat napas waktu lahir dan
mekonium mengotori pita suara.
E. Patofisiologi
1) Jika plasenta terus berfungsi dengan baik, janin akan terus tumbuh yang
mengakibatkan bayi LGA dengan manifestasi masalah seperti trauma
lahir dan hipoglikemia.
2) Jika fungsi plasenta menurun, janin mungkin tidak mendapatkan nutrisi
yang adekuat. Janin akan menggunakan cadangan lemak subkutan
sebagai alergi penyusutan lemak subkutan terjadi yang mengakibatkan
syndrome dismatur janin , terdapat 3 tahap sindrom dismaturitas janin:
a) Tahap I insufisiensi plasenta kronis
 Kulit kering, pecah-pecah, mengelupas, longgar dan berkerut.
 Penampilan malnutrisi
 Bayi dengan mata terbuka dan terjaga
b) Tahap II insufisiensi plasenta akut
 Seluruh gambaran tahap I kecuali nomor 3
 Terwarnai mekonium
 Depresi perinatal
c) Tahap III insufisiensi plasenta subakut
 Hasil temuan pada tahap I dan tahap II kecuali nomor 3
 Terwarnai hijau dikulit, kuku, tali pusat dan membrane plasenta
 Resiko kematian intrapartum atau kematian neonatus lebih
tinggi
3) Bayi baru lahir beresiko tinggi terhadap perburukan komplikasi yang
berhubungan dengan perfusi utero plasenta yang terganggu dan hipoksia,
misalnya: sindrom aspirasi mekonium.
4) Hipoksia intra uteri kronis menyebabkan peningkatan eritroptia.lin janin
dan produksi sel darah merah yang menyebabkan polisitemia. e. Bayi
postmatur rentan terhadap hipoglokemia karena penggunaan cadangan
glikogen yang cepat
F. Pathway

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu :
1) Komplikasi pada Ibu
Komplikasi yang terjadi pada ibu dapat menyebabkan partus
lama, inersia uteri, atonia uteri dan perdarahan postpartum.
2) Komplikasi pada Janin
Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti berat badan janin
bertambah besar, tetap atau berkurang, serta dapat terjadi kematian janin
dalam kandungan.
Menurut Prawirohardjo (2006), komplikasi yang terjadi pada
kehamilan serotinus yaitu komplikasi pada Janin. Komplikasi yang
terjadi pada bayi seperti :
a) Gawat janin.
b) Gerakan janin berkurang.
c) Kematian janin.
d) Asfiksia neonaturum dan kelainan letak.
Menurut Achdiat (2004), komplikasi yang terjadi pada
kehamilan serotinus yaitu komplikasi pada janin. Komplikasi yang
terjadi seperti :
a) Kelainan kongenital.
b) Sindroma aspirasi meconium.
c) Gawat janin dalam persalinan.
d) Bayi besar (makrosomia).
e) Pertumbuhan janin terlambat.
f) Kelainan jangka panjang pada bayi
H. Pemeriksaan penunjang
1. Bila HPHT dicatat dengan baik, diketahui wanita hamil, diagnosis tidak
sukar.
2. Bila wanita tidak tahu atau lupa haid terakhirnya, maka hanyalah
dengan pemeriksaan antenatal care yang teratur dapat diikuti dengan
naik nya fundus uteri, mulainya gerakan janin maka sangat membantu
diagnosis.
3. Pemeriksaan berat badan ibu, apakah berkurang? Dan juga lingkar perut
dan jumlah air ketuban.
4. Pemeriksaan Rontgenology dapat dijumpai pusat-pusat penulangan
pada bagian distal femur, bagian proksimal tibia dan tulang kuboid.
5. Ultrasonografi untuk menentukan ukuran bipariental, gerakan janin dan
jumlah air ketuban.
6. Pemeriksaan sitology air ketuban : air ketuban diambil
dengan amnion sintesis baik transvaginal mau pun trans abdominal.
7. Amnioskopy untuk melihat derajat kekeruhan air ketuban,
menurut warnanya karena kekeruhan oleh mekonium.
8. Kardiotokografy untuk mengawasi dan membaca denyut jantung janin
karena insufisiensi plasenta.
9. Uji oksitoxin : dengan infuse tetes oksitoxin dan diawasi reaksi
terhadap kontraksi uterus.
10. Pemeriksaan kadar estriol dalam urin.
11. Pemeriksaan pH darah kepala janin.
12. Pemeriksaan sitology vagina.
I. Penatalaksanaan medis
1) Setelah usia kehamilan > 40-42 minggu yang penting adalah monitoring
janin sebaik-baiknya.
2) Apabila tidak ada tanda-tanda insufisiense plasenta, persalinan
spontan dapat ditunggu dengan pengawasan ketat.
3) Lakukan pemeriksaan dengan cara Bishop skore.
Bishop skore adalah suatu cara untuk menilai kematangan serviks dan
responsnya terhadap suatu induksi persalinan, karena telah diketahui
bahwa serviks bishop skore rendah artinya serviks belum matang dan
memberikan angka kegagalan yang lebih tinggi dibanding serviks yang
matang. Lima kondisi yang dinilai dari serviks adalah :
a. Pembukaan (Dilatation) yaitu ukuran diameter leher rahim yang
terenggang. Ini melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan
indikator yang paling penting dari kemajuan melalui tahap pertama
kerja.
b. Pendataran/penipisan (Effacement) yaitu ukuran regangan sudah ada
di leher rahim.
c. Penurunan kepala janin (Station) yaitu mengambarkan posisi
janin kepala dalam hubungannya dengan jarak dari iskiadika
punggung, yang dapat teraba jauh di dalam vagina posterior (sekitar
8-10 cm) sebagai tonjolan tulang.
d. Konsistensi (Consistency) yaitu dalam primigravida leher rahim
perempuan biasanya lebih keras dan tahan terhadap peregangan,
seperti sebuah balon sebelumnya belum meningkat. Lebih jauh lagi,
pada wanita muda serviks lebih tangguh dari pada wanita yang lebih
tua.
e. Posisi ostinum uteri (Position) yaitu posisi leher rahim perempuan
bervariasi antara individu. Sebagai anatomi vagina sebenarnya
menghadap ke bawah, anterior dan posterior lokasi relatif
menggambarkan batas atas dan bawah dari vagina. Posisi anterior
lebih baik sejajar dengan rahim, dan karena itu memungkinkan
peningkatan kelahiran spontan.

Tabel 2.1 Bishop Skore


Achadiat (2004 : 17-18)

Skore 0 1 2 3
Pembukaan 0 1 3-4 5-6
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Station -3 -2 -1 +1+2
Konsistensi Keras Sedang Lunak Sangat lunak
Posisi Os Posterior Tengah Anterior Anterior

Untuk menilai Bishop Skore yaitu :

a. Bishop Skore > 5 yaitu induksi persalinan


Cara induksi persalinan adalah:
1) Menggunakan tablet Misoprostol/Cytotec yaitu 25-50 mg yang
diletakkan di forniks posterior setiap 6-8 jam hingga munculnya
his / kontraksi.
2) Menggunakan oksitoksin intravena yaitu infus oksitoksin
biasanya mengandung 10-20 unit ekuivalen dengan 10.000-
20.000 mU dicampur dengan 1000 ml larutan Ringer Laktat,
masing-masing menghasilkan konsistensi oksitoksin 10-20
mU/ml.
b. Bishop Skore < 5
1) Pemantauan janin dengan prafil biofisik, Nonstress
test(NST), Contraction Stess Test (CST).
2) Volume ketuban normal, NST reaktif yaitu diulangi 2x /
minggu.
3) Volume ketuban normal, NST non reaktif, CST positif yaitu
dilakukan SC.
4) Volume ketuban normal, NST non reaktif dan CST negatif yaitu
dilakukan pengulangan CST dalam 3 hari.
5) Oligohidramnion (kantong amnion < 2 cm) yaitu dilakukan SC.
6) Deselerasi variable yaitu matangkan serviks dan induksi
persalinan.
7) Pematangan serviks dapat dilakukan dengan kateter voley,
oksitoksin, prostaglandin (Misoprostol), relaksin(melunakkan
serviks), pemecahan selaput ketuban.
8) Persalinan per vaginam yaitu Ibu miring ke kiri, berikan
oksigen, monitor DJJ, induksi persalinan dengan tetes Pitosin
(jika tidak ada kontraindikasi dan belum ada tanda hipoksia
intrauterine), tetes Pitoksin di naikkan jangan melebihi 2 m U/
menit atau dinaikkan dengan interval < 30 menit, amniotomi
pada fase aktif, infus intraamniotik dengan 300 - 500 mL NaCl
hangat selama 30 menit yaitu untuk mengatasi.
9) Oligohidramnion dan mekoneum, konfirmasi kesejahteraan
janin.
10) Dilakukan Sectio Caesaria, jika gawat janin (deselerasi lambat,
pewarnaan mekoneum), gerakan janin abnormal (< 5 kali / 20
menit), contraction stress test (CST), berat Badan > 4000 gr,
malposisi, malpresentasi, partus > 18 jam, bayi belum
lahir.
11) Dilakukan vakum ekstraksi, syarat vakum yaitu :
a) Pembukaan minimal 5.
b) Ketuban negatif atau dipecahkan.
c) Anak hidup, letak kepala atau bokong.
d) Penurunan minimal H II.
e) His dan reflek mengejan baik.
J. Pengelolaaan Selama Persalinan Hamil Serotinus
1) Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan kesejahteraan
janin.
2) Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
3) Awasi jalannya persalinan.
4) Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan
janin.
5) Cegah terjadinya aspirasi mekoneum dengan segera mengusap neonatus
dan dilanjutkan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan
cairan ketuban bercampur mekoneum.
6) Segera setelah lahir, bayi harus segera di periksa terhadap
kemungkinanhipoglikemia, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi.
7) Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda serotinus.
8) Hati-hati kemungkinan terjadinya distosia bahu.
9) Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi
janin serotinus sehingga setiap persalinan kehamilan serotinus harus
dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah
Sakit.
K. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan serotinus
antara lain:
1) Ansietas berhubungan dengan partus lama (serotinus)
2) Resiko injury / kematian janin berhubungan dengan berkurangnya
cairan amnion, distorsia, inersia uteri.
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kulit kering, rapuh
dan mudah mengelupas, desquamasi epitel.
4) Resiko perdarahan berhubungan dengan atonia uteri.
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (uterus, plasenta)
berhubungan dengan kolaps plasenta akibat kehamilan lewat
waktu / partus lama.
L. Intervensi
1) Ansietas berhubungan dengan partus lama (serotinus).
NOC :
- Anxiety self control
- Anxiety level
- Coping
Kriteria Hasil :
- Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas.
- Vital sign dalam batas normal.
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas.
NIC :
- Kaji penyebab cemas.
- Identifikasi tingkat kecemasan.
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi.
- Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi.
- Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.
2) Resiko injury / kematian janin berhubungan dengan berkurangnya
cairan amnion, distorsia, inersia uteri.
NOC : resiko cedera pada janin akan berkurang.

NIC :
- Kaji DJJ secara manual atau elektronik.
Rasional : mendeteksi respon abnormal, seperti bradikardi,
thakikardi yang mungkin disebabkan karena stress, hipoksia dan
asidosis.
- Kaji malposisi dengan menggunakan maneuver leopold dan temuan
pemeriksaan internal.
Rasional : menentukan letak janin, posisi dan presentasi dapat
mengidentifikasi faktor-faktor yang memeperberat disfungsional
persalinan.
- Siapkan metode untuk melahirkan yang paling layak, bila janin
pada presentase kening, wajah, dan dagu.
Rasional : presentase ini meningkatkan resiko CPD,
karena diameter lebih besar dari tengkorak janin masuk ke
pelvic karenakegagalan kemajuan dan pola persalinan memerlukan
kelahiran secara cesar.
- Perhatikan warna dan jumlah cairan amnion bila pecah ketuban.
Rasional : ketuban cairan amnion menyebabkan distensi uterus
berlebihan yang berhubungan dengan anomali janin.
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kulit kering, rapuh dan
mudah mengelupas, desquamasi epitel.
NOC : tissue integrity : skin and mucous
Kriteria hasil :
- perfusi jaringan baik.
- tidak ada luka.
- integritas kulit yang baik bisa dipertahankan.
NIC : pressure manajement
- jaga kebersihan kulit .
- mobilisasi pasien.
- monitor kulit adanya kemerahan.
- monitor status nutrisi pasien.
4) Resiko perdarahan berhubungan dengan atonia uteri.
NOC :
- Blood lose severity
- Blood koagulation
Kriteria hasil :
- Tidak ada hematuria dan hematemesis.
- Kehilangan darah yang terlihat.
- Tekanan darah dalam batas yang normal systole dan diastole.
- Tidak ada perdarahan pervaginam.
- Tidak ada distensi abdominal.
- Hemoglobin dan hematocrit dalam batas normal.
NIC:
- Monitor ketat tanda-tanda perdarahan.
- Catat nilai Hb dan Ht sebelum dan sesudah terjadinya perdarahan.
- Montor nilai lab. (koagulasi) yang meliputi PTT, PT, trombosit.
- Memonitor TTV.
- Pertahankan bedrest selama perdarahan aktif.
- Monitor status cairan meliputi intake dan output.
- Lakukan manual pressure (tekanan) pada area perdarahan atau
diberikan tampon.
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (uterus, plasenta)
berhubungan dengan kolaps plasenta akibat kehamilan lewat waktu /
partus lama.
NOC :
- Circulasi ststus
- Tissue perfusion
Kriteria hasil :
- Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang diharapkan.
- Tidak ada ortostatik hipertensi.
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial.

NOC : manajemen sensasi perifer


- Monitor adanya paretese.
- Kolaborasi pemberian analgetik.
- Monitor adanya tromboplebitis.
- Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi.

M. Daftar Pustaka
Achadiat, Dr. Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetrik dan Ginekologi.
Jakarta : EGC
Gumilar, Kiki Rizki. 2018. Laporan Pendahuluan Serotinus. Indramayu:
STIKES Indramayu.
Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Setiawan, Doni. 2019. Laporan Pendahuluan Kehamilan Serotinus.
https://pdfcookie.com/documents/laporan-pendahuluan-serotinus-
3ld0d5qzz624 . Diakses pada tanggal 5 November 2021 pukul 23.00
WIB.

Anda mungkin juga menyukai