Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN BBDM MODUL 6.

SKENARIO 2

BAYI MERINTIH

Disusun oleh:

BBDM 22

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2019
DAFTAR PESERTA DIDIK

BBDM 22

No. Nama Peserta Didik NIM Paraf


1. Khansa Pinasti Anjarsari 22010116130150 1.
2. Kriesye Refertiwi 22010116140159 2.
3. Zaifandre Muqorrobin 22010116140160 3.
4. Muhammad Faiq Luthfan 22010116130169 4.
5. Ramadhan Conny Sulistiyono 22010116130170 5.
6. Eva Susanty Purba 22010116140179 6.
7. Jenifer Marsela Tarius 22010116130180 7.
8. Muhammad Yudhistira Surya N 22010116140189 8.
9. Ayu Chandra Dewi 22010116130190 9.
10. Najamuddin Candra Nirwana 22010116130199 10.
11. Vallendito Aji Saputra 22010116130110 11.

Mengetahui

Tutor BBDM 22 Skenario 2,

( )
SKENARIO BBDM MODUL 6.1
SKENARIO 2
BAYI LAHIR MERINTIH
Seorang perempuan baru saja melahirkan bayinya ditolong bidan di puskesmas, bayi lahir
berat 3500 gram, merintih, tali pusat tampak layu, ari-ari menurut bidan ada pengapuran.
Perempuan tersebut kontrol rutin di bidan 3x selama kehamilan, tekanan darah terakhir saat
control 150/90 mmHg.

I. TERMINOLOGI
1. Tali pusat layu

Tabung fleksibel seperti usus yang menghubungkan antara ibu dan janin. Sudah tidak
segar lagi , pucat ,dan lemah.

2. Pengapuran ari ari

Ari-ari (placenta) berfungsi untuk pertukaran suplai dari ibu ke janin. Pengapuran ari ari
dapat disebabkan karena tekanan darah ibu yang tinggi.
Proses fisiologis yang terjadi saat kehamilan akibat deposit kalsium pada usia kehamilan
29 minggu dan terus meningkat. Tekanan darah tinggi – pembuluh darah pecah –
kalsifikasi

3. Bayi lahir merintih

Tangisan lemah tanda sulit bernafas. Tanda asfiksia neonatorum. (gawat darurat)

II. RUMUSAN MASALAH


1. Mengapa tali pusat bayi tampak layu?
2. Mengapa bayi lahir merintih?
3. Bagaimana mekanisme terjadinya pengapuran ari-ari?
4. Bagaimana cara menilai keadaan bayi lahir?
5. Bagaimana dampak tekanan darah serta hubungan control rutin ibu dengan keadaan
bayi?

III. ANALISIS/HIPOTESIS

1. Ada insufisiensi placenta – pertumbuhan placenta tidak normal – ukuran nya lebih
kecil dari biasanya – mengganggu perkembangan janinnya.Ada insufisiensi aliran
darah – jadi iskemi – tali pusat layu.
2. Karena sudah terjadi insufisiensi placenta dan TD ibu tinggi – perfusi darah menurun
(O2) – bayi sulit bernafas – asfiksia neonatorum. Jadi bayi tsb kekurangan oksigen
sehingga bayi merintih.

3. Kalsifikasi placenta ada 2 patologis dan fisiologis.


Berkaitan erat dengan asupan garam kalsium yang tinggi pada kehamilan dan nuli
paritas serta kerjadian preeklamsia.
Sel mengalami nekrosis (akibat menurunnya perfusi ke jaringan placenta = kalsifikasi
Pengapuran ari ari karena terjadi deposit kalsium yang berlebihan. TD yang tinggi –
pecahnya pembuluh darah di placenta – kalsifikasi (terlihat di USG)

4. APGAR score (untuk membantu diagnosis asfiksia). Ada 5 penilaian = laju jantung ,
usaha bernafas, tonus otot, wanra kulit, dan kepekaan reflek.
Penilaian dilakukan secara cepat dan ditempat hangat.

5. Kontrol rutin dilakukan untuk mengetahui adanya preeklamsia atau eklamsia (TD
tinggi tidak terkontrol). WHO trimester 1 : 4 minggu 1 kali, Trimester 2 : 2 minggu
sekali, trimester 3 : 1 minggu sekali.
Kemenkes = 4x selama kehamilan
K1 K2 (1) K3 (1) K4 (2)
Kontrol rutin juga bias menskringing placenta misalnya di USG ada bercak putih
(kalsifikasi)

IV. SKEMA

Ibu (TD Tinggi, 150/90 mmHg, kehamilan 3x) BAYI LAHIR MERINTIH

Tali pusat layu, pengapuran ari-ari ASFIKSIA NEONATORUM

V. SASARAN BELAJAR
1. Definisi, etiologi, factor risiko Asfiksia neonatorum
2. Patofisiologi dari Asfiksia neonatorum
3. Pemeriksaan bayi baru lahir (APGAR score)
4. Komplikasi dari Asfiksia neonatorum
5. Tatalaksana, edukasi, pencegahan Asfiksia neonatorum
VI. BELAJAR MANDIRI

1. Definisi, etiologi, factor risiko Asfiksia neonatorum


Definisi Asfiksia

Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia
sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau
masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).

Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan
mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan
kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan
bayi selama atau sesudah persalinan.

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada
udara respirasi, yang ditandai dengan:

1. Asidosis (pH <7,0) pada darah arteri umbilikalis

2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetep 0-3

3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia ensefalopati)

4. Gangguan multiorgan sistem.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

1) Lilitan tali pusat


2) Tali pusat pendek

3) Simpul tali pusat

4) Prolapsus tali pusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep)

3) Kelainan bawaan (kongenital)

4) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

1. Faktor Ibu

Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam.
Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus, misalnya
hipertoni, hipertoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak
pada ibu 13 karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia
janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio
plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.

3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran
darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.

4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : (a)
pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, (b) trauma yang terjadi pada persalinan,
misalnya perdarahan intrakranial, (c) kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia
diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain
2. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan
konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung
kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta(Perinasia, 2006). Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli
akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam
pembuluh darah di sekitar alveoli(Perinasia, 2006). Arteri dan vena umbilikalis akan menutup
sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang(Perinasia, 2006). Keadaan
relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri
pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat
sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh
pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke
bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus
arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui
paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh(Perinasia,
2006). Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paruparunya
untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong
cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna
kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Perinasia; 2006).
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya
yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga
oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika
keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan
pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen (Perinasia, 2006). Pada saat pasokan
oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit,
namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong
kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen
berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau
kematian.
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda
klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi
pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena
kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan
oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke
plasenta sebelum dan selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan
absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Perinasia,
2006)
3. Pemeriksaan Bayi Baru Lahir (APGAR Score)

Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR;


a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

4. Komplikasi Asfiksia neonatorum


- Sistem Saraf Pusat : hipoksia iskemik ensefalopati, edema serebri, kecacatan cerebral palsy
- Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonalis presisten pada neonates, perdarahan paru, edema paru
- Gastrointestinal : Enterokolitis Nekrotikans
- Ginjal : Turbular nekrosis akut
- Hematologi : DIC

5. Penatalaksanaan Asfiksia

Tindakan untuk mengatasi asfiksia disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bayi.
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan yang disebut ABC resusitasi sebagai
berikut :

Memfokuskan saluran nafas terbuka

1. Meletakkan bayi dalam posisi kepala ekstensi


2. Menghisap hidung dan mulut bila perlu trachea
3. Bila perlu masukan endotrakhea untuk memastikan pernapasan terbuka.

Memulai pernafasan

1. Melakukan rangsangan taktil untuk memulai pernafasan


2. Memakai ventilasi tekanan positif seperti sungkup dan balon atau pipa endotrakhea dan
balon.

Mempertahankan sirkulasi darah

Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu
menggunakan obat-obatan. (Sarwono, 2009)

Tindakan Resusitasi Neonatus ( Manuaba, 2007)

Asfiksia Sedang dengan nilai APGAR Skor 4- 6

1. Tidak terlalu banyak memerlukan tindakan resusitasi.


2. Saluran napas perlu dibersihkan sekaligus merupakan rangsangan sentuh terhadap
dimulainya pernapasan.
3. Evaluasi berikutnya 5 menit.
4. Bila hasilnya baik dengan Skor APGAR meningkat maka bayi sudah dapat diselamatkan
dari lingkaran setan asfiksia neonatorum.

Asfiksia Berat dengan nilai APGAR Skor 0- 3

1. Memerlukan resusitasi penuh: Terutama bersihkan jalan napas, berikan O 2 dengan aliran
2 liter per menit, dilakukan resusitasi dengan masker O2 sehingga secara langsung
diharapkan dapat masuk langsung sebagai pertukaran dengan CO2 melalui paru, bila
perlu dilakukan pemasangan endothracheal tube sehingga secara langsung diketahui
masuk pada jalan nafas. Pemberian O2 dapat lebih tinggi sehingga dapat membantu
perkembangan alveoli pada bayi, obat yang diberikan melalui umbilicus : bikarbonas
natrikus 5 – 10cc, naloxone 0,01 mg/kg/infuse, sebagai antagonis terhadap: morphin,
pethidin, omnopon. Nalaxon tidak menimbulkan komplikasi depresi terhadap SSP. Pada
bayi berat badan kurang dari 1500 gram, bikarbonas natrikus tidak dianjurkan karena
dapat menimbulkan perdarahan ventrikuler, sebagai gantinya : plasma substan/darah
10cc/kg. Untuk mengatasi kemungkinan hipoglisemia diberikan larutan glukosa: Glukosa
10%, 20%, atau 50%, sesuai kebutuhan.
2. Bila gagal dapat dilakukan pemijatan jantung eksternal, dengan kompresi dinding toraks
depan atau belakang teratur secara interval.

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Jakarta

2. Masyita, D. Hubungan Hipertensi dalam Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia


Bayi Baru Lahir di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Stikes
Aisyiyah Yogyakarta; 2014.

3. Dahriana, A. Faktor Risiko Kejadian Asfiksia Neonatorum di RSIA Siti Fatimah


Makassar Tahun 2010 (skripsi). Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Makassar; 2011.

4. Mochtar R. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC;


2011.

5. Martono. Risk Factors for Birth Asphyxia.Department of Child Health Faculty of


Medicine. Surabaya: Airlangga University Dr Soetomo Hospital Surabaya; 2011.

Anda mungkin juga menyukai