Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID FEVER

DI RUANG PRATAMA

Disusun oleh :

Nama : Taufik

NIM : CKR0180257

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

KAMPUS 2 RS Ciremai

2020
A. Konsep Penyakit

1. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri tersebut (Inawati, 2009). Definisi lain dari demam
tifoid atau Typhus Abdominalis ialah penyakit infeksi akut yang biasaya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).

Demam tifoid disebarkan melalui jalur fekal-oral dan hanya menginfeksi


manusia yang mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh
bakteri Salmonella typhi. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu
penderita demam tifoid dan karier. Seseorang yang karier adalah orang yang
pernah menderita demam tifoid dan terus membawa penyakit ini untuk beberapa
waktu atau selamanya (Nadyah, 2014)

2. Etiologi
Demam tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella
yaitu Salmonella thypi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Bakteri
tersebut memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan (Inawati, 2009).
Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit tersebut, baik ketika ia sedang sakit atau
sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita masih
mengandung Salmonella spp di dalam kandung empedu atau di dalam ginjal.
Sebanyak 5 persen penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,
sedangkan 2 persen yang lain akan menjadi karier yang menahun. Sebagian besar
dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain
termasuk urinary type.

3. Patofisiologi
Penyakit typhoid disebabkan oleh kuman salmonella typhi, salmonella paratyphi
A, Salmonella paratyphi B, Salmonella paratyphi C, yang masuk ke dalam tubuh
manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Selanjutnya akan
ke dinding usus halus melalui aliran limfe ke kelenjar mesentrium
menggandakan/multiplikasi (bacterium). Biasanya pasien belum tampak adanya
gejala klinik (asimptomatik) seperti mual, muntah, tidak enak badan, pusing
karena segera diserbu sel sistem retikulo endosetual. Tetapi kuman masih hidup,
selanjutnya melalui duktus toraksikus masuk ke dalam peredaran darah
mengalami bakterimia sehingga tubuh merangsang untuk mengeluarkan sel piogon
akibatnya terjadi lekositopenia. Dari sel piogon inilah yang mempengaruhi pusat
termogulator di hipotalamus sehingga timbul gejala demam dan apabila demam
tinggi tidak segera diatasi maka dapat terjadi gangguan kesadaran dalam berbagai
tingkat. Setelah dari peredaran darah, kuman menuju ke organ-oragan tubuh (hati,
limfa, empedu) sehingga timbul peradangan yang menyebabkan membesarnya
organ tersebut dan nyeri tekan, terutama pada folikel limfosid berangsur-angsur
mengalami perbaikan dan apabila tidak dihancurkan akan menyebar ke seluruh
organ sehingga timbul komplikasi dan dapat memperburuk kondisi pasien
(Juwono,1999).
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly (lalat), dan melalui Feses (tinja). Feses dan muntah pada penderita demam
tifoid dapat menularkan salmonella thypi kepada orang lain. Bakteri yang masuk
ke dalam lambung, sebagian akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian
melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman
selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

4. Manifestasi klinis
 Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas,
berupa :
- anoreksia
- rasa malas
- sakit kepala bagian depan
- nyeri otot
- lidah kotor
- gangguan perut (perut kembung dan sakit)
 Gejala Khas
 Minggu Pertama
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi
antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat
dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak
enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu
pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
 Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat
pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh
penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan
yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih
lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin
berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak
kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah
menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang
berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
 Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila
keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai
turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-
otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.
 Minggu Keempat
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan untuk demam
tifoid.

5. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1) Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk
isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut
sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari.
Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus di
ubah – ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil
perlu di perhatikan karena kadang – kadang terjadi obstipasi dan
retensi air kemih.
2) Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak
serat.
3) Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
 Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau
kloramisetin adalah antibiotik yang mempunyai
spektrum luas, berasal dai jamur Streptomyces
venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi
yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan
bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan
secara oral. Rektal atau dalam bentuk salep. Efek
samping penggunaan antibiotik kloramfenikol yang
terlalu lama dan dengan dosis yang berlebihan adalah
anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 - 50 mg/kg
BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena
dalam empat dosis yang sama.
 Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2007, hal:
86). Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-
metilsulfonil (-SO2CH3) dengan spektrum kerja dan sifat
yang mirip kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih
ringan. Dosis pada anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
 Ko – trimoksazol
Suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10
mg TMP dan 50 mg SMX/kg/24 jam). Trimetoprim
memiliki daya kerja antibakteriil yang merupakan
sulfonamida dengan menghambat enzim dihidrofolat
reduktase. Efek samping yang ditimbulkan adalah
kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada
penderita defisiensi glukosa-6-fosfodehidrogenase. efek
samping lainnya adalah reaksi alergi antara lain
urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson,
sejenis eritema multiform dengan risiko kematian tinggi
terutama pada anak – anak. kotrimoksazol tidak boleh
diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis pada
anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP
dan 50 mg SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua
dosis). Pengobatan dengan dosis tepat harus dilanjutkan
minimal 5-7 hari untuk menghindarkan gagalnya terapi
dan cepatnya timbul resistensi, (Tan Hoan Tjay &
Kirana Rahardja, 2007, hal:140).
 Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin : Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin
efektif terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan
beberapa suku Proteus. Efek samping, dibandingkan
dengan perivat penisilin lain, ampisilin lebih sering
menimbulkan gangguan lambung usus yang mungkin
ada kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik.
Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi.
Dosis ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara
intravena dalam empat sampai enam dosis). Dosis
amoksilin pada anak (100 mg/kg/24 jam, secara oral
dalam tiga dosis).
b. Obat – obat simptomatik:
- Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
- Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5
hari)
- Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk
menjaga kesegaran dan kekutan badan serta berperan
dalam kestabilan pembuluh darah kapiler.
 Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu secara berkala
setiap 4 – 6 jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut,
atau mengigau. Perhatikan pula apakah mata anak cenderung melirik
keatas, atau apakah anak mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi
perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu mencapai otak.
Terputusnya sulai oksigen ke otak akan berakibat rusaknya sel otak.
Dalam kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi berupa
rusaknya intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen
ke otak yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak – banyaknya. Minuman
yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan),
air buah atau air teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat
naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat paha. Tujuannya
untuk menurunkan suhu tubuh di permukaan tubuh anak.

6. Komplikasi

1.Dehidrasi :Demam ↑penguapan cairan tubuh


2. Kejang demam : Jarang sekali terjadi (1 dari 30 anak demam).
3. Kelumpuhan anggota badan
4. Ganguan mental dan belajar
5. Perpindahan panas sel konduksi
6. Aktifitas berlebih dapat meningkatkan panas dan metabolisme tubuh.

7. Diagnosa Banding
1. Meningitis
2. Ensepholitis
3. Subdural empyema

B. Pengkajian
1. Wawancara
Wawancara adalah menyatakan atau membuat tanya-jawab yang berkaitan
dengan masalah yang dihadapi oleh klien, biasanya juga disebut dengan
anamnesa. Wawancara berlangsung dengan menanyakan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien dan merupakan suatu
komunikasi yang direncanakan.
Tujuan dari wawancara adalah untuk memperoleh data tentang masalah
kesehatan dan masalah keperawatan klien. Selain itu wawancara juga
berhubungan untuk membantu klien memperoleh informasi dan berpartisipasi
dalam identifikasi masalah dan tujuan keperawatan, serta membantu perawat
untuk menemukan investigasi lebih lanjut selama tahap pengkajian. Wawancara
yang dilakukan harus terstruktur dan juga real. Wawancara meliputi :
1) Identitas p asien
Perawat perlu mengetahui nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah,
agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan, dan pekerjaan pasien.

2) Keluhan utama
Faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat
ke rumah sakit.
3) Riwayat kesehatan saat ini
Riwayat kesehatan yang diderita saat ini. Perlu juga ditanyakan mulai
kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk
menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyebab
dari kesehatan terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik
1) Kepala : tidak ada lesi, tidak ada hematoma, tidak ada nyeri tekan,
kebersihan bersih
2) Rambut : warna hitam, tidak kusut, tidak ada kebotakan, tidak bau,
kebersihan cukup.
3) Mata : pengelihatan normal, diameter pupil 3,konjungtiva anemis,
pupil isokor
4) Hidung : bentuk simertis, tidak ada perdarahan, tidak ada secret

5) Telinga: bentuk normal, pendengaran normal, tidak ada serumen, tidak ada
perdarahan
6) Mulut dan gigi: mukosa lembab, gigi lengkap, kebersihan gigi dan mulut
baik
7) Leher : tidak ada pembesaran tyroid, nadi karotis teraba, tidak ada
pembesaran limfoid
8) Thorax:
I : bentuk simetris, tidak ada bengkak,
P : tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan
P : tidak ada udema pulmo
A : bunyi jantung normal (S1,S2), bunyi paru vesikuler
9) Abdomen :
I : tidak ada luka, tidak ada bengkak
A : bising usus normal 8x/menit
P : tidak ada benjolan
P : tidak ada acites
10) Genitalia : tidak ada kelainan, kebersihan genetalia cukup

11) Anus : tidak ada kelainan, tidak hemoroid, kebersihan cukup

12) Pathway

Minuman dan makanan


yang terkontaminasi

Mulut

Saluran pencernaan

Typhus Abdominalis

Peningkatan asam Usus


lambung
Proses infeksi Limfoid plaque penyeri di ileum
Perasaan tidak enak terminalis
Merangsang
pada perut, mual, peningkatan Perdarahan dan
muntah (anorexia) peristaltic usus perforasi intestinal
Ketidakseimbangan Kuman masuk aliran
nutrisi: Kurang dari Diare limfe mesentrial
kebutuhan tubuh
Menuju hati dan limfa

Kekurangan
volume cairan Kuman berkembang biak

Kurang intake Hipertrofi


cairan Jaringan tubuh (limfa)
(hepatosplenomegali)
Peradangan
Penekanan pada saraf di hati

Nyeri ulu hati


Pelepasan zat Nyeri Akut
pyrogen
Pusat termogulasi tubuh

Hipertermia

3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan serologi yang masih dikerjakan pada pasien yang dirawat dengan
demam typhoid di Rumah Sakit adalah tes Widal. Nilai diagnostik tes Widal
adalah melihat adanya kenaikan titer antibodi yang bermakna dalam darah
terhadap antigen O (somatik) dan/atau antigen H (flagellar) Salmonella
enterica serotype typhi pada 2 kali pengambilan spesimen serum dengan
interval waktu 10-14 hari. Interpretasi hasil tes widal yaitu terjadinya aglutinasi
menandakan tes Widal positif dan jika reaksi positif diobservasi dalam 20ul
sampel tes, hal ini mengindikasikan adanya level klinis yang signifikan dari
respon antibodi pada serum pasien. Tidak terjadinya aglutinasi menandakan
hasil tes Widal negatif dan mengindikasikan tidak adanya level klinis yang
signifikan dari respon antibody (Wardana, 2014)

No Data Etiologi Masalah

1 Ds : Pasien mengeluh Minuma dan makanan Hipertermi b.d


Mulut
demam penyakit/peningkatan
Saluran Pencernaan
Do : K.U lemah
Typhus Abdominalis metabolisme tubuh
N : 193 Limfoid plaque penyeri di
RR : 20 ileum terminalis
Suhu : 40.4°C
Perdarahan dan
perforasi intestinal

Kuman masuk aliran


limfe mesentrial

Menuju hati dan limfa

Kuman berkembang biak

Jaringan tubuh (limfa)

Peradangan

Pelepasa zat phyrogan


Pusat termogulasi tubuh
Hipertermia

2 Ds : Muntah Mual Peningkatan asam Ketidakseimbangan


Do :
lambung nutrisi : kurang dari
-Kurang nafsu makan
Perasaan tidak enak pada
- Mukosa bibir kering kebutuhan
- Muka tampak pucat perut, mual muntah
- Konjungtiva anemis Ketidak seimbangan
nnutrisi : Kurang dari
kebutuhan tubuh

3 Ds : Haus Hipertermia Kekurangan volume


Do : Kurang Intake cairan
cairan b.d kehilangan
-Penurunan turgor kulit Kekurangan voulume
-Temperatur tubuh cairan aktif
cairan
meningkat

C. Diagnosa Yang Mungkin Muncul


1. Hipertermia b.d. Penyakit/Peningkatan metabolism tubuh
2. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan
3. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan aktif
D. Rencana Asuhan Keperawatan

No Dx Tujuan Intervensi Rasional Evaluasi


Keperawatan
1 Hipertermia NOC : NIC:Fever 1. Untuk Suhu
b.d. Penyakit/ Thermoregulati Treatment menurunk pasien
Peningkatan on an panas sudah
a.Monitor
metabolism klien kembali
Setelah
suhu 2.
tubuh normal
dilakukan
sesering Memonito
perawatan
mungkin r TTV
selama 1 x 24
jam status b.Observasi
hipertermia TTV
klien akan
c.Kolaboras
membaik
i pemberian
dengan hasil :
-Suhu tubuh cairan IV
36,5°C
d.Kompres
pasien
dengan air
hangat

e.Berikan
pengobatan
untuk
mengatasi
penyebab
demam
f.Menganjur
kan pasien
untuk
istirahat
2 Ketidakseimba NOC : NIC : 1.Memban Nutrisi
ngan nutrisi : Nutritional Nutritional tu klien
kurang dari Status Manageme kebutuhan sudah
kebutuhan nt nutrisi membaik
Setelah
tubuh tubuh
dilakukan
a. Kolabor
perawatan
asi
selama 1 x 24
dengan
jam status
ahli gizi
nutrisi klien
untuk
akan membaik
menentu
dengan hasil :
kan
-Klien sudah
nutrisi
mau makan
yang
dibutuhk
an
b. Monitor
jumlah
nutrisi
dan
kandung
an kalori
c. Makan
sedikit-
sedikit
namun
sering
untuk
mencega
h
muntah
d. Informas
ikan
pada
pasien
dan
keluarga
tentang
manfaat
nutrisi

Nutrition
Monitoring

a. Monitor
turgor kulit
b. Monitor
mual dan
muntah
3 Kekurangan NOC : Fluid NIC : Fluid Membantu Kebutuh
volume cairan Balance, Managemen menstabilk an cairan
b.d. kehilangan Hydration t an volume klien
cairan aktif cairan sudah
Setelah a.Monitor
pasien terpenuhi
dilakukan status
perawatan Pertahankan
selama 1 x 24 catatan
jam status intake dan
nutrisi klien output
akan membaik cairan
dengan hasil :
-Tekanan darah, b.Monitor
nadi, suhu, TTV
dalam batas
c.Kolaboras
normal
-Tidak ada i pemberian

tanda-tanda IV

dehidrasi, d.Dorong
elastisitas turgor keluarga
kulit baik, untuk
membran membantu
mukosa lembab, pasien
tidak rasa haus makan
yang berlebihan
e.Berikan
cairan oral

DAFTAR PUSTAKA

Inawati. (2009). Demam Tifoid. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Edisi
Khusus. Hal 31-36.
Nadyah. (2014). Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens penyakit
demam tifoid di Kelurahan Samata Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa 2013.
Jurnal Kesehatan, Vol VII, No 1, 305-321.
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit. Jakarta: EGC
Wardana, I. M. T. L., et al. (2014). Diagnosis demam thypoid dengan pemeriksaan
widal. Bali: Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah

Anda mungkin juga menyukai