Rangkuman Perbankan Syariah
Rangkuman Perbankan Syariah
Hukum Perbankan
Syariah
Fakultas Hukum
Universitas Trunajaya Bontang
Kalimantan Timur
A. PENGERTIAN PERBANKAN SYARIAH
Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari
oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau
yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan
haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha
media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan
konvensional.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem
perbankan syariah antara lain :
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil
usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai
intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak
harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah
transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam
islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Secara Umum Bank adalah lembaga yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam
sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan sesuai dengan akad syari’ah
telah dilakukan sejak zaman Rasululllah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan
harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta
melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah
SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali
bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya. Dalam konsep
ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a memilih tidak menerima
titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini
menimbulkan implikasi yang berbeda yaitu pertama, dengan mengambil uang itu sebagai
pinjaman ia mempunyai hak untuk memanfaatkan, kedua karena bentuknya pinjaman maka
ia wajib mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat Ibnu Abbas. r.a juga pernah melakukan
pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari
Makkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair yang tinggal di Irak. Pada masa sekarang perihal ini
biasa kita sebut dengan Transfer.
Penggunaan cek juga tela dikenal luas seiring dengan meningkatnya lalu lintas
perdagangan antara negeri Syam dan negeri Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali
dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a menggunakan cek
untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini,
mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu di impor dari Mesir. Disamping itu
pemberian modal kerja seperti mudharabah, muzara’ah dan musawah juga telah dikenal
sejak awal diantara kaum muhajirin dan anshor.
Beberapa Istilah Perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqh, seperti
istilah kredit (Inggris : credit, Romawi : credo) yang diambil dari istilah qord. Credit dalam
bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, credo berarti kepercayaan sedangkan qord
dalam fiqh beraarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu juga dengan istilah
cek (Inggris :check, Prancis : cheque) yang diambil dari istilah Suq, Suq dalam bahasa Arab
berarti pasar, sedangkan cek adalah alat pembayaran yang biasanya digunakan di pasar.
Gagasan awal diadakanya bank islam adalah untuk menghindari riba, pada masa
Rasulullah, yang membawa risalah Islam bagi umat manusia, telah memberikan rambu-
rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang dapat dikembangkan pada masa
berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang yang dilarang karena tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Salah satu larangan itu adalah usaha yang mengandung riba, dimana
ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia
sekitar 60 tahun. Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini.
Dalam hubungan inilah peranan ijtihad para cendekiawan muslim sangat diharapkan untuk
menggali konsepsi dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syari’ah.
Dengan demikian jelas, bahwa meskipun pada zaman Rasulullah secara formal
belum ada lembaga perbankan, namun dari realitas amalan para sahabat pada saat itu
menggambarkan fungsi lembaga Perbankan. Bahkan akad-akad yang dilakukan oleh para
sahabat pada saat itu, seperti fungsi penitipan, memberikan pinjaman, pengiriman uang,
melakukan pembiayaan modal kerja, dan lain-lainyang menjadi prinsip-prinsip utama dalam
mengembangkan Perbankan Syari’ah. Di zaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut
dilakukan oleh perorangan dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi.
Pada zaman bani Abbasiyah ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.
Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu telah dikenal sejak zaman Bani
Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika banyak beredar jenis mata uang
pada saat itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antar mata uang. Hal ini
diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlaianan
sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz.
Istilah Jihbiz itu sendiri mulsi dikenal sejak Khalifah Muawiyah (661-680) ynag
sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan
Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Kemajuan Praktik perbankan pada zaman Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah ini
ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan
peranan bankir telah meliputi tiga aspek yaitu menerima depositi, menyalurkan dan
mentransfer uang.Sehingga dari masa inilah istilah-istilah perbankan mulai dikenal luas oleh
umat islam pada saat itu.
1. 2 Sejarah Hukum Perbankan Islam di dunia Internasional
Gagasan awal mengenai Bank Islam memang sempat memberikan banyak komentar dari
beberapa kalangan yang saat itu banyak orang menilai mustahil dan tidak akan dapat
memberikan keuntungan jika mendirikan, karena memang dalam system manajemen
oprasinya ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, Terbukti awal abad ke 20
merupakan masa kebangkitan Islam dari “ketertidurannya” ditengah pergolakan dunia, Islam
mampu mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari dengan mendirikan
bank yang berbasis syari’ah.
Dalam kancah Internasional, Mesir selain tempat beridirnya Bank Islam pertama kali
juga sebagai pelopor perkembangan perbankkan Islam pertama kali, yang memang
sebelumnya tercetus dari konsep para pemikir-pemikir Islam yaitu Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952), dengan menawarkan sistem bagi hasil
untuk perbankan. Yang kemudian dibuat gagasan pendahuluan oleh ulama besar Pakistan
Abal A’la Al Mawdudi (1961) dan Muhammad Hamidullah (1962).
Perintisan penerapan sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga
keuangan yang berbasis syari’ah, tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya dalam
mengelola dana jama’ah haji secara non konvensional di Pakistan dan Malaysia.Barulah
kemudian dalam konsep kelembagaan dari perwujudan perbankkan syari’ah mendirikan
Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr pada tahun 1963, yang tercatat sebagai bank Islam
pertama kali, atas binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz El- Nagar yang dalam hal pendanaannya
mendapatkan bantuan dari Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo Mesir. selain
itu Bank Islam pertama ini dianggap berhasil mendapatkan prestasi dengan memadukan
manajemen perbankkan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan
menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang
sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian, akan tetapi pada tahun 1975 bank ini
di tutup karena persoalan politik saat itu. Kemudian seiring pembentukan konsepsi-konsepsi
perbankan Islam dalam dunia internasional Mesir kembali berhasil mendirikan bank Islam
dengan nama Nasser Social yang lebih cenderung bersifat sosial dibanding komersil.
Secara kolektif gagasan awal berdirinya bank sayari’ah di tingkat internasional,
muncul pertama kali dalam konfrensi Negara-negara Islam se-dunia di Kuala Lumpur
Malaysia pada bulan april 1969, yang di ikuti 19 negara peserta. Dari hasil konfrensi tersebut
lahir beberapa hal, diantaranya:
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk
riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya.
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syari’ah yang bersih dari system riba dalam waktu
secepat mungkin.
3. Sementara waktu menunggu berdirinya bank syari’ah, bank-bank yang menerapkan
bunga diperbolehkan beroprasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Kemudian untuk melebarkan kiprah perbankkan Islam di dunia Internasioanl
pemerintah Mesir dalam hal ini terwakili oleh menteri luar negeri mengajukan proposal
tentang studi pendirian bank Islam internasional untuk pembangunan dan perdagangan
serta pengajuan proposal pendirian fedrasi bank Islam dalam rapat menteri luar negeri
Negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang saat itu di Karchi Pakistan, bulan
Desember 1970, Dalam persetujuan pengesahan proposal itu juga memberikan beberapa
usulan tambahan yaitu pembentukan badan infestasi dan pembangunan Negara-negara
Islam, serta pembentukan asosiasi bank-bank Islam sebagai badan konsultatif masalah-
masalah ekonomi dan perbankkan Islam. Kemudian dalam follow up nya pada sidang
menteri luar negeri OKI di Benghazi Libya bulan maret 1973 rencana tersebut kembali
diagendakan dengan menghasilkan beberapa kesimpulan, sampai pada berikutnya pada
bulan Juli 1973 diadakan pertemuan komite ahli, perwakilan dari Negara-negara Islam
penghasil minyak yang bertemu di Jeddah dengan pembahasan agenda yang sama
(pendirian bank Islam). Kemudian dalam follow up nya yang kedua pertemuan antara
menteri-menteri luar negeri OKI di Jeddah menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan IDB
(ISLAMIC DEVELOPMENT BANK) yang bermodalkan awal 20 Milyar Dinar atau ekuivalen 2
Milyar SDR (special drawing right) IMF dengan beranggotakan semua Negara OKI.
Kemudian dalam dekade awal 1980-an setelah resmi didirikannya IDB dalam hasil
kesepakatn pertemuan beberpa menteri luar negeri OKI di Jeddah, tumbuh beberapa Bank-
Bank Islam lainnya yaitu Dubai Islamic Bank pada tahun 1975 yang dalam kedudukannya
adalah sebagai Bank Islam swasta pertama kali, Faysal Islamic Bank yang berdiri di Mesir
dan Jedah pada tahun 1977, Kuwait Fenance House pada tahun 1975, Jordan Islamic Bank
for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance
and Development atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies,
seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic
Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic
Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Dalam perkembangan berikutnya, system perbankkan syari’ah mendapatkan
sambutan baik di mata internasional terbukti pada bulan Agustus 1998 tercatat ada 200
buah, di antaranya 160 berupa bank, dan sisanya adalah lembaga keuangan non bank, ini
semua memang terpengaruh dari system menejemen syari’ah yang berorientasi pada etika
bisnis yang sehat. Tak hanya itu perkembangan perbankkan Islam juga merambah pada
Negara-negara non Islam yang jumlahnya pun juga relative besar. Lain dari itu atas
prestasinya dalam menggaet perhatian internasional kedudukan bank syariah berhasil
menjalin kerjasama dengan bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank
syar’iah. Hal tersebut terlihat dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka
sistem tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syari’ah,
misalnya Islamic Windows di Malaysia, The Islamic Transaction di cabang Bank Mesir, dan
The Islamic Services di cabang-cabang bank perdagangan Arab Saudi. Produk-produk
investment banking yang islami juga di tawarkan oleh Fund Manager Konfensional seperti
The Wellington Management Company (USA), Oasis Internasional Equity Fund dari
Flemings Bank (Inggris), State Street Investment (USA), Kleintwonth Benson Bank (Inggris),
Hongkong Shanghai Bangkong Corp. (HSBC-London), dan ANZ Bank (Melbourne-London).
Dan sisi pengguna jasa perbankkan syari’ah, tercatat beberapa perusahaan multinasional
seperti KFC, XEROX, General Motors, IBM, General Electric, dan Chrysler. Dari pesatnya
pertumbuhan bank syari’ah di mata internasional ironi memang terhitung sampai tahun 2007
tak ada satupun bank syari’ah yang masuk kedalam 100 bank terbesar didunia dilihat dari
jumlah asetnya maupun modalnya.
1. Mudharabah
Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban
yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki
konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para
fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya
dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan
dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan
penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang
sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal
memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Mudharabah juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak
untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara
pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah
fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal
menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan
akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan
kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an,
as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Menurut para ulama, Pihak pemodal (Investor) menyerahkan
sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat
bagian tertentu dari keuntungan.
“Maka apabila shalat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah
keutamaan Allah dan ingatlah allah banyak-banyak, sup[aya kamu beruntung” (Q.S al-
Jum’ah : 10)
A. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’
atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya
langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan
penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar
seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa
barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad
transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya
seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib
(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan
harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah
tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian
keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika
akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu,
sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
B. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya,
seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
3. Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang
terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan
transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras
dan sebagainya.
4. Pembatasan Waktu Penanaman Modal, diperbolehkan membatasi waktu usaha
dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar
dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan
berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.
C. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.
Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal
(investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk
pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka
tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan
untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka
ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.
Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal
(investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase
bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan
nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian
keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah.
Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan
sebagian lainnya untukku.
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum
dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan
masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan
tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh
bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan
itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa
saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya
bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah
pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan
aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti
harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
D. Pelafalan perjanjian.
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi
yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul.
Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan
yang menunjukkan maksudnya.
Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah
satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat
dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan
akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi
harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan
perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang
didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama
dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan
dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
• Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti
mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau
tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya.
Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan
maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
• Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti
mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah
kepadanya dari harta yang lainnya.
• Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan
kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan
keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini
untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan
nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati
kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari
salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.
2. Murabahah
A. JENIS MURABAHAH
1. Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah
memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan
barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut
B. Syarat Murabahah
1. Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik
(dewasa), dan mereka saling meridhai (rela)
2. Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis
yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3. Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya,
semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan
tertulis.
• Al-Qur'an
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka rela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu." (QS.An-Nisa’ : 29)
• Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut
Ibnu Hibban)