Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak
lebih dari 101,0% C8H9NO2. Berupa hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa
sedikit pahit. Kelarutan parasetamol sangat sedikit larut dalam air dingin, lebih larut dalam
air panas/mendidih,larut dalam etanol, metanol, aseton dan dietil asetat, sangat ssedikit
larut dalam kloroform, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam petroleum eter, pentana
dan benzena. Disimpan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. Simpan dalam
suhu ruang, hindarkan dari kelembapan dan panas. Tablet parasetamol mengandung
parasetamol C8H9NO2 tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110% dari
jumlah yang tertera pada etiket (Kemenkes RI, 2014; Moffat, dkk., 2005).
Acetaminophen merupakan tablet lepas langsung (Immediate Release)
sehingga uji disolusinya dapat dilakukan dengan apparatus tipe 1 dan apparatus tipe
2. Uji disolusi tablet acetaminophen dilakukan dengan menggunakan medium buffer
fosfat pH 5,8 sebanyak 900 mL menggunakan apparatus tipe 2 dengan kecepatan 50
rpm dengan waktu uji selama 30 menit. Penetapan kadar acetaminophen dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometri UV dengan absobansi maksimum sebesar
243 nm, dimana toleransi dari uji disolusi pada acetaminophen adalah tidak kurang
dari 80% acetaminophen yang larut (American Medical Association, 2009).
Toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) parasetamol,
C₈H₉NO₂dari jumlah yang tertera pada etiket (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.1. Struktur Parasetamol (Kemenkes RI, 2014).


2.2. Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat
padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat
dan pelarut (Ansel, 1989). Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang
dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus
dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (Sulaiman, 2007).
Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur, keregasan,
keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat
memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi
tablet atau kapsul. Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk
padat kedalam larutan pada suatu medium. Disolusi menunjukkan jumlah bahan
obat yang terlarut dalam waktu tertentu. Disolusi menggambarkan efek obat secara
invitro, jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan
khasiat secara invitro (Syukri, 2002).
Uji disolusi merupakan suatu metode fisika yang penting sebagai parameter
dalam pengembangan mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran
kecepatan pelepasan dan pelarutan zat aktif dari sediaanya. Uji disolusi digunakan
untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan
dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh. Uji disolusi bertujuan untuk
memprediksi korelasi bioavailabilitas in vivo dari produk obat. Disolusi penting
sebagai petunjuk untuk pengembangan formulasi dan produk obat, kontrol kualitas
selama proses produksi, memastikan kualitas bioekivalen in vitro antar batch, dan
regulasi pemasaran produk obat (Sari et al., 2013).
Kinetika uji disolusi in-vitro memberi informasi yang sangat penting untuk
meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in-vivo. Persyaratan
uji disolusi pertama sekali dicantumkan dalam NF XIII (1970) dan USP XVIII
(1970) untuk satu macam kapsul dan 13 macam tablet. Persyaratan yang dimaksud
bukan hanya persyaratan nilai Q (jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang
ditentukan), tetapi termasuk prosedur pengujian, medium disolusi dan peralatan
serta persyaratan pengujiannya (Putri, 2016).
Bila suatu tablet atau sediaan obat dimasukkan ke dalam beaker glass yang
berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat
tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut
tidak dilapisi polimer dan matriks padat maka akan mengalami disintegrasi menjadi
partikel-partikel halus. Efektifitas dari suatu tablet dalam melepaskan zat aktif
untuk diabsorpsi sistemik bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan
deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah
laju disolusi dari obat padat tersebut (Putri, 2016). Keseluruhan laju disolusi dapat
digambarkan oleh persamaan Noyes-Whitney (Pertiwi, 2015)

dM/dt = (D S / h) (Cs – Cb)

Keterangan :
- dM/dt = laju pelarutan obat pada waktu t
- M = jumlah massa terlarut (mg atau mmol) terhadap t waktu (detik)
- D = koefisien laju difusi (cm2/s)
- S = luas permukaan partikel (cm2)
- h = ketebalan dari lapisan film cair (stagnant layer) yang terbentuk
- Cs = konsentrasi obat (sama dengan kelarutan obat) dalam stagnant layer
- Cb = konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut
Dalam banyak uji disolusi kosentrasi pada bulk medium selalu jauh lebih
kecil dibandingkan dengan larutan jenuh (Cs > Cb). Kondisi ini disebut dengan
kondisi hilang atau sink condition, sehingga Cb bisa dihilangkan dari persamaan di
atas. Sehingga persamaan Noyes-Whitney menjadi sama dengan persamaan hukum
difusi Fick pertama (Pertiwi, 2015).

dM/dt = D SCs / h

2.3. Alat Uji Disolusi


Terdapat beberapa tipe alat yang dapat digunakan untuk menguji disolusi
suatu sediaan obat, diantaranya :
2.3.1. Tipe Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca
atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang di
gerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian
dalam suatu tangas air sehingga suhu dapat dipertahankan 37° ± 0,5° C selama
pengujian berlangsung. Pada bagian atas wadah dapat digunakan suatu tutup yang
pas untuk mencegah penguapan. Batang logam berada pada posisi sedemikian
sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertikal wadah,
berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Batas kecepatan yang
memungkinkan untuk memilih kecepatan dan mempertahankan kecepatan seperti
yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4% (Depkes
RI, 1995). Dibawah ini terdapat gambar dari metode keranjang:

Gambar 2.2. Alat Uji Disolusi Tipe Keranjang (Depkes RI, 1995).
2.3.2. Tipe Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri dari dayung yang berfungsi untuk memperkecil
turbulensi yang disebabkan karena pengadukan. Dayung diikat secara vertikal
kesuatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau
kapsul diletakan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air
yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37oC.
Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil pelarutan. Sehingga metode dayung sangat peka terhadap
kemiringan dayung (Depkes RI, 1995). Jarak dari 25mm ±2mm antara bagian
bawah pisau dan bagian dalam tabung terbungkus selama pengujian. Pisau dan
tangkai dayung dapat dilapisi dengan bahan yang cocok selama tetap inert. Dosis
diperbolehkan untuk tenggelam kedalam dasar wadah sebelum rotasi pisau dimulai
(American Medical Association, 2009). Pada beberapa produk obat, kesejajaran
dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan (Depkes
RI, 1995).

Gambar 2.3. Alat Uji Disolusi Tipe Dayung (Depkes RI, 1995).
2.3.3. Tipe Reciprocating Cylinder
Alat uji disolusi tipe Reciprocating Cylinder memiliki rangkaian labu kaca
yang datar dengan bentuk silinder serta satu set silinder kaca yang bergerak bolak-
balik, semua alat dibuat dari bahan inert atau sesuai. Kasa polipropilen yang
dirancang untuk menyambungkan bagian atas dan bawah silinder yang bergerak
bolak-balik serta motor dan unit penggerak untuk mengimbangi silinder secara
vertikal didalam bejana. Sebagian labu dicelupkan ke dalam penangas air dengan
suhu 37o ± 0,05 selama pengujian (American Medical Association, 2009).

Gambar 2.4. Alat Uji Disolusi Tipe Reciprocating Cylinder


2.3.4. Tipe Flow Through Cell
Tipe Flow Through Cell Perakitan aparatus ini terdiri atas reservoir dan
pompa untuk media disolusi, flow through cell dan penangas air yang digunakan
untuk mempertahankan media disolusi pada 37o ± 0,5o C. Metode ini menggunakan
ukuran sel yang telah ditentukan yang disesuaikan dengan monografi (American
Medical Association, 2009). Pompa akan memompa atau mendorong medium
disolusi melalui flow through cell. Pompa ini memiliki daya pengantaran diantara
240 dan 960 ml/jam dengan kekuatan standar pengaliran mencapai 4,8 dan 16 mL
per menit. Aliran ini harus bersifat konstan (± 5% dari laju aliran nominal). Laju
aliran memiliki arus sinusoidal atau bergelombang dengan penghantaran
gelombang mencapai 120 ± 10 gelombang per menit (American Medical
Association, 2007).

Gambar 2.5. Alat Tipe Flow Through Cell


2.3.5. Tipe Paddle Over Disk (Dayung di Atas Cakram)
Tipe ini menggunakan dayung dan labu dengan kecepatan 75 rpm selama
30 menit disertai dengan penambahan suatu cakram baja tahan karat yang dirancang
untuk menahan sediaan transdermal pada dasar labu. Cakram yang digunakan untuk
menahan sediaan trandermal dirancang sehingga antara dasar labu dengan cakram
minimal tidak terukur volumenya (Kemenkes RI, 2014). Uji disolusi dilakukan
dengan menambahkan media disolusi ke dalam labu. Suhu yang digunakan 320 ±
0,50. Uji disolusi dilakukan dengan menambahkan media disolusi ke dalam labu.
Suhu yang digunakan 32 ± 0,5 serta alat tanpa cakram dipasang. Sediaan uji
diletakkan pada cakram serta pastikan agar permukaan pelepasan sediaan rata.
Untuk melekatkan sediaan pada cakram dapat digunakan perekat yang sesuai.
Keringkan selama satu menit kemudian tekan sediaan dengan posisi permukaan
perlepasan menghadap ke atas sisi cakram yang dilapisi perekat. Cakram yang
digunakan diletakkan mendatar pada dasar labu dengan permukaan perlepasan
menghadap ke atas dan sejajar dengan ujung bilah dayung serta permukaan media
disolusi, jarak antara ujung dayung bagian bawah dan permukaan cakram adalah 25
± 2 mm. Alat dijalannya dengan kecepatan yang tertera seperti pada monografi
sampel. Cuplikan diambil dari bagian tengah antara permukaan media disolusi dan
bagian atas bilah dayung tidak kurang dari 1 cm dari permukaan dinding labu.
Kadar sampel ditetapkan sesuai dengan monografinya (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.6. Alat Tipe Paddle Over Disk


2.3.6. Tipe Silinder (Rotating cylinder)
Alat uji tipe silinder merupakan jenis aparatus untuk menguji suatu disolusi
yang spesifik atau khas dengan susunan konfigurasi bejana tanpa menggunakan
pengaduk silinder yang biasa digunakan pada aparatus dayung dan basket. Pada
aparatus ini menggunakan batang pengaduk yang terbuat atas stainless steel dengan
tambahan suatu alat yang dapat dilepas, alat ini digunakan untuk lapisan
transdermal yang lebih besar. Tempat pengukuran atau takaran bahan ditempatkan
pada silider pada awal setiap pengujian. Jarak antara bagian dalam bejana dengan
silinder dipertahankan pada posisi sejauh 25 ± mm selama pengujian. Cara
pengujian dilakukan dengan memasukkan media disolusi ke dalam labu pada alat.
Media disolusi yang digunakan dipanaskan hingga mencapai suhu 320 ± 0,50.
Sistem dan curophan ditempatkan pada permukaan yang bersih dan gunakan bahan
perekat yang sesuai pada batas curophan yang terpapar. Sistem dikeringkan selama
1 menit. Silinder ditempatkan dalam alat yang diputar sesuai dengan kecepatan
yang tertera pada monografi sampel. Sesuai dengan interval waktu diambil
sejumlah media disolusi dari media tengah antara permukaan media disolusi dan
ujung silinder yang berputar tidak kurang 1 cm dari dinding labu. Analisis
dilakukan sesuai dengan monografi pada masing-masing sampel (Kemenkes RI,
2014).

Gambar 2.7. Alat Tipe Silinder (Kemenkes RI, 2014).


2.3.7. Tipe Penyangga Bolak-Balik (Reciprocating Disc)
Alat disolusi tipe penyangga bolak-balik merupakan modifikasi dari
aparatus sebelumnya sehingga dapat mengukur disolusi tidak hanya untuk
transdermal produk tetapi juga berbagai produk sustained-release. Prinsip aparatus
ini menggunakan pengukuran volumetri ataupun gravimetri yang telah dikalibrasi
dan alat mekanik yang mampu spesifik holder. Volume bejana yaitu 50-7 5 mL.
Volume bejana yang biasanya digunakan yaitu 50 mL dengan penggunaan
minimum saat pengujian yaitu 25 mL. Alat digunakan dengan meletakkan
penyangga sampel pada pengaduk yang dapat bergerak naik turun dengan suhu 320
± 0,50. Kecepatan untuk menurun dan menaikkan alat kurang lebih 30 kali permenit
dengan amplitudo kurang lebih 2 cm untuk waktu dalam media yang ditentukan
pada tiap titik pengambilan cuplikan. Penetapan kadar untuk sampel dilakukan
sesuai monografinya (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.8. Alat Tipe Penyangga Bolak-Balik (Kemenkes RI, 2014).


2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan
biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:
1 Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat
Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan komleksasi serta ukuran
partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan
berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti
terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi.
2 Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara
pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada
kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan
bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan
menurun menurut urutan sebagai brikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet
salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan
masalahnya sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut
akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi,
seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet-kaplet, suppositoria,
suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan
pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin
akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan
pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan
prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan
berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada
granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat
sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan
disolusi yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di
antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan
porositas.
3 Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi
kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai.
Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan
difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.
Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang
kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan
mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro
penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran
cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode
penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang
sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan.
(Syukri, 2002).
Menurut Dressman and Kramer (2005), terdapat beberapa faktor-faktor
lainnya diantara lain:
1 Suhu
Meningkatnya suhu umumnya dapat memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.

2 Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat.
Meningkatnya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan
disolusi.
3 pH pelarut
Kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah dan basa lemah dipengaruhi oleh
pH pelarut. Suatu senyawa asam lemah akan memiliki kelarutan yang lebih
besar pada pelarut dengan pH tinggi. Demikian dengan senyawa basa lemah
akan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam pelarut dengan pH rendah.
4 Kecepatan pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa jenis zat.
Pada zat yang mudah menggumpal setelah menjadi partikel, maka kecepatan
pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya agregat sehingga
pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik. Pengadukan yang cepat
menyebabkan tipisnya lapisan difusi sehingga kecepatan disolusi akan
meningkat.
5 Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel zat maka luas permukaan efektif semakin besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.
6 Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda
juga.
7 Sifat Permukaan Zat
Adanya surfaktan di dalam pelarut menyebabkan tegangan permukaan antar
partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi.
Akibatnya, kecepatan disolusinya bertambah.
2.5. Fungsi Uji Disolusi
Menurut Ansel (1989) pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro
digunakan untuk:
1 Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam
model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila
dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
2 Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat
disolusi dan absorbsinya sesuai.
3 Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu
untuk produk akhir.
4 Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk
sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah
ditetapkan.
5 Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan
manufaktur.
6 Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi
zat aktif yang baru.
7 Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh
karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan
dengan penggunaan sistem.
American Medical Association. 2009. United States Pharmacopeia 30 th Edition.
USA: American Medical Association.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI
Press.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Dressman, J. dan J. Kramer. 2005. Pharmaceutical Dissolution Testing. London:
Taylor and Francis Group.
Moffat, A. C., M. D. Osselton, B. Widdop, and L. Y. Galichet. 2005. Clarke's
Analysis of Drugs and Poisons 3rd edition. London: Pharmaceutical Press.
Sulaiman, T. N. S. 2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Mitra Communications Indonesia.
Kemenkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Syukri. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press.

Anda mungkin juga menyukai