Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan kajian terhadap ketunalarasan dimulai;
bahkan kapan bangsa Indonesia mulai peduli terhadap penyandang cacat dan bentuk-bentuk
kepeduliannya juga belum pernah di dokumentasikan.

Menelusuri perkembangan kajian atas ketunalarasan tidaklah mudah. Tuna laras sebenarnya
telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, tetapi jenis kecacatan ini diberi label yang berbeda-
beda, bahkan sering dianggap bagian dari jenis kecacatan lain. Baru pada abad XX ini, tuna laras
mulai dikaji secara sistematik ( Lewis, 1974)

Kauffman (1985) mengadakan periodisasi perkembangan kajian atas ketunalarasan menjadi


tiga periode, yaitu sebelum abad XIX, abad XIX, dan abad XX.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tunalaras pada sebelum abad XIX?
2. Bagaimana perkembangan tunalaras pada abad XIX?
3. Bagaimana perkembangan tunalaras pada abad XX?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan tunalaras pada sebelum abad XIX
2. Untuk mengetahui perkembangan tunalaras pada abad XIX
3. Untuk mengetahui perkembangan tunalaras pada abad XX

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tuna laras Sebelum Abad XIX


Sebelum abad XIX, para penyandang tuna laras disebut gila (sedangkan penyandang tuna
grahita disebut idiot) dan umumnya dianggap sebagai kerasukan setan. Baik anak-anak maupun
orang dewasa yang menunjukkan penyimpangan tingkah laku dihukum dengan cara yang sma,
seperti penyiksaan, penelantaran, ataupun melukai sampai berdarah. Hal ini berlangsung
sampai akhir abad XIX, atau berakhirnya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.
Orang yang pertama kali mempelopori perubahan dalam penanganan tuna laras adalah
seorang dokter Perancis, yang juga termasuk salah seorang psikiater pertama di dunia, Phillipe
Pinel pada akhir Revolusi Perancis. Pinel menggunakan pendekatan moral yang menekankan
pada perlakuan secara baik dan pembicaraan dari hati ke hati. Dengan pendekatannya, PInel
mencoba menangani beberapa pasien mental kronis yang telah disekap dan disiksa di rumah
sakit Bicetre.
Salah seorang murid Pinel, juga seorang dokter Perancis, bernama Jean More Garpard Itard,
pada akhir 1700 an. Sampai awal 1800 an mencoba mendidik seorang anak bernama Victor
yang ditemukan di hutan. Meskipun Itard menganggap anak ini idiot (tuna grahita berat), dari
deskripsi yang diberikannya, Victor juga menunjukkan karakteristik anak tuna laras berat. Itard
mencoba mengajar anak ini dengan keterampilan praktis, termasuk berbicara, dan meskipun
Victor hanya mampu mengucapkan beberapa kata, upaya Itard dianggap sangat berhasil .
metode yang dipakai oleh Itard ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Edward Sequin
pada abad XIX, dan banyak prinsip pengajar bagi anak tuna laras dan tuna grahita ini bersumber
dari buah karga Itard, yang dikenal dengan metode multisentori.
Pada waktu yang hamper bersamaan, di Amerika juga terjadi satu rintisan bagi
pengembangan pendidikan anak tuna laras yang dipelopori oleh bapak psikiater AS, yaitu Dr.
Benjamin Rush menentang keras penggunaan berbagai bentuk kekejaman dan hukuman badan
untuk mengendalikan tingkah laku. Dunia ini diciptakan dengan kasih saying. Anak hars
dilindungi dari berbagai kekerasan dan kekejaman, dan menyakiti anak sebenarnya sama
dengan menyakiti orang dewasa di masyarakat. Dr. rush sangat mendukung upaya pendidikan
bagi semua anak, sehingga metode pengendalian tingkah laku haris berorintasi pada pendidikan
dan kasih saying. Pendekatan yang dikenal dengan moral ini banyak dipakai di tempat-tempat
penampungan anak tuna laras (lunatic asylums) di AS para pertengahan abad XIX.

2
B. Perkembangan Tunalaras pada Abad XIX
Ada beberapa perkembangan penting yang terjadi pada abad XIX, antara lain mulai
dikenalnya perbedaan antara tuna grahita dan tuna laras, munculnya beberapa teori tentang
penyebab ketunalarasan, mulai munculnya upaya penanganan secara sistematik, dan mulai
terbitnya buku-buku tentang ketunalaran.
1. Tunagrahita dan tunalaras
Perbedaan formal antara tunagrahita dan tunalaras sebenarnya baru dikenal sejak
pertengahan abad XIX. Sebelumnya, kedua jenis kecacatan ini dianggap menjadi satu
kategori, yaitu idiot. Hal ini tidak mengherankan, karena sekarangpun, karakteristik
penyandang tunagrahita dengan tunalaran tidak banyak berbeda, terutama pada tingkat
berat. Pada tingkat ringan, tunagrahita dan tunalaras memang mudah dibedakan.
Pengaburan istilah tunagrahita dan tunalaras pada awal abad XIX dapat dilihat dalam
beberapa deskripsi tentang anak idiot pada saat itu yang pada saat mungkin dapat
dikategorikan sebagai psikotik atau autistic. Victor yang dideksripsikan sebagai idiot oleh
itard pada akhir abad XVIII, misalnya, juga menunjukkan tanda-tanda anak tunalaras.
Seorang dokter Perancis, Esquirol, menggambarkan seorang gadis berusia 11 tahun yang
dianggap imbisil yang dirawat di RS. Salpetrieri, antara lain menyebutkan bahwa gadis
tersebut “biasanya duduk dengan bersilang kaki, tangan bersilang di dadanya, sering
mengangkat pundaknya, sehat dan banyak makan, selalu ,mengkhwatirkan apa yang akan
di makan, sering menyelinap ke took roti sebelah rumah dan langsung melahap roti sebelah
rumah dan langsung melahap roti yang ada di dekatnya, mengambil sebuah minuman keras
dan jika ada yang mencoba mencegahnya, botol langsung dibantingnya, sering ngompol
tetapu selalu menyalahkan pembantunya, membenci teman sekamarnya”. Dokter Perancis
lain di R.S Bicere, Dr. Brigham, mengggambarkan pasien idiot bernama Charles Emile, antara
lain sebagai berikut: anak ini seperti binatang, tidak ada satupun yang dekat dengannya,
hamper tidak mempunyaikecerdasan. Lepas dari dunia di sekitarnya, brutal, memalukan,
merusak, membakar atau menghancurkan apapun yang ada di dekatnya, jika dicegah, dia
akan menggigit, memukul, menggaruk, sampai luka berdarah. Dari beberapa deskripsi
terlihat bahwa pengertian tunalaras belum dikenal, sedangkan karakteristik dianggap
merupakan karakteristik anak idiot (tunagrahita). Bahkan karena penyimpangan tingkah
laku sering terjadi disertai dengan jenis kelainan lain, seperti tuna rungu, tunagrahita,
tunanetra, dan sebagainya, tidak sedikit panti penampungan anak tunagrahita, tunarungu,
atau tunanetra yang juga menampung anak tunalaras.

3
Salah satu upaya pemahaman terhadap perbedaan antara tunagrahita dan tunalaran
di antaranya dimulai oleh tokoh PLB terkemuka di AS pada 1850-an, yaitu Samuel Gridley
Howe. Howe menggunakan istilah simulative idiocy untuk anak tunalaras, yaitu mereka
yang sebenarnya tidak tunagrahita tetapi tampak seperti tunagrahita. Baru pada tahun
1886, ada pemisahan resmi di Inggris antara gila (tunalaras insanity) dan dungu ( tuna
grahita – feeblemindedness).
2. Teori etiologic tuna laras.
Pada abad XIX, kepercayaan bahwa tuna laras disebabkan karena kerasukan setan
sehingga harus disembuhkan dengan cara keagamaan sudah tidak popular. Tetapi
kepercayaan yang muncul yang juga sama anehnya ialah adanya hubungan antara
masturbasi dan tuna laras (gila). Dijelaskan bahwa masturbasi dapat menybabkan atau
paling tidak memperparah penyimpangan tingkah laku. Hal-hal lain yang dianggap menjadi
penyebab tuna laras juga menggelikan, seperti kekosongan jiwa, malu tersmst luar biasa,
oerut terpukul, mandi di air dingin, tidur di jerami baru, mempelajari metafisika, membaca
buku-buku yang menakutkan, kebahagiaan secara mendadak, berdoa terus menerus selain
17 hari 17 malam, kagum luar biasa atas serta karya seni dan sebagainya.
Beberapa psikiater mulai mengidentifikasi beberapa penyebab tuna laras yang
sekarang juga menjadi perhatian, seperti Parkinson dan West menyebut interaksi antara
kondisi emosi dengan pendidikan/pola asun bayi, proteksi berlebihan, terlalu dimanja dan
disiplin yang tidak konsisten. Dengan, demikian, lingkungan anak yang paling banyak
memberi kontribusi pada munculnya perilaku menyimpang.
Menjelang akhir abad XIX, teori evolusi mempunyai pengaruh yang sangat kuat.
Dalam bidang PLB, tulisan Henry H. Goddard, seorang tokoh PLB AS pada akhir abad XIX
yang sangat dipengaruhi oleh Darwin berpengaruh besar pada teori ekologi ALB. Khusus
yang berkaitan dengan ketunalarasan, tulisan ini beranggapan bahwa yang diturunkan.
Untuk mencegah berbagai kecacatan, perkembangbiakan manusia harus diatur secara
selektif (selective breeding), artinya hanya mereka yang sempurna yang boleh mempunyai
cacat ini, agar generasi akan dating terbebas dari kecacatan.
3. Intervensi
Jika pada abad XVIII, teknik intervensi yang paling banyak digunakan bagi penyandang tuna
laras berupa penyiksaan fisik seperti pemenjaraan, kekejaman, hukuman, penelantaran dan
sebagainya, pada abad XIX, apa yang telah dirintis oleh Pinel berupa penanganan secara
moral/psikologis mendominasi teknik intervensi di berbagai tempat di dunia. Pendekatan
ini mempunyai beberapa karakteristik, antara lain menekankan pada kegiatan yang

4
konstruktif (rekreasi, okupasi, vokasional, music, olahraga) penanganan dengan pendekatan
dari hati ke hati, pengekangan secara minimal dan penyembuhan secara rutin, terstruktur
dan konsisten.
Salah satu karakteristik penanganan secara moral/psikologis pada abad XIX juga
perhatiannya pada pendidika. Sekolah-sekolah khusus berasrama bagi anak tunalaras dan
tunagrahita dibuka di berbagai Negara. Memang sudah ada sekolah khusus bagi anak
tunalaras dan tunagrahita dibuka di berbagai Negara. Memang sudah ada sekolah khusus
bagi anak tunalaras (gila), tetapi sebagian besar anak tunalaras berada di sekolah khusus
bagi anak tunagrahita (idiot). Dilaporkan bahwa proses belajar menhajar yang ada sudah
cukup maju, dengan memanfaatkan buah karya Home, Itard dan Segmen, antara lain
ditandai dengan sesmen secara individual, sangat terstruktur, sistematik, terarah dan
multisensory, serta menekankan pelatihan bina diri bagi penyandang cacat berat,
penggunaan games dan lagu dan dorongan positif.
Pada abad XIX, perhatian yang besar juga mulai diberikan pada remaja yang nakal,
agresif, tidak patuh, atau terlantar tetapi tidak gila atau idiot. Remaja ini yang sekarang
dikenal dengan penyandang tunalaras tingkat sedang, kebanyakan akhirnya dipenjarakan
bersama orang dewasa. Pada saat itu, muncullah panti-panti penampungan bagi remaja-
remaja ini, dengan tujuan merehabilitasi mereka. Penanganan anak-anak ini di panti
menggunakan pendekatan yang sangat manusiawi dan bersifat kekeluargaan.
Dengan adanya wajib belajar di AS pada abad XIX, penanganan anak-anak cacat di
sekolah biasa sangat dimungkinkan. Salah satu factor yang menyebabkan diperlukannya
wajib belajar di AS adalah banyaknya imigran yang masuk ke AS dari Negara-negara yang
tidak berbahasa Inggris, sehingga wajib belajar salah satu upaya amerikanisasi para imigran.
Yang menjadi masalah bahwa banyak anak-anak cacat yang tidak dapat mengambil
keuntungan dari system klasikal, karena proses belajar mengajar berdasarkan pada
kemampuan mayoritas kelas. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang putus sekolah, dan
kelas anak tunalaras, banyak yang turun ke jalan dengan berbagai bentuk kenakalan dan
kejahatan. Untuk mengatasi hal ini, ada dua pemecehan, yaitu dibukanya nanginded classe
(sekolah tidak mengenal tingkat, tetapi anak dikumpulkan berdasarkan usianya) dan
dibuknya kelas-kelas khusus bagi ALB di sekolah biasa.
4. Perkembangan lain.
Berbagai perubahan berkaitan dengan anak tunalaras, seperti kaitan antara tunagrahita dan
tunalaras, teori ekologi, dan intervensi seperti di atas memang terjadi pada tengah abad
pertama dari abad XIX. Pada tengah abad kedua, tidak banyak hal baru yang muncul, kecuali

5
keraguan-keraguan atas efektifitas berbagai program layanan yang ada. Tempat-tempat
penampungan dan institusi bagi penyandang tuna laras ternyata bukan komplek, termasuk
masalah sosial, ekonomi dan profesi.
Perkembangan lain yang terjadi adalah munculnya berbagai buku tentang tunalaras.
Buku-buku ini berisi teori ekologi dan klasifikasi tunalaras berdasarkan visi abad XIX.
Beberapa analisis di AS juga mulai memberikan layanan klinik bagi anak tunalaras,
sedangkan system peradilan anak pertama kali dibuka di AS pada tahun 1899.

C. Perkembangan Tunalaras Pada Abad XX


1 Pakar-pakar penting dalam ketunalarasan
Pakar yang bermunculan pada abad XX memang banyak sekali, sebagian besar
adalah warga negara Amerika Serikat,. Yang termasuk muncul pertama kali adalah Clifford
W. Beers, seorang muda yang brilian tetapi pernah mengalami breakdown syaraf yang
kemudian sembuh. Pengalaman pribadinya di RS Jiwa ditulis dalam sebuah buku yang
berjudul A Mind that Found Itself. Bersama-sama psikiater Adolph Meyer dan filosofis dan
psikolog William James, Beer kemudian mendirikan Komite Nasional bagi Kesehatan
Mental (di AS) yang antara lain mendorong perlunya deteksi dan pencegahan awal,
dibukanya program kesehatan mental di sekolah, dan dibukanya klinik bagi bimbingan
anak. Pada saat yang hampir bersamaan pada awal abad XX ini, kajian atas kenakalan
remaja dilakukan secara intensif oleh William Healy, bersama dengan psikiater dan
psikolog lain di Universitas Chicago; Alfred Binet memperkenalkan tes intelegensi untuk
mengukur kemampuan anak dan meramalkan prestasinya disekolah; Sigmund Freud
mengkaji tentang seksualitas anak dan perkembangan mental manusia ; dan Honry
Goddard beserta Walter Fernald mengemukakan kaitan erat antara tunagrahita dengan
kriminali.

Pada waktu Hitler berkuasa sebelum Perang Dunia II, banyak pakar dalam berbagai
bidang yang melarikan diri dari Jerman ke Amerika Serikat, beberapa diantaranya adalah
pakar-pakar tentang tuna laras. Mereka kemudian melanjutkan penelitiannya di AS.
Beberapa diantaranya adalah Bruno Bettelheim, Alfred A. Strauss, Heinz Werner, dan
Marianna Frostig. Bruno Bettelheim terkenal dengan million terapi untuk menangani
penyimpangan tingkah laku. Oleh Redl dan Wineman, terapi yang berasal dari model
psikoanalisa ini diterapkan dalam suatu teknik yang disebut life a space interview, yaitu
wawancara tentang seputar kehidupan anak. Alfred A. Strauss dan Heinz Werner terkenal
karena penelitiannya pada kesulitan belajar yang dialami oleh orang berintelegensi normal
yang disebabkan oleh kerusakan otak (brain damaged). Strauss mengidentifikasi
karakteristik anak-anak ini, sehingga jenis kelainannya disebut Strauss Syndrome, satu
diantaranya adalah gangguan emosi.

Nama lain yang muncul setelah pertengahan abad XX antara lain Herbet C. Quay
yang mengadakan klasifikasi ketunalarasan. Klasifikasi dari Quay inilah yang lebih banyak
dipakai dalam perlayanan pendidikan, karena lebih operasional daripada klasifikasi

6
psikiatrik (Diagnostig and Statistical Manual of mental Disorder –DSM III) yang disusun
oleh Americsn Pshichiatric Association.

2 Berbagai layanan bagi anak tuna laras


Sejak tahun 1920 an, klinik bagi anak-anak bermasalah dibuka diberbagai Universitas
dan sekolah di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan model lapangan yang diberikan oleh
psikiater sebelumnya, ada tiga hal yang baru, yaitu 1) adanya kerjasama antar disiplin
dalam penanganan anak. 2) jenis tingkah laku yang ditangani tidak terbatas pada tingkah
laku yang parah, tetapi juga tingkah laku yang mengganggu guru dan orang tua, 3)
perhatian juga diberikan tingkah hubungan antar individu dan sikap orang dewasa yang
mungkin berpengaruh pada anak.
Program pendidikan guru PLB pertama dibuka di Michigan pada tahun 1919, dan
pada waktu yang hampir bersamaan, beberapa propinsi mewajibkan sekolah-sekolah
umum untuk menyediakan layanan PLB. Tes psikologik mulai dipakai secara luas dank
arena kesehatan mental mendapat perhatian yang cukup bear, bimbingan dan konseling
sekolah mulai bermunculan. Tahun 1920 an juga ditandai dengan berdirinya The Council
For Exceptional Children, suatu organisas profsi dalam bidang PLB, dan The American
Orthopsychiatric Associiation yang beranggotakan tidak hanya para psikiater, tetapi juga
para psikolog klinis, pekerja sosial, dan para pendidik.
Rumah sakit jiwa bagi anak-anak di Amerika Serikat yang pertama dibuka pada
tahun 1931. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, sebagian besar sekolah umum di
Amerika Serikat telah menyediakan layanan PLB dalam bentuk kelas-kelas khusus. Sebagian
besar kelas-kelas khusus ini disediakan bagi anak-anak tuna grahita mampu didik,
sedangkan bagi anak tuna laras sangat sedikit, itu pun terbatas bagi anak-anak nakal dikota
besar.
Setelah Perang Dunia II, perhatian pada pendidikan anak tuna laras semakin besar.
Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa tokoh dengan temuan barunya seperti Bruno
Betteleheim dengan milien terapi; Alfred A Strauss dan Heinz Werner dengan syndrome
Strauss, penggunaan pendekatan pengajaran sangat terstruktur, konsisten, dan terbatas
dari gangguan lingkungan; Leonard Kornberg dengan pendekatan psikonnalitik yang
menekankan penggunaan wawancara mengenai diri anak dan lingkungannya; Ellie M.
Bowen dan N.M Lambert yang pertama kali menyusun instrument untuk mengidentifikasi
anak tuna laras pada tahun 1960 an; Herbert Quay dengan klasifikasi behavioristik tentang
ketunalarasan.
Pada intinya, setelah Perang Dunia II muncullah konsep bahwa gangguan emosi dan
penyimpangan tingkah laku merupakan kategori tersendiri dalam keluar biasaan, lepas dari
retardasi mental. Berbagai system layanan bagi anak-anak inipun muncul, seperti klinik
psikiater, dan belakangan muncul setelah khusus (residential scliol) bagi anak tuna laras
tingkat berat.

3 Perkembangan pendekatan dalam penanganan anak tuna laras


a. Pendekatan Psikoanalisa
Pendekatan ini menekankan penggunaan pengajaran klinis (clinical teaching) dalam
menangani anak tunalaras
b. Pendekatan Psikoedukatif

7
Tenik utama yang dipakai dalam pendekatan ini adalah life spase interview (wawancara
sekitar kehidupan anak) yang bertujuan untuk memperkuat ego anak dan membantu anak
memahami dan menafsirkan masalah yang sedang dihapdapi. Teknik life spase interview
ini sebenarnya merupakan gabungan antara unsure psikoanalisa dengan unsure
behavioristik.
c. Pendekatan Humanistik
Pendekatan ini merupakan pengaruh dari aliran individualisme dan humanisme yang
memang sedang menguat pada saat itu. Pada dasarnya, pendekatan ini menuntut system
pendidikan yang lebih bebas, lebih terbuka, lebih berpusat pada murid, seperti yang
disarankan oleh Carl Roger dan Abraham Maslow, keduanya tokoh humanisme. Penerapan
faham humanisme dalam PLB dipelopori oleh antara lain G. Dennison, H. Grossman, Peter
Knoblock, A, Goldstein. Karena tekanannya pada kebebasan, pendekatan ini sering disebut
sebagai radikal, berbeda dengan pendekatan terdahulu yang lebih menekankan pada
pembelajaran yang sangat terstruktur.
d. Pendekatan Ekologis
Pendekatan ini lehih menekankan hal yang baik/sehat daripada hal-hal negative, lebih
menekankan pengajaran daripada penyembuhan, lebih mengutamakan belajar daripada
pengubahan kepribadian, dan lebih menekankan masa kini dan yang akan dating daripada
masa lalu.
e. Pendekatan Behavioristik
Konsep modifikasi tingkah laku bersumber dari penelitian dan tulisan B.F Skinner pada
tahun 1950-an. Tetapi aplikasinya bagi anak-anak tuna laras merupakan pengaruh dari
beberapa pakar seperti Hainz Werner, Alfred Strauss, dan sebagainya. Tokoh ini yang
mnganut pendekatan behavioristik adalah William A. Cruickshank dan Norris G. Haring.
Kedua pakar ini berpendapat bahwa anak tuna laras sulit diduga, tidak konsisten, dan tidak
teratur dalam lingkungannya. Penanganan anak-anak ini harus menekankan pada
pengendalian rangsangan dari luar, penggunaan konsekuen yang konsisten, dan rutinitas
yang tinggi. Pendekatan yang dipakai harus terstruktur, ditandai oleh petunjuk yang jelas,
tuntutan yang pasti pada anak, dan tindak lanjut yang konsiten. Kecuali itu, diperlukan
pencacatan dan pengukuran tingkah laku anak dari hari ke hari.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah yang dipakai bentuk tuna laras sebelum abad XIX adalah gila, untuk membedakan
pengertiannya dengan idiot, yaitu tuna grahita. Tuna laras umumnya disebabkan oleh
kerasukan setan, sehingga upaya penyembuhannya dilakukan untuk mengusir setan itu,
misalnya dengan penyiksaan, penelantaran, melukai sampai berdarah dsb. Tokoh-tokoh
pembaharuan dan kajian atas masalah tuna laras yang dianggap sebagai pelopor adalah Phillipe
Pinel, Jean More Gaspard Itard, Edward Sequin (ketiganya dari perancis) dan Benjamin Rush
(dari Amerika Serikat

Abad XIX ditandai dengan mulai dibedakannya secara jelas angtara tuna grahita dengan
tuna laras. Pakar yang banyak memberikan kontribusi pada masalah ketunalarasan antara lain
Esquirol, Brighan (keduanya dari Perancis) dan Samuel Gridley Howe (Amerika Serikat). Teori
etiologi baru tentang tuna laras juga muncul pada abad ini; yaitu model biogenetic; interview
pada penyandang tuna laras lebih diperluas pada upaya-upaya pendidikan; dan buku-buku
tentang penyebab tuna laras juga mulai banyak ditulis.

Perkembangan pesat terhadap kajian ketunalarasan memang terjadi pada abad XX.
Temuan banyak pakar pada abad ini sangat berpengaruh pada upaya layanan penyembuhan
perilaku menyimpang, seperti kontribusi dari William Healy, Alfred Binet, Bruno Bettleheim,
Alfred Strauss, Heinzz Warner, Marianna Frogstig, Herbert Quay, dan sebagainya. Berbagai
organisasi yang terkait dengan penanganan Anak Luar Biasa pada abad XX yang paling besar
peranannya adalah munculnya beberapa konsep baru mengenai ketunalarasan.

Anda mungkin juga menyukai