Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan profesi auditor internal dalam era globalisasi saat ini
sangat pesat, bahkan auditor internal telah diikuti keberadaannya sebagai bagian
dari organisasi perusahaan yang dapat membantu manajemen dalam
meningkatkan kinerja perusahaan, terutama dari aspek pengendalian. Lahirnya
unit audit internal, khususnya SPI (Satuan Pengawasan Intern) pada BUMN,
tidak terlepas dari peran BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan). Peranan BPKP khususnya internal auditing di Indonesia cukup
dominan.
Awal keberadaan (SPI) pada BUMN dan BUMD adalah berdasarkan
peraturan pemerintah no. 3 tahun 1983, yaitu tentang tata cara pembinaan dan
pengawasan perusahaan jawatan (Perjan), perusahaan umum (Perum), dan
Perusahaan Persero (Persero). Dimana dalam perkembanganya, telah terjadi
perubahan pandangan terhadap profesi auditor internal dari paradigma lama yang
masih berorientasi pada pencari kesalahan menuju paradigma baru yang lebih
mengedepankan peran sebagai konsultan dan katalis.
The Institut of Internal Auditor (IIA) pada tahun 2001 telah
melakukan redifinisi terhadap internal auditing. Dimana disebutkan bahwa
internal auditing adalah suatu aktivitas independen dalam menetapkan tujuan
dan merancang aktivitas konsultasi yang bernilai tambah dan meningkatkan
operasi perusahaan.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, salah satu sifat
pekerjaan Auditor Internal adalah mengevaluasi dan meningkatkan proses
manajemen risiko. Hal ini ada kaitannya dengan kebutuhan untuk memperoleh
Enterprise Risk Management (ERM) yang efektif sebagai dasar yang
beralasan bagi manajemen dan board of directore untuk memahami seberapa
besar kemungkinan tujuan strategis dan operasi akan tercapai, pelaporan
perusahaan reliable dan perusahaan telah patuh kepada hukum dan regulasi.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan audit internal?
1.2.2 Apa saja peran audit internal?
1.2.3 Apa yang dimaksud dengan manajemen risiko?
1.2.4 Bagaimana kaitan kasus Bank Mega dengan Good Corporate
Governance?
1.2.5 Bagaimana penyelesasian permasalahan pada Bank Mega?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian audit internal
1.3.2 Untuk mengetahui peran audit internal
1.3.3 Untuk mengetahui pengertian manajemen risiko
1.3.4 Untuk mengetahui kaitan kasus Bank Mega dengan Good
Corporate Governance
1.3.5 Untuk mengetahui penyelesaian kasus Bank Mega

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Audit Internal


2.1.1 Pengertian Audit Internal
Ikatan Auditor Internal (Institute of Internal Auditors-IIA) berpendapat
bahwa audit internal merupakan aktivitas independen, keyakinan objektif, dan
konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi
organisasi. Audit internal juga membantu organisasi dalam mencapai tujuan
dengan berbagai cara seperti melakukan pendekatan sistematis dan disiplin untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen.
Selain itu definisi lain yaitu menurut Agoes (2004 : 221), internal audit
adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik
terhadap laporan keuangan, catatan akuntansi perusahaan, ketaatan terhadap
kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan, ketaatan terhadap peraturan
pemerintah maupun ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku. Lingkup audit
internal tidak lagi hanya terbatas melakukan pemeriksaan di bidang keuangan
saja, tetapi juga melakukan pemeriksaan di bidang lainnya seperti pengendalian,
kepatuhan, operasional, manajemen risiko, dan proses tata kelola organisasi.

2.1.2 Peran Audit Internal


Peranan auditor internal adalah menemukan indikasi terjadinya
kecurangan dan melakukan investigasi terhadap kecurangan. Jika auditor internal
menemukan indikasi dan mencurigai terjadinya kecurangan di perusahaan, maka
harus memberitahukan hal tersebut kepada top management. Jika indikasi tersebut
cukup kuat, manajemen akan menugaskan suatu tim untuk melakukan investigasi
yang terdiri dari internal auditor, lawyer, investigator, security dan ahli dari luar
atau dalam perusahaan. Hasil investigasi tim harus dilaporkan secara tertulis
kepada top management yang mencakup fakta, temuan, kesimpulan, saran dan
tindakan perbaikan yang perlu dilaporkan. Terdapat empat pilar utama dalam
meminimalisir kecurangan, yaitu sebagai berikut.
a. Pencegahan kecurangan (fraud prevention)
b. Pendeteksian dini kecurangan (early fraud detection)

3
c. Investigasi kecurangan (fraud investigation)
d. Penegakan hukum atau penjatuhan sanksi (follow-up legal action)
Peran internal auditor dalam mencegah dan mendeteksi kecurangan diatur
secara jelas dalam kewenangan pelaporan dan standar profesi. Pernyataan Standar
Internal Audit mensyaratkan bahwa internal auditor harus berperan aktif dalam
mencegah dan mendetesi kecurangan dengan mengidentifikasi tanda-tanda
kemungkinan terjadinya kecurangan, menginvestigasi gejala kecurangan dan
melaporkan temuannya pada komite audit atau kepada tingkat manajemen yang
tepat.
Menurut Diaz (2002), peran yang dapat dilakukan oleh auditor internal
selaku akuntan perusahaan yang menjalankan internal audit adalah sebagai
berikut:
1. Membantu direksi dan dewan komisaris dalam menyusun dan
mengimplementasikan kriteria Good Corporate Governance sesuai dengan
kebutuhan perusahaan.
2. Membantu direksi dan dewan komisaris dalam menyediakan data
keuangan dan operasi serta data lain yang dapat dipercaya, accountable,
akurat, tepat waktu, obyektif, mudah dimengerti dan relevan bagi para
stakeholder untuk mengambil keputusan.
3. Membantu direksi dan dewan komisaris mematuhi dan mengawasi
penerapan atas seluruh ketentuan yang berlaku dan memastikan bahwa
seluruh elemen perusahaan dalam setiap aktivitas perusahaan telah
mematuhi ketentuan secara konsisten.
4. Membantu direksi menyusun dan mengimplimentasikan struktur
pengendalian intern yang andal dan memadai. Auditor intern dalam
konteks ini harus memastikan bahwa struktur tersebut telah tersedia
dengan memadai dan telah dipatuhi oleh setiap elemen perusahaan.
5. Menstimulasi direksi dan dewan komisaris untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan sistem audit yang baik, khususnya mendororng
pembentukan komite audit yang ideal, merancang pedoman audit intern,
serta menumbuhkan efektifitas penggunaan dan pemanfaatan hasil kerja
auditor.
2.2 Manajemen Risiko
2.2.1 Pengertian Manajemen Risiko

4
Manajemen risiko adalah kegiatan pimpinan puncak mengedintifikasi,
mengevaluasi, menangani dan memonitor risiko bisnis yang dihadapi perusahaan
mereka di masa yang akan datang. Selain itu menurut Smith (1990), manajemen
risiko didefinisikan sebagai proses identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan
dari sebuah risiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan
atau proyek yang dapat menimbulkan kerugian pada perusahaan. Apabila dampak
risiko itu terhadap operasi bisnis diperkirakan cukup signifikan, pimpinan
perusahaan yang profesional akan menyusun rencana mengatasi dampak negatif
risiko tersebut.

2.2.2 Jenis Risiko Bisnis


Risiko bisnis terdiri dari berbagai macam jenis. Dari berbagai macam jenis
itu empat di antaranya perlu mendapat perhatian secara lebih cermat dan kontinyu
dari pimpinan perusahaan, antara lain yaitu sebagai berikut.
a. Risiko citra atau reputasi perusahaan (reputation risk)
Semua perusahaan pasti ingin usahanya berhasil dan memiliki citra baik di
masyarakat, maka perusahaan mencoba memperkecil risiko bisnis yang
dihadapi dengan jalan memfokuskan transaksi bisnisnya dengan
perusahaan-perusahaan bercitra bagus dengan cara meminjamkan kredit
kepada perusahaan lain, membeli surat berharga yang diterbitkan,
memesan produk, mesin dan peralatan, membeli premi asuransi dan
sebagainya.
b. Risiko pasar (market risk)
Risiko pasar merupakan kondisi yang dialami oleh suatu perusahaan yang
disebabkan oleh perubahan kondisi dan situasi pasar di luar dari kendali
perusahaan. Risiko pasar sering disebut juga sebagai risiko yang
menyeluruh karena sifat umumnya adalah bersifat menyeluruh dan di
alami oleh seluruh perusahaan, misalnya krisis ekonomi dunia
c. Risiko kredit (credit risk)
Yang termasuk dalam risiko kredit adalah country risk, yaitu risiko kredit
yang diberikan kepada debitur yang berdomisili di negara-negara tertentu.
Semakin tinggi country risk suatu negara semakin tinggi pula risiko kredit
yang diberikan kepada debitur di negara itu.
d. Risiko operasional (operational risk).
Dampak risiko operasional timbul karena munculnya gangguan
operasional dari dalam atau dari luar perusahaan. Gangguan operasional

5
dari dalam perusahaan dapat berupa kerusakan mesin atau peralatan
produksi yang lain, kesalahan manusia dan kesalahan sistem dan prosedur
operasi. Sedangkan contoh gangguan dari luar perusahaan dapat berupa
krisis moneter, krisis politik, faktor persaingan pasar, keterlambatan
pasokan bahan dari perusahaan pemasok dan bencana alam.

2.2.3 Proses Manajemen Risiko


Manajemen risiko merupakan satu proses kegiatan manajemen yang
mengikuti urutan langkah tertentu. Urutan langkah proses manajemen risiko
adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi risiko potensial (risk identification)
Sebelum memutuskan bagaimana mengelola risiko yang akan dihadapi
pada saat melaksanakan rencana strategik perusahaan mereka, tentu
pimpinan puncak perusahaan perlu mengetahui dengan jelas apa dan
bagaimana risiko-risiko tersebut. Untuk melaksanakan hal itu perlu
disusun daftar komprehensif risiko potensial yang mungkin muncul.
Komite Audit dan Manajemen Risiko hendaknya mengumpulkan
pendapat dari para pimpinan puncak dan eksekutif senior tentang
berbagai risiko yang menurut mereka dapat dihadapi perusahaan dalam
pelaksanaan rencana jangka menengah/panjang.
b. Menganalisis risiko (risk analysis)
Tujuan utama analisis risiko adalah memisahkan risiko yang potensi
kerugiannya diperkirakan kecil sampai yang cukup signifikan yaitu
dengan menyusun daftar kategori risiko. Tentunya daftar kategori risiko
satu perusahaan tidak sama dengan yang lain, walaupun mereka bergerak
dalam sektor usaha yang sama, karena adanya perbedaan tingkat
kekuatan dan kelemahan masing-masing perusahaan dalam menangani
dan memonitor risiko. Untuk menentukan dapat atau tidaknya dampak
risiko ditolerir, perusahaan perlu menyusun kriteria tentang hal itu.
Kriteria toleransi terhadap dampak risiko dapat diambil dari aspek
operasional, teknis, finansial, legal, sosial atau kriteria yang lain.
c. Menerima risiko (accept risks)
Dari hasil tahap-tahap manajemen risiko perusahaan dapat memutuskan
risiko bisnis mana dapat diterima, karena dampak negatifnya

6
diperkirakan masih dapat ditolerir. Di lain pihak mereka juga dapat
menentukan jenis-jenis risiko mana yang membutuhkan penanganan dan
monitoring secara khusus, karena dampaknya diperkirakan signifikan.
d. Menangani risiko (risk treatment)
Penanganan risiko lebih lanjut dapat dilakukan dengan antara lain,
menentukan pilihan penanganan risiko, mengevaluasi tiap jenis pilihan
penanganan, menyiapkan rencana penanganan tiap jenis risiko,
pelaksanaan penanganan, dan memonitor risiko. Tiap jenis penanganan
risiko dievaluasi berdasarkan perbandingan besar pengorbanan yang
harus ditanggung perusahaan, dengan nilai manfaat yang dapat diperoleh
dari masing-masing pilihan. Tiap jenis pilihan penanganan risiko yang
mendatangkan manfaat optimal dengan biaya atau pengorbanan minimal,
dimaksukkan dalam daftar prioritas pilihan.
e. Memonitor perkembangan risiko (risk monitoring and review)
Kebanyakan re\isiko tidak bersifat statis. la dapat berubah sesuai dengan
perubahan faktor-faktor yang menimbulkannya. Oleh karena itu secara
reguler perusahaan wajib memonitor perkembangan resiko yang mereka
hadapi dan efektifitas upaya mereka menangani masing-masing risiko.

7
BAB III
PEMBAHASAN
KASUS PT BANK MEGA TBK.

3.1 PROFIL PT BANK MEGA TBK

Berawal dari sebuah usaha milik keluarga bernama PT. Bank Karman yang
didirikan pada tahun 1969 dan berkedudukan di Surabaya, selanjutnya pada tahun 1992
berubah nama menjadi PT. Mega Bank dan melakukan relokasi Kantor Pusat ke Jakarta.
Seiring dengan perkembangannya PT. Mega Bank pada tahun 1996 diambil alih oleh
PARA GROUP (PT. Para Global Investindo dan PT. Para Rekan Investama). Untuk lebih
meningkatkan citra PT. Mega Bank, pada bulan Juni 1997 melakukan perubahan logo
dengan tujuan bahwa sebagai lembaga keuangan kepercayaan masyarakat, akan lebih
mudah dikenal melalui logo perusahaan yang baru tersebut. Dan pada tahun 2000
dilakukan perubahan nama dari PT. Mega Bank menjadi PT. Bank Mega.
Dalam rangka memperkuat struktur permodalan maka pada tahun yang sama PT.
Bank Mega melaksanakan Initial Public Offering dan listed di BEJ maupun BES. Dengan
demikian sebagian saham PT. Bank Mega Tbk. dimiliki oleh publik dan berubah
namanya menjadi PT. Bank Mega Tbk. Pada saat krisis ekonomi, Bank Mega mencuat
sebagai salah satu bank yang tidak terpengaruh oleh krisis dan tumbuh terus tanpa
bantuan pemerintah bersama-sama dengan Citibank, Deutche Bank dan HSBC. Pada
tahun 2013 Bank Mega memperkenalkan identitas baru yang terdiri dari logo dan simbol
grafis huruf “M” yang merefleksikan positioning dan acuan pertumbuhan yang baru bagi
perusahaan. Warna-warna hangat merupakan luapan energi dari logo baru Bank Mega
yang energik dan solusi keuangan yang kompherensif kepada pelanggan. Warna kuning
menggambarkan kecerdasan dan harapan. Warna abu-abu menggambarkan sistem yang

8
canggih. Warna orange menggambarkan semangat dan optimisme, menunjukkan setiap
insan.
Bank Mega selalu melihat sudut pandang positif atas tiap kejadian dan selalu
mengupayakan hasil akhir yang terbaik. Identitas baru ini juga merefleksikan ambisi
Bank Mega untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju dan
sejahtera, dengan menyediakan berbagai solusi keuangan yang spesifik, sesuai kebutuhan
sesuai nasabah secara lengkap dan menyeluruh, dikelola secara profesional dengan
technologi berkelas dunia dan kontrol kualitas yang terjaga baik, yang memungkinkan
setiap individu, keluarga, dan bisnis nasabah berada pada jalur tercepat dalam mencapai
keberhasilan di bidang keuangan. PT. Bank Mega Tbk. dengan semboyan “Mega Tujuan
Anda” tumbuh dengan pesat dan terkendali serta menjadi lembaga keuangan ternama
yang mampu disejajarkan dengan bank-bank terkemuka di Asia Pasifik dan telah
mendapatkan berbagai penghargaan dan prestasi baik di tingkat nasional, regional
maupun internasional. Dalam upaya mewujudkan kinerja sesuai dengan nama yang
disandangnya, PT. Bank Mega Tbk. berpegang pada azas profesionalisme, keterbukaan
dan kehati-hatian dengan struktur permodalan yang kuat serta produk dan fasilitas
perbankan terkini.

3.2 LATAR BELAKANG KASUS


Bank Mega Tbk. (MEGA) beroperasi pada aktivitas perbankan. MEGA mulai
beroperasi komersial pada tahun 1969 di Surabaya, Jawa Timur. MEGA memindahkan
kantor pusatnya ke Jakarta pada tahun 1992. MEGA menyediakan produk tabungan
seperti Mega Dana, Mega Taxi, Mega Proteksi; produk giro seperti Mega Pro dan Mega
Business; Produk Deposito Berjangka seperti Mega Depo, Mega Deposito On Call and
Mega Sertifikat.
Pada pertengahan April 2011, terjadi kasus pada Bank Mega. Secara garis besar
kasus ini dimulai dengan adanya pencairan dana deposito milik PT Elnusa dengan dalih
investasi, dana tersebut dapat cair karena terdapat pemalsuan tanda tangan. Dimana, PT
Elnusa merupakan satu-satunya perusahaan nasional yang menguasai kompetensi di
bidang jasa minyak dan gas bumi antara lain: jasa seismic, pengeboran dan pengelolaan
lapangan minyak. Elnusa menyediakan jasa migas dengan strategi aliansi global bagi
perusahaan migas berkelas dunia dan juga sesuai dengan standar keselamatan dan lindung
lingkungan. Dalam kasus ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa terdapat
pembobolan dana nasabah PT Elnusa Tbk (ELSA) melibatkan langsung oknum pegawai

9
PT Bank Mega Tbk (Bank Mega). Adapun kronologi kasus secara lebih rinci
digambarkan sebagai berikut.
1. 7 September 2009
Elnusa mulai menempatkan dana di Bank Mega cabang Jababeka,
Cikarang sejak 7 September 2009 sebesar Rp161 miliar. Dana ini disimpan dalam
bentuk rekening deposito berjangka dengan bunga 7%. Total deposito terbagi
menjadi lima bilyet, dengan jangka waktu beragam satu hingga tiga
bulan. Seluruh dana telah ditransfer Elnusa dan diterima oleh Bank Mega.
2. 5 Maret 2010
Pada tanggal 5 Maret 2010 Elnusa mencairkan deposito senilai Rp50
miliar dan dananya telah diterima dengan baik di rekening sesuai perintah Elnusa.
Sehingga dana Elnusa pada bank mega tersisa sebesar Rp111 miliar dalam bentuk
deposito.
3. 19 April 2011
Permasalahan tentang dana deposito Elnusa baru muncul ketika Elnusa
akan mencairkan deposito tersebut pada 19 April 2011. Menurut kepala cabang
Bank Mega Jababeka Cikarang, penempatan dana itu sudah tidak ada karena
telah dicairkan. Elnusa mempertanyakan sistem dan prosedur yang ada di Bank
Mega. Karena pihak Elnusa merasa belum pernah mencairkan dana mereka,
mereka menyatakan baru satu kali melakukan pencairan dana deposito yaitu
sejumlah Rp50 miliar dari total penempatan dana sebesar Rp161 miliar pada
tanggal 5 Maret 2010.
Setelah dilakukan penyidikan, pembobolan dana PT Elnusa dilakukan melalui
kerja sama antara pihak dalam PT Elnusa yakni Direktur Keuangan Elnusa, Kepala
Cabang Bank Mega Jababeka, pihak perusahaan investasi (Discovery dan Harvest), dan
pihak lain, seorang makelar bisnis yang mempertemukan kedua pihak. Dimana salah satu
pelaku tersebut terkait dengan kasus pembobolan dana Pemkab Aceh di Bank Mandiri
cabang Jalembar, Jakarta Barat.
Para pelaku memanfaatkan dana cadangan PT Elnusa yang dianggap
“menganggur” dan sering tidak digubris perusahaan. Dana ini disimpan dalam bentuk
rekening deposito berjangka dengan bunga 7%. Cara yang dilakukan pelaku cukup
sederhana, yaitu memalsukan akta dan tanda tangan pada blangko pencairan deposito.
Dana PT Elnusa seolah-olah beralih dari deposito berjangka menjadi Deposito harian.
Kemudian para tersangka bahu-membahu menggelapkan uang cadangan dari
rekening resmi ke rekening asli tapi palsu atas nama PT Elnusa di Bank Mega Cabang
Bekasi. Setelah jatuh masanya, deposit on call itu mereka cairkan dan mengalir ke

10
rekening PT Discovery dan PT Harvest. Uang itu kemudian digunakan untuk bisnis
investasi para tersangka, dan sisanya dialirkan ke rekening pribadi-pribadi para pelaku.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyimpulkan kasus
pembobolan dana PT Elnusa Tbk merupakan tindak pidana pencucian uang. Bank
Indonesia menyatakan kasus ini terjadi karena kelemahan pelaksanaan manajemen risiko
di Bank Mega. kelemahan tersebut antara lain direksi belum memiliki sarana
pengendalian yang memadai untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas operasional Bank
telah didukung oleh SOP yang memadai.
Selain itu masih lemahnya kebijakan dan prosedur, seperti belum adanya
kebijakan yang mengatur prosedur pelayanan pembukaan rekening tanpa kehadiran calon
nasabah dan tata cara pemberian data nasabah kepada pihak ketiga termaksud kantor
Akuntan publik dan belum dilakukan peninjauan kembali terhadap penetapan limit di
KCP (kantor cabang pemantau).
BI juga menemukan adanya perangkapan fungsi marketing dan otorisasi nasabah
baru oleh pemimpin KCP dan dalam pengendalian internal ditemukan kelemahan
pengawasan KC dan Kanwil terhadap KCP, kelemahan atas pemantauan kewajaran
transaksi nasabah serta lemahnya pemantauan terhadap perubahan gaya hidup pegawai
dikaitkan dengan posisi jabatannya.

3.3 Analisis Kasus PT Bank Mega Tbk.


Dalam kasus PT Bank Mega Tbk , dapat disimpulkan pelanggaran yang
dilakukan oleh Bank Mega yaitu sebagai berikut.
1. Adanya pembobolan dana nasabah
Dalam kasus Bank Mega terjadi pembobolan dana milik PT Elnusa sebesar
Rp111 miliyar yang dilakukan dengan cara pemalsuan tanda tangan direktur utama PT
Elnusa pada surat pencairan deposito. Adapun yang terlibat dalam aksi tersebut antara
lain pihak dalam PT Elnusa yakni Direktur Keuangan Elnusa, Kepala Cabang Bank Mega
Jababeka, pihak perusahaan investasi (Discovery dan Harvest), dan seorang makelar
bisnis yang mempertemukan kedua pihak. Setelah dilakukan penyelidikan ditemukan
bahwa hasil dari pembobolan dana tersebut dialirkan kepada PT Discovery dan PT
Harvest.
2. Adanya indikasi aksi money laundry
Pencucian uang dan money laundry merupakan upaya untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal – usul uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui
berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah – olah
berasal dari kegiatan yang sah atau legal. Kaitannya dalam kasus Bank Mega yaitu para

11
pihak yang terlibat dalam kasus tersebut saling bekerja sama untuk menggelapkan uang
cadangan dari rekening resmi ke rekening asli tapi palsu atas nama PT Elnusa di Bank
Mega Cabang Bekasi. Pencucian uang merupakan tindakan pidana yang diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Terjadinya suatu tindak pidana kejahatan perbankan dari internal Bank tersebut
dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya.
1. Lemahnya Manajemen Risiko
Kelemahan tersebut antara lain direksi belum memiliki sarana pengendalian yang
memadai untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas operasional Bank telah didukung
oleh SOP yang memadai. Selain itu masih lemahnya kebijakan dan prosedur, seperti
belum adanya kebijakan yang mengatur prosedur pelayanan pembukaan rekening tanpa
kehadiran calon nasabah dan tata cara pemberian data nasabah kepada pihak ketiga
termaksud kantor Akuntan publik dan belum dilakukan peninjauan kembali terhadap
penetapan limit di KCP (Kantor Cabang Pemantau).
2. Lemahnya Peran Audit Internal
Kelemahan tersebut ditandai dengan adanya perangkapan fungsi marketing dan
otorisasi nasabah baru oleh pemimpin Kantor Cabang Pemantau. Dalam pengendalian
internal juga ditemukan beberapa kelemahan antara lain, kelemahan dari pengawasan
Kantor Cabang dan Kantor Wilayah terhadap Kantor Cabang Pemantau, kelemahan atas
pemantauan kewajaran transaksi nasabah serta lemahnya pemantauan terhadap perubahan
gaya hidup pegawai dikaitkan dengan posisi jabatannya.

3.4 Kaitan Kasus dengan Pelaksanaan Good Corporate Governance


Berdasarkan uraian kasus Bank Mega, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance menurut pendekatan prinsip TARIF
yaitu, diantaranya:
1. Prinsip Transparansi
Menurut prinsip transparansi, perusahaan harus menyediakan infromasi secara
tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh
pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. Bank Mega melanggar prinsip transparansi
karena Bank Mega tidak memberikan informasi kepada PT Elnusa bahwa memang benar
terjadi pencairan deposito pada tanggal 5 Maret 2010. Jika Bank Mega benar-benar
menerapkan prinsip transparansi, seharusnya ketika deposito selesai dicairkan, bank harus

12
mengirikan informasi berupa data transaksi dan bukti kelengkapannya pada PT Elnusa
sebagai bentuk pemberitahuan.
2. Prinsip Akuntabilitas
Menurut prinsip akuntabilitas, perusahaan harus memastikan adanya sistem
pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Dalam kasus Bank
Mega terdapat pemalsuan akta dan tanda tangan untuk mencairkan deposito PT Elnusa.
Hal ini memberi indikasi bahwa sistem pengendalian internal Bank Mega masih lemah
dan belum berjalan dengan sebagai mana mestinya. Selain itu hal ini juga memberi
indikasi bahwa otorisasi atau pemberian wewenang terhadap karyawan sesuai dengan
tugasnya juga belum berjalan dengan baik sehingga pemalsuan dapat terjadi.
3. Prinsip Responsibilitas
Menurut prinsip responsibilitas, organ perusahaan harus berpegang pada prinsip
kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
anggaran dasar dan peraturan perusahaan. Dalam kasus yang diuraikan, Bank Mega telah
melakukan tindakan money laundry yang merupakan tindakan pidana yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemalsuan tanda tangan juga merupakan tindakan yang
melanggar SOP.
4. Prinsip Independensi
Menurut prinsip indepedensi, masing-masing organ perusahaan harus
melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan
perundangan-udangan, tidak saling mendominasi atau melempar tanggungjawab antara
satu dengan yang lain sehingga terwujud sistem pengendalian internal yang efektif.
Dalam kasus Bank Mega, pembobolan dana PT Elnusa dilakukan melalui kerja sama
antara pihak dalam PT Elnusa yakni Direktur Keuangan Elnusa, Kepala Cabang Bank
Mega Jababeka, pihak perusahaan investasi (Discovery dan Harvest), dan pihak lain,
seorang makelar bisnis yang mempertemukan kedua pihak. Berdasarkan hal tersebut
maka pihak internal Bank Mega dalam hal ini Kepala Cabang Bank Mega Jababeka
terlibat dalam tindakan yang tidak independen atau saling bekerja sama dengan pihak lain
sehingga kasus pembobolan dana PT Elnusa bisa terjadi.

Selain terjadi pelanggaran pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance, ada


beberapa hal dalam kasus Bank Mega yang juga melanggar salah satu konsep Good
Corporate Governance. Teori keagenan menjelaskan bahwa diperlukan pihak yang
mampu menjembatani principal dan agent, dan pihak tersebut adalah auditor yang dalam
hal ini pada internal perusahaan adalah audit internal. Seperti yang telah dijelaskan bahwa

13
lingkup audit intern tidak lagi hanya terbatas melakukan pemeriksaan di bidang keuangan
saja, tetapi juga melakukan pemeriksaan di bidang lainnya seperti pengendalian,
kepatuhan, operasional dan lain-lain, manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata
kelola organisasi. Dalam kasus Bank Mega, terdapat kelemahan dalam Sistem
Pengendalian Internal (SPI) utamanya dalam hal otorisasi atau tanda tangan yang dapat
dipalsukan. Lemahnya SPI yang dimiliki oleh Bank Mega membuat peran audit intern
dalam konsep Good Corporate Governance tidak dapat berjalan dengan maksimal. Selain
itu, peran yang tidak bisa dijalankan dengan maksimal oleh audit intern akan membuat
perkiraan risiko bisnis yang akan dihadapi perusahaan juga tidak maksimal. Seharusnya
sesuai dengan prinsip Good Corporate Govenance penerapan manajemen risiko mampu
membuat berhasilnya perusahaan mengelola risiko dan dapat meningkatkan nilai dari
sebuah perusahaan serta membantu manajemen dalam proses penerapan tata kelola
perusahaan yang baik. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik akan membuat
kepercayaan dari semua pihak (stakehorlder) atas perusahaan akan semakin meningkat.

3.5 Penyelesaian Kasus PT Bank Mega Tbk.


Hasil dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 22 Maret 2012 Nomor:
284/PDT.G/2011/PN.JKT.SEL menyatakan bahwa Bank Mega terbukti bersalah karena
tidak menjalankan operasional sesuai dengan SOP dan mengharuskan Bank Mega untuk
segera mengembalikan dana deposito milik Elnusa senilai Rp111 miliar beserta bunganya
sebesar 7% persen per tahun terhitung sejak gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan sampai dilunasinya deposito tersebut. Berdasarkan kasus Bank Mega,
penyelesaian yang dapat dilakukan yaitu antara lain.
1. Membenahi elemen-elemen utama sistem pengendalian intern bank
Elemen-elemen utama sistem pengendalian intern bank meliputi Manajemen dan
Kultur Pengendalian, identifikasi dan Penilaian Resiko, kegiatan pengendalian dan
pemisahan fungsi sistem akuntansi, informasi dan komunikasi serta kegiatan pemantauan
dan tindakan koreksi penyimpangan atau kelemahan.
2. Pengendalian pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
Dalam merekrut SDM harus dilakukan dengan seleksi yang serius, memang
banyak orang yang mempunyai kompetensi yang baik tetapi belum tentu semua orang
yang berkompetensi itu mempunyai perilaku baik. Sebagus apapun pengendalian internal
suatu perusahaan kalau SDM nya sendiri tidak mampu menjaga komitmen perusahaan
maka akan sia-sia adanya pengendalian internal tersebut.
3. Peningkatan pengawasan dan memperketat prosedur dan kebijakan.

14
Melakukan peningkatan pengawasan dan memperketat prosedur dan kebijakan
pengambilan dana yang ada. Juga di dalamnya termasuk peningkatan komunikasi antar
nasabah dan pihak bank agar tidak terdapat miss komunikasi dan tidak terdapat
penyelewengan yang dilakukan oleh pihak diluar wilayah nasabah.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini maka dapat disimpulkan.
1. Audit internal merupakan aktivitas independen, keyakinan objektif,
dan konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan
meningkatkan operasi organisasi. auditor internal berperan dalam
menemukan indikasi terjadinya kecurangan dan melakukan investigasi
terhadap kecurangan. Adapun 4 pilar utama dalam meminimalisir
kecurangan, yaitu pencegahan kecurangan (fraud prevention),
pendeteksian dini kecurangan (early fraud detection), incvestigasi
kecurangan (fraud investigation), dan penegakan hukum atau
penjatuhan sanksi (follow-up legal action).
2. Manajemen risiko adalah kegiatan pimpinan puncak
mengedintifikasi, mengevaluasi, menangani dan memonitor risiko
bisnis yang dihadapi perusahaan mereka di masa yang akan datang.
Adapun beberapa jenis risiko bisnis yaitu risiko reputasi perusahaan
(reputation risk), risiko pasar (market risk), risiko kredit (credit risk),
dan risiko operasional (operational risk).
3. Dalam pemaparan kasus , dapat diketahui pelanggaran yang dilakukan
oleh Bank Mega yaitu adanya pembobolan dana nasabah dan aksi
money laundry. Pihak – pihak yang ikut terlibat dalam aksi tersebut
antara lain Direktur Keuangan Elnusa, Kepala Cabang Bank Mega
Jababeka, pihak perusahaan investasi (Discovery dan Harvest), dan
seorang makelar bisnis yang mempertemukan kedua pihak.
4. Dalam kaitan kasus Bank Mega dengan pelaksanaan Good Corporate
Governance , terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan prinsip-

15
prinsip Good Corporate Governance menurut pendekatan prinsip
TARIF yaitu, diantaranya prinsip transparansi, akuntanbilitas,
responsibilitas dan independensi.
5. Penyelesaian yang dapat dilakukan dalam kasus Bank Mega yaitu
antara lain membenahi elemen-elemen utama sistem pengendalian
intern bank, pengendalian pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM),
dan peningkatan pengawasan dan memperketat prosedur dan
kebijakan.

4.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai kasus Bank Mega dan
kaitannya dengan pelaksanaan Good Corporate Governance. Kami menyadari
dalam makalah ini masih terdapat kekurangan, maka dari itu kami berharap agar
para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini.

16
DAFTAR RUJUKAN

Aldridge, John.E Siswanto Sutojo. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta:


PT Damar Mulia Pustaka.
Gumilang, Gita. 2009. Skripsi: Pengaruh Peranan Audit Internal Terhadap
Penerapan Good Corporate Governance pada PT. Perkebunan Nusantara III.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Jayanegara, Lulu Luftia. 2014. Skripsi: Peranan Audit Internal dalam Penerapan
Good Corporate Governance (GCG). Bandung: Universitas Widyatama.

17

Anda mungkin juga menyukai