Anda di halaman 1dari 14

BAB III

ANALISIS TERAPI

3.1 Etoposide

Etoposide merupakan salah satu regimen kemoterapi dengan mekanisme kerja


menghambat replikasi DNA pada fase G2 → Membunuh sel tumor di G2 pada fase S.
Etoposide menghambat transport NADH dihidrogenase pada mitokondria atau
menghambat pengambilan nikleoside ke dalam sel Hela. Sehingga dapat menghambat
aktivitas topoisomerase II dan mengakibatkan strain DNA tidak terbentuk (BC Cancer
dan Drug Information Handbook, 17Ed).

Gambar 1. Mekanisme kerja etoposide

Indikasi :
Gambar 2. Indikasi penggunaan etoposide (BC Cancer)

Efek samping obat :

Aktual : Alopecia (6 – 66%); mual/muntah (31 – 43%)

Potensial : kegagalan pembentukan ovarium (38%); anoreksia ( 10 –


13%);

diare (1 – 13%); Leukopenia (60 – 91%); trombositopenia (22 – 41%); anemia (33%)
(Drug Information Handbook, 17Ed). Penanganan ESO:

Alopecia : menyarankan pasien untuk menggunakan penutup kepala

Mual/muntah : menyarankan pasien untuk patuh minum obat antiemetic dan


menyarankan pasien untuk mencoba makan makanan ringan (seperti permen atau snack)
untuk mengalihkan rasa mual/muntah.
Dosis :

Gambar 3. Dosis pemberian etoposide (BC Cancer)

Interaksi :

Gambar 4. Obat-obat yang berinteraksi dengan etoposide (BC Cancer)


Analisa Etoposide

Berdasarkan penatalaksanaan gestational trophoblastic neoplasma (GTN) pada BC


Cancer, pasien dengan GTN mendapatkan regimen kemoterapi EMACO (Etoposide,
Methotrexate, Actinomycin, Cyclophosphamide dan Oncovin) dengan dosis tertentu.
Regimen dosis kemoterapi pada pasien yaitu :

Gambar 5. BC Cancer Protocol Summary for Therapy for High Risk Gestational
Trophoblastic Neoplasia (GTN) Using Etoposide, Methotrexate, Leucovorin (Folinic
Acid), DACTINomycin, Cyclophosphamide and vinCRIStine

Dosis etoposide dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh sebagai berikut :


Etoposide = 100mg/m2/day (BC Cancer Protocol Summary for Therapy for
High Risk Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN))
BSA pasien = 1,3739 m2
Etoposide = 100 mg x 1,3739 m2 = 137,39 mg

Dosis etoposide yang digunakan pada regimen kemoterapi EMACO III AC III yaitu
137,39 m2 (sudah sesuai). Setelah pemberian EMACO III AC III dilakukan monitoring
efek samping. Efek samping actual yang terjadi pada pasien yaitu Alopecia (6 – 66%);
mual/muntah (31 – 43%). Sedangkan efek samping potensial yaitu . Rekomendasi untuk
mengatasi efek samping actual obat yaitu dengan menggunakan penutup kepala dan
meyakinkan pasien bahwa rambut dapat tumbuh kembali serta menyarankan pasien
untuk patuh minum obat antiemetic dan menyarankan pasien untuk mencoba makan
makanan ringan (seperti permen atau snack) untuk mengalihkan rasa mual/muntah.
3.2 Methotrexate
3.3 Actinomycin

Actinomycin adalah antineoplastik yang berasal dari Streptomyces parvullus.


Mekanisme kerja actinomycin yaitu dengan membentuk ikatan kompleks yang stabil
dengan DNA melalui interkalasi sehingga sintesis RNA yang tergantung dari DNA
dihambat secara selektif. Protein dan sintesis DNA dihambat pada tingkat yang lebih
rendah. Actinomycin bekerja pada siklus sel yang tidak spesifik dan actinomycin
merupakan agen imunosupresif.

Penggunaan utama actinomycin adalah untuk gestational trophoblastic tumour (GTP),


rhabdomyosarcoma dan wilm tumour. Selain itu juga dapat digunakan untuk testicular
cancer, ewing’s sarcoma, ovarian germ cell tomour dan kaposi’s sarcoma. Actinomycin
dikontraindikasikan untuk pasien yang mengalami infeksi herpes zoster. Efek samping
potensial dari obat ini adalah anemia (>10%), neutropenia (>10%), fatigue (>10%),
thrombocytopenia (>10%), ruam kulit (37%, severe 26%); diare (1-29%) dan dysphagia
(11%). Terapi radiasi disebutkan dapat meningkatkan efek samping actinomycin. Obat
ini berinteraksi dengan obat anestesi seperti enflurane dan halotan yaitu dapat
meningkatkan hepaktosisitas sehingga harus dilakukan pengecekan indikator kerusakan
hati secara berkala.

Pasien didiagnosa mengalami high risk GTP dan mendapatkan kemoterapi EMACO,
actinomycin termasuk dalam 5 obat tersebut. Pemberian actinomycin 0,5 mg selama 2
hari kemoterapi ini sudah sesuai dengan protokol yang ada. Selain obat kemoterapi
pasien juga mendapatkan ondansetron 8 mg, dexamethasone 20 mg dan dipenhidramin
10 mg untuk mengatasi potensial efek samping obat kemoterapi tersebut.
3.4 Cyclofosfamid

Siklofosfamid adalah obat yang digunakan terutama untuk mengobati beberapa jenis
kanker. Agar dapat bekerja, siklofosfamid pertama-tama diubah oleh hati menjadi dua
bahan kimia, akrolein dan fosforamid. Acrolein dan phosphoramide adalah senyawa
aktif, keduanya memperlambat pertumbuhan sel kanker dengan mengganggu aksi asam
deoksiribonukleat (DNA) di dalam sel kanker. Siklofosfamid bekerja dengan tiga
mekanisme berbeda: 1) perlekatan gugus alkil pada basa DNA, menghasilkan DNA
yang terfragmentasi oleh enzim perbaikan dalam upaya mereka untuk mengganti basa
teralkilasi, mencegah sintesis DNA dan transkripsi RNA dari DNA yang terpengaruh, 2)
DNA kerusakan melalui pembentukan ikatan silang (ikatan antara atom-atom dalam
DNA) yang mencegah DNA terpisah untuk sintesis atau transkripsi, dan 3) induksi salah
pasang nukleotida yang menyebabkan mutasi. cyclofosfamid mempunyai efek samping
Dermatologis: Alopecia (40% hingga 60%) tetapi rambut biasanya akan tumbuh
kembali meskipun mungkin memiliki warna dan / atau tekstur yang berbeda.
Kerontokan rambut biasanya dimulai 3-6 minggu setelah dimulainya terapi. Efek
samping dari penggunaan obat ini adalah mual dan muntah (biasanya mulai 6-10 jam
setelah pemberian); anoreksia, diare, mucositis, dan stomatitis juga terlihat sistitis
hemoragik akut berat atau fatal, atau fibrosis urin (7% hingga 40%) trombositopenia
dan anemia. Dosis pemberiannya Oral: 50-100 mg / m2 / hari sebagai terapi
berkelanjutan atau 400-1000 mg / m2 dalam dosis terbagi lebih dari 4-5 hari sebagai
terapi intermiten. I.V Dosis tunggal: 400-1800 mg / m2 (30-50 mg / kg) per program
perawatan (1-5 hari) yang dapat diulangi dalam interval 2 hingga 4 minggu (Bccancer,
2013).

Pasien diberikan pengobatan ini untuk menunjang pengobatan kanker sudah sesuai,
pemberian terapi cyclofosfamide mulai tanggal 21 februari 2020 dengan dosis 824,32
mg diberikan melalui IV drip.
3.5 Oncovin/Vincristin

Vincristine adalah suatu alkaloid vinca. Mekanisme kerja dari Vincristine yaitu
bertindak sebagai agen antimikrotubulus yang memblokir mitosis dengan menahan sel
dalam metafase. Obat ini bertindak dengan mencegah polimerisasi tubulin untuk
membentuk mikrotubulus, serta menginduksi depolimerisasi tubulus yang terbentuk.
untuk fase M dan fase S.

Penggunaan Vincristin adalah untuk terapi :

Primary uses: Other uses:


Brain Tumours Hepatoblastoma
*Breast cancer Leukemia, chronic
*Cervical cancer Multiple myeloma
*Colorectal cancer Mycosis fungoides
Ewing’s sarcoma Retinoblastoma
Kaposi’s sarcoma Trophoblastic, gestational
*Leukemia, acute Waldenstrom’s macroglobulinemia
*Lung cancer, small cell
*Lymphoma, Hodgkin's disease
*Lymphoma, Non-Hodgkin's
*Melanoma
*Neuroblastoma
*Oteosarcoma
*Ovarian cancer
*Rhabdomyosarcoma
*Soft tissue sarcoma
*Wilm's tumour

Berdasarkan penatalaksanaan gestational trophoblastic neoplasma (GTN) pada BC


Cancer, pasien dengan GTN mendapatkan regimen kemoterapi EMACO (Etoposide,
Methotrexate, Actinomycin, Cyclophosphamide dan Oncovin) dengan dosis tertentu.
Dosis vincristin adalah sebagai berikut :

Dosis etoposide dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh sebagai berikut :


Etoposide = 100mg/m2/day (BC Cancer Protocol Summary for Therapy for
High Risk Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN))
BSA pasien = 1,3739 m2
Vincristin = 1 mg x 1,3739 m2 = 1,3739 mg
Dosis vincristine yang digunakan pada regimen kemoterapi EMACO III AC III yaitu
1,37 mg, dosis telah sesuai. Setelah pemberian EMACO III AC III dilakukan
monitoring efek samping. Efek samping yang terjadi pada pasien yaitu Aktual :
Alopecia. Potensial : (>10%) Alopecia . Rekomendasi untuk mengatasi efek samping
actual obat yaitu dengan menggunakan penutup kepala dan meyakinkan pasien bahwa
rambut dapat tumbuh kembali.
3.6 Dexamethasone

Dexamethasone adalah antiemetik mapan pada pasien yang menerima


kemoterapi kanker yang sangat emetogenik. Saat ini, mekanisme aksi deksametason
dalam pencegahan PONV masih belum sepenuhnya dipahami. Dexamethasone adalah
bentuk sintetis dari adrenocorticoid, dan bertindak terutama sebagai reseptor
glukokortikoid dengan hampir tidak ada fungsi reseptor mineralokortikoid. Efek
fisiologis dari deksametason adalah hasil aksinya dengan reseptor glukokortikoid.
Banyak sel dengan jenis reseptor ini ada di dalam tubuh. Beberapa reseptor
glukokortikoid berhubungan dengan jalur konduksi fisiologis untuk muntah. Penjelasan
lain yang mungkin untuk mencegah deksametason PONV meliputi penghambatan
sentral sintesis prostaglandin, pengurangan aktivitas serotonin sentral, dan perubahan
permeabilitas sawar darah-otak terhadap protein plasma. Dosis intravena yang paling
umum digunakan adalah 5-10 mg untuk orang dewasa dan 0,15-1 mg / kg untuk anak-
anak. Efek buruk dari penggunaan deksamam dalam jumlah besar mungkin termasuk
kesulitan dalam mengendalikan kadar gula darah, infeksi luka, keterlambatan
penyembuhan luka, borok lambung, dan avaskular. Ini adalah efek samping yang
potensial dari penggunaan jangka panjang deksametason (Ming ho,2011).

Penggunaan dexamethasone sebagai antiemetic pada pasien yang mengalami


mual muntah akibat efek samping dari penggunaan obat kemoterapi sudah sesuai.
Pemberian terapi dexamethasone sebagai antiemetic pada pasien diberikan dengan
dosisi 20 mg dalam 100 ml NaCl 0,9% (IV drip) setiap 24 jam. Dosis yang digunakan
belum sesuai literature untuk itu perlu dilakukan penurunan dosis dexamethasone untuk
antiemetic pada pasien.
3.7 Diphenhidramine
Diphenhidramine adalah antihistamin dan etanolamin generasi pertama dengan
sifat sedatif dan anti-alergi. Diphenhidramine secara kompetitif menghambat reseptor
histamin-1 (H1), sehingga mengurangi gejala yang disebabkan oleh histamin endogen
pada otot polos bronkial, kapiler dan gastrointestinal. Penggunaan diphenhidramin dapat
diindikasikan untuk meringankan gejala alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin
serta sebagai pencegahan dan pengobatan mabuk perjalanan (DIH, 2008). Beberapa
efek dari penggunaan obat yang perlu diperhatikan dari obat ini yaitu mengantuk, tidak
stabil, pusing, sakit kepala, gangguan perhatian hingga kelelahan sehingga diharapkan
pasien beristirahat dan tidak melakukan kegiatan berat setelah mengkonsumsi obat ini.
Kesesuaian dosis pada penggunaan diphenhidramin sendiri sudah disesuaikan
oleh BCCA pada terapi penyerta kemoterapi. Adapun kesesuaian dosis yang ditetapkan
yaitu 50 mg IV drip dalam 100 ml NaCl 0,9% selama 15 menit (Bccancer, 2013).
Penggunaan diphenhidramin sendiri telah diketahui tidak ditemukan adanya interaksi
terhadap obat kemoterapi EMACO, ondansetron, serta dexamethasone. Beberapa hal
yang perlu adanya perhatian pada penggunaan obat ini yaitu terhadap reaksi
hipersensitivitas, dan pada pasien glaucoma, hipertrofi prostat, stenosis tukak lambung
ploroduodenal, dan disfungsi tiroid. Serta meningkatkan resiko jatuh pada kelompok
pasien usia lanjut.
3.8 Ondansentron
Ondansetron merupakan obat antiemetik yang poten dan efektif melawan mual
dan muntah dari berbagai etiologi. Penggunaan ondansetron umumnya termasuk
pencegahan mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi dan radiasi, pencegahan
mual dan muntah pasca operasi (PONV), dan untuk pencegahan mual dan muntah yang
berhubungan dengan kehamilan. Ondansetron bertindak secara terpusat dan periferal
untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah. Efek sentral dimediasi oleh
antagonisme reseptor serotonin 5HT-3 di area postrema. Zona yang berperan dalam
memediasi sensasi mual dan muntah berikutnya. Ondansetron juga memiliki efek
perifer dengan bekerja pada saraf vagus. Kerjanya pada reseptor 5-HT3 yang dapat
ditemukan di terminal saraf vagus. Di dalam saluran GI, saraf vagus dapat merasakan
pemicu mual dan muntah, seperti iritasi lambung, dan membentuk sinapsis di dalam
nucleus tractus solitarius batang otak, daerah lain yang penting dalam muntah. Tindakan
perifer ondansetron dianggap sebagai mekanisme utama untuk efek antiemetiknya
(Patel, 2019).
Beberapa efek yang perlu diperhatikan akibat mengkonsumsi obat ini yaitu
Sakit kepala, kantuk, diare, konstipasi, dan mata kabur. Oleh karea itu diharapkan
pasien beristirahat dan tidak melakukan kegiatan berat setelah mengkonsumsi obat ini.
Selain itu pasien dapat menambah asupan nutrisi dengan sayur dan buah, atau obat
pencahar bila perlu jika pasien mengalami konstipasi serta konsumsi minum yang cukup
(Medscape, 2020). Kesesuaian dosis penggunaan Ondansentron pada terapi kemoterapi
yakni 8 mg IV bolus selama 15 menit pemberian injeksi sebelum dilakukannya
kemoterapi (Bccancer, 2013). Penggunaan Ondansentron sendiri tidak ditemukan
adanya interaksi terhadap obat kemoterapi EMACO, dipenhidramin, serta
dexamethasone, tetapi pengunaan obat ini perlu adanya perhatian terhadap reaksi
Hipersensitivitas yang dapat timbul termasuk anafilaksis dan bronkospasme, perlu
pemantauan khusus pada pasien dengan factor resiko obstruksi gestasional karena
ondansentron menurunkan aktivitas usus (Medscape, 2020).

Daftar pustaka
American Pharmacits Associations. 2009. Drug Information Handbook 17 th Edition.
Lexicomp’s drug references handbook.

BC Cancer Protocol Summary for Therapy for High Risk Gestational Trophoblastic
Neoplasia (GTN) Using Etoposide, Methotrexate, Leucovorin (Folinic Acid),
DACTINomycin, Cyclophosphamide and vinCRIStine

Drugs.com, 2020.

Ming ho, C., Lun hu, H., Tai Ho, S., Joung Wang, J.,2011, Dexamethasone
prevents postoperative nausea and vomiting: Benefit versus risk, Acta
Anaesthesiologica Taiwanica, Volume 49, issue 2 pagges 100-104.

Patel P, Paw Cho Sing E, Dupuis LL. Safety of clinical practice guideline-recommended
antiemetic agents for the prevention of acute chemotherapy-induced nausea
and vomiting in pediatric patients: a systematic review and meta-
analysis. Expert Opin Drug Saf. 2019 Feb;18(2):97-110.

http://www.bccancer.bc.ca/drug-database- site/Drug
%20Index/Cyclophosphamide_monograph_1June2013_formatted.pdf

Anda mungkin juga menyukai