Anda di halaman 1dari 13

Journal Reading

BRONKITIS AKUT

Disusun Oleh:

Aristya Rahadiyan Budi 1840312410


Norma Sartika Yulinar 1840312416
Dwi Ramadhani 1840312621

Preseptor:

dr. Sabrina Ermayanti, Sp.P(K), FIRS

dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
Bronkitis Akut Non - Komplikata
Latar Belakang. Bronkitis akut adalah penyakit batuk akut yang berada pada dewasa yang
sehat yang berlangsung umumnya 1 sampai 3 minggu. Pembahasan dari jurnal ini mencakup
patofisiologi dari kondisi dan memberikan beberapa pendekatan klinis terhadap evaluasi dan
tatalaksana dari bronkitis akut tanpa komplikasi. Beberapa point yang dibuat antara lain: (1)
Virus traktus respiratorius nampak menjadi penyebab terbanyak dari kasus bronkitis akut
tanpa komplikasi.; (2) Infeksi pertussis umumnya ditemukan pada 10% sampai 20% dari
kasus pasien dewasa dengan penyakit batuk yang berjalan lebih dari 2 sampai 3 minggu.
Tidak ada manifestasi klinis yang khas yang dapat membedakan infeksi pertusis dan non –
pertusis pada pasien dewasa yang pada masa kecilnya mendapat imunisasi pertusis.; (3)
Hiperesponsivitas bronkial merupakan mekanisme predominan yang menyebabkan bronkitis
akut tanpa komplikasi ; (4) Menyingkirkan diagonsis pneumonia merupakan tujuan utama
pada saat evaluasi pasien dewasa dengan penyakit batuk akut tanpa komorbiditas dan gejala
asma. Pada pasien tanpa tanda vital abnormal (HR>100bpm, RR>24bpm, Temperatur >38C),
kemungkinan pneumonia sangatlah rendah.;(5) Uji coba klinis dengan placebo yang
dikerjakan secara random tidak menyarankan untuk pemberian terapi rutin antibiotik pada
kasus bronkitis akut non – komplikata;(6) Uji coba klinis dengan placebo yang dikerjakan
secara random telah menunjukan bahwa pemberian albuterol inhalasi memperpendek durasi
dari batuk pada pasien dewasa dengan bronkitis akut tanpa komplikasi.;(7) Penelitian
intervensi menyarankan bahwa pemberian terapi antibiotik pada kasus bronkitis akut tanpa
komplikasi dapat dikurangi degnan memberikan edukasi terhadap pasien dan pemberi
layanan kesehatan.
Pendahuluan
Bronkitis ‘akut’ atau ‘unspecified’ merupakan diagnosis yang paling sering diberikan pada
pasien. Pada tahun 1997, diestimasikan 30 juta dari kunjungan ambulans untuk batuk
menghasilkan lebih dari 12 juta diagnosis dari bronkitis. Untuk kebanyakan penyakit
tersebut, bronkitis akut merupakan diagnosis yang paling akurat. Ini dapat diaplikasikan pada
kasus pasien dewasa yang seharusnya sehat yang menderita gejala penyakit yang berdurasi 1
sampai 3 minggu dengan batuk sebagai keluhan utamanya dan kemungkinan pneumonia telah
disingkirkan. Pada negara maju, diagnosis dari bronkitis akut dapat disinonimkan dengan
terapi antibiotik. Rata – ratanya, sekitar 70% sampai 90% dari kunjungan pasien dengan
bronkitis akut berakhir dengan terapi dengan antibiotik. Namun, evidence – based review dan
meta – analisis dari uji coba klinis random telah menyimpulkan bahwa terapi antibiotik rutin
tidak memberikan dampak klinis yang signifikan terhadap bronikitis akut dikarenakan
kebanyakan kasus dari bronkitis akut disebabkan karena infeksi virus.
Dengan tujuan untuk memperbaiki dan manajemen dari penggunaan antibiotik yang
berlebihan pada kasus bronkitis akut dewasa, kami telah menjajarkan perkembangan dari
patofisiologi, evaluasi, dan tatalaksana dari bronkitis akut non – komplikata, dan
mendiskusikan usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi pemberian antibiotik pada
penyakit ini.
Metode Penelitian
Metode.
Sebagian besar dari pembahasan, analisis, dan interpretasi dari berbagai literatur telah
dilakukan dalam proses pembuatan dari ”Principles of Appropiate Antibiotics Use for Adults
with Acute Respiratory Tract Infections”, sebuah proyek yang didukung oleh Center for
Diseases Control and Prevention. Jurnal ini memberikan pembahasan yang lebih luas
terhadap bronkitis akut dibandingkan proyek tersebut, yang disarankan untuk rekomendasi
pelayanan primer kesehatan. Sumber pendanaan tidak memiliki dampak terhadap
pengambilan data, analisis, maupun interpretasi dari data atau keputusan untuk publikasi dari
jurnal ini.
Studi untuk diagnosis, etiologi, dan penatalaksanaan dari bronkitis akut diambil dari
MEDLINE dengan menggunakan ‘Medical Subject Heading’ dan pencarian perkata untuk
‘batuk’, ‘bronkitis’, dan ‘infkesi pernafasan akut’. Jurnal yang digunakan dimulai dari jurnal
yang dipublikasikan pada tahun 1966 dan terbatas pada jurnal yang menggunakan dewasa
muda sebagai subjek penelitian. Bibliografi dari artikel dan buku teks yang berhubungan
dengan bronkitis akut juga digunakan. Studi yang telah teridentifikasi dari pembahasan
literatur formal dari meta – analisis dari tatalaksana antibiotik dari bronkitis akut membentuk
dasar pembahasan dari kemanjuran terapi antibiotik terhadap bronkitis akut. Studi etiologi
uga digunakan untuk mengestimasikan insiden dan prevalensi dari infeksi bakterial
dieksklusikan apabila studi tersebut dilakukan pada masa adanya terjadinya wabah atau
epidemik dari patogen tertentu (sebagai contohnya, wabah Chlamydia pneumoniae dalam
universitas) atau apabila dilakukan dalam lingkungan rumah sakit, pasien rujukan ke dokter
spesialis, ataupun komorbiditas dari penyakit paru kronis.
Patofisiologi
Definisi
Taksonomi yang digunakan sekarang untuk diagnosis dari infeksi respirasi akut didasari dari
korelasi anatomis antara manifestasi klinis yang ada pada penyakit tersebut. Oleh karena itu,
didefinisikan bronkutis akut adalah penyakit batuk yang berlangsung selama kurang dari 2
sampai 3 minggu, dengan atau tanpa produksi dari dahak, dan sering disertakan dengan antau
tanpa gejala konstitusional. Telah didefinisikan bahwa batuk yang berlangsung lebih dari 3
minggu telah didefinisikan sebagai “presisten” ataupun “kronis” namun tidak sebagai
“bronkitis kronis”, karena definisi dari bronkitis kronis adalah pasien dengan batuk setiap
hari dengan produksi sputum yang berlangsung minimal selama 3 bulan, selama rentang
waktu 2 tahun, dan tanpa penyakit yang dapat menyebabkan produksi sputum lainnya yang
menyertai. Pertimbangan diagnostik pada dewasa dengan penyakit batuk presisten dengan
pasien dengan penyakit batuk kurang dari 3 minggu. Ponstnasal drip, asma, dan penyakit
refluks gastroesofageal tercatat lebih dari 75% dari kasus dari penyakit dengan batuk yang
berlangsung minimal 3 minggu dengan hasil radiologi negatif.
Pembahasan ini memfokuskan pada bronkitis akut non – komplikata, bukan pada bronkitis
akut pada asien dengan penyakit mendasari seperti penyakit paru atau jantung kronis, pasien
dengan imunosupresi, atau superinfenkesi dari bakteri. Bronkitis akut pada pasien dengan
emfisema ataupun bronkitis kronis, sebagai contohnya, digolongkan sebagai penyakit yang
terpisah (eksaserbasi akut dari bronkitis akut) dengan etiologi dan tatalaksana yang berbeda.
Dikarenakan pasien degnan penyakit jantung (khususnya dengan gagal jantung kongestif)
atau dengan gangguan imunosupresi sering dieksklusikan dari studi patofisiologi dan
tatalaksana dari bronkitis akut, penemuan yang umum pada pasien dengan komorbiditas
tersebut tidak diketahui. Superinfeksi bakterial setelah infeksi traktus respiratorius akut oleh
virus (seperti sepsis bakterial ataupun pnemunoia, khususnya paska infeksi virus influenza)
harus dipertimbangkan pada pasien dengan bronkitis akut yang mulai menimbulkan gejala
klinis pneumonia. Namun, komplikasi seperti hal tersebut jarang terjadi pada pasien tanpa
gangguan imuosupresi ataupun gangguan jantung.
Etiologi
Virus respirasi, terutama influenza, nampak sebagai penyebab pada mayoritas kasus dari
bronkitis akut non – komplikata pada kasus yang telah teridentifikasi penyebabnya via kultur,
serologi antibodi, atau via polymerase chain reaction. Pada keadaan tertentu, penyebab
penyebabab dari bronkitis akut non – komplikata non – infeksi, seperti asma dengan varian
batuk ataupun pajanan terhadap alergen harus juga masuk sebagai pertimbangan. Virus yang
biasanya menyebabkan bronkitis akut non – komplikata biasanya dapat menyebabkan
penyakit traktus respirasi bawah (influenza B, influenza A, parainfluenza, dan virus respirasi
sinsitial) dibandingkan dengan yang menyebabkan penyakit infeksi respiratorius atas
(coronavirus, adenovirus, dan rhinovirus).
Perhatian lebih juga telah diberikan pada virus sinsitial sebagai penyebab dari bronkitis akut
non – komplikata pada dewasa, terutama pada pasien lansia. Infkesi dengan virus sinsitial
sering terjadi terutama pada rumah dengan anak yang terinfeksi penyakit respirasi dan pada
keadaan institusi. Kebanyakan pasien muda dan dewasa yang terinfeksi dari virus ini
memiliki presentasi labih besar untuk terkena bronkitis akut.
Ketika studi mikrobakterial dilakukan pada pasien dengan bronkitis akut non – komplikata,
kurang dari 10% dari total jumlah kasus terjadi akibat infeksi bakteri akut. Sampai saat ini,
hanya Bordetella pertussis, Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydia pneumoniae telah
ditentukan sebagai penyebab dari bronkitis akut. Tidak ada bukit yang menyokong bahwa
Sterptococcus pnemoniae, Haemophhilus influenzae, atau Moraxella catarrhalis dapat
menyebabkan bronkitis akut pada dewasa tanpa penyakit respirasi yang mendasari; studi
yang menemukan asosiasi antara bakteri tersebut dengan bronkitis akut tidak dapat
membedakan antara kolonisasi dan infeksi akut. Namun, bakteria tersebut merupakan
penyebab utama dari superinfeksi bakterial pasca infeksi virus dari penyakit respirasi.
Penemuan bahwa C. pneumoniae dapat menyebabkan bronkitis akut dapat dikatakan baru.
Penemuan ini menimbulkan kembali spekulasi bahwa patogen bakterial, dan terapi antibiotik
sebagai dampaknya, dapat memainkan peran signifikan dari bronkitis akut non – komplikata.
Penemuan dari B. pertussis dan B. parapertussis dapat meneybabkan bronkitis akut non –
komplikata pada pasien yang telah diimunisasi juga dapat dikatakan baru. Walaupun imunitas
terhadap bakteri – bakteri tersebut dapat berlangsung seumur hidup pada orang dewasa yang
telah terkena penyakit tersebut, pada anak – anak yang telah terimunisasi, imunitas terhadap
penyakit tersebut biasanya berkurang mulai dari umur 3 tahun dan muncul kembali pasca 10
– 12 tahun. Infeksi yang disebabkan oleh penyakit ini biasanya bersifat ringan dibandingkan
pada anak – anak.

Mekanisme dari Manifestasi Penyakit


Kesimpulan dari literatur mengatakan bahwa manifestasi klinis dari bronkitis akut non –
komplikata berkembang dalam fase berurutan. Fase akut dari infeksi terjadi akibat inokulasi
langsung dari epitel trakeobronkial akibat infeksi virus, menyebabkan pelepasan sitokin dan
aktivasi sel inflamasi. Fase ini dikarakteristikan dengan berbagai gejala konstitusi, seperti
demam, mialgia, dan malaise yang berlangsung selama 1 sampai 5 hari tergantung dari agen
infeksi yang menyebabknannya. Sebagai contohnya, bronkitis akut non – komplikata akibat
rhinovirus dapat menimbulkan gejala konstitusi yang ringan sampai tidak ada gejala sama
sekali, sedangkan gejala konstitusi akibat infeksi dari influenza ataupun parainfluenza dapat
menyebabkan gejala konstitusi yang berat selama 3 sampai 5 hari.
Fase larut dari bronkitis akut non – komplikata disebabkan akibat hipersensitivitas dari epitel
trakeobronkial dan reseptor jalur napas. Fase ini memiliki ciri khas yaitu batuk, dan biasanya
disertai dengan produksi dahak yang berlangsung 1 sampai 3 minggu. Abnormalitas dari
fungsi pulomner biasanya mencapai puncak pada 1 minggu atau lebih pasca infeksi dan tidak
memiliki hubungan terhadap efek sitopatik dari infeksi ataupun tie dari infeksi. Fungsis
respirasi epitel memiliki peran penting dalam inflamasi jalur nafas, dan hiperresponsifitas
dari jalur nafas bertepatan dengan perbaikan dari permukaan epitel bronkial. Mekanisme lain
dari hiperresponsivitas bronkial dapat juga ditemukan, seperti pada ketidakseimbangan dari
adrenergik – kolinergik dan pelepasan histamin via IgE. Penemuan pada tes pulmoner
konsisten dengan hiperresponsivitas bronkial pada bronkitis akut non – komplikata adalah
umum dan biasanya bersifat sementara.
Dapat dengan aman untuk menduga bahwa pada kebanyakan pasien dengan bronkitis akut
non – komplikata, hiperresponsivitas bronkial berkaitan dengan infeksi akut dan akan selesai
dengan sendirinya. Namun, telah dispekulasikan bahwa pada sebagian kecil pasien, bronkitis
akut non – komplikata dapat berdisposisi ataupun berubah menjadi kondisi asma akut.
Manifestasi Klinis dan Evaluasi
Bronkitis akut tanpa komplikasi biasanya dibedakan dari infeksi saluran pernapasan atas akut
lainnya berdasarkan kondisi batuknya dan presentasi klinis yang menyertainya, seperti
produksi dahak dan wheezing. Meskipun asma yang tidak terdiagnosis dapat menjadi
pertimbangan (sebagai diagnosis banding) pada pasien yang mengalami batuk akut, diagnosis
ini (asma) sulit untuk ditetapkan karena banyak pasien dengan bronkitis akut memiliki
bronkus hiperresponsif sementara dan hasil spirometri yang abnormal. Diagnosis asma varian
batuk (Cough-variant asthma/CVA), dapat dicurigai pada pasien dengan batuk persisten
(durasi lebih dari 2 hingga 3 minggu), wheezing yang kurang/tidak ada, dan, biasanya, hasil
tes fungsi paru yg normal. Asma varian batuk harus dicurigai pada orang dewasa dengan
batuk yang memburuk pada malam hari atau batuk yang muncul setelah terpapar udara dingin
atau setelah olahraga; diagnosis bergantung pada ada atau tidaknya peningkatan hasil tes
fungsi paru dengan pengobatan bronkodilator atau tes tantangan metakolin (bronkoprovokasi)
dengan hasil positif. Oleh karena itu, dengan tidak adanya obstruksi udara yang mendalam,
kecurigaan dan work-up (berbagai macam pemeriksaan medis/pemeriksaan medis lengkap)
untuk asma varian batuk atau asma sebelumnya tidak terdiagnosis. harus dilakukan pada
pasien dengan batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu.

Menyingkirkan kemungkinan pneumonia, adalah tujuan utama dalam evaluasi pasien dewasa
dengan batuk akut ketika kondisi penyerta dan asma absen/tidak ada atau tidak
memungkinkan. Empat studi prospektif (dari tahun 1966 hingga 1995) mengevaluasi
keakuratan riwayat pasien dan temuan dari pemeriksaan fisik dalam mendiagnosis pneumonia
radiografi (pneumonia yang didiagnosis pasti menggunakan rontgen) pada orang dewasa
dengan penyakit pernapasan akut. Pada studi validasi oleh kelompok peneliti independen,
spesifisitas (67%) tetapi tidak sensitivitas (75%) dari aturan (pemeriksaan rontgen) ini untuk
mendeteksi pneumonia melampaui penilaian (diagnosis kerja) dokter (spesifisitas, 58%;
sensitivitas, sekitar 75%). Para penulis dari review (artikel) berbasis bukti (evidence) dan
berbasis kualitas terbaru menyimpulkan bahwa kurangnya abnormalitas (kurangnya kelainan)
pada tanda vital (denyut jantung> 100 kali / menit, tingkat pernapasan > 24 napas / menit,
dan suhu tubuh yang diukur di mulut (suhu> 38 ° C) dan pemeriksaan dada (tidak adanya
konsolidasi fokal pada paru, seperti suara rales/crackles/krepitasi, suara egofoni, atau
fremitus) secukupnya mengurangi kemungkinan pneumonia sehingga pengujian diagnostik
lebih lanjut biasanya tidak diperlukan.

Meskipun semua studi yang merekomendasi hal ini didasarkan pada pasien orang tua dan
pasien dengan penyakit paru-paru kronis yang diikutsertakan, indeks kecurigaan yang tinggi
untuk pneumonia masih diperlukan pada orang seperti itu, mengingat adanya kemungkinan
peningkatan manifestasi atipikal penyakit. Sebaliknya, ketika salah satu temuan ini ada
(ditemukan), keputusan untuk melanjutkan ke pemeriksaan radiografi harus
mempertimbangkan pasien spesifik (kondisi spesifik pasien) dan karakteristik lingkungan.
Misalnya, ketika kelainan tanda vital terdeteksi tanpa adanya temuan pada auskultasi dada,
radiografi dada mungkin tidak diindikasikan pada pasien dengan fitur klinis lainnya
mengarah pada penyakit virus (seperti influenza, parainfluenza, atau respiratory syncytial
virus), khususnya ketika terjadinya wabah influenza atau infeksi virus lainnya. Atau, selama
musim influenza, kelainan tanda vital dapat menunjukkan superinfeksi bakteri (seperti
pneumonia atau sepsis), khususnya di kalangan orang tua dengan penyakit penyerta.

Sekresi purulen sering disebut sebagai alasan untuk meresepkan antibiotik untuk penyakit
batuk akut. Namun, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sekesu purulen adalah
prediktor yang buruk dari infeksi bakteri. Berkenaan dengan bronkitis akut, sebuah studi
menemukan bahwa sputum purulen dikaitkan lemah dengan pneumonia yang diteggakan
melalui radiografi (risiko relatif untuk pneumonia, 2,0 [CI tidak dilaporkan]; p = 0,05) pada
analisis bivariat, dan tidak terkait dengan pneumonia pada analisis multivariat. Selain itu,
sputum purulen ditemukan pada 65% pasien dengan pneumonia namun juga ditemukan pada
48% pasien tanpa pneumonia. Mengingat prevalensi pneumonia pada pasien ambulatory
(pasien rawat jalan) hanya sekitar 5% dari orang dewasa yang dicurgai mengidap bronkitis
akut, 9 dari 10 pasien dengan sputum purulen tidak mengidap pneumonia.

Beberapa kelompok peneliti dari Eropa telah mempromosikan pengukuran tingkat protein C-
reaktif serum untuk membantu mengeyampingkan infeksi bakteri dan pneumonia pada orang
dewasa dengan bronkitis akut. Protein C-reaktif adalah suatu reaktan fase akut yang terutama
disintesis oleh hati, dan tingkat protein C-reaktif meningkat secara akut selama infeksi bakteri
yang serius. Dengan pengecualian penting pada virus adenovirus dan Epstein-Barr, sebagian
besar infeksi virus tidak terkait dengan peningkatan protein C-reaktif (sebagian besar
penyakit virus tidak menunjukkan peningkatan pada protein C-reaktif, kecuali pada virus
adenovirus dan Epstein-Barr, di mana kedua virus ini meunjukkan peningkatan protein C-
reaktif). Penyakit inflamasi, seperti artritis reumatoid, trauma jaringan, luka bakar, dan tumor
ganas, juga telah terbukti merangsang produksi proutein C-reaktif; peningkatan level (protein
C-reaktif) harus diinterpretasikan berdasarkan keadaan masing-masing pasien (patient-by-
patient basis). Sebagian besar studi, sampai saat ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi
(80% hingga 100%) tetapi hanya spesifisitas sedang (60% hingga 70%) untuk peningkatan
protein C-reaktif dalam membedakan bakteri pneumonia. Dibandingkan dengan penilaian
dokter dan aturan keputusan yang dijelaskan di atas, penggunaan tingkat protein C-reaktif
tampaknya tidak menguntungkan dalam memutuskan pasien mana yang harus menjalani
radiografi/rontgen dada dalam menyingkirkan kemungkinan pneumonia. Namun, studi lebih
lanjut tentang apakah pasien dewasa dengan bronkitis akut tanpa komplikasi dan kadar
protein C-reaktif yang tinggi memiliki hasil luaran klinis yang lebih buruk atau memiliki
manfaat dari pengobatan antibiotic, dapat menghasilkan temuan yang bermanfaat.

Meskipun artikel ini berfokus pada bronkitis akut yang didefinisikan sebagai penyakit batuk
yang berlangsung kurang dari 3 minggu, cukup bijaksana untuk menyebutkan bahwa infeksi
B. pertusis harus dipertimbangkan pada orang dewasa dengan batuk berkepanjangan. Hingga
20% orang dewasa dengan batuk berkepanjangan atau terus-menerus memperlihatkan bukti
serologis akan infeksi B. pertussis (dengan durasi batuk rata-rata , 4 hingga 6 minggu).
Kecuali pada pasien dengan riwayat terpapar pada seseorang yang terinfeksi pertusis, tidak
ada tanda klinis yang tampaknya membedakan infeksi pertusis dari infeksi nonpertussis pada
orang dewasa dengan batuk berkepanjangan. Orang dewasa dengan atau tanpa infeksi
pertussis tidak menunjukkan perbedaan dalam durasi batuk atau frekuensi batuk paroksismal,
batuk nokturnal, produksi sputum, riwayat demam, riwayat infeksi saluran pernafasan atas
sebelum batuk terjadi, jumlah leukosit, atau jumlah limfosit. Ini dikarenakan oleh gejala
klinis dari infeksi B. pertussis pada pasien dewasa yang sebelumnya telah menjalani
imunisasi (di mana mereprentasikan kebanyakan orang dewasa yang lahir di Amerika
Serikat) tidak memiliki gejala klasik dari batuk rejan dan post-tussive emesis, yang biasanya
ditemukan pada infeksi primer pada anak. Tes diagnostik yang sesuai (kultur atau polymerase
chain reaction), dalam konsultasi dengan departemen kesehatan masyarakat setempat, harus
dilakukan pada semua pasien dengan dugaan pertusis. Dengan pengecualian yang tidak biasa
dari dugaan pertusis, tidak ada evaluasi lebih lanjut yang diindikasikan pada orang dewasa
dengan gejala klinis bronkitis akut tanpa komplikasi.

Pengobatan

Pengobatan Antimikrobial

Antibiotik

Karena bronkitis akut tanpa komplikasi terutama disebabkan oleh virus, tidak mengherankan
jika sembilan uji coba acak (randomized), terkontrol plasebo yang dilakukan pada 25 tahun
terakhir, gagal mendukung peran pengobatan antibiotic dalam bronkitis akut tanpa
komplikasi. Pada pertengahan 1990-an, artikel-artikel dengan uji acak (randomized) dan
terkontrol placebo (placebo-controlled) yang diterbitkan, menyimpulkan bahwa pengobatan
antibiotic rutin pada bronkitis akut tidak konsisten mengurangi durasi atau keparahan
penyakit. Semenjak itu, tiga uji meta-analisis telah menghasilkan hasil yang bertentangan
tetapi memiliki kesimpulan serupa. Uji-uji meta-analisis ini terganggu oleh kurangnya
keseragaman dalam ukuran hasil dari masing-masing percobaan acak, terkontrol plasebo dan
dengan memasukkan (hasil dari) studi (penelitian) berkualitas rendah. Dalam penelitian meta-
analisis yang dilakukan oleh Smucny dan rekan, durasi rata-rata batuk didapatkan sebanyak
6,3 hari dalam kelompok yang diobati dengan antibiotik dan 7,2 hari pada kelompok plasebo;
perbedaan rata-rata yang berbobot antar kelompok tidaklah signifikan secara statistik (-0,94
hari [95% CI, -2,1 hingga 0,2 hari]). Namun, ketika batuk tersebut diperlakukan sebagai
variabel dikotomi ((proporsi pada pasien dengan batuk pada kunjungan lanjutan (follow-up
visit) di hari ke 7 hingga hari ke 10)), kelompok-kelompok tersebut berbeda secara
signifikan (risiko relatif, 0,69 [CI, 0,49-0,98]). Bent dan rekan,
mengubah/mengtransformasikan hasil pengukuran heterogen untuk menghitung "ringkasan
ukuran efek yang terstandardisasi”; mereka melaporkan bahwa antibiotic menurunankan
durasi batuk dan dahak sebanyak 0,5 hari selama periode 7 hari. Fahey dan rekan
mengeluarkan (tidak mengikutsertakan) tiga percobaan yang telah dimasukkan dalam studi
meta-analisis sebelumnya, atas dasar kualitas (penelitian) yang buruk atau kurangnya
informasi dikarenakan tidak adanya follow-up (pada pasien). Mereka melaporkan tidak
adanya manfaat dari pengobatan antibiotic dalam (mengurangi) durasi batuk. Ketiga
penelitian meta-analisis melaporkan tidak ada dampak pengobatan antibiotic pada durasi
penyakit, pembatasan aktivitas, atau kehilangan (daya) kerja, dan semua menyimpulkan
bahwa perawatan antibiotik rutin pada orang dewasa dengan bronkitis akut tidak dibenarkan.
Konsisten dengan (dan sebelum) kesimpulan ini, the U.S. Food and Drug Administration
(Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat) juga meninjau literatur
tentang “Infeksi bakteri sekunder dari bronkitis akut” (bronkitis akut) dan menyimpulkan
bahwa penelitian acak dan terkontrol plasebo yang dilakukan di masa depan terhadap
pengobatan antibiotik pada bronkitis akut tannpa komplikasi tidaklah dijamin.
Beberapa bias epidemiologi yang terdapat pada bias literatur ini mendukung dalam
menemukan manfaat perawatan yang jelas. Uji coba terkontrol plasebo yang disponsori oleh
perusahaan farmasi kurang (tidak banyak uji coba yang disponsori oleh perusahaan farmasi
dalam uji-uji di atas), meskipun mereka kemungkinan telah melakukan (bias publikasi),
khususnya mengingat potensi pasar yang luar biasa untuk pengobatan antibiotik untuk
kondisi ini. Kedua, bias kesalahan klasifikasi mungkin terjadi, karena sebagian besar
penelitian acak, terkontrol plasebo tidak melakukan rontgen/radiografi dada pada semua
pasien dan adanya bahkan sejumlah kecil pasien dengan pneumonia (yang dimasukkan dalam
penelitian bronkitis akut ini) akan mendukung manfaat nyata dari antibiotic (yang seharusnya
tidak menunjukkan manfaat, karena bronkitis akut bukan disebabkan oleh bakteri, namun
hasilnya menjadi bias karena ada pasien pneumonia yang diikutsertakan). Kita dapat
menduga bahwa hingga 5% pasien dengan diagnosis kerja bronkitis akut, d akan memiliki
hasil radiografi berupa pneumonia, meskipun tidak ada morbiditas signifikan yang dikaitkan
dengan kelompok placebo di dalam penelitiandari. Dalam sebuah studi intervensi di mana
pengobatan antibiotik pada pasien bronkitis akut tanpa komplikasi diturunkan sebesar 50%,
kejadian pneumonia tidaklah meningkat. Ketiga, kemungkinan dibukanya (informasi
penelitian) atau unmasking (kepada subyek penelitian) selama penelitian acak, terkontrol
plasebo (di mana pasien mengtahui kelompok pengobatan mana yang ditempatkan untuk
mereka), meningkat dikarenakan efek samping gastrointestinal yang terkenal dari makrolida.
Misalnya, dalam satu penelitian, 26% dari pasien yang diterapi eritromisin melaporkan
keadaan tidak enak dari sistem gastrointestinal, dibandingkan dengan 5% penerima plasebo.
Fenomena ini akan bias dalam mendukung manfaat antibotik yang jelas yang dimediasi
melalui efek plasebo. Uji coba tidak acak, terkontrol plasebo melaporkan berapa proporsi dari
pasien bisa memprediksi apakah mereka diberikan obat dalam penelitian tersebut atau
diberikn plasebo, seperti yang telah direkomendasikan untuk uji acak terkontrol plasebo
berkualitas tinggi.
Satu-satunya keadaan yang jarang terjadi di mana pengobatan antibiotic pada bronkitis akut
tanpa komplikasi adalah tepat adalah pada penyakit dengan kecurigaan pertusis. Seperti yang
dibahas di atas, tidak ada fitur klinis yang dapat diandalkan yang membedakan pertusis dari
infeksi nonpertussis pada orang dewasa dengan batuk berkepanjangan. Oleh karena itu,
adalah bijaksana untuk memberikan pengobatan antibiotic pada orang dewasa yang
melaporkan dirinya terpajan dengan seseorang yang dicurgai atau memang benar menderita
pertusis atau untuk mereka dengan bronkitis akut selama wabah pertusis terjadi. Pengujian
diagnostik yang tepat harus dilakukan sebelum memulai pengobatan antibiotik empiris.
Karena pertusis dewasa paling sering datang ke pelayan medis setelah penyakit telah ada
untuk periode waktu yang lama, pengobatan antibiotik dianjurkan terutama untuk
mengurangi shedding (tumpah ruahnya) patogen dan penyebaran penyakit dan (obat ini)
bukanlah (ditujukan) untuk mengubah perjalanan klinis penyakit.
Influenza
Karena influenza adalah patogen yang paling umum yang diisolasi pada pasien dengan
bronkitis akut tanpa komplikasi, penting untuk mendiskusikan kemajuan terbaru dalam
diagnosis dan terapi influenza. Meskipun amantadine dan rimantadine telah tersedia selama
lebih dari 30 tahun, ), pengembangan terbaru dan pemasaran langsung ke konsumen akan
terapi inhibitor neuraminidase telah menghasilkan minat baru pada public dan dokter dalam
farmakologi pengobatan influenza. Review akan inhibitor neuraminidase yang disponsori
oleh Cochrane untuk tindakan profilaksis dan pengobatan influenza pada orang dewasa sehat
telah dilakukan baru-baru ini. Baik inhibitor neuraminidase yang dihirup (inhaled) maupun
yang diminum oral, menunjukkan efikasi dalam aktivitas pencegahan dan pengurangan durasi
penyakit pada orang dewasa yang terkena influenza A dan B. Keuntungan klinis utama dari
terapi inhibitor neuraminidase adalah aktivitasnya melawan influenza A dan influenza B;
sebaliknya, amantadine dan rimantadine memiliki aktivitas melawan influenza A saja, yang
menyebabkan sekitar 70% kasus influenza di sebagian besar tahun. Sajian selama 5 hari dari
setiap agen ini tampaknya memiliki dampak serupa pada penyakit influenza: durasi penyakit
yang lebih pendek sehari dan sekitar satu setengah hari lebih cepat kembali ke aktivitas
normal. Atas dasar perhitungan pada review Cochrane, efek samping dari rimantadine (yang
terjadi pada sekitar 32% pasien) terjadi hanya sedikit lebih sering daripada dengan terapi
inhibitor neuraminidase oral (sekitar 24% pasien) atau placebo (sekitar 19% pasien). Efek
merugikan dari rimantadine terutama mempengaruhi sistem saraf pusat, sedangkan efek
samping utama dari inhibitor neuraminidase adalah pada gastrointestinal.
Karena terapi dengan inhibitor neuraminidase, amantadine, atau rimantadine harus dimulai
dalam 48 jam (sebaiknya kurang dari 30 jam) dari onset gejala agar efektif, diagnosis cepat
diperlukan. Selama wabah influenza yang telah dikonfirmasi, prediksi positif dari diagnosis
klinis tampaknya baik (diagnosis klinis influenza cukup baik) sehingga membuat penggunaan
tes diagnostik cepat dapat tidak dilakukan (tidak perlunya tas diagnostic cepat/rapid
diagnostic test). Manajemen influenza oleh grup Southern Hemisphere Trialist Study,
mengevaluasi pengobatan neuraminidase pada influenza yang didapatkan dari masyarakat
(community-acquired influenza), melaporkan bahwa kecurigaan klinis (tidak didefinisikan
bentuk dari kecurigaan tersebut seperti apa) dari influenza adalah benar sekitar 70% dari
waktu selama didokumentasikannya wabah influenza. Sensitivitas dari tes diagnostic cepat
influenza, dilaporkan dalam studi yang disponsori industry tersebut adalah sebesar 65%
hingga 80%.
Pengobatan Simptomatis
Bronkodilator
Berbeda dengan temuan pada uji coba acak, terkontrol placebo yang mengevaluasi manfaat
terapi antibiotic untuk bronkitis akut tanpa komplikasi, tiga uji coba acak, terkontrol dari
efikasi pengobatan bronkodilator pada bronkitis akut tanpa komplikasi menunjukkan manfaat
pengobatan yang konsisten. Satu studi memberikan albuterol oral atau eritromisin oral yang
keduanya diberikan dalam bentuk sirup kepada pada 34 orang dewasa dengan batuk produktif
yang bertahan selama kurang dari 30 hari secara acak. Para peneliti mengamati lebih sedikit
pasien dengan batuk produktif dalam 7 hari pada kelompok albuterol dibandingkan kelompok
eritromisin (41% dan 82%, masing-masing; P < 0,001) tetapi tidak ada perubahan dalam
bekerja atau kegiatan sehari-hari. Penelit yang sama melakukan uji coba terkontrol plasebo
dari albuterol yang dihirup oleh 46 orang dewasa; mereka kembali menemukan perbaikan
yang signifikan secara statistic dalam proporsi pasien dengan batuk dalam 7 hari pada
kelompok albuterol dibandingkan dengan kelompok placebo (masing-masing 61% dan 91%,
P = 0,02). Manfaat pengobatan albuterol bertahan setelah penyesuaian untuk kelainan
pemeriksaan paru pada kunjungan awal, status merokok, dan pengobatan antibiotik. Melbye
dan rekan. membandingkan fenoterol yang dihirup dengan plasebo pada 80 orang dewasa
yang mengalami bronkitis akut. Mereka mengamati perbaikan yang signifikan secara klinis
pada rata-rata FEV1 di antara orang dewasa yang dikelompokkan untuk pengobatan fenoterol
(5,1%), tetapi tidak pada mereka yang dikelompokkan dalam kelompok plasebo (0,5%). Pada
uji coba tersebut, pasien dengan hiperresponsif bronkial, terdapat wheezing ketika auskultasi,
atau FEV1 kurang dari 80%, yang diobati menggunakan fenoterol, menunjukkan perbaikan
dari skor gejala total dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan placebo. Pasien
dengan kondisi paru normal saat kunjungan awal, tidak menunjukkan perbaikan oleh
pengobatan menggunakan fenoterol. Oleh karena itu, data yang konsisten mendukung
pengobatan dengan bronkodilator (β-agonis) untuk mengurangi durasi batuk pada orang
dewasa dengan bronkitis akut tanpa komplikasi. Sampai lebih banyak penelitian dilakukan,
pemberian pengobatan β-agonis untuk pasien dengan batuk yang menyulitkan dan pasien
dengan hiperresponsif bronkial, nampak cukup bijaksana. Meskipun tidak secara resmi
dipelajari pada orang dewasa dengan bronkitis akut, penggunaan aerochamber untuk
memaksimalkan pengiriman obat inhalasi didukung oleh bukti dari studi pada pasien dengan
penyakit saluran napas obstruktif kronis dan harus dipertimbangkan ketika obat hirup
diresepkan untuk pasien dengan bronkitis akut. Apakah pengobatan bronkodilator
antikolinergik efektif pada pasien dengan bronkitis akut, belum diketahui. Belum ada
penelitian yang telah diterbitkan mengenai terapi kortikosteroid inhalasi, meskipun
penundaan onset aksi terapi ini (biasanya 1 sampai 2 minggu) menghalangi penemuan
manfaat utama pada bronkitis akut tanpa komplikasi.
Agen Antitusif
Literatur tentang pengobatan antitusif cukup bermasalah karena kemanjuran agen-agen ini
tampaknya tergantung pada penyebab batuk. Batuk akut atau awal karena pilek atau infeksi
saluran pernapasan atas virus lainnya tidak terlihat menanggapi dekstrometorfan atau kodein
(tidak ampuh), sedangkan batuk kronis (durasi >3 minggu), batuk yang terkait dengan
penyakit paru yang mendasari, atau batuk yang secara eksperimental diinduksi,
mempelihatkan respon untuk kedua agen ini. Untuk pasien dengan bronkitis akut tanpa
komplikasi (dengan durasi rata-rata batuk adalah 2 hingga 3 minggu), preparat batuk yang
mengandung dextromethorphan atau kodein mungkin memiliki efek sederhana pada tingkat
keparahan batuk dan durasi batuk selama fase berkepanjangan dari penyakit.
Terapi Lain
Meskipun bukti dari uji coba acak terkontrol kurang, aksi berbiaya rendah dan berisiko
rendah, seperti eliminasi dari lingkungan yang dapat mentrigger batuk (misalnya debu atau
bulu/rambut) dan perawatan uap udara (terutama pada lingkungan dengan
humiditas/kelembaban rendah) merupakan pilihan terapi yang beralasan.
Praktek yang umum dalam mengobati bronkitis akut dengan antibiotik tidak diragukan lagi
muncul tanpa bukti klinis mengenai efektivitasnya dan mungkin merupakan praktek akibat
kesalahpahaman bahwa bakteri umum menyebabkan bronkitis dan kegagalan dalam
pengobatan dengan antibiotic tersebut dapat membawa pada komplikasi yang lebih serius,
seperti pneumonia. Kesalahpahaman ini muncul sebelum epidemi bakteri resisten antibiotic
dicapai oleh kesadaran medis dan publik. Buktinya tidak dapat dibantah bahwa tidak
meresepkan antibiotic kepada pasien dengan bronkitis akut tanpa komplikasi adalah aman
dan tidak menyebabkan morbiditas berlebih. Hasil dari intervensi edukasi seorang dokter dan
pasien baru-baru ini, harus mendorong dokter-dokter untuk menghindari meresepkan
antibiotic pada pasien bronkitis akut tanpa komplikasi. Dalam keadaan praktek, di mana
tingkat resep antibiotik untuk bronkitis akut tanpa komplikasi berkurang hampir 50%, tidak
ada peningkatan yang terlihat terkait dengan kunjungan kembali, durasi penyakit, atau
ketidakpuasan dari pengobatan. Ini adalah waktu yang jelas untuk menyerang dan,
diharapkan, menghentikan praktek (memberikan antibiotik pada pasien bronkitis akut tanpa
komplikasi) ini.
Dengan dasar bukti yang telah ada, rekomendasi praktek ini dapat diperhitungkan (gambar):
1. Tanda-tanda vital harus diukur pada semua pasien dengan penyakit batuk akut. Pada
kebanyakan orang dewasa sehat yang tidak tua, tanda-tanda vital yang normal dan
pemeriksaan dada dapat menyingkirkan pneumonia.
2. Perawatan antibiotik rutin tanpa komplikasi bronkitis akut tidak dianjurkan. Pasien
harus memastikan mendapatkan akses yang memadai untuk perawatan kesehatan, dengan
adanya tindak lanjut (follow-up) bagi mereka yang tidak mengalami perbaikan. Pasien harus
diinstruksikan tentang gejala apa yang dapat menjadi sugesti terhadap infeksi bakteri (seperti
demam baru dan sesak napas), meskipun komplikasi ini jarang terjadi.
3. Pada pasien yang mengi (wheezing) atau mengalami kesulitan batuk, terapi
bronkodilator inhalasi selama 1 hingga 2 minggu, seharusnya dapat dipertimbangkan.

*Pneumonia pada orang tua, orang-orang dengan imunosupresi, dan mereka dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) atau gagal jantung kongestif (CHF) sering muncul secara atipikal. Indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan ketika
mengevaluasi penyakit batuk pada pasien ini, bahkan ketika tanda-tanda vital dan pemeriksaan dada tampak normal. †
Pertimbangkan pengobatan pertussis jika pasien telah diketahui terkena pertusis. Ikuti pedoman pengujian departemen
kesehatan lokal; hasil yang tertunda, obati dengan eritromisin selama 14 hari. NSAID = obat anti-inflamasi nonsteroid.

Gambar: Algoritma yang diusulkan untuk evaluasi dan manajemen pasien dewasa dengan
penyakit batuk akut.
Kesimpulan
Tatalaksana umum untuk bronkitis akut dengan antibiotik dapat disimpulkan muncul tanpa
bukti klinis dari efektifitasnya dan mungkin muncul atas kesalahpahaman bahwa bakteria
komensal dapat menyebababkan bronkitis dan kegagalan terapi antibiotik dapat
menyebabkan pneumonia. Kesalahpahaman ini muncul sebelum epidemi dari bakteri yang
resisten terhadap antibiotik menjadi topik perbincangan dari khalayak umum dan medis.
Bukti dari penatalaksanaan bronkitis akut non – komplikata tanpa pemberian antibiotik itu
aman sudah tidak dapat dipungkiri dan tidak menghasilkan komorbid lain. Hasil dari edukasi
terhadap intervensi edukasi terhadap praktisi medis dan pasien dapat menjadi pendorong
untuk para praktisi klinis untuk berhenti memberikan antibiotik terhadap kasus bronkitis
kronis non – komplikata. Dalam lingkungan praktis dimana takaran dari pemberian antibiotik
untuk kasus bronkitis akut non – komplikata berkurang hingga 50%, tidak ada hubungan
yang nampak dalam kunjungan pasien berulang, durasi penyakit, ataupun ketidakpuasan
pasien terhadap pelayanan tersebut.
Berdasarkan bukti – bukti tersebut, berikut adalah rekomendasi praktek yang dapat
dilakukan; (1) Tanda vital harus diukur untuk semua pasien dengan penyakit batuk akut. Pada
pasien sehat, dan bukan lansia, temuan tanda vital dan pemeriksaan fisik dada yang normal
dapat menyingkirkan pneumonia sebagai kemungkinan diagnosis.; (2) Pemberian antibiotik
rutin sebagai tatalaksana bronkitis akut non – komplikata tidak dianjurkan. Pasien harus
diberikan akses terhadap pelayanan medis yang adekuat, dengan follow – up pada pasien
yang kondisinya tidak membaik. Pasien harus diberikan edukasi tentang gejala yang dapat
menyebabkan infeksi bakterial (seperti demam yang baru, dan kesulitan bernafas), walaupun
komplikasi ini jarang ditemukan.; (3) Pada pasien dengan wheezing atau memiliki batuk yang
problematis, terapi dengan bronkodilator inhalasi selama 1 sampai 2 minggu dapat
dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai