Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang
lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel. Dalam ekologi, makhluk
hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Pembahasan ekologi tidak
lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan
biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor
biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas,
dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan
(Suzyanna, 2013).

Dalam suatu ekosistem terdapat banyak komponen-komponen ekologi yang saling berinteraksi satu
sama lain. Dalam populasi terdapat fenomena interaksi antar maupun interspesies, yang bentuknya
meliputi kompetisi (-,-), predasi/parasitisasi (+,-), mutualisme (+,+), komensalisme (+,0), atau
amensalisme (0,0). Masing-masing interaksi tersebut akan sangat mempengaruhi dinamika populasi
masing-masing pemeran dalam ekosistem. Fenomena menarik yang akhir-akhir ini muncul adalah
predasi intraguild, yang merupakan kombinasi antara kompetisi dan predasi/parasitisasi, karena
predasi intraguild tersebut pada banyak kasus merupakan faktor utama dalam keberhasilan
pengendalian hayati (Widihastuy, 2010).

Semua makhluk hidup pada suatu lingkungan akan berinteraksi, baik dengan sesama makhluk hidup
maupun dengan lingkungannya. Salah satu interaksi yang terdapat pada suatu lingkungan adalah
proses predasi, yaitu interaksi antara spesies mangsa (prey) dengan spesies pemangsa (predator).
Selain proses predasi, terdapat juga simbiosis yang merupakan pola interaksi antara dua makhluk
hidup yang berlainan jenis (Frahma, 2014).

Pemangsaan mempunyai arti pengrusakan dengan cara dimakan atau dimangsa, sedangkan ikan
pemangsa (predator) biasanya diartikan sebagai musuh. Hal yang perlu diketahui dalam hubungan
mangsa pemangsa adalah jenis, jumlah dan ukuran ikan yang dimangsa serta bagaimana frekuensi
pemangsa mengambil mangsanya.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.    Mengetahui predasi yang terjadi di alam khususnya di perairan.

2.    Mengetahui pengaruh predasi dalam ekosistem.

3.     Mengetahui interaksi predasi yang terjadi dalam rantai makanan.


Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan mengenai predasi dalam
suatu ekosistem khususnya di perairan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Predasi

Predasi intraguild adalah saling membunuh/memakan antar spesies yang menggunakan sumber
daya yang sama, dimana spesies tersebut merupakan kompetitor potensial antara yang satu dengan
yang lainnya, dan spesies tersebut mempunyai cara akuisisi sumber daya yang sama. Atau, intraguild
adalah predasi yang terjadi antar anggota dalam kaum (suatu kelompok spesies yang mengeploitasi
sumber daya lingkungan yang sama dengan cara yang sama pula) yang sama. Predasi intraguild
merupakan kombinasi antara kompetisi dengan predasi/parasitisasi. Perbedaan antara predasi
intraguild dengan kompetisi adalah bahwa pada predasi intraguild , salah satu spesies mendapatkan
keuntungan (+,-), sedangkan pada kompetisi umumnya kedua-duanya mengalami kerugian (-,-).
Selain itu predasi intraguild berperan menurunkan kompetisi potensial (Widihastuy, 2010).

Kemampuan memangsa mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh,voracity (kerakusan),


waktu kejenuhan, tingkat kelaparan, kemampuan mencerna, kecepatan berjalan, dan lain-lain.
Keefektifan predator dicerminkan oleh tanggapnya terhadap kepadatan populasi mangsa.
keefektifan predator dalam pengaturan populasi mangsa dipengaruhi oleh kemampuan
berkembangbiak, kemampuan mencari mangsa, dan kisaran toleransi terhadap habitat dan instar
mangsa (Kembaren dkk., 2014).

Kemampuan pemangasa dalam mengendalikan populasi mangsa dapat dipelajari dengan cara
respon ungsional dan respon numerical. individu predator yang mekan secara aktif digambarkan
sebagai pergerakan melalui serangkaian kegiatan yang spesifik seperti skema dibawah ini:

Lapar  → Mencari  → Menjumpai → Menangkap → Memakan → Mencerna

Setiap tahapan di atas dipengaruhi oleh interaksi dari predator dan mangsanya. Interaksi tersebut
tidak hanya menentukan berapa banyak mangsanya yang diambil per satuan waktu, tetapi juga
macam mangsa mana dari mangsa yang tersedia yang diambil. Dengan memberikan hanya satu jenis
makanan yang tersedia, kita dapat menyelidiki hubungan antara mangsa yang diambil oleh predator
per satuan waktu dan kepadatan mangsa (Sitanggang dan Siregar, 2014).
Menurut Widihastuy (2010), gambaran interaksi kompetisi dan predasi intragulid yaitu:

1.  Rantai makanan yang tidak mempunyai fenomena intraguild dimana predator puncak hanya
memakan predator-predator spesies lain (predator intermediet) yang mempunyai sumber mangsa
yang sama. Antar predator intermediet terjadi fenomena kompetisi untuk mendapatkan makanan
yang jenisnya sama.

2.    Rantai makanan antar spesies, dimana terjadi fenomena intraguild di dalamnya. Predator
puncak bersama-sama dengan predator intermediet bisa mengeploitasi sumber mangsa yang sama,
tetapi predator puncak tersebut juga bisa memangsa predator konsumen.

3.   Rantai makanan yang didalamnya terjadi fenomena intraguild yang mempunyai dimensi struktur
umur. Dalam jaringan makanan ini yang mengeploitasi sumber makanan yang sama dengan predator
intermediet dan merupakan kompetitor potensial adalah stadia juvenil.

Menurut Sitanggang dan Siregar (2014), berdasarkan tingkah laku makan pemangsa, respon
fungsional kepadatan populasi mangsa dibagi atas tiga tipe, yaitu:

1.  Tipe I, terlihat pemangsa mempunyai sifat memangsa hanya sampai pada batas kemampuannya.
Kemampuan untuk makan tidak bias bertambah lagi meskipun kepadatan populasi mangsa
bertambah.

2.  Tipe II, pemangsa akan lebih banyak memangsa apa bila kepadatan mangsa tinggi, akibatnya
jumlah mangsa yang dimakan berubah menurut perubahan kepadatan. (pada semua jenis
avertebrata dan serangga).

3. Tipe III, pemangsa akan memangsa mangsanya dari jenis lainnya bila kepadatan mangsa
pertamanya sedikit, namun jika kepadatan mangsa pertama bertambah, maka pemangsa akan
memakannya lebih banyak sampai pada batas kemampuan.

Subjek Predasi

Subjek dari predasi adalah predator (pemangsa) dan prey (mangsa). Hubungan antara keduanya
sangat erat, sebab tanpa mangsa maka predator tidak dapat hidup begitu juga sebaliknya. Predator
juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Semakin banyak predator maka semakin sedikit
populasi mangsa, begitupun sebaliknya, semakin sedikit predator maka populasi mangsa akan
semakin meningkat. Khususnya pada predator, ada minimal 2 jenis predator yang menunjang suatu
ekosistem. Secara umum predator yang ada dapat dikelompokkan dalam 2 kelas, yaitupredator
intermediet (mangsa intraguild) dan predator puncak) (predator intraguild) (Widihastuy, 2010).

Pada umumnya di dalam modelpredator-prey, setiap prey yang bertemu dengan predator selalu


tertangkap dan termangsa. Bila diasumsikan tidak semuaprey yang bertemu predator saat predasi
tertangkap atau termangsa, dalam hal ini adaprey yang lolos atau mencari perlindungan saat predasi
oleh predator, maka tentunya akan berdampak negatif bagi populasipredator. Prey lolos atau
melakukan pelarian saat predasi dengan berbagai cara yaitu dengan kecepatan yang lebih besar
dibanding predator, kemampuan untuk melakukan manuver terhadap predator, menghindar
terhadap predator ketika sedang diburu, dan lain sebagainya.

Seleksi mangsa oleh predator dapat dikaitkan dengan salah satu dari dua mekanisme yang berbeda:
pilihan predator aktif atau pasif. Pilihan aktif terjadi ketika predator aktif memilih mangsa sesuai
dengan nilai gizi, sementara karakteristik fisik mangsanya fisik atau perilaku (mobilitas, ukuran) tidak
mempengaruhi pemilihan. Di sisi lain, seleksi pasif adalah hasil dari peluang predasi berdasarkan
karakteristik fisik dan/atau perilaku mangsa (kerentanan), bukan pilihan yang aktif. Misalnya,
mobilitas spesies mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertemuan mereka dengan tingkat
predator dan dengan demikian mempengaruhi kerentanan mereka terhadap predasi (Lamin dkk.,
2013).

Keunggulan sifat predator antara lain terlihat pada kecepatan bergerak, kekuatan yang lebih besar
dan ukuran tubuh yang lebih besar dari mangsanya. Predator yang mempunyai kemampuan
memangsa yang baik harus memiliki fisik yang memungkinkan predator tersebut mampu membunuh
mangsanya dengan cepat. perilaku predator dalam memangsa didahului dengan pengenalan berupa
gerakan predator yang untuk berjalan mendekati mangsa kemudian menjahuinya dengan beberapa
kali (Arobi dkk., 2013).

Keefektifan dan efisiensi predator sebagai musuh alami sangat tergantung kepada kemampuan
mencari dan menangani mangsanya pada keadaan kualitas dan kepadatan mangsa. Kepadatan
mangsa merupakan hal yang sangat penting, karena kerapatan mangsa akan menggambarkan
bagaimana respon predator terhadap ketersedian mangsanya yang dapat dianalisis dalam
kemampuan konsumsi dan fekunditas (Lamin dkk., 2013).

Kecepatan pemangsa mendapatkan mangsanya tergantung pada ukuran pemangsa dan kepadatan
mangsa. Selain itu semakin tinggi kepadatan mangsa, maka waktu yang dipergunakannya untuk
mencaripun makin singkat. Hubungan antara kecepatan penangkapan mangsa antara pemangsa
dengan mangsa disebut dengan Respon Fungsional (Sitanggang dan Siregar, 2014).

Contoh Predasi

Salah satu contoh predasi di estuari yaitu Geloina sebagai organisme bentik yang harus bersaing
dengan organisme bentik lainnya untuk memperebutkan ruang untuk memperoleh makanannya.
Keanekaragaman di daerah estuaria biasanya rendah tetapi kepadatan organismennya yang ada bisa
sangat tinggi. Kepadatan organisme yang tinggi baik antara spesies maupun sesama spesies itu
sendiri menyebabkan adanya persaingan untuk mendapatkan ruang guna memperoleh makanan,
tempat berlindung dari predator dan tempat untuk berkembang biak. Predasi bukan merupakan
salah satu faktor yang mengontrol kepadatan organisme bentik tetapi kepadatan organisme menthik
lebih banyak dipengaruhi oleh kompetisi. Kompetisi merupakan faktor untuk mempertahankan
ekspansi yang terbatas, meskipun faktor fisik dan biologis dalam lingkungan dketahui berpengaruh
langsung dan dapat menyebabkan berkurangnya jumlah individu dalam populasi (Suryono, 2016).

Dalam ekosistem terumbu karang, karang keras melakukan dan menghadapi kompetisi,
pemangsaan, dan parasitisme dengan berbagai biota terumbu sebagai bagian dari interaksi
ekologinya. Salah satu predator karang yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi
struktur terumbu karang yaitu Acanthaster planci. A. planci adalah biota jenis bintang laut yang
bertangan banyak dan berukuran sangat besar, dan memakan jaringan hidup dari karang keras
sehingga menyebabkan kematian bagi koloni karang. Keunikan morfologi yang dimiliki dan
kemampuan untuk menghasilkan telur dalam jumlah yang sangat besar menjadikan biota A.
plancisebagai salah satu predator karang yang sangat berbahaya di dalam komunitas terumbu
karang (Rani dkk., 2009).

Hubungan antara fitoplankton dan zooplankton terjadi di dalam rantai makanan dimana
zooplankton memakan fitoplankton, proses ini
dinamakan grazing (pemangsaan).Grazing (pemangsaan) tidak hanya sebagai penyebab mortalitas
fitoplankton tetapi juga merubah komposisi fitoplankton. Adanyagrazing inilah yang menyebabkan
perubahan biomassa fitoplankton di perairan. Laju siklus reproduksi fitoplankton jauh lebih cepat
dari pada zooplankton dan proses pemangsaan terjadi terus menerus sehingga komposisi
fitoplankton tetap stabil. Hal ini berlangsung dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun, sehingga
proses pemangsaan tersebut tidak banyak mempengaruhi jumlah fitoplankton secara keseluruhan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Predasi, yaitu hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab
tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol
populasi mangsa. Organisme yang memakan organisme lain disebut predator atau pemangsa,
sedangkan organisme yang dimakan disebut prey atau mangsa.

Fungsi predasi dalam suatu ekosistem adalah untuk menjaga populasi dari spesies predator maupun
mangsa agar tetap seimbang. Predator berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa (faktor
pembatas). Sebuah faktor pembatas membatasi pertumbuhan atau perkembangan suatu organisme
atau populasi.

Interaksi predasi dalam suatu rantai makanan tebagi tiga yaitu 1) rantai makanan yang tidak
mempunyai fenomena intraguild dimana predator puncak hanya memakan predator-predator
spesies lain (predator intermediet) yang mempunyai sumber mangsa yang sama; 2) rantai makanan
antar spesies, dimana terjadi fenomena intraguild di dalamnya; 3) rantai makanan yang didalamnya
terjadi fenomena intraguild yang mempunyai dimensi struktur umur.

DAFTAR PUSTAKA

Arobi, Y., S. Oemry dan F. Zahara. 2013. Daya Predasi Cecopet (Forficula auricularia) (Dermaptera :
Nisolabididae) pada Berbagai Instar Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera:
Noctuidae) di Laboratorium. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1 (2): 296-303. ISSN: 2337- 6597.
Frahma, A. W. 2014. Analisis Dinamik Model Simbiosis Komensalisme dan Predasi pada Populasi
Empat Spesies. Universitas Brawijaya, Malang.

Kembaren, E., D. Bakti dan L. Lubis. 2014. Daya Predasi Rhynocoris fuscipes F.


(Hemiptera:Reduviidae) Terhadap Ulat Api Setothosea asigna E. (Lepidoptera:Limacodidae) di
Laboratorium. Jurnal Online Agroekoteknologi. 2 (2): 577- 585. ISSN No. 2337- 6597.

Lamin, S., M. Kamal dan Fatimahulzahra. 2013. Kemampuan Memangsa, Fekunditas Menochillus


sexmaculata Fabr. (Coleoptera: Coccinellidae) pada KepadatanAphis gossypii Glov. yang Berbeda.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung.

Rani,  C., S. Yusuf dan F. D. S. Benedikta. 2009. Preferensi dan Daya PredasiAcanthaster


planci Terhadap Karang Keras.Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sitanggang, N. D. H. dan D. S. Siregar. 2014. Respon Fungsional Ikan Mujair (Oreochromis


mossambicus Peters) Terhadap Kepadatan Populasi Larva Nyamuk (Aedes aegypti L.). Seminar
Nasional XI Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.

Sunarno. 2012. Pengendalian Hayati (Biologi Control) sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian
Hama Terpadu (PHT). Journal Uniera. 1 (2).

Suryono, C. A. 2016. Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. (Bivalvia: Corbiculidae) dengan


Vegatasi Mangrove di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. Jurnal Kelautan Tropis. 19
(2): 115–122. ISSN: 0853-7291.

Suzyanna. 2013. Interaksi Antara Predator-Prey dengan Faktor Pemanen Prey.Journal of Scientific
Modeling & Computation. 1 (1):  58-66. ISSN: 2303-0135.

Widihastuy. 2010. Predasi Intraguild; Fenomena dan Pengaruhnya dalam Pengendalian Hayati.
Akademia. 14 (2): 69-73. ISSN: 1410-1315.

Anda mungkin juga menyukai