Anda di halaman 1dari 16

INTERAKSI HEWAN DENGAN LINGKUNGAN (RESPON

HEWAN PADA PREFERENSI DAN PREVALENSI)

Di Susun Oleh :
Kelompok 1
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen pengampu : Dr. Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Tujuan Pratikum
a. Untuk melihat peran ekologis hewan terhadap respon yang diberikan
rantai makanan dan melihat peran intra dan interspesifik hewan pada
habitatnya
b. Melihat preferensi hewan pada skala laboratorium
c. Mengetahun prevalensi hewan 15
B. Alat dan Bahan
Alat : Camera trap, handycam, termomter max-min, tali, meteran,
teropong, box ukuran 40x40cm
Bahan : alkohol 95% 1 liter, formalin 4% 250ml, aquades 1
liter, umpan ikan/gula/madu 1 botol kecil, kapas, asam asetat 4%

C. Cara kerja
1. Preferensi Kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung
kepada jenis dan jumlah pakan yang tersedia. Bila jumlah pakan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan, perpindahan
kesukaan terhadap jenis pakan dapat terjadi. Kesukaan (preferensi)
umumnya merupakan spesifik dari jenis, tetapi dapat berubah oleh
pengalaman. Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan
pengalaman sebelumnya disebut dengan “switching”. Peristiwa ini
terjadi dalam populasi bukanlah perpindahan yang bersifat berangsur-
angsur, melainkan perpindahan spesifik akibat ketidakseimbangan
pakan.
2. Cara kerja: Koleksilah ulat api pada hewan kelapa sawit. Beri makan
daun kelapa sawit untuk aklimatisasi hewan sebelum percobaan
minimal 10 ekor. kemudian laparkan selama kurang lebih 24 jam.
Lakukan juga pengkoleksian beberapa daun hewan Solanaceae.
Berilah alas pada cawan petri dengan kertas saring yang telah
ditetesi dengan 2-3 ml air (kertas saring dalam keadaan lembab).
Kemudian masukkan beberapa daun hewan Solanaceae yang ukurannya
masing-masing sama pada beberapa tempat dalam cawan petri dan ulat
yang telah dilaparkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi spesies adalah hal penting dalam ekologi suatu spesies. Dalam
suatu komunitas, terdapat sejumlah faktor biotic maupun abiotik yang
mempengaruhi distribusi, kelimpahan, dan interaksi spesies. Adanya interaksi
antar spesies akan menghasilkan suatu asosiasi antarspesifik yang polanya sangat
ditentukan oleh apakah dua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama,
mempunyai daya penolakan atau daya tarik, atau bahkan tidak berinteraksi.
Asosiasi ini bisa positif, negatif atau tidak ada asosiasi (Soegianto, 1994).
Menurut Swasta (2006), aspek kajian tentang afinitas spesies dalam komunitas
mengarah pada dua permasalahan utama yaitu tumpang tindih relung dan asosiasi
antar spesies. Penelitian ini akan membahas tentang asosiasi antar spesies yang
terjadi pada komunitas gastropoda.
Asosiasi spesies merupakan hubungan timbal balik antar spesies didalam
suatu komunitas dan dapat digunakan untuk menduga komposisi komunitas
(Michael, 1994). Menurut Nybakken, (2000) ada atau tidaknya asosiasi spesies
dalam komunitas dapat menunjukkan tingkat keragaman dalam komunitas
tersebut. Tingkat asosiasi spesies yang tinggi akan menunjukkan keragaman
spesies yang tinggi pula. Interaksi dan asosiasi intra dan inter spesies (afinitas
spesies) akan menghasilkan asosiasi spesifik yang polanya sangat ditentukan oleh
apakah spesies memilih atau menghindari habitat yang sama, mempunyai daya
penolakan atau daya tarik, atau tidak berinteraksi. Asosiasi bisa positif, negatif
atau tidak adanya asosiasi.
Menurut Michael (1994), asosiasi positif ditandai dengan kecenderungan
spesies selalu ditemukan bersama-sama atau tidak ditemukan bersama dalam
setiap petak pengamatan. Asosiasi positif cenderung bersifat mutualistik sehingga
salah satu spesies tidak merasa dirugikan oleh spesies lainnya, sedangkan asosiasi
negatif dapat terjadi karena adanya kompetisi atau persaingan dengan spesies lain
terhadap sumberdaya (nutrisi) dan ruang yang sama.
Dalam asosiasi negatif, hubungan antara spesies cenderung bersifat
merugikan sehingga salah satu spesies akan tertekan. Terjadinya asosiasi
disebabkan karena diantara spesies-spesies yang membentuk komunitas itu
terdapat jalinan fungsional yang dapat melahirkan keterikatan interaktif diantara
mereka. Keterikatan interaktif ini merupakan daya gabung yang cukup efektif
yang dapat membuat beberapa spesies untuk hadir bersama dalam suatu habitat.
Beberapa bentuk keterikatan interaktif yang 12 mendorong adanya asosiasi ini
adalah symbiosis, protokooperatif, kompetisi, predasi, dan komensalisme (Odum,
1971; Krebs, 1978; Keindeigh, 1975) dalam Swasta, 2006.
Menurut Kusmana (1995) asosiasi ini terjadi bila:
a) Kedua spesies tumbuh pada lingkungan yang serupa,
b) Distribusi geografi kedua spesies serupa dan keduanya hidup di daerah yang
sama,
c) Bila salah satu spesies hidupnya bergantung pada yang lain,
d) Bila salah satu spesies menyediakan perlindungan terhadap yang lain. Menurut
Swasta (2006)
terjadinya asosiasi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal ini terjadi yang berasal dari komunitas itu sendiri yaitu
berkaitan dengan sifat biologi dan ekologi suatu komunitas. Sifat biologis dan
sifat ekologis yang bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spesies memilih
cara dan kebutuhan hidup yang sama sehingga mereka cenderung ada
bersamasama dalam suatu habitat. Peluang asosiasi antar spesies sangat
ditentukan oleh luas atau sempitnya kisaran berbagai peubah ekologis yang
menjadi penentu kehadiran spesies dalam suatu habitat. Semakin luas kisaran
peubah ekologis, peluang hadirnya banyak spesies dalam satu corak habitat
semakin besar, dan ini berarti peluang adanya asosiasi diantara beberapa spesies
menjadi semakin besar pula.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal berasal dari habitat suatu komunitas yaitu tingkat
kemampuan habitat dalam menyediakan pilihan berbagai kondisi lingkungan dan
sumberdaya yang menjadi kebutuhan bagi komunitas. 2.1.2 Interaksi Antar
Spesies Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang
lain, tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau
lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Jadi interaksi spesies merupakan, hubungan timbal balik antar
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda.
Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Persaingan terjadi ketika
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda
menggunakan sumber daya alam. Di dalam menggunakan sumber daya alam, tiap-
tiap organisme yang bersaing akan memperebutkan sesuatu yang diperlukan untuk
hidup dan pertumbuhannya (Tyara, 2012). Interaksi antarpopulasi dapat
dikelompokkan berdasarkan mekanisme interaksi atau efek interaksi.
Ekologiawan menggunakan kedua klasifikasi ini dan sering menggabungkan
keduanya.
Menurut Leksono (2007) berdasarkan mekanisme, interaksi dibagi menjadi enam
jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetisi
Bila dua spesies tergantung pada sumber daya tertentu di lingkungannya
maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Biasanya
sumber daya yang diperebutkan adalah makanan, selain itu bisa juga tempat
berlindung, tempat bersarang, sumber air, cahaya matahari, dan sebagainya.
Secara klasik, kompetisi dibagi menjadi dua. Kompetisi eksploitataif /scramble,
yaitu kompetisi yang terjadi bekerja secara tidak langsung dengan pengurangan
sumber daya, dan kompetisi interferensi. Kontes, kompetisi yang melibatkan
interaksi langsung antarspesies seperti teritorialitas dan interferensi kimia.
2. Predasi
Predasi cukup sulit didefinisikan dengan tegas karena kisaran organisme
yang luas dalam mengkonsumsi makanannya.beberapa ekologiawan
mendefinisikan predasi sebagai semua kegiatan mengkonsumsi termasuk
herbivora, detrivori, parasitisme dan karnivora. Jika predasi dibatasi pada
pengertian konsumsi satu organisme oleh organisme lain pada saat mangsanya
dalam keadaan hidup maka detrivori tidak termasuk predasi. Kita mengenal istilah
heterptrof sebagai organisme yang mendapatkan energi dari organisme lain.
Dengan demikian semua predator adalah heterotrof namun tidak semua heterotrof
adalah predator. Menurut Tyara (2012), predasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih spesies yang salah satu pihak (prey, organisme yang dimangsa),
sedangkan pihak lainnya (predator, organisme yang memangsa) beruntung.
Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup.
Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa.
3. Herbivora
Herbivora merupakan proses interaksi utama antara hewan dan tumbuhan .
secara umum herbivora bersifat menguntungkan herbivor dan merugikan
tumbuhan.

4.Parasitisme
Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bila salah
satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari
hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Biasanya interaksi
parasitisme ini dilakukan oleh tumbuhan atau hewan tingkat rendah dengan
cara menumpang dan menghisap sari makanan dari hewan atau tumbuhan
yang ditumpanginya. Hewan atau tumbuhan yang ditumpangi biasa disebut
inang. Pada tumbuhan seperti tumbuhan benalu yang menempel pada pohon
(Tyara, 2012).
5. Penyakit
Penyakit merupakan asosiasi antara mikroorganisme patogen dengan inangnya
yang menyebabkan inang menderita secara fisiologis.

6. Mutualisme
Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
yang saling menguntungkan kedua belah pihak oleh adanya asosiasi dan masing-
masing spesies memang saling membutuhkan dan merupakan suatu keharusan
untuk berasosiasi. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-
kacangan, bunga dan lebah (Tyara, 2012). Mendeteksi asosiasi spesies
mempunyai implikasi ekologi yang penting. Beberapa proses ekologis mungkin
saja menghasilkan asosiasi positif atau negatif antar dua spesies (Soegianto,
1994).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pengamatan di lakukan selama kurang lebih 30 menit dengan memberikan
pakan berupa daun solaneceae dan daun sawit ke dalam toples (cawan petri)
yang berisi ulat api dan serangga daun solanaceae (kumbang toksi) yang telah
di laparkan selama 24 jam. Sehingga dapat di ambil data sebagai berikut ini :
1. Berapa lama waktu yang diperlukan ulat untuk menemukan pakannya?
Waktu yang di perlukan oleh ulat untuk menemukan pakan nya yang
berupa daun sawit adalah 15 menit. Pada menit ke 10, ulat sudah mulai
mendekati pakan nya dan ulat mulai memakan makanan nya pada menit
ke 15.
2. Daun mana yang lebih dulu dimakan serta paling banyak dimakan? Daun
yang terlebih dahulu di makan adalah daun solanaceae dikarenakan
kumbang toksi (hewan solanaceae) Pada saat pakan di masukkan,
kumbang langsung menuju daun dan mulai memakan.
Untuk satu ekor kumbang bisa memakan banyak bagian dari daun.
Berapa lama seekor kumbang memakan sesuatu jenis pakan?
3. Waktu yang di perlukan oleh seekor kumbang toksi (kumbang
solanaceae) memakan daun solanaceae adalah selama 20 menit
4. Apakah terjadi switching?
Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan pengalaman
sebelumnya disebut dengan “switching”. Pada pengamatan kali ini, tidak
terjadi switching, ulat dan kumbang memakan makanan nya masing-
masing, ulat hanya memakan daun sawit dan kumbang memakan daun
solanaceae.
Menghitung efisiensi ekologis dengan rumus:
EF= Pn/Pn-1 x 100%
Dimana:
EF efisiensi ekologis
Pn: jumlah makanan yang dimakan
Pn-1: jumlah makanan yang tersimpan dalam trofik.
Maka di dapati hasil sebagai berikut :
EF= 2/2-1×100%
EF= 2/1×100/100
EF= 2×100/100
=2
Keterangan :
Jumlah makanan yang dimakan ulat dan kumbang adalah berjumlah 2
dengan jumlah semua makanan yang tersimpan dalam trofik juga berjumlah
2. Sehingga hasil nya adalah 2/2-1×100% yang berjumlah 2. Jadi untuk
analisa berupa EF (efisiensi ekologis) nya adalah 2.

B. Pembahasan
Ulat api yang di jadikan sebagai spesimen praktikum di dapatkan dari pohon
sawit yang ada di kebun sawit.

Gambar 1 : Daun sawit tempat ditemukannya ulat api

Gambar 2 : ulat api dari daun sawit


Adapun klasifikasi hama ulat api sebagai berikut:
Phylum: Athropoda
Kingdom: Animalia
Class: Insekta
Ordo: Lepidoptera
Famili: Limacodidae
Genus: Setothosea
Spesies : Setothosea Asigna
Setothosea asigna adalah serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) dimana perubahan bentuk ulat Api ini dimulai dari fase telur,
larva, pupa, dan imago. Umumnya satu siklus hidup Setothosea asigna dari tahap
telur ke menjadi imago dewasa berkisar antara 92,7 hari – 98 hari, tetapi di bawah
kondisi lingkungan yang menguntungkan optimal ulat ini bisa mencapai 115 hari
(Mula et al., 2020).
Dalam preferensi pakan Setothosea asigna ebih aktif pada malam hari serta
tingkat konsumsi pakan yang paling tinggi baik pagi ataupun malam hari terdapat
pada instar 7 dan hubungan antara instar stadia larva Setothosea asigna terhadap
jumlah pakan daun tanaman kelapa sawit, baik pada pagi hari ataupun malam hari
yaitu berbanding lurus dan berpengaruh secara langsung. (Mula et al., 2020).

Gambar 3 : Daun solanum torvum tempat


ditemukannya kumbang toksi
Gambar 4 : kumbang toksi dari daun solanacea
Adapun klasifiksai daun terong sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum Melongena L. (ROKHIM, 2021)
Pengamatan kedua yaitu Kumbang yang di jadikan spesimen pada
pengamatan kali ini adalah jenis kumbang toksi yang di temukan pada daun
solanaceae (terong-terongan) mempunyai ciri-ciri berwarna orange cerah
berbintik-bintik hitam. Daun terong merupakan tanaman dari famili Solanaceae
dan menjadi pilihan utama sebagai makanan Epilachna sp.
Pada daun jenis inilah Epilachna sp. Dikoleksikan dari lingkungan. Daun
terong memiliki struktur tebal agak keras, berbulu tipis. Epilakna sp. Mereka
paling mudah ditemukan di alam di bagian bawah daun. Di negara-negara Barat,
hewan ini dikenal sebagai nama ladybird atau kepik.
Orang awam menyebut kumbang koksi kepik, karena ukuran dan perisainya
yang keras, namun kumbang ini sama sekali bukan kepik (Hemiptera). Serangga
ini dikenal sebagai sahabat petani karena beberapa anggotanya memangsa
serangga pengganggu seperti kutu daun. Namun, beberapa spesies koksi yang juga
memakan daun dapat menjadi hama tanaman (Nanao et al. 2004).
Preferensi dan sebaran geografis kelompok hewan Epilachna sp. Ini sangat
penting, hanya dari sudut pandang evolusi, tetapi juga untuk program
pengendalian hama yang efektif. Epilachna admirabilis adalah serangga yang
merusak daun dan kuncup daun. Serangga Menghisap cairan yang ada di daun.
Tumbuhan yang biasa dimakan serangga ini termasuk dalam family Solanaceae
atau famili terong. (Nanao et al. 2004).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesukaan (preferensi) umumnya merupakan spesifik dari jenis, tetapi dapat
berubah oleh pengalaman. Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan
pengalaman sebelumnya disebut dengan “switching”. Peristiwa ini terjadi dalam
populasi bukanlah perpindahan yang bersifat berangsur-angsur, melainkan
perpindahan spesifik akibat ketidakseimbangan pakan. Pada pengamatan kali ini,
tidak terjadi switching, ulat dan kumbang memakan makanan nya masing-masing,
ulat hanya memakan daun sawit dan kumbang memakan daun solanaceae. Hal ini
terjadi karena adanya keseimbangan pakan. Jumlah makanan yang dimakan ulat
dan kumbang adalah berjumlah 2 dengan jumlah semua makanan yang tersimpan
dalam trofik juga berjumlah 2. Sehingga hasil nya adalah 2/2-1×100% yang
berjumlah 2. Jadi untuk analisa berupa EF (efisiensi ekologis) nya adalah 2.
B. Saran
Pada praktikum tentang Respon Hewan Pada Preferensi dan Prevalensi ini
menggunakan ulat api dan kumbang toksi sebagai spesimen nya, untuk spesimen
ulat api, di sarankan untuk tidak memegang si ulat secara langsung, karena pada
ulat api pohon kelapa sawit mempunyai duri-duri kecil yang beracun yang dapat
menimbulkan rasa yang sakit sehingga mengakibatkan nagian yang terpegang ulat
ini akan membengkak dan memerah.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, R. H. (2010), Aek Nauli Parapat, http://raflesiana.blogspot.com/2010/


12/aek-nauli-prapat.html (Diakses 22 september 2011)
Dendang, B. (2009), Keragaman Kupu-kupu di Resort Selabintang Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat, Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol. VI No. 1 : 25-36, 2009.
Fachrul, M. F. (2007), Metode Sampling Bioekologi, Bumi Aksara, Jakarta.
Jumar, (2000), Entomologi Pertanian, Rineka Cipta, Jakarta.
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins. New York Manurung,
B., (2003). Pengantar Ekologi Hewan, FMIPA UNIMED, Medan. Mastrigt,
H. V. (2005), Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu untuk Wilayah
Membramo sampai Pegunungan Cyclops, Conservation International,
Jayapura.
Noprin, H. (2010), Kupu-kupu, http://www.hendronoprin.blogspot.com
/2010/01/kupu-kupu.html (Diakses 22 september 2011)
Odum, E. R. (1993), Dasar-dasar Ekologi, Edisi ketiga, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Peggie, Djunijanti, (2011), Precious And Protected Indonesian Butterflies.
Kupukupu Indonesia yang Bernilai dan Dilindungi, Binamitra Megawarna,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai