OLEH: Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
A. Tujuan pratikum
Tujuan setelah kegiatan praktikum ini mahasiswa di harapkan dapat mengukur
dan menganalis faktor abiotik dan biotik baik hewan didarat maupun hewan di
air dengan parameter ukur sebagai berikut:
1. Suhu
2. Cahaya
3. Kelembaban
4. Penguapan
5. Curah hujan
6. Angin
7. Kadar air tanah
8. Suhu Tanah
9. pH tanah
10. Organik Tanah
11. Porositas tanah
12.
B. Alat dan bahan
Alat: pH meter, Soil Tester, Anemomter, termomter max-min, lux meter, Bor
tanah, kotak sampel tanah, Oven, corong botol,
Bahan: tanah, air (aquades),
C. Cara Kerja
C. 1.Pengukuran suhu
udara
a. Ambil thermometer min-max, kemudian letakkan didaerah terlindung
biarkan selama 30 menit, catat dan ukurlah angka yang tertera pada alat
tersebut.
b. Lakukan kegiatan tersebut selama 1 minggu untuk melihat suhu
minimum dan maksimum udara, kemudian catat hasilnya.
2. Pengukuran Cahaya
a. Pasanglah batere Luxmeter yang akan digunakan.
b. Kemudian standarkan terlebih dahulu, hidupkan, lalu mengunakan
luxmeter ukurlah intensitas cahaya di dalam dan luar laboratorium, serta
di tempat terbuka di sekitar kampus dengan menyalakan alat tersebut
selama 30 menit.
c. Kemudian catat intensitas cahaya pada angka yang tertera pada lux meter
3. Kelembaban udara
5. Curah Hujan
Untuk mengukur curah hujan dengan alat ombromter. Jika tida ada
maka menggunakan gelas ukur dengan corong di atasnya. Kemudian
ketakkan gelas tersebut ditempat terbuka, selama 24 jam, amati selama
1 minggu. Setelah itu diambil dan catat air yang masuk. Seperti gambar
berikut ini:
6. Angin
Dengan menggunakan alat anemometer, pasang ditenpat terbuka,
dengan melihat arah angin. Perhatikan dan catatlah kecepatan dan arah
angin saat praktikum pada alat tersebut selama 15 menit.
8. Suhu tanah
Dengan menggunakan thermometer air raksa, untuk mengukur
suhu tanah bagian tanah atau termistor. Termometer tanah terdiri dari
termometer air raksa biasa, yang pada bagian ujungnya atau reservoarnya
dilapisi dengan serbuk logam dan logam yang dapat ditekankan ke tanah
sehingga termometer itu bisa masuk ke dalam tanah.
Ujung logam yang masuk ke dalam tanah akan menerima suhu
tanah dan meneruskannya ke serbuk logam dan berikutnya ke reservoar
termometer air raksa.
Bila seandainya thermometer tanah tidak ada, suhu tanah dapat
juga diukur dengan termometer air raksa biasa, hanya saja haruslah
dibuat lubang di tanah sehingga termometer itu dapat dimasukkan ke
dalam tanah. Lubang di tanah itu dapat dibuat dengan sebatang logam
yang diameternya lebih kurang sama dengan diameter termometer yang
akan digunakan.
9. pH Tanah
Untuk mengukur tanah dapat mengunakan pH meter tanah.
Caranya adalah: Tanah contoh diaduk-aduk sampai homogen.
Selanjutnya, sebanyak 1 gram tanah itu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan ditambahkan akuades 3 ml, dan dikocok dengan batang gelas
dan dibiarkan selama 5 menit.
Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang
kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis lingkungan tidak
terbatas jumlahnya, oleh karena misalnya matahari dan bintang termasuk di
dalamnya. Namun secara praktis kita selalu memberi batas pada ruang lingkungan
itu. Menurut kebutuhan kita batas itu dapat ditentukan oleh faktor alam seperti
jurang, sungai atau laut, faktor ekonomi, faktor politik atau faktor lain. Tingkah
laku manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan
hidup harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi,
melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada
di luar suatu organism, meliputi: (1) lingkungan mati (abiotik), yaitu lingkungan di
luar suatu organisme yang terdiri dari benda atau faktor alam yang tidak hidup,
seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer dan lainnya. (2) Lingkungan
hidup (Biotik) yaitu lingkungan yang terdiri atas organisme hidup, seperti
tumbuhan, hewan dan manusia.
Ensiklopedia Amerika, menyatakan bahwa lingkungan adalah faktor-faktor
yang membentuk lingkungan sekitar organisme, terutama komponen-komponen
yang mempengaruhi prilaku, reproduksi dan kelestarian organisme.
Secara garis besar lingkungan hidup manusia itu dapat digolongkan menjadi 3
golongan :
1. Lingkungan fisik ( physical environment )
lingkungan fisik adalah segala sesuatu di sekitar makhluk hidup yang berbentuk
benda mati seperti, rumah, kendaraan, gunung, udara, sinar matahari, dan lain-lain
semacamnya.
2. Lingkungan biologis ( biological Environment )
Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang berada di lingkungan manusia
yang berupa organisme hidup lainnya selain dari manusia itu sendiri, binatang,
tumbuhan, jasad renik (plankton) dan lain -lain.
3. Lingkungan sosial ( social environment )
Lingkungan sosial adalah manusia-manusia lain yang berada disekitarnya seperti,
keluarga, tetangga, teman dan lain-lain.
Komponen Abiotik
Menurut wahai 2010 komponen abiotik merupakan komponen fisik dan juga
kimia yang merupakan substrat berlangsungnya kehidupan dan juga lingkungan
tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik memiliki variasi dalam ruang dan
juga waktu. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik,
dan juga faktor yang dapat mempengaruhi distribusi organisme yaitu:
• Suhu, proses biologi ini sangat dibutuhkan agar hewan mendapatkan energi untuk
dapat meregulasi temperatur dalam tubuhnya.
• Air, air sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup hewan, penggunaan air
juga harus disesuaikan dengan keadaan lingkungannya.
• Garam, konsentrasi garam juga dapat mempengaruhi kesetimbangan air dalam
organisme melalui osmosis. Organisme terestrial dapat beradaptasi dengan
lingkungannya dan juga dengan kandungan garam yang tinggi.
• Cahaya matahari, intensitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air juga
dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air fotosintesis terjadi di sekitar
permukaan yang terjangkau cahaya matahari, di gurun intensitas cahaya yang besar
membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
• Tanah dan batu, ada beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH
dan juga komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada
kandungan sumber makanannya yang ada di tanah.
• Iklim, merupakan kondisi cuaca dalam jangka waktu yang lama dalam suatu area.
Iklim makro dapat meliputi iklim global, regional, dan juga lokal. Sedangkan iklim
mikro meliputi iklim yang ada dalam suatu daerah yang dihuni oleh beberapa
komunitas tertentu.
A. Pengukuran suhu
B. Pengukuran cahaya
F. Pengukuran pH Tanah
NO Lokasi Hasil ke Hasil ke Hasil ke Keterangan
pertama dua tiga
2 Didepan
perpustakan 7.36 pH 7.51 pH 7.52 pJ
universitas
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pratikum Acara Pertama ini bisa disimpulkan bahwa setiap
pengukuran itu berbeda-beda hasilnya dari setiap tempat yang ada dan bisa
berubah-uba dari menit kemenit dan juga kami dapat mengukur dan menganalis
faktor abiotik dan biotik baik hewan didarat maupun hewan di air dengan parameter
ukur karna mempelajari bagaimana menggunakan alat,ke gunaan alat tersebut.
B.Saran
DAFTAR FUSTAKA
Pengukuran Cahaya
Pengukuran Suhu
LAPORAN HEWAN DAN LINGKUNGAN
(PENGUKURAN ABIOTIK LINGKUNGAN AIR)
Oleh :
Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
Praktikum ini bertujuan untuk dapat mengukur factor abiotic dan biotik baik hewan
didarat maupun hewan di air dengan para meter sebagai berikut:
1. Kekeruhan air
2. Kecepatan arus
3. Kedalaman air
4. Kadar Garam
5. Karbon dioksida Bebas
6. Oksigen Terlarut
7. Salinitas
8. pH air
B. Alat dan Bahan Praktikum
Alat : Piring sechhi, termomter max-min, lux meter, paku, palu, tali, stopwatch,
botol sampel, salino meter, gabus/streofom 15x15 cm.
Bahan : air sungai, Penoftalin (PP) 1% sebanyak 100 ml, NaOH 0,02 N sebanyak
500 ml, H2SO4, MnSO4 dan KOH/KI sebanyak 10 ml, amilum 1% sebanyak 5 ml
C. Cara Kerja
1. Kekeruhan air
Pengukuran kecepatan arus air dengan cara yang paling sederhana ialah dengan
menggunakan benda yang mengapung di air, seperti kertas atau gabus
(15x15x5cm)
• Tentukan titik awal di sungai sebagai T0. Dan titik akhir T1, kemudian
siapkan stopwatch sebelum melepaskan benda tersebut.
• Benda itu dilepaskan di permukaan air dan akan bergerak di permukaan
air sesuai dengan aliran air.
• Pengukuran kecepatan arus air didasarkan pada jarak (S) yang ditempuh
oleh benda terapung tadi per satuan waktu (t)
• Pengukuran kecepatan arus air dengan alat yang terapung hanya akan
memberikan informasi kecepatan arus air pada permukaan saja. Selain itu,
angin juga akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran.
• Untuk memperkecil kesalahan pengaruh angin, maka bila akan mengukur
arus permukaan air dengan benda terapung dipilih benda yang ringan dan
tidak begitu besar.
3. Kedalaman air
Kedalaman suatu badan air yang diteliti juga dibutuhkan sebagai informasi
tentang lokasi penelitian. Khusus untuk penelitian tentang bentos maka
pengukuran kedalaman air merupakan suatu keharusan. Pengukuran
kedalaman air lokasi penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
pancang kayu yang ditandai ukurannya.
4. Kadar Garam/Salinitas
Cara kerja: Sampel air yang akan diukur diambil dengan menggunakan botol
sampel 250 ml. Kemudian dimasukkan 100 ml sampel air kedalam Erlenmeyer
kemudian ditambah 10 tetes penolptalin 1%. Jika air sampel berubah warna
menjadi merah jambu maka titrasi tidak dilanjutkan karena kandungan CO2
sangat sedikit sekali sehingga tidak terdeteksi. Jika tidak terjadi perubahan
warna dilanjutkan titrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,02N sampai
warna tepat merah jambu. Catat volume NaOH terpakai. Kadar CO2 bebas
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
6. Oksigen Terlarut
Pengukuran oksigen terlarut dalam badan air sering dilakukan dengan metoda
Winkler.
Cara Kerja:
7. pH air
Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas pH,
atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan
pengukuran pH tanah seperti dinyatakan di depan, hanya saja di sini
pengukuran dilakukan tanpa pengenceran.
Menurut Anshori (2009) hewan atau disebut juga dengan binatang adalah
kelompok organisme yang diklasifikasikan dalam kerajaan Animalia atau metazoa,
adalah salah satu dari berbagai makhluk hidup di bumi. Sebutan lainnya adalah
fauna dan margasatwa (atau satwa saja).
Hewan dalam pengertian sistematika modern mencakup hanya kelompok
bersel banyak (multiselular) dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda
(jaringan), sehingga kelompok ini disebut juga histozoa. Semua binatang heterotrof,
artinya tidak membuat energi sendiri, tetapi harus mengambil dari lingkungan
sekitarnya. Hewan mempunyai daya gerak, cepat tanggap terhadap rangsangan
eksternal, tumbuh mencapai besar tertentu, memerlukan makanan dan memiliki
bentuk kompleks dan jaringan tubuhnya lunak. Perbedaan itu berlaku secara umum,
tentu saja ada kelainan-kelainannya.
Tiap individu, baik pada hewan uniselular maupun pada hewan multiselular,
merupakan satu unit. Hewan itu berorganisasi, berarti tiap bagian dari tubuhnya
merupakan subordinat dari individu sebagai keseluruhan baik sebagai bagian suatu
sel maupun seluruh sel. Inilah yang disebut konsep organismal, suatu konsep yang
penting dalam biologi (Anshori, 2009).
Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang
kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis lingkungan tidak
terbatas jumlahnya, oleh karena misalnya matahari dan bintang termasuk di
dalamnya.
Namun secara praktis kita selalu memberi batas pada ruang lingkungan itu.
Menurut kebutuhan kita batas itu dapat ditentukan oleh faktor alam seperti jurang,
sungai atau laut, faktor ekonomi, faktor politik atau faktor lain. Tingkah laku
manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan hidup
harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi, melainkan
juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
Faktor abiotik adalah komponen lingkungan berupa sumber daya tak hidup
yang mencakup kondisi fisik dan kimia dalam ekosistem. Bersama dengan faktor
biotik, faktor abiotik ini membentuk habitat makhluk hidup. Beberapa contoh faktor
abiotik adalah suhu, cahaya, air, kelembaban, udara, garam mineral, dan tanah.
1. Suhu
Suhu adalah derajat energi panas. Suhu sangat diperlukan oleh makhluk
hidup untuk melakukan reaksi kimia dalam tubuh dimana pada setiap reaksi
dibutuhkan enzim yang kinerjanya dipengaruhi oleh suhu.
2. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu energi yang bersumber dari matahari.
Cahaya matahari terdiri atas beberapa jenis panjang gelombang. Tumbuhan
membutuhkan panjang gelombang tertentu untuk melakukan fotosintesis.
3. Air
Air merupakan komponen kimia yang tersusun atas molekul H2O yang
sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Selain sebagai habitat, air pun
berfungsi sebagai penyusun tubuh makhluk hidup dan reaksi dalam tubuh.
4. Kelembaban
Kelembaban merupakan kandungan uap air yang berada di tanah dan
udara. Kelembaban diperlukan makhluk hidup untuk menjaga kondisi tubuh
agar tidak cepat kering. Kebutuhan kelembaban udara antara satu organisme
berbeda dengan organisme yang lain.
5. Udara
Udara terdiri atas beberapa macam yaitu nitrogen, oksigen, karbon
dioksida, dll. Oksigen dibutuhkan makhluk hidup untuk bernafas, sedangkan
karbon dioksida dibutuhkan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis.
6. Tanah
Tanah merupakan hasil pelapukan batuan yang disebabkan oleh faktor
iklim maupun biologis. Pada tanah, terkandung sejumlah garam mineral yang
sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk bertahan hidup.
7. Garam mineral
Beberapa contoh garam mineral yang terdapat di alam adalah fosfat,
sulfur, kalsium, dan natrium. Garam-garam mineral tersebut dapat
mempengaruhi tingkat keasaman dan salinitas lingkungan sehingga dapat
mempengaruhi kondisi makhluk hidup.
Dengan demikian, faktor abiotik ini adalah faktor lingkungan yang terdiri dari
benda tak hidup yang keberadaannya sangat memengaruhi kondisi makhluk hidup.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel : Data Pengamatan Uji Feeding
Hasil Pengukuran
No Faktor Abiotik Keterangan
1 2 3
Kedalaman air
1 Kekeruhan Air (m) dilakukan 3 kali
percobaan
Kecepatan arus
dilakukan 3 kali
2 Kecepatan arus (m/d) 10m/d 10m/d 10m/d
percobaan dan
hasilnya tetap sama
Kedalaman air
3 Kedalaman air (cm) 47 33 149 dilakukan 3 kali
percobaan
Kadar garam /
4 6,34 6,32 6,37
salinitas
Titrasi tidak
dilanjutkan dikarena
5 Karbondioksida bebas
kan air sampel berubah
warna merah jambu.
6 Oksigen terlarut
Pada pH air dilakukan
7 pH air 7,7 6,98 6,98
3 kali percobaan
B. Pembahasan
Kekeruhan merupakan sifat optik yang terjadi akibat hamburan cahaya oleh
partikel yang menyebar di dalam air membentuk koloid, yaitu cairan yang
mempunyai partikel-partikel yang menyebar (melayang) serta terurai secara halus
sekali dalam suatu medium disperse (Fatah dkk., 2014).
Arus dari sungai berubah dari deras pada bagian hulu dan menjadi lambat pada
bagian hilir. Perubahan ini juga bisa diikuti dengan berubahnya keadaan spesies-
spesies ikan yang menghuninya (Odum, 1996). Kecepatan arus ditentukan oleh
kemiringan, kedalaman dan substrat dasarnya.
Sungai dengan kecepatan arus lebih dari 100 cm/s termasuk sungai dengan
kecepatan arus sangat cepat sedangkan kecepatan arus sungai yang sangat lambat
adalah kurang dari 10 cm/s. Kecepatan arus antara 10-25 cm/s termasuk sungai
dengan kecepatan arus lambat, kecepatan arus antara 25-100 cm/s termasuk sungai
dengan kecepatan arus antara 50-100 cm/s termasuk sungai dengan kecepatan arus
cepat (Setijanto dan Sulistyo, 2008).
Salinitas merupakan nilai kelarutan garam pada air laut. Salinitas berubah di
dekat permukaan air laut yang diakibatkan oleh presipitasi dan evaporasi dari air
tawar. Variasi geografis dapat membentuk area regional perbedaan nilai salinitas
pada permukaan air laut.
Pada penelitian yang telah dilakukan, kekeruhan air dilakukan 3 kali uji coba
dan hasilnya yaitu . Untuk kecepatan arus dilakukan selama 3 kali percobaan dan
kecepatannya sama yaitu 10m/d.
Pada kedalaman air dilakukan 3 kali uji coba dan hasilnya yaitu 47cm dari atas,
33 cm dari bawah, dan 149 cm untuk keseluruhan. Pada uji coba kadar garam
hasilnya yaitu 6,34, 6,32, dan 6,37.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Muslich & Sri Iswati. (2009). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surabaya
: Airlangga University Press (AUP)
Anwar, N. 2008. Krakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya Dengan
Distribusi Serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Pelabuhan Ratu.
Penelitian.Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Campbell, Neil. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Fatah.L.A dan Habiansyah.S., 2014, Alat Pendeteksi Kekeruhan Air Pada Toren
Dengan Sensor LDR Dan Buzzer Berbasis Atmega8535,Jurnal LPKIA, Vol 1
No 1.
Setijanto & Isdy Sulistyo. 2008. Habitat Preference and Spatial Distribution of
Mystus nigriceps at the Serayu Catchment Areal. Penelitian. Purwokerto :
Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Jendral Soedirman
INTERAKSI HEWAN DENGAN LINGKUNGAN (RESPON
HEWAN PADA PREFERENSI DAN PREVALENSI)
Di Susun Oleh :
Kelompok 1
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
C. Cara kerja
1. Preferensi Kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung
kepada jenis dan jumlah pakan yang tersedia. Bila jumlah pakan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan, perpindahan
kesukaan terhadap jenis pakan dapat terjadi. Kesukaan (preferensi)
umumnya merupakan spesifik dari jenis, tetapi dapat berubah oleh
pengalaman. Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan
pengalaman sebelumnya disebut dengan “switching”. Peristiwa ini
terjadi dalam populasi bukanlah perpindahan yang bersifat berangsur-
angsur, melainkan perpindahan spesifik akibat ketidakseimbangan
pakan.
2. Cara kerja: Koleksilah ulat api pada hewan kelapa sawit. Beri makan
daun kelapa sawit untuk aklimatisasi hewan sebelum percobaan
minimal 10 ekor. kemudian laparkan selama kurang lebih 24 jam.
Lakukan juga pengkoleksian beberapa daun hewan Solanaceae.
Berilah alas pada cawan petri dengan kertas saring yang telah
ditetesi dengan 2-3 ml air (kertas saring dalam keadaan lembab).
Kemudian masukkan beberapa daun hewan Solanaceae yang ukurannya
masing-masing sama pada beberapa tempat dalam cawan petri dan ulat
yang telah dilaparkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi spesies adalah hal penting dalam ekologi suatu spesies. Dalam
suatu komunitas, terdapat sejumlah faktor biotic maupun abiotik yang
mempengaruhi distribusi, kelimpahan, dan interaksi spesies. Adanya interaksi
antar spesies akan menghasilkan suatu asosiasi antarspesifik yang polanya sangat
ditentukan oleh apakah dua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama,
mempunyai daya penolakan atau daya tarik, atau bahkan tidak berinteraksi.
Asosiasi ini bisa positif, negatif atau tidak ada asosiasi (Soegianto, 1994).
Menurut Swasta (2006), aspek kajian tentang afinitas spesies dalam komunitas
mengarah pada dua permasalahan utama yaitu tumpang tindih relung dan asosiasi
antar spesies. Penelitian ini akan membahas tentang asosiasi antar spesies yang
terjadi pada komunitas gastropoda.
Asosiasi spesies merupakan hubungan timbal balik antar spesies didalam
suatu komunitas dan dapat digunakan untuk menduga komposisi komunitas
(Michael, 1994). Menurut Nybakken, (2000) ada atau tidaknya asosiasi spesies
dalam komunitas dapat menunjukkan tingkat keragaman dalam komunitas
tersebut. Tingkat asosiasi spesies yang tinggi akan menunjukkan keragaman
spesies yang tinggi pula. Interaksi dan asosiasi intra dan inter spesies (afinitas
spesies) akan menghasilkan asosiasi spesifik yang polanya sangat ditentukan oleh
apakah spesies memilih atau menghindari habitat yang sama, mempunyai daya
penolakan atau daya tarik, atau tidak berinteraksi. Asosiasi bisa positif, negatif
atau tidak adanya asosiasi.
Menurut Michael (1994), asosiasi positif ditandai dengan kecenderungan
spesies selalu ditemukan bersama-sama atau tidak ditemukan bersama dalam
setiap petak pengamatan. Asosiasi positif cenderung bersifat mutualistik sehingga
salah satu spesies tidak merasa dirugikan oleh spesies lainnya, sedangkan asosiasi
negatif dapat terjadi karena adanya kompetisi atau persaingan dengan spesies lain
terhadap sumberdaya (nutrisi) dan ruang yang sama.
Dalam asosiasi negatif, hubungan antara spesies cenderung bersifat
merugikan sehingga salah satu spesies akan tertekan. Terjadinya asosiasi
disebabkan karena diantara spesies-spesies yang membentuk komunitas itu
terdapat jalinan fungsional yang dapat melahirkan keterikatan interaktif diantara
mereka. Keterikatan interaktif ini merupakan daya gabung yang cukup efektif
yang dapat membuat beberapa spesies untuk hadir bersama dalam suatu habitat.
Beberapa bentuk keterikatan interaktif yang 12 mendorong adanya asosiasi ini
adalah symbiosis, protokooperatif, kompetisi, predasi, dan komensalisme (Odum,
1971; Krebs, 1978; Keindeigh, 1975) dalam Swasta, 2006.
Menurut Kusmana (1995) asosiasi ini terjadi bila:
a) Kedua spesies tumbuh pada lingkungan yang serupa,
b) Distribusi geografi kedua spesies serupa dan keduanya hidup di daerah yang
sama,
c) Bila salah satu spesies hidupnya bergantung pada yang lain,
d) Bila salah satu spesies menyediakan perlindungan terhadap yang lain. Menurut
Swasta (2006)
terjadinya asosiasi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal ini terjadi yang berasal dari komunitas itu sendiri yaitu
berkaitan dengan sifat biologi dan ekologi suatu komunitas. Sifat biologis dan
sifat ekologis yang bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spesies memilih
cara dan kebutuhan hidup yang sama sehingga mereka cenderung ada
bersamasama dalam suatu habitat. Peluang asosiasi antar spesies sangat
ditentukan oleh luas atau sempitnya kisaran berbagai peubah ekologis yang
menjadi penentu kehadiran spesies dalam suatu habitat. Semakin luas kisaran
peubah ekologis, peluang hadirnya banyak spesies dalam satu corak habitat
semakin besar, dan ini berarti peluang adanya asosiasi diantara beberapa spesies
menjadi semakin besar pula.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal berasal dari habitat suatu komunitas yaitu tingkat
kemampuan habitat dalam menyediakan pilihan berbagai kondisi lingkungan dan
sumberdaya yang menjadi kebutuhan bagi komunitas. 2.1.2 Interaksi Antar
Spesies Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang
lain, tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau
lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Jadi interaksi spesies merupakan, hubungan timbal balik antar
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda.
Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Persaingan terjadi ketika
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda
menggunakan sumber daya alam. Di dalam menggunakan sumber daya alam, tiap-
tiap organisme yang bersaing akan memperebutkan sesuatu yang diperlukan untuk
hidup dan pertumbuhannya (Tyara, 2012). Interaksi antarpopulasi dapat
dikelompokkan berdasarkan mekanisme interaksi atau efek interaksi.
Ekologiawan menggunakan kedua klasifikasi ini dan sering menggabungkan
keduanya.
Menurut Leksono (2007) berdasarkan mekanisme, interaksi dibagi menjadi enam
jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetisi
Bila dua spesies tergantung pada sumber daya tertentu di lingkungannya
maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Biasanya
sumber daya yang diperebutkan adalah makanan, selain itu bisa juga tempat
berlindung, tempat bersarang, sumber air, cahaya matahari, dan sebagainya.
Secara klasik, kompetisi dibagi menjadi dua. Kompetisi eksploitataif /scramble,
yaitu kompetisi yang terjadi bekerja secara tidak langsung dengan pengurangan
sumber daya, dan kompetisi interferensi. Kontes, kompetisi yang melibatkan
interaksi langsung antarspesies seperti teritorialitas dan interferensi kimia.
2. Predasi
Predasi cukup sulit didefinisikan dengan tegas karena kisaran organisme
yang luas dalam mengkonsumsi makanannya.beberapa ekologiawan
mendefinisikan predasi sebagai semua kegiatan mengkonsumsi termasuk
herbivora, detrivori, parasitisme dan karnivora. Jika predasi dibatasi pada
pengertian konsumsi satu organisme oleh organisme lain pada saat mangsanya
dalam keadaan hidup maka detrivori tidak termasuk predasi. Kita mengenal istilah
heterptrof sebagai organisme yang mendapatkan energi dari organisme lain.
Dengan demikian semua predator adalah heterotrof namun tidak semua heterotrof
adalah predator. Menurut Tyara (2012), predasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih spesies yang salah satu pihak (prey, organisme yang dimangsa),
sedangkan pihak lainnya (predator, organisme yang memangsa) beruntung.
Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup.
Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa.
3. Herbivora
Herbivora merupakan proses interaksi utama antara hewan dan tumbuhan .
secara umum herbivora bersifat menguntungkan herbivor dan merugikan
tumbuhan.
4.Parasitisme
Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bila salah
satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari
hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Biasanya interaksi
parasitisme ini dilakukan oleh tumbuhan atau hewan tingkat rendah dengan
cara menumpang dan menghisap sari makanan dari hewan atau tumbuhan
yang ditumpanginya. Hewan atau tumbuhan yang ditumpangi biasa disebut
inang. Pada tumbuhan seperti tumbuhan benalu yang menempel pada pohon
(Tyara, 2012).
5. Penyakit
Penyakit merupakan asosiasi antara mikroorganisme patogen dengan inangnya
yang menyebabkan inang menderita secara fisiologis.
6. Mutualisme
Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
yang saling menguntungkan kedua belah pihak oleh adanya asosiasi dan masing-
masing spesies memang saling membutuhkan dan merupakan suatu keharusan
untuk berasosiasi. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-
kacangan, bunga dan lebah (Tyara, 2012). Mendeteksi asosiasi spesies
mempunyai implikasi ekologi yang penting. Beberapa proses ekologis mungkin
saja menghasilkan asosiasi positif atau negatif antar dua spesies (Soegianto,
1994).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pengamatan di lakukan selama kurang lebih 30 menit dengan memberikan
pakan berupa daun solaneceae dan daun sawit ke dalam toples (cawan petri)
yang berisi ulat api dan serangga daun solanaceae (kumbang toksi) yang telah
di laparkan selama 24 jam. Sehingga dapat di ambil data sebagai berikut ini :
1. Berapa lama waktu yang diperlukan ulat untuk menemukan pakannya?
Waktu yang di perlukan oleh ulat untuk menemukan pakan nya yang
berupa daun sawit adalah 15 menit. Pada menit ke 10, ulat sudah mulai
mendekati pakan nya dan ulat mulai memakan makanan nya pada menit
ke 15.
2. Daun mana yang lebih dulu dimakan serta paling banyak dimakan? Daun
yang terlebih dahulu di makan adalah daun solanaceae dikarenakan
kumbang toksi (hewan solanaceae) Pada saat pakan di masukkan,
kumbang langsung menuju daun dan mulai memakan.
Untuk satu ekor kumbang bisa memakan banyak bagian dari daun.
Berapa lama seekor kumbang memakan sesuatu jenis pakan?
3. Waktu yang di perlukan oleh seekor kumbang toksi (kumbang
solanaceae) memakan daun solanaceae adalah selama 20 menit
4. Apakah terjadi switching?
Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan pengalaman
sebelumnya disebut dengan “switching”. Pada pengamatan kali ini, tidak
terjadi switching, ulat dan kumbang memakan makanan nya masing-
masing, ulat hanya memakan daun sawit dan kumbang memakan daun
solanaceae.
Menghitung efisiensi ekologis dengan rumus:
EF= Pn/Pn-1 x 100%
Dimana:
EF efisiensi ekologis
Pn: jumlah makanan yang dimakan
Pn-1: jumlah makanan yang tersimpan dalam trofik.
Maka di dapati hasil sebagai berikut :
EF= 2/2-1×100%
EF= 2/1×100/100
EF= 2×100/100
=2
Keterangan :
Jumlah makanan yang dimakan ulat dan kumbang adalah berjumlah 2
dengan jumlah semua makanan yang tersimpan dalam trofik juga berjumlah
2. Sehingga hasil nya adalah 2/2-1×100% yang berjumlah 2. Jadi untuk
analisa berupa EF (efisiensi ekologis) nya adalah 2.
B. Pembahasan
Ulat api yang di jadikan sebagai spesimen praktikum di dapatkan dari pohon
sawit yang ada di kebun sawit.
Oleh :
OLEH: Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
PENDAHULUAN
A. Tujuan Praktikum
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk:
1. Melihat perbedaan faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kehidupan di
sungai
2. Melihat adaptasi hewan air terhadap perubahan faktor-faktor fisik dan kemis
3. Mengetahui aktivitas metamorfhosis katak dan ikan pada air kolam/sunga
1. Lapangan
- buatlah transek sungai dengan panjang 50 m, pada setiap 10 meter satu
stasiun pengamatan.
- Masukkan piring secci kedalam air sungai, amati piring tersebut sampai
tidak keliatan lagi, catat hasilnya.
- ambil sampel ari sedikit, kemudian ukur kadar salino meternya dengan
meneteskan air sungai kedalam salino, amati angkanya.
- masukkan termometer kedalam air sungai, lihat perubahan angkanya.
Sama dengan suhu pH air juga sama cara kerjanya.
2. Sampel hewan Sungai
- ambil sampel hewan dengan menggunakan net/jaring, masukkan kedalam
botol sampel, bawa ke laboraorium dan identifikasi apa jenisnya.
1
3. Laboratorium
- sediakan 3 kotak aquarium yang telah di isi air biasa, garam dan air dingin
(es).
- kemudian masukkan masing2 ikan mujahir/mas kedalam aquarium
tersebut. Lalu amati perubahan insangnya dan kemudian catat berapa
banyak ikan tersebut membuka dan menutup insang atau mulutnya pada
masing-masing aquarium.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk aliran
di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya bermuara ke laut. Air
sungai sangat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan organisme daratan
seperti; tumbuhan, hewan, dan manusia di sekitarnya serta seluruh biota air di
dalamnya (Downes et al., 2002). Sungai mempunyai fungsi utama menampung curah
hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Ekosistem sungai merupakan habitat bagi
organisme akuatik yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya. Organisme akuatik tersebut diantaranya tumbuhan air, plankton, perifiton,
bentos, ikan, serangga air, dan lain-lain. Sungai juga merupakan sumber air bagi
masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti
kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan
lainnya (Suwarno, 1991).
Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu,
bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena
pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang
mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut. Substrat permukaan pada bagian
hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir. (Suwarno, 1991). Hulu sungai
merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan sering kali
merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi, dkk., 2010).
Alur sungai di bagian hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari
bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja
partikel sedimen halus tetapi juga apsir, kerikil, bahkan batu (Suwarno, 1991).
3
Bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dan hilir.
Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil
pada bagian hulu. Permukaan dasar bagian tengah umunya berupa pasir atau lumpur
(Suwarno, 1991). Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan bermuara
ke laut atau sungai lainnya. Bagian tersebut umumnya melalui daerah bagian dengan
substrat permukaan berupa endapan pasir halus sampai kasar, lumpur, endapan
organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil. Alur sungai bagian hilir
mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Bentuk alur tersebut dinamakan meander
(Suwarno, 1991).
Ekosistem sungai (lotic) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona
krenal (mata) air yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-
tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang
selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil. Beberapa mata air akan membentuk
aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral
(bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah) dan hyporithral (bagian yang
paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona
potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai
dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu epipotamal , metapotamal dan hypopotamal (Barus, 2004).
4
a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi
arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga
dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton
khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan
yang dapat berenang melawan arus.
b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan
arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini
partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada daerah
ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi, 1993).
Biota pada ekosistem sungai terbagi atas biota non akuatik dan biota akuatik.
Biota non akuatik adalah biota yang hidup diluar perairan sungai misalnya adalah
tanaman yang berada di DAS (Daerah Aliran Sungai), serangga yang hidup diarea
sekitar sungai seperti semut, capung, kupu-kupu, dan lain-lain. Biota akuatik
merupakan biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di perairan.
5
BAB III
A. Hasil
Sungai
No indikator Sta 1 Sta 2 Sta 3 Ket
1. Kuat arus 10 M/ 10 M/ 10 M/
29,4 detik 30,5 detik 34,0 detik
2. Kekeruhan - - -
6
Tabel 2. Pengamatan adaptasi Ikan
Kondisi Air
No Jenis Ikan Ket
Biasa Garam Dingin Panas
7
B. Pembahasan
Sebelum membahas dari hasil percobaan yang di lakukan sebaiknya kita harus
mengetahui dulu mengenai deskripsi Ikan Nila.
Deskripsi Ikan Nila :
Ikan peliharaan yang berukuran sedang, panjang total (moncong hingga ujung
ekor) mencapai sekitar 30 cm dan kadang ada yang lebih dan ada yang kurang dari
itu. Sirip punggung ( pinnae dorsalis) dengan 16-17 duri (tajam) dan 11-15 jari-jari
(duri lunak); dan sirip dubur (pinnae analis) dengan 3 duri dan 8-11 jari-jari. Tubuh
berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang)
yang makin mengabur pada ikan dewasa. Ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah.
Tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung dengan
warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim berbiak.
Dari Hasil pengamatan Tabel 1 faktor fisik air sungai menunjukan nilai oksigen
terlarut(DO) disetiap stasiun berada pada kisaran 6,33-6,42 mg/L. Nilai dianggap
masih ideal untuk pertumbuhan ikan. Hal ini disebabkan karna sungai ini masih
memiliki kondisi yang baik. enurut Boyd (1982) dalam Septiano (2006), nilai DO
yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah diatas 5 mg/L.
8
Menurut Darmono (2001), kehidupan makhluk hidup di dalam air tergantung
dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah
tanamannya dan dari atmosfir (udara) yang masuk kedalam air. Fardiaz (1992)
menyatakan konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan
biota perairan yang membutuhkan oksigen akan mati.
Derajat keasaman (pH) air merupakan tingkat konsentrasi ion hidrogen yang
ada dalam perairan. Hasil pengukuran pH pada stasiun 1 7,7 sedangkan pada stasiun 2
dan stasiun 3 hasilnya 6,98. Menurut Odung (1993), perairan dengan pH yang terlalu
tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahan hidup organisme yang hidup di dalam
nya. Nilai pH menunjukan derajat keasaman atau kebahasan suatu perairan yang
dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air.
Suhu berkisar 34℃. Suhu ini masih baik untuk pertumbuhan ikan, suhu akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembang biakan dari organisme
tersebut. Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi
didalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran
toleransi.
kecepatan muat arus yang di ukur berada pada 29,4 – 34,0 m/detik stasiun yang
terendah pada stasiun 1 yaitu 29,4 m/detik dan stasiun yang tertinggi pada stasiun 3
yaitu 34,0 m/detik. Perbedaan ini dapat disebabkan karena kondisi fisik sungai yang
berbeda. Di mana pada stasiun 3 banyak batuan besar yang mempengaruhi gerak
cepat lambatnya air.
9
Kadar Garam pada factor fisik air sungai yaitu stasiun 1 dan stasiun 3 diperoleh
0,1 sedangkan pada stasiun 2 yaitu 0,15 dan warna pada air dari stasiun 1 – stasiun 3
bewarna keruh yang di sebabkan pada perairan dengan dasar lumpur arus dapat
mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air yang dapat
menyebakan kematian bagi beberapa biota perairan. Kekeruhan juga dapat
mengakibatkan berkurangannya penetrasi sinar matahari, sehingga mengurangi
aktivitas fotosintesis.
Pada pengamatan Tabel 2 yaitu pada adaptasi ikan Nila yaitu di mana kondisi
air menggunakan 4 percobaan yaitu air biasa, air garam, air dingin, dan air panas
kemudian hasilnya pada kondisi air biasa ikan nila bernapas 800 kali selama 10
menit, lalu ikan nila tetap hidup dalam selama beberapa hari di air biasa tersebut.
Pada kondisi air garam ikan nila bernapas sebanyak 56 kali selama 1 menit 42
detik dan setelah itu ikan nila mati. Pada kondisi air dingin ikan nila bernapas
sebanyak 120 kali selama 42 detik dan setelah itu ikan nila akan mati dan pada
kondisi air panas ikan nila bernapas sebanyak 40 kali selama 50 detik dan ikan nila
akan mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa ikan nila lebih baik bernapas pada kondisi
air biasa karena ikan nila tetap akan hidup selama pada kondisi air biasa dalam jangka
waktu beberapa hari sedangkan ikan nila kurang baik pada kondisi air panas karena
dampaknya pada suhu tersebut akan menyebakan nila akan mati.
10
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kesimpulan pada percobaan ini yaitu ikan yang diperoleh pada ke 3
stasiun diklasifikasikan sebanyak 1 ordo, 1 famili, dan 1 spesies. Pada taksonomi ikan
nila yaitu :
Philum : Chordata
Subphilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas :Achantopterigii
Ordo : Perciformes
SubOrdo : Percoidei
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
B. Saran
Saran untuk percobaan ini adalah perlunya dilakukan percobaan lebih lanjut
terhadap struktur komunitas ikan dan hubungannya dengan faktor fisik kimia di
perairan Sungai.
11
DAFTAR PUSTAKA
12
LAPORAN PENYEBARAN HEWAN
(EKOLOGI HEWAN TANAH)
OLEH: Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
A. Tujuan pratikum
Praktikum ini bertujuan untuk
1. untuk mengetahui struktur dan komunitas hewan tanah
2. untuk mengetahui pola kehidupan hewan tanah
3. untuk melihat distribusi beberapa hewan tanah
4. untuk melihat peran hewan tanah dalam kehidupan
5. mengetahui model dispersal
C. Cara Kerja
1. Distribusi Hewan
- Tentukan 3 daerah yaitu kebun sawit, kebun karet dan hutan biasa denganluas daerah
masing 50 x 50 m. Setiap 5 meter di pasang 1 perangkap.
- Peragkap dipasang selama 1x24jam, kemudian serangga di koleksi dandihitung
- Kemudian di laboratorium dilaksanakan kegiatan sortir, identifikasi, mounting dan
labeling.
2. Analisis Faktor Fisik
• Menghitung kadar air tanah dan kadar organik tanah
• tanah diambil cuplikan dengan ukuran 12x15x10 cm, sebanyak 10 sampel dan
dimasukkan kedalam box sampel. Kemudian di laboratorium dilakukan analisis
kadar air tanah dan kadar organik tanah
• tekstur tanah: tanah di pegang dan dirasakan teksturnya
• warna tanah: tanah di lihat warna dan jenisnya berdasarkan karakteristik
morfologi tanah.
• pH tanah: buat lubang sedalam 10cm dan beri aquades sedikti, kemudian
masukkan pH meter. Lihat perubahan pHnya.
• Suhu tanah: sama dengan pH, ukur juga suhu tanah.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Komposisi adalah susunan atau penyusun dalam suatu populasi organisme yang
berpengaruh dalam kehidupan organisme meliputi habitat, ketersediaan makanan, dan
lingkungannya. Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi
organisme yang saling berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang
lainnya dan berkaitan pula dengan kondisi lingkungan hidupnya(Suin, 2002).Dalam
komunitas organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional.
Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke
dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium,
tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon
dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan
vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan
dengan suhu dan air, tanah merupakanpenentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball,
1999).
Tekstur, struktur, salinitas dan kemasaman tanah serta kandungan unsur hara sangat
mempengaruhi keragaman fungsional tanah (BIS, 2010). Pada tanahbertekstur lempung dan
liat sedang akan cocok untuk pertumbuhan cacing dan organisme tanah. Sebaliknya pada
tanah bertekstur pasir yang memiliki kapasitas menahan air rendah tidak cocok untuk
pertumbuhan organisme tanah. Kadar garam (salinitas) tanah yang lebih tinggi pada bagian
dekat permukaan tanah akan menyebabkan “stress” pada organisme tanah. Namun demikian
tingkat sesitivitas terhadap kadar garam berbeda-beda diantara spesies yang berbeda.
Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk
menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilakukan analisa kimia yang biayanyarelatif
mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah dengan
biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam
tanah sebagai bioindikator (Paoletti et al.,1991).
Proses dekomposisi bahan organik dalam tanah akan melepaskan unsur-unsur yang
dapat langsung digunakan oleh tumbuhan dan organisme lainnya. Sisa-sisa bahan organik
dalam tanah akan membentuk humus yang menentukan kualitas dan kesuburan tanah (BIS,
2010).
Fauna tanah adalah semua fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup dipermukaan tanah
maupun yang hidup di dalam tanah, sebagian atau seluruh siklus hidupnya berlangsung di
dalam tanah, serta dapat berasosiasi dan beradaptasi denganlingkungan tanah (Wallwork,
1970).
Menurut Wallwork (1970) dan Hole (1981), berdasarkan kehadirannya fauna tanah terbagi
menjadi beberapa kelompok berikut:
a. Transient yaitu fauna tanah yang meletakkan telur dan kepompongnya didalam
tanah, tetapi ketika masuk tahap kehidupan yang aktif tidak lagi berada di dalam
tubuh tanah. Contohnya adalah Bradybaena similaris.
b. Temporaryyaitu fauna tanah yang awal kehidupannya aktif di dalam tanah,
sedangkan kehidupan selanjutnya berada di luar tanah. Contohnya adalah larva
dari Tipula sp.
c. Periodicyaitu fauna tanah yang sering sekali keluar masuk tanah. Contohnya
adalah Euborelia sp.
d. Permanentadalah fauna tanah yang seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam
tanah. Contohnya adalah Collemboladan Acarina.
Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan sifat makannya menjadi beberapa
kelompok atau golongan berikut:
a. Carnivore, yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae,
kumbangStaphylinidae, tungau Mesostigmata dan Prostigmata, laba-laba,
kalajengking,lipan, Nematodaserta Mollusca) dan binatang parasit
(Ichneumonidae,Diptera parasit dan Nematoda).
b. Phytophagous, yaitu fauna pemakan tumbuhan (Molluscadan larva Lepidoptera),
fauna pemakan akar tanaman (Nematodaparasit tanaman, Symphylidae, larva
Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Molluscadan Orthopterapelubang) serta fauna
pemakan kayu (rayap, larva kumbang dan tungau Pthiracaroidae).
c. Saprophagousyaitu fauna pemakan tanaman mati dan bahan organik yangbusuk
(Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Milipedes, tungau, Collemboladan
serangga). Beberapa dari mereka juga merupakan pemakan feses(coprophages),
pemakan kayu (xylophages) dan pemakan bangkai(necrophages) yang seringkali
disebut sebagai detritivor.
d. Microphytic-feedersyaitu fauna pemakan jamur, alga, lichens dan
bakteri,misalnya tungau Saprophagous, Collembolaserta serangga pemakan
fungi.
e. Miscellaneous-feedersyaitu fauna pemakan tanaman atau hewan,
misalnyaNematoda, tungau Cryptostigmata,Collembola, larva Dipteradan
larvaColeoptera.
Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna
tanah yang memiliki ukuran panjang tubuh >2 mm, terdiri dari miliopoda, isopoda, insekta,
moluska dan cacing tanah (Wood, 1989).
Makrofauna tanah terdiri dari kelompok herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora
(pemangsa hewan-hewan kecil). Herbivora meliputi Annelida seperti cacing, Mollusca
seperti bekicot dan keong. Arthropoda meliputi Crustacea seperti kepiting dan Diplopoda
seperti kaki seribu. Karnivora meliputi Arachnida seperti laba-laba, kutu, kalajengking dan
Chilopoda seperti kelabang. Insecta meliputi belalang, kumbang, rayap, lalat, jangkrik, lebah
dan semut. makrofauna tanah sebagai fauna-fauna besar penghuni tanah yang dapat
dibedakan menjadi: fauna- fauna besar pelubang tanah, cacing tanah, Arthropoda dan
Molusca (Hanafiah et al., 2005).
Fauna tanah khususnya makrofauna tanah merupakan salah satu
komponen tanah. Kehidupan makrofauna tanah sangat tergantung pada
habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis makrofauna
tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan
perkataan lain, keberadaan dan kepadatan populasi makrofauna tanah di suatu
daerah sangat tergantung pada faktor lingkungan abiotik maupun biotik
(Yulipriyanto, 2010).
Kemampuan hewantanah untuk beradaptasi dengan lingkungannya
merupakan sal ah satu factor penyelamat untuk melestarikan spesies hewan tanah
dari seleksi alamiah. Kerapatan populasi suatu spesies ditemukan oleh dua faktor
seleksi yaitu seleksi realitas laju pertambahan alamiah dan seleksi kapasitas dukung
lingkungan(Hanafiahetal., 2014).
Kehidupan hewan tanah khususnya makro fauna tanah sangat tergantung
pada habitat nya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis makro
fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu.Dengan perkataan
lain Keberadaan dan kepadatan suatu jenis makro fauna tanah di Suatu daerah
sangat tergantung dari factor lingkungan,yaitu lingkunganabiotic dan lingkungan
biotik (Suin, 1989).Selanjutnya Adianto (1993) menyatakan bahwa apabila
didapatkan cacing tanah yang bersifat karakteristik, yaitu yang memiliki nilai KR
> 10% dan FK > 25% pada suatu areal dapat digunakan sebagai petunjuk secara
biologis bahwa tingkat kesuburan tanahnya baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa
organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan,
mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah.
Peran tumbuhan dalam mengatur rantai makanan pergerakan nutrisi dari
satu jenis organisme ke jenis lainnya juga dijumpai dipermukaan tanah. Serasah
tanaman (litter fall) dan tanaman mati menyumbangkan sisa tanaman yang
sangat besar di permukaan tanah. Fauna tanah seperti Arthropoda dan cacing
tanah meningkatkan efisiensi dekomposisi sisa tanaman tersebut dengan
meningkatkan distribusi sisamakanan (Handayanto dan Hairiah, 2009).
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah
sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain, keberadaan dan
kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung
dari faktor lingkungan yaitu lingkungan abiotik dan biotik (Sutedjo et al., 1996).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehadiran makrofauna tanah
diantaranya adalah kelembaban tanah, suhu atau temperatur tanah, pH tanah,
kadarair tanah, kadar organik tanah, Organisme hidup, dan tumbuhan dan fauna
lainnya.
Kelembaban tanah terjadi akibat kandungan air setempat yang tinggi. Air
dalam tanah tergantung pada keadaan tekstur dan struktur, semakin halus liat
tanah semakin besar air yang dapat diikat oleh tanah liat. (Sutedjo et al., 1987) .
Menurut Anggraini et al. (2005) dalam Peritika (2010)kelembaban tanah
menggambarkan kandungan uap air di tanah yang merupakan faktor ekologis
yang penting karena mempengaruhi aktivitas organisme dan membatasi
penyebarannya.
Kelembaban tanah penting untuk diketahui karena dengan mengetahui
kelembaban tanah dapat diketahui seberapa besar jumlah atau kandungan uap
air yang berada di dalam tanah. Hasil pengukuran kelembababan tanah yang
baik untuk kehidupanmakrofauna tanah berkisar antara 50-75%.
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah.
Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah
sangat tergantung dari suhu udara. Suhutanah lapisan atas mengalami fluktuasi
dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung
pada keadaan cuaca, topografi daerah dankeadaan tanah (Suin, 2006).
Kehidupan makrofauna tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu
tanah yang ekstrim dapat mematikan makrofauna tanah. Selain itu suhu tanah
juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi serta metabolisme makrofauna
tanah. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
organisme tanah antara 15ºC-25ºC (Odum, 1996).
Hasil penelitian Edward dan Better (1992) menunjukkan bahwa suhu
optimum untuk pertumbuhan makrofauna tanah berkisar antara 15–25ºC. Suhu
berpengaruh terhadap aktivitas, pertumbuhan, metabolisme, respirasi dan
reproduksinya.
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Suhu yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme tanah antara
15ºC- 25ºC(Handayanto,2009).
Menurut Yuliprianto (2010) menyatakan bahwa pada daerah dimana
variasi musimnya sangat kuat sering dihadapi terutama pada temperatur. Kisaran
temperatur yang ideal kurang lebih pada 15-20ºC (didaerah tropis tentu lebih
tinggi).
Menurut Hanafiahet al. (2005) bahwa temperatur sangat mempengaruhi
aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas pada temperatur di bawah
10ºC, laju optimum aktifitas biota tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu
15- 30ºC. Wallwork (1970)dalam Rahmawaty (2004)besarnya perubahan
gelombang suhu dilapisan jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi
sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Dwiastuti (2011)
menambahkan bahwa suhuoptimum untuk organisme tanah berkisar antara 15 -
25ºC. Pada suhu yang terlalu tinggi organisme tanah akan berhenti makan untuk
mengurangi pengeluaran air.
Keasaman tanah sangat mempengaruhi keberadaan dan kepadatan fauna
tanah. Fauna tanah ada yang memilih hidup pada tanah yang pHnya asam dan
ada pula yang hidup pada pH basa.Fauna yang memilih hidup pada pH tanah
yang asam disebut fauna tanah golongan asidofil, yang memilih hidup pada
tanah yang basa disebut fauna tanah golongan kalsinofil.Untuk golongan yang
dapat hidup pada tanahyang asam dan basa disebut dengan fauna tanah golongan
indifferen (Suin, 2006).
Keasaman (pH) tanah berpengaruh terhadap kehidupan dan kegiatan
makrofauna tanah karena makrofauna tanah sangat sensitif terhadap pH tanah
sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor pembatas.Akan tetapi toleransi
makrofauna tanah terhadap pH umumnya bervariasi tiap spesies.Organisme
tanah tumbuh paling baik pada pH sekitar netral. Kisaran pH tanah yang ideal
untukkehidupan makrofauna tanah adalah 6-7,2.
Meskipun pengaruh pH terhadap organisme tanah lebih bersifat tidak
langsung seperti halnya tanaman, sebagian besar organisme tanah tidak tumbuh
baik pada pH rendah. Oleh karena itu, beberapaaktivitas penting terkait dengan
ketersediaan hara yang dilakukan oleh organisme tanah, seperti penambahan N,
nitrifikasi dan perombakan bahan-bahan organik secara tidak langsung juga
akan terhambat oleh pH rendah (Rukmana, 1999; Maft’uah et al., 2005).pH
tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan
umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman besar pada pH tanah sekitar
nertal (7), karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam
air (Hardjowigeno, 2007).Hou et al. (2005)dalam Riyani (2014) menjelaskan
bahwa makrofauna tanah menyukai tanah dengan pH yang berkisar 6,5-7,5.
Keasaman tanah pada umunya dapat mempengaruhi pertumbuhan,
reproduksi dan metabolisme. Keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi
dan aktivitas makrofauna tanah sehingga menjadi faktor batas penyebaran dan
juga kenakeragamannya.
Kadar air tanah sangat erat hubungannya dengan populasi makrofauna
tanah. Hal ini dikarenakan tubuh makrofauna tanah mengandung air, oleh karena
itu kondisitanah yang kering dapat menyebabkan tubuh makrofauna tanah
kehilangan air danhal ini merupakan masalah yang besar bagi kelangsungan
hidupnya (Lee, 1985).
Kadar air dalam tanah berfungsi sebagai pelarut unsur hara dalam tanah
sehingga dimungkinkan makrofauna tanah membutuhkan kadar air yang tinggi
(Hakim et al., 1986).
Organisme hidup itu meliputi flora dan fauna tanah yang bersifat
mikroskopik dan kegiatan hidupnya terpusatkan pada kandungan tanah yang
berupa bunga tanah dan yang sering sangat peka terhadap perubahan-perubahan
kondisi lingkungannya yang terbatas. Organisme hidup itu mempunyai arti
penting dalam memlihara keseimbangan ekologi dan kehidupan di bumi.
Organisme itu juga menyebabkan berbagai zat hara esensial bagi tumbuhan
tinggi, termasuk nitrogen dalam bentuk yang langsung dapat
digunakan(Widyawati, 2013).
Faktor lingkungan biotik bagi makrofauna tanah adalah organisme lain
yang terdapat di habitatnya seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan
fauna lainnya. Pada komunitasnya, jenis-jenis organisme tersebut saling
berinteraksi antara satu dengan lainnya. Interaksi tersebut dapat berupa
netralisme, kompetisi, predasi, parasitisme, mutualisme, dan komensalisme
(Hariyanto et al., 2008).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data/ Hasil
Lokasi: Danau Jakabaring Sport city
Deskripsi lokasi: Hutan yang terdapat pohon pinus
no Spesies Jumlah Hewan Keterangan
Tanah
Sawit
1 Oecophylla 10
Nama ilmiah: Oecophylla
Kerajaan: Animalia
Ordo: Hymenoptera
Kelas: Insecta
Famili: Formicidae
Filum: Arthropoda
Bangsa: Oecophyllini
2 Paraponera 9 Kerajaan: Animalia
clavata
Filum: Arthropoda
Kelas: Insecta
Ordo: Hymenoptera
Famili: Formicidae
Subfamili: Paraponerinae
Genus: Paraponera
F.Smith, 1858
Spesies: P. clavata
No Indikator Keterangan
Pinus
1 Pori tanah Pori pori Pori-pori tanah sekitar pohon
Sawit besar berguna untuk
Besar
menyimpan bahan organik dan
cadangan air tanah.dan efektif
mengurangi aliran air
permukaan.
Ketika hujan datang air tidak
langsung mengalir melainkan
terserap ke dalam tanah tersebut
dilepas perlahan-lahan sehingga
air masih tersedia pada musim
kering
2 pH tanah 6.5 Dengan pH tanah yang
berkisaran antara 6.5 sampai ke
7 karna kelapa sawit cenderung
membutuhkan pH yang netral
3 Tekstur dan Lempung Liat Tanah yang mempunyai kandungan
warna tanah Berpasir, Liat pasir yang cukup tinggi
Dan Lempung mempunyai pori-pori makro lebih
banyak dari pada pori-pori mikro,
Berliat hal ini menyebabkan terjadinya
aerasi yang baik, daya hantar airnya
baik namun kemampuan
menyimpan unsur hara rendah dan
partikel pasir dapat saling berikatan
lebih kuat sehingga dapat
menyebabkan bahan organiknya
sedang dan membuat kemantapan
agregat yang lebih stabil
4 Suhu udara 35 ◦C Suhu udara lokasi pada saat
pengambilan sampel yaitu 35◦C
B. Pembahasan
Pada praktikum kali ini diamati pohon pinus yang berlokasi di kebun sawit
mariana banyu asin sumatera selatan. Analisis Vegetasi Pengambilan data di
lapangan menggunakan teknik Purposive sampling, yaitu dilakukan dengan cara
membuat petak 5 x 5m untuk perangkap.
Semut rangrang adalah serangga sosial yang mempunyai peranan penting
dalam ekosistem, yaitu sebagai predator bagi berbagai serangga (Mele,
2008). Semut rangrang sangat agresif, berlimpah dan menjaga kawasannya
dari spesies lain. Semut rangrang memiliki posisi penting secara ekologi di
hutan, perkebunan kakao dan lingkungan berhutan lain yang dihuni, selain
itusemut rangrang juga telah menjadi objek dari semakin banyaknya studilapangan
(Holldobler &Wilson, 1977) .
Koloni semut peluru ini terdiri dari beberapa ratus ekor dan biasanya terletak di
dasar pohon. Semut Peluru berburu secara individu di atas pohon dan di sekitar
sarangnya. Semut pekerja berada dekat sarang untuk menjaga para semut kecil dan
mengambil nektar hingga sampai ke ujung pohon. Nektar dibawa ke sarang untuk
makanan para bayi semut oleh Semut pekerja menggunakan rahangnya.
Para semut pekerja berukuran 18-25 milimeter dan warnanya agak hitam
kecokelatan. Sedangkan semut ratu tubuhnya lebih besar hanya mampu
memproduksi telur saja. Kaki bagian depan berwarna keemasan, badan dan kakinya
berbulu. Tubuh Semut peluru ini lebih mirip seperti bentuk binatang tawon tanpa
sayap. Organ Semut peluru ini berada di lambung, yang dapat mengeras bila terjadi
bahaya atas dirinya.
Semut peluru mempunyai racun yang sangat kuat, yang dapat
melumpuhkan mangsa mereka atau menyerang demi perlindungannya. Rasa sakit
yang disebabkan oleh gigitan semut peluru ini konon lebih besar
daripada Hymenoptera lainnya. Tingkat keparahan dari rasa sakit akibat gigitan
semut peluru ini pada sekala 1,0 - 4,0 menurut Schmidt Sting Pain Index. Schmidt
Sting Pain Index adalah skala rating rasa nyeri yang disebabkan
gigitan Hymenoptera yang berbeda-beda. Rasa sakit ini bisa digambarkan seperti di
bakar hidup-hidup, hingga sakit yang berdenyut-denyut itu berlanjut selama 24 jam.
Diperkirakan bahwa semut ini telah berevolusi dengan cara menangkis pemangsa
yang akan menggali mereka. Untuk mengobati akibat gigitan semut ini kalau dalam
keadaan darurat bisa dikompres menggunakan air es dingin, atau
menggunakan Poneratoxin (Neurotoxin Pentacosapeptide) mengobati bila terjadi
kerusakan pada jaringan kulit akibat luka gigitan semut peluru.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Di sekitar pohon sawit terdapat populasi semut rangrang (Oesophylla sp.)
dan semut Peluru (Paraponera clavata), jumlah individu semut yang kami temukan
ialah 10 semut rangrang dan 9 Semut Peluru. Habitat semut rangrang disekitar
pohon sawit memiliki pori tanah Lempung Liat Berpasir, Liat Dan Lempung
Berliat, pH tanah 6.5-7.0 suhu udara disekitar pohon pinus 35◦C sedangkan untuk
semut peluru ditemukan didekat pohon sawit yang terdapat bekas pohon sawit yang
telah ditebang dan disekitar dahan yang sudah ditebang
B. Saran
Diharapkan untuk lebih teliti dalam perhitungan koloni pada hewan
serangga yang diteliti dan diamati serta dicatat jenis spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Y.I, Iing N, Didin J. 2015. Struktur Populasi dan Sebaran Serta Karakteristik
Huru Sintok (Cinnamomum sintoc Bl) di Resort Cilimus Taman Nasional
Gunung Cirermai. Wanaraksa Vol. 9 No.2 September 2015
Maknun, Djohar. 2017. Ekologi : Populasi, Komutis, Ekosistem Mewujudkan
Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Indah. Nurjati press : Sunyagi Cirebon.
"Black Carpenter Ant Camponotus pennsylvanicus". NWF The National Wildlife
Federation. Retrivied 4 desember 2021.
Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB. 2011.
BIOLOGY: Ninth Edition. San Francisco: Pearson Education.
Lintang, D.R, Edi. B, Darsono. 2017. Kuantitas Anakan Kultur Semut Rangrang
(Oesophylla smaragdina) Secara Artifisal Menggunakan Beberapa Jenis Pakan
Berbeda. Jurnal vol : 4, No : 1
LAMPIRAN
LAPORAN DINAMIKA POPULASI HEWAN
(KURVA LULUS HIDUP KUMBANG BERAS)
OLEH: Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
A. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan pada praktikum ini yang di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara perhitungan populasi dan dinamika populasi
kumbang beras
2. Dapat mengetahui laju pertumbuhan populasi kumbang beras dengan
berbagai makanan.
3. Dapat mengetahui jenis makanan mana saja kemampuan hidupnya tinggi
B. Alat dan Bahan
Alat : gelas cup aqua 9 buah, kain kasa, termometer
Bahan : kumbang beras yang dari keturunan F1 (ukuran, jenis da nasal yang
sama sebanyak: 30 ekor), beras, jagung, kacang hijau, tepung, serbuk
gergaji/kayu.
C. Cara Kerja
1. Susunlah gelas cup sebanyak 3 baris (3A, 3B, 3C = total 9 gelas)
seperti gambar berikut:
A B C
2
7. Kemudian masukkan angka pengamatan tersebut kedalam table
pengamatan
8. Hitunglah laju pertumbuhnan kelima perlakuan kumbang
tersebut.Buat grafik life table dan hitung angka kelulusan hidupnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
a. Fluktuasi yang dipengaruhi dari perbedaan faktor fisik lingkungan
yang terjadi secara tahunan ataupun faktor ekstrinsik (yaitu faktor
diluar interinsik dalam populasi). Fluktuasi yang dipengaruhi
perbedaan faktor fisik lingkungan yang cendrung tidak teratur dan
jelas berkaitan dengan variasi dari faktor fisik yang membatasi
misalnya tempratur, curah hujan, dan lainnya.
b. Fluktuasi yang terutama dipengaruhi karena dinamika populasi atau
faktor intrinsik berupa faktor dalam populasi. Populasi semacam ini
sering memperlihatkan keteraturan sehingga istilah “siklus / daur”
merupakan sesuai yang diperoleh. Fluktuasi tahunan akan hebat pada
ekosistem yang relatif sederhana yang mana komunitas hanya terdiri
atas beberapa populasi seperti populasi kutub, hutan buatan, dan lain-
lain. Bisa dikatakan makin tua dan terorganisir komunitas semakin
rendah suatu fluktuasi populasi.
Menurut pakar lainnya dari pernyataan Odum (1993), Faktor –
faktor yang menyebabkannya adalah :
1. Fluktuasi kepadatan populasi itu dipengaruhi variasi faktor fisik luar
seperti halnya variasi iklim, faktor fisik luar berupa faktor ekstrinsik.
2. Fluktuasi juga bisa diakibatkan oleh faktor intrinsik (berupa faktor
dalam populasi) contohnya predasi, penyakit, dan lainnya. Namun
terkadang sulit untuk menentukan penyebab fluktuasi dikarenakan
populasi dapat mengubah dan mengadakan kompensasi terhadap
faktor fisik. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan prinsip dasar
seperti berikut; makin terorganisir dan matang suatu komunitas serta
makin stabil lingkungan akan makin rendah amplitudo fluktuasi
kepadatan suatu populasi.
3
Pengaruhnya datang perlahan, yakni pertama-tama akan melibatkan
kualitas hidup daripada kelangsungan hidup suatu individu.
Selanjutnya, ketika dampaknya semakin meningkat, persaingan intraspesifik
akan mempengaruhi kebugaran individu. Dalam persaingan eksploitatif,
tiap-tiap individu dipengaruhi oleh jumlah sumberdaya yang menjadi
bagiannya. Individu-individu yang bersaing tidak harus bereaksi dengan
anggota yang lain. Persaingan eksploitatif cenderung akan menghasilkan
fluktuasi yang tajam suatu populasi. Pada persaingan interferensi, terjadi
pengaruh buruk terhadap sebagian anggota populasi karena sumberdaya
yang terbatas, dan anggota-anggota populasi berinteraksi secara langsung.
Sebagian individu akan memperoleh semua sumberdaya, dan sisanya akan
memperoleh sedikit.
Mekanisme terkait kepadatan juga dapat terjadi pada kepadatan
populasi yang rendah. Efek Allee (Allee effect) mengurangi laju
pertumbuhan populasi ketika kepadatan populasi rendah. Efek Allee terjadi
ketika kepadatan populasi sangat rendah, sehIngga individu-individu sukar
untuk berinteraksi.
Kemudian faktor-faktor terkait dan tidak terkait kepadatan populasi
bekerja sama dalam menahan ukuran populasi mahluk hidup di alam
sehingga lebIh rendah daripada ukuran maksImum yang mungkin
dicapainya. Kerjasama kedua faktor tersebut menghasilkan apa yang disebut
dengan pengendalian alami (natural control).
Dengan demikian, faktor-faktor lingkungan yang memiliki
pengaruh paling penting terhadap kematian populasI mahluk hIdup dapat
dicari dengan melakukan analisis faktor kunci (key factor analysis). Orang
yang pertama kalI menggunakan istilah metapopulasi adalah R.A. Levins.
Konsep dan model metapopulasI Levins kini telah menjadi klasik. Secara
umum kini metapopulasi didefinisikan sebagai sekumpulan subpopulasi
yang dihubungkan/diikat oleh individu-individu yang bermigrasi. PopulasI
lokal biasanya menghuni rumpang-rumpang (patches) sumberdaya yang
terisolasi.
4
Persistensi metapopulasi tergantung pada persistensi masing-
masing subpopulasi dan pergerakan (dispersal) hewan di antara subpopulasi
(Rasidi,2006).
(Sumber: re-tawon.com)
Berikut ini klasifikasi kumbang beras (Sitophilus oryzae L.) :
• Kingdom : Animalia
• Filum : Arthropoda
• Kelas : Insekta
• Ordo : Coleoptera
• Famili : Curculionidae
• Genus : Sitophilus
• Spesies : Sitophilus oryzae (Repository.umy.ac.id, 2020).
Morfologi dan biologi Sitophilus oryzae L. imago muda berwarna
coklat merah dan umur tua berwarna hitam. Pada kedua sayap depannya
terdapat 4 bintik kuning kemerah-merahan (masing-masing sayar terdapat 2
bintik). Kumbang ini mempunyai moncong panjang, warna cokelat
kehitaman dan kadang-kadang ada 4 bercak kemerahan pada elytranya,
umur dapat mencapai 5 bulan. Jika akan bertelur, kumbang betina membuat
liang kecil dengan moncongnya sedalam kurang lebih 1 mm. Kumbang
betina menggerek buturan beras dengan moncongnya dan meletakkan
sebutir telur lalu lubang itu ditutup dengan sekresi yang keras. Masa
kovulasi relatif lebih lama dibandingkan dengan hama gudang lainnya
(Repository.umy.ac.id dalam Surtikanti, 2004).
5
Sitophilus oryzae L. atau biasa disebut kutu beras dikenal sebagai
kumbang bubuk beras, hama ini bersifat kosmopolit atau tersebar luas
diberbagai tempat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kutu beras ini
termasuk berat, bahkan sering dianggap sebagai hama paling merugikan
produk pepadian. Kutu beras bersifat polifa bubuk beras selain merusak
butiran beras, juga merusak simpanan jagung, padi, kacang tanah, gablek,
kopra, dan buturan lainnya. Kerusakan yang diakibatkan oleh kutu beras
dapat tinggi pada keadaan tertentu sehingga kualitas beras menurun. Biji-
biji hancur dan berdebu dalam waktu yang cukup singkat, serangan hama
dapat mengakibatkan perkembangan jamur sehingga produk beras rusak,
bau apek yang tidak enak dan tidak dapat dikonsumsi. Akibat dari serangan
kutu beras menyebabkan butir-butir beras menjadi berlubang kecil-kecil.
Sehingga mengakibatkan beras menjadi mudah pecah dan remuk menjadi
tepung (Repository.umy.ac.id dalam Sibuea, 2010).
6
Fenomena tersebut memberikan indikasi bahwa kualitas makanan
suatu bahan mempunyai arti yang sangat dalam kaitannya dengan
percepatan perkembangbiakan serangga yang pada akhirnya berpengaruh
pada tingkatan serangan yang dilakukannya/kualitas dan kuantitas serangan.
Kualitas makanan sangatlah berpengaruh terhadap perkembangbiakan
serangga hama. Pada kondisi makanan yang berkondisi baik dengan jumlah
yang cukup dan cocok bagi sistem pencernaan serangga hama akan
menunjang perkembangan populasi, sebaliknya makanan yang berlimpah
dengan gizi jelek dan tidak cocok akan menekan perkembangan populasi
serangga. Ketidakcocokan faktor makanan dapat ditimbulkan oleh hal-hal
sebagai berikut a) kurangnya kandungan unsur yang diperlukan serangga, b)
rendahnya kadar air bahan, c) permukaan terlalu keras, bentuk material
bahan yang kurang disenangi, misalnya beras lebih disenangi dari pada
gabah (Yasin, 2009).
7
asam amino 3% menghasilkan 52% larva yang berhasil mencapai
stadium pupa dan imago, walaupun tingkat perkembangan lebih lambat
dibandingkan dengan kandungan asam amino 5; 7,5 dan 10%.
Kandungan asam amino yang optimal adalah 7,5%. Sebaliknya, bila total
asam amino meningkat menjadi 13% perkembangan larva secara nyata
menjadi terhambat (Pratama dalam Sitepu, 2004).
• Faktor kelembaban dan suhu
Pengaruh kelembaban terhadap perkembangan kumbang bubuk
beras berbeda untuk setiap stadium. Kelembapan yang terlalu rendah,
dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi terhadap telur, larva dan
terutama imago yaitu pada kelembapan 30, 40 dan 50% (Sitepu, 2004).
Perkembangan optimum terjadi pada temperatur 30 ºC dan kelembaban
relatif 70%. Perkembangan pada umumnya bisa terjadi pada temperatur
17 - 34 ºC dan kelembaban relatif 15-100%. Apabila kelembaban
melebihi 15% kumbang berkembang dengan cepat (Sibuea, 2010) Suhu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya populasi
serangga hama di tempat penyimpanan. Serangga termasuk golongan
binatang yang bersifat heterotermis, oleh karena itu serangga tidak dapat
mengatur suhu badannya sendiri, sehingga suhu badannya mengikuti naik
turunnya suhu lingkungannya. Sebagian besar serangga gudang hidup
dan berkembang biak pada kisaran suhu 10-45 ºC. Dibawah 10 ºC
serangga tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya dan di atas 45 ºC
mortalitas serangga sangat tinggi. Pada batas 15 ºC ke bawah, kegiatan
serangga mulai berkurang akibat laju pertumbuhan populasi sangat
lambat. Setiap spesies mempunyai suhu optimal dimana laju
pertumbuhan populasi maksimum. Untuk kebanyakan serangga gudang
di daerah tropik kisaran suhu optimumnya adalah sekitar 25-35 ºC. Di
bawah 20º C, biasanya laju pertumbuhan populasi sangat kurang
(Nyoman, 2005).
8
• Faktor kadar air
Produk-produk pertanian yang tersimpan dalam gudang yang kadar
airnya tinggi sangat disukai hama gudang. Batas terendah kadar air bahan
dalam simpanan yang diperlukan bagi kehidupan normal kebanyakan
hama gudang sekitar 8-10% Kadar air yang berbeda menyebabkan
perubahan biji akan berbeda pula. Biji yang berukuran cukup besar dan
kulit luarnya cukup keras, untuk dapat mencapai kadar air di bawah 10-
11% cukup sulit. Biji yang berukuran kecil dengan kulit permukaan yang
relatif lunak umumnya dapat mencapai kadar air yang rendah atau di
bawah 10% (Tjahjadi, 2002).
9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
X ax Lx dx qx Lx Tx
10
2. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada beras
X Ax Lx Dx qx Lx Tx
11
3. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada kacang ijo
x ax Lx dx qx Lx Tx
12
4. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada serbuk gergaji
X ax lx dx qx Lx Tx
13
5. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada tepung
X ax lx dx Qx Lx Tx
14
B. Pembahasan
15
Kualitas makanan sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan
serangga. Makanan dalam kondisi baik dengan jumlah yang cukup dan
cocok untuk sistem pencernaan serangga akan mendukung perkembangan
populasi, sebaliknya makanan yang melimpah dengan nutrisi yang buruk
dan tidak sesuai akan menekan perkembangan populasi serangga.
16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada praktikum dinamika populasi mengamati pertahanan hidup
pada berbagai macam makanan. Dari biji jagung, beras, tepung, kacang
hijau, dan serbuk gergaji. Populasi kumbang beras yang paling banyak
terdapat pada jagung. Karena pada jagung banyak terdapat nutrisi
makanan dibandingkan kacang hijau, serbuk gergaji, beras, dan tepung.
B. Saran
Sebaiknya praktikum harus lebih teliti dalam menghitung jumlah populasi
kumbang beras pada semua sampel, terutama kumbang beras pada jagung,
karena kumbang beras dominan bersembunyi dalam biji jagung yang
dilubanginya.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN DOKUMENTASI
19
Kutu beras pada serbuk gergagi/sekam
20
LAPORAN KOMPOSISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS
HEWAN
Disusun Oleh:
Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106)
A. Tujuan Praktikum
Tujuan pada praktikum kali ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Dapat menemukan adanya keanekaragaman tingkat komunitas dalam suatu
ekosistem.
2. Dapat menghitung kepadatan,dimensi dan keanekaragaman pada suatu
lingkungan
C. Cara Kerja
1. Cari beberapa area di dekat kebun, sawah, sungai yang kondisinya berbeda
(kering, lembab dan lain-lain)
2. Buatlah beberapa plot pengamatan secara acak dengan ukuran 5x5m². Pada tiap
area yang akan di amati.
3. Kemudian pasang perangkap pada masing-masing plot,
4. Tangkaplah hewan yang ditemkan pada setiap plot, kemudian bawa ke
laboratorium
5. Lakukan identifikasi macam-macam jenis hewan yang ada dan hitung
jumlahnya tiap jenis.
6. Catatlah hasil pengamatan pada tabel yang sudah di siapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil
Lokasi : daerah terbuka
Ukuran Kuadrat : 50×50 m menjadi 5x5 m/plot
Deskripsi Lokasi : Disebelah laboratorium
Tabel 1. Hasil pengamatan keanekaragaman hewan di kampus UIN Raden Fatah
Palembang disebelah laboratorium
Area Lokasi Di Samping Direktorat
Nomor Plot Nama Spesies Jumlah Luas Area
Individu
1 Eurytoma sp. 4 5x5 m
2 Eurytoma sp. 3 5x5 m
Paraponera clavata 1
3 Eurytoma sp. 7 5x5 m
4 Grylloidea 1 5x5 m
Eurytoma sp. 2
5 Eurytoma sp. 3 5x5 m
Jumlah Total Individu : 21
B. Pembahasan
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil pada 50x50 meter yang terbagi
menjadi 4 plot yakni terdiri atas 3 spesies berupa Eurytoma sp., Solenopsis, dan
Araneus diadematus. Dengan jumlah total individu sebanyak 21 yang hanya diisi 3
jenis spesies maka terlihat adanya dominansi yang tinggi pada lokasi ini, dari hasil
penelitian ditemukan bahwa Eurytoma sp., merupakan hewan dengan dominansi
paling banyak dari jenis spesies hewan lain. Beberapa jenis parasitoid yang
ditemukan, seperti Eurytoma sp. memiliki kelimpahan yang lebih besar
dibandingkan jenis parasitoid lainnya. Kedua parasitoid tersebut termasuk dalam
superfamili Chalcidoidea yang merupakan superfamili yang cukup besar dalam
Hymenoptera.
Hamid dalam Naumann (2000) mengemukakan bahwa sekitar 25% dari
Hymenoptera di Australia termasuk ke dalam superfamili Chalcidoidea. Parasitoid
tersebut merupakan parasitoid dari Eucorynus yang memiliki kelimpahan yang juga
lebih besar dibandingkan serangga herbivora lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
kelimpahan yang besar dari tingkat tropik yang bawah (serangga herbivora) akan
berdampak pula terhadap kelimpahan dan kekayaan tingkat tropik di atasnya
(parasitoid). Banyak faktor yang mempengaruhi kelimpahan, salah satunya
keberadaan akan pertanaman yang sedang berbunga di sekeliling tanaman inang
dan menjadi pendukung dalam tersedianya makanan seperti nektar. Oleh karena itu,
ketersediaan parasitoid mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat parasitiasi di area
habitatnya (Hamid dalam Yuliana 2008). Seperti yang telah dijelaskan pada
hubungan pada antar populasi di dalam suatu komunitas sangat kompleks, sangat
bervariasi yang meliputi hubungan positif, negatif, dan interaksi mutual. Contoh
hubungan dalam komunitas meliputi kompetisi (untuk sumber daya makanan,
habitat peneluran, atau sumber daya lainnya), parasitisme, dan herbivori (Sumarto,
S dan Koneri, R, 2016). Dengan demikian, tingkat komunitas yang dikendalikan
dari pengaruh biotik maupun abiotik berupa kelembaban,temperatur atau suhu
sangatlah dipengaruhi satu sama lain akan kepadatan, kelimpahan ataupun
keanekaragaman jenisnya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunitas serangga herbivora pada samping direktorat didominasi
oleh Eurytoma sp., yang memiliki kisaran ekspansi yang lebih luas
dibandingkan serangga herbivora lainnya, sedangkan jenis herbivora lainnya di
tingkat rendah. Kelimpahan yang tinggi dari serangga Eurytoma sp., disebabkan
faktor interaksi jenis yang tinggi serta biotik atau abiotiknya.
B. Saran
Diharapkan untuk lebih teliti dalam perhitungan koloni pada hewan
serangga yang diteliti dan diamati serta dicatat jenis spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Disusun Oleh:
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
A. Tujuan Praktikum
Diharapkan hasil kegiatan ini mahasiswa mampu membuat spesimen hewan
berdasarkan karakteristik morfologi dalam kegiatan konservasi sederhana.
C. Cara Kerja
2. Pengawet Insekta :
a. Formalin 40 %, 40 bagian
b. Asam asetat 40 %, 20 bagian
c. Gliserin, 50 bagian
d. Akuades, 280 bagian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Herbarium berasal dari kata “hortus dan botanicus”, artinya kebun botani yang
dikeringkan. Secara sederhana yang dimaksud herbarium adalah koleksi spesimen yang
telah dikeringkan, biasanya disusun berdasarkan sistem klasifikasi.
Material herbarium sangat penting artinya sebagai kelengkapan koleksi untuk
kepentingan penelitian dan identifikasi, hal ini dimungkinkan karena pendokumentasian
tanaman dengan cara diawetkan dapat bertahan lebih lama, kegunaan herbarium lainnya
yaitu sebagai berikut :
1. material peraga pelajaran botani
2. Material penelitian
3. Alat pembantu identifikasi tanaman
4. Material pertukaran antar herbarium di seluruh dunia
5. Bukti keanekaragaman
6. Spesimen acuan untuk publikasi spesies baru
Pembagian Herbarium
Herbarium basah merupakan awetan dari suatu hasil eksplorasi yang sudah
diidentifikasi dan ditanam bukan lagi di habitat aslinya. Spesiesmen tumbuhan yang telah
diawetkan disimpan dalam suatu larutan yang di buat dari komponen macam zat dengan
komposisi yang berbeda-beda. (Tjitoseopomo,2005).
Herbarium kering adalah awetan yang dibuat dengan cara pengeringan, namun tetap
terlihat ciri-ciri morfologinya sehingga masih bisa diamati dan dijadikan perbandingan pada
saat determinasi selanjutnya.(Ardiawan,1990).
pengawetan hewan dapat dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:
Pengawetan basah
Spesimen yang biasa dibuat awetan basah biasanya bangsa Crustacea atau hewan
avertebrata lainnya. Pembuatannya terbilang cukup sederhana prosesnya. Hewan dimatikan
dengan kloroform atau eter, dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam toples transparan berisi
alkohol 70yo yang sesuai ukuran atau lebih besar ukurannya dari hewan tersebut. Biasanya
dilengkapi dengan kaca transparan untuk alas hewan agar tetap kedudukannya, kemudian
diberi keterangan menggunakan kertas kedap air (Prijono, 1999).
Alur pelabelan dapat dimulai dari data lapangan yang berisikan semua data identitas
spesimen dari lapangan yang dicatat dalam buku lapangan dan merupakan catatan kerja
(nama jenis, tanggal pengambilan, kolektor, lokasi, suhu, arus, kedalaman, kecerahan,
posisi, salinitas, pH, parameter kualitas air lainnya, teknik koleksi, nama lokal dan lainnya).
Catatan tersebut sangat membantu dalam melengkapi label. Teknik pelabelan tidak semua
data dituliskan dalam label, hanya berisikan informasi tertentu saja misalnya: nama jenis,
nama suku, nomor katalog, koordinat, nama lokasi, nama kolektor, nama identifikator,
tanggal identifikasi, tanggal pengambilan dan alat yang digunakan (Pratiwi 2006).
Pengawetan Basah
Pengawetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang ukurannya relatif
kecil, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk organisme yang
berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan dengan sinar
matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat disimpan dalam media
pengawet resin (Bioplastik). Obyek yang dapat dijadikan sebagai specimen utama dalam
pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi yang berukuran kecil hingga
yang berukuran besar (Budi yanto, 2003).
Cara Pengawetan
Secara garis besar, ada dua cara pengawetan obyek biologi, yaitu pengawetan basah
dan pengawetan kering. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan obyek biologi
dalam suatu cairan pengawet. Pengawetan kering dilakukan dengan mengeringkan obyek
biologi hingga kadar air yang sangat rendah, sehingga organism perusak/penghancur tidak
bekerja (Kurniasih, 2008).
Langkah-langkah Pengawetan
• Koleksi
Hewan-hewan yang akan diawetkan dalam bentuk utuh dan akan dibawa ke kelas atau
ke Laboratorium biasanya hewan-hewan yang berukuran relatif kecil. Hewan yang akan
diawetkan ditangkap menggunakan alat yang sesuai. Hewan yang tertangkap dimasukkan
dalam botol koleksi yang sudah diberi label (Budiyanto, 2003).
Proses mematikan dan meneguhkan memerlukan perlakuan dan bahan tertentu. Bahan
untuk mematikan biasanya adalah Ether, Kloroform, HCN/KCN, Karbon Tetracloride
(CCI4) atau Ethyl acetat. Namun, kadang- kadang perlu perlakuan khusus yaitu melalui
pembiusan sebelum proses mematikan dilakukan, agar tubuh hewan yang akan diawetkan
tidak mengkerut atau rusak. Pembiusan dilakukan dengan serbuk menthol atau
kapur barus ke permukaan air tempat hidupnya, setelah tampak lemas, dan tidak bereaksi
terhadap sentuhan, hewan dapat dipindahkan ke dalam larutan pengawet (Budiyanto, 2003).
Beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan dalam pengawetan antara lain:
formalin, alkohol (ethil alkohol), resin atau pengawet berupa ekstrak tanaman. Bahan-bahan
pengawet ini mudah dicari, murah dan hasilnya cukup bagus, meskipun ada beberapa
kelemahan (Budiyanto, 2003).
Bahan pengawet dan peneguh yang digunakan biasanya berbahaya bagi manusia,
maka perlu dikenali sifat-sifatnya. Dengan mengenal sifat-sifat ini, diharapkan dapat
dihindari bahaya yang mungkin ditimbulkan. Alkohol, merupakan bahan yang mudah
terbakar, bersifat disinfektan dan tidak korosif.
Formalin, larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi di selaput lendir hidung,
mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Ether, larutan mudah menguap,
beracun, dapat membius dengan konsentrasi rendah, eksplosiv. Kloroform, Larutan mudah
menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Karbon tetracloride, larutan mudah
menguap, melarutkan plastik dan lemak, membunuh serangga. Ethil acetat, larutan mudah
menguap, dapat membius dan mematikan serangga atau manusia. Resin, merupakan larutan
yang tidak mudah menguap mudah mengeras dengan penambahan larutan katalis,
karsinogenik, dapat mengawetkan specimen dalam waktu yang sangat lama. KCN/HCN,
larutan pembunuh yang sangat kuat, sangat beracun, bila tidak terpaksa jangan gunakan
larutan ini (Kurniasih, 2008).
Teknik awetan basah merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam
pengawetan hewan-hewan dari kelas vertebrata khusunya yang mempunyai ukuran cukup
besar. Teknik ini dapat juga digunakan untuk pengawetan hewan-hewan dari kelas
invertebrate dan tumbuhan tingkat tinggi (Hayati, 2011).
A. Hasil
Tabel 1. Gondang Sawah (Pila Ampullacea)
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini adalah terdapat 2 cara pengawetan
serangga yaitu awetan basah dan kering, awetan basah biasanya digunakan untuk
serangga yanh bertubuh lunak dengan cara menuangkan alcohol kapada serangga
tersebur hingga terrendan sedangkan awetan kering biasanya digunakan untuk
awetan yang bertubuh besar dengan cara menggunakan kapas yang sudah diberi
alcohol dan di tempatkan kepada serangga tersebut.
B. Saran
Adapun saran dari praktikum ini adalah sebagai berikut: sebaiknnya dalam
praktikum kali ini menggunakan masker karena bahan yang dibawa mempunyai
bau yang menyengat.
DAFTAR PUSTAKA
OLEH: Kelompok I
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan pratikum
Setelah melihat laporan praktikum ini diharapkan mampu menjadi kolektor
ekologi hewan dan mampu menjadi preneurship ekowan bioplastic
B. Alat dan Bahan
Untuk membuat preparat bioplastik ini diperlukan alat dan bahan yang
sesuai dengan yang di butuhkan, bahan yang digunakan dalam membuat
preparat bioplastik terdiri 4 macam:
a. bahan / objek yang akan di awetkan
Obyek makhluk hidup ini dapat dicari dalam 3 cara:
a) Awetan kering/ obyek lain. Obyek lain yang dimaksud adalah untuk
tulisan label atau bisa juga di beri foto.
b) Awetan basah dalam alcohol / formalin
c) Untuk bahan segar harus direndam dalam larutan styrene sebelum dibuat
(boleh lama boleh juga sebentar saja).
b. Styrene
Adalah larutan untuk merendam bahan segar / obyek sebelum di buat / di
masukan ke dalam bioplastik. Berfungsi sebagai penyeteriol, untuk mensterilkan
obyewk yang akan di awetkan
c. Resin
Sifat dari resin adalah beracun, karsinogen (penyebab kanker) dan juga
dapat menyebabkan iritasi kulit.
d. Katalis
Katalis ini sifatnya sama dengan Resin . sehingga pada waktu
menggunakan harus hati-hati agar tidak sampai terkena kulit atau pakaian
karena noda pada pakaian tidak dapat dihilangkan dan dapat menyebabkan
kerusakanpada kain. Berfungsi sebagai pengeras.
3
e. Cobalt
Cobalt juga berfungsi sebagai pengeras sama seperti katalis.
f. Alat Cetakan / wadah
Cetakan ini bisa di buat dari seng atau aluminium tipis sehingga dapat di
bengkokan menjadi wadah yang sangat rapat dan bentuknya sesuai dengan
keinginan sendiri.
G. Girinda/ Ampelas
Alat ini digunakan untuk menghaluskan bagian tepi preparat setelah
kering / selesai.
g. Compound QQ
Digunakan untuk mengkilatkan preparat yang sudah jadi dengan caradi
gosok dengan kain yang halus dan bersih.
h. Alat penunjang lainya
Alat penunjang lainnya yang di perlukan misalnya:
i.Gunting: untuk memotong bahan / obyek serta digunakandalam
membuat cetakan
ii.Pisau : untuk membuat cetakan
iii.Pinset : untuk mengambil obyek/ mahluk hidup
iv.Jarum : untuk menata obyek dalam larutan
v.Isolasi lakban : untuk mengaitkan / membuat cetakan
vi.Sendok : untuk mengadut campuran larutan
vii.Kain : untuk menggosok preparat bioplastik setelah jadi
viii.Gelas minuman kemasan untuk mengaduk campuranlarutan.
C. Cara Kerja
A. Membuat Bioplastik:
1. Membuat wadah / alat cetakan
Untuk membuat alat cetakan kita bisa gunakan aluminium tipis, seng atau
plastic yang tahan terhadap resin dengan cara menggunting sesuai bentuk
cetakan yang di inginkan.
Cetakan yang baik adalah fleksibel, permukaannya halus, tahan terhadap
resin serta sesuai dengan obyek dan bentuk seni. Untuk itu harus pula
diperhatikan setting obyek pada cetakan (orientasi, label ataupun
aksesories lainnya)
2. Menyiapkan obyek
Obyek yang disiapkan bisa juga mahluk hidup misalnya kupu-kupu,
belalang, bunga, daun dan lain-lain, bias juga label foto.
4
BAB II
Tinjauan Pustaka
berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Coniwanti, Laila and
berupa pati, gum (alginat, pektin, dan gum arab), dan juga pati hasil
dan lemak. Film ini memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,
edible film ini penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak,
BAB III
Hasil Dan Pembahasan
A. Hasil
Pheropsophus jessoensis
B. pembahasan
Terdapat 1 hewan yang dijadikan bioplastik yaitu Pheropsophus jessoensis
Kingdom:Animalia
Phylum:Arthropoda
Class: Insecta
Order: Coleoptera
Family:Carabidae
Subfamily:Brachininae
Genus: Pheropsophus
Species:P. Jessoensis
8
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bioplastik adalah bentuk awetan kering mahluk hidup yang berada
dalam plastic sehingga tidak akan rusak dalam waktu ratusan tahun.
Bioplastik adalah plastik yang dibuat sebagian atau seluruhnya dari polimer
yang berasal dari sumber biologis seperti gula tebu, pati kentang atau
selulosa dari pohon, jerami dan kapas. Bioplastik bukan hanya satu zat
tunggal saja terdiri dari seluruh keluarga bahan dengan sifat dan aplikasi
yang berbeda (Chen, 2014). Pada praktikum kali ini, terdapat 2 hewan yang
dijadikan sebagai koleksi bioplastik, yaitu kumbang pengebom (Brachinus)
dan jangkrik (Acheta dosesticus)
4.2 Saran
Dalam proses pembuatan bioplastik ini tentunya menggunakan
berbagai bahan kimia, di sarankan untuk tetap menggunakan apd seperti
sarung tangan atau sejenis nya, sehingga dapat melindungi tubuh, untuk
spesimen yang di gunakan hendak nya hewan yang tidak berbahaya, dan jika
pun berbahaya, maka harus di lakukan dengan sangat berhati-hati
9
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Menerapkan metode pendidikan yang melibatkan partisipasi aktif Aditiya
sudah membudidayakan ikan lele. Kegiatan meliputi pelatihan pengenalan dan
pengolahan pakan ikan dari limbah sekitar. praktek ini agar bisa usaha
mandiri pembudidaya lele, mampu mengelola usaha dengan baik, dapat
membuat pakan alternatif dan mampu menerapkan teknologi pakan. Tahapan
tersebut pelaksanaan pelatihan dan pendampingan meliputi tahap perumusan.
Hasil dari pratikum ini
kegiatannya adalah mengoptimalkan lahan pekarangan Rumah,
memberdayakan potensi diri sendiri untuk meningkatkan pendapatan
,menambah pengetahuan informasi tentang pembuatan kolam ikan dari
“terpal”, dan pengelolaan pakan.
Kata Kunci : Optimalisasi lahan, Budidaya lele.
A. PENDAHULUAN
METODE.
Latar belakang
Didampingi oleh pihak yang lumayan
Sisa-sisa pembangunan rumah berpengalaman dalam hal budidaya ikan
(tanah lebih pada lahan yang tidak lele diberikan berupa pemberian pelatihan
dibangun) yang ada pada bagian Pembuatan Kolam yang efektif dan
depan atau belakang bisa di jadikan efisisen,cara untuk memeliha ikan.
berbagai macam modal bisnis atau Prosedur Kegiatan
hanya sekedar untuk melakukan
Melalui kegiatan ini akan ditawarkan
hobi tapi banyak yang tidak
solusi untuk permasalahan-permasalahan
menyadari dan tidak tahu akan hal
yang biasanya terjadi menjadi prioritas
tersebut.
utama untuk diselesaikan. Sebagai upaya
Oleh karna itu saya mencoba
mendukung realisasi pelaksanaan program
melakukan mini riset untuk
ini dalam bentuk latihan dan penerapan
mengunakan lahan perkerangan
Ipteks, prosedur yang dilalui meliputi
rumah untuk budidaya ikan lele
beberapa tahapan berikut:
Tugas Ekologi Hewan Riset Mini Aditiya Pramana Putra
Kelas 2081C.
DAFTAR PUSTAKA
http://desasetrorejo.blogspot.co.id/
p/profil- wilayah.html
http://wonogirikab.bps.go.id/
Tugas Ekologi Hewan Riset Mini Aditiya Pramana Putra
Kelas 2081C.