Anda di halaman 1dari 136

LAPORAN RESPON HEWAN TERHADAP

LINGKUNGAN (PENGUKURAN FAKTOR ABIOTIK


HEWAN DARAT)

OLEH: Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen Pengempu: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN RADEN FATAH
PALEMBANG 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan pratikum
Tujuan setelah kegiatan praktikum ini mahasiswa di harapkan dapat mengukur
dan menganalis faktor abiotik dan biotik baik hewan didarat maupun hewan di
air dengan parameter ukur sebagai berikut:
1. Suhu
2. Cahaya
3. Kelembaban
4. Penguapan
5. Curah hujan
6. Angin
7. Kadar air tanah
8. Suhu Tanah
9. pH tanah
10. Organik Tanah
11. Porositas tanah
12.
B. Alat dan bahan
Alat: pH meter, Soil Tester, Anemomter, termomter max-min, lux meter, Bor
tanah, kotak sampel tanah, Oven, corong botol,
Bahan: tanah, air (aquades),
C. Cara Kerja
C. 1.Pengukuran suhu
udara
a. Ambil thermometer min-max, kemudian letakkan didaerah terlindung
biarkan selama 30 menit, catat dan ukurlah angka yang tertera pada alat
tersebut.
b. Lakukan kegiatan tersebut selama 1 minggu untuk melihat suhu
minimum dan maksimum udara, kemudian catat hasilnya.
2. Pengukuran Cahaya
a. Pasanglah batere Luxmeter yang akan digunakan.
b. Kemudian standarkan terlebih dahulu, hidupkan, lalu mengunakan
luxmeter ukurlah intensitas cahaya di dalam dan luar laboratorium,
serta di tempat terbuka di sekitar kampus dengan menyalakan alat
tersebut selama 30 menit.
c. Kemudian catat intensitas cahaya pada angka yang tertera pada lux meter
3. Kelembaban udara

- Dengan menggunakan Sling psichrometer ukurlah kelembaban udara di


dalam dan luar laboratorium, serta di tempat terbuka dan di bawah
pohon di sekitar anda pada pukul 14.00 dan 16.00 WIB.
- Bandingkan data kelembaban udara pada masing-masing lokasi tersebut
berdasarkan tempat dan waktu.
- Termometer kering untuk mengukur suhu udara saat itu, dan
termometer yang satu lagi untuk mengukur suhu udara lembab saat itu.
- Karena itulah makanya pada bagian bawah reservoar termometer
bawahnya diselimuti dengan kapas/kain yang dilembabkan dengan air.
- Pada pemakaian hygrometer dilakukan pengipasan, dan pada sling-
psychrometer dilakukan pemutaran agar air yang ada pada kapas/kain
menguap sehingga udara di dekat reservoir termometer itu lembab.
- Selisih suhu udara antar termometer basah dan yang tidak basah
padaalat itu digunakan untuk menaksir kelembaban udara relatif.
- Taksiran kelembaban udara relatif berpegang pada suhu udara basah
dan yang tidak basah itu dilakukan dengan
- memperhatikan suatu tabel yang biasanya disertakan pada alat tersebut..
4. Penguapan udara:

Pengukuran kelembaban udara dengan evaporimeter piece dengan


membuat secara sederhana seperti gambar berikut ini:

Dengan menggunakan Evaporimeter Piche ukurlah


penguapan air di dalam dan luar laboratorium, serta di
tempat terbuka dan di bawah pohon di sekitar labotarium
anda pada pukul 14.00 dan 16.00 WIB. Bandingkan data
penguapan air pada masing-masing lokasi tersebut
berdasarkan tempat dan waktu.
Kemudian hitung penguapan dengan rumus:
(Vt1 - Vt2) : (t2 - t1)
- Evaporasi =
L
- di mana: Vt1 = Volume air pada waktu t1
- Vt2 = Volume air pada waktu t2,
- t1 dan t2 = Waktu mula dan akhir selang pengamatan
- L = luas kertas saring

5. Curah Hujan
Untuk mengukur curah hujan dengan alat ombromter. Jika tida
ada maka menggunakan gelas ukur dengan corong di atasnya.
Kemudian ketakkan gelas tersebut ditempat terbuka, selama 24 jam,
amati selama
1 minggu. Setelah itu diambil dan catat air yang masuk. Seperti gambar
berikut ini:

6. Angin
Dengan menggunakan alat anemometer, pasang ditenpat terbuka,
dengan melihat arah angin. Perhatikan dan catatlah kecepatan dan arah
angin saat praktikum pada alat tersebut selama 15 menit.

pengukur kecepatan angin yang terpasang di luar


laboratorium anda.

7. Kadar air tanah


Untuk menentukan kadar air tanah, kita mengambil sampel
tanah. Contoh tanah diambil dan dimasukkan ke dalam botol timbang
dan ditimbang.
Seterusnya tanah itu dikeringkan dengan memanaskannya dalam
ovendengan suhu 105oC sampai beratnya konstan, yaitu sekitar 24 jam.
Berikutnya tanah itu didinginkan dalam desikator dan botol timbang itu
tetap dalam keadaan tertutup.
Setelah dingin, maka tanah itu ditimbang beratnya. Setelah
diketahui berat tanah basah dan berat keringnya itu maka akan dapat
dihitung kadar air tanah tersebut seperti perhitungan di bawah ini.
Berat air = Berat botol dan tanah basah - berat botol dan tanah kering
Berat tanah kering = Berat botol berisi tanah kering - berat botol

Kadar air tanah berdasarkan perbandingan berat dengan berat kering


tanah (U) atau "gravimetric watercontent" dapat dihitung sebagaiberikut
:
berat air
U= x 100 %
berat tanah kering
sedankan Kadar air tanah berdasarkan perbandingan berat basah (Bb)
adalah:
berat air
Bb = x 100%
berat tanah basah

8. Suhu tanah
Dengan menggunakan thermometer air raksa, untuk mengukur
suhu tanah bagian tanah atau termistor. Termometer tanah terdiri dari
termometer air raksa biasa, yang pada bagian ujungnya atau
reservoarnya dilapisi dengan serbuk logam dan logam yang dapat
ditekankan ke tanah sehingga termometer itu bisa masuk ke dalam
tanah.
Ujung logam yang masuk ke dalam tanah akan menerima suhu
tanah dan meneruskannya ke serbuk logam dan berikutnya ke reservoar
termometer air raksa.
Bila seandainya thermometer tanah tidak ada, suhu tanah dapat
juga diukur dengan termometer air raksa biasa, hanya saja haruslah
dibuat lubang di tanah sehingga termometer itu dapat dimasukkan ke
dalam tanah. Lubang di tanah itu dapat dibuat dengan sebatang logam
yang diameternya lebih kurang sama dengan diameter termometer yang
akan digunakan.
9. pH Tanah
Untuk mengukur tanah dapat mengunakan pH meter tanah.
Caranya adalah: Tanah contoh diaduk-aduk sampai homogen.
Selanjutnya, sebanyak 1 gram tanah itu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan ditambahkan akuades 3 ml, dan dikocok dengan batang gelas
dan dibiarkan selama 5 menit.

Seterusnya cairan itu diteteskan pada piring porselin. Seterusnya, pH


diukur dengan kertas pH.
Dengan memperhatikan perubahan warna pada kertas pH dan
membandingkannya dengan standar warna yang ada pada kotak
kertaspH tersebut dapat diketahui pH tanah tersebut.
Pengukuran pH tanah dengan pH meter dilakukan dengan
mengambiltanah contoh di lapangan dan dibawa ke laboratorium.
Pengukuran dilakukan dengan cara mengaduk-aduk tanah contoh
sampai merata dan diambil sebanyak 100 gram. Tanah itu
dimasukkanke dalam bejana dari gelas dan ditambahkan air destilata
sebanyak 250 cc dan diaduk-aduk dengan batang gelas sampai rata.
Selanjutnya didiamkan selama 24 jam dan kemudian diukur pH-nya
dengan pH- meter.
10. Organik tanah
Metoda yang digunakan adalah metoda gravimetric yaitu
menghitungkadar kehilangan CO2.
Caranya:
Ambil tanah dengan ring tanah atau kubus tanah. Kemudian
tanah tersebut dibuat kotak/ring ukuran 10x10cm. Kemudian ditimbang
berat basahnya menggunakan neraca analitik. Tanah yang telah
keringdigerus dengan lumpang sampai halus dan diaduk-aduk sampai
rata, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC sampai beratnya konstan.
Sebanyak 10 gram tanah kering tersebut dibakar dalam tungku
pembakar atau “furnace muffle” dengan suhu 400oC selama lebih
kurang 24 jam. Kemudian hitung dengan rumus:
1.724 (0.458 b - 0.4)
Kadar organik tanah =------------------------------X 100 %
BTK
di mana:
b = BTK – BSP;
BTK = berat tanah kering;
BSP = berat sisa pijar
BAB II
Tinjauan Pustaka

Hewan atau yang juga disebut dengan binatang merupakan organisme


yang diklarisifikasikan dalam kerajaan Animalia atau metazoa, adalah salah
satu dari berbagai makhluk hidup di bumi. Sebutan lainnya adalah fauna dan
margasatwa. Hewan dalam pengertian sistematika modern mencakup hanya
kelompok bersel banyak (multiselular) dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi yang
berbeda (jaringan), sehingga kelompok ini disebut juga histozoa. Semua binatang
heterotrof, artinya tidak membuat energi sendiri, tetapi harus mengambil dari
lingkungan sekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia, Hewan didefinisikan
sebagai makhluk yang bernyawa dan mampu bergerak atau berpindah tempat
serta mampu bereaksi terhadap rangsangan tetapi tidak berakal budi.(KBBI).

Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang
yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis lingkungan
tidak terbatas jumlahnya, oleh karena misalnya matahari dan bintang termasuk di
dalamnya. Namun secara praktis kita selalu memberi batas pada ruang lingkungan
itu. Menurut kebutuhan kita batas itu dapat ditentukan oleh faktor alam seperti
jurang, sungai atau laut, faktor ekonomi, faktor politik atau faktor lain. Tingkah
laku manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan
hidup harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi,
melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada
di luar suatu organism, meliputi: (1) lingkungan mati (abiotik), yaitu lingkungan
di luar suatu organisme yang terdiri dari benda atau faktor alam yang tidak hidup,
seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer dan lainnya. (2) Lingkungan
hidup (Biotik) yaitu lingkungan yang terdiri atas organisme hidup, seperti
tumbuhan, hewan dan manusia.
Ensiklopedia Amerika, menyatakan bahwa lingkungan adalah faktor-faktor
yang membentuk lingkungan sekitar organisme, terutama komponen-komponen
yang mempengaruhi prilaku, reproduksi dan kelestarian organisme.
Secara garis besar lingkungan hidup manusia itu dapat digolongkan menjadi 3
golongan :
1. Lingkungan fisik ( physical environment )
lingkungan fisik adalah segala sesuatu di sekitar makhluk hidup yang berbentuk
benda mati seperti, rumah, kendaraan, gunung, udara, sinar matahari, dan lain-lain
semacamnya.
2. Lingkungan biologis ( biological Environment )
Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang berada di lingkungan manusia
yang berupa organisme hidup lainnya selain dari manusia itu sendiri, binatang,
tumbuhan, jasad renik (plankton) dan lain -lain.
3. Lingkungan sosial ( social environment )
Lingkungan sosial adalah manusia-manusia lain yang berada disekitarnya seperti,
keluarga, tetangga, teman dan lain-lain.
Komponen Abiotik
Menurut wahai 2010 komponen abiotik merupakan komponen fisik dan juga
kimia yang merupakan substrat berlangsungnya kehidupan dan juga lingkungan
tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik memiliki variasi dalam ruang dan
juga waktu. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik,
dan juga faktor yang dapat mempengaruhi distribusi organisme yaitu:
• Suhu, proses biologi ini sangat dibutuhkan agar hewan mendapatkan energi
untuk dapat meregulasi temperatur dalam tubuhnya.
• Air, air sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup hewan, penggunaan air
juga harus disesuaikan dengan keadaan lingkungannya.
• Garam, konsentrasi garam juga dapat mempengaruhi kesetimbangan air dalam
organisme melalui osmosis. Organisme terestrial dapat beradaptasi dengan
lingkungannya dan juga dengan kandungan garam yang tinggi.
• Cahaya matahari, intensitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air juga
dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air fotosintesis terjadi di sekitar
permukaan yang terjangkau cahaya matahari, di gurun intensitas cahaya yang
besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
• Tanah dan batu, ada beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH
dan juga komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada
kandungan sumber makanannya yang ada di tanah.
• Iklim, merupakan kondisi cuaca dalam jangka waktu yang lama dalam suatu
area. Iklim makro dapat meliputi iklim global, regional, dan juga lokal. Sedangkan
iklim mikro meliputi iklim yang ada dalam suatu daerah yang dihuni oleh
beberapa komunitas tertentu.

Faktor abiotik utama adalah suhu lingkungan yang merupakan faktor


penting dalam persebaran organisme karena pengaruhnya pada proses biologis dan
ketidakmampuan sebagian besar organisme untuk dapat mengatur suhu dengan
tepat. Sel dapat pecah jika air yang terdapat di dalamnya membeku pada suhu 0°C
dan juga protein yang ada pada sebagian besar organisme akan mengalami
denaturasi pada suhu diatas 45°C. Selainitu, sejumlah organisme dapat
mempertahankan suatu metabolisme yang cukup aktif pada suhu yang lebih
rendah atau pada suhu yang sangat tinggi.
Adaptasi yang luar biasa dapat memungkinkan beberapa organisme hidup di luar
di luar kisaran suhu rendah, suhu internal suatu organisme biasanya dipengaruhi
oleh pertukaran panas dengan lingkungannya dan sebagian besar juga organisme
tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya lebih tinggi beberapa derajat di atas
atau di bawah suhu lingkungan yang ada di sekitarnya (Chambell, 2004).
Cahaya cukup penting bagi perkembangan dan juga perilaku banyak
tumbuhan dan juga hewan yang sensitif terhadap fotoperiode yang merupakan
satu indikator yang dapat dipercaya dibandingkan dengan suhu dalam memberi
petunjuk mengenai keadaan musiman seperti perbungaan dan juga perpindahan
atau migrasi (Chambell, 2004).
Tanggapan satu individu ekstern terhadap suatu suhu yang tidak menentu
tanggapan ini dipengaruhi suhu yang dialami di masa lampau. Suatu individu
dapat dikenali suhunya yang tinggi untuk beberapa hari dapat terlihat secara
keseluruhan tanggapan terhadap suhu atas sepanjang skala suhu dan beberapa hari
dikenali suhu misi rendah juga dapat menggeser tanggapan ini ke bawah. Proses
seperti ini biasanya bisa disebut dengan asimilasi jika perubahan dilakukan di
kondisi laboratorium dan Alkimatisasi jika terjadi di lapangan.
Perubahan yang terjadi pada aklimatisasi yang terlalu cepat juga dapat
menimbulkan malapetaka. Karena itu individu yang ada dalam Alkimatisasi
biasanya berbeda dengan tanggapannya terhadap suhu bergantung pada stadium
dalam perkembangan yang akan dicapai nya (Soetjipta, 1994).
berbagai faktor lingkungan seperti suhu kelembaban dan juga Cahaya merupakan
faktor yang diperlukan oleh hewan namun kadang-kadang juga beroperasi sebagai
salah satu faktor pembatas, seperti cahaya matahari bagi hewan hewan yang hidup
di tempat berlindung dapat dianggap sebagai stimulus lain yang dapat
menyebabkan hewan tersebut berdasarkan menghindar terhadap cahaya matahari
tersebut begitu pula sebaliknya (Lahay, 2010).
BAB III
Hasil Dan Pembahasan

A. Pengukuran suhu

NO Lokasi Suhu Keterangan


1 Di depan Fakultas Ekonomi 31°C Pengukuran suhu udara setelah
dan bisnis islam 30 menit didapatkan hasil yaitu
31°C
2 Di depan Fakultas Psikologi Pengukuran suhu udara setelah
islam 33°C 30menit didapatkan hasil yaitu
33°C pada jam yang berbeda
dari tempat pertama
3 Halaman Fakultas Sains Dan Pengukuran suhu udara setelah
Teknologi 35°C 30menit didapatkan hasil yaitu
33°C pada jam yang berbeda
dari tempat pertama

B. Pengukuran cahaya

Tempat Durasi Suhu Lu X10


Tempat parkir 2 menit 30.9°C 5614
laboratorium
Tempat parkir 6 menit 30.10°C 4821
laboratorium
Tempat parkir 7 menit 30.5°C
laboratorium
Tempat parkir 15 menit 30.4°C 1582
laboratorium
Tempat parkir 20 menit 30.6°C 4548
laboratorium
Tempat parkir 25 menit 30.6°C 3885
laboratorium
Tempat parkir 28 menit 30.5°C 4630
laboratorium
Tempat parkir 30 menit 30.5°C 6203
laboratorium
C. Penguuran kecepatan Angin

No. Tempat Hasil Faktor abiotik


Pengukuran
1 Disamping 1 2 3
laboratorium Angin
1,4 2,3 1,9
2 Disamping
direktorat 1,8 1.8 1,8 Angin
3 Didepan 2,6 7,2 4,8
direktorat Angin
D. Pengukuran Kadar Air Tanah

No. Lokasi Jenis Berat Keterangan


Tanah Tanah Tanah
1 Di Depan Tanah 296.11 Dioven selama 24 jam di suhu
Rektorat liat Gram 105°C
2 Diparkiran Tanah 176.17 Dioven selama 24 jam di suhu
Universitas gambut Gram 105°C

E. Pengukuran Suhu Tanah


NO Lokasi Suhu Keterangan
tanah
1 Disamping 28°C Tanah bewarna coklat
Gedung Fakultas kehitaman
Tarbiyah
2 Didepan Rektorat 30°C Tanah berwarna kuning
kecoklatan

F. Pengukuran pH Tanah
NO Lokasi Hasil ke Hasil ke Hasil ke Keterangan
pertama dua tiga

Semua tanah yang di


1 Didepan 7.39 pH 7.53 pH 7.55 pH ukur jenis tanah liat
laboratorium bewarna kuning dan
bertekstur lembut dan
lembab

2 Didepan
perpustakan 7.36 pH 7.51 pH 7.52 pJ
universitas
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pratikum Acara Pertama ini bisa disimpulkan bahwa setiap
pengukuran itu berbeda-beda hasilnya dari setiap tempat yang ada dan bisa
berubah-uba dari menit kemenit dan juga kami dapat mengukur dan menganalis
faktor abiotik dan biotik baik hewan didarat maupun hewan di air dengan
parameter ukur karna mempelajari bagaimana menggunakan alat,ke gunaan alat
tersebut.
B. Saran
DAFTAR FUSTAKA

Magurran, A.N 2003 Measuring Biological diversity. Australia: Blackwell


Publishing Company
Michael, P. 1984. Ecological Methods for Field and Laboratory Investigation.
Mc. Graw Hill Publishing Company. New York

Odum, E.P. 1988. Dasar-Dasar Ekologi. 4 ed. Gadjah Mada University


Press Yogyakarta

Susanto,p. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Dirjendikti. Jakarta

Suin, N. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Bandung.

Suin, N. 2002. Metode Ekologi. Universitas Andalas. Padang


LAMPIRAN

Pengukuran Cahaya

Pengukuran Suhu
LAPORAN HEWAN DAN LINGKUNGAN
(PENGUKURAN ABIOTIK LINGKUNGAN AIR)

Oleh :
Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Pembimbing : Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan untuk dapat mengukur factor abiotic dan biotik baik hewan
didarat maupun hewan di air dengan para meter sebagai berikut:

1. Kekeruhan air
2. Kecepatan arus
3. Kedalaman air
4. Kadar Garam
5. Karbon dioksida Bebas
6. Oksigen Terlarut
7. Salinitas
8. pH air
B. Alat dan Bahan Praktikum

Alat : Piring sechhi, termomter max-min, lux meter, paku, palu, tali, stopwatch,
botol sampel, salino meter, gabus/streofom 15x15 cm.

Bahan : air sungai, Penoftalin (PP) 1% sebanyak 100 ml, NaOH 0,02 N sebanyak
500 ml, H2SO4, MnSO4 dan KOH/KI sebanyak 10 ml, amilum 1% sebanyak 5 ml

C. Cara Kerja

1. Kekeruhan air

Kekeruhan air disebabkan adanya partikel-partikel debu, liat, fragmen


tumbuh- tumbuhan. Pengukuran kecerahan air dengan Keping Secchi
dilakukan sebagai berikut.

 Keping itu dimasukkan ke dalam air secara perlahan-lahan sambil


diperhatikan sampai warna putih dari piringan itu tidak terlihat lagi, dan
dicatat berapa kedalamannya.
 Seterusnya piringan itu diturunkan lagi ke dalam air beberapa meter, dan
berangsurangsur piringan itu ditarik ke atas sampai warna putih terlihat
kembali, dan dicatat kedalamannya.
 Dari kedua kedalaman itu dihitung rata-ratanya, dan angka itulah
merupakan tingkat kecerahan badan air yang diukur itu yang dinyatakan
sebagai Kecerahan Keping Secchi dan plankton dalam air
2. Kecepatan arus

Pengukuran kecepatan arus air dengan cara yang paling sederhana ialah
dengan menggunakan benda yang mengapung di air, seperti kertas atau gabus
(15x15x5cm)

 Tentukan titik awal di sungai sebagai T0. Dan titik akhir T1, kemudian
siapkan stopwatch sebelum melepaskan benda tersebut.
 Benda itu dilepaskan di permukaan air dan akan bergerak di permukaan
air sesuai dengan aliran air.
 Pengukuran kecepatan arus air didasarkan pada jarak (S) yang ditempuh
oleh benda terapung tadi per satuan waktu (t)
 Pengukuran kecepatan arus air dengan alat yang terapung hanya akan
memberikan informasi kecepatan arus air pada permukaan saja. Selain
itu, angin juga akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran.
 Untuk memperkecil kesalahan pengaruh angin, maka bila akan mengukur
arus permukaan air dengan benda terapung dipilih benda yang ringan dan
tidak begitu besar.

Hitung Kuat arus: V= S/t (m/s)

3. Kedalaman air

Kedalaman suatu badan air yang diteliti juga dibutuhkan sebagai informasi
tentang lokasi penelitian. Khusus untuk penelitian tentang bentos maka
pengukuran kedalaman air merupakan suatu keharusan. Pengukuran
kedalaman air lokasi penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
pancang kayu yang ditandai ukurannya.
4. Kadar Garam/Salinitas

Untuk mengukur menggunakan alat refrakto meter (salino meter).


Refraktometer adalah alat ukur salinitas yang umum digunakan dan dapat
dipakai siapa saja. Salinometer, Yakni alat ukur penghitung kepadatan air.
Alat ukur digital (salinity meter) dan data logger.

5. Karbon dioksida Bebas

Untuk mengukurnya menggunakan metoda titrimetric NaOH.

Cara kerja: Sampel air yang akan diukur diambil dengan menggunakan botol
sampel 250 ml. Kemudian dimasukkan 100 ml sampel air kedalam
Erlenmeyer kemudian ditambah 10 tetes penolptalin 1%. Jika air sampel
berubah warna menjadi merah jambu maka titrasi tidak dilanjutkan karena
kandungan CO2 sangat sedikit sekali sehingga tidak terdeteksi. Jika tidak
terjadi perubahan warna dilanjutkan titrasi dengan menggunakan larutan
NaOH 0,02N sampai warna tepat merah jambu. Catat volume NaOH terpakai.
Kadar CO2 bebas dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(ml titran x N titran x 44.000)


CO2 bebas (ppm) =
ml sampel air

6. Oksigen Terlarut

Pengukuran oksigen terlarut dalam badan air sering dilakukan dengan metoda
Winkler.

Cara Kerja:

 Sampel air yang akan diukur kandungan oksigen terlarutnya diambil


dengan menggunakan botol sampel air 250 ml. Diusahakan tidak terdapat
gelembung air.
 Selanjutnya ditambahkan MnSO4 dan KOH/KI sebanyak 1 ml dan
dihomogenkan lalu akan terbentuk endapan.
 Setelah itu, ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan dihomogenkan sampai
endapan hilang.
 Kemudian, diambil 100 ml sampel air tersebut dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer dan dititrasi dengan larutan Na2S203 0,025N sampai
berwarna kuning muda, lalu ditambah amilum 1% sebanyak 5 tetes dan
dilanjutkan titrasinya sampai warna air sampel kuning tepat bening.

ml titran x N titran x 8000


ppm 02 = volume botol − 2
ml sampel )
volume botol
(
7. pH air

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas


pH, atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan
pengukuran pH tanah seperti dinyatakan di depan, hanya saja di sini
pengukuran dilakukan tanpa pengenceran.

Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan


contohnya harus benar, seperti yang telah dinyatakan di atas. Bila akan
mengukur pH air dari kedalaman tertentu haruslah contoh sampel air diambil
dengan alat botol sampel kemudian dikasih pemberat, usahakan tidak ada
gelembung udara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Anshori (2009) hewan atau disebut juga dengan binatang adalah
kelompok organisme yang diklasifikasikan dalam kerajaan Animalia atau
metazoa, adalah salah satu dari berbagai makhluk hidup di bumi. Sebutan lainnya
adalah fauna dan margasatwa (atau satwa saja).
Hewan dalam pengertian sistematika modern mencakup hanya kelompok
bersel banyak (multiselular) dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda
(jaringan), sehingga kelompok ini disebut juga histozoa. Semua binatang
heterotrof, artinya tidak membuat energi sendiri, tetapi harus mengambil dari
lingkungan sekitarnya. Hewan mempunyai daya gerak, cepat tanggap terhadap
rangsangan eksternal, tumbuh mencapai besar tertentu, memerlukan makanan dan
memiliki bentuk kompleks dan jaringan tubuhnya lunak. Perbedaan itu berlaku
secara umum, tentu saja ada kelainan-kelainannya.
Tiap individu, baik pada hewan uniselular maupun pada hewan multiselular,
merupakan satu unit. Hewan itu berorganisasi, berarti tiap bagian dari tubuhnya
merupakan subordinat dari individu sebagai keseluruhan baik sebagai bagian
suatu sel maupun seluruh sel. Inilah yang disebut konsep organismal, suatu
konsep yang penting dalam biologi (Anshori, 2009).
Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang
kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis lingkungan tidak
terbatas jumlahnya, oleh karena misalnya matahari dan bintang termasuk di
dalamnya.
Namun secara praktis kita selalu memberi batas pada ruang lingkungan itu.
Menurut kebutuhan kita batas itu dapat ditentukan oleh faktor alam seperti jurang,
sungai atau laut, faktor ekonomi, faktor politik atau faktor lain. Tingkah laku
manusia juga merupakan bagian lingkungan kita, oleh karena itu lingkungan
hidup harus diartikan secara luas, yaitu tidak saja lingkungan fisik dan biologi,
melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
Faktor abiotik adalah komponen lingkungan berupa sumber daya tak hidup
yang mencakup kondisi fisik dan kimia dalam ekosistem. Bersama dengan faktor
biotik, faktor abiotik ini membentuk habitat makhluk hidup. Beberapa contoh
faktor abiotik adalah suhu, cahaya, air, kelembaban, udara, garam mineral, dan
tanah.
1. Suhu
Suhu adalah derajat energi panas. Suhu sangat diperlukan oleh makhluk
hidup untuk melakukan reaksi kimia dalam tubuh dimana pada setiap reaksi
dibutuhkan enzim yang kinerjanya dipengaruhi oleh suhu.
2. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu energi yang bersumber dari matahari.
Cahaya matahari terdiri atas beberapa jenis panjang gelombang. Tumbuhan
membutuhkan panjang gelombang tertentu untuk melakukan fotosintesis.
3. Air
Air merupakan komponen kimia yang tersusun atas molekul H2O yang
sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Selain sebagai habitat, air pun
berfungsi sebagai penyusun tubuh makhluk hidup dan reaksi dalam tubuh.
4. Kelembaban
Kelembaban merupakan kandungan uap air yang berada di tanah dan
udara. Kelembaban diperlukan makhluk hidup untuk menjaga kondisi tubuh
agar tidak cepat kering. Kebutuhan kelembaban udara antara satu organisme
berbeda dengan organisme yang lain.
5. Udara
Udara terdiri atas beberapa macam yaitu nitrogen, oksigen, karbon
dioksida, dll. Oksigen dibutuhkan makhluk hidup untuk bernafas, sedangkan
karbon dioksida dibutuhkan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis.
6. Tanah
Tanah merupakan hasil pelapukan batuan yang disebabkan oleh faktor
iklim maupun biologis. Pada tanah, terkandung sejumlah garam mineral yang
sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk bertahan hidup.
7. Garam mineral
Beberapa contoh garam mineral yang terdapat di alam adalah fosfat,
sulfur, kalsium, dan natrium. Garam-garam mineral tersebut dapat
mempengaruhi tingkat keasaman dan salinitas lingkungan sehingga dapat
mempengaruhi kondisi makhluk hidup.
Dengan demikian, faktor abiotik ini adalah faktor lingkungan yang terdiri dari
benda tak hidup yang keberadaannya sangat memengaruhi kondisi makhluk
hidup.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel : Data Pengamatan Uji Feeding
Hasil Pengukuran
No Faktor Abiotik 1 2 3 Keterangan
Kedalaman air
1 Kekeruhan Air (m) dilakukan 3 kali
percobaan
Kecepatan arus
dilakukan 3 kali
2 Kecepatan arus (m/d) 10m/d 10m/d 10m/d
percobaan dan
hasilnya tetap sama
Kedalaman air
3 Kedalaman air (cm) 47 33 149 dilakukan 3 kali
percobaan
Kadar garam /
4 6,34 6,32 6,37
salinitas
Titrasi tidak
dilanjutkan dikarena
5 Karbondioksida bebas
kan air sampel berubah
warna merah jambu.
6 Oksigen terlarut
Pada pH air dilakukan
7 pH air 7,7 6,98 6,98
3 kali percobaan

B. Pembahasan
Kekeruhan merupakan sifat optik yang terjadi akibat hamburan cahaya oleh
partikel yang menyebar di dalam air membentuk koloid, yaitu cairan yang
mempunyai partikel-partikel yang menyebar (melayang) serta terurai secara halus
sekali dalam suatu medium disperse (Fatah dkk., 2014).
Arus dari sungai berubah dari deras pada bagian hulu dan menjadi lambat
pada bagian hilir. Perubahan ini juga bisa diikuti dengan berubahnya keadaan
spesies- spesies ikan yang menghuninya (Odum, 1996). Kecepatan arus
ditentukan oleh kemiringan, kedalaman dan substrat dasarnya.

Sungai dengan kecepatan arus lebih dari 100 cm/s termasuk sungai dengan
kecepatan arus sangat cepat sedangkan kecepatan arus sungai yang sangat lambat
adalah kurang dari 10 cm/s. Kecepatan arus antara 10-25 cm/s termasuk sungai
dengan kecepatan arus lambat, kecepatan arus antara 25-100 cm/s termasuk
sungai dengan kecepatan arus antara 50-100 cm/s termasuk sungai dengan
kecepatan arus cepat (Setijanto dan Sulistyo, 2008).
Salinitas merupakan nilai kelarutan garam pada air laut. Salinitas berubah di
dekat permukaan air laut yang diakibatkan oleh presipitasi dan evaporasi dari air
tawar. Variasi geografis dapat membentuk area regional perbedaan nilai salinitas
pada permukaan air laut.

Karbondioksida bebas yang dianalisa asalah karbondioksida yang berada


dalam bentuk gas yang terkandung dalam air. Kandungan CO2 bebas dalam air
murni pada tekanan 1 atm dan temperature 25 °C adalah sekitar 0,4 ppm. CO2
dalam perairan didapatkan dari dari proses difusi udara dan hasil proses respirasi
organism akuatik.

Oksigen terlarut atau DO ( Dissolved oxygen ) adalah jumlah oksigen terlarut


dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Untuk
mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati
beberapa parameter kimia seperti aksigen terlarut (DO).

Pada penelitian yang telah dilakukan, kekeruhan air dilakukan 3 kali uji coba
dan hasilnya yaitu . Untuk kecepatan arus dilakukan selama 3 kali percobaan dan
kecepatannya sama yaitu 10m/d.
Pada kedalaman air dilakukan 3 kali uji coba dan hasilnya yaitu 47cm dari
atas, 33 cm dari bawah, dan 149 cm untuk keseluruhan. Pada uji coba kadar garam
hasilnya yaitu 6,34, 6,32, dan 6,37.

Pada karbondioksida bebas hasilnya yaituPada oksigen terlarut hasilnya yang


terakhir pada pH air yaitu 7,7, 6,32, dan 6,37. Pada karbondioksida bebas
titrasinya tidak dilanjutkan dikarenakan air sampel sudah berubah menjadi warna
merah jambu.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penelitian yang telah dilakukan, kekeruhan air dilakukan 3 kali uji coba
dan hasilnya yaitu . Untuk kecepatan arus dilakukan selama 3 kali percobaan dan
kecepatannya sama yaitu 10m/d. Pada kedalaman air dilakukan 3 kali uji coba dan
hasilnya yaitu 47cm dari atas, 33 cm dari bawah, dan 149 cm untuk keseluruhan.
Pada uji coba kadar garam hasilnya yaitu 6,34, 6,32, dan 6,37. Pada
karbondioksida bebas hasilnya yaitu . Pada oksigen terlarut hasilnya yaitu . Dan
yang terakhir pada pH air yaitu 7,7, 6,32, dan 6,37. Pada karbondioksida bebas
titrasinya tidak dilanjutkan dikarenakan air sampel sudah berubah menjadi warna
merah jambu.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Muslich & Sri Iswati. (2009). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surabaya
: Airlangga University Press (AUP)
Anwar, N. 2008. Krakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya Dengan
Distribusi Serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Pelabuhan Ratu.
Penelitian.Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Campbell, Neil. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Fatah.L.A dan Habiansyah.S., 2014, Alat Pendeteksi Kekeruhan Air Pada Toren
Dengan Sensor LDR Dan Buzzer Berbasis Atmega8535,Jurnal LPKIA, Vol 1
No 1.
Setijanto & Isdy Sulistyo. 2008. Habitat Preference and Spatial Distribution of
Mystus nigriceps at the Serayu Catchment Areal. Penelitian. Purwokerto :
Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Jendral Soedirman
INTERAKSI HEWAN DENGAN LINGKUNGAN (RESPON
HEWAN PADA PREFERENSI DAN PREVALENSI)

Di Susun Oleh :
Kelompok 1
Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen pengampu : Dr. Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN RADEN FATAH
PALEMBANG 2021
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Tujuan Pratikum
a. Untuk melihat peran ekologis hewan terhadap respon yang diberikan
rantai makanan dan melihat peran intra dan interspesifik hewan pada
habitatnya
b. Melihat preferensi hewan pada skala laboratorium
c. Mengetahun prevalensi hewan 15
B. Alat dan Bahan
Alat : Camera trap, handycam, termomter max-min, tali, meteran,
teropong, box ukuran 40x40cm
Bahan : alkohol 95% 1 liter, formalin 4% 250ml, aquades 1
liter, umpanikan/gula/madu 1 botol kecil, kapas, asam asetat 4%

C. Cara kerja
1. Preferensi Kesukaan hewan terhadap pakannya sangat tergantung
kepada jenis dan jumlah pakan yang tersedia. Bila jumlah pakan yang
tersedia tidak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan, perpindahan
kesukaan terhadap jenis pakan dapat terjadi. Kesukaan (preferensi)
umumnya merupakan spesifik dari jenis, tetapi dapat berubah oleh
pengalaman. Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan
pengalaman sebelumnya disebut dengan “switching”. Peristiwa ini
terjadi dalam populasi bukanlah perpindahan yang bersifat berangsur-
angsur, melainkan perpindahan spesifik akibat ketidakseimbangan
pakan.
2. Cara kerja: Koleksilah ulat api pada hewan kelapa sawit. Beri makan
daun kelapa sawit untuk aklimatisasi hewan sebelum percobaan
minimal 10 ekor. kemudian laparkan selama kurang lebih 24 jam.
Lakukan juga pengkoleksian beberapa daun hewan Solanaceae.
Berilah alas pada cawan petri dengan kertas saring yang telah
ditetesi dengan 2-3 ml air (kertas saring dalam keadaan lembab).
Kemudian masukkan beberapa daun hewan Solanaceae yang ukurannya
masing-masing sama pada beberapa tempat dalam cawan petri dan ulat
yang telah dilaparkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi spesies adalah hal penting dalam ekologi suatu spesies. Dalam
suatu komunitas, terdapat sejumlah faktor biotic maupun abiotik yang
mempengaruhi distribusi, kelimpahan, dan interaksi spesies. Adanya interaksi
antar spesies akan menghasilkan suatu asosiasi antarspesifik yang polanya sangat
ditentukan oleh apakah dua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama,
mempunyai daya penolakan atau daya tarik, atau bahkan tidak berinteraksi.
Asosiasi ini bisa positif, negatif atau tidak ada asosiasi (Soegianto, 1994).
Menurut Swasta (2006), aspek kajian tentang afinitas spesies dalam komunitas
mengarah pada dua permasalahan utama yaitu tumpang tindih relung dan asosiasi
antar spesies. Penelitian ini akan membahas tentang asosiasi antar spesies yang
terjadi pada komunitas gastropoda.
Asosiasi spesies merupakan hubungan timbal balik antar spesies didalam
suatu komunitas dan dapat digunakan untuk menduga komposisi komunitas
(Michael, 1994). Menurut Nybakken, (2000) ada atau tidaknya asosiasi spesies
dalam komunitas dapat menunjukkan tingkat keragaman dalam komunitas
tersebut. Tingkat asosiasi spesies yang tinggi akan menunjukkan keragaman
spesies yang tinggi pula. Interaksi dan asosiasi intra dan inter spesies (afinitas
spesies) akan menghasilkan asosiasi spesifik yang polanya sangat ditentukan oleh
apakah spesies memilih atau menghindari habitat yang sama, mempunyai daya
penolakan atau daya tarik, atau tidak berinteraksi. Asosiasi bisa positif, negatif
atau tidak adanya asosiasi.
Menurut Michael (1994), asosiasi positif ditandai dengan kecenderungan
spesies selalu ditemukan bersama-sama atau tidak ditemukan bersama dalam
setiap petak pengamatan. Asosiasi positif cenderung bersifat mutualistik sehingga
salah satu spesies tidak merasa dirugikan oleh spesies lainnya, sedangkan asosiasi
negatif dapat terjadi karena adanya kompetisi atau persaingan dengan spesies lain
terhadap sumberdaya (nutrisi) dan ruang yang sama.
Dalam asosiasi negatif, hubungan antara spesies cenderung bersifat
merugikan sehingga salah satu spesies akan tertekan. Terjadinya asosiasi
disebabkan karena diantara spesies-spesies yang membentuk komunitas itu
terdapat jalinan fungsional yang dapat melahirkan keterikatan interaktif diantara
mereka. Keterikatan interaktif ini merupakan daya gabung yang cukup efektif
yang dapat membuat beberapa spesies untuk hadir bersama dalam suatu habitat.
Beberapa bentuk keterikatan interaktif yang 12 mendorong adanya asosiasi ini
adalah symbiosis, protokooperatif, kompetisi, predasi, dan komensalisme (Odum,
1971; Krebs, 1978; Keindeigh, 1975) dalam Swasta, 2006.
Menurut Kusmana (1995) asosiasi ini terjadi bila:
a) Kedua spesies tumbuh pada lingkungan yang serupa,
b) Distribusi geografi kedua spesies serupa dan keduanya hidup di daerah yang
sama,
c) Bila salah satu spesies hidupnya bergantung pada yang lain,
d) Bila salah satu spesies menyediakan perlindungan terhadap yang lain. Menurut
Swasta (2006)
terjadinya asosiasi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal ini terjadi yang berasal dari komunitas itu sendiri yaitu
berkaitan dengan sifat biologi dan ekologi suatu komunitas. Sifat biologis dan
sifat ekologis yang bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spesies memilih
cara dan kebutuhan hidup yang sama sehingga mereka cenderung ada
bersamasama dalam suatu habitat. Peluang asosiasi antar spesies sangat
ditentukan oleh luas atau sempitnya kisaran berbagai peubah ekologis yang
menjadi penentu kehadiran spesies dalam suatu habitat. Semakin luas kisaran
peubah ekologis, peluang hadirnya banyak spesies dalam satu corak habitat
semakin besar, dan ini berarti peluang adanya asosiasi diantara beberapa spesies
menjadi semakin besar pula.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal berasal dari habitat suatu komunitas yaitu tingkat
kemampuan habitat dalam menyediakan pilihan berbagai kondisi lingkungan dan
sumberdaya yang menjadi kebutuhan bagi komunitas. 2.1.2 Interaksi Antar
Spesies Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang
lain, tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau
lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Jadi interaksi spesies merupakan, hubungan timbal balik antar
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda.
Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Persaingan terjadi ketika
organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda
menggunakan sumber daya alam. Di dalam menggunakan sumber daya alam, tiap-
tiap organisme yang bersaing akan memperebutkan sesuatu yang diperlukan untuk
hidup dan pertumbuhannya (Tyara, 2012). Interaksi antarpopulasi dapat
dikelompokkan berdasarkan mekanisme interaksi atau efek interaksi.
Ekologiawan menggunakan kedua klasifikasi ini dan sering menggabungkan
keduanya.
Menurut Leksono (2007) berdasarkan mekanisme, interaksi dibagi menjadi enam
jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetisi
Bila dua spesies tergantung pada sumber daya tertentu di lingkungannya
maka mereka saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Biasanya
sumber daya yang diperebutkan adalah makanan, selain itu bisa juga tempat
berlindung, tempat bersarang, sumber air, cahaya matahari, dan sebagainya.
Secara klasik, kompetisi dibagi menjadi dua. Kompetisi eksploitataif /scramble,
yaitu kompetisi yang terjadi bekerja secara tidak langsung dengan pengurangan
sumber daya, dan kompetisi interferensi. Kontes, kompetisi yang melibatkan
interaksi langsung antarspesies seperti teritorialitas dan interferensi kimia.
2. Predasi
Predasi cukup sulit didefinisikan dengan tegas karena kisaran organisme
yang luas dalam mengkonsumsi makanannya.beberapa ekologiawan
mendefinisikan predasi sebagai semua kegiatan mengkonsumsi termasuk
herbivora, detrivori, parasitisme dan karnivora. Jika predasi dibatasi pada
pengertian konsumsi satu organisme oleh organisme lain pada saat mangsanya
dalam keadaan hidup maka detrivori tidak termasuk predasi. Kita mengenal istilah
heterptrof sebagai organisme yang mendapatkan energi dari organisme lain.
Dengan demikian semua predator adalah heterotrof namun tidak semua heterotrof
adalah predator. Menurut Tyara (2012), predasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih spesies yang salah satu pihak (prey, organisme yang dimangsa),
sedangkan pihak lainnya (predator, organisme yang memangsa) beruntung.
Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup.
Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa.
3. Herbivora
Herbivora merupakan proses interaksi utama antara hewan dan tumbuhan .
secara umum herbivora bersifat menguntungkan herbivor dan merugikan
tumbuhan.

4.Parasitisme
Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bila salah
satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari
hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Biasanya interaksi
parasitisme ini dilakukan oleh tumbuhan atau hewan tingkat rendah dengan
cara menumpang dan menghisap sari makanan dari hewan atau tumbuhan
yang ditumpanginya. Hewan atau tumbuhan yang ditumpangi biasa disebut
inang. Pada tumbuhan seperti tumbuhan benalu yang menempel pada pohon
(Tyara, 2012).
5. Penyakit
Penyakit merupakan asosiasi antara mikroorganisme patogen dengan inangnya
yang menyebabkan inang menderita secara fisiologis.

6. Mutualisme
Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
yang saling menguntungkan kedua belah pihak oleh adanya asosiasi dan masing-
masing spesies memang saling membutuhkan dan merupakan suatu keharusan
untuk berasosiasi. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-
kacangan, bunga dan lebah (Tyara, 2012). Mendeteksi asosiasi spesies
mempunyai implikasi ekologi yang penting. Beberapa proses ekologis mungkin
saja menghasilkan asosiasi positif atau negatif antar dua spesies (Soegianto,
1994).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pengamatan di lakukan selama kurang lebih 30 menit dengan memberikan
pakan berupa daun solaneceae dan daun sawit ke dalam toples (cawan petri)
yang berisi ulat api dan serangga daun solanaceae (kumbang toksi) yang telah
di laparkan selama 24 jam. Sehingga dapat di ambil data sebagai berikut ini :
1. Berapa lama waktu yang diperlukan ulat untuk menemukan pakannya?
Waktu yang di perlukan oleh ulat untuk menemukan pakan nya yang
berupa daun sawit adalah 15 menit. Pada menit ke 10, ulat sudah mulai
mendekati pakan nya dan ulat mulai memakan makanan nya pada menit
ke 15.
2. Daun mana yang lebih dulu dimakan serta paling banyak dimakan? Daun
yang terlebih dahulu di makan adalah daun solanaceae dikarenakan
kumbang toksi (hewan solanaceae) Pada saat pakan di masukkan,
kumbang langsung menuju daun dan mulai memakan.
Untuk satu ekor kumbang bisa memakan banyak bagian dari daun.
Berapa lama seekor kumbang memakan sesuatu jenis pakan?
3. Waktu yang di perlukan oleh seekor kumbang toksi (kumbang
solanaceae) memakan daun solanaceae adalah selama 20 menit
4. Apakah terjadi switching?
Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan pengalaman
sebelumnya disebut dengan “switching”. Pada pengamatan kali ini, tidak
terjadi switching, ulat dan kumbang memakan makanan nya masing-
masing, ulat hanya memakan daun sawit dan kumbang memakan daun
solanaceae.
Menghitung efisiensi ekologis dengan rumus:
EF= Pn/Pn-1 x 100%
Dimana:
EF efisiensi ekologis
Pn: jumlah makanan yang dimakan
Pn-1: jumlah makanan yang tersimpan dalam trofik.
Maka di dapati hasil sebagai berikut :
EF= 2/2-1×100%
EF=
2/1×100/100
EF= 2×100/100
=2
Keterangan :
Jumlah makanan yang dimakan ulat dan kumbang adalah berjumlah 2
dengan jumlah semua makanan yang tersimpan dalam trofik juga berjumlah
2. Sehingga hasil nya adalah 2/2-1×100% yang berjumlah 2. Jadi untuk
analisa berupa EF (efisiensi ekologis) nya adalah 2.

B. Pembahasan
Ulat api yang di jadikan sebagai spesimen praktikum di dapatkan dari pohon
sawit yang ada di kebun sawit.

Gambar 1 : Daun sawit tempat ditemukannya ulat api

Gambar 2 : ulat api dari daun sawit


Adapun klasifikasi hama ulat api sebagai berikut:
Phylum:
Athropoda
Kingdom:
Animalia Class:
Insekta Ordo:
Lepidoptera
Famili:
Limacodidae Genus:
Setothosea
Spesies : Setothosea Asigna
Setothosea asigna adalah serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) dimana perubahan bentuk ulat Api ini dimulai dari fase telur,
larva, pupa, dan imago. Umumnya satu siklus hidup Setothosea asigna dari tahap
telur ke menjadi imago dewasa berkisar antara 92,7 hari – 98 hari, tetapi di bawah
kondisi lingkungan yang menguntungkan optimal ulat ini bisa mencapai 115 hari
(Mula et al., 2020).
Dalam preferensi pakan Setothosea asigna ebih aktif pada malam hari serta
tingkat konsumsi pakan yang paling tinggi baik pagi ataupun malam hari terdapat
pada instar 7 dan hubungan antara instar stadia larva Setothosea asigna terhadap
jumlah pakan daun tanaman kelapa sawit, baik pada pagi hari ataupun malam hari
yaitu berbanding lurus dan berpengaruh secara langsung. (Mula et al., 2020).

Gambar 3 : Daun solanum torvum tempat


ditemukannya kumbang toksi
Gambar 4 : kumbang toksi dari daun solanacea
Adapun klasifiksai daun terong sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi :
Magnoliopsida Ordo :
Solanales Famili :
Solanaceae Genus :
Solanum
Spesies : Solanum Melongena L. (ROKHIM, 2021)
Pengamatan kedua yaitu Kumbang yang di jadikan spesimen pada
pengamatan kali ini adalah jenis kumbang toksi yang di temukan pada daun
solanaceae (terong-terongan) mempunyai ciri-ciri berwarna orange cerah
berbintik-bintik hitam. Daun terong merupakan tanaman dari famili Solanaceae
dan menjadi pilihan utama sebagai makanan Epilachna sp.
Pada daun jenis inilah Epilachna sp. Dikoleksikan dari lingkungan. Daun
terong memiliki struktur tebal agak keras, berbulu tipis. Epilakna sp. Mereka
paling mudah ditemukan di alam di bagian bawah daun. Di negara-negara Barat,
hewan ini dikenal sebagai nama ladybird atau kepik.
Orang awam menyebut kumbang koksi kepik, karena ukuran dan perisainya
yang keras, namun kumbang ini sama sekali bukan kepik (Hemiptera). Serangga
ini dikenal sebagai sahabat petani karena beberapa anggotanya memangsa
serangga pengganggu seperti kutu daun. Namun, beberapa spesies koksi yang juga
memakan daun dapat menjadi hama tanaman (Nanao et al. 2004).
Preferensi dan sebaran geografis kelompok hewan Epilachna sp. Ini sangat
penting, hanya dari sudut pandang evolusi, tetapi juga untuk program
pengendalian hama yang efektif. Epilachna admirabilis adalah serangga yang
merusak daun dan kuncup daun. Serangga Menghisap cairan yang ada di daun.
Tumbuhan yang biasa dimakan serangga ini termasuk dalam family Solanaceae
atau famili terong. (Nanao et al. 2004).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kesukaan (preferensi) umumnya merupakan spesifik dari jenis, tetapi dapat


berubah oleh pengalaman. Perpindahan dari satu pakan ke pakan lain berdasarkan
pengalaman sebelumnya disebut dengan “switching”. Peristiwa ini terjadi dalam
populasi bukanlah perpindahan yang bersifat berangsur-angsur, melainkan
perpindahan spesifik akibat ketidakseimbangan pakan. Pada pengamatan kali ini,
tidak terjadi switching, ulat dan kumbang memakan makanan nya masing-masing,
ulat hanya memakan daun sawit dan kumbang memakan daun solanaceae. Hal ini
terjadi karena adanya keseimbangan pakan. Jumlah makanan yang dimakan ulat
dan kumbang adalah berjumlah 2 dengan jumlah semua makanan yang tersimpan
dalam trofik juga berjumlah 2. Sehingga hasil nya adalah 2/2-1×100% yang
berjumlah 2. Jadi untuk analisa berupa EF (efisiensi ekologis) nya adalah 2.
B. Saran
Pada praktikum tentang Respon Hewan Pada Preferensi dan Prevalensi ini
menggunakan ulat api dan kumbang toksi sebagai spesimen nya, untuk spesimen
ulat api, di sarankan untuk tidak memegang si ulat secara langsung, karena pada
ulat api pohon kelapa sawit mempunyai duri-duri kecil yang beracun yang dapat
menimbulkan rasa yang sakit sehingga mengakibatkan nagian yang terpegang ulat
ini akan membengkak dan memerah.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, R. H. (2010), Aek Nauli Parapat, http://raflesiana.blogspot.com/2010/


12/aek-nauli-prapat.html (Diakses 22 september 2011)
Dendang, B. (2009), Keragaman Kupu-kupu di Resort Selabintang Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat, Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol. VI No. 1 : 25-36, 2009.
Fachrul, M. F. (2007), Metode Sampling Bioekologi, Bumi Aksara, Jakarta.
Jumar, (2000), Entomologi Pertanian, Rineka Cipta, Jakarta.
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins. New York Manurung,
B., (2003). Pengantar Ekologi Hewan, FMIPA UNIMED, Medan. Mastrigt,
H. V. (2005), Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu untuk Wilayah
Membramo sampai Pegunungan Cyclops, Conservation International,
Jayapura.
Noprin, H. (2010), Kupu-kupu, http://www.hendronoprin.blogspot.com
/2010/01/kupu-kupu.html (Diakses 22 september 2011)
Odum, E. R. (1993), Dasar-dasar Ekologi, Edisi ketiga, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Peggie, Djunijanti, (2011), Precious And Protected Indonesian Butterflies.
Kupukupu Indonesia yang Bernilai dan Dilindungi, Binamitra Megawarna,
Jakarta.
LAPORAN ADAPTASI HEWAN PERAIRAN PADA EKOSISTEM
SUNGAI PADA BERBAGAI FAKTOR FISIK LINGKUNGAN

Oleh :

OLEH: Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Pembimbing : Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN RADEN FATAH
PALEMBANG 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk:
1. Melihat perbedaan faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kehidupan
di sungai
2. Melihat adaptasi hewan air terhadap perubahan faktor-faktor fisik dan kemis
3. Mengetahui aktivitas metamorfhosis katak dan ikan pada air kolam/sunga

B. Alat dan bahan


a. Alat
pH meter, salinometer, termometer, piring secci, tali, meteran, botol
sampel, Akuarium 10x10 cm (4 kotak)
b. Bahan
Ikan Nila, Garam, dan Es batu
C. Cara kerja

1. Lapangan
- buatlah transek sungai dengan panjang 50 m, pada setiap 10 meter satu
stasiun pengamatan.
- Masukkan piring secci kedalam air sungai, amati piring tersebut sampai
tidak keliatan lagi, catat hasilnya.
- ambil sampel ari sedikit, kemudian ukur kadar salino meternya dengan
meneteskan air sungai kedalam salino, amati angkanya.
- masukkan termometer kedalam air sungai, lihat perubahan angkanya.
Sama dengan suhu pH air juga sama cara kerjanya.
2. Sampel hewan Sungai
- ambil sampel hewan dengan menggunakan net/jaring, masukkan kedalam
botol sampel, bawa ke laboraorium dan identifikasi apa jenisnya.

1
3. Laboratorium
- sediakan 3 kotak aquarium yang telah di isi air biasa, garam dan air
dingin (es).
- kemudian masukkan masing2 ikan mujahir/mas kedalam aquarium
tersebut. Lalu amati perubahan insangnya dan kemudian catat berapa
banyak ikan tersebut membuka dan menutup insang atau mulutnya pada
masing-masing aquarium.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk aliran
di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya bermuara ke laut. Air
sungai sangat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan organisme daratan
seperti; tumbuhan, hewan, dan manusia di sekitarnya serta seluruh biota air di
dalamnya (Downes et al., 2002). Sungai mempunyai fungsi utama menampung curah
hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Ekosistem sungai merupakan habitat bagi
organisme akuatik yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya. Organisme akuatik tersebut diantaranya tumbuhan air, plankton, perifiton,
bentos, ikan, serangga air, dan lain-lain. Sungai juga merupakan sumber air bagi
masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti
kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan
lainnya (Suwarno, 1991).

Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu,
bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena
pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang
mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut. Substrat permukaan pada bagian
hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir. (Suwarno, 1991). Hulu sungai
merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan sering kali
merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi, dkk., 2010).

Alur sungai di bagian hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari
bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja
partikel sedimen halus tetapi juga apsir, kerikil, bahkan batu (Suwarno, 1991).
Bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dan hilir.
Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil
pada bagian hulu. Permukaan dasar bagian tengah umunya berupa pasir atau lumpur
(Suwarno, 1991). Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan bermuara
ke laut atau sungai lainnya. Bagian tersebut umumnya melalui daerah bagian dengan
substrat permukaan berupa endapan pasir halus sampai kasar, lumpur, endapan
organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil. Alur sungai bagian hilir
mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Bentuk alur tersebut dinamakan meander
(Suwarno, 1991).

Ekosistem sungai (lotic) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona
krenal (mata) air yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-
tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang
selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil. Beberapa mata air akan membentuk
aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral
(bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah) dan hyporithral (bagian yang
paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona
potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai
dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu epipotamal , metapotamal dan hypopotamal (Barus, 2004).

Struktur fisik sungai menyediakan relung biologi yang melimpah terhadap


organisme-organisme akuatik. Daerah di bawah batu pada dasar perairan terdapat
tempat yang gelap untuk bersembunyi bagi organisme akuatik berukuran kecil,
sedangkan pada permukaan atas batu yang terpapar cahaya matahari merupakan
tempat bagi alga yang menempel (Goldman & Horne, 1983). Secara ekologis
organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat, yaitu
:
a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi
arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga
dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton
khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan
yang dapat berenang melawan arus.

b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan
arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini
partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada daerah
ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi, 1993).

Biota pada ekosistem sungai terbagi atas biota non akuatik dan biota akuatik.
Biota non akuatik adalah biota yang hidup diluar perairan sungai misalnya adalah
tanaman yang berada di DAS (Daerah Aliran Sungai), serangga yang hidup diarea
sekitar sungai seperti semut, capung, kupu-kupu, dan lain-lain. Biota akuatik
merupakan biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di perairan.

Berdasarkan cara hidupnya biota akuatik dapat dikelompokkan menjadi


neuston, pleuston, nekton, plankton, perifiton, bentos, dan demersal. Neuston
merupakan biota akuatik yang hidup dilapisan tipis permukaan air. Seperti halnya
neuston, pleuston juga hidup dipermukaan air tetapi sebagian tubuhnya berada
dibawah permukaan air. Nekton umunya terdiri atas biota akuatik yang hidup dan
bergerak bebas didalam kolom air. Plankton merupakan kelompok biota akuatik baim
hewan atau tumbuhan yang pergerakannya selalu dipengaruhi arus air dan umunya
berukuran mikroskopis. Perifiton adalah kelompok biota akuatik yang hidup
menempel pada permukaan tumbuhan, tongkat, batu, atau substrat lain yang berada
didalam air. Biota bentik atau bentos merupakan kelompok hewan atau tumbuhan
yang hidup didasar perairan. Sedangkan kelompok biota akuatik yang sebagian besar
hidupnya dihabiskan didasar perairan disebut demersal (Wardhana, 2006). ‘
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan faktor fisik air sungai

Sungai
No indikator Sta 1 Sta 2 Sta 3 Ket

1. Kuat arus 10 M/ 10 M/ 10 M/
29,4 detik 30,5 detik 34,0 detik
2. Kekeruhan - - -

3. Kadar Garam 0,1 0,15 0,1

4. Suhu Air 34o 34,1o 34o

5. Ph Air 7,7 6,98 6,98

6. Warna Air Keruh Keruh Keruh

7. BOD/DO 6,33 6,42 6,37


Tabel 2. Pengamatan adaptasi Ikan

Kondisi Air
No Jenis Ikan Ket
Biasa Garam Dingin Panas

1. Nila 800 56 120 40 Pada kondisi air biasa


ikan nila bernapas 800
kali selama 10 menit, lalu
ikan nila tetap hidup
selama beberapa hari di
air biasa tersebut.

Pada kondisi air garam


ikan nila bernapas
sebanyak 56 kali selama
1 menit 42 detik dan
setelah itu ikan nila mati
Pada kondisi air dingin
ikan Nila bernapas
sebanyak 120 kali selama
40 detik dan setelah itu
ikan nila mati.
Pada kondisi air panas
Ikan nila bernapas
sebanyak 40 kali, selama
50 detik lalu ikan nila
mati.
B. Pembahasan
Sebelum membahas dari hasil percobaan yang di lakukan sebaiknya kita harus
mengetahui dulu mengenai deskripsi Ikan Nila.
Deskripsi Ikan Nila :

Gambar 1. Ikan Nila

Ikan peliharaan yang berukuran sedang, panjang total (moncong hingga ujung
ekor) mencapai sekitar 30 cm dan kadang ada yang lebih dan ada yang kurang dari
itu. Sirip punggung ( pinnae dorsalis) dengan 16-17 duri (tajam) dan 11-15 jari-jari
(duri lunak); dan sirip dubur (pinnae analis) dengan 3 duri dan 8-11 jari-jari. Tubuh
berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang)
yang makin mengabur pada ikan dewasa. Ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah.
Tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung dengan
warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim berbiak.

Dari Hasil pengamatan Tabel 1 faktor fisik air sungai menunjukan nilai oksigen
terlarut(DO) disetiap stasiun berada pada kisaran 6,33-6,42 mg/L. Nilai dianggap
masih ideal untuk pertumbuhan ikan. Hal ini disebabkan karna sungai ini masih
memiliki kondisi yang baik. enurut Boyd (1982) dalam Septiano (2006), nilai DO
yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah diatas 5 mg/L.
Menurut Darmono (2001), kehidupan makhluk hidup di dalam air tergantung
dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah
tanamannya dan dari atmosfir (udara) yang masuk kedalam air. Fardiaz (1992)
menyatakan konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan
biota perairan yang membutuhkan oksigen akan mati.

Derajat keasaman (pH) air merupakan tingkat konsentrasi ion hidrogen yang
ada dalam perairan. Hasil pengukuran pH pada stasiun 1 7,7 sedangkan pada stasiun 2
dan stasiun 3 hasilnya 6,98. Menurut Odung (1993), perairan dengan pH yang terlalu
tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahan hidup organisme yang hidup di dalam
nya. Nilai pH menunjukan derajat keasaman atau kebahasan suatu perairan yang
dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan air.

Suhu berkisar 34℃. Suhu ini masih baik untuk pertumbuhan ikan, suhu akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembang biakan dari organisme
tersebut. Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi
didalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran
toleransi.

kecepatan muat arus yang di ukur berada pada 29,4 – 34,0 m/detik stasiun yang
terendah pada stasiun 1 yaitu 29,4 m/detik dan stasiun yang tertinggi pada stasiun 3
yaitu 34,0 m/detik. Perbedaan ini dapat disebabkan karena kondisi fisik sungai yang
berbeda. Di mana pada stasiun 3 banyak batuan besar yang mempengaruhi gerak
cepat lambatnya air.
Kadar Garam pada factor fisik air sungai yaitu stasiun 1 dan stasiun 3 diperoleh
0,1 sedangkan pada stasiun 2 yaitu 0,15 dan warna pada air dari stasiun 1 – stasiun 3
bewarna keruh yang di sebabkan pada perairan dengan dasar lumpur arus dapat
mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air yang dapat
menyebakan kematian bagi beberapa biota perairan. Kekeruhan juga dapat
mengakibatkan berkurangannya penetrasi sinar matahari, sehingga mengurangi
aktivitas fotosintesis.

Pada pengamatan Tabel 2 yaitu pada adaptasi ikan Nila yaitu di mana kondisi
air menggunakan 4 percobaan yaitu air biasa, air garam, air dingin, dan air panas
kemudian hasilnya pada kondisi air biasa ikan nila bernapas 800 kali selama 10
menit, lalu ikan nila tetap hidup dalam selama beberapa hari di air biasa tersebut.

Pada kondisi air garam ikan nila bernapas sebanyak 56 kali selama 1 menit 42
detik dan setelah itu ikan nila mati. Pada kondisi air dingin ikan nila bernapas
sebanyak 120 kali selama 42 detik dan setelah itu ikan nila akan mati dan pada
kondisi air panas ikan nila bernapas sebanyak 40 kali selama 50 detik dan ikan nila
akan mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa ikan nila lebih baik bernapas pada kondisi
air biasa karena ikan nila tetap akan hidup selama pada kondisi air biasa dalam jangka
waktu beberapa hari sedangkan ikan nila kurang baik pada kondisi air panas karena
dampaknya pada suhu tersebut akan menyebakan nila akan mati.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada kesimpulan pada percobaan ini yaitu ikan yang diperoleh pada ke 3
stasiun diklasifikasikan sebanyak 1 ordo, 1 famili, dan 1 spesies. Pada taksonomi ikan
nila yaitu :

Philum : Chordata
Subphilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas :Achantopterigii
Ordo : Perciformes
SubOrdo : Percoidei
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Keanekaragaman ikan di sungai memiliki hubungan antara faktor fisik – kimia


yaitu pada faktor fisik terdapat suhu kecepatan kuat arus sedangkan pada faktor kimia
yaitu oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman pada pH air yang dapat dilihat pada
tabel hasil dan pembahasan pada percobaan ini.

B. Saran

Saran untuk percobaan ini adalah perlunya dilakukan percobaan lebih lanjut
terhadap struktur komunitas ikan dan hubungannya dengan faktor fisik kimia di
perairan Sungai.
DAFTAR PUSTAKA

Collinge NC. 1993. Introduction to Primate Behavior. Iowa:


Kendall/Hunt Publishing Company.
Suwarno.1993.Ekologi hewan. https://eprints.umm.ac.id/35049/3/jiptummpp-gdl-
santyprist-47930-3-babii.pdf
Louhi, dkk.2010. Adaptation of aquatic
animals in river ecosystems
Barus.2004. potamal zone. https://eprints.umm.ac.id/35049/3/jiptummpp-
gdl- santyprist-47930-3-babii.pdf
LAPORAN PENYEBARAN HEWAN
(EKOLOGI HEWAN TANAH)

OLEH: Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen Pengempu: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN RADEN FATAH
PALEMBANG 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan pratikum
Praktikum ini bertujuan untuk
1. untuk mengetahui struktur dan komunitas hewan tanah
2. untuk mengetahui pola kehidupan hewan tanah
3. untuk melihat distribusi beberapa hewan tanah
4. untuk melihat peran hewan tanah dalam kehidupan
5. mengetahui model dispersal

B. Alat dan Bahan


Alat : teropong; meteran, perangkap jebak, termometer, pH meter, Yellowpan trap
Bahan : alkohol 95% 1 liter, formalin 4% 250ml, aquades 1 liter, umpanikan/gula/madu
1 botol kecil, kapas, asam asetat 4%

C. Cara Kerja
1. Distribusi Hewan
- Tentukan 3 daerah yaitu kebun sawit, kebun karet dan hutan biasa denganluas daerah
masing 50 x 50 m. Setiap 5 meter di pasang 1 perangkap.
- Peragkap dipasang selama 1x24jam, kemudian serangga di koleksi dandihitung
- Kemudian di laboratorium dilaksanakan kegiatan sortir, identifikasi, mounting dan
labeling.
2. Analisis Faktor Fisik
• Menghitung kadar air tanah dan kadar organik tanah
• tanah diambil cuplikan dengan ukuran 12x15x10 cm, sebanyak 10 sampel dan
dimasukkan kedalam box sampel. Kemudian di laboratorium dilakukan analisis
kadar air tanah dan kadar organik tanah
• tekstur tanah: tanah di pegang dan dirasakan teksturnya
• warna tanah: tanah di lihat warna dan jenisnya berdasarkan karakteristik
morfologi tanah.
• pH tanah: buat lubang sedalam 10cm dan beri aquades sedikti, kemudian
masukkan pH meter. Lihat perubahan pHnya.
• Suhu tanah: sama dengan pH, ukur juga suhu tanah.
BAB II
Tinjauan Pustaka

Komposisi adalah susunan atau penyusun dalam suatu populasi organisme yang
berpengaruh dalam kehidupan organisme meliputi habitat, ketersediaan makanan, dan
lingkungannya. Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi
organisme yang saling berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang
lainnya dan berkaitan pula dengan kondisi lingkungan hidupnya(Suin, 2002).Dalam
komunitas organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional.

Komposisi organisme penyusun komunitas yang menempati suatu daerah dapat


ditulis berupa nama jenis penyusunnya, dan biasanya disusun dalam bentuk tabel. Dalam
komunitas organismehidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional. Semua
jenis organisme yang ditemukan pada lokasi penelitian dilaporkan termasuk jenis yang
jarang. Komposisi organisme penyusun komunitas, organisme yang jarang kepadatannya
bisa digunakan sebagai indikator dalam lokasi penelitian.
Sugiyarto (2002) menjelaskan bahwa komposisi komunitas makrofauna tanahdan
fungsi ekosistem menunjukkan hubungan yang sangat kompleks dan belumbanyak
diketahui dengan pasti. Walaupun telah banyak dilaporkan bahwa penurunan struktur
komunitas dan perubahan peran makrofauna tanah terjadi akibat perubahan sistem
penggunaan lahan seperti hutan yang beralih fungsi menjadi pertanian/perkebunan.
Tanah merupakan suatu bagian dari ekosistem teresterial yang di dalamnya dihuni
oleh banyak organisme yang disebut biodiversitas tanah. Biodiversitas tanahsangat
berperan dalam mempertahankan sekaligus meningkatkan fungsi tanah untuk menopang
kehidupan di dalam dan diatasnya. Pemahaman tentang biodiversitas tanah masih sangat
terbatas, baik dari segi taksonomi maupun fungsi ekologinya (Hagvar, 1998).

Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahanke
dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat,
kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan
mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat,
lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof
bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakanpenentu utama dalam
produktivitas bumi (Kimball, 1999).
Tekstur, struktur, salinitas dan kemasaman tanah serta kandungan unsur hara sangat
mempengaruhi keragaman fungsional tanah (BIS, 2010). Pada tanahbertekstur lempung
dan liat sedang akan cocok untuk pertumbuhan cacing dan organisme tanah. Sebaliknya
pada tanah bertekstur pasir yang memiliki kapasitas menahan air rendah tidak cocok untuk
pertumbuhan organisme tanah. Kadar garam (salinitas) tanah yang lebih tinggi pada bagian
dekat permukaan tanah akan menyebabkan “stress” pada organisme tanah. Namun
demikian tingkat sesitivitas terhadap kadar garam berbeda-beda diantara spesies yang
berbeda.
Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk
menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilakukan analisa kimia yang biayanyarelatif
mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah dengan
biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam
tanah sebagai bioindikator (Paoletti et al.,1991).
Proses dekomposisi bahan organik dalam tanah akan melepaskan unsur-unsuryang
dapat langsung digunakan oleh tumbuhan dan organisme lainnya. Sisa-sisa bahan organik
dalam tanah akan membentuk humus yang menentukan kualitas dan kesuburan tanah (BIS,
2010).

Fauna tanah adalah semua fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup dipermukaan tanah
maupun yang hidup di dalam tanah, sebagian atau seluruh siklus hidupnya berlangsung di
dalam tanah, serta dapat berasosiasi dan beradaptasi denganlingkungan tanah (Wallwork,
1970).
Menurut Wallwork (1970) dan Hole (1981), berdasarkan kehadirannya fauna tanah terbagi
menjadi beberapa kelompok berikut:
a. Transient yaitu fauna tanah yang meletakkan telur dan kepompongnya didalam
tanah, tetapi ketika masuk tahap kehidupan yang aktif tidak lagi berada di dalam
tubuh tanah. Contohnya adalah Bradybaena similaris.
b. Temporaryyaitu fauna tanah yang awal kehidupannya aktif di dalam tanah,
sedangkan kehidupan selanjutnya berada di luar tanah. Contohnya adalah larva
dari Tipula sp.
c. Periodicyaitu fauna tanah yang sering sekali keluar masuk tanah. Contohnya
adalah Euborelia sp.
d. Permanentadalah fauna tanah yang seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam
tanah. Contohnya adalah Collemboladan Acarina.
Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan sifat makannya menjadi beberapa
kelompok atau golongan berikut:
a. Carnivore, yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae,
kumbangStaphylinidae, tungau Mesostigmata dan Prostigmata, laba-laba,
kalajengking,lipan, Nematodaserta Mollusca) dan binatang parasit
(Ichneumonidae,Diptera parasit dan Nematoda).
b. Phytophagous, yaitu fauna pemakan tumbuhan (Molluscadan larva Lepidoptera),
fauna pemakan akar tanaman (Nematodaparasit tanaman, Symphylidae, larva
Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Molluscadan Orthopterapelubang) serta fauna
pemakan kayu (rayap, larva kumbang dan tungau Pthiracaroidae).
c. Saprophagousyaitu fauna pemakan tanaman mati dan bahan organik yangbusuk
(Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Milipedes, tungau, Collemboladan
serangga). Beberapa dari mereka juga merupakan pemakan feses(coprophages),
pemakan kayu (xylophages) dan pemakan bangkai(necrophages) yang seringkali
disebut sebagai detritivor.
d. Microphytic-feedersyaitu fauna pemakan jamur, alga, lichens dan
bakteri,misalnya tungau Saprophagous, Collembolaserta serangga pemakan
fungi.
e. Miscellaneous-feedersyaitu fauna pemakan tanaman atau hewan,
misalnyaNematoda, tungau Cryptostigmata,Collembola, larva Dipteradan
larvaColeoptera.

Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna
tanah yang memiliki ukuran panjang tubuh >2 mm, terdiri dari miliopoda, isopoda, insekta,
moluska dan cacing tanah (Wood, 1989).
Makrofauna tanah terdiri dari kelompok herbivora (pemakan tanaman) dan karnivora
(pemangsa hewan-hewan kecil). Herbivora meliputi Annelida seperti cacing, Mollusca
seperti bekicot dan keong. Arthropoda meliputi Crustacea seperti kepiting dan Diplopoda
seperti kaki seribu. Karnivora meliputi Arachnida seperti laba-laba, kutu, kalajengking dan
Chilopoda seperti kelabang. Insecta meliputi belalang, kumbang, rayap, lalat, jangkrik,
lebah dan semut. makrofauna tanah sebagai fauna-fauna besar penghuni tanah yang dapat
dibedakan menjadi: fauna- fauna besar pelubang tanah, cacing tanah, Arthropoda dan
Molusca (Hanafiah et al., 2005).
Fauna tanah khususnya makrofauna tanah merupakan salah satu
komponen tanah. Kehidupan makrofauna tanah sangat tergantung pada
habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis makrofauna
tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan
perkataan lain, keberadaan dan kepadatan populasi makrofauna tanah di suatu
daerah sangat tergantung pada faktor lingkungan abiotik maupun biotik
(Yulipriyanto, 2010).
Kemampuan hewantanah untuk beradaptasi dengan lingkungannya
merupakan sal ah satu factor penyelamat untuk melestarikan spesies hewan tanah
dari seleksi alamiah. Kerapatan populasi suatu spesies ditemukan oleh dua faktor
seleksi yaitu seleksi realitas laju pertambahan alamiah dan seleksi kapasitas
dukung lingkungan(Hanafiahetal., 2014).
Kehidupan hewan tanah khususnya makro fauna tanah sangat tergantung
pada habitat nya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis makro
fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu.Dengan
perkataan lain Keberadaan dan kepadatan suatu jenis makro fauna tanah di Suatu
daerah sangat tergantung dari factor lingkungan,yaitu lingkunganabiotic dan
lingkungan biotik (Suin, 1989).Selanjutnya Adianto (1993) menyatakan bahwa
apabila didapatkan cacing tanah yang bersifat karakteristik, yaitu yang memiliki
nilai KR
> 10% dan FK > 25% pada suatu areal dapat digunakan sebagai petunjuk secara
biologis bahwa tingkat kesuburan tanahnya baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa
organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan,
mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah.
Peran tumbuhan dalam mengatur rantai makanan pergerakan nutrisi
dari satu jenis organisme ke jenis lainnya juga dijumpai dipermukaan tanah.
Serasah tanaman (litter fall) dan tanaman mati menyumbangkan sisa tanaman
yang sangat besar di permukaan tanah. Fauna tanah seperti Arthropoda dan
cacing tanah meningkatkan efisiensi dekomposisi sisa tanaman tersebut dengan
meningkatkan distribusi sisamakanan (Handayanto dan Hairiah, 2009).
Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah
sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain, keberadaan dan
kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung
dari faktor lingkungan yaitu lingkungan abiotik dan biotik (Sutedjo et al.,
1996). Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehadiran makrofauna tanah
diantaranya adalah kelembaban tanah, suhu atau temperatur tanah, pH tanah,
kadarair tanah, kadar organik tanah, Organisme hidup, dan tumbuhan dan
fauna lainnya.

Kelembaban tanah terjadi akibat kandungan air setempat yang tinggi. Air
dalam tanah tergantung pada keadaan tekstur dan struktur, semakin halus liat
tanah semakin besar air yang dapat diikat oleh tanah liat. (Sutedjo et al., 1987)
. Menurut Anggraini et al. (2005) dalam Peritika (2010)kelembaban tanah
menggambarkan kandungan uap air di tanah yang merupakan faktor ekologis
yang penting karena mempengaruhi aktivitas organisme dan membatasi
penyebarannya.
Kelembaban tanah penting untuk diketahui karena dengan mengetahui
kelembaban tanah dapat diketahui seberapa besar jumlah atau kandungan uap
air yang berada di dalam tanah. Hasil pengukuran kelembababan tanah yang
baik untuk kehidupanmakrofauna tanah berkisar antara 50-75%.

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah.

Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah
sangat tergantung dari suhu udara. Suhutanah lapisan atas mengalami fluktuasi
dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga
tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dankeadaan tanah (Suin,
2006).
Kehidupan makrofauna tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu
tanah yang ekstrim dapat mematikan makrofauna tanah. Selain itu suhu tanah
juga mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi serta metabolisme makrofauna
tanah. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
organisme tanah antara 15ºC-25ºC (Odum, 1996).
Hasil penelitian Edward dan Better (1992) menunjukkan bahwa suhu
optimum untuk pertumbuhan makrofauna tanah berkisar antara 15–25ºC. Suhu
berpengaruh terhadap aktivitas, pertumbuhan, metabolisme, respirasi dan
reproduksinya.
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Suhu yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme tanah antara
15ºC- 25ºC(Handayanto,2009).
Menurut Yuliprianto (2010) menyatakan bahwa pada daerah dimana
variasi musimnya sangat kuat sering dihadapi terutama pada temperatur.
Kisaran temperatur yang ideal kurang lebih pada 15-20ºC (didaerah tropis
tentu lebih tinggi).
Menurut Hanafiahet al. (2005) bahwa temperatur sangat mempengaruhi
aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas pada temperatur di
bawah 10ºC, laju optimum aktifitas biota tanah yang menguntungkan terjadi
pada suhu 15- 30ºC. Wallwork (1970)dalam Rahmawaty (2004)besarnya
perubahan gelombang suhu dilapisan jauh dari tanah berhubungan dengan
jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Dwiastuti
(2011) menambahkan bahwa suhuoptimum untuk organisme tanah berkisar
antara 15 - 25ºC. Pada suhu yang terlalu tinggi organisme tanah akan berhenti
makan untuk mengurangi pengeluaran air.
Keasaman tanah sangat mempengaruhi keberadaan dan kepadatan fauna
tanah. Fauna tanah ada yang memilih hidup pada tanah yang pHnya asam dan
ada pula yang hidup pada pH basa.Fauna yang memilih hidup pada pH tanah
yang asam disebut fauna tanah golongan asidofil, yang memilih hidup pada
tanah yang basa disebut fauna tanah golongan kalsinofil.Untuk golongan yang
dapat hidup pada tanahyang asam dan basa disebut dengan fauna tanah
golongan indifferen (Suin, 2006).
Keasaman (pH) tanah berpengaruh terhadap kehidupan dan kegiatan
makrofauna tanah karena makrofauna tanah sangat sensitif terhadap pH tanah
sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor pembatas.Akan tetapi toleransi
makrofauna tanah terhadap pH umumnya bervariasi tiap spesies.Organisme
tanah tumbuh paling baik pada pH sekitar netral. Kisaran pH tanah yang ideal
untukkehidupan makrofauna tanah adalah 6-7,2.
Meskipun pengaruh pH terhadap organisme tanah lebih bersifat tidak
langsung seperti halnya tanaman, sebagian besar organisme tanah tidak tumbuh
baik pada pH rendah. Oleh karena itu, beberapaaktivitas penting terkait dengan
ketersediaan hara yang dilakukan oleh organisme tanah, seperti penambahan
N, nitrifikasi dan perombakan bahan-bahan organik secara tidak langsung juga
akan terhambat oleh pH rendah (Rukmana, 1999; Maft’uah et al., 2005).pH
tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan
umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman besar pada pH tanah sekitar
nertal (7), karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam
air (Hardjowigeno, 2007).Hou et al. (2005)dalam Riyani (2014) menjelaskan
bahwa makrofauna tanah menyukai tanah dengan pH yang berkisar 6,5-7,5.
Keasaman tanah pada umunya dapat mempengaruhi pertumbuhan,
reproduksi dan metabolisme. Keasaman tanah sangat mempengaruhi populasi
dan aktivitas makrofauna tanah sehingga menjadi faktor batas penyebaran dan
juga kenakeragamannya.
Kadar air tanah sangat erat hubungannya dengan populasi makrofauna
tanah. Hal ini dikarenakan tubuh makrofauna tanah mengandung air, oleh
karena itu kondisitanah yang kering dapat menyebabkan tubuh makrofauna
tanah kehilangan air danhal ini merupakan masalah yang besar bagi
kelangsungan hidupnya (Lee, 1985).

Kadar air dalam tanah berfungsi sebagai pelarut unsur hara dalam tanah
sehingga dimungkinkan makrofauna tanah membutuhkan kadar air yang tinggi
(Hakim et al., 1986).

Untuk pertumbuhan yang baik atau optimum bagi tanaman diperlukan


suatu keadaan taat air yang baik dan seimbang sehingga akar tanaman dengan
mudah akan menyerap unsur hara. Tata air dan udara yang baik ini adalah
jika pori terisi air minimum 10%dan pori terisi udara minimal 10% atau lebih.
Air tanah merupakan salah satu bagian penyusun pada tanaman. Air tanah
hampir seluruhnya berada pada udara atau atmotsfer (Kemas, 2007).Tanah
yang kadar airnyarendah jenis hewan tanah yang hidup sangat berbeda dengan
hewan tanah yang hiduppada tanah yang kadar airnya tinggi (Suin, 1997).
Kandungan air di dalam tanah menunjukkan hubungan yang
berpengaruh dalam keberadaan organisme tanah. Hal ini disebabkan karena
peningkatan kandungan air tanah dapat mengurangi kandungan udara yang
berada di dalam tanah.Kandungan air di dalam tanah yang baik untuk hidup
dan perkembangbiakan organisme tanah berkisar antara 30,25-50,15%.
Berbagai jenis organisme tanah yang mengambil oksigen langsung dari udara
tidak akan beradaptasi pada lingkungan tanah dengan kandungan air yang
tinggi. Sebaliknya makrofauna tanah yang mampu mengambil oksigen dari air
akan mendominansi kehidupan pada habitatnya tersebut (Hanifah, 2004).
Kapasitas kandungan air tanah maksimum adalah jumlah air maksimal
yang dapat ditampung oleh tanah setelah hujan turun dengan sangat lebat atau
besar.Semua pori-pori tanah baik makro maupun mikro, dalam keadaan terisi
oleh angin sehingga tanah menjadi jenuh dengan air. Jika terjadi penambahan
air lebih lanjut, maka akan terjadi penurunan air gravitasi yang bergerak lurus
terus kebawah. Pada keadaan ini air tanah ditahan oleh tanah dengan
kandungan atau kekuatan Pf = 0 atau0 atm (Notohadiprawiro, 1994).
Bahan organik tanah sangat menentukan kepadatan organisme tanah
diantaranya makrofauna tanah. Bahan organik tanah merupakan sisa-sisa
tumbuhan, hewan dan organisme tanah lainnya baik yang telah terdekomposisi
maupun yang sedang terdekomposisi. Fauna tanah golongan saprovora
hidupnya tergantung pada sisa daun yang jatuh. Komposisi dan jenis serasah
daun itu menentukan jenis fauna tanah yang hidup disana (Suin, 1997).

Hasil pengukuran N total tanah yang menunjukkan tanah yang


dibudidaya dengan pertanian organik mengandung N total lebih banyak
meskipun peningkatannya tidak secara mencolok. N total secara optimum
berkisar antara 0,20-0,23. Peningkatan N total berasal dari mineralisasi bahan-
bahan organik yang ditamabahkan dalam pertanian organik, sistem pertanian
non organik N ditambahkan dalam bentuk pupuk N. Ternyata penambahan
pupuk N dalam tanah tidak mesti diikuti peningkatan kandungan N total dalam
tanah. Hal ini karena lebih banyak N yang hilang terangkut hasil panen,
melalui pelindian atau penguapan. Sistem pertanian organik juga dapat
memperbaiki sifat fisik-kimia tanah dengan peningkatan N total, P tersedia, K
tukar yang lebih baik sehingga berpengaruh pada keseimbangan nutrisi yang
tercukupi (Utami dan Handayani, 2003).

Organisme hidup itu meliputi flora dan fauna tanah yang bersifat
mikroskopik dan kegiatan hidupnya terpusatkan pada kandungan tanah yang
berupa bunga tanah dan yang sering sangat peka terhadap perubahan-
perubahan kondisi lingkungannya yang terbatas. Organisme hidup itu
mempunyai arti penting dalam memlihara keseimbangan ekologi dan
kehidupan di bumi. Organisme itu juga menyebabkan berbagai zat hara
esensial bagi tumbuhan tinggi, termasuk nitrogen dalam bentuk yang langsung
dapat digunakan(Widyawati, 2013).
Faktor lingkungan biotik bagi makrofauna tanah adalah organisme lain
yang terdapat di habitatnya seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan
golongan fauna lainnya. Pada komunitasnya, jenis-jenis organisme tersebut
saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Interaksi tersebut dapat berupa
netralisme, kompetisi, predasi, parasitisme, mutualisme, dan komensalisme
(Hariyanto et al., 2008).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data/ Hasil
Lokasi: Danau Jakabaring Sport city
Deskripsi lokasi: Hutan yang terdapat pohon pinus
no Spesies Jumlah Hewan Tanah Keterangan
Sawit
10

1 Oecophylla
Nama ilmiah: Oecophylla Kerajaan: Animalia Ordo: Hymenoptera Kelas: Insecta
Famili: Formicidae
Filum: Arthropoda Bangsa: Oecophyllini

2Paraponera clavata 9 Kerajaan: Animalia

Filum: Arthropoda

Kelas: Insecta

Ordo: Hymenoptera

Famili: Formicidae

Subfamili: Paraponerinae

Genus: Paraponera

F.Smith, 1858

Spesies: P. clavata
No Indikator Keterangan
Pinus
1 Pori tanah Pori pori Pori-pori tanah sekitar pohon
Sawit besar berguna untuk
Besar
menyimpan bahan organik dan
cadangan air tanah.dan efektif
mengurangi aliran air
permukaan.
Ketika hujan datang air tidak
langsung mengalir melainkan
terserap ke dalam tanah tersebut
dilepas perlahan-lahan sehingga
air masih tersedia pada musim
kering
2 pH tanah 6.5 Dengan pH tanah yang
berkisaran antara 6.5 sampai ke
7 karna kelapa sawit cenderung
membutuhkan pH yang netral
3 Tekstur dan Lempung Liat Tanah yang mempunyai
warna tanah Berpasir, Liat kandungan pasir yang cukup tinggi
Dan Lempung mempunyai pori-pori makro lebih
banyak dari pada pori-pori mikro,
Berliat hal ini menyebabkan terjadinya
aerasi yang baik, daya hantar
airnya baik namun
kemampuan menyimpan
unsur hara rendah dan partikel
pasir dapat saling berikatan lebih
kuat sehingga dapat
menyebabkan bahan organiknya
sedang dan membuat kemantapan
agregat yang lebih stabil
4 Suhu udara 35 ◦C Suhu udara lokasi pada saat
pengambilan sampel yaitu 35◦C

B. Pembahasan

Pada praktikum kali ini diamati pohon pinus yang berlokasi di kebun sawit
mariana banyu asin sumatera selatan. Analisis Vegetasi Pengambilan data di
lapangan menggunakan teknik Purposive sampling, yaitu dilakukan dengan cara
membuat petak 5 x 5m untuk perangkap.
Semut rangrang adalah serangga sosial yang mempunyai peranan penting
dalam ekosistem, yaitu sebagai predator bagi berbagai serangga (Mele,
2008). Semut rangrang sangat agresif, berlimpah dan menjaga kawasannya
dari spesies lain. Semut rangrang memiliki posisi penting secara ekologi di
hutan, perkebunan kakao dan lingkungan berhutan lain yang dihuni, selain
itusemut rangrang juga telah menjadi objek dari semakin banyaknya studilapangan
(Holldobler &Wilson, 1977) .
Koloni semut peluru ini terdiri dari beberapa ratus ekor dan biasanya terletak
di dasar pohon. Semut Peluru berburu secara individu di atas pohon dan di sekitar
sarangnya. Semut pekerja berada dekat sarang untuk menjaga para semut kecil
dan mengambil nektar hingga sampai ke ujung pohon. Nektar dibawa ke sarang
untuk makanan para bayi semut oleh Semut pekerja menggunakan
rahangnya. Para semut pekerja berukuran 18-25 milimeter dan warnanya agak
hitam kecokelatan. Sedangkan semut ratu tubuhnya lebih besar hanya mampu
memproduksi telur saja. Kaki bagian depan berwarna keemasan, badan dan
kakinya berbulu. Tubuh Semut peluru ini lebih mirip seperti bentuk binatang
tawon tanpa sayap. Organ Semut peluru ini berada di lambung, yang dapat
mengeras bila terjadi bahaya atas dirinya.
Semut peluru mempunyai racun yang sangat kuat, yang dapat
melumpuhkan mangsa mereka atau menyerang demi perlindungannya. Rasa sakit
yang disebabkan oleh gigitan semut peluru ini konon lebih besar
daripada Hymenoptera lainnya. Tingkat keparahan dari rasa sakit akibat gigitan
semut peluru ini pada sekala 1,0 - 4,0 menurut Schmidt Sting Pain Index. Schmidt
Sting Pain Index adalah skala rating rasa nyeri yang disebabkan
gigitan Hymenoptera yang berbeda-beda. Rasa sakit ini bisa digambarkan seperti
di bakar hidup-hidup, hingga sakit yang berdenyut-denyut itu berlanjut selama 24
jam. Diperkirakan bahwa semut ini telah berevolusi dengan cara menangkis
pemangsa yang akan menggali mereka. Untuk mengobati akibat gigitan semut ini
kalau dalam keadaan darurat bisa dikompres menggunakan air es dingin, atau
menggunakan Poneratoxin (Neurotoxin Pentacosapeptide) mengobati bila terjadi
kerusakan pada jaringan kulit akibat luka gigitan semut peluru.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Di sekitar pohon sawit terdapat populasi semut rangrang (Oesophylla sp.)
dan semut Peluru (Paraponera clavata), jumlah individu semut yang kami
temukan ialah 10 semut rangrang dan 9 Semut Peluru. Habitat semut rangrang
disekitar pohon sawit memiliki pori tanah Lempung Liat Berpasir, Liat Dan
Lempung Berliat, pH tanah 6.5-7.0 suhu udara disekitar pohon pinus 35◦C
sedangkan untuk semut peluru ditemukan didekat pohon sawit yang terdapat
bekas pohon sawit yang telah ditebang dan disekitar dahan yang sudah ditebang
B. Saran
Diharapkan untuk lebih teliti dalam perhitungan koloni pada hewan
serangga yang diteliti dan diamati serta dicatat jenis spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Y.I, Iing N, Didin J. 2015. Struktur Populasi dan Sebaran Serta
Karakteristik Huru Sintok (Cinnamomum sintoc Bl) di Resort Cilimus Taman
Nasional Gunung Cirermai. Wanaraksa Vol. 9 No.2 September 2015
Maknun, Djohar. 2017. Ekologi : Populasi, Komutis, Ekosistem Mewujudkan
Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Indah. Nurjati press : Sunyagi Cirebon.
"Black Carpenter Ant Camponotus pennsylvanicus". NWF The National Wildlife
Federation. Retrivied 4 desember 2021.
Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB. 2011.
BIOLOGY: Ninth Edition. San Francisco: Pearson Education.
Lintang, D.R, Edi. B, Darsono. 2017. Kuantitas Anakan Kultur Semut Rangrang
(Oesophylla smaragdina) Secara Artifisal Menggunakan Beberapa Jenis
Pakan Berbeda. Jurnal vol : 4, No : 1
LAMPIRAN
LAPORAN DINAMIKA POPULASI HEWAN
(KURVA LULUS HIDUP KUMBANG BERAS)

OLEH: Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen Pengempu: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan pada praktikum ini yang di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara perhitungan populasi dan dinamika populasi
kumbang beras
2. Dapat mengetahui laju pertumbuhan populasi kumbang beras dengan
berbagai makanan.
3. Dapat mengetahui jenis makanan mana saja kemampuan hidupnya tinggi
B. Alat dan Bahan
Alat : gelas cup aqua 9 buah, kain kasa, termometer
Bahan : kumbang beras yang dari keturunan F1 (ukuran, jenis da nasal yang
sama sebanyak: 30 ekor), beras, jagung, kacang hijau, tepung, serbuk
gergaji/kayu.

C. Cara Kerja
1. Susunlah gelas cup sebanyak 3 baris (3A, 3B, 3C = total 9 gelas)
seperti gambar berikut:

A B C

2. Masukkan jenis makanan kedalam masing-masing gelas setinggi ½


bagian gelas
3. Gelas A kumbang beras 30 ekor+beras, gelas B kumbang beras
30+jagung dan gelas C kumbang beras 30 +kacang hijau, Gelas D
masukan kumbang beras 30 ekor + tepung dan Gelas E kumbang
beras30 ekor + serbuk kayu.
4. Kemudian setelah itu, tutupi permukaan gelas dengan kain kasa
agar kumbang tidak keluar.
5. Letakkan gelas ditempat yang aman, terkena cahaya matahari dan
mudah diamati
6. Lakukan pengamatan selama 30 hari pada setiap perlakuan,
kemudian catat berapa kumbang yang mati dan yang hidup setiap
hari selama 30hari.

2
7. Kemudian masukkan angka pengamatan tersebut kedalam table
pengamatan
8. Hitunglah laju pertumbuhnan kelima perlakuan kumbang
tersebut.Buat grafik life table dan hitung angka kelulusan hidupnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Populasi merupakan sekumpulan individu dari suatu jenis


organisme. Pada penyebarannya individu-individu tersebut dapat berada
dalam kelompok-kelompok, dan kelompok itu akan terpisah dari organisme
satu dengan yang lainnya.
Pemisahan ini dapat disebabkan oleh kondisi geografis atau kondisi
cuaca dan lain-lain (Falahudin, 2020). Populasi dapat didefinisikan sebagai
skala ruang,berbagai populasi lokal atau deme yang terhubung oleh individu-
individu yang tersebar disebut sebagai metapopulasi. Pada populasi sementara
yang terdiri dari tahap tertentu dalam daur hidup suatu organisme akan
membentuk hemipopulasi. Terdapat ciri karakteristik dari populasi yang
diantaranya ialah kehidupan, ukuran, dispensi, rasio, struktur atau komposisi
umur, rasio kelamin, dan dinamika (Arief dalam Campbell, 2010).
Populasi dapat mengalami perubahan-perubahan, baik itu
penambahan maupun pengurangan. Penambahan terhadap populasi dapat
disebabkan oleh masuknya individu lain yang berasal dari daerah lain
(imigrasi) dan karena adanya kelahiran (natalitas). Sementara pengurangan
terhadap suatu populasi dapat disebabkan karena kematian (mortalitas) atau
dikarenakan keluarnya individu dari populasi tersebut ke luar wilayah
habitatnya (Saputra, 2007).
Menurut Anggita dalam Soegianto (1994), Di alam dapat dibedakan
menjadi:
1. Pada perubahan ukuran populasi musiman dengan sebagian besar
dipengaruhi oleh adaptasi sejarah kehidupan bersama- sama dari
perubahan faktor lingkungan.
2. Fluktuasi tahunan (anual) terdiri 2 jenis :

2
a. Fluktuasi yang dipengaruhi dari perbedaan faktor fisik lingkungan
yang terjadi secara tahunan ataupun faktor ekstrinsik (yaitu faktor
diluar interinsik dalam populasi). Fluktuasi yang dipengaruhi
perbedaan faktor fisik lingkungan yang cendrung tidak teratur dan
jelas berkaitan dengan variasi dari faktor fisik yang membatasi
misalnya tempratur, curah hujan, dan lainnya.
b. Fluktuasi yang terutama dipengaruhi karena dinamika populasi atau
faktor intrinsik berupa faktor dalam populasi. Populasi semacam ini
sering memperlihatkan keteraturan sehingga istilah “siklus / daur”
merupakan sesuai yang diperoleh. Fluktuasi tahunan akan hebat pada
ekosistem yang relatif sederhana yang mana komunitas hanya terdiri
atas beberapa populasi seperti populasi kutub, hutan buatan, dan lain-
lain. Bisa dikatakan makin tua dan terorganisir komunitas semakin
rendah suatu fluktuasi populasi.
Menurut pakar lainnya dari pernyataan Odum (1993), Faktor –
faktor yang menyebabkannya adalah :
1. Fluktuasi kepadatan populasi itu dipengaruhi variasi faktor fisik luar
seperti halnya variasi iklim, faktor fisik luar berupa faktor ekstrinsik.
2. Fluktuasi juga bisa diakibatkan oleh faktor intrinsik (berupa faktor
dalam populasi) contohnya predasi, penyakit, dan lainnya. Namun
terkadang sulit untuk menentukan penyebab fluktuasi dikarenakan
populasi dapat mengubah dan mengadakan kompensasi terhadap
faktor fisik. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan prinsip dasar
seperti berikut; makin terorganisir dan matang suatu komunitas serta
makin stabil lingkungan akan makin rendah amplitudo fluktuasi
kepadatan suatu populasi.

Persaingan intraspesifik dapat mempengaruhi kelahiran, kematian, dan


pertumbuhan individu-individu yang diperoleh melalui cara terkait
kepadatan.
Pengaruhnya datang perlahan, yakni pertama-tama akan melibatkan
kualitas hidup daripada kelangsungan hidup suatu individu.
Selanjutnya, ketika dampaknya semakin meningkat, persaingan intraspesifik
akan mempengaruhi kebugaran individu. Dalam persaingan eksploitatif,
tiap-tiap individu dipengaruhi oleh jumlah sumberdaya yang menjadi
bagiannya. Individu-individu yang bersaing tidak harus bereaksi dengan
anggota yang lain. Persaingan eksploitatif cenderung akan menghasilkan
fluktuasi yang tajam suatu populasi. Pada persaingan interferensi, terjadi
pengaruh buruk terhadap sebagian anggota populasi karena sumberdaya
yang terbatas, dan anggota-anggota populasi berinteraksi secara langsung.
Sebagian individu akan memperoleh semua sumberdaya, dan sisanya akan
memperoleh sedikit.
Mekanisme terkait kepadatan juga dapat terjadi pada kepadatan
populasi yang rendah. Efek Allee (Allee effect) mengurangi laju
pertumbuhan populasi ketika kepadatan populasi rendah. Efek Allee terjadi
ketika kepadatan populasi sangat rendah, sehIngga individu-individu sukar
untuk berinteraksi.
Kemudian faktor-faktor terkait dan tidak terkait kepadatan populasi
bekerja sama dalam menahan ukuran populasi mahluk hidup di alam
sehingga lebIh rendah daripada ukuran maksImum yang mungkin
dicapainya. Kerjasama kedua faktor tersebut menghasilkan apa yang disebut
dengan pengendalian alami (natural control).
Dengan demikian, faktor-faktor lingkungan yang memiliki
pengaruh paling penting terhadap kematian populasI mahluk hIdup dapat
dicari dengan melakukan analisis faktor kunci (key factor analysis). Orang
yang pertama kalI menggunakan istilah metapopulasi adalah R.A. Levins.
Konsep dan model metapopulasI Levins kini telah menjadi klasik. Secara
umum kini metapopulasi didefinisikan sebagai sekumpulan subpopulasi
yang dihubungkan/diikat oleh individu-individu yang bermigrasi. PopulasI
lokal biasanya menghuni rumpang-rumpang (patches) sumberdaya yang
terisolasi.
Persistensi metapopulasi tergantung pada persistensi masing-
masing subpopulasi dan pergerakan (dispersal) hewan di antara subpopulasi
(Rasidi,2006).

Klasifikasi hama kumbang beras (Sitophilus oryzae L.)

(Sumber: re-tawon.com)
Berikut ini klasifikasi kumbang beras (Sitophilus oryzae L.) :
 Kingdom : Animalia
 Filum : Arthropoda
 Kelas : Insekta
 Ordo : Coleoptera
 Famili : Curculionidae
 Genus : Sitophilus
 Spesies : Sitophilus oryzae (Repository.umy.ac.id, 2020).
Morfologi dan biologi Sitophilus oryzae L. imago muda berwarna
coklat merah dan umur tua berwarna hitam. Pada kedua sayap depannya
terdapat 4 bintik kuning kemerah-merahan (masing-masing sayar terdapat 2
bintik). Kumbang ini mempunyai moncong panjang, warna cokelat
kehitaman dan kadang-kadang ada 4 bercak kemerahan pada elytranya,
umur dapat mencapai 5 bulan. Jika akan bertelur, kumbang betina membuat
liang kecil dengan moncongnya sedalam kurang lebih 1 mm. Kumbang
betina menggerek buturan beras dengan moncongnya dan meletakkan
sebutir telur lalu lubang itu ditutup dengan sekresi yang keras. Masa
kovulasi relatif lebih lama dibandingkan dengan hama gudang lainnya
(Repository.umy.ac.id dalam Surtikanti, 2004).
Sitophilus oryzae L. atau biasa disebut kutu beras dikenal sebagai
kumbang bubuk beras, hama ini bersifat kosmopolit atau tersebar luas
diberbagai tempat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kutu beras ini
termasuk berat, bahkan sering dianggap sebagai hama paling merugikan
produk pepadian. Kutu beras bersifat polifa bubuk beras selain merusak
butiran beras, juga merusak simpanan jagung, padi, kacang tanah, gablek,
kopra, dan buturan lainnya. Kerusakan yang diakibatkan oleh kutu beras
dapat tinggi pada keadaan tertentu sehingga kualitas beras menurun. Biji-
biji hancur dan berdebu dalam waktu yang cukup singkat, serangan hama
dapat mengakibatkan perkembangan jamur sehingga produk beras rusak,
bau apek yang tidak enak dan tidak dapat dikonsumsi. Akibat dari serangan
kutu beras menyebabkan butir-butir beras menjadi berlubang kecil-kecil.
Sehingga mengakibatkan beras menjadi mudah pecah dan remuk menjadi
tepung (Repository.umy.ac.id dalam Sibuea, 2010).

A. Interaksi serangga dengan lingkungan


Faktor lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi
keberadaan serangga pada suatu habitat. Pengukuran parameter lingkungan
yang dilakukan berupa inventarisasi jenis tumbuhan, iklim mikro (suhu,
kelembapan, dan intensitas cahaya), LAI dan pengukuran kualitas udara (Pb
dan TSP). Kepekaan serangga terhadap perubahan lingkungan menjadi faktor
penentu keberadaanya di alam. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuannya
dalam merespon gangguan lingkungan dengan pola tertentu (Taradipha dkk
dalam Rahayu 2016).
Secara umum, kesesuaian makanan erat kaitannya dengan dinamika
serangga memilih sumber makanan yang cocok untuk pertumbuhan
populasinya atau dalam proses perkembangbiakan keturunannya. Sebagai
contoh, kandungan protein, lemak dan P yang tinggi pada komoditas
sorgum dibanding beras dan jagung, ternyata sorgum lebih cocok untuk
perkembangbiakan serangga Sitophilus sp.
Fenomena tersebut memberikan indikasi bahwa kualitas makanan
suatu bahan mempunyai arti yang sangat dalam kaitannya dengan
percepatan perkembangbiakan serangga yang pada akhirnya berpengaruh
pada tingkatan serangan yang dilakukannya/kualitas dan kuantitas serangan.
Kualitas makanan sangatlah berpengaruh terhadap perkembangbiakan
serangga hama. Pada kondisi makanan yang berkondisi baik dengan jumlah
yang cukup dan cocok bagi sistem pencernaan serangga hama akan
menunjang perkembangan populasi, sebaliknya makanan yang berlimpah
dengan gizi jelek dan tidak cocok akan menekan perkembangan populasi
serangga. Ketidakcocokan faktor makanan dapat ditimbulkan oleh hal-hal
sebagai berikut a) kurangnya kandungan unsur yang diperlukan serangga, b)
rendahnya kadar air bahan, c) permukaan terlalu keras, bentuk material
bahan yang kurang disenangi, misalnya beras lebih disenangi dari pada
gabah (Yasin, 2009).

B. Faktor yang mempengaruhi populasi hama Sitophilus oryzae L.


Dari penjelasan Pratama, (2016) yang mempengaruhi populasi hama
kumbang beras di antaranya sebagai berikut :
 Faktor makanan
Tersedianya makanan yang cukup maksudnya adalah yang cocok
bagi kehidupan serangga, bila makanan tidak cocok bagi hama dengan
sendirinya populasi hama tidak akan dapat berkembang sebagaimana
biasanya. Kumbang bubuk beras menyukai biji yang kasar dan tidak
dapat berkembang biak pada bahan makanan yang berbentuk tepung.
Kumbang ini tidak akan meletakkan telur pada material yang halus
karena imago tidak dapat merayap dan akan mati di tempat tersebut
(Pratama dalam Sibuea, 2010). Pratama dalam Barker dan Pilbeam
(2007) menjelaskan bahwa asam amino berperan penting dalam
perkembangan kumbang bubuk beras. Larva dari serangga ini sering
gagal untuk bertahan hidup (Survive) dalam bahan makanan dengan
kandungan total asam amino 0,1%. Dalam hal ini sangat sedikit aktifitas
menggerak larva, dan larva akan mati pada instar pertama. Kandungan
asam amino 3% menghasilkan 52% larva yang berhasil mencapai
stadium pupa dan imago, walaupun tingkat perkembangan lebih lambat
dibandingkan dengan kandungan asam amino 5; 7,5 dan 10%.
Kandungan asam amino yang optimal adalah 7,5%. Sebaliknya, bila total
asam amino meningkat menjadi 13% perkembangan larva secara nyata
menjadi terhambat (Pratama dalam Sitepu, 2004).
 Faktor kelembaban dan suhu
Pengaruh kelembaban terhadap perkembangan kumbang bubuk
beras berbeda untuk setiap stadium. Kelembapan yang terlalu rendah,
dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi terhadap telur, larva dan
terutama imago yaitu pada kelembapan 30, 40 dan 50% (Sitepu, 2004).
Perkembangan optimum terjadi pada temperatur 30 ºC dan kelembaban
relatif 70%. Perkembangan pada umumnya bisa terjadi pada temperatur
17 - 34 ºC dan kelembaban relatif 15-100%. Apabila kelembaban
melebihi 15% kumbang berkembang dengan cepat (Sibuea, 2010) Suhu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya populasi
serangga hama di tempat penyimpanan. Serangga termasuk golongan
binatang yang bersifat heterotermis, oleh karena itu serangga tidak dapat
mengatur suhu badannya sendiri, sehingga suhu badannya mengikuti naik
turunnya suhu lingkungannya. Sebagian besar serangga gudang hidup
dan berkembang biak pada kisaran suhu 10-45 ºC. Dibawah 10 ºC
serangga tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya dan di atas 45 ºC
mortalitas serangga sangat tinggi. Pada batas 15 ºC ke bawah, kegiatan
serangga mulai berkurang akibat laju pertumbuhan populasi sangat
lambat. Setiap spesies mempunyai suhu optimal dimana laju
pertumbuhan populasi maksimum. Untuk kebanyakan serangga gudang
di daerah tropik kisaran suhu optimumnya adalah sekitar 25-35 ºC. Di
bawah 20º C, biasanya laju pertumbuhan populasi sangat kurang
(Nyoman, 2005).
 Faktor kadar air
Produk-produk pertanian yang tersimpan dalam gudang yang kadar
airnya tinggi sangat disukai hama gudang. Batas terendah kadar air bahan
dalam simpanan yang diperlukan bagi kehidupan normal kebanyakan
hama gudang sekitar 8-10% Kadar air yang berbeda menyebabkan
perubahan biji akan berbeda pula. Biji yang berukuran cukup besar dan
kulit luarnya cukup keras, untuk dapat mencapai kadar air di bawah 10-
11% cukup sulit. Biji yang berukuran kecil dengan kulit permukaan yang
relatif lunak umumnya dapat mencapai kadar air yang rendah atau di
bawah 10% (Tjahjadi, 2002).

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

1. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada jagung

X ax Lx dx qx Lx Tx

0 20 0,666668 1 0,06 1,843333 0


1 19 0,633333 1 0,052632 1,766667 1
2 19 0,633333 1 0,052632 1,766667 0,5
3 18 0,6 1 0,055556 1,7 0,25
4 18 0,6 1 0,055556 1,7 0,2
5 17 0,566667 1 0,058824 1,633333 0,142857
6 16 0,533333 1 0,0625 1,566667 0,111111
7 16 0,533333 1 0,0625 1,566667 0,111
8 15 0,5 1 0,066667 1,5 0,1
9 13 0,433333 1 0,076923 1,366667 0,090909
10 13 0,433333 1 0,076923 1,366667 0,099
11 13 0,433333 1 0,076923 1,366667 0,9
12 12 0,4 1 0,083333 1,3 0,083333
13 12 0,4 1 0,083333 1,3 0,845
14 12 0,4 1 0,083333 1,3 0,85
15 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,076923
16 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,071429
17 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,066667
18 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,061664
19 9 0,3 1 0,111111 1,1 0,0625
20 9 0,3 1 0,111111 1,1 0,058824
21 9 0,3 1 0,111111 1,1 0,04565
22 6 0,2 1 0,166667 0,9 0,05555
23 6 0,2 1 0,166667 0,9 0,052632
24 6 0,2 1 0,166667 0,9 0,05
25 6 0,2 1 0,166667 0,9 0,5
26 5 0,166667 1 0,2 0,833333 0,047619
27 5 0,166667 1 0,2 0,833333 0,045455
28 5 0,166667 1 0,2 0,833333 0,043478
29 4 0,133333 1 0,25 0,766667 0,034483
30 4 0,133333 1 0,25 0,766667 0,033333
2. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada beras

X Ax Lx Dx qx Lx Tx

0 20 0,666668 1 0,06 1,833333 0


1 19 0,666526 1 0,05 1,844544 0,8
2 18 0,6 1 0,055556 1,7 1
3 18 0,6 1 0,055556 1,7 0,5
4 20 0,666668 1 0,06 1,833333 0,25
5 21 0,7 1 0,047619 1,9 0,2
6 22 0,733333 1 0,045455 1,966667 0,166667
7 26 0,866667 1 0,038462 2,233333 0,142857
8 28 0,933333 1 0,035714 2,266667 0,125
9 30 1 1 0,033333 2,5 0,111111
10 30 1 1 0,033333 2,5 0,1
11 33 1,1 1 0,030303 2,7 0,090909
12 33 1,1 1 0,030303 2,7 0,083333
13 33 1,1 1 0,030303 2,7 0,076923
14 38 1,266667 1 0,026316 3,033333 0,071429
15 39 1,3 1 0,025641 3,1 0,066667
16 46 1,533333 1 0,021739 3,566667 0,0625
17 46 1,533333 1 0,021739 3,566667 0,058824
18 47 1,566667 1 0,021277 3,633333 0,055556
19 47 1,566667 1 0,021277 3,633333 0,052632
20 47 1,566667 1 0,021277 3,633333 0,05
21 47 1,566667 1 0,021277 3,633333 0,5
22 54 1,8 1 0,018519 4,1 0,043478
23 54 1,8 1 0,018519 4,1 0,410675
24 55 1,833333 1 0,018182 4,166667 0,041467
25 52 1,933333 1 0,019402 3,7 0,046667
26 51 1,7 1 0,019608 3,9 0,037037
27 51 1,7 1 0,019608 3,9 0,035714
28 50 1,666667 1 0,02 3,833333 0,034483
29 50 1,666667 1 0,02 3,833333 0,033333
30 50 1,666667 1 0,02 3,833333 0,031111
3. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada kacang ijo

x ax Lx dx qx Lx Tx

0 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0


1 19 0,633333 1 0,052632 1,766667 1
2 16 0,5 1 0,066667 1,5 0,5
3 12 0,4 1 0,083333 1,3 0,333333
4 10 0,333333 1 0,1 1,166667 0,25
5 8 0,266667 1 0,125 1,033333 0,2
6 5 0,2 1 0,333333 0,8 0,111111
7 0 0 1 0 0,5 0,1
8 0 0 1 0 0,5 0,090909
9 0 0 1 0 0,5 0,083333
10 0 0 1 0 0,5 0,076923
11 0 0 1 0 0,5 0,071429
12 0 0 1 0 0,5 0,066667
13 0 0 1 0 0,5 0,0625
14 0 0 1 0 0,5 0,058824
15 0 0 1 0 0,5 0,055556
16 0 0 1 0 0,5 0,052632
17 0 0 1 0 0,5 0,05
18 0 0 1 0 0,5 0,047619
19 0 0 1 0 0,5 0,045455
20 0 0 1 0 0,5 0,043478
21 0 0 1 0 0,5 0,041667
22 0 0 1 0 0,5 0,04
23 0 0 1 0 0,5 0,038462
24 0 0 1 0 0,5 0,035714
25 0 0 1 0 0,5 0,032445
26 0 0 1 0 0,5 0,031786
27 0 0 1 0 0,5 0,036453
28 0 0 1 0 0,5 0,035714
29 0 0 1 0 0,5 0,034483
30 0 0 1 0 0,5 0,033333
4. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada serbuk gergaji

X ax lx dx qx Lx Tx

0 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0


1 17 0,566667 1 0,058824 1,633333 1
2 15 0,5 1 0,066667 1,5 0,5
3 13 0,433333 1 0,076923 1,366667 0,25
4 10 0,033333 1 0,1 1,166667 0,2
5 2 0,066667 1 0,5 0,633333 0,142857
6 0 0 1 0 0,5 0,125
7 0 0 1 0 0,5 0,111111
8 0 0 1 0 0,5 0,1
9 0 0 1 0 0,5 0,090909
10 0 0 1 0 0,5 0,083333
11 0 0 1 0 0,5 0,076923
12 0 0 1 0 0,5 0,071429
13 0 0 1 0 0,5 0,066667
14 0 0 1 0 0,5 0,0625
15 0 0 1 0 0,5 0,058824
16 0 0 1 0 0,5 0,055556
17 0 0 1 0 0,5 0,052632
18 0 0 1 0 0,5 0,05
19 0 0 1 0 0,5 0,047619
20 0 0 1 0 0,5 0,045455
21 0 0 1 0 0,5 0,043478
22 0 0 1 0 0,5 0,041667
23 0 0 1 0 0,5 0,04
24 0 0 1 0 0,5 0,038462
25 0 0 1 0 0,5 0,037037
26 0 0 1 0 0,5 0,035714
27 0 0 1 0 0,5 0,034483
28 0 0 1 0 0,5 0,033333
29 0 0 1 0 0,5 0,076923
30 0 0 1 0 0,5 0,071429
5. Tabel Pengamatan kehidupan kumbang beras pada tepung

X ax lx dx Qx Lx Tx

0 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0


1 20 0,666667 1 0,05 1,833333 1
2 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,5
3 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,333333
4 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,25
5 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,2
6 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,166667
7 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,142857
8 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,125
9 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,111111
10 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,1
11 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,090909
12 22 0,733333 1 0,045455 1,966667 0,083333
13 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,076923
14 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,071429
15 11 0,366667 1 0,090909 1,233333 0,066667
16 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,0625
17 22 0,733333 1 0,045455 1,966667 0,058824
18 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,055556
19 24 0,8 1 0,041667 2,1 0,052632
20 24 0,8 1 0,041667 2,1 0,05
21 24 0,8 1 0,041667 2,1 0,047619
22 25 0,833333 1 0,04 2,166667 0,045455
23 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,043478
24 23 0,766667 1 0,043478 2,033333 0,041667
25 22 0,733333 1 0,045455 1,966667 0,04
26 22 0,733333 1 0,045455 1,966667 0,038462
27 21 0,7 1 0,047619 1,9 0,037037
28 21 0,7 1 0,047619 1,9 0,035714
29 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,034483
30 20 0,666667 1 0,05 1,833333 0,033333
B. Pembahasan

Dilihat dari morfologi kumbang padi, ditemukan kumbang padi


dewasa (Sitophilus oryzae) berwarna coklat tetapi setelah tua warnanya
berubah menjadi hitam, dengan bentuk tubuh ramping dan agak gepeng. S.
oryzae kecil, panjangnya sekitar 2-3 mm. Pada bagian pronotumnya
terdapat enam pasang gigi yang menyerupai gigi gergaji. Bentuk kepala
menyerupai segitiga. Moncongnya panjangnya 1 mm, hampir sepertiga
dari panjang tubuhnya. Di sayap depan terdapat garis memanjang yang
jelas. Ada 4 bintik kuning agak kemerahan di sayap depan, 2 bintik di
sayap kiri, dan 2 bintik di sayap kanan. Panjang tubuh kumbang dewasa ±
3,5-5 mm, tergantung di mana larva hidup.

Dari hasil yang telah didapatkan selama 30 hari dengan observasi


yang dilakukan setiap hari. Kemudian dilakukan perhitungan populasi dan
dinamika populasi. Dari perhitungan tersebut akan diketahui laju
pertumbuhan populasi kumbang padi pada berbagai bahan pangan.
Populasi adalah kumpulan individu-individu sejenis yang hidup dalam
suatu wilayah dan waktu tertentu.

Menurut Campbell (2010), penambahan populasi dapat disebabkan


oleh masuknya individu lain dari daerah lain (imigrasi). Berkurangnya
suatu populasi dapat disebabkan oleh kematian (mortalitas) atau karena
keluarnya individu dari populasi di luar daerah.

Menurut Yasin (2008) kesesuaian makanan erat kaitannya dengan


dinamika serangga dalam memilih sumber makanan yang sesuai untuk
pertumbuhan populasi atau dalam proses perkembangbiakan
keturunannya. Sebagai contoh sorgum yang kandungan proteinnya tinggi
dibandingkan dengan beras dan jagung, ternyata sorgum lebih cocok untuk
perkembangbiakan serangga Sitophilus oryzae.
Kualitas makanan sangat berpengaruh terhadap perkembangbiakan
serangga. Makanan dalam kondisi baik dengan jumlah yang cukup dan
cocok untuk sistem pencernaan serangga akan mendukung perkembangan
populasi, sebaliknya makanan yang melimpah dengan nutrisi yang buruk
dan tidak sesuai akan menekan perkembangan populasi serangga.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada praktikum dinamika populasi mengamati pertahanan hidup
pada berbagai macam makanan. Dari biji jagung, beras, tepung, kacang
hijau, dan serbuk gergaji. Populasi kumbang beras yang paling banyak
terdapat pada jagung. Karena pada jagung banyak terdapat nutrisi
makanan dibandingkan kacang hijau, serbuk gergaji, beras, dan tepung.
B. Saran
Sebaiknya praktikum harus lebih teliti dalam menghitung jumlah populasi
kumbang beras pada semua sampel, terutama kumbang beras pada jagung,
karena kumbang beras dominan bersembunyi dalam biji jagung yang
dilubanginya.
DAFTAR PUSTAKA

Yasin, M. (2009). Kemampuan Akses Makan Serangga Hama Kumbang Bubuk


dan Faktor Fisikokimia yang Mempengaruhinya. Prosiding Seminar
Nasional Serealia 2009. Balai Penelitian Serealia. Repository.umy.ac.id.
(2020). Hama Kutu Beras (Sitophilus oryzae L.). UMY Press:
Yogyakarta.
Anggita, I, T, et.al., (2013). Dinamika Populasi Hewan ( Kurva Lulus Hidup
Kumbang Beras). Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah. RAFA Press:
Palembang.
Taradipha MRR, Rushayati SB, Haneda NF. 2019. Karakteristik lingkungan
terhadap komunitas serangga. Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan. 9(2): 394-404.
Saputra, M. (2007). Populasi Kumbang Beras. Fakultas Pertanian, Universitas
Sam Ratulangi. 18 (2): 102-110.
Pratama, H. (2016). Pengendalian Hama Kumbang Logong (Sitophylus oryzae L.)
Dengan Menggunakan Ekstrak Biji Pangi (Pangium edule Reinw.).
Biologi, Universitas Negeri Manado. 18 (3):186-196.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Kutu beras pada kacang hijau

Kutu beras pada tepung

Kutu beras pada jagung


Kutu beras pada serbuk gergagi/sekam

Kutu beras pada beras


LAPORAN KOMPOSISI DAN STRUKTUR KOMUNITAS
HEWAN

Disusun Oleh:
Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106)

Dosen Pengempu: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
Tujuan pada praktikum kali ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Dapat menemukan adanya keanekaragaman tingkat komunitas dalam suatu
ekosistem.
2. Dapat menghitung kepadatan,dimensi dan keanekaragaman pada suatu
lingkungan

B. Alat dan Bahan


Alat : Meteran (50M), Tali raffia, Gunting, mikroskop, Kertas Label, Kotak
Sampel, Plastik, alat tulis.
Bahan : alcohol 70%, buku identifikasi buah, kain kasa, termometer

C. Cara Kerja
1. Cari beberapa area di dekat kebun, sawah, sungai yang kondisinya berbeda
(kering, lembab dan lain-lain)
2. Buatlah beberapa plot pengamatan secara acak dengan ukuran 5x5m². Pada
tiap area yang akan di amati.
3. Kemudian pasang perangkap pada masing-masing plot,
4. Tangkaplah hewan yang ditemkan pada setiap plot, kemudian bawa ke
laboratorium
5. Lakukan identifikasi macam-macam jenis hewan yang ada dan hitung
jumlahnya tiap jenis.
6. Catatlah hasil pengamatan pada tabel yang sudah di siapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian teori dasar


Struktur komunitas adalah suatu konsep yang mempelajari susunan atau
komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum ada
tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengambarkan struktur komunitas
yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies, dan organisasi fungsional
(Yaherwandi et.al., dalam Schowalter, 1996). Suatu ekosistem tersusun atas
komponen biotik dan abiotik yang saling beriteraksi, ekosistem juga memiliki
fungsi yang terkait dengan siklus energi dan materi, regulasi dan kebernetik.
keanekaragaman dalam ruang dan waktu organisme dalam sutu ekosistem berubah
dinamis. Kondisi lingkungan yang berbeda memiliki daya dukung dan kendala
bagi pertumbuhan populasi dan komunitas organisme di dalamnya
(Falahudin,2020).
Keanekaragaman spesies adalah keanekaan jenis organisme yang
menempati suatu ekosistem baik di darat maupun di lautan (Yaherwandi et.al.,
dalam Primack, 1998). Keanekaragaman spesies merupakan salah satu tema
utama dalam penenelitian ekologi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk
mempelajari pengaruh perubahan kondisi lingkungan terhadap keanekaragaman
spesies dan sebaliknya bagaimana keanekaragaman spesies mempengaruhi
stabilitas komunitas alami (Yaherwandi et.al., dalam Schowalter, 1996). Menurut
Odum (1998) konsep komunitas biotik, yaitu sekumpulan populasi-populasi apa
saja yang hidup di suatu daerah. Suatu komunitas dapat dikenali dari keberadaan
suatu spesies atau lebih yang mendominasi secara biomassa atau menyumbang
ciri fisik suatu spesies. Komunitas terdiri atas atas sekumpulan spesies yang
kelimpahannya berkorelasi secara positif atau negatif dengan waktu atau tepat
(Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah, 2014). Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa komunitas berarti kesatuan dinamik dari
hubungan fungsional saling mempengaruhi diantara populasi, dimana anggotanya
berperan pada posisinya masing-masing, menyebar dalam ruang dan tipe
habitatnya (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah, 2014). Konsep
komunitas menjadi sangat penting
dalam mempelajari ekologi, karena pada tingkat komunitas inilah dikaji
keberadaan beranekaragam jenis organisme yang hidup bersama dengan cara yang
beraturan, tidak tersebar begitu saja tanpa ada saling ketergantungan (interaksi).
Menurut Darmawan et al. (2005), kajian komunitas berusaha mengetahui
keseimbangan yang tergambarkan dalam struktur dan komposisi populasi
penyusunnya. Kajian komunitas juga berusaha mengetahui pola sebaran dan
perubahan sebagai hasil interaksi semua komponen yang bekerja dalam komunitas
tersebut. Komunitas sebagai suatu organisasi kehidupan tersusun dari beberapa
komponen yang masing-masing komponen memiliki dinamikanya masing-masing
dan dikenal sebagai struktur komunitas yaitu keanekaragaman jenis, interaksi
jenis, dan organisasi fungsional. (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah,
2014). Masing-masing pendekatan memberikan informasi sangat berguna dan
pemilihan pendekatan yang akan digunakan tergantung pada tujuan dan
pertimbangan praktisnya (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah,2014).
Struktur dalam komunitas sering berubah, karena sebagian besar dapat
diganti dalam waktu dan ruang sehingga fungsional komunitas yang serupa dapat
memiliki komposisi jenis yang berbeda. Komposisi komunitas adalah daftar jenis
dan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas di suatu tempat . struktur
komunitas memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh setiap jenis sebagai
komponen penyusunnya (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah, 2014).

B. Interaksi dalam komunitas hewan


Hubungan timbal balik (interaksi) dibedakan menjadi hubungan
intraspesifik dan interspesifik. Hubungan intraspesifik adalah hubungan antara
dua individu dalam satu jenis organisme, sedangkan hubungan interspesifik adalh
hubungan antar dua individu yang berbeda jenis. Interaksi tersebut sebagai berikut
(Dharmawan, 2005).
Menurut Hasana, I, dan Wulandari, N, (2015) menyatakan bahwa ada 8
interaksi yang ada pada komunitas hewan sebagai berikut :
a. Simbiosis
Hubungan interspesifik ada yang bersifat simbiosis dan nonsimbiosis.
 Hubungan simbiosis adalah hubungan antara dua individu dari dua
jenis organisme yang keduanya selalu bersama-sama. Misalnya hewan
flagelata yang hidup dalam usus rayap dengan inangnya. Hewan
flagellata itu mencerna selulose kayu yang dimakan oleh rayap.
Dengan demikian rayap dapat menyerap zat karbohidrat yang berasal
dari selulosa.
 Hubungan nonsimbiosis adalah hubungan antara individu yang hidup
secara terpisah, dan hubungan terjadi hanya jika keduanya berdekatan,
misalnya antara kupu dengan tanaman bunga. Pada waktu hinggap di
sebuah pohon tanaman bunga kupu menghisap madu dari bunga dan
serbuksari bunga itu terbawa oleh kupu pada kakinya. Serbuk sari itu
terbawa ke bunga lain dan bisa menempel pada putiknya jika kupu
tersebut hinggap pada bunga lain. Dengan demikian kupu dapat
membantu penyerbukan tumbuhan bunga. Jika kupu tidak hinggap
pada bunga dalam rangka mencari madu, hubungan antara kupu dan
tumbuhan bunga tidak ada.
b. Kompetisi
Kompetisi merupakan hubungan antara dua individu untuk
memperebutkan satu macam sumberdaya, sehingga hubungan tersebut
bersifat merugikan bagi salah satu pihak. Sumber daya yang diperebutkan
dapat berupa makanan, energi, dan tempat tinggal. Kompetisi dapat terjadi
antar individu dalam satu populasi dan individu dari populasi yang
berbeda. Persaingan dalam hal sumber daya ruang atau tempat terjadi jika
terjadi ledakan populasi sehingga hewan berdesak-desakan di suatu tempat
tertentu. Dalam kondisi seperti ini hewan yang kuat biasanya mengusir
hewan lemah untuk pindah dari kelompoknya atau meninggalkan
tempatnya.
c. Kanibalisme
Kanibalisme adalah sifat suatu hewan untuk menyakiti dan membunuh
individu lain dalam satu jenis organisme. Contoh, belalang sembah betina
membunuh belalang jantan setelah melakukan perkawinan
d. Amensalisme
Amensalisme ialah hubungan antara dua jenis organisme, yang satu
menghambat atau merugikan yang lain, tetapi dirinya tidak mendapat
pengaruh apa-apa dari kehadiran jenis organisme yang dihambat atau
dirugikannya. Amensalisme juga disebut kompetisi asimetris. Contoh
hubungan seperti itu sulit dicari pada komunitas hewan.
e. Komensalisme
Komensalisme adalah hubungan antara dua jenis organisme, yang satu
memberikan kondisi yang menguntungkan bagi yang lain itu. Contoh,
hubungan antara satu jenis organisme ikan laut (clownfish) dengan
anemon laut. Ikan itu biasanya berada di anatara tentakel dari anemon laut,
yang pada umumnya beracun terhadap ikan lain. Dengan tingggal di antara
tentakel itu ikan clownfish terlindung dari serangan musuh dan mendapat
makanan berupa detritus yang keluar dari tubuh anemon. Anemon tidak
dirugikan tetapi juga tidak diuntungkan oleh ikan tersebut.
f. Mutualisme
Mutualisme ialah hubungan anatara dua jenis organisme atau individu
yang saling menguntungkan, tanpa ada yang mengalami kerugian. Dalam
hubungan mutualisme dua individu yang berhubungan ada yang selalu
hidup bersama, dan ada yang tidak selalu bersama
g. Parasitisme
Parasitisme merupakan hubungan antara dua individu, yang satu hidup
atas tanggungan yang lain, sehingga yang satu mendapat keuntungan
sementara yang lain dirugikan. Hewan yang hidup menumpang pada
hewan lain disebut parasit. Parasitisme ada yang bersifat simbiotik, non
simbiotik, obligat dan fakultatif. Parasatisme obligat, contohnya adalah
hubungan anatara cacing pita dengan sapi.
h. Predatorisme
Predatorisme adalah hewan yang memburu dan membunuh hewan lain
untuk dijadikan makanannya. Hewan yang diburu dan dimakan disebut
mangsa. Hubungan antara predator dan mangsa berbeda dengan pola
hubungan intraspesifik atau intersesifik yang lain. Satu individu mangsa
hanya berhubungan dengan satu individu predator hanya satu kali, karena
individu mangsa langsung mati ketika diserang oleh predator.

C. Komposisi dan komunitas hewan


Kita dapat mendefinisikan komunitas secara sederhana sebagai satu
kumpulan populasi yang saling berinteraksi. Komunitas dapat dikarakterisasi
menurut beberapa cara, sebagai contoh dideskripsikan menurut spesies yang
menonjol atau lingkungan fisiknya (komunitas gurun, komunitas kolam,
komunitas hutan meranggas). Karakteristik level komunitas mencakup:
1. Diversitas: jumlah spesies di dalam komunitas
2. Kelimpahan relatif: kelimpahan relatif suatu spesies terhadap kelimpahan
seluruh spesies dalam komunitas
3. Stabilitas: ukuran bagaimana komunitas berubah sepanjang waktu.
Hubungan antar populasi di dalam suatu komunitas sangat kompleks,
sangat bervariasi yang meliputi hubungan positif, negatif, dan interaksi mutual.
Contoh hubungan dalam komunitas meliputi kompetisi (untuk sumber daya
makanan, habitat peneluran, atau sumber daya lainnya), parasitisme, dan herbivori
(Sumarto, S dan Koneri, R, 2016).
Dari penjelasan Hasana, I, dan Wulandari, N, (2015) bahwa ada lima
karakteristik komunitas hewan yang umumnya diukur dan dikaji yaitu bentuk dan
struktur pertumbuhan, dominasi, kelimpahan relatif, struktur trofik, dan
keanekaragaman atau diversitas jenis (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam
Husamah, 2014). Yang membatasi bahwa parameter komunitas bersifat kuantitatif
seperti kekayaan jenis, keanekaragaman dan kelimpahan relatif. Berikut ini
parameter struktur komunitas di antaranya:
 Keanekaragaman jenis (spesies)
Keanekaragaman atau diversitas adalah suatu keragaman atau
perbedaan diantara suatu anggota-anggota suatu kelompok, yang
umumnya mengarah pada keanekaragaman jenis (McNaughton dan
Wolf, 1998). Keragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman jenis juga dapat
digunakan untuk menentukan struktur komunitas, yaitu kemampuan
suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada
gangguan terhadap komponen- komponennya (Ardhana, 2012).
Keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menentukan struktur
komunitas. Semakin banyak jumlah jenis dengan tingkat jumlah individu
yang sama atau mendekati sama, semakin tinggi tingkat
heterogenitasnya. Sebaliknya jika jumlah jenis sangat sedikit dan terdapat
perbedaan jumlah individu yang besar antar jenis, maka semakin
rendahlah heterogenitas suatu komunitas. Keanekaragaman yang rendah
mencerminkan adanya dominasi suatu jenis (Hasana, I, dan Wulandari, N
dalam Leksono, 2011).
Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu
komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi jenis yang
tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi
karena interaksi jenis terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi.
Keanekaragaman jenis merupakan karakteristik yang unik dalam tingkat
organisasi biologi yang diekspresikan melalui struktur komunitas. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi
apabila terdapat banyak jenis dengan jumlah individu masing-masing
relatif merata. Keanekaragaman dimaksud adalah keanekaragaman jenis
bukan untuk mencari kedudukan jenis dalam takson, melainkan
ditekankan pada dasar artrofik atau tingkatan fungsional organisme
(Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Satino, 2011).
 Kemerataan
Kemerataan didefinisikan sebagai tingkat sebaran individu antara
jenis-jenis (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Leksono, 2011). Menurut
Suheriyanto (2008), pada dua komunitas yang masing-masing
mempunyai 10 jenis dengan jumlah individu 100, akan mempunyai
kemerataan yang berbeda, tergantung pembagian dari 100 individu tadi
diantara 10 jenis.
 Kelimpahan relatif (Relative Abudance)
Produk-produkDiversitas jenis ditentukan tidak hanya oleh jumlah
jenis di dalam komunitas, tetapi juga oleh kelimpahan relatif individu
(relative abudance) dalam komunitas. Kelimpahan jenis merupakan
jumlah individu per jenis dan kelimpahan relatif mengacu pada
kemerataan distribusi individu diantara jenis dalam satu komunitas. Dua
komunitas mungkin sama-sama kaya dalam jenis, tetapi berbeda
dalamkelimpahan relatif. Contohnya adalah 2 komunitas mungkin
masing- masing mengandung 10 spesies dan 500 individu, tetapi pada
komunitas yang pertama semua jenis sama-sama umum (misalnya 50
individu tiap jenis). Sementara pada komunitas kedua satu jenis secara
signifikan jumlahnya lebih banyak dari pada empat jenis lain. Komunitas
pertama dikatakan memiliki kelimpahan relatif lebih tinggi dari pada
yang kedua (Hasana, I, dan Wulandari, N dalam Husamah, 2014).
 Kesamaan Komunitas
Apabila terdapat perubahan sruktur komunitas dalam suatu wilayah,
maka spesies yang ditemukan dari suatu tempat ke tempat lain akan
berbeda. Membandingkan antar komunitas berdasarkan perbedaan
komposisi jenisnya sangat penting untuk memahami proses yang
mengendalikan struktur komunitas dan dalam rangka melindungi
kelestarian komunitas alami (Suheriyanto, 2008).
 Dominasi
Komunitas alami dikendalikan oleh kondisi fisik atau abiotik yaitu
kelembaban,temperatur atau suhu, dan oleh beberapa mekanisme biologi.
Komunitas yang tidak terkendali secara biologi sering dipengaruhi oleh
suatu jenis tunggal atau satu kelompok jenis yang mendominasi
lingkungan dan organisme ini biasanya disebut dominan. Dominasi
komunitas yang tinggi menunjukkan keanekaragaman yang rendah
(Odum, 1998). Menurut Suheriyanto (2008), didalam kondisi yang
beragam, suatu jenis tidak dapat menjadi lebih dominan dari pada yang
lain, sedangkan di dalam komunitas yang kurang beragam, maka satu
atau dua jenis dapat mencapai kepadatan yang lebih besar dari pada yang
lain. Dominasi merupakan perbandingan antara jumlah individu dalam
suatu jenis dengan jumlah total individu dalam seluruh jenis.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Lokasi : daerah terbuka
Ukuran Kuadrat : 50×50 m menjadi 5x5 m/plot
Deskripsi Lokasi : Disebelah laboratorium
Tabel 1. Hasil pengamatan keanekaragaman hewan di kampus UIN Raden Fatah
Palembang disebelah laboratorium
Area Lokasi Di Samping Direktorat
Nomor Plot Nama Spesies Jumlah Luas Area
Individu
1 Eurytoma sp. 4 5x5 m
2 Eurytoma sp. 3 5x5 m
Paraponera clavata 1
3 Eurytoma sp. 7 5x5 m
4 Grylloidea 1 5x5 m
Eurytoma sp. 2
5 Eurytoma sp. 3 5x5 m
Jumlah Total Individu : 21

B. Pembahasan
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil pada 50x50 meter yang terbagi
menjadi 4 plot yakni terdiri atas 3 spesies berupa Eurytoma sp., Solenopsis, dan
Araneus diadematus. Dengan jumlah total individu sebanyak 21 yang hanya diisi
3 jenis spesies maka terlihat adanya dominansi yang tinggi pada lokasi ini, dari
hasil penelitian ditemukan bahwa Eurytoma sp., merupakan hewan dengan
dominansi paling banyak dari jenis spesies hewan lain. Beberapa jenis parasitoid
yang ditemukan, seperti Eurytoma sp. memiliki kelimpahan yang lebih besar
dibandingkan jenis parasitoid lainnya. Kedua parasitoid tersebut termasuk dalam
superfamili Chalcidoidea yang merupakan superfamili yang cukup besar dalam
Hymenoptera.
Hamid dalam Naumann (2000) mengemukakan bahwa sekitar 25% dari
Hymenoptera di Australia termasuk ke dalam superfamili Chalcidoidea.
Parasitoid tersebut merupakan parasitoid dari Eucorynus yang memiliki
kelimpahan yang juga lebih besar dibandingkan serangga herbivora lainnya. Hal
ini menunjukkan bahwa kelimpahan yang besar dari tingkat tropik yang bawah
(serangga herbivora) akan berdampak pula terhadap kelimpahan dan kekayaan
tingkat tropik di atasnya (parasitoid). Banyak faktor yang mempengaruhi
kelimpahan, salah satunya keberadaan akan pertanaman yang sedang berbunga di
sekeliling tanaman inang dan menjadi pendukung dalam tersedianya makanan
seperti nektar. Oleh karena itu, ketersediaan parasitoid mempengaruhi tinggi
rendahnya tingkat parasitiasi di area habitatnya (Hamid dalam Yuliana 2008).
Seperti yang telah dijelaskan pada hubungan pada antar populasi di dalam suatu
komunitas sangat kompleks, sangat bervariasi yang meliputi hubungan positif,
negatif, dan interaksi mutual. Contoh hubungan dalam komunitas meliputi
kompetisi (untuk sumber daya makanan, habitat peneluran, atau sumber daya
lainnya), parasitisme, dan herbivori (Sumarto, S dan Koneri, R, 2016). Dengan
demikian, tingkat komunitas yang dikendalikan dari pengaruh biotik maupun
abiotik berupa kelembaban,temperatur atau suhu sangatlah dipengaruhi satu sama
lain akan kepadatan, kelimpahan ataupun keanekaragaman jenisnya.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunitas serangga herbivora pada samping direktorat didominasi
oleh Eurytoma sp., yang memiliki kisaran ekspansi yang lebih luas
dibandingkan serangga herbivora lainnya, sedangkan jenis herbivora lainnya
di tingkat rendah. Kelimpahan yang tinggi dari serangga Eurytoma sp.,
disebabkan faktor interaksi jenis yang tinggi serta biotik atau abiotiknya.

B. Saran
Diharapkan untuk lebih teliti dalam perhitungan koloni pada hewan
serangga yang diteliti dan diamati serta dicatat jenis spesiesnya.
DAFTAR PUSTAKA

Falahudin, I. (2020). Panduan Praktikum Ekologi Hewan. RAFA Press:


Palembang.
Yaherwandi, et.al. (2008). Struktur Komunitas Hymenoptera Parasitoid Pada
Tumbuhan Liar di Sekitar Pertanaman Padi di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cianjur, Jawa Barat. J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525. 8 (2): 90 – 101
Darmawan, A., Ibrohim, H. Tuarita, H. Suwono, dan Susanto. (2005). Ekologi
Hewan. Malang: UM Press.
Odum, E,P. (1998). Dasar-dasar Ekologi. UGM Press: Yogyakarta.
Sumarto, S dan Koneri, R. (2016). Ekologi Hewan. CV. Patra Media
Grafindo:Bandung
McNaughton, S.J. dan Wolf, L.L. (1998). Ekologi Umum Edisi kedua Cetakan
ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
Suheriyanto. D. (2008). Ekologi Serangga. Malang: UIN-Malang Press.
Ardhana, I, P,G. (2012). Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press:Denpasar.
Hamid, H. (2009). Komunitas Serangga Herbivora Penggerek Polong Legum dan
Parasitoidnya: Studi Kasus di Daerah Palu dan Toro, Sulawesi Tengah. IPB
Press: Bogor.
LAMPIRAN DOKUMENTASI
LAPORAN KOLEKSI
HERBARIUM DAN INSEKTARIUM

Disusun Oleh:

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Pembimbing: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
Diharapkan hasil kegiatan ini mahasiswa mampu membuat spesimen hewan
berdasarkan karakteristik morfologi dalam kegiatan konservasi sederhana.

B. Alat dan Bahan


Alat : Botol semprot, botol kaca, botol besar
Bahan : Alkohol 70% 500ml, hewan yang didapat.

C. Cara Kerja

1. Awetan Hewan Avertebrata


Ada tiga langkah pokok pada pembuatan preparat hewan, yakni : 1) mematikan
objek, 2) Fiksasi, 3) Pengawetan. Untuk mematikan, hewan dimasukkan ke
botol pembunuh. Untuk hewan yang bergerak kuat perlu dilakukan anestesi
dahulu. Ada banyak macam larutan anestesi, Contoh, magnesium chloride
(MgCl2), eter (untuk membius) atau alkohol. Fiksasi dimaksudkan untuk
menstabilkan protein jaringan. Larutan fiksasi juga bermacam-macam, di
antaranya formalin (formaldehyde), larutan Viets, larutan Bouin.

Cara membuat larutan fiksatif


1. Larutan Viets : campurkan alcohol 80% (6 bagian), dengan gliserin (11
bagian) danasam asetat glacial (3 bagian)
2. Larutan Bouin : Asam asetat glasial (5 ml) ditambah dengan formalin 40 %
(25 ml dan asam pikrat jenuh (75 ml).
Pengawetan merupakan tindak lanjut setelah proses fiksasi, agar objek menjadi
awet, tidak rusak jaringannya, tidak terjadi otolisis sel, dan terhindar dari
serangan bakteri dan jamur. Bahan pengawet yang mudah adalah formalin (5 –
10 %), alcohol 70 %. Untuk menghindari kerusakan jaringan, fiksasi dilakukan
bertahap. Objek tidak langsung direndam dalam alkohol 70 %, tetapi mulai dari
kadar yang rendah (30 %).
Langkah-langkah :
1. Masukkan objek hewan yang telah diberi etiket gantung ke dalam botol
2. Aturlah posisinya dengan melekatkannya pada potongan kaca
3. Tutuplah dengan tutup yang rapat, dan berilah etiket pada botolnya.
4. Simpan pada tempat yang aman.

Beberapa larutan awetan basah


1. Pengawet umum :
a. Formalin 40 % : air = 1 : 10 ( formalin 4 % )
b. Formalin 40 % 6 bagian Asam asetat 40 %,
1 bagian Alkohol 95 %, 20 bagian Akuades 40 bagian

2. Pengawet Insekta :
a. Formalin 40 %, 40 bagian
b. Asam asetat 40 %, 20 bagian
c. Gliserin, 50 bagian
d. Akuades, 280 bagian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Herbarium berasal dari kata “hortus dan botanicus”, artinya kebun botani yang
dikeringkan. Secara sederhana yang dimaksud herbarium adalah koleksi spesimen yang
telah dikeringkan, biasanya disusun berdasarkan sistem klasifikasi.
Material herbarium sangat penting artinya sebagai kelengkapan koleksi untuk
kepentingan penelitian dan identifikasi, hal ini dimungkinkan karena pendokumentasian
tanaman dengan cara diawetkan dapat bertahan lebih lama, kegunaan herbarium lainnya
yaitu sebagai berikut :
1. material peraga pelajaran botani
2. Material penelitian
3. Alat pembantu identifikasi tanaman
4. Material pertukaran antar herbarium di seluruh dunia
5. Bukti keanekaragaman
6. Spesimen acuan untuk publikasi spesies baru

Pembagian Herbarium
Herbarium basah merupakan awetan dari suatu hasil eksplorasi yang sudah
diidentifikasi dan ditanam bukan lagi di habitat aslinya. Spesiesmen tumbuhan yang telah
diawetkan disimpan dalam suatu larutan yang di buat dari komponen macam zat dengan
komposisi yang berbeda-beda. (Tjitoseopomo,2005).
Herbarium kering adalah awetan yang dibuat dengan cara pengeringan, namun tetap
terlihat ciri-ciri morfologinya sehingga masih bisa diamati dan dijadikan perbandingan
pada saat determinasi selanjutnya.(Ardiawan,1990).
pengawetan hewan dapat dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:

Pengawetan tulang (rangka)


Pembuatan preparat tulang dilakukan dengan terlebih dahulu membedah dan
menguliti spesimen hingga bersih dari kulitnya. Kemudian dilakukan perebusan selama 30
menit hingga 2 jam agar memudahkan pemisahan otot dari rangka, lalu didinginkan secara
alami.
Selanjutnya dibersihkan otot atau daging yang masih menempel pada rangka
dengan hati-hati sampai bersih, lalu dibersihkan dan direndam dalam pemutih agar
tulangnya putih bersih. Terakhir, ditata rapi, diberi label, dan diidentifikasi(Prijono, 1999).

Pengawetan insekta (insektarium)


Pembuatan preparat awetan insekta dilakukan dengan terlebih dahulu mematikan
serangga dengan cara serangga dimasukkan ke dalam botol atau toples yang didalamnya
telah diletakkan busa berkloroform, sebelumnya diletakkan pembatas dari kertas yang agak
tebal yang telah dibolong-bolongi agar serangga tersebut mati tanpa terkena basahan
kloroform. Setelah mati, bagian luar tubuh serangga diolesi alkohol 7056 lalu ditusuk
dengan office pin atau jarum pentul, ditancapkan pada sterofoam. Menurut Afifah (2014),
insektarium adalah awetan serangga dengan bahan pengawet alkohol 7046 dan formalin
546 yang dikemas dalam bentuk koleksi media pembelajaran. Herbarium dan insektarium
sebelum digunakan penelitian terlebih dahulu telah divalidasi oleh pakar media, sehingga
diketahui layak atau tidak digunakan dalam penelitian (Prijono, 1999).

Pengawetan kering (taksidermi)


Taksidermi adalah salah satu teknik pengawetan untuk mumifikasi selama
berabad- abad. Pembuatan preparat taksidermi dilakukan dengan terlebih dahulu membius
spesimen dengan kloroform atau eter. Spesimen yang biasa dibuat taksidermi adalah
Mamalia dan Aves. Setelah hewan mati, dibuat torehan dari perut depan alat kelamin
sampai dada, kemudian lukanya dibubuhi tepung jagung. Setelahnya, hewan dikuliti
menggunakan scalpel, dihilangkan lemak-lemaknya, dam setelah bersih lalu boraks
ditaburi dan gulungan kapas dibuat sebesar atau sepanjang tubuh hewan lalu dimasukkan
sebagai pengganti dagingnya. Kemudian dibentuk seperti perawakannya saat masih hidup.
Terakhir, bekas torehannya dijahit, mulutnya dijahit segitiga (Prijono, 1999).

Pengawetan basah
Spesimen yang biasa dibuat awetan basah biasanya bangsa Crustacea atau hewan
avertebrata lainnya. Pembuatannya terbilang cukup sederhana prosesnya. Hewan
dimatikan dengan kloroform atau eter, dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam toples
transparan berisi alkohol 70yo yang sesuai ukuran atau lebih besar ukurannya dari hewan
tersebut. Biasanya dilengkapi dengan kaca transparan untuk alas hewan agar tetap
kedudukannya, kemudian diberi keterangan menggunakan kertas kedap air (Prijono,
1999).
Alur pelabelan dapat dimulai dari data lapangan yang berisikan semua data
identitas spesimen dari lapangan yang dicatat dalam buku lapangan dan merupakan catatan
kerja (nama jenis, tanggal pengambilan, kolektor, lokasi, suhu, arus, kedalaman,
kecerahan, posisi, salinitas, pH, parameter kualitas air lainnya, teknik koleksi, nama lokal
dan lainnya). Catatan tersebut sangat membantu dalam melengkapi label. Teknik pelabelan
tidak semua data dituliskan dalam label, hanya berisikan informasi tertentu saja misalnya:
nama jenis, nama suku, nomor katalog, koordinat, nama lokasi, nama kolektor, nama
identifikator, tanggal identifikasi, tanggal pengambilan dan alat yang digunakan (Pratiwi
2006).

Pengawetan Basah
Pengawetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang ukurannya relatif
kecil, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk organisme yang
berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan dengan sinar
matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat disimpan dalam media
pengawet resin (Bioplastik). Obyek yang dapat dijadikan sebagai specimen utama dalam
pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi yang berukuran kecil hingga
yang berukuran besar (Budi yanto, 2003).

Cara Pengawetan
Secara garis besar, ada dua cara pengawetan obyek biologi, yaitu pengawetan
basah dan pengawetan kering. Pengawetan basah dilakukan dengan mengawetkan obyek
biologi dalam suatu cairan pengawet. Pengawetan kering dilakukan dengan mengeringkan
obyek biologi hingga kadar air yang sangat rendah, sehingga organism
perusak/penghancur tidak bekerja (Kurniasih, 2008).

Langkah-langkah Pengawetan
 Koleksi
Hewan-hewan yang akan diawetkan dalam bentuk utuh dan akan dibawa ke kelas atau
ke Laboratorium biasanya hewan-hewan yang berukuran relatif kecil. Hewan yang akan
diawetkan ditangkap menggunakan alat yang sesuai. Hewan yang tertangkap dimasukkan
dalam botol koleksi yang sudah diberi label (Budiyanto, 2003).
Proses mematikan dan meneguhkan memerlukan perlakuan dan bahan tertentu. Bahan
untuk mematikan biasanya adalah Ether, Kloroform, HCN/KCN, Karbon Tetracloride
(CCI4) atau Ethyl acetat. Namun, kadang- kadang perlu perlakuan khusus yaitu melalui
pembiusan sebelum proses mematikan dilakukan, agar tubuh hewan yang akan diawetkan
tidak mengkerut atau rusak. Pembiusan dilakukan dengan serbuk menthol atau
kapur barus ke permukaan air tempat hidupnya, setelah tampak lemas, dan tidak bereaksi
terhadap sentuhan, hewan dapat dipindahkan ke dalam larutan pengawet (Budiyanto,
2003). Beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan dalam pengawetan antara lain:
formalin, alkohol (ethil alkohol), resin atau pengawet berupa ekstrak tanaman. Bahan-
bahan pengawet ini mudah dicari, murah dan hasilnya cukup bagus, meskipun ada
beberapa
kelemahan (Budiyanto, 2003).
Bahan pengawet dan peneguh yang digunakan biasanya berbahaya bagi manusia,
maka perlu dikenali sifat-sifatnya. Dengan mengenal sifat-sifat ini, diharapkan dapat
dihindari bahaya yang mungkin ditimbulkan. Alkohol, merupakan bahan yang mudah
terbakar, bersifat disinfektan dan tidak korosif.
Formalin, larutan mudah menguap, menyebabkan iritasi di selaput lendir hidung,
mata, dan sangat korosif, bila pekat berbahaya bagi kulit. Ether, larutan mudah menguap,
beracun, dapat membius dengan konsentrasi rendah, eksplosiv. Kloroform, Larutan mudah
menguap, dapat membius dan melarutkan plastic. Karbon tetracloride, larutan mudah
menguap, melarutkan plastik dan lemak, membunuh serangga. Ethil acetat, larutan mudah
menguap, dapat membius dan mematikan serangga atau manusia. Resin, merupakan larutan
yang tidak mudah menguap mudah mengeras dengan penambahan larutan katalis,
karsinogenik, dapat mengawetkan specimen dalam waktu yang sangat lama. KCN/HCN,
larutan pembunuh yang sangat kuat, sangat beracun, bila tidak terpaksa jangan gunakan
larutan ini (Kurniasih, 2008).
Teknik awetan basah merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam
pengawetan hewan-hewan dari kelas vertebrata khusunya yang mempunyai ukuran cukup
besar. Teknik ini dapat juga digunakan untuk pengawetan hewan-hewan dari kelas
invertebrate dan tumbuhan tingkat tinggi (Hayati, 2011).

Langkah-langkah Teknik Awetan Basah:


1. Menyiapkan hewan yang akan diawetkan.
2. Menyediakan formalin yang telah diencerkan sesuai dengan yang diinginkan.
3. Memasukkan hewan pada larutan formalin yang telah ada dalam stoples kaca dan telah
diencerkan dimana sebelum memasukkan hewan ke dalam stoples, kaca terlebuh dahulu
udang dibersihkan dari kotoran atau lumpur dengan menggunakan aquades
4. Menutup rapat stoples kaca dan kemudian diberi label yang berisi nama spesimen
tersebut dan familinya (Hayati, 2011).

Pengawetan basah dilakukan dengan menggunakan beberapa macam larutan pengawetan,


yaitu sebagai berikut.
1. Alcohol 70% sebagai larutan fiksasidan pengawetab untuk hewan kecil
2. Formalin 4% sebagai larutan pengawetan hewan seperti katak, reptile dan mamalia kecil
3. Formali 2-3% sebagai larutan pengawet yang disuntikkan kedalam tubuh hewan
berukuran besar selain direndam dengan larutan formalin 4% (Budiyanto, 2003)
Teknik awetan basah ini bermanfaat sebagai salah satu media pembelajaran dalam
ilmu biologi. Dengan adanya teknik awetan basah ini, maka peserta didik akan lebih
mudah memahami struktur anatomi dari hewan yang diawetkan tanpa harus membuang
waktu untuk proses pembedahannya (Rio, 2005).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Gondang Sawah (Pila Ampullacea)

No Nama Spesies Keterangan


1 Nama ilmiah:
Cosymbotus platyurus
Klasifikasi lebih
tinggi: Cosymbotus
Tingkatan takson: Spesies
Spesies: Hemidactylus
platyurus; Schneider,
1797 Ordo: Squamata
Kelas: Reptilia
Famili:
Gekkonidae
Cecak tembok adalah
Cecak tembok (Cosymbotus platyurus) sejenis reptil yang
termasuk suku cecak.
Tidak ada nama khusus
yang dikenal dalam bahasa
daerah, kecuali nama
umum seperti cakcak,
cicek, cecek dan lain-lain.
Dalam bahasa Inggris
disebut flat-tailed house-
gecko, seperti tercermin
dari nama ilmiahnya,
platyura
2 Kingdom:Animalia
Phylum:Arthropoda
Class:Insecta
Order:Hymenoptera
Family:Formicidae
Subfamily:Formicinae
Genus: Lasius
Species:L. niger
Semut taman hitam, juga
dikenal sebagai semut
hitam biasa, adalah semut
formisin, jenis spesies
Lasius niger subgenus Lasius, yang
ditemukan di seluruh Eropa
dan di beberapa bagian
Amerika Utara, Amerika
Selatan, Asia, dan
Australasia.
B. Pembahasan

Pada praktikum dasar-dasar perlindungab tanaman tentang "Pembuatan Awetan


Basah dan Aweta Kering (Insektarium)" ini bertujuan mengawetkan berbagai jenis
serangga sehingga dapat di teliti lebih dekat, mempelajari morfologi dari masing-masing
serangga berdasarkan ordonya, mengetahui teknik pengawetan serangga dengan cara
pengawetan basah dan kering.
Praktikum kali ini praktikum membawa bahan berupa alat yang digunakan pada
praktikum pembuatan pestisida nabati adalah sterofoam , cutter, tutup kardus hvs, kertas
kado, plastik transparan, botol kaca, selotip, spidol, alat tulis, kertas hvs. Bahan yang
digunakan untuk praktikum ini adalah alcohol 96%, serangga kecil dan besar.
Pada praktikun kali ini kita membuat awetan basah dengan hewan Gondang Sawah,
Terdapat beberapa cara pengawetan serangga seperti pendapat Pratiwi (2006). Pengawetan
tulang (rangka), Pengawetan insekta ( Insektarium) , pengawetan kering ( taksidermi),
pengawetan basah. Pada pratikum ini kita menggunakan 2 pengawetan yaitu pengawetan
basah dan pengawetan kering. Awetan basah dilakukan bagi hewan tidak bercangkang yang
ukurannya relarif besar, direndam dalam larutan pengawet. Pengawetan kering untuk
organisme yang berukuran relatif besar biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan
dengan sinar matahari atau dengan oven dan selanjutnya agar lebih awet dapat di simpan
dalam media pengawet resub (bioplastik) . Obyek yang dalat dijadikan sebagai spesimen
utama dalan pengawetan basah maupun kering merupakan objek biologi yang berukuran
kecil hingga yang berukuran besar. Dan awetan kering seperti yang dikemukakan oleh
Prijono (1999), insektarium adalah awetan serangga dengan bahan pengawet alcohol 96%
dan formalin 5% yang dikemas dalam bentuk koleksi media pembelajaran.
Herbarium dan insektarium sebelum digunakan penelitian terlebih dahulu telah
divalidasi oleh pakar media, sehingga diketahui layaj atau tidak digunakan dalam
penelitian. Pada praktikum kali ini kita menggunkan alcohol 70% dan formalin sebagai
bahan pengawetan serangga, banyak bahan pengawetan serangga lainnya seperti
pendapat Budiyanto (2003), beberapa bahan pengawet yang dapat digunakan dalam
pengawetan antara lain: formalin, alcohol, (ethil alcohol), resin atau pengawet berupa
ekstrak tanamaa. Bahan-bahan pengawet digunakan mudah dicari, murah dan hasil cukup
bagus, meskipun ada beberapa kelemahan. Alcohol sendiri mengandung seperti pendapat
Kurniasih (2008),
alcohol merupakan bahan yang mudah terbakar, bersifat desinfektan dan tidak korosif.
Menurut Afifah (2014), pembuatan preparat awetan insekta dilakukan dengan
terlebih dahulu mematikan serangga dengan cara serangga dimasukkan ke dalam botol
atau toples yang didalamnya telah diletakkan busa berkloroform, sebelumnya diletakkan
pembatas dari kertas yang agak tebal yang telah dibolong-bolong agar serangga tersebut
mati tanpa terkena basahan kloroform. Setelah mati, bagian luar tubuh serangga diolesin
alcohol 70% lalu ditusuk dengan office pin atau jarum pentul, ditancapkan pada
sterofoam.

Pendapat tersebut kita dianjurkan menggunakan alcohol 70% sedangkan alcohol


yang kita gunakan adalah 96% hal tersebut mungkin dikarenakan alcohol 96% merupakan
alcohol yanh sangat kuat dan memiliki bau yang menimbulkan siapa saha yang
menghirupnya akan menjadi pusing karena kita harus memasukkan kapas kedalam alcohol
dan memasukkan kapas tersebut kedalam toples yang terdapat serangga tersebut, semua
tinjauan pustakan pun dianjurkan menggunakan alcohol 70% karena alcohol 70%
bertujuan untuk: seperti pendapat Budiyanto (2003), alcohol 70% sebagai larutan
fiksasidan pengawetan untuk hewan kecil
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini adalah terdapat 2 cara pengawetan
serangga yaitu awetan basah dan kering, awetan basah biasanya digunakan untuk
serangga yanh bertubuh lunak dengan cara menuangkan alcohol kapada
serangga tersebur hingga terrendan sedangkan awetan kering biasanya
digunakan untuk awetan yang bertubuh besar dengan cara menggunakan kapas
yang sudah diberi alcohol dan di tempatkan kepada serangga tersebut.

B. Saran
Adapun saran dari praktikum ini adalah sebagai berikut: sebaiknnya
dalam praktikum kali ini menggunakan masker karena bahan yang dibawa
mempunyai bau yang menyengat.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Anik..Ringkasan Biologi. Bandung : Ganeca Exact Bandung


Ardiawan, 2010. Diakses dari http://ardiawan-1990.blogspot.com/2010/10/
koleksi-membuat-herbarium.html. Pada Tanggal 13 April 2011. Pukul 15.00
WIB.
Borror DJ, CA Triplehorn & NF Jhonson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Budiyanto, 2003. Petunjuk Praktikum Vertebrata. Jakarta: Erlangga.
Demirci, B., Gultiken M.E., Karayigit, M.O. dan Atalar, K. 2012. Is Frozen
Taxidermy an Alternative Method for Demonstration of
Dermatopaties. Eurasian Journal of Veterinary Sciences, 28(3)
Desmukh I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Elzinga, R. J. 2000. Fundamentals of Entomology. Minessota: Practice
Hall.
Feltwell J. 2001. The Illustrated Encyclopedia of Butterflies. Rochester:
Grange Books
Hayati, 2011. Buku Praktikum Vertebrata. Jakarta: Erlangga.
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Surabaya:
Sinar Wijaya.
Jasin, Maskoeri. 1989. Biologi Umum untuk Perguruan Tinggi. Surabaya:
Bina Pustaka Tama.
Kurniasih, Surti. 2008. Penuntun Praktikum Morfologi Tumbuhan. Bogor:
Prodi Biologi FKIP Universitas Pakuan Bogor.
Oktaviana R. 2012. Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu Superfamili
Papilionoidea di Dusun Banyuwindu, Desa Limbangan, Kecamatan
Limbangan, Kabupaten Kendal. Jurnal MIPA 35 (1)
Pratiwi, R. 2006. Bagaimana Mengkoleksi Dan Merawat Biota Laut. Oseana.12,
LAMPIRAN DOKUMENTASI
1

LAPORAN PENYEBARAN HEWAN


(EKOLOGI HEWAN TANAH)

OLEH: Kelompok I

Anisa (2030801083)
Aditiya Pramana Putra (2030801086)
Betta Inda sari(2030801087)
Fitria Julianti (2030801089)
Feny Junita (203080106

Dosen Pengempu: Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN RADEN FATAH
PALEMBANG 2021
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan pratikum
Setelah melihat laporan praktikum ini diharapkan mampu menjadi kolektor
ekologi hewan dan mampu menjadi preneurship ekowan bioplastic
B. Alat dan Bahan
Untuk membuat preparat bioplastik ini diperlukan alat dan bahan yang
sesuai dengan yang di butuhkan, bahan yang digunakan dalam membuat
preparat bioplastik terdiri 4 macam:
a.bahan / objek yang akan di awetkan
Obyek makhluk hidup ini dapat dicari dalam 3 cara:
a) Awetan kering/ obyek lain. Obyek lain yang dimaksud adalah untuk
tulisan label atau bisa juga di beri foto.
b) Awetan basah dalam alcohol / formalin
c) Untuk bahan segar harus direndam dalam larutan styrene sebelum dibuat
(boleh lama boleh juga sebentar saja).
b. Styrene
Adalah larutan untuk merendam bahan segar / obyek sebelum di buat / di
masukan ke dalam bioplastik. Berfungsi sebagai penyeteriol, untuk
mensterilkan obyewk yang akan di awetkan
c. Resin
Sifat dari resin adalah beracun, karsinogen (penyebab kanker) dan juga
dapat menyebabkan iritasi kulit.
d. Katalis
Katalis ini sifatnya sama dengan Resin . sehingga pada waktu
menggunakan harus hati-hati agar tidak sampai terkena kulit atau pakaian
karena noda pada pakaian tidak dapat dihilangkan dan dapat menyebabkan
kerusakanpada kain. Berfungsi sebagai pengeras.
3

e. Cobalt
Cobalt juga berfungsi sebagai pengeras sama seperti katalis.
f. Alat Cetakan / wadah
Cetakan ini bisa di buat dari seng atau aluminium tipis sehingga dapatdi
bengkokan menjadi wadah yang sangat rapat dan bentuknya sesuai dengan
keinginan sendiri.
G. Girinda/ Ampelas
Alat ini digunakan untuk menghaluskan bagian tepi preparat setelah
kering / selesai.
g. Compound QQ
Digunakan untuk mengkilatkan preparat yang sudah jadi dengan
caradi gosok dengan kain yang halus dan bersih.
h. Alat penunjang lainya
Alat penunjang lainnya yang di perlukan misalnya:
i. Gunting: untuk memotong bahan / obyek serta digunakandalam
membuat cetakan
ii.Pisau : untuk membuat cetakan
iii.Pinset : untuk mengambil obyek/ mahluk
hidup iv.Jarum : untuk menata obyek dalam
larutan
v.Isolasi lakban : untuk mengaitkan / membuat cetakan
vi.Sendok : untuk mengadut campuran larutan
vii.Kain : untuk menggosok preparat bioplastik setelah jadi
viii.Gelas minuman kemasan untuk mengaduk campuranlarutan.

C. Cara Kerja

A. Membuat Bioplastik:
1. Membuat wadah / alat cetakan
Untuk membuat alat cetakan kita bisa gunakan aluminium tipis, seng atau
plastic yang tahan terhadap resin dengan cara menggunting sesuai
bentuk cetakan yang di inginkan.
Cetakan yang baik adalah fleksibel, permukaannya halus, tahan terhadap
resin serta sesuai dengan obyek dan bentuk seni. Untuk itu harus
pula diperhatikan setting obyek pada cetakan (orientasi, label
ataupun aksesories lainnya)
2. Menyiapkan obyek
Obyek yang disiapkan bisa juga mahluk hidup misalnya kupu-kupu,
belalang, bunga, daun dan lain-lain, bias juga label foto.
4

3. Membuat preparat bioplastik dengan langkah sebagai berikut:


a. Merendam obyek dalam styrene sampai terendam boleh lama
boleh tidak. Untuk label / obyek kering tak perlu direndam
karena bisa luntur warnanya.
b. Menuangkan resin ke dalam tempat lain (gelas minuman
kemasan ) kemudian menambahkan katalis dan cobalt dengan
perbandingan resin 25 cc, katalis dan cobalt masing-masing
8s/d 9 tetes. Kemudian kita aduk perlahan-lahan larutan
resindan katalis tersebut dan usahakan jangan sampai
munculgelembung udara. Aduk larutan tersebut sampai
berubah warnanya.
c. Menyiapakan alat cetakan yang kita buat tadi dan masukkan
adonan resin + katalis ± 2 mm sebagai alas / sesuai denagn
wadah agar proporsional dengan cetakan tadi. Miringkan agar
merata dan masukkan ke dalam open selama ± 3 menit atau
sampai mengental. Pemanasan atau pengeringan ini bisa juga
dilakukan dengan lampu pijar 10 watt atau bisa juga hanya di
angin-anginkan.
d. Setelah mengering masukkan adonan lagi sedikit sebagai
penanam atau penjebak agar obyek tidak muncul / timbul
dipermukaan. Setelah itu masukkan obyek dan label atau foto
kemudian tata dengan rapi sesuai dengan keinginan anda
dengan menggunakan jarum atau lidi. Setelah selesai
keringkan lagi dengan cara seperti poin di atas (dalam
memasukkan obyek harus hati-hati agar tidak ada gelembung
udara yang timbul akibat gesekan obyek).
e. Preparat yang sudah kering di ambil dan di tuangi adonan lagi
sebagai penutup, lalu keringkan lagi seperti cara pengeringandi
atas.
f. Setelah preparat betul-betul kering buka wadahnya dengan
cara di sobek dan dalam hal ini membukannya pun harus hati-
hati agar tidak pecah.
g. Langkah selanjutnya, haluskan permukaan dengan gerinda /
amplas bertingkat dari kasar (100 – 600 – 1000) ke halus pada
kondisi basah / berair, serta jangan sampai berdebu karena
debunya dapat menyebabkan kanker / karsinogen.
h. Sebagai langkah terakhir haluskan dengan compound
bertingkat QQ
i. very white dengan menggunakan kain halus sampai mengkilat.
Preparat telah selesai dibuat.
5

BAB II
Tinjauan Pustaka

Plastik biodegradable adalah plastik ramah lingkungan, dapat

terurai oleh aktivitas mikroorganisme. Plastik biodegradable

memiliki fungsi yang sama dengan plastik sintesis atau plastik

konvensional. Plastik jenis ini biasa dikenal dengan istilah bioplastik.

Bioplastik merupakan plastik yang sebagian atau hampirseluruh

komponennya berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui

(Coniwanti, Laila and Alfira, 2014; Agustin and Padmawijaya, 2016).

Bioplastik dapat digunakan untuk pengemasan produk - produk

pangan. Bioplastik berfungsi sebagai penahan difusi oksigen dan uap

air serta komponen flavor sehingga mampu menciptakan suatu

kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang

dikemas. Keuntungan penggunaan bioplastik sebagai pengemas bahan

pangan adalah mampu memperpanjang umur simpan produk dan

bersifat ramah lingkungan (Julianti and Nurmimah, 2006). Disisi lain

bioplastik memiliki banyak keunggulan yaitu fleksibel, tidak mudah

pecah, transparan, ekonomis, kuat, bentuk laminasi yang dapat

dikombinasikan dengan bahan kemasan lain dan sebagian ada yang

tahan panas dan juga stabil(Sriwahyuni, 2017).


6

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan bioplastik

adalah protein dan karbohidrat. Film yang terbentuk dari karbohidrat

dapat berupa pati, gum (alginat, pektin, dan gum arab), dan juga pati

hasil modifikasi secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar

protein dapat menggunakan kasein, protein kedelai, gluten gandum,

dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik

digunakan sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida,

dan lemak. Film ini memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,

sehinggga cocok untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah

hancur (Nahwi, 2016). Polisakarida sebagai bahan dasar edible film

dapat digunakan untuk mengatur udara disekitar dan memberikan

ketebalan serta kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan

edible film ini penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak,

memiliki harganya murah, dan bersifat nontoksik (Bourtoom, 2008).


7

BAB III
Hasil Dan Pembahasan

A. Hasil

Pheropsophus jessoensis
B. pembahasan
Terdapat 1 hewan yang dijadikan bioplastik yaitu Pheropsophus jessoensis

Kingdom:Animalia
Phylum:Arthropod
a Class: Insecta
Order: Coleoptera
Family:Carabidae
Subfamily:Brachinina
e Genus:
Pheropsophus
Species:P. Jessoensis
8

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bioplastik adalah bentuk awetan kering mahluk hidup yang berada
dalam plastic sehingga tidak akan rusak dalam waktu ratusan tahun.
Bioplastik adalah plastik yang dibuat sebagian atau seluruhnya dari polimer
yang berasal dari sumber biologis seperti gula tebu, pati kentang atau
selulosa dari pohon, jerami dan kapas. Bioplastik bukan hanya satu zat
tunggal saja terdiri dari seluruh keluarga bahan dengan sifat dan aplikasi
yang berbeda (Chen, 2014). Pada praktikum kali ini, terdapat 2 hewan yang
dijadikan sebagai koleksi bioplastik, yaitu kumbang pengebom (Brachinus)
dan jangkrik (Acheta dosesticus)

4.2 Saran
Dalam proses pembuatan bioplastik ini tentunya menggunakan
berbagai bahan kimia, di sarankan untuk tetap menggunakan apd seperti
sarung tangan atau sejenis nya, sehingga dapat melindungi tubuh, untuk
spesimen yang di gunakan hendak nya hewan yang tidak berbahaya, dan
jika pun berbahaya, maka harus di lakukan dengan sangat berhati-hati
9

DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, W. A. (2019). Penerapan Sumber Belajar Awetan Bioplastik


Hewan dan Tumbuhan dalam Pembelajaran IPA Kelas IV SDN
01 Dayu Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar
Tahun Ajaran 2018/2019 (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Anda mungkin juga menyukai