Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Abad ke-16 dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara
permanen antar negara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum,
kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik
negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun
jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau
penghianatan lawan kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat
diusir, tetapi tidak dapat ditangkap atau diadili. Prinsip untuk memberikan
kekebalan dan keistimewaan yang khusus semacam itu telah dilakukan oleh
negara atas dasar timbal balik, hal itu diperlukan guna menjamin agar
perwakilan atau misi asing di suatu negara dapat menjalankan tugas misinya
secara bebas dan aman. Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara
penerima telah mulai dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai
kebiasaan internasional.
Kekebalan diplomatik dinikmati tidak saja oleh Kepala-Kepala Perwakilan
(seperti Duta Besar, Duta, atau Kuasa Usaha), tetapi juga oleh anggota
keluarganya yang tinggal bersama dia, termasuk para diplomat lainnya yang
menjadi anggota perwakilan (seperti Counsellor, para Sekretaris, Atase, dan
sebagainya) dan kadang-kadang dalam keadaan yang jarang sekali oleh para
staf administrasi dari perwakilan dan “staf pembantu lainnya” (juru masak,
supir, pelayan, penjaga dan lainnya yang serupa). Para pejabat diplomatik yang
dikirmkan oleh suatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu
sifat suci yang khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan
kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Kemudian pada pertengahan abad
ke-18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan
keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung,
dan komunikasi para diplomat. Untuk menunjukan totalitas kekebalan dan
keistimewaan diplomatik tersebut, sering digunakan istilah exterritoriality atau
extraterritoriality. Istilah ini mencerminkan kenyataan bahwa para diplomat

1
hampir dalam segala hal harus diperlakukan sebagaimana mereka tidak berada
di dalam wilayah negara penerima. Sifat exterritoriality itu diberikan kepada
para diplomat oleh hukum nasional negara penerima, didasarkan adanya
keperluan bagi mereka untuk menjalankan tugasnya, bebas dari jurisdiksi,
pengawasan negara setempat.
Meskipun aturan-aturan yang luas mengenai kekebalan dan
keistimewaan para diplomat tetap tidak diubah, pada abad ke-18, aturan-aturan
itu telah berkembang secara terperinci menurut variasi masing-masing yang
dilakukan oleh beberapa negara. Ada beberapa kodifikasi dari aturan-aturan
dalam hukum diplomatik, dua di antaranya yang paling penting Havana
Convention on 1928, dan Harvard Research Draft Convention on Diplomatic
Privileges and Immunities, yang diterbitkan dalam tahun 1932. Berdasarkan
pemaparan tersebut, maka dapat diketahui bahwa persoalan mengenai
kekebalan dan keistimewaan diplomatik suatu wakil-wakil negara adalah
sesuatu hal yang sangat dihargai dan dihormati dalam praktik-praktik
internasional, jauh sebelum adanya aturan tertulis yang mengatur seperti
dalam Konvensi Wina Tahun 1961 dan Konvensi Wina Tahun 1963 maka
praktik penghormatan kepada para wakil-wakil negara lain di suatu negara
sangatlah dihormati dan telah menjadi kebiasaan internasional.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah kekebalan diplomatik dalam hukum internasional?

C. Tujuan
Untuk mengetahui kekebalan diplomatik dalam hukum internasional

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori dan Hukum bagi Pemberian Kekebalan dan


Keistimewaan Diplomatik
Landasan Teori
Berdasarkan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional, para
diplomat yang mewakili negaranya memiliki kekebalan yang kuat dari
yurisdiksi negara pengirim. Dalam hukum internasional, pemberian kekebalan
dan keistimewaan diplomatic dikenal beberapa teori yang diperkenalkan
oleh Connel dalam bukunya “International Law”, Vol. II 1965. Terdapat tiga
teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan diplomatik di luar
negeri, yaitu:
1. Teori Eksterritorialitas
Dalam teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak
meninggalkan negaranya, ia berada di luar wilayah negara penerima,
namun kenyataannya ia sudah jelas berada di luar negeri sedang
menjalankan tugas-tugas di negara di mana ia ditempatkan. Teori ini
didasarkan pada suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya sehingga
tidak diterima masyarakat internasional. Dalam literature lain, teori ini
juga dikenal dengan Exterritoriality Theory. Menurut teori ini gedung
dan pejabat perwakilan dianggap tidak berada di negara penerima
melainkan berada dalam negara pengirim dan mencerminkan
semacam perluasan wilayahnya di negara penerima. Pada abad ke-16
dan 17 teori exterritoriality ini sangat menonjol dipergunakan bagi
pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik, di mana wakil
diplomatik dianggap bukan sebagai subyek hukum negara penerima.
Sebagai konsekuensi daripada prinsip ini adalah sangat berat untuk dapat
diterima karena sukar untuk menyesuaikan diri dengan teori
exterritorialty ini.

3
2. Teori Representatif
Dalam teori ini baik pejabat diplomatik maupun perwakilan
diplomatik asing dapat menikmati hak-hak istimewanya dan kekebalan-
kekebalan di negara penerima. Dengan memberikan hak-hak istimewa dan
kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing berarti negara
penerima menghormati negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, serta
kepala negaranya. Namun, dalam pemberian kekebalan diplomatik tidak
mempunyai batas yang jelas sehingga menimbulkan ketidakharmonisasian
dalam hukum. Dalam literatur lain, teori ini juga disebut sebagai teori
Representative Character Theory. Menurut teori ini, agen diplomatik
dianggap sebagai simbol (wakil) negara yang mengutusnya, maka
setiap sikap tindakannya merupakan tindakan negara yang
diwakilinya. Dalam hukum internasional dikenal suatu adagium yang
berbunyi “Par im parem habet imperium”, maksudnya suatu negara
berdaulat tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap negara
berdaulat lainnya. Berkaitan dengan adagium ini, jika seorang agen
diplomatik dianggap sebagai perwakilan negara yang mengirimnya
(sending state), maka ia kebal atau tidak dapat diberlakukan hukum dan
jurisdiksi dari negara yang menerimanya (receiving state). Sehingga
dalam teori sifat seorang diplomat sebagai simbol negara, pada
hakekatnya pejabat diplomatik dipersamakan dengan kedudukan seorang
kepala negara atau negara pengirim yang bersangkutan.
3. Teori Kebutuhan Fungsional
Dalam teori ini memuat bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-
kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat perwakilan
diplomatik dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori ini
memberikan tekanan pada kepentingan fungsi sehingga timbul
pembatasan-pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik.
Dalam literatur lainnya teori ini juga dikenal dengan Functional Necessity
Theory. Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan dan keistimewaan

4
kepada wakil-wakil diplomatik atas fungsi dari wakil-wakil diplomatik
agar wakil diplomatik yang bersangkutan dapat menjalankan fungsinya
dengan baik dan sempurna, maka kekebalan dan keistimewaan yang
dimilikinya itu adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya di
dalam melaksanakan tugas tanpa ada gangguan.
Sir Gerald Fitzmaurice, reporter khusus yang ditunjuk oleh Komisi
Hukum Internasional untuk merumuskan rancangan Konvensi wina 1961
menyadari bahwa functional theory tidak saja teori yang benar, sebaliknya
ia beranggapan bahwa exterritoriality theory tidak akan mendekatkan
penyelidikan, demikian pula tanggapan dari anggota-anggota lainnya yang
bahkan mengkritik yang cukup tajam. Sehubungan dengan tanggapan-
tanggapan tersebut, Komisi Hukum Internasional kemudian membatasi
diri memberikan tanggapan terhadap rancangan pasal-pasal mengenai
kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan-ikatan.
a. Di antara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan
pertimbangan bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan
diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung
exterritoriality theory sesuai anggapan bahwa gedung perwakilan
merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim, dan
representative character theory yang melandasi kekebalan dan
keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan
negara pengirim.
b. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang
kecenderungannya didukung di dalam masa sekarang yaitu functional
necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan
keistimewaan merupakan keperluan agar perwakilan dapat
menunaikan tugas-tugasnya.
c. Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini
dalam menyelesaikan masalah-masalah di dalam praktik tidak dapat
memberikan keterangan secara jelas, di samping memperhatikan juga

5
sifat perwakilan dari kepala perwakilan dan dari perwakilannya
sendiri.
Selain ketiga teori yang telah disebutkan di atas, salah satu prinsip yang
penting dalam hubungan diplomatik adalah prinsip resiprositas/reciprocity
principle atau prinsip timbal balik, yaitu apabila suatu negara ingin mendapat
perlakuan yang baik dari suatu negara, maka negara tersebut juga harus
bersikap baik dan sopan terhadap negara lain. Berkaitan dengan perwakilan
diplomatik, apabila negara (sending state) menginginkan utusannnya atau
wakilnya diberikan hak kekebalan dan keistimewaan oleh negara penerima
(receiving state), maka negara yang bersangkutan juga harus mau
memberikan hak kekebalan dan kesitimewaan terhadap agen diplomatik atau
perwakilan yang diutus dari negara lain.
Landasan Hukum
Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi yang mulai
berlaku pada 1964 ini menekankan kebutuhan fungsional akan hak istimewa
dan kekebalan diplomatik untuk menjalankan hubungan internasional yang
efisien serta menunjukan karakter utusan diplomatik sebagai mewakili
negaranya. Masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur dalam Konvensi
tetap diatur oleh aturan-aturan hukum kebiasaan internasional. Pengadilan
internasional baru-baru ini menekankan bahwa Konvensi tetap berlaku terlepas
adanya berbagai konflik bersenjata antara negara-negara yang bersangkutan.
Hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam
pasal-pasal Konvensi Wina 1961, diantaranya:
a. Berkaitan dengan personal: seorang diplomat tidak dapat diganggu
berdasarkan pasal 29 Konvensi Wina dan ia tidak dapat ditahan atau
ditangkap. Prinsip ini adalah aturan yang paling mendasar dan tertua dari
hukum diplomatik. Contoh yang paling mencolok dari pelanggaran
kewajiban untuk melindungi diplomat adalah penahanan diplomat-
diplomat AS sebagai sandera di Iran pada 1979-1980, di mana Pengadilan
Internasional menyatakan bahwa cuci tangan pemerintah Iran menghadapi

6
penahanan diplomat-diplomat AS dan staf konsulat untuk waktu yang
cukup lama merupakan sebuah ‘pelanggaran nyata dan serius’ atas pasal
29. pasal 31 ayat (1) Konvensi menetapkan bahwa diplomat kebal dari
yurisdiksi pidana, yurisdiksi perdata dan administrasi negara di mana
mereka bertugas; pasal 31 ayat (3) tidak ada tindakan eksekusi dapat
dilakukan terhadap mereka kecuali dalam kasus yang disebut dalam pasal
31 ayat (1) a, b dan c dan dengan ketentuan bahwa tindakan-tindakan yang
bersangkutan dapat dilakukan tanpa melanggar hak tidak dapat
diganggunya diplomat atau tempat tinggalnya; pasal 37 mengatur bahwa
anggota keluarga agen diplomatik yang menjadi bagian dari rumah
tangganya akan menikmati hak istimewa dan kekebalan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 29-36 Konvensi jika bukan warga negara dari
negara penerima. Dalam praktik di AS, istilah ‘spouse (pasangan)’ bisa
ditafsirkan untuk meliputi lebih dari satu istri dalam perkawinan poligami
yang merupakan bagian dari rumah tangga diplomat dan bisa pula meliputi
mitra yang tidak menikah dengan diplomat; pasal 40 memberikan
kekebalan di mana agen diplomatik berada di wilayah transit antara negara
asalnya dan negara ketiga di mana ia akan ditempatkan. Setelah masa
penculikan diplomat, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan
Penghukuman atas Kejahatan terhadap Orang-orang yang secara
Internasional Dilindungi, termasuk Agen Diplomatik diadakan pada 1973.
b. Berkaitan dengan gedung kedutaan dan properti: pasal 22 Konvensi
secara khusus menyatakan bahwa kantor utusan tidak dapat diganggu dan
bahwa agen-agen negara penerima tidak diijinkan masuk tanpa ijin. Pada
8 Mei 1999, selama kampanye Kosovo, Kedutaan Besar China di Beograd
dibom oleh AS. AS menyatakan bahwa itu tidak disengaja dan meminta
maaf. Pada Desember 1999, AS dan China menandatangani Perjanjian
yang memberikan kompensasi yang harus dibayar AS kepada China
sebesar 28 milyar dollar. Pada saat yang sama, China setuju untuk
membayar 2,87 milyar dollar kepada AS untuk menyelesaikan tuntutan
yang timbul dari kerusuhan dan serangan terhadap Kedutaan Besar AS di

7
Beijing, kediaman Konsulat AS di Chengdu dan konsulat di Guangzhu;
menurut pasal 23, sehubungan dengan tempat tinggal delegasi,
pengecualian berlaku untuk pajak; pasal 24 konvensi, arsip dan dokumen
duta tidak dapat diganggu kapan sajan dan dimana saja berada; pasal 45
(a) menyatakan bahwa setelah putusnya hubungan diplomatik ‘negara
penerima harus. . .menghormati dan melindungi kantor utusan’. Contoh
kasus untuk pasal 22 dapat melihat insiden yang terjadi pada tahun 1984
ketika terjadi penembakan dari gedung Biro Rakyat Libya di London
terhadap para demonstran di luar gedung Biro tersebut yang menewaskan
seorang petugas polisi wanita. Pemerintah Inggris menahan diri untuk
tidak memerintahkan dimasukinya gedung-gedung tersebut, tetapi
menuntut pemulangan staff biro tersebut, yang dengan tindakan demikian
benar-benar menaati prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh International
Court of Justice.
c. Berkaitan dengan tas diplomat: pasal 27 mengatur bahwa negara penerima
mengijinkan dan melindungi komunikasi bebas atas nama utusan untuk
semua tujuan kenegaraan. Komunikasi resmi seperti ini tidak dapat
diganggu dan dapat mencakup penggunaan kurir diplomatik dan pesan
dalam kode dan sandi, meskipun diperlukan ijin dari negara penerima
untuk pemancar nirkabel; pasal 27 ayat (3) dan (4) berkaitan dengan tas
diplomat, dan menyatakan bahwa tas tersebut tidak boleh dibuka atau
ditahan, dan bahwa paket yang merupakan tas diplomatik ‘harus kelihatan
sifat-sifatnya dari luar dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen
diplomatik atau berkas-berkas yang digunakan untuk tujuan kenegaraan.
Dalam mukaddimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan
diplomatik dirumuskan “…that the purpose of such privileges and
immunities is not to benefit individuals but to ensure the efficient
performance of the functions of diplomatic missions as representing states”.
Secara garis besarnya, pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik
dikategorikan menjadi dua, yaitu :

8
a. Inviolability, hanya ditujukan kekebalan terhadap organ-organ
pemerintah dan/atau alat kekuasaan negara penerima, dan kekebalan
terhadap segala gangguan yang merugikan serta hak mendapatkan
perlindungan dari aparat pemerintah negara penerima.
b. Immunity, kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan negara penerima
baik dalam bidang hukum pidana maupun bidang keperdataan.
Diplomatic Immunity dapat dikatakan merupakan suatu hak yang tidak
boleh diganggu gugat seorang agen diplomatik dalam melaksanakan tugas di
negara asing. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang diberikan pada
perwakilan diplomatik sesuai dengan Konvensi Wina 1961, yaitu :
a. Kekebalan diri pribadi
b. Kekebalan yurisdiksional
c. Kekebalan dari kewajiban untuk menjadi saksi
d. Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman
e. Kekebalan korespondensi
f. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik negara ketiga
g. Penanggalan kekebalan diplomatic
h. Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/bea masuk
Berdasarkan pada Konvensi Wina 1961 itu, kekebalan tersebut diberikan
pada:
a. Pejabat perwakilan diplomatic
b. Staf pribadi
c. Anggota keluarga pejabat diplomatic
d. Kurir diplomatik dan lainnya

B. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik


Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku
sejak mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses
menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika
sebelum diangkat oleh negara pengirim untuk menduduki Jabatan diplomatik
tertentu mereka telah berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya
kekebalan hukum dan hak-hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak

9
mereka diangkat oleh negara pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon
diplomat mendapatkan letter of credentials dari pemerintahnya maka hak
kekebalan dan keistimewaan pejabat missi diplomatik sudah dapat diberikan
kepada calon diplomat tersebut. Pengangkatan pejabat tersebut harus
diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima melalui
kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas
berbunyi “Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak
istimewa akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima
dalam proses menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak
saat pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau
kementerian lainnya yang disetujui.” Ketentuan mengenai awal dinikmatinya
kekebalan dan keistimewaan diplomatik bagi orang-orang yang berhak
menikmati ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928
tentang Diplomatik Officer Pasal 14 menyebutkan petugas diplomatic harus
terhormat untuk orang-orang mereka, tempat tinggal mereka, swasta atau
pejabat, dan harta benda mereka.
Serta pada Pasal 22 tentang kapan hak diplomatic officer dapat dinikmati
“Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan mereka dari saat mereka
melewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani misinya dan
dimana posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada selama
periode misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang
diperlukan bagi petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
keistimewaan dan kekebalan diplomatik berlaku sejak diplomat memasuki
wilayah negara penerima dalam rangka melaksanakan fungsi resminya. Dengan
diberlakukan pemberitahuan terlebih dahulu terhadap negara penerima. Pada
Pasal 39 ayat (2) menegaskan, jika fungsi-fungsi dari orang- orang yang
memperoleh kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berakhir maka
kekebalan dan keistimewaan yang melekat padanya secara normal akan
berakhir, yaitu pada saat ia meninggalkan negara penerima, atau pada saat
berakhirnya suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan

10
akan terus ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan
dalam hal terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima dengan negara
pengirim pun kekebalan dan keistimewaan tetap ada. Namun, atas perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut dalam rangka pelaksanaan
fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan dan keistimewaannya akan
terus disandang. Untuk menentukan berapa lama rentang waktu yang dianggap
sebagai suatu periode yang layak sangat sulit karena Konvensi Wina sendiri
tidak menjelaskan kuantitasnya, karena itu untuk menentukan lamanya waktu
berdasarkan kesepakatan negara terkait, dan pemberian waktu tersebut
didasarkan pada kebiasaan serta sopan santun internasional. Lalu berakhirnya
hak tersebut dapat juga diakibatkan atas penanggalan hak kekebalan dan
keistimewaan oleh negara pengirim. Menurut Pasal 32 ayat (1), kekebalan dan
keistimewaan harus ditanggalkan oleh negara penerima. Penanggalan atas hak
tersebut harus dilakukan secara tegas (Pasal 32 ayat (2)). Kekebalan dan
keistimewaan diplomatic bersumber pada hukum internasional sehingga yang
mempunyai hak untuk memberi dan menanggalkannya adalah subjek hukum
internasional, sehingga dalam konteks ini subjek hukum internasional adalah
negara, bukan diplomat karena posisi diplomat dalam hal ini sebagai alat
negara, bukan individu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kekebalan dan hak- hak istimewa kepala
perwakilan. Penanggalan dapat dilakukan oleh kepala negara pengirim melalui
menteri luar negeri, karena untuk pengurusan perwakilan diplomatik ini kepala
negara telah mempercayakan pada menteri luar negeri. Sedangkan yang
memutuskan apakah penanggalan kekebalan dan keistimewaan diplomatik atas
kepala perwakilan tersebut, tetap berada pada kewenangan kepala negara
berdasar pada kewenangan kepala negara berdasar pada pengaduan negara
penerima dan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh menteri luar
negeri negara pengirim dan mungkin berdasarkan saran dan pendapat anggota
parlemen negara terkait.

11
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut landasan teorinya terdapat tiga teori mengenai landasan hukum
pemberian kekebalan diplomatik di luar negeri, yaitu landasan teori
Eksterritorialitas, Representatif dan Kebutuhan Fungsional. Hak kekebalan
dan keistimewaan diplomatik dapat ditemukan dalam Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi yang mulai berlaku pada 1964 ini
menekankan kebutuhan fungsional akan hak istimewa dan kekebalan
diplomatik untuk menjalankan hubungan internasional yang efisien serta
menunjukan karakter utusan diplomatik sebagai mewakili negaranya.
Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku
sejak mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses
menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika
sebelum diangkat oleh negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik
tertentu mereka telah berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya
kekebalan hukum dan hak-hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak
mereka diangkat oleh negara pengirim.
Kekebalan dan keistimewaan diplomatic bersumber pada hukum
internasional sehingga yang mempunyai hak untuk memberi dan
menanggalkannya adalah subjek hukum internasional, sehingga dalam konteks
ini subjek hukum internasional adalah negara, bukan diplomat karena posisi
diplomat dalam hal ini sebagai alat negara, bukan individu.

12
DAFTAR PUSTAKA

Badri, J. 2001. Perwakilan Diplomatik dan Konsuler. Tirtamas: Jakarta


Latuputty, M, R. 2015. Makalah Latar Belakang Hak Kekebalan dan
Keistimewaan Diplomatik. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta
Noor, Latif dan Kadaruddin. 2016. Buku Ajar Hukum Diplomatik dan Hubungan
Internasional. Pustaka Pena Press: Makassar.
KONVENSI WINA 1961

13

Anda mungkin juga menyukai