Anda di halaman 1dari 36

PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dr. Triana Rejekiningsih, SH, KN, M.Pd


Rabu, 14 November 2018
1.
Konteks Kebangsaan dari Pendidikan
Kewarganegaraan
Konteks Kebangsaan dari Pendidikan Kewarganegaraan

Secara historis dan sosial-antropologis :


merupakan kristalisasi dari komitmen dan
Seluruh komponen bangsa harus tetap
Komitmen berbangsa dan bernegara semangat kebangsaan yang tumbuh-
meyakini urgensi dari pembangunan
Indonesia merupakan esensi dari keempat kembang dalam rangkaian historis gerakan
bangsa dan karakter (nation and character
alinea Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Kebangkitan Nasional1908, Sumpah
building)
Pemuda 28 Okt 1928, dan berpuncak pada
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Mandat psikologis-pedagogis PKn harus


Upaya menyiapkan Generasi Emas senafas dengan esensi tujuan pendidikan
Indonesia 2010-2035, perlu dihadapi nasional, yakni “...berkembangnya potensi
dengan pemberdayaan melalui peserta didik agar menjadi manusia yang
pengembangan nilai, moral, dan keadaban beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Pancasila yang diyakini merupakan Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
indikator komitmen kebangsaan yang cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
sangat kuat. negara yang demokratis dan bertanggung
jawab”
Lanjutan..
Maka pembelajaran PKn secara utuh harus mengembangkan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan kewarganegaraan,
dalam konteks penghormatan dan perwujudan kewajiban
Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa
dan haknya sebagai warga negara dalam konteks interaksi
antar warga negara, dan interaksi antara warganegara
dengan negara dalam makna statis dan dinamis

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 –


Lebih jauh ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa
2025 (UU No.17 Tahun 2007), yakni “...terwujudnya karakter
harus difokuskan pada “...tiga tataran besar, yaitu (1) untuk
bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan
menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk
bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam,
(NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang
luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik,
bermartabat.”
berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.”
Perwujudan Pengembangan Karakter

Pendekatan
Pengembangan
terintegrasi dalam
budaya satuan
semua mata
pendidikan,
pelajaran,

Pembiasaan perilaku
dalam kehidupan di
Pelaksanaan lingkungan satuan
kegiatan kokurikuler pendidikan mulai
dan ekstrakurikuler, dari pendidikan usia
dini sampai
pendidikan tinggi.
Karakter dan Karakter Bangsa
Kebijakan Nasional (2010:7) karakter sebagai “...nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata
berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam
perilaku.

Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau
sekelompok orang.

Karakter bangsa : kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman,
rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga
seseorang atau sekelompok orang

Karakter bangsa Indonesia diyakini akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas-baik yang
tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen
terhadap NKRI
Pembangunan Karakter Bangsa
Pembangunan Karakter Bangsa : “... upaya
kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan
untuk mewujudkan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang sesuai dengan dasar
dan ideologi, konstitusi, haluan negara,
serta potensi kolektifnya dalam konteks ditetapkan sejumlah strategi dasar yang
kehidupan nasional, regional, dan global mencakup “...proses sosialisasi, pendidikan
yang berkeadaban untuk membentuk dan pembelajaran, pemberdayaan,
bangsa yang tangguh, kompetitif, pembudayaan, dan kerja sama seluruh
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, komponen bangsa dan negara”
bergotong royong, patriotik, dinamis,
berbudaya, dan berorientasi Ipteks
berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh
iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa
PKn sebagai Democracy Education
Pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana pedagogis-ideologis dan sosial-kultural, yang diterima sebagai unsur
pengembangan keadaban /civility manusia sebagai warga negara yang wajib memberikan kontribusi signifikan dalam
menjalanakan dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pendidikan kewarganegaraan juga berfungsi sebagai pendidikan karakter yang bersifat multidimensional, yang
mengemban visi dan missi utuh pengembangan "civic competencies". Secara psikologis-pedagogis dalam kemampuan
tersebut terkandung sasaran edukasi : "civic knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence,
civic committment" yang bermuara pada kemampuan integratif "well informed and reasoned decision making”

Secara kurikuler dan secara sosial-kultural kewarganegaraan kesemua dimensi kemampuan itu sangat diperlukan oleh
setiap individu agar mampu memerankan diri secara perseorangan dan kolektif sebagai "participative and responsible
citizen "(CCE: 1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra:2001).

Maka secara paradikmatik mencerminkan konsepsi holistik democracy education yang biasa digambarkan dalam suatu
kontinum konsentris “education about democracy”, “education in democracy”, dan “education for democracy”
2.
Konteks Filosofis, Dan Psikologis-pedagogis
Pendidikan Kewarganegaraan
Konteks Filosofis PKn
Pembelajaran PKn
(Somantri:2016) secara Sebagai implikasinya
filosofis dikembangkan para guru PKn dituntut
dalam konteks filsafat untuk menguasai
pendidikan “Reconstructed Semua guru PKn berbagai teknis mengkaji
Philosophy”, dengan tetap seyogyanya mampu mengajar seperti:
mendudukkan Pancasila berperan/bersikap decision making process,
sebagai Central Value/ide sebagai (a) scientist, (b) resolution conflict
vitalnya Tujuan Pendidikan dedicated and well approach, problem
Nasional Indonesia informed teachers solving approach dsb

Pembelajaran PKn Dituntut untuk


memanfaatkan secara menguasai pengetahuan
eklektis mental disicpline profesional yang luas,
theories, cognitive theories, dan substansi bahan
Gestalt/Field theories atau yang luas pula,
mulai dari expository
approach sampai “inquiry
approach” untuk mendukung
tumbuhnya peran guru
sebagai director of learning
Konteks Filosofis PKn
Metode keilmuan dasar yang diadopsi
atau diadaptasi dalam pembelajaran
PKn yang lebih dikenal dengan Inquiry
approach atau pendekatan penelitian
Oleh karena itu pembelajaran PKn bersumber dari pemikiran John
secara generik mengadopsi metode Dewey
keilmuan/epsistemologi dan metode
pemberdayaan potensi peserta didik
secara terintegrasi.
Secara filosofik induk dari PKn adalah
filsafat ilmu sosial, ilmu Politik, dan
ilmu pendidikan/pedagogi > PKn
memiliki metode keilmuan atau
mode of investigation dan a
formalized and sytematized
prosedure for carrying on instruction
(Hunt and Metcalf, 1964:108; Wesley,
1966:614 dalam Somantri,2001:301).
Sintatik Inquiry Approach – John Dewey (1910)

A feeling of perflexity
Munculnya rasa penasaran/adanya masalah;

The definition of the problems


Pembatasan atas masalah yang menjadi pusat perhatian/kajian;

Suggesting and testing


hypotheses
Memberi arahan/saran pemecahan dan pengujian Hipotesis;

Development of solution, by
reasoning
Pengembangan pemecahan masalah melalui proses penalaran; dan
Testing of conclusion,
followed by reconsideration, if
necessary Menguji kesimpulan diikuti pertmbangan yang diperlukan.
Lanjutan..

Problem Solving
(Pemecahan Maslah),
Project (Proyek Belajar), Secara filosofik, akademik,
Problem-Based Learning dan pedagogik
Berpijak pada pemikiran
(Pembelajaran Berbasis dimaksudkan untuk
sintakmatik John Dewey
Masalah), Group menjadi wahana
(1910) tersebut, sampai
Investigation pedagogis dalam
dengan saat ini telah
(Pembelajaran Penelitian mengembangan
berkembang begitu
Kelompok), Social Inquiry kemampuan peserta didik
banyak model
(Penelitian Sosial), Inquiry untuk menginternalisasi
pembelajaran dengan
Oriented Transmision nilai, moral, substansi
nomenklatur baru
(Penelitian Berorientasi melalui pendekatan
Penerimaan Nilai), Value keilmuan/epistemoplogis
Inquiry (Penelitian Nilai),
dan sejenisnya
Bagaimana PKn menerapkan Pendekatan Pendidikan
Afektif?
Jawaban tentatif terhadap pengembangan nilai dan moral Pancasila adalah pendidikan
afektif

Proses penghayatan mengandung arti "proses batin”

Proses batin berkenaan dengan nilai-nilai Pancasila : disaratkan agar ada pengenalan
dan pengertian tentang nilai-nilai itu

Diharapkan terciptanya kesadaran diri sehingga individu dapat mengamalkannya.

Pengenalan dan pengertian sebagai unsur kognisi dan pengamalan sebagai unsur
konasi dipandang sebagai indikator yang dapat mendorong atau menopang adanya
dan sekaligus melukiskan tumbuhnya kesadaran diri
Lanjutan..
PKn (PMP) merupakan bidang studi
yang menonjolkan pendidikan afeksi
dan perilaku disamping kognisi

Rumusan isi yang ada dalam


program kurikulum bidang-bidang
studi terutama PMP, demikian juga
dalam pelaksanaannya
kecenderungan menekankan pada
pendidikan kognitif lebih besar,
padahal misinya adalah misi afektif
Flyn dan Lafaso (1974) mengembangkan sejumlah model pendidikan afeksi
yang berpusat pada "Communication, Freedom Happiness, Life, Peace and
Love” yang didasari asumsi perlunya hal-hal berikut :

Integration of the affective and cognitive


domains; motivation (integrasi ranah afektif dan kognitif dan motivasi);

Increased depth of learning active


(meningkatkan kedalaman pengalaman belajar aktif
experience loads to questions in student's
minds yang merangsang tumbuhnya berbagai pertanyaan)

Practice in self-expression, creativity, (praktek berekspresi diri, kreativitas, perbaikan


improved communication skills- keterampilan berkomunikasi);

Variety (keaneka-ragaman);

Development of community in class (pengembangan komunikasi dalam kelas);

Relationship to world outside classroom (hubungan dengan keadaan di luar kelas)


VCT

Model values clarification :


mencoba mengembangkan Nampak bahwa afeksi ini
Langkah-langkah : opinion
Simon, Howe, dan afeksi dalam hal ini dikembangkan melalui
making, decision making,
Kircherbaum (1972) keyakinan pada suatu nilai pendekatan intelektual dan
and action
melalui proses intelektual perilaku.
yang dinamis.
Bagaimana PKn menerapkan Pendekatan
Perkembangan Nilai dan Moral?
Konsepsi pendidikan moral,
perlu dipahami dari beberapa
penelitian tentang
perkembangan moral dan
pendidikan moral

Teori Perkembangan Kognitif Teori Perkembangan Moral


Jean Piaget Kohlberg
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Dua tingkatan perkembangan pada usia enam sampai 12 tahun, yakni


tingkat Heteronomi dan Autonomi.

• Pada tingkatan heteronomi segala aturan dipandang oleh anak sebagai aturan yang
datang dari luar, jadi bersifat eksternal dan dipandang suci (sacred) karena hal itu telah
ditata dan diletakkan oleh orang dewasa.
• Sedangkan pada tingkatan autonomi anak mulai menunjukkan kebebasannya dari
pengaruh luar.

Rasa wajib dari anak pada tahap heteronomi dipandang sebagai


penjabaran dari perintah dan pengaruh orang dewasa. Dengan kata
lain moral realism akan tercapai pada tahap autonomi.
Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap-Tahap Umur Kemampuan
Sensori-motorik 0-2 tahun Pembentukan konsep objek dan kemajuan bertahap dari
perilaku refleks ke perilaku yang diarahkan oleh tujuan
Praoperasional 2-7 tahun Perkembangan kemampuan menggunakan simbol-simbol
yang menggambarkan objek yang ada di sekitarnya. Berpikir
masih egosentris dan berpusat.
Operasional 7-11 tahun Mampu berpikir logis. Mampu konkret memperhatikan lebih
dari satu dimensi sekaligus dan juga dapat menghubungkan
dimensi ini satu sama lain. Kurang egosentris. Belum bisa
berpikir abstrak.
Operasional 11tahun- Mampu berpikir abstrak dan dapat menganalisis masalah
formal dewasa secara ilmiah dan kemudian menyelesaikan masalah.
Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
(1971)
• I. Tingkat Prakonvensional (Preconventional Level)
– Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and
obedience orientation) : hal yang menentukan kebaikan atau
keburukan dari sesuatu tindakan, ialah konsekuensi fisik (physical
consequencies) dan bukan nilai atau arti dari konsekuensi ini.
– Tahap 2: Orientasi instrumental relatif (Instrumental relativist
orientation) : suatu tindakan dipandang baik apabila secara
instrumental memberikan kepuasan diri sendiri dan sewaktu-waktu
memenuhi kebutuhan orang lain. Dalam konteks ini berlaku prinsip
you sctrath my back and I'll sctratch yours, atau utang gula dibayar
gula, utang garam dibayar garam
• II. Tingkat Konvensional (Conventional Level)
– Tahap 3: Orientasi untuk disebut Anak/orang baik.(interpersonal
concondance or "good boy-nice girl" orientation) : suatu
tindakan dipandang baik, apabila menyenangkan atau dapat
membantu orang lain dan disetujui oleh orang lain
– Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order
orientation) : adanya orientasi pada otoritas aturan yang pasti
dan pada pemeliharaan ketertiban sosial. Prilaku yang balk
adalah prilaku yang menunjukkan pelaksanaan kewajiban
seseorang, penghargaan terhadap otoritas, dan pemeliharaan
ketertiban sosial.
• III. Tingkat Konvensional Akhir, Autonomi, Prinsipal (Post-
Conventional, Autonomous, or Principled Level)
– Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistik (social-contract legalistic
orientation) : tindakan yang dianggap baik/benar cenderung untuk
dilihat dari hak-hak umum individu dan dalam arti standar (ukuran)
yang secara kritis telah diuji dan disepakati oleh seluruh masyarakat
– Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal (universal, ethical principle
orientation) : suatu kebaikan, didefinisikan atas dasar keputusan hati
nurani yang sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri
yang menunjukkan sifat komprehensif, universal, dan ajek (consistent)
Paradigma Pembelajaran Nilai
Pengertian generik belajar : interaksi
antara individu dengan seluruh unsur
Prinsip dasar pendidikan nilai “value is
lingkungan yang memungkinkan
neither taught nor cought, it is Kata kuncinya adalah belajar
berkembangnya potensi individu
learned”
sehingga menjadi manusia dewasa
yang berbudaya dan berkeadaban

Proses pemberdayaan, pendewasaan,


pembudayaan, dan pemberadaban itu
Konteks kehidupan tempat individu
tidaklah berlangsung dalam situasi Pembelajaran nilai, dalam pengertian
belajar sepanjang hayatnya tidaklah
yang hampa atau vakum melainkan value development and value
statis melainkan bersiklus-berjenjang
dalam kehidupan masyarakat, bangsa, education niscaya harus berlangsung
atau cyclical mengikuti proses
negara, dan dunia yang kompleks di dalam lingkungannya
sosialisai dalam masyarakatnya
(manusia lahir, hidup dan akhirnya
mati dalam lingkungannya)
Model Gordon tentang Perkembangan Siklus Kehidupan
Manusia (Kombinasi dari Piaget, Kohlberg dan Bull)
Lanjutan..
Winataputra : Jenjang Pendidikan Formal Dalam Konteks Tahap Siklus
Kehidupan (disesuaikan dengan jenjang pendidikan di Indonesia)
Model adaptasi tersebut dengan pengayaan Simon, Howe, dan Kirchenbaum (1972)
berbagai paradigma konseptual pendidikan mengemukakan empat model dasar pembelajaran
nilai/moral, maka dapat dikembangkan paradigma nilai yakni : Moralizing is the direct, a laissez-faire
generik model pembelajaran nilai untuk dunia attitude toward the transmission of values,
persekolahan modeling, dan the values clarifikation approach.
Model a laissez-faire attitude toward
Moralizing is the diretc atau model Model the values clarification
the transmission of values atau
direktif approach atau klarifikasi nilai
model membangun nilai bebas
• Bertolak dari konsep inculcation of • Bertolak dari filsafat individualisme • Bertolak dari anggapan bahwa
the adult’s values upon the young yang beranggapan bahwa di dunia generasi muda mempunyai
atau penanaman nilai orang dewasa ini tidak ada suatu nilai yang kemampuan untuk membangun
kepada generasi muda. dianggap baik oleh semua orang, nilai untuk dan dalam dirinya.
• Dilandasi oleh filsafat perenialsme • Memberikan otonomi kepada • Tugas orang dewasa adalah
dalam pendidikan : di dunia ini individu untuk memilih nilai yang membantu generasi muda
sudah ada perangkat nilai yang dipandangnya baik. membangun nilai tersebut melalui
terkaji dari genertasi ke generasi. fasilitasi dalam menjawab berbagai
• Tugas orang dewasa adalah persoalan nilai sehari-hari.
menurunkan atau mentransmisikan • Model ini berpijak dari anggapan
nilai itu secara sengaja. bahwa secara psikologis individu
mempunyai potensi atau fitrah atau
talenta yang diberikan oleh
pencipta sebagai bekall mengarungi
kehidupannya di dunia sebagai
khalifah atau pemimpin.
• Jika semua paradigma atau model konseptual itu dikaitkan dengan
dua prinsip pendidikan nasional pendidikan : pendidikan
diselenggarakan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan
yang berlangsung sepanjang hayat, dan pendidikan yang
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas (Pasal 4 ayat 3 dan 4
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas), maka dapat
dikembangkan model-model konseptual pembelajaran nilai, yang
sekaligus dikaitkan dengan deskripsi siklus kehidupan
Sehingga..
• Pada dasarnya untuk setiap tingkat dalam jenjang pendidikan dapat
diterapkan beberapa model secara berdiri sendiri atau secara eklektik atau
kombinasi. Namun demikian pada tingkat yang lebih tinggi secara
repetivtif-kumulatif digunakan lebih banyak model sebagai perluasan dari
tingkat sebelumnya dengan prioritas yang tidak sama.
– TB/TK/RA modeling dan model direktif lebih sesuai dengan perkembangan
nilai/moral dan siklus kehidupannya.
– SD/MI selain modeling dan model direktif dapat dikembangkan model
klarifikasi nilai. Demikan pula untuk SMP/MTs.
– Sementara untuk SMA/MA selain model yang digunakan di SMP/MTS dapat
diterapkan model membangun nilai bebas.
• Siklus kehidupan digunakan sebagai latar dari pembelajaran nilai.
Lanjutan..
• Model konseptual pembelajaran nilai yang secara akademis paling solid adalah model yang
dikaitkan dengan perkembangan nilai/moral, khususnya yang berpijak pada cognitive moral
development Piaget dan Kohlberg
• Tahap perkembangan nilai/moral mempunyai nilai universalitas, artinya bebas budaya. Yang terkait
budaya adalah moral content-nya bukan the structure of moral reasoning-nya.
• Hasil penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa urutan perkembangan tampak bersifat
universal, tetapi tingkat penalaran yang dicapai seseorang dan malahan isi penalaran sangat
dipengaruhi kuat oleh perbedaan budaya dan tingkat kemajuan atau modernisasi.
• Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa …not all individuals will reach the higher stages of moral
reasoning. Tidak semua orang akan mencapai tingkat penalaran moral yang lebih tinggi ketika ia
mencapai dewasa.
• Contohnya kebanyakan orang Amerika (65%) ternyata tidak mencapai tingkat penalaran di atas 3
dan 4 (conventional level), dan ada sekira 15 % ternyata tidak beranjak dari tingkat 1 dan 2
(preconventional level). Hal itu dapat dijelaskan yang ternyata berpengaruh pada tingkat penalaran
moral adalah general logical thinking abilities atau kemampuan berpikir logis umum dan
lingkungan sosial yang tidak cukup memfasilitasi role-taking behavior atau prilaku empatik atau
berpijaki pada posisi orang lain (Bagaimana jika saya menjadi dia).
Model Generik Pembelajaran Nilai
(Winataputra:2005)
Penjelasan
Proses pembelajaran nilai merupakan proses
fasilitasi-dialogis antara pendidik dan peserta
Misi utama pembelajaran nilai adalah
didik dalam rangka mewujudkan isi dan
meningkatkan kualitas penguasaan Ukuran kualitas penguasaan nilai adalah
metodologi kurikulum yang dimaksudkan
(pemahaman, penghayatan dan tingkat perkembangan nilai heteronomis
untuk menghasilkan lingkungan dan iklim
pengamalan) individu terhadap suatu nilai menuju nilai autonomis melalui proses
belajar yang kondusif bagi pemahaman,
sebagai bagian yang melekat dari internalisasi dan personalisasi.
penghayatan, dan pengamalan nilai oleh
karakteristik pribadinya.
individu dalam konteks sosial-kultural
lingkungannya.

Lingkungan sosial-kultural yang berkualitas,


Guru dapat berperan secara dinamis sebagai
dalam pengertian merangsang individu untuk Model generik pembelajaran nilai bersifat
mitra dialog, teladan, penggali nilai,
meningkatkan kualitas penguasaan nilainya holistik, terkait sosial-kultural, fasilitatif-
penopang kajian, pengembang nilai,
sangat diperlukan untuk memfasilitasi dialogis, dan berorientasi pada peningkatan
transformator nilai, penguat, dan pengelola
peningkatan tingkat perkembangan nilai tahap perkembanmgan nilai individu.
pembelajara nilai yang efektif
dalam diri masing masing individu.
- Terima Kasih -

Anda mungkin juga menyukai