Anda di halaman 1dari 9

Nama Mahasiswa : Eva M.

Fenetiruma
NIM : 19062049

LAPORAN PENDAHULUAN
HYPONATREMIA
A. Defenisi
Hipernatremia dan hiponatremia sering terjadi pada usia lanjut. Hpernatremia pada usia
lanjut paling sering disebabkan oleh kombinasi dari asupan cairan yang tidak adekuat dan
bertambahnya kehilangan asupan kehilangan cairan. Gangguan mekanisme dari rasa haus dan
hambatan akses terhadap cairan (sekunder dari gangguan mobilitas atau menelan) terur
berkontribusi dalam timbulnya hipernatremia pada usia lanjut selain adanya keterlambatan
eskresi natrium. Kehilangan air murni pada keadaan demam, hiperventilasi dan diabetes
insipidus. Lebih sering, kehilngan airhipoteonik disebabkan oleh problem saluran cerna. , luka
bakar, terapi diuretika atau dieresis osmotic. Seringkali deteksi hipernatremia pada usia lanjut
terlambat dilakukan sehingga usia lanjut yang lemah dapat jatuh pada keadaan hipernatremia
yang bermakna. Pada penderita dengan demensia sangat mudah mengalami hipernatremia karena
penurunan rasa haus, gangguan kemampuan untuk meminta air karenan penurunanrasa haus,
gangguan kemampuan untuk meminta air dan mungkin, rendahnya kadar vasopressin. Penyebab
penting lainnya adalah hiperkalsemia yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan sel pada
gelung Henle dan berinteraksi dengan vasopressin pada tingkat duktus kolektus. Hipokalemia
yang bermakna juga dapat menyebabkan hipernatremia. (Rinadilla,2015).
Hiponatremia adalah sebuah gangguan elektrolit (gangguan pada garam dalam darah)
dimana konsentrasi natrium dalam plasma lebih rendah dari normal, khususnya di bawah 135
meq/L. Sebagian besar kasus hiponatremia terjadi dalam hasil orang dewasa dari jumlah berlebih
atau efek dari hormon penahan air yang dikenal dengan nama hormon antidiuretik.
Hiponatremia paling sering merupakan komplikasi dari penyakit medis lain yang dimana
banyak cairan kaya natrium yang hilang ( misalnya karena diare atau muntah ), atau kelebihan air
yang terakumulasi dalam tubuh pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat dieksresikan.
Mengenai hilangnya natrium sebagai penyebab hiponatremia, penting untuk dicatat bahwa
kerugian tersebut mempromosikan hiponatremia secara tidak langsung. Secara khusus,
hiponatremia yang terjadi dalam hubungan dengan hilangnya natrium tidak mencerminkan
ketersediaan natrium memadai sebagai akibat dari kerugian. Sebaliknya, hilangnya natrium
menyebabkan keadaan deplesi volume, dengan deplesi volume melayani sebagai sinyal untuk
pelepasan ADH. Sebagai hasil ADH dirangsang retensi air, natrium darah menjadi hasil
diencerkan dan hiponatremia. (Dani Redarmy, 2015)
C. Klasifikasi
Hipernatremia (natrium serum di atas 150 mEq/L) merupakan gangguan elektrolit yang
lazim dijumpai pada pasien di bangsal perawatan dan unit rawat intensif. Pasien hipernatremia
dikelompokkan dalam 3 kategori:
1. Ringan, kadar serum 151 sampai 155 mEq/L;
2. Moderate, 156 sampai 160 mEq/L; dan
3. Berat, di atas 160 mEq/L.

D. Etiologi

Hiponatremia dapat dikategorikan dalam tiga cara utama berdasarkan osmolalitas plasma.

1. Hipertonik hiponatremia, disebabkan oleh penyerapan air yang ditarik oleh osmol seperti
glukosa ( hiperglikemia atau diabetes ) atau manitol ( infus hipertonik ).
2. Hiponatremia isotonik, lebih sering disebut pseudohiponatremia disebabkan oleh
kesalahan laboraturium karena hipertrigliseridemia atau hiperparaproteinemia.
3. Hiponatremia hipotonik sejauh ini merupakan jenis yang paling umum. Hiponatremia
hipotonik dikategorikan dalam 3 cara berdasarkan status volume pasien darah.
a. Hipervolemik hiponatremia dimana ada penurunan volume sirkulasi efektif
walaupun volume total tubuh meningkat. Volume menurun beredar efektif
menstimulasi pelepasan ADH yang menyebabkan retensi air. Hipervolemik
hiponatremia yang paling umum akibat dari gagal jantung kongensif, gagal hati
atau penyakit ginjal.
b. Euvolemik hiponatremia dimana peningkatan ADH sekunder baik fisiolagis
namun rilis ADH yang berlebihan ( seperti mual atau sakit parah ) atau
disebabkan oleh sekresi yang tidak pantas dan non- fisiologis ADH, yaitu sindrom
hipersekresi hormon antidiuretik tidak pantas ( SIADH ).
c. Hipernatremia hipovolemik dimana sekresi ADH dirangsang oleh deplesi volume.
Klasifikasi volemik gagal memasukkan hiponatremia palsu dan artifikulasi yang
dibahas dalam klasifikasi osmolar.
E. Manisfestasi Klinik
Tanda dan gejala hiponatremia dapat termasuk:
1. Mual dan muntah
2. Sakit kepala
3. Kebingungan
4. Kehilangan energy
5. Kelelahan
6. Gelisah dan mudah marah
7. Kelemahan otot, kejang atau kram
8. Kejang
9. Pingsan
10. Koma

F. Patofisiologi

Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan rangsangan haus.
AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh hipotalamus dan di transportasikan
melalui axon ke hipofisis posterior. AVP berperan dalam mengatur homeostasis. Aktivasi
reseptor AVP menyebabkan ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh
baroresptor di sistem saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil
bagi dari jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu 280-285
mOsm/Kg/H20.2,3,4,5
1. Hiponatremia Isotonik
Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan normal.
Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun hiperproteinemia.
Plasma tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut). Hiperlipidemia dan hiperproteinemia
meningkatkan solut plasma dan menurunkan jumlah cairan plasma, sehingga pada
keadaan ini terjadi pseudohiponatremi. Dimana denominator dalam penghitungan jumlah
natrium plasma menjadi lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi turun.
2. Hiponatremia Hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada
keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan jumlah
solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun.
a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok
sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan
osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas urin <100 mOsm/kg
menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-solute potomania.
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering pada
pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan, dan biasanya
melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan dengan supresi osmotik
terhadap pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas. Sehingga, urin
terdilusi dan osmolalitas rendah (biasanya < 100 mOsm/kg).
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat berhubungan
dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk pelepasan AVP dan disregulasi
stimulus osmotik terhadap rangsangan haus. Terlebih lagi, pada penggunaan
antipsikotik tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga lebih dianjurkan
penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini.
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang berlebihan terhadap
cairan rendah solut yang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik.
Contohnya adalah konsumsi alkohol yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut
(seringkali < 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut dapat menyebabkan dan
memperburuk hiponatremia terutama pada pasien sirosis alkoholik, dimana
seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP dan memiliki insufisiensi ginjal.
Meskipun begitu potomania sendiri seringkali tidak sufisien untuk mengakibatkan
kondisi hiponatremia, sehingga adanya disregulasi dan gangguan pada ekskresi
ginjal dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kondisi hiponatremia.
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and cerebral salt-
wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi) juga dilaporkan dapat
menyebabkan hiponatremia pada pengguna alkohol.
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas urin
>100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana terdapat peningkatan AVP yang
mengakibatkan adanya urin yang kurang terdilusi. Kondisi lainnya seperti
endokrinopati dan syndrome of inappropriate antidiuresis (SIADH), dimana
adanya sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan sindrom
nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu, pada SIADH terdapat
peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan kalkulasi dari fraksi ekskresi asam
urat yang dapat memberikan tanda untuk diagnosis, dimana pada pasien normal
fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10 %.
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal, penting untuk
diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap hiponatremia hipotonik
euvolemik karena juga dapat mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP.
Hipotiroid jarang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun dapat
bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L), dan meskipun
mekanisme penyebabnya masih belum jelas, adanya peningkatan sirkulasi AVP
yang tidak sesuai dapat menjadi penyebab adanya retensi cairan.
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik,
meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas dan juga berhubungan
dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan plasma AVP.
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik euvolemik dan
gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak ditemukannya insufisiensi renal,
insufisiensi adrenal, ataupun adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya.
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum teridentifikasinya AVP
sebagai hormon penyebab. Awalnya, pelepasan AVP diperkirakan menjadi
penyebab independen terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak ditemukan
pada semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien hiponatremia dengan urin
yang terdilusi, pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun pada konsentrasi
natrium plasma dibawah normal, kondisi yang disebut reset osmostat syndrome.
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi genetik yang
menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan tidak adanya pelepasan
AVP, fenomena yang disebut NSIAD. Contohnya adanya aktivasi mutasi dari
reseptor V2, mutasi pada gen yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air
pada tubulus kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang
memiliki mimik AVP. 2
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk dapat
terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik, memiliki osmolalitas urin
lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki efektivitas osmolalitas plasma yang
rendah. Selain itu, intake air yang berlebihan dibutuhkan untuk terjadinya
hiponatremia.

Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki aksi mimik AVP. Menstimulasi
untuk pelepasannya. Atau menguatkan aksi AVP dapat menyebabkan SIADH. Termasuk AVP
analog, narkotik, atau antipsikotik. Contohnya oksitosin yang memiliki AVP-like effect yang
dapat menyebabkan intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat
meningkatkan efek AVP, terutama pada lansia, dan wanita, pengguna diuretik, atau pada
konsentrasi plasma natrium yang rendah. Exercise-associated hiponatremia juga menjadi kriteria
diagnosis esensial pada SIADH. Konsumsi cairan hipotonik pada saat olahraga yeng berlebihan
mengakibatkan adanya absorbsi yang tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang
memanjang dan retensi air. Intake air yang berlebihan dan perubahan hormon saat olahraga
merupakan faktor utama dibandingkan faktor-faktor lainnya. Stimuli nonosmostik lainnya juga
berhubungan saat olahraga yang cukup lama. Meskipun volume intravaskular diperbaiki,
rangsangan nonosmotik terus merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya, regulasi normal
volume cairan ekstraseluler dan translokasi natrium yang aktif pada sirkulasi ke tempat
penyimpanan tidak dapat terja (Budy Rahmanto,2016)
G. Patway

H. Pemeriksaan Penunjang

Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Leukosit 8,1 4.0-10,0 10^3/uL
Eritrosit 3,13 4,70-6,10 10^6/uL
Hemoglobin 9,7 13,0-16,5 g/dL
Hematokrit 27,8 39,0- 51,0 %
Trombosit 134 150-456 10^3/mL
MCH 31,0 27,0-35,0 pg
MCHC 34,9 30,0-40,0 g/dL
001 Eosinofil 2 1-3 %
002 Basofil 0 0-1 %
003 Netrofil batang 3 2-3 %
004 Netrofil 67 50-70 %
segmen
005 Limfosit 21 20-40 %
006 Monosit 7 2-8 %
MCV 88,8 80,0-100,0 fL
Kimia Klinik
SGOT 28 33 U/L
SGPT 23 < 33 U/L
Chlorida darah 23,0 < 43 mEq/L
Kalium darah 42 98,0-109,0 mEq/L
Natrium darah 160 135-153 mEq/L

I. Penatalaksaan
Pengobatan hiponatremia ditujukan untuk mengatasi penyebab yang mendasari. Jika
memiliki hiponatremia kronis akibat diet, diuretik atau minum air terlalu banyak, dokter dapat
merekomendasikan untuk mengurangi asupan cairan. Dokter mungkin juga menyarankan
penyesuaian penggunaan diuretik untuk meningkatkan kadar natrium dalam darah.
Jika memiliki hiponatremia berat dan akut, maka akan membutuhkan pengobatan yang
lebih agresif. Pilihan pengobatan tersebut dapat meliputi:
1. Cairan intravena
2. Obat-obatan untuk mengelola tanda dan gejala hiponatremia, seperti sakit kepala, mual
dan kejang.
3. Terapi hormon
J. Komplikasi
1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung
Referensi
https://www.scribd.com/doc/289157959/makalah-hipernatremia-dan-hiponatremia
https://www.scribd.com/doc/283117393/makalah-hiponatremia
Rahmanto Budy, 2016 https://www.scribd.com/doc/314134773/HIPONATREMIA
https://www.scribd.com/doc/155111242/HIPONATREMIA

Anda mungkin juga menyukai