METODE
Secara garis besar tahapan yang dilakukan adalah: (1) pengambilan sampel ikan sapu-
sapu (Hyposarcus pardalis), (2) preparasi sampel hingga proses digesti sampel dengan
menggunakan campuran HNO3-H2SO4, (v/v) pada suhu 100oC, (3) penetapan kadar tembaga
(Cu) dalam sampel dengan menggunakan AAS.
Pengambilan Sampel
Sampel ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) diambil di Bendungan Lengkong Baru
(titik A), dan di sungai daerah Jembatan Sepanjang (titik B), Surabaya. Ikan sapu-sapu
didapatkan dengan cara menjaringnya, kemudian dimasukkan dalam box pendingin untuk
mengawetkannya agar tidak membusuk.
Preparasi Sampel dan Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada
Suhu 100oC
Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang telah beku, direndam dalam airdahulu agar
ikan menjadi lunak. Ikan dicuci bersih kemudian isi perut dikeluarkan dagingnya, dipisahkan
dari kulit dan dipotong kecil-kecil kemudian dicuci dengan akuades lalu ditimbang massa
basahnya. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 12 jam. Kulit dan daging
ikan kering digerus sampai halus dalam mortar, diayak dengan ukuran 50 mesh, kemudian
dipanaskan sekitar 100oC selama 15 menit lalu ditimbang massanya. Prosedur terakhir
(pengeringan) dilakukan hingga diperoleh massa konstan dari sampel.
Proses digesti digunakan pelarut berupa campuran HNO3 5 M dan H2SO4 5 M dengan
berbagai perbandingan volume (mL) sebesar 10:30, 15:25, 20:20, 25:15, dan 30:10. Sebanyak
3 gram sampel dilarutkan dalam masing-masing pelarut dan dipanaskan pada suhu 100oC
selama 2 jam. Larutan sampel kemudian didiamkan hingga dingin dan disaring. Filtrat yang
diperoleh kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume 50 mL.
Penetapan Kadar Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu
(Hyposarcus pardalis)
Filtrat yang telah diencerkan dengan akuades sampai 50 mL dilakukan uji kandungan
tembaga (Cu) total menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) pada = 324,8 nm
secara kurva kalibrasi
HASIL
Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada Suhu 100oC
Data hasil penentuan kadar Cu dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu menggunakan
AAS ditunjukkan oleh Tabel 1. Data pada Tabel 1 kemudian disajikan dalam bentuk grafik
yang ditunjukkan oleh Gambar 1. dan Gambar 2.
Tabel 1. Kadar Cu dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis) dengan
Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v)
12
Kadar Cu (ppm) 10
8
6
DB
4
2 DA
0
10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
Perbandingan volume HNO3-H2SO4
8
Kadar Cu (ppm)
6
4
2 KB
0 KA
10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
Perbandingan volume HNO3 - H2SO4
Penetapan Kadar Logam Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-
Sapu (Hyposarcus pardalis)
Berdasarkan data Tabel 1, dapat diketahui kadar logam Cu dalam jaringan kulit dan
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar Cu dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis) dengan
Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v)
PEMBAHASAN
Preparasi Sampel dan Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada
Suhu 100oC
Sebelum proses digesti, kulit dan daging ikan dihomogenkan dengan cara digerus
sampai halus dalam mortar. Hal tersebut dilakukan agar kadar Cu yang ada dalam kulit
maupun daging terhomogenkan, sehingga dalam setiap pengambilan sampel untuk digestasi
memiliki kadar Cu yang sama. Selain itu, penggerusan sampai halus akan memperkecil luas
permukaan daging dan kulit ikan sapu-sapu yang diuji. Hal ini akan mempermudah interaksi
antara sampel dengan agen pendisgesti sehingga Cu yang akan diukur kadarnya dapat
terdigesti dengan baik
Pada proses penimbangan, sampel dipanaskan terlebih dahulu sampai diperoleh massa
yang konstan. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air dalam daging ikan, karena
air yang terkandung dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
mengganggu proses digesti.
Proses digesti menggunakan digestor berupa campuran HNO3-H2SO4 dalam berbagai
variasi perbandingan volume. Peranan HNO3 dalam proses ini sebagai oksidator logam Cu.
Berbeda halnya dengan H2SO4. Asam ini tidak mampu mengoksidasi Cu sehingga peranannya
dalam proses digesti adalah agen pendegradasi senyawa organik. Pemilihan H2SO4 sebagai
pendegradasi senyawa organik karena kemampuannya sebagai zat pendehidrasi yang sangat
baik. Asam ini mampu memisahkan atom-karbon dengan oksigen dan hidrogen di dalam
senyawa organic menjadi karbon dan air. Kemampuan ini tidak dimiliki pleh HNO3. Apabila
asam ini direaksikan dengan senyawa organik, proses degradasi tidak akan berlangsung.
HNO3 sebagai oksidator kuat hanya mampu merubah karbon dalam senyawa organik menjadi
CO2 pada suhu 200o C (Matusiewicz, tanpa tahun:205).
Khasanah (2012) menggunakan asam nitrat pada berbagai variasi konsentrasi dan suhu
diperoleh hasil konsentrasi optimum untuk digesti yaitu 12 M dan suhu optimum 110oC.
Khasanah menyimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi asam nitrat, kadar Cu yang
terukur semakin besar pula. Kohar dkk (2005), juga asam nitrat pekat pada suhu 75oC. Hseu
(2004) membandingkan 4 metode digesti, yaitu (1) digesti asam nitrat pekat ditempatkan
dalam tabung digesti kemudian dipanaskan pada suhu 150oC selama 8 jam, (2) digesti kering,
dengan asam nitrat 5 M dipanaskan pada suhu 480oC selama 4 jam, (3) digesti asam sulfat
pekat yang dipanaskan pada suhu 250oC selama 30 menit, dan (4) digesti campuran HNO3
pekat dan HClO4 pekat yang dipanaskan dalam 150oC selama 8 jam. Hasil penelitian Hseu
diperoleh bahwa penggunaan campuran asam nitrat dan asam perklorat merupakan yang
paling baik diantara ketiga metode yang dibandingkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Khasanah dan Hseu, peneliti menyimpulkan
bahwa apabila menggunakan asam pekat maka suhu digestinya tidak terlalu tinggi, sehingga
dalam penelitian digunakan konsentrasi kedua asam sama yaitu 5 M pada suhu 100oC.
Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa perbandingan volume HNO3-H2SO4 terbaik
sebagai digestor Cu pada daging ikan sapu-sapu terletak pada pencampuran 25 mL HNO3 5 M
dan 15 mL H2SO4 5 M . Sedangkan untuk kulit ikan sapu-sapu, kadar Cu optimum diperoleh
pada digesti menggunakan pencampuran 20 mL HNO3 5 M dan 20 mL H2SO4 5 M yang
ditunjukkan pada Gambar 2
Pada Gambar 1 tampak bahwa perbandingan HNO3-H2SO4 optimum. pada
pencampuran 25:15. Hal ini sesuai dengan pernyataan Twyman (2005) bahwa HNO3 mampu
melarutkan Cu lebih baik daripada H2SO4. Hal ini disebabkan karena HNO3 merupakan asam
oksidator dan H2SO4 adalah asam non oksidator, sehingga logam Cu yang tidak mampu
dioksidasi oleh H2SO4 akan teroksidasi oleh HNO3. Kadar Cu yang dianalisis mulai menurun
pada perbandingan volume HNO3-H2SO4 30:10. Hal ini dapat disebabkan volume H2SO4 yang
digunakan sebagai digestor semakin sedikit sehingga proses degradasi senyawa organik pada
sampel tidak berlangsung dengan baik. Berkurangnya volume H2SO4 menyebabkan sebagian
Cu di dalam sampel tidak bisa dilarutkan oleh HNO3 karena masih terikat pada senyawa
organik yang tersisa.
Kulit ikan sapu-sapu dibutuhkan lebih banyak H2SO4 untuk memperoleh kadar Cu
tertinggi pada saat analisis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakter jaringan dari
kulit dan daging ikan sapu-sapu. Kulit ikan sapu-sapu memiliki tekstur yang keras dan
memiliki karakter hampir mirip dengan cangkang kura-kura.yang tersusun atas keratin atau
zat tanduk. Keratin merupakan suatu protein yang sangat stabil dibandingkan dengan protein
lainnya (Whewell, 1960:212). Hal inilah yang menyebabkan pendegradasian komponen
organik pada kulit ikan sapu-sapu membutuhkan lebih banyak H2SO4. Hal tersebut tampak
pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2 tampak bahwa awalnya kadar Cu meningkat seiring dengan
penambahan volume HNO3. Namun setelah penambahan HNO3- H2SO4 pada perbandingan
20:20, kadar Cu yang dianalisis menurun seiring dengan penurunan volume H2SO4 yang
ditambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan H2SO4 di bawah 20 mL sudah tidak
mampu mendegradasi senyawa organik di dalam kulit ikan sehingga Cu di dalamnya tidak
dapat terlarut oleh HNO3 dengan sempurna.
Penetapan Kadar Logam Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-
Sapu (Hyposarcus pardalis)
Berdasarkan data Tabel 1, dapat diketahui kadar logam Cu dalam jaringan kulit dan
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang ditunjukkan pada Tabel 2. Kadar Cu tertinggi
pada daging ikan sapu-sapu diperoleh pada proses digesti menggunakan HNO3-H2SO4 dengan
perbandingan volume 25:15. Kadar Cu pada Daging A sebesar 72,6183 mg/kg berat kering
dan 92,8933 mg/kg berat kering untuk daging B. Kadar Cu pada perbandingan optimum
HNO3-H2SO4 untuk jaringan kulit adalah 63,0283 mg/kg untuk kulit A dan 52,4817 mg/kg
berat kering untuk Kulit B. Dari data tersebut tampak bahwa kadar Cu tertinggi terdapat pada
daging ikan sapu-sapu. Hal ini karena kandungan protein yang mengikat Cu dalam kulit lebih
sedikit daripada daging.
Tembaga (Cu) dalam ikan terikat pada protein metallothienin yang berperan besar
dalam proses terjadinya akumulasi logam berat di dalam jaringan. Logam Cu yang terdapat di
perairan akan masuk melaui insang dan terikat pada metallothienin dalam darah kenudian
tersebar ke seluruh jaringan tubuh. Perbedaan jumlah sel dan luas permukaan jaringan total
antara kulit dan daging yang terdapat dalam satu ekor ikan menyebabkan jumlah akumulasi
logam berat di kedua bagian ini berbeda. Daging yang memiliki luas permukaan, jumlah sel
dan jaringan lebih banyak daripada kulit ikan akan mengandung logam berat lebih banyak.
Selain itu intensitas paparan jaringan terhadap Cu di perairan juga berpengaruh. Linder dan
Azam (1996:799) menyatakan bahwa Cu tidak dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa penyebaran logam Cu di dalam tubuh ikan
terjadi sebagian besar melalui darah, sehingga daging yang merupakan bagian dalam dari
tubuh ikan memiliki intesitas paparan yang lebih tinggi daripada kulit.
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian maka saran yang diajukan dirumuskan
sebagai berikut: Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai (1) keadaan optimum digesti
dengan variasi suhu dan waktu, (2) logam berat lain dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis), (3) perbandingan digesti basah dan kering, dan (4) recovery digesti
dengan HNO3-H2SO4.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 1996. Analytical Methods for Atomic Absorption Spectroscopy. California: The
Perkin Elmer Inc.
Anonim. 2010. Kualitas Air Surabaya Mengalami Penurunan., (online).
(http://lh.surabaya.go.id diakses pada 14 September 2012)
Ambedkar, G. & Muniyan, M. 2011. Bioaccumulation of Same Heavy Metals in Selected
Five Freshwater Fish from Kollidam River, Talimandu, India. Pelagia Reasearch
Library, 5 (2011):221-225.
Astawan, M. 21 September 2008. Bahaya Logam Berat dalam Makanan., (online),
(http://kesehatan.kompas.com, diakses pada 14 September 2012).
Costa, S. C & Hartz, S. M. 2009. Evaluation of Trace Metals (Cadmium, Chromium, Copper
and Zinc) in Tissues of a Commercially Important Fish. (Leporinus obtusidens)
from Guaíba Lake, Southern Brazil. Brazilian Archives of Biology and
Technology.52: 241-250.
Coyle P, Philcox J. C, Carey L.C., & Rofe A. M. 2002. Metallothionein: The Multipurpose
Protein. Cell Mol Life Sci.59(4):627-47.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press: Jakarta
Eisler, R. 1998. Copper Hazards to Fish,Wildlife, and Invertebrates: Synoptic Review. U.S.
Geological Survey Biological Resources Division.
Eneji, I. S., Sha’ato R. & Annune P. A. 2011. Bioaccumulaiton of Heavy Metals in Fish
(Tilapia Zili And Gariepinus) Organs from River Benue, North–Central Nigeria.
Pak. J. Anal. Environ. Chem., 12 (2011) 25-31.
Heidary, S., Namin I. & Monsefrad F. 2011. Bioaccumulation of Heavy Metals Cu, Zn, and
Hg in Muscle and Liver of the Stellate Sturgeon (Acipenser Stellatus) in Caspian
Sea and Their Correlation with Growth Parameters. Iranian Journal of Fisheries
Science, 11 (2011): 325-337.
Higdon, Jane. 2003. Copper (online), (http://lpi.oregonstate.edu, diakses 17 Desember 2012)
Hseu, Z. Y. 2004. Evaluating Heavy Metal Content in Nine Composts using Four Digestion
Methodes. Bioresource Technology. 95: 53-59.
Khasanah, N. U. 2012. Penetapan Kadar Tembaga (Cu) dalam Daging Ikan Sapu-Sapu
(Hyposarcus pardalis) Menggunakan Digestasi-HNO3. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: FMIPA UM.
Kohar, I., Budiono, R., Indriany, D., & Wilujeng, N. S. 2005. Studi Kandungan Logam Berat
dalam Daging Ikan dari Tambak yang Dekat dan yang Jauh dari Daerah Industri.
Berk. Penel. Hayati. 10 : 111–115.
Kottelat, M. A. J., Whitten, S. N., Sari, K., & Wiroatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia
Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition. Jerman. 377.
Kumar, B., Mukherjee, D. O, Kumar, S., Mishra, M., Prakash, D., Singh, S. K. & Sharma, S.
2011. Bioaccumulation of Heavy Metals in Muscle Tissue of Fish from Selected
Aquaculture Ponds in East Kolkata Wetlands. Annuals of Biological Research, 2
(2011): 125-134.
Linder, M. C & Azam, M. H. 1996. Copper Biochemistry and Molecular Biology. The
American Journal of Clinical Nutrition. 63: 797-811
Matusiewicz, H. Tanpa Tahun. Wet Digestion Methods. Poznan: Department of Analytical
Chemistry, Politechnika Poznanska Poland.
Martaningtyas, D. 2004. Bahaya Cemaran Logam Berat., (online), (www.djgsm.esdm.go.id.,
diakses pada 14 September 2012)
Mulyadi, A. 5 April 2012. Pencemaran Sungai di Indonesia Meningkat 30 Persen., (online),
(http://nasional.kompas.com, diakses pada 14 September 2012)
Nodberg, M. & Nodberg, G. F. 2009. Metallothioneins: Historical Development and
Overview. Met. Ions Life Sci. 5:1-29.
Nongbri, B.B & Syiem, M. B. 2012. Analysis of Heavy Metal Accumulation in Water and
Fish (Cyprinus carpio) Meat from Umiam Lake in Meghalaya, India. International
Multidisciplinary Research Journal, 2(2):73-76.
Obasohan, E. E. 2007. Heavy Metals Concentrations in the Offal, Gill, Muscle and Liver of
Freshwater Mudfish (Parachana obscura) from Ogba River, Benin City, Nigeria.
African Journal of Biotechnology, 6 (2007): 2620-2627.
Öztürk, M., Özözen, G., Minareci, O., & Minareci, E. 2009. Determination of Heavy Metals
in Fish, Water and Sediments of Avsar Dam Lake in Turkey. Iran J. Environ.
Health Sci. Eng, 6 (2009): 73-80.
Parks, T. B., & Rose E. R. 1932. The Copper and Manganese Content of Fish. The Jounal of
Nutrition. 6 (1) : 95-98.
Palar , H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Shindu, S. F. 2005. Kandungan Logam Berat Cu, Zn, dan Pb dalam Air, Ikan Nilai
(Oreochromis niloticus) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio) dalam Keramba Jaringan
Apung, Waduk Saguling. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB.
Taufiq, F. 26 Mei 2012. Ribuan Ikan Kembali Mati di Kali Surabaya., (online),
(http://www.tempo.co, diakses pada 19 Desember 2012).
Twyman, R. M. 2005. Wet Digestion. Sample Dissolution for Elemental Analysis. Elsevier
Ltd York. UK.
Whewell, C. S 1960. The Chemistry of Hair. Yorks: Department of Textile Industries, The
University of Leeds.