Anda di halaman 1dari 8

PENGGUNAAN CAMPURAN HNO3–H2SO4 SEBAGAI DIGESTOR

PADA PENENTUAN KADAR Cu DALAM KULIT DAN DAGING IKAN


SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)

Muhammad Yahya, Yudhi Utomo, dan Neena Zakia


Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang
E-mail: up_grad@yahoo.com; yutomopbi.@yahoo.com; zaqia@euromail.com

ABSTRAK: Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui perbandingan optimum HNO3-H2SO4 dalam


penentuan kadar Cu dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu, serta mengetahui kadar Cu dalam kulit dan
daging ikan sapu-sapu yang diambil dari Bendungan Lengkong Baru dan sungai daerah Jembatan
Sepanjang, Surabaya. Tahapan penelitian meliputi pengambilan sampel, preparasi sampel, proses digesti
menggunakan campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada suhu 100oC, dan penetapan kadar Cu dalam sampel.
Hasil optimum kulit dan daging berturut-turut 20:20 dan 25:15. Kadar Cu lebih banyak terdapat dalam
daging ikan daripada kulit ikan sapu-sapu.

Kata kunci:Digesti, tembaga (Cu), ikan sapu-sapu, HNO3-H2SO4

Pertumbuhan industri dan jumlah penduduk yang semakin meningkat, terutama di


kota-kota besar di Indonesia, telah memberikan dampak yang cukup mengkhawatirkan bagi
ekosistem air sungai. Hasil pemantauan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup
terhadap indeks kualitas air sungai di Indonesia, menunjukkan kecenderungan peningkatan
pencemaran hingga 30 persen dari 52 sungai yang dipantau pada tahun 2012 (Mulyadi, 2012).
Penyebab peningkatan pencemaran paling tinggi diindikasikan berasal dari limbah domestik
yang semakin meningkat walaupun di beberapa sungai disebabkan oleh kegiatan tambang.
Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia. Salah satu kota penting
bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Akan tetapi sangat disayangkan kondisi sungainya
mengalami pencemaran akibat semakin padatnya penduduk sehingga menambah volume
buangan dan juga yang paling besar peranannya yaitu perkembangan industri di wilayah ini.
Sumber bahan pencemar selain berasal dari industri yang pengelolaan limbahnya kurang
memadai atau dibuang langsung ke dalam sungai adalah dari pertanian dan limbah domestik.
Bahan-bahan pencemar yang terdapat di dalam air sungai dapat berupa senyawa
organik, anorganik, senyawa asam/basa, dan zat-zat radioaktif. Salah satu pencemar yang
sangat berpengaruh dalam penentuan kualitas air sungai adalah logam berat. Logam berat
terakumulasi di dalam sedimen sungai ataupun jaringan tubuh makhluk hidup karena dapat
berikatan dengan senyawa organik maupun anorganik. Protein dari makhluk hidup akan
mengikat logam dan dalam kadar tinggi dapat menyebabkan kematian.
Beberapa makhluk hidup dapat bertahan dalam kondisi ekosistem yang ekstrem dan
tingkat pencemarannya tinggi, salah satunya adalah ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis).
Ikan ditemukan hidup di beberapa sungai tercemar sehingga dimungkinkan di dalam
jaringannya terkandung zat-zat pencemar termasuk logam berat. Hal tersebut dapat digunakan
sebagai acuan bahwa ikan mampu berperan sebagai indikator biologis terhadap kandungan
logam berat dan jaringan tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kadar logam berat
yang terdapat dalam perairan tempat hidupnya. Ikan tersebut ternyata dikonsumsi oleh
masyarakat dibuat sebagai abon, siomay, dan otak-otak. Hal tersebut berbahaya apabila ikan
sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang dikonsumsi tersebut mengandung logam berat karena
hidup di sungai yang tercemar sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Logam berat hanya ditujukan kepada logam yang mempunyai berat jenis lebih besar
dari 5 g/cm3. Namun, pada kenyataannya, unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat
berbahaya juga dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Beberapa contoh logam berat yang
beracun bagi manusia adalah arsen (As), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri
(Hg), nikel (Ni), dan seng (Zn).
Tembaga (Cu) merupakan unsur essensial yang terdapat dalam tubuh manusia dan
hewan. Kebutuhan tubuh per hari terhadap Cu adalah 0,05 mg/kg berat badan. Kadar tersebut
tidak terjadi akumulasi Cu pada tubuh manusia dan hewan normal. Namun konsumsi Cu
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan gejala-gejala yang akut (Astawan, 2008).
Sumber pencemar Cu di sungai Surabaya banyak berasal dari garam Cu yang
digunakan dalam bidang pertanian, misalnya sebagai larutan “bordeaux” yang mengandung 1-
3% CuSO4 untuk membasmi jamur pada sayur dan tumbuhan buah. Senyawa CuSO4 juga
sering digunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit, cacing, dan juga
mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono, 1995). Selain dari limbah pertanian,
industri-industri yang berperan sebagai pencemar Cu adalah industri yang memproduksi alat-
alat listrik, cat, elektroplating, gelas, dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam
lain seperti alloy dengan Ag, Cd, Sn, dan Zn.
Sebelum penentuan kandungan logam berat dilakukan, diperlukan suatu tahapan
persiapan atau preparasi sampel. Sampel biologis harus diproses dengan baik karena senyawa-
senyawa organik di dalamnya harus larut dan terdekomposisi dengan sempurna agar logam
berat di dalamnya dapat dianalisis (Twyman, 2005:146). Setelah proses pretreatment, sampel
kemudian dapat dianalisis dengan berbagai macam alat seperti Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA) atau Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
Preparasi sampel untuk analisis ikan dan hewan laut lainnya dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu melalui proses digesti basah dan proses pengabuan atau dry ashing. Sebagian
besar penelitian yang melibatkan proses penentuan kandungan logam berat dalam ikan
menggunakan teknik digesti basah. Hal tersebut dikarenakan teknik ini dapat dilakukan
dengan jumlah sampel yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan teknik pengabuan. Selain
itu, teknik ini juga mampu memperkecil kemungkinan hilangnya senyawa akibat penguapan
karena prosesnya dilakukan pada suhu rendah.
Teknik digesti basah untuk menganalisis suatu unsur ada lebih dari satu metode. Pada
umumnya sampel dilarutkan dengan senyawa asam atau kombinasi dari beberapa senyawa
asam (Twyman, 2005:147). Pemilihan pelarut harus berdasarkan pada karakteristik sampel
yang akan dianalisis. Analisis kandungan suatu logam dalam sampel organik, digunakan
asam-asam yang bersifat sebagai oksidator kuat seperti asam sulfat pekat, asam nitrat pekat,
dan asam perklorat. Asam-asam tersebut mampu menyerap air dan mengoksidasi senyawa
organik yang terdapat dalam sampel sehingga kandungan logam di dalamnya dapat dianalisis.
Selain itu, dalam kondisi panas, hampir semua logam dapat larut dalam asam-asam tersebut.
Penentuan logam berat dalam ikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, baik
menggunakan asam tunggal maupun campuran dari beberapa asam sebagai agen pendigesti.
Khasanah (2012) menggunakan asam nitrat dengan variasi konsentrasi dan suhu. Hasil
optimum diperoleh pada konsentrasi 12 M dan suhu 110oC. Berdasarkan Twyman (2005)
penggunaan kombinasi asam sebagai agen digesti lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan asam tunggal karena asam-asam tertentu dapat melarutkan beberapa logam dan
senyawa-senyawa tertentu. Kombinasi asam akan memberikan kekuatan asam yang lebih baik
khususnya dalam melarutkan logam-logam yang terdapat dalam sampel organik dan
mendegradasi sampel organik. Kombinasi antara asam yang satu dengan yang lain akan
memberikan karakteristik kemampuan digesti yang berbeda-beda pula.
Kumar dkk. (2011) menggunakan campuran asam nitrat (65%) dan asam perklorat
(70%) (1:5 v/v) dipanaskan pada suhu 70oC. Ambedkar dan Muniyan (2011) menggunakan
campuran asam nitrat dan hidrogen peroksida (1:1 v/v) dipanaskan pada suhu 130oC. Öztürk
dkk (2009) menggunakan campuran asam nitrat dan asam sulfat (1:1 v/v) dipanaskan pada
suhu 105oC. Obasohan (2007) menggunakan campuran asam perklorat, asam nitrat dan asam
asetat (1:5:1 v/v) dipanaskan pada suhu 80oC
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul
“Penggunaan Campuran HNO3–H2SO4 sebagai Digestor pada Penentuan Kadar Cu dalam
Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus pardalis)”. Penelitian dilakukan untuk
mengetahui perbandingan optimum HNO3-H2SO4 sedbagai digestor pada penentuan Cu dalam
kulit dan daging ikan sapu-sapu, serta mengetahui kadar Cu yang terdapat dalam kulit dan
daging ikan sapu-sapu.

METODE
Secara garis besar tahapan yang dilakukan adalah: (1) pengambilan sampel ikan sapu-
sapu (Hyposarcus pardalis), (2) preparasi sampel hingga proses digesti sampel dengan
menggunakan campuran HNO3-H2SO4, (v/v) pada suhu 100oC, (3) penetapan kadar tembaga
(Cu) dalam sampel dengan menggunakan AAS.

Pengambilan Sampel
Sampel ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) diambil di Bendungan Lengkong Baru
(titik A), dan di sungai daerah Jembatan Sepanjang (titik B), Surabaya. Ikan sapu-sapu
didapatkan dengan cara menjaringnya, kemudian dimasukkan dalam box pendingin untuk
mengawetkannya agar tidak membusuk.

Preparasi Sampel dan Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada
Suhu 100oC
Ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang telah beku, direndam dalam airdahulu agar
ikan menjadi lunak. Ikan dicuci bersih kemudian isi perut dikeluarkan dagingnya, dipisahkan
dari kulit dan dipotong kecil-kecil kemudian dicuci dengan akuades lalu ditimbang massa
basahnya. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 12 jam. Kulit dan daging
ikan kering digerus sampai halus dalam mortar, diayak dengan ukuran 50 mesh, kemudian
dipanaskan sekitar 100oC selama 15 menit lalu ditimbang massanya. Prosedur terakhir
(pengeringan) dilakukan hingga diperoleh massa konstan dari sampel.
Proses digesti digunakan pelarut berupa campuran HNO3 5 M dan H2SO4 5 M dengan
berbagai perbandingan volume (mL) sebesar 10:30, 15:25, 20:20, 25:15, dan 30:10. Sebanyak
3 gram sampel dilarutkan dalam masing-masing pelarut dan dipanaskan pada suhu 100oC
selama 2 jam. Larutan sampel kemudian didiamkan hingga dingin dan disaring. Filtrat yang
diperoleh kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume 50 mL.

Penetapan Kadar Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu
(Hyposarcus pardalis)
Filtrat yang telah diencerkan dengan akuades sampai 50 mL dilakukan uji kandungan
tembaga (Cu) total menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) pada = 324,8 nm
secara kurva kalibrasi

Metode Analisis Data


Data yang telah diperoleh dari hasil analisis menggunakan AAS pada = 324,8 nm
berupa kadar Cu total dalam satuan ppm. Selanjutnya dianalisis dan dikonversikan ke dalam
satuan mg/kg berat kering, kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL
Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada Suhu 100oC
Data hasil penentuan kadar Cu dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu menggunakan
AAS ditunjukkan oleh Tabel 1. Data pada Tabel 1 kemudian disajikan dalam bentuk grafik
yang ditunjukkan oleh Gambar 1. dan Gambar 2.

Tabel 1. Kadar Cu dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis) dengan
Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v)

Sampel Konsentrasi Cu dalam Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v) (ppm)


10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
DA 2,1817 2,9071 2,3688 4,3571 3,6187
DB 2,6144 2,7709 2,5680 5,5736 4,2765
KA 2,5662 2,5245 3,7817 2,4291 2,5134
KB 2,7885 2,4022 3,1489 2,5477 2,3549
Keterangan: D A = daging ikan sapu-sapu yang diambil di titik A
D B = daging ikan sapu-sapu yang diambil di titik B
K A = kulit ikan sapu-sapu yang diambil di titik A
K B = kulit ikan sapu-sapu yang diambil di titik B

12
Kadar Cu (ppm) 10
8
6
DB
4
2 DA
0
10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
Perbandingan volume HNO3-H2SO4

Gambar 1 Pengaruh Perbandingan Volume HNO3-H2SO4 terhadap Konsentrasi Cu


dalam Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus pardalis).

8
Kadar Cu (ppm)

6
4
2 KB
0 KA
10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
Perbandingan volume HNO3 - H2SO4

Gambar 2 Pengaruh Perbandingan Volume HNO3-H2SO4 terhadap Konsentrasi Cu


dalam Kulit Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus pardalis).

Penetapan Kadar Logam Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-
Sapu (Hyposarcus pardalis)
Berdasarkan data Tabel 1, dapat diketahui kadar logam Cu dalam jaringan kulit dan
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kadar Cu dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis) dengan
Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v)

Kadar Cu dalam Berbagai Perbandingan HNO3-H2SO4 (v/v) (mg/kg berat kering)


Sampel
10:30 15:25 20:20 25:15 30:10
DA 36,3617 48,4517 39,4800 72,6183 60,3117
DB 43,5733 46,1817 42,8000 92,8933 71,2750
KA 42,7700 42,0750 63,0283 40,4850 41,8900
KB 46,4750 40,0367 52,4817 42,4617 39,2483

PEMBAHASAN
Preparasi Sampel dan Proses Digesti Menggunakan Campuran HNO3-H2SO4 (v/v) pada
Suhu 100oC
Sebelum proses digesti, kulit dan daging ikan dihomogenkan dengan cara digerus
sampai halus dalam mortar. Hal tersebut dilakukan agar kadar Cu yang ada dalam kulit
maupun daging terhomogenkan, sehingga dalam setiap pengambilan sampel untuk digestasi
memiliki kadar Cu yang sama. Selain itu, penggerusan sampai halus akan memperkecil luas
permukaan daging dan kulit ikan sapu-sapu yang diuji. Hal ini akan mempermudah interaksi
antara sampel dengan agen pendisgesti sehingga Cu yang akan diukur kadarnya dapat
terdigesti dengan baik
Pada proses penimbangan, sampel dipanaskan terlebih dahulu sampai diperoleh massa
yang konstan. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air dalam daging ikan, karena
air yang terkandung dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
mengganggu proses digesti.
Proses digesti menggunakan digestor berupa campuran HNO3-H2SO4 dalam berbagai
variasi perbandingan volume. Peranan HNO3 dalam proses ini sebagai oksidator logam Cu.
Berbeda halnya dengan H2SO4. Asam ini tidak mampu mengoksidasi Cu sehingga peranannya
dalam proses digesti adalah agen pendegradasi senyawa organik. Pemilihan H2SO4 sebagai
pendegradasi senyawa organik karena kemampuannya sebagai zat pendehidrasi yang sangat
baik. Asam ini mampu memisahkan atom-karbon dengan oksigen dan hidrogen di dalam
senyawa organic menjadi karbon dan air. Kemampuan ini tidak dimiliki pleh HNO3. Apabila
asam ini direaksikan dengan senyawa organik, proses degradasi tidak akan berlangsung.
HNO3 sebagai oksidator kuat hanya mampu merubah karbon dalam senyawa organik menjadi
CO2 pada suhu 200o C (Matusiewicz, tanpa tahun:205).
Khasanah (2012) menggunakan asam nitrat pada berbagai variasi konsentrasi dan suhu
diperoleh hasil konsentrasi optimum untuk digesti yaitu 12 M dan suhu optimum 110oC.
Khasanah menyimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi asam nitrat, kadar Cu yang
terukur semakin besar pula. Kohar dkk (2005), juga asam nitrat pekat pada suhu 75oC. Hseu
(2004) membandingkan 4 metode digesti, yaitu (1) digesti asam nitrat pekat ditempatkan
dalam tabung digesti kemudian dipanaskan pada suhu 150oC selama 8 jam, (2) digesti kering,
dengan asam nitrat 5 M dipanaskan pada suhu 480oC selama 4 jam, (3) digesti asam sulfat
pekat yang dipanaskan pada suhu 250oC selama 30 menit, dan (4) digesti campuran HNO3
pekat dan HClO4 pekat yang dipanaskan dalam 150oC selama 8 jam. Hasil penelitian Hseu
diperoleh bahwa penggunaan campuran asam nitrat dan asam perklorat merupakan yang
paling baik diantara ketiga metode yang dibandingkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Khasanah dan Hseu, peneliti menyimpulkan
bahwa apabila menggunakan asam pekat maka suhu digestinya tidak terlalu tinggi, sehingga
dalam penelitian digunakan konsentrasi kedua asam sama yaitu 5 M pada suhu 100oC.
Berdasarkan Gambar 1 tampak bahwa perbandingan volume HNO3-H2SO4 terbaik
sebagai digestor Cu pada daging ikan sapu-sapu terletak pada pencampuran 25 mL HNO3 5 M
dan 15 mL H2SO4 5 M . Sedangkan untuk kulit ikan sapu-sapu, kadar Cu optimum diperoleh
pada digesti menggunakan pencampuran 20 mL HNO3 5 M dan 20 mL H2SO4 5 M yang
ditunjukkan pada Gambar 2
Pada Gambar 1 tampak bahwa perbandingan HNO3-H2SO4 optimum. pada
pencampuran 25:15. Hal ini sesuai dengan pernyataan Twyman (2005) bahwa HNO3 mampu
melarutkan Cu lebih baik daripada H2SO4. Hal ini disebabkan karena HNO3 merupakan asam
oksidator dan H2SO4 adalah asam non oksidator, sehingga logam Cu yang tidak mampu
dioksidasi oleh H2SO4 akan teroksidasi oleh HNO3. Kadar Cu yang dianalisis mulai menurun
pada perbandingan volume HNO3-H2SO4 30:10. Hal ini dapat disebabkan volume H2SO4 yang
digunakan sebagai digestor semakin sedikit sehingga proses degradasi senyawa organik pada
sampel tidak berlangsung dengan baik. Berkurangnya volume H2SO4 menyebabkan sebagian
Cu di dalam sampel tidak bisa dilarutkan oleh HNO3 karena masih terikat pada senyawa
organik yang tersisa.
Kulit ikan sapu-sapu dibutuhkan lebih banyak H2SO4 untuk memperoleh kadar Cu
tertinggi pada saat analisis. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakter jaringan dari
kulit dan daging ikan sapu-sapu. Kulit ikan sapu-sapu memiliki tekstur yang keras dan
memiliki karakter hampir mirip dengan cangkang kura-kura.yang tersusun atas keratin atau
zat tanduk. Keratin merupakan suatu protein yang sangat stabil dibandingkan dengan protein
lainnya (Whewell, 1960:212). Hal inilah yang menyebabkan pendegradasian komponen
organik pada kulit ikan sapu-sapu membutuhkan lebih banyak H2SO4. Hal tersebut tampak
pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2 tampak bahwa awalnya kadar Cu meningkat seiring dengan
penambahan volume HNO3. Namun setelah penambahan HNO3- H2SO4 pada perbandingan
20:20, kadar Cu yang dianalisis menurun seiring dengan penurunan volume H2SO4 yang
ditambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan H2SO4 di bawah 20 mL sudah tidak
mampu mendegradasi senyawa organik di dalam kulit ikan sehingga Cu di dalamnya tidak
dapat terlarut oleh HNO3 dengan sempurna.

Penetapan Kadar Logam Tembaga (Cu) dalam Jaringan Kulit dan Daging Ikan Sapu-
Sapu (Hyposarcus pardalis)
Berdasarkan data Tabel 1, dapat diketahui kadar logam Cu dalam jaringan kulit dan
ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang ditunjukkan pada Tabel 2. Kadar Cu tertinggi
pada daging ikan sapu-sapu diperoleh pada proses digesti menggunakan HNO3-H2SO4 dengan
perbandingan volume 25:15. Kadar Cu pada Daging A sebesar 72,6183 mg/kg berat kering
dan 92,8933 mg/kg berat kering untuk daging B. Kadar Cu pada perbandingan optimum
HNO3-H2SO4 untuk jaringan kulit adalah 63,0283 mg/kg untuk kulit A dan 52,4817 mg/kg
berat kering untuk Kulit B. Dari data tersebut tampak bahwa kadar Cu tertinggi terdapat pada
daging ikan sapu-sapu. Hal ini karena kandungan protein yang mengikat Cu dalam kulit lebih
sedikit daripada daging.
Tembaga (Cu) dalam ikan terikat pada protein metallothienin yang berperan besar
dalam proses terjadinya akumulasi logam berat di dalam jaringan. Logam Cu yang terdapat di
perairan akan masuk melaui insang dan terikat pada metallothienin dalam darah kenudian
tersebar ke seluruh jaringan tubuh. Perbedaan jumlah sel dan luas permukaan jaringan total
antara kulit dan daging yang terdapat dalam satu ekor ikan menyebabkan jumlah akumulasi
logam berat di kedua bagian ini berbeda. Daging yang memiliki luas permukaan, jumlah sel
dan jaringan lebih banyak daripada kulit ikan akan mengandung logam berat lebih banyak.
Selain itu intensitas paparan jaringan terhadap Cu di perairan juga berpengaruh. Linder dan
Azam (1996:799) menyatakan bahwa Cu tidak dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit.
berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa penyebaran logam Cu di dalam tubuh ikan
terjadi sebagian besar melalui darah, sehingga daging yang merupakan bagian dalam dari
tubuh ikan memiliki intesitas paparan yang lebih tinggi daripada kulit.

KESIMPULAN dan SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1)
perbandingan volume HNO3-H2SO4 optimum untuk digesti Cu dalam daging dan kulit ikan
sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) berturut-turut adalah 25:15 dan 20:20, dan (2) kadar Cu
dalam daging lebih tinggi dibandingkan dengan kadar Cu dalam kulit ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis).

Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian maka saran yang diajukan dirumuskan
sebagai berikut: Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai (1) keadaan optimum digesti
dengan variasi suhu dan waktu, (2) logam berat lain dalam kulit dan daging ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis), (3) perbandingan digesti basah dan kering, dan (4) recovery digesti
dengan HNO3-H2SO4.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 1996. Analytical Methods for Atomic Absorption Spectroscopy. California: The
Perkin Elmer Inc.
Anonim. 2010. Kualitas Air Surabaya Mengalami Penurunan., (online).
(http://lh.surabaya.go.id diakses pada 14 September 2012)
Ambedkar, G. & Muniyan, M. 2011. Bioaccumulation of Same Heavy Metals in Selected
Five Freshwater Fish from Kollidam River, Talimandu, India. Pelagia Reasearch
Library, 5 (2011):221-225.
Astawan, M. 21 September 2008. Bahaya Logam Berat dalam Makanan., (online),
(http://kesehatan.kompas.com, diakses pada 14 September 2012).
Costa, S. C & Hartz, S. M. 2009. Evaluation of Trace Metals (Cadmium, Chromium, Copper
and Zinc) in Tissues of a Commercially Important Fish. (Leporinus obtusidens)
from Guaíba Lake, Southern Brazil. Brazilian Archives of Biology and
Technology.52: 241-250.
Coyle P, Philcox J. C, Carey L.C., & Rofe A. M. 2002. Metallothionein: The Multipurpose
Protein. Cell Mol Life Sci.59(4):627-47.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press: Jakarta
Eisler, R. 1998. Copper Hazards to Fish,Wildlife, and Invertebrates: Synoptic Review. U.S.
Geological Survey Biological Resources Division.
Eneji, I. S., Sha’ato R. & Annune P. A. 2011. Bioaccumulaiton of Heavy Metals in Fish
(Tilapia Zili And Gariepinus) Organs from River Benue, North–Central Nigeria.
Pak. J. Anal. Environ. Chem., 12 (2011) 25-31.
Heidary, S., Namin I. & Monsefrad F. 2011. Bioaccumulation of Heavy Metals Cu, Zn, and
Hg in Muscle and Liver of the Stellate Sturgeon (Acipenser Stellatus) in Caspian
Sea and Their Correlation with Growth Parameters. Iranian Journal of Fisheries
Science, 11 (2011): 325-337.
Higdon, Jane. 2003. Copper (online), (http://lpi.oregonstate.edu, diakses 17 Desember 2012)
Hseu, Z. Y. 2004. Evaluating Heavy Metal Content in Nine Composts using Four Digestion
Methodes. Bioresource Technology. 95: 53-59.
Khasanah, N. U. 2012. Penetapan Kadar Tembaga (Cu) dalam Daging Ikan Sapu-Sapu
(Hyposarcus pardalis) Menggunakan Digestasi-HNO3. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: FMIPA UM.
Kohar, I., Budiono, R., Indriany, D., & Wilujeng, N. S. 2005. Studi Kandungan Logam Berat
dalam Daging Ikan dari Tambak yang Dekat dan yang Jauh dari Daerah Industri.
Berk. Penel. Hayati. 10 : 111–115.
Kottelat, M. A. J., Whitten, S. N., Sari, K., & Wiroatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia
Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition. Jerman. 377.
Kumar, B., Mukherjee, D. O, Kumar, S., Mishra, M., Prakash, D., Singh, S. K. & Sharma, S.
2011. Bioaccumulation of Heavy Metals in Muscle Tissue of Fish from Selected
Aquaculture Ponds in East Kolkata Wetlands. Annuals of Biological Research, 2
(2011): 125-134.
Linder, M. C & Azam, M. H. 1996. Copper Biochemistry and Molecular Biology. The
American Journal of Clinical Nutrition. 63: 797-811
Matusiewicz, H. Tanpa Tahun. Wet Digestion Methods. Poznan: Department of Analytical
Chemistry, Politechnika Poznanska Poland.
Martaningtyas, D. 2004. Bahaya Cemaran Logam Berat., (online), (www.djgsm.esdm.go.id.,
diakses pada 14 September 2012)
Mulyadi, A. 5 April 2012. Pencemaran Sungai di Indonesia Meningkat 30 Persen., (online),
(http://nasional.kompas.com, diakses pada 14 September 2012)
Nodberg, M. & Nodberg, G. F. 2009. Metallothioneins: Historical Development and
Overview. Met. Ions Life Sci. 5:1-29.
Nongbri, B.B & Syiem, M. B. 2012. Analysis of Heavy Metal Accumulation in Water and
Fish (Cyprinus carpio) Meat from Umiam Lake in Meghalaya, India. International
Multidisciplinary Research Journal, 2(2):73-76.
Obasohan, E. E. 2007. Heavy Metals Concentrations in the Offal, Gill, Muscle and Liver of
Freshwater Mudfish (Parachana obscura) from Ogba River, Benin City, Nigeria.
African Journal of Biotechnology, 6 (2007): 2620-2627.
Öztürk, M., Özözen, G., Minareci, O., & Minareci, E. 2009. Determination of Heavy Metals
in Fish, Water and Sediments of Avsar Dam Lake in Turkey. Iran J. Environ.
Health Sci. Eng, 6 (2009): 73-80.
Parks, T. B., & Rose E. R. 1932. The Copper and Manganese Content of Fish. The Jounal of
Nutrition. 6 (1) : 95-98.
Palar , H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Shindu, S. F. 2005. Kandungan Logam Berat Cu, Zn, dan Pb dalam Air, Ikan Nilai
(Oreochromis niloticus) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio) dalam Keramba Jaringan
Apung, Waduk Saguling. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB.
Taufiq, F. 26 Mei 2012. Ribuan Ikan Kembali Mati di Kali Surabaya., (online),
(http://www.tempo.co, diakses pada 19 Desember 2012).
Twyman, R. M. 2005. Wet Digestion. Sample Dissolution for Elemental Analysis. Elsevier
Ltd York. UK.
Whewell, C. S 1960. The Chemistry of Hair. Yorks: Department of Textile Industries, The
University of Leeds.

Anda mungkin juga menyukai