Terlahir di Manado pada 30 November 1970 dengan nama Yahya Yopie Waloni, Ustadz Yahya Waloni menikahi seorang wanita bernama Siti Sarah dan memiliki dua orang anak yang diberi nama Zakaria dan Nur Hidayah. Ustadz Yahya Waloni juga pernah menerbitkan buku berjudul Islam meruntuhkan iman Sang Pendeta: kisah kehidupan Sang Pendeta dari Protestan ke Islam. Sebelumnya Ustadz Yahya Waloni memang merupakan seorang pendeta dan pernah menjabat sebagai rektor di UKI Papua. Ustadz Yahya Waloni dan sang istri secara sah masuk Islam pada 11 Oktober 2006 melalui tuntunan sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli, Komarudin Sofa.
2.2 Biografi Ustadz Yahya Waloni
Berlatar belakang dari keluarga berpendidikan dan disiplin, ayah Ustadz Yahya Waloni merupakan pensiunan tentara. Ustadz Yahya Waloni juga pernah menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara. Bungsu dari tujuh bersaudara ini terkenal sangat nakal dan saat remaja memutuskan untuk mentato beberapa bagian di tubuhnya. Ustadz Yahya Waloni pernah menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000 hingga 2004, saat itu dirinya masih menjadi pendeta dan berstatus sebagai pelayan umum yang telah terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di Tanah Papua yang berada pada Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ustadz Yahya Waloni menetap di Sorong sejak tahun 1997 hingga akhirnya pindah ke Balikpapan pada tahun 2004 hingga menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) hingga tahun 2006. Ustadz Yahya Waloni sekeluarga akhirnya pindah ke kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006 tanpa membawa apa apa. Hal ini membuat warga setempat merasa kasihan dan memberikan beberapa sumbangan, hal ini dikarenakan Ustadz Yahya Waloni dan keluarga pindah hanya dengan baju yang mereka kenakan di badan, karena rumah yang ditempati sebelumnya beserta isinya adalah fasilitas yang diperoleh dari bantuan gereja sehingga saat pindah Ustadz Yahya Waloni memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Ustadz Yahya Waloni juga mengaku telah bisa melafalkan beberapa ayat di dalam Al-Quran setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Ustadz Yahya Waloni juga mendapatkan bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani.
2.3 Pemikiran Yahya Waloni Masuk Islam
Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori benar. Jadi, saya mengakui Islam secara teori dan spiritual. Sebagai pakar teologi, Pendeta Yahya Yopie Waloni sangat mengetahui teori-teori yang ada dalam agama Islam. Meskipun masih beragama Kristen, Yahya memandang teori apa pun yang ada di Islam sangat benar. Islam pun, mampu menceritakan peradaban dunia dari yang lalu sampai sekarang. Bahkan, agama Kristen diceritakan pula dalam Islam. Namun, menurut pria kelahiran Manado tahun 1970 ini, yang paling membuatnya tunduk patuh hingga memutuskan untuk masuk Islam pada Oktober 2006 adalah Islam menunjuk satu individu yang sangat tepat untuk menyebarkan ajarannya. ”Ada satu individu yang membuat saya tunduk dan patuh, dia buta huruf tapi bisa menyusun Alquran secara sistematis,” ujar pria yang mengganti namanya menjadi M Yahya Waloni setelah memeluk agama Islam itu kepada Republika. Menurut suami dari Lusiana (33) yang mengganti namanya menjadi Mutmainnah setelah memeluk Islam itu, dirinya masuk agama islam karena dari sistematika teori Islam sudah benar. Sebagai akademisi, kata dia, dirinya pun berpikir orang yang sudah memili teori benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. ”Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori benar. Jadi, saya mengakui Islam secara teori dan spiritual,” ujar Yahya. Ketertarikan Yahya untuk masuk Islam, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil, saat berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke masjd karena tertarik melihat banyak orang islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya yaitu baju ikhram. Selain itu, dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di masjid-masjid. ”Saya hanya berani ke masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur oleh bapak saya. Kalau nekad ke masjid lagi, saya takut bapak saya yang seorang tentara akan menggantung saya,” ujar pria yang memiliki hobi bermain gendang ini. Namun, sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam adalah pengalaman spiritual yang dialaminya. ”Suatu hari, saya bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli,” ia memulai kisahnya. Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu pertemuan yang sama yaitu pukul 09.45 Wita. ”Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Dia baik sekali dengan saya,” ujar bapak dari Silvana (8 tahun, kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7 tahun, menjadi Siti Sarah), dan Zakaria (4 tahun) ini. Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal Islam. Anehnya, kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus sekolah dasar (SD) itu sangat mahir dalam menceritakan soal Islam. Ia makin tertarik pada Islam. Namun, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). ”Saat saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda,” tambahnya. Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Karena dipengaruhi oleh pendeta dan saudara-saudaranya. ”Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai,” katanya. Namun, sambung dia, tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriyah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara, dia di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. ”Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” kata Yahya. Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka- tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas. ”Setelah sadar, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” ujarnya. Setelah diceritakan ke istrinya, kata dia, istrinya semakin tidak percaya dan ingin bercerai dengan Yahya. Namun, beberapa jam kemudian, istrinya menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan. Akhirnya istri saya yang mengajak segera masuk Islam,” katanya. Akhirnya, kata Yahya, bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah, Yahya dan istrinya mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Kekuatan saya, sekarang hanya shalat tahajud malam dan Dhuha pukul 08.00,” ujar mantan Rektor UKI Papua ini.[-kie/taq/republika]