Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biodata Ustadz Yahya Waloni


Terlahir di Manado pada 30 November 1970 dengan nama Yahya Yopie Waloni, Ustadz
Yahya Waloni menikahi seorang wanita bernama Siti Sarah dan memiliki dua orang anak yang
diberi nama Zakaria dan Nur Hidayah. Ustadz Yahya Waloni juga pernah menerbitkan buku
berjudul Islam meruntuhkan iman Sang Pendeta: kisah kehidupan Sang Pendeta dari Protestan ke
Islam.
Sebelumnya Ustadz Yahya Waloni memang merupakan seorang pendeta dan pernah
menjabat sebagai rektor di UKI Papua. Ustadz Yahya Waloni dan sang istri secara sah masuk
Islam pada 11 Oktober 2006 melalui tuntunan sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama
(NU) Tolitoli, Komarudin Sofa.

2.2 Biografi Ustadz Yahya Waloni


Berlatar belakang dari keluarga berpendidikan dan disiplin, ayah Ustadz Yahya Waloni
merupakan pensiunan tentara. Ustadz Yahya Waloni juga pernah menjabat anggota DPRD di
salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara.
Bungsu dari tujuh bersaudara ini terkenal sangat nakal dan saat remaja memutuskan untuk
mentato beberapa bagian di tubuhnya.
Ustadz Yahya Waloni pernah menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di
Sorong tahun 2000 hingga 2004, saat itu dirinya masih menjadi pendeta dan berstatus sebagai
pelayan umum yang telah terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di Tanah Papua yang
berada pada Wilayah VI Sorong-Kaimana.
Ustadz Yahya Waloni menetap di Sorong sejak tahun 1997 hingga akhirnya pindah ke
Balikpapan pada tahun 2004 hingga menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) hingga
tahun 2006. Ustadz Yahya Waloni sekeluarga akhirnya pindah ke kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal
16 Agustus 2006 tanpa membawa apa apa.
Hal ini membuat warga setempat merasa kasihan dan memberikan beberapa sumbangan, hal
ini dikarenakan Ustadz Yahya Waloni dan keluarga pindah hanya dengan baju yang mereka
kenakan di badan, karena rumah yang ditempati sebelumnya beserta isinya adalah fasilitas yang
diperoleh dari bantuan gereja sehingga saat pindah Ustadz Yahya Waloni memutuskan untuk
meninggalkan semuanya.
Ustadz Yahya Waloni juga mengaku telah bisa melafalkan beberapa ayat di dalam Al-Quran
setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Ustadz Yahya Waloni juga
mendapatkan bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani.

2.3 Pemikiran Yahya Waloni Masuk Islam


Orang Islam yang sudah memiliki teori yang benar saja bisa salah apalagi yang tidak
memiliki teori benar. Jadi, saya mengakui Islam secara teori dan spiritual.
Sebagai pakar teologi, Pendeta Yahya Yopie Waloni sangat mengetahui teori-teori yang ada
dalam agama Islam. Meskipun masih beragama Kristen, Yahya memandang teori apa pun yang
ada di Islam sangat benar. Islam pun, mampu menceritakan peradaban dunia dari yang lalu
sampai sekarang. Bahkan, agama Kristen diceritakan pula dalam Islam.
Namun, menurut pria kelahiran Manado tahun 1970 ini, yang paling membuatnya tunduk
patuh hingga memutuskan untuk masuk Islam pada Oktober 2006 adalah Islam menunjuk satu
individu yang sangat tepat untuk menyebarkan ajarannya. ”Ada satu individu yang membuat
saya tunduk dan patuh, dia buta huruf tapi bisa menyusun Alquran secara sistematis,” ujar pria
yang mengganti namanya menjadi M Yahya Waloni setelah memeluk agama Islam itu kepada
Republika.
Menurut suami dari Lusiana (33) yang mengganti namanya menjadi Mutmainnah setelah
memeluk Islam itu, dirinya masuk agama islam karena dari sistematika teori Islam sudah benar.
Sebagai akademisi, kata dia, dirinya pun berpikir orang yang sudah memili teori benar saja bisa
salah apalagi yang tidak memiliki teori yang benar. ”Orang Islam yang sudah memiliki teori
yang benar saja bisa salah apalagi yang tidak memiliki teori benar. Jadi, saya mengakui Islam
secara teori dan spiritual,” ujar Yahya.
Ketertarikan Yahya untuk masuk Islam, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak kecil, saat
berumur sekitar 14 tahun. Pada usia itu, dirinya sudah ke masjd karena tertarik melihat banyak
orang islam menggunakan pakaian seperti yang digambarkan di agamanya yaitu baju ikhram.
Selain itu, dirinya pun sangat tertarik dengan gendang yang suka dimainkan di masjid-masjid.
”Saya hanya berani ke masjid satu kali saja karena ketahuan dan dipukul sampai babak belur
oleh bapak saya. Kalau nekad ke masjid lagi, saya takut bapak saya yang seorang tentara akan
menggantung saya,” ujar pria yang memiliki hobi bermain gendang ini.
Namun, sambung pria yang pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di
Sorong tahun 2000-2004 ini, dari sekian kejadian yang mendorongnya untuk memeluk Islam
adalah pengalaman spiritual yang dialaminya. ”Suatu hari, saya bertemu dengan seorang penjual
ikan, di rumah lama kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli,” ia memulai
kisahnya.
Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut dengan waktu
pertemuan yang sama yaitu pukul 09.45 Wita. ”Kepada saya, si penjual ikan itu mengaku
namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Dia baik
sekali dengan saya,” ujar bapak dari Silvana (8 tahun, kini bernama Nur Hidayah), Sarah (7
tahun, menjadi Siti Sarah), dan Zakaria (4 tahun) ini.
Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, kata Yahya, dirinya berdialog panjang soal
Islam. Anehnya, kata dia, si penjual ikan yang mengaku tidak lulus sekolah dasar (SD) itu sangat
mahir dalam menceritakan soal Islam. Ia makin tertarik pada Islam.
Namun, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan
mengaku dari dusun Doyan, Desa Sandana, salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). ”Saat
saya datangi kampungnya, tidak ada satupun warganya yang menjual ikan dengan bersepeda,”
tambahnya.
Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya
dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Karena
dipengaruhi oleh pendeta dan saudara-saudaranya. ”Ia tetap bertahan pada agama yang dianut
sebelumnya. Jadi, kita memutuskan untuk bercerai,” katanya.
Namun, sambung dia, tidak lama setelah itu, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriyah atau
tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita, ia bermimpi bertemu dengan seseorang yang
berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara, dia di lantai dengan posisi duduk bersila
dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. ”Saya dialog dengan
bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” kata Yahya.
Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat
tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-
tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam.
Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua,
tersengat api panas. ”Setelah sadar, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala
berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada
perubahan. Tetap saja begitu,” ujarnya.
Setelah diceritakan ke istrinya, kata dia, istrinya semakin tidak percaya dan ingin bercerai
dengan Yahya. Namun, beberapa jam kemudian, istrinya menangis karena mimpi yang
diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan. Akhirnya istri saya yang
mengajak segera masuk Islam,” katanya.
Akhirnya, kata Yahya, bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11
Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang
Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah, Yahya dan istrinya mengucapkan dua kalimat
syahadat. ”Kekuatan saya, sekarang hanya shalat tahajud malam dan Dhuha pukul 08.00,” ujar
mantan Rektor UKI Papua ini.[-kie/taq/republika]

Anda mungkin juga menyukai