Anda di halaman 1dari 32

1

---------------------------------------------------

Perjuangan Melawan Politisasi Kasus Korupsi


Kisah yang Tak Kunjung Usai dari NTB

Studi Kasus
Kasus Dugaan Korupsi Belanja DPRD NTB
Periode 1999-2004
Pada APBD NTB TA 2001,2002

Oleh :
Ervyn Kaffah
(ekaffah1@gmail.com)

November 2006
---------------------------------------------------
2

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ringkasan Kasus
Kasus dugaan korupsi Belanja DPRD NTB pada APBD NTB TA 2001 dan 2002, berawal
ketika Kejaksaan Tinggi NTB menyatakan kasus dugaan korupsi DPRD NTB kembali dibuka, pada
pertengahan Juli 2004. Sampai sejauh ini, siapa pelapor kasus ini belum jelas. Pihak kejaksaan
awalnya mengaku bahwa kasus ini diusut karena adanya surat dari Jamintel Kejagung RI yang
memerintahkan kasus ini di proses, menyusul laporan dari sebuah LSM. Namun pada saat pembacaan
tuntutan di persidangan, JPU menyebut bahwa pelapor kasus ini adalah Gerakan Mahasiswa Mataram
(GEMAM), sebuah nama yang tidak akrab di telinga masyarakat NTB.
Proses hukum di kejaksaan berlangsung cukup lama hingga 11 bulan. Dalam kurun waktu itu,
pimpinan kejaksaan berganti dan jaksa penyidik kasus ini dibentuk kembali. Kinerja kejaksaan
menyimpan masalah seperti berbeda-bedanya keterangan kejaksaan mengenai jumlah tersangka dan
tidak samanya perlakuan aparat kejaksaan untuk semua tersangka kasus ini. Selama proses hukum ini
berbagai tekanan juga dihadapi oleh aparat kejaksaan seperti pelemparan kantor kejaksaan dan
tudingan diskriminatif terhadap politisi yang diduga melakukan korupsi.
Sejumlah aktor telah terlibat dalam mendorong kasus ini hingga akhirnya kasus di sidangkan.
Selain menggelar tekanan dan mengkritisi kinerja aparat hukum, mereka pun melaporkan
perkembangan kasus ini kepada sejumlah institusi penegak hukum di Jakarta. Namun tekanan
politisasi kasus korupsi adalah bentuk lain perlawanan para koruptor yang sulit dihadapi.
Setelah memakan waktu persidangan selama kurang lebih 10,5 bulan, pada tanggal 7 Juli
2006, majelis hakim yang menyidangkan kasus yang dibagi dalam empat berkas perkara ini,
mengeluarkan vonisnya bahwa: proses penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Kejaksaan
kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Mataram, sementara penasehat hukum para
terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
3

I. KRONOLOGIS PERJALANAN KASUS

1.1. Latar Belakang

Indikasi awal dugaan korupsi anggaran dewan


Suara awal mengenai indikasi korupsi anggaran DPRD NTB sebenarnya telah terdengar jauh
hari sebelum kasus ini di proses oleh pihak Kejati NTB. Pada September 2002, menjelang perubahan
APBD NTB TA 2002, SOMASI NTB (Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi Nusa Tenggara Barat)
lewat jumpa persnya telah mengungkapkan hasil kajian nya tentang dugaan penyimpangan anggaran
DPRD NTB sejak TA 2000, 2001, dan 2002. Namun hasil kajian tidak dilaporkan ke aparat hukum1,
melainkan dikampanyekan kepada publik, dengan segmen isu soal menumpuknya anggaran rakyat di
DPRD NTB. SOMASI NTB menyebut ’DPRD telah mengangkangi hukum’ karena anggaran dewan
telah melanggar ketentuan PP 110/2000. Disebutkan antara lain Biaya penunjang kegiatan dewan,
yang seharusnya untuk Propinsi dengan PAD Rp 50 miliar – Rp 100 miliar, biaya penunjang kegiatan
ditentukan minimal Rp. 625 juta dan maksimum 1 % dari PAD. Dengan PAD NTB pada TA 2002
sebesar Rp. 98.440.896.479 (Rp. 98 miliar) maka biaya penunjang kegiatan DPRD maksimal ‘hanya’
Rp. 984.408.964 (Rp. 984 Juta), tetapi APBD TA 2002 mengalokasikan biaya penunjang kegiatan
sebesar Rp. 11.712.706.160 (Rp. 11,712 miliar) atau 11,9 kali lebih besar dari seharusnya.
Penyimpangan lainnya yang juga ditemukan, misalnya “Uang Paket” dan “Pos tunjangan
kesejahteraan untuk pemeliharaan dan pengobatan kesehatan”.2
Menyusul langkah ini, bersama sejumlah elemen masyarakat lainnya yang didampingi
sejumlah Tuan Guru yang tergabung dalam APPGAK NTB (Aliansi Pondok Pesantren untuk Gerakan
Anti Korupsi)3, SOMASI NTB melakukan hearing dengan Panitia Anggaran (Panggar) DPRD NTB
dan mendesak DPRD NTB mengurangi anggarannya pada APBD Perubahan TA 2002.
Langkah ini berlanjut dengan aksi kampanye boikot penetapan APBD NTB dan kampanye
tolak bayar pajak oleh ARAAP NTB (Aliansi Rakyat untuk Advokasi Anggaran Publik), dan aksi
serupa terkait APBD Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa, menjelang penetapan APBD TA 2003.
Tapi apa mau dikata, suara masyarakat bagai menampar angin, APBD yang dianggap tidak memihak
publik dan dinilai banyak pelanggaran tersebut tetap saja ditetapkan oleh DPRD NTB.4
Pasca aksi-aksi ini, SOMASI NTB memfokuskan agendanya pada pemantauan dan advokasi
Laporan Pertanggungjawaban Akhir Jabatan (LPj) Gubernur NTB Harun Alrasyid, yang akan segera
berakhir masa jabatannya. Sejak saat itu pula, pergeseran isu di daerah telah terfokus pada prosesi
pemilihan Gubernur NTB periode 2003-2008.
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB berlangsung pada tanggal 21 Juli 2003 dengan
tiga pasangan calon gubernur-wakil gubernur, yakni: (1) Pasangan Harun Alrasyid-Nanang Samodra
(Gubernur NTB-Sekda NTB), (2) Pasangan Mesir Suryadi-Ismaildin Wahab (Ketua DPD I Golkar
NTB-pengusaha), dan (3) Pasangan Lalu Serinata-B. Thamrin Rayes (Mantan Ketua DPRD NTB-
Mantan Sekda Kabupaten Sumbawa). Hasilnya, pasangan Lalu Serinata-B. Thamrin Rayes (Bonyo)5

1
Alasan mengapa kajian tersebut tidak disampaikan kepada aparat hukum karena dari hasil refleksi SOMASI NTB terhadap strategi
pemberantasan korupsi selama ini, tidak satu pun laporan dugaan korupsi dari lembaga ini ditindaklanjuti oleh aparat hukum
(Kejati NTB), dan disimpulkan bahwa hal tersebut berbahaya untuk terus dilakukan karena dapat menjadi bumerang bagi
pemberantasan korupsi: ”Ngapain berantas korupsi, tidak pernah ada kasus yang tuntas dan koruptornya tidak ada yang
dihukum”. Sehingga pilihannya pada saat itu, adalah lebih memperluas stakeholder masyarakat yang terlibat dalam
pemberantasan korupsi, termasuk kalangan LSM, mahasiswa, rakyat pedesaan maupun kalangan pondok pesantren khususnya
tuan guru yang dianggap bisa menjadi ’spoke person’ pemberantasan korupsi. Pilihan isu pun dititikberatkan pada isu anggaran
publik, dengan harapan bisa lebih mudah dicerna publik. Perspektif seperti ini juga terungkap dalam wawancara dengan Adhar
Hakim, jurnalis yang juga pendiri SOMASI NTB, 2 Juni 2006.
2
Selengkapnya lihat Pers Release SOMASI NTB: ‘Anggaran Rakyat menumpuk di Pos DPRD” tanggal 16 September 2002.
3
Untuk tinjauan lebih lengkap mengenai aktivitas APPGAK NTB lihat Ervyn Kaffah, Membidik Peran Strategis Ulama dalam
Pemberantasan Korupsi, dalam Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq Amrulloh (ed.), Fiqh Korupsi: Amanah vs Kekuasaan, hal. 303 dst.,
SOMASI NTB, Mataram, Desember 2003.
4
ARAAP NTB adalah aliansi LSM, mahasiswa dan Ormas di Mataram untuk advokasi anggaran daerah. Untuk gambaran aktivitas
advokasi anggaran ARAAP NTB lihat Gatot Sulistoni dan Hendriadi, Anggaran Tak Sampai, SOMASI NTB, Mataram, Oktober 2004.
Pada proses aktivitas advokasi APBD NTB ini, BEM Unram yang saat itu diketuai oleh Joko Jumadi juga terlibat aktif.
5
H. Lalu Serinata sebenarnya adalah kader Golkar yang menjabat Ketua DPRD NTB saat itu, namun kalah bersaing untuk keluar
sebagai calon dari Partai Golkar NTB. Sementara HB Thamrin Rayes adalah kader PPP yang sebelumnya menjabat Sekretaris
Daerah Kabupaten Sumbawa.
4

yang dicalonkan oleh Fraksi PPP dan beberapa partai kecil lain keluar sebagai pemenang, dan pada 1
September 2003 dilantik oleh Menteri Dalam Negeri RI, Hari Sabarno.6

Mencuatnya Kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB TA 2003 dan Pengumuman Kejati NTB
Menjelang pelantikan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih, mencuat kasus dugaan
korupsi anggaran dewan dan sekretariat DPRD NTB pada TA 2003 yang diduga merugikan negara
senilai Rp. 13 miliar lebih.
Awalnya, kasus ini diungkap oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mataram (BEM
Unram), yang pada 12 Agustus 2003 memaparkannya kepada sejumlah jurnalis. Esoknya, BEM
Unram, didukung oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) NTB, melancarkan
aksi demonstrasi ke Gedung DPRD NTB dan Kantor Gubernur NTB. Mereka mendesak agar: (1)
DPRD NTB segera mengembalikan uang rakyat yang diduga dikorupsi sebesar Rp 6,7 milyar lebih, (2)
Kejaksaan dan kepolisian segera mengusut tuntas dugaan korupsi di tubuh DPRD NTB, (3) Bersihkan
DPRD NTB dari koruptor, dan (4) Pihak eksekutif, yakni Gubernur NTB dibawa ke PTUN karena
membuat keputusan yang berlawanan.
Selanjutnya, pada tanggal 14 Agustus 2003, BEM Unram melaporkan kasus ini kepada
Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB), yang ditembuskan kepada Kejaksaan Tinggi
Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB). Tidak cukup dengan itu, karena menganggap kinerja aparat di
daerah lamban, BEM Unram pun melaporkan kasus ini kepada Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung
RI, di Jakarta, tanggal 25 Agustus 2003.
Tentu saja, bantahan pun keluar dari pihak Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD NTB dan
anggota DPRD NTB yang segera menggelar jumpa pers. Sementara, Gubernur Harun Alrasyid yang
akan segera berakhir masa jabatannya menegaskan bahwa dirinya mendukung kasus tersebut
diselesaikan melalui proses hukum dan agar jangan dicampuradukkan dengan masalah politik,
khususnya prosesi pemilihan gubernur. Dukungan serupa pun keluar dari Mesir Suryadi, Ketua DPD
I Golkar NTB yang juga salah satu calon kalah dalam Pilgub. Selama beberapa pekan, halaman media
di daerah memuat polemik mengenai kasus ini, selain liputan mengenai sejumlah aksi demonstrasi ke
Kantor Kejati NTB untuk melaporkan dan mendesak Kejati NTB untuk mengusut tuntas kasus ini.
Pihak Kejati NTB sendiri rupanya mengambil langkah cepat. Tak berapa lama setelah
melakukan pemeriksaan dan analisis, pada 29 Agustus 2003, atau dua hari sebelum rencana
pelantikan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih yang direncanakan berlangsung 31 Agustus
2003, Kepala Kejati NTB, Muchtar Arifin7 mengumumkan bahwa tidak ditemukan adanya korupsi
sebagaimana disampaikan lima laporan masyarakat yang diterima pihak kejaksaan. Selain itu, Kejati
NTB menyimpulkan bahwa proses penyusunan anggaran dewan telah melalui prosedur yang benar.
Meski demikian, Kepala Kejati NTB mengatakan bahwa pihaknya akan kembali melakukan
penyelidikan karena ada laporan lain yang baru masuk, misalnya menyangkut asuransi dewan.
Disisi lain, pada saat pelantikan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih berlangsung di
gedung DPRD NTB tanggal 1 September 2003, Ketua BEM Unram, Wahid Agus Wahyudianto
dipanggil pihak Polda NTB untuk diperiksa sebagai saksi pelapor.8
Pasca pengumuman pihak Kejati NTB, tak banyak komentar yang muncul menyoroti putusan
ini. Dan media lebih tertarik untuk mulai menyoroti peristiwa Pilkada yang segera digelar di
Kabupaten Lombok Barat. Berbeda dengan Pemilihan di Kabupaten lainnya, Pilkada di Kabupaten
Lombok Barat melahirkan polemik. Pasalnya, meski pasangan Iskandar- Izzul Islam terpilih sebagai
Bupati-Wakil Bupati Lombok Barat, Gubernur NTB, Lalu Serinata ”menolak” melantik mereka.
Pasalnya, Wakil Bupati terpilih, Izzul Islam diduga menggunakan ijazah palsu dalam proses
pencalonannya, dan hal ini menjadi alasan bagi Gubernur untuk tidak melantik pasangan terpilih.

6
Untuk gambaran mengenai peristiwa Pilgub NTB 2003, antara lain dapat dilihat dalam Muhammad Sukri, Peristiwa Pemilihan
Kepala Daerah: Manipulasi Identitas Sasak untuk Berpolitik, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
2005. Lihat juga Rosyiadi H. Sayuti dan Muhammad Faqih Langitan, Perjalanan Orang Sasak Menjadi Gubernur: Kilas Balik
Pemilihan Gubernur NTB 2003, Pantheon, Mataram, Juli 2006.
7
Muchtar Arifin, SH sekarang menjabat Jaksa Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung RI. Setelah menjabat Kepala Kejati NTB
dan mengumumkan tidak ditemukan korupsi dalam dugaan korupsi anggaran DPRD NTB TA 2003, Arifin dimutasi sebagai Kepala
Kejati Sumatera Barat dimana kasus korupsi anggaran DPRD Sumatera Barat sedang dalam proses persidangan.
8
Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas beberapa hari sebelum pelantikan beredar isu bahwa akan ada demonstrasi
besar-besaran menolak pelatikan pasangan terpilih. Dan beberapa pihak menghubungkan pemeriksaan Ketua BEM Unram hari itu
dengan adanya rencana demonstrasi pelantikan pasangan gubernur-wakil Gubernur terpilih.
5

Masa Jeda Sembilan Bulan dan mencuatnya Kasus Korupsi lain


Dalam masa jeda selama kurang sembilan bulan sebelum kemunculan kasus korupsi anggaran
DPRD NTB TA 2001 dan 2002, mencuat ke permukaan kasus korupsi anggaran DPRD NTB pada pos
biaya lain-lain kegiatan dewan APBD TA 2003, yang diperuntukkan bagi biaya bantuan
kemasyarakatan, yang diduga diselewengkan oleh Sekretaris Panggar, H. Mahdar. Sementara itu,
GeRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) NTB bersama jaringannya di daerah, berturut-turut pada
Bulan Mei, Juni dan Agustus 2006 melaporkan kasus korupsi anggaran DPRD di tiga kabupaten/kota
kepada pihak Kejaksaan Tinggi NTB, yakni kasus DPRD Kab Sumbawa, DPRD Kota Mataram, dan
DPRD Kab. Lombok Tengah. Kasus penting lainnya yang patut dicatat, adalah mencuatnya kembali
ke permukaan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah cadangan Pemkab Sumbawa di Seketeng,
Kabupaten Sumbawa, yang diduga turut melibatkan mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Sumbawa,
yang saat itu telah menjabat Wakil Gubernur NTB, HB. Thamrin Rayes.
Alhasil, pada masa jeda ini dan beberapa bulan berikutnya, polemik di media massa
didominasi oleh pro-kontra mengenai dugaan korupsi anggaran dewan di tiga daerah dan beberapa
kasus lain, khususnya kasus H. Mahdar dan kasus pengadaan tanah di Seketeng.

1.2. Langkah Awal Mendorong Kasus Dugaan Korupsi Anggaran DPRD NTB TA 2001 dan 2002
Cerita awal munculnya dugaan korupsi anggaran DPRD NTB TA 2001 dan 2002 dimulai pada
Bulan Juni 2004 oleh dua kelompok yang menggelar demonstrasi mendesak DPD I Golkar NTB yang
saat itu dipimpin oleh Mesir Suryadi, untuk lebih serius mendorong penuntasan kasus korupsi dewan.
Kepada Mesir saat itu, massa juga menyerahkan data dugaan korupsi anggaran DPRD NTB untuk tiga
tahun, yakni TA 2001, 202 dan 2003 senilai Rp 31,5 miliar.
Pada perjalanan selanjutnya, awal Juli 2004, kubu Mesir nampak menjalin hubungan dengan
Kelompok L. Agus F. Wirawan (Ketua Dewa/Development Watch)-L. Abdul Johan Blumbang
(Pengacara praktik) cs. Yang terakhir ini, saat itu juga menjalin komunikasi dengan salah seorang
wakil bupati di Pulau Lombok. Adanya aliansi dari beberapa kelompok ini dapat dilihat dari dua kali
pertemuan di rumah makan Sayung, yang juga diikuti oleh beberapa kelompok lainnya, misalnya
sejumlah kader PDI Perjuangan.
Sekitar Awal Juli 2004 itu pula, Agus-Blumbang berangkat ke Jakarta dan melaporkan kasus
dugaan korupsi DPRD NTB kepada KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Tiba di Mataram, melalui
media massa mereka menyampaikan bahwa KPK akan segera turun ke NTB untuk melakukan
penyelidikan merespon laporan pihaknya. Langkah ini disusul jumpa pers di Rumah Makan Sayung
bersama sejumlah pihak lain yang tergabung dalam FMAK NTB (Forum Masyarakat Anti Korupsi).9
Selain menjelaskan rencana kedatangan KPK untuk mengusut dugaan korupsi DPRD NTB, juga
dibeberkan sejumlah data menyangkut dugaan penyimpangan anggaran dewan.
BEM Unram sendiri, saat itu diketuai Iwan Wahyudi, setelah sempat istirahat mendorong
kasus korupsi DPRD NTB (TA 2003), berikutnya juga bergabung dengan kelompok Agus-Blumbang
cs bersama sejumlah elemen lainnya dalam FMAK NTB.
Setelah sempat berkoordinasi, BEM Unram dengan kuasa hukum Lalu Abdul Johan Blumbang
cs pada tanggal 28 Juli 2004 mempraperadilankan Polda NTB. Argumennya, Polda NTB pernah
dilapori oleh BEM Unram namun tidak pernah ditindaklanjuti.10 Hasilnya, Kejati NTB kemudian
mengirimkan surat kepada Polda NTB yang isinya menjelaskan bahwa kasus yang dilaporkan oleh
BEM Unram tengah diproses pihaknya. Dengan keluarnya surat Kejati NTB ini, meski sidang sempat
digelar, BEM Unram pun mencabut gugatannya dan selanjutnya sambil membawa salinan putusan
PN Mataram, bersama komponen FMAK NTB lainnya mendatangi kejaksaan dan mendesak agar
kasus tersebut benar-benar ditindaklanjuti. Langkah ini ditindaklanjuti FMAK NTB dengan
mengirimkan laporan tertanggal 25 Juli 2004 kepada KPK mengenai kasus ini.

9
Saat itu BEM Unram belum bergabung dengan FMAK NTB.
10
Faktanya, yang dilaporkan oleh BEM Unram kepada Polda NTB hanyalah menyangkut dugaan korupsi anggaran DPRD NTB TA
2003. Meski demikian, menurut Abdul Johan Blumbang, pihaknya tidak terlalu memperdulikan mengenai hal tersebut, yang
penting adalah target agar kasus ditindaklanjuti oleh aparat hukum.
6

Di sisi lain, saat langkah mendorong kasus ini dimulai oleh Agus-Blumbang cs, Jaringan
GeRAK NTB lebih terfokus untuk mendesakkan penanganan kasus korupsi di tiga kabupaten/kota
sembari menekankan agar kasus korupsi DPRD NTB diusut tuntas.

1.3. Proses Hukum sebelum Persidangan


1.3.1. Proses Penyelidikan dan Penyidikan oleh Kejati NTB

Sebelum langkah praperadilan dan pelaporan oleh pihak BEM Unram maupun aliansi FMAK
NTB, pihak Kejati NTB ternyata telah mengambil langkah awal menangani kasus ini. Sejak 16 Juli
2004, Kejati NTB telah mengeluarkan pernyataan bahwa kasus korupsi DPRD NTB kembali dibuka.
Sebelumnya, Kejati NTB telah memeriksa tiga orang staf sekretariat DPRD NTB, yakni Sekwan NTB
(Zainal Abidin), Kabag Keuangan DPRD NTB (Lalu Supartha) dan Bendahara Dewan, Hj. Huriati.
Menyusul setelah itu, tanggal 19 Juli 2004, Asisten Intelijen (Asintel) Kejati NTB telah mengeluarkan
Nota Dinas Intelijennya mengenai dugaan korupsi anggaran dewan ini. Surat ini ditindaklanjuti
dengan keluarnya Surat Jamintel Kejagung kepada Kejati NTB untuk menindaklanjuti kasus tersebut
pada 30 Juli 2004.11
Lalu siapakah yang melaporkan dugaan korupsi yang berujung diproses hukumnya kasus ini
oleh kejaksaan? Sampai sejauh ini pelapor kasus ini belum terungkap. Sejak awal, pihak Kejati NTB
menyatakan bahwa kasus ini diusut atas perintah Kejagung RI menyusul laporan sebuah LSM kepada
Kejagung awal tahun 2004.12
Pada tanggal 4 Agustus 2006, Kepala Kejati NTB, Suhardjono, mengeluarkan Surat Perintah
Penyidikan terhadap 11 orang tersangka anggota Panggar DPRD NTB. 13 Disusul pengumuman
melalui media massa mengenai ditetapkannya 15 orang anggota Panggar DPRD NTB sebagai
tersangka kasus korupsi tanpa menyebutkan identitas para tersangka, dua hari berikutnya.
Atas desakan publik, pada 10 Agustus 2006 Kejati NTB mengumumkan bahwa jumlah
tersangka kasus ini naik menjadi 18 orang, kembali dengan penolakan kejaksaan untuk menyebut
identitas para tersangka. Selain itu, Pihak Kejati NTB pun menjelaskan bahwa permohonan ijin
pemeriksaan para tersangka dan saksi kepada Mendagri (via Kejagung) akan segera dikirim.
Teknisnya, Kejati NTB akan mengirimkan permohonan ijin 11 orang anggota dewan terlebih dahulu
sebagai tersangka, sementara 7 orang lainnya akan dimohonkan ijin untuk diperiksa sebagai saksi.
Pada awal hingga tengah Bulan Agustus 2004 ini, Kejati NTB kembali memeriksa 3 orang
saksi dari Sekwan DPRD NTB yang sebelumnya sudah pernah diperiksa, ditambah saksi lainnya dari
eksekutif, antara lain Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi NTB, H. Mansyur. Disusul
kemudian pada tanggal 25 Agustus 2004, Kepala Kejati NTB, Suhardjono mengeluarkan surat
permohonan ijin pemeriksaan 11 orang tersangka dan 14 orang saksi anggota DPRD NTB, untuk
dikirimkan kepada Mendagri.
Tekanan publik agar pihak kejaksaan menyebutkan nama para tersangka terus menguat. Dan
pada tanggal 6 September 2004, atas desakan massa Jaringan Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK
NTB) yang melakukan aksi ke Kantor Kejati NTB, Aspidsus Kejati NTB, I Ketut Parwata Kusuma
mengumumkan nama 18 orang tersangka kasus ini, meliputi pimpinan dan anggota Panggar DPRD
NTB pada tahun 2001 dan 2002.14
Akhir September 2004, Kepala Kejati NTB, Suhardjono, serta sejumlah pejabat strategis di
Kejaksaan Tinggi NTB mulai dari Wakajati NTB (Soekarno Purwowidagdo), Asintel (Djuwito

11
Surat Jaksa Agung Muda Intelijen tanggal 30 Juli 2004 No.R-679/D/Dek.3/07/2004 perihal: Dugaan Penyimpangan dalam
Pengalokasian dan Penggunaan Anggaran pada Pos Belanja Dewan dan Pos Belanja Sekretariat Dewan APBD Prop. NTB Tahun
Anggaran 2001 dan 2002, yang meminta agar kasus ini ditindaklanjuti.
12
Pada sidang pembacaan tuntutan dalam persidangan kasus ini, Pihak Kejati NTB malah menyebutkan bahwa pelapor kasus ini
adalah GEMAM (Gerakan Mahasiswa Mataram). Penyebutan nama GEMAM sebagai pelapor dalam tuntutan JPU merupakan kali
pertama penjelasan mengenai pelapor oleh pihak kejaksaan. GEMAM sendiri adalah nama yang tidak pernah dikenal oleh publik.
13
Saat itu Sunardi Ayub, salah seorang anggota Panggar dari Fraksi Golkar belum ditetapkan sebagai tersangka. Perintah
Penyidikan untuk semua (11 orang) tersangka dikeluarkan dalam satu surat yang menunjuk 13 orang jaksa Penyidik.
14
Ke 18 orang Pimpinan dan Anggota Panitia Anggaran Legislatif yang diumumkan sebagai tersangka hari itu adalah : H. Lalu
Serinata (Ketua Panggar), H. Rahmat Hidayat (Wakil Ketua Panggar (Wakil Ketua Panggar), Abdul Kappi (mantan Wakil Ketua
Panggar), Abdurrahim (wakil ketua Panggar), H. Mahdar (sekretaris Panggar), Haryawan Sriyono (Anggota), H. Abubakar Muchdi
(anggota), Lalu Mustakim (Anggota), Ali Ahmad (Anggota), H. Ahmad Taqiuddin (Anggota), Lalu Koeshardi Anggrat (Anggota),
Gusti Komang Padang (Anggota), KH. M. Anwar MZ (Anggota), A. Hafid (Anggota), H. Lalu Artawa (Anggota), H. Mahdan
(Anggota), Lalu Kumala (Anggota) dan Sunardi Ayub (Anggota).
7

Pengasuh), dan Aspidsus (I K Parwata Kusuma) dimutasi dari NTB. Disusul beberapa minggu
setelahnya sejumlah jaksa, termasuk beberapa orang jaksa penyidik kasus korupsi DPRD NTB. Sebagai
penggantinya, Kepala Kejati NTB yang baru, A. Zaenal Arifin, putera kelahiran Sumbawa, NTB,
mulai bertugas sejak pertengahan Oktober 2004.
Baru saja menjabat, tanpa diduga, tanggal 1 November 2004, Kepala Kejati NTB malah
mengeluarkan pengumuman bahwa sesuai surat perintah penyidikan (SPP) terdahulu, tersangka
kasus korupsi dewan berjumlah ”hanya” 11 orang dan ditambah satu orang lagi, yakni Sunardi Ayub,
yang baru saja ditandatanganinya baru-baru ini. Mungkin merasa perlu memberi penjelasan kepada
publik yang mengecam keras ”pengurangan jumlah tersangka”, esoknya tanggal 2 November 2004,
Kepala Kejati NTB menegaskan bahwa apa yang diumumkannya sesuai dengan berkas yang
diterimanya saat mulai menjabat, meski tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan
bertambah.
Pada hari yang sama, Kepala Kejati NTB rupanya juga mengajukan surat permohonan kepada
Jampidsus agar memohonkan ijin pemeriksaan kepada Presiden bagi Gubernur NTB H. Lalu
Serinata sebagai saksi, dan kepada Mendagri untuk Sunardi Ayub sebagai tersangka.
Pada era Kepala Kejati NTB, A. Zaenal Arifin inilah pemeriksaan mulai intensif dilaksanakan.
Pemeriksaan saksi staf dan mantan staf sekwan serta mantan jajaran Setda Propinsi NTB dilaksanakan
sejak Akhir November 2004 hingga Awal Januari 2005. Disusul pemeriksaan sejumlah saksi mantan
anggota DPRD NTB 1999-2004, yang berlangsung hingga Akhir Februari 2005. Setelah itu, digelar
pemeriksaan para tersangka, saksi ahli dan beberapa orang saksi, seperti Rahmat Hidayat dan HL
Serinata, yang berlangsung hingga Akhir Mei 2005. Pada pertengahan April 2005, jaksa penyidik
telah mengeluarkan resume (pendapat) mengenai hasil pemeriksaan kasus yang dibagi dalam 4 berkas
penyidikan ini, meski setelah itu kembali melakukan pemeriksaan tambahan terhadap sejumlah saksi
maupun tersangka.
Merujuk dokumen yang tersedia, Kejati NTB nampak mengulangi kembali kerja
penyidikannya dari awal, termasuk mengeluarkan surat perintah penyidikan dan membentuk tim
penyidik baru, serta kembali mengirimkan surat permohonan ijin pemeriksaan penyidikan angggota
DPRD NTB kepada Mendagri.
Pada tanggal 21 November 2004, Aspidsus Kejati NTB (pengganti Aspidsus Parwata Kusuma),
Agus Suratno, SH mengeluarkan surat ’Laporan terjadinya Tindak Pidana’ kasus ini kepada Kepala
Kejati NTB. Disusul pada 24 November 2004, Kepala Kejati NTB juga mengirimkan surat permohonan
kepada Jampidsus untuk memberikan persetujuan tertulis tindakan penyidikan terhadap Anggota
DPRD provinsi NTB.
Tanggal 27 November 2004, keluar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejati NTB atas dugaan
korupsi anggaran DPRD NTB kepada sejumlah jaksa penyidiknya. Dan menyusul kemudian, pada
tanggal 2 Desember 2004, Aspidsus Kejati NTB ”kembali” menyampaikan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk empat ”kelompok” tersangka, kepada Kepala Kejati NTB.
Sebagai jawaban atas surat permohonan ijin Kepala Kejati NTB, Suhardjono SH tanggal 25
Agustus 2004 --yang selanjutnya tentu diteruskan oleh Kejagung, Mendagri telah mengeluarkan ijin
pemeriksaan atas nama 11 orang tersangka dan 14 orang saksi anggota DPRD NTB 1999-2004.
Disusul kemudian surat Direktur Penyidikan a.n Jampidsus Kejakgung yang menyampaikan surat ijin
pemeriksaan saksi dari Mendagri tersebut kepada Kejati NTB tertanggal 8 Desember 2004.
Sementara itu, surat ijin pemeriksaan saksi Gubernur NTB H. Lalu Serinata akhirnya
dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Desember 2004, yang kemudian
disampaikan oleh Direktur Penyidikan Kejagung RI, Suwandi, kepada Kejati NTB melalui suratnya
tertanggal 14 Desember 2004.
Sebagai jawaban terhadap Surat permohonan ijin pemeriksaan yang disampaikan Kepala
Kejati NTB tanggal 24 November 2004, Jampidsus mengirimkan surat untuk menyampaikan ijin
8

Mendagri bagi pemeriksaan 5 (lima) orang saksi anggota DPRD NTB. 15 Sementara ijin pemeriksaan
untuk tersangka Sunardi Ayub dikeluarkan oleh Mendagri tanggal 18 Februari 2005.16
Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, pada tanggal 22 Maret 2005, usai melakukan
pemeriksaan, jaksa penyidik melakukan penahanan terhadap 9 orang tersangka, mantan anggota
Panggar DPRD NTB 1999-2004. Surat penahanan yang dikeluarkan oleh Kepala Kejati NTB
menyebut para tersangka akan ditahan selama 20 hari, terhitung 22 Maret-10 April 2005.
Proses pemeriksaan saksi Gubernur NTB H. Lalu Serinata ternyata tidak berjalan mulus. Pada
pemanggilan pertama, Serinata tidak menghadiri pemeriksaan dengan alasan kesibukannya sebagai
gubernur. Hal serupa kembali terulang pada empat kali rencana pemeriksaan berikutnya. Bahkan,
sejumlah tekanan dihadapi oleh aparat penegak hukum. Pada rencana pemeriksaan saksi Gubernur
Serinata selanjutnya tanggal 28 Maret 2005, kantor Kejati NTB malah diserbu massa yang melakukan
pelemparan kantor korps baju coklat ini. Menyusul kemudian pada rencana pemeriksaan tanggal 30
Maret 2005, sejumlah pihak yang mengatasnamakan tokoh agama dan tokoh masyarakat dari Lombok
dan Sumbawa menemui Kepala Kejati NTB. Akhirnya, setelah menunggu cukup lama, jaksa penyidik
bisa juga memeriksa Serinata pada tanggal 16 April 2005. Itu pun dilakukan malam hari.
Pagi hari tanggal 31 maret 2005, sekitar Pkl. 09.35 Wita, salah seorang tersangka yang sedang
dalam status tahanan kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram, yakni H.Lalu Artawa,
meninggal di RS Wirabhakti yang letaknya bersebelahan dengan Lapas Mataram, karena sakit.
Peristiwa ini disusul dengan dilaksanakannya rapat Muspida di Kantor Kejati NTB. Satu jam setelah
Rapat Muspida, sekitar Pkl. 13.00 Wita, Kepala Kejati NTB, A. Zaenal Arifin menggelar jumpa pers di
Kantor Kejati NTB mengumumkan penangguhan penahanan tersangka, didampingi oleh jajaran
Muspida.
Pada bulan Mei 2006, Kepala Kejati NTB menjelaskan bahwa kerugian negara yang awalnya
diduga sebesar Rp. 24,2 ternyata dari hasil penyidikan ditemukan hanya Rp. 17,5 miliar.
Dan akhirnya, pada 11 Agustus 2005, atau kurang lebih setahun sejak penyidikan dimulai, tim
Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara 11 tersangka, yang dibagi dalam empat berkas,
diluar satu orang tersangka yang meninggal dalam tahanan, kepada Pengadilan Negeri Mataram.

1.3.2. Dinamika selama berlangsungnya proses hukum sebelum persidangan


Pasca pengumuman ditetapkannya 15 orang anggota panggar DPRD NTB sebagai tersangka
pada tanggal 6 Agustus 2004, desakan penyebutan nama para tersangka dari publik menghiasi
halaman media. Selain itu, juga bergulir pendapat seharusnya semua anggota Panggar yang berjumlah
18 orang ditetapkan sebagai tersangka, bukan hanya 15 orang. Hasilnya, Kejati NTB mengumumkan
bahwa jumlah tersangka kasus ini naik menjadi 18 orang, kembali dengan penolakan kejaksaan untuk
menyebut identitas para tersangka. Selain itu, pihak Kejati NTB pun menjelaskan bahwa permohonan
ijin pemeriksaan para tersangka dan saksi kepada Mendagri (via Kejagung) akan segera dikirim.
Teknisnya, Kejati NTB akan mengirimkan permohonan ijin 11 orang anggota dewan terlebih dahulu
sebagai tersangka, sementara sisanya 7 orang akan dimohonkan ijin untuk diperiksa sebagai saksi.
Harian lokal menulis komentar sejumlah pihak yang mendesak agar pihak Kejati NTB segera
menyebut identitas para tersangka dan sekaligus melakukan penahanan kepada para tersangka.
Namun pihak Kejati NTB tetap bertahan tidak mau menyebutkan identitas para tersangka. Meski
demikian, Post Metro, salah satu media dengan segmen pemberitaan ’Hukum dan Kriminal’, memuat
berita mengenai siapa saja nama 18 orang pimpinan dan anggota panggar DPRD NTB.
Atas pengumuman kejaksaan, sejumlah anggota DPRD NTB agaknya terusik. Pada 13 Agustus
2004, DPRD NTB menggelar jumpa pers dan mengeluarkan penyataan. Intinya menyebut
pemberitaan gencar media massa mengenai kasus ini sebagai pembunuhan karakter anggota dewan.
Mereka menyebut, tudingan tersebut telah meresahkan anggota dewan dan keluarganya, akibatnya,
anggota dewan tidak bisa bekerja dengan baik sehingga roda pemerintahan sedikit terganggu.

15
Anehnya, dari lima yang tercantum dalam lampiran surat, salah satunya tidak dikenal dan bukan anggota DPRD NTB, yakni
Pranoto Abdullah.
16
Surat Menteri Dalam Negeri (H. Moh Ma’ruf) kepada jaksa Agung RI tanggal 18 Februari 2005, Nomor: 161.62/398/Sj Perihal:
Persetujuan Tertulis untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap anggota DPRD Nusa Tenggara Barat A.n. DR. (HC)
Sunardi Ayub SH.
9

Rupanya pernyataan ini bukan tanpa maksud, esok harinya, seluruh fraksi di DPRD NTB
memboikot penetapan Perubahan APBD TA 2004. Mereka menyatakan menolak menetapkan APBD
Perubahan TA 2004. Alasannya, mereka takut berpendapat yang akan berakibat hukum, seperti
terjadi dalam kasus korupsi anggaran DPRD NTB TA 2001 dan 2002 yang sedang diusut pihak
kejaksaan. Diluar itu, Ketua DPRD NTB, Sunardi Ayub menjelaskan, pihaknya telah membentuk tim
kehormatan legislatif guna merespon dugaan korupsi DPRD. Langkah boikot penetapan anggaran ini
mendapat kecaman keras dari sejumlah elemen masyarakat.
Tidak cukup dengan itu, pada 21 Agustus 2004 bertempat di Ruang Rapat Utama Gubernur
NTB, tujuh orang petinggi daerah (Muspida) menggelar jumpa pers bersama dan mendeklarasikan
sikap bersama dalam mendorong terwujudnya kondusifitas daerah baik menjelang Pilpres Putaran II
maupun stabilitas nasional dan daerah di Ruang Rapat Utama Gubernur. Hanya saja, di luar tema
besar itu, terkait dengan kasus korupsi yang sedang disidik kejaksaan, Gubernur NTB menyatakan
penetapan 18 anggota Panggar DPRD NTB sebagai tersangka dapat menimbulkan instabilitas daerah.
Kecaman publik terhadap pernyataan bersama ini sangat keras. Lebih-lebih terhadap Kepala Polda
NTB, Kepala Kejati NTB dan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram yang dianggap tidak sepantasnya
melakukan jumpa pers bersama Gubernur H. Lalu Serinata yang saat itu diduga terlibat dalam kasus
korupsi anggaran DPRD NTB. Suara-suara mendesak penyebutan identitas tersangka pun kembali
keluar.
Momentum ini rupanya direbut dengan baik oleh Jaringan GeRAK NTB, yang pada 6
September 2004 menggelar demonstrasi ke Kantor Kejaksaan Tinggi NTB dengan menurunkan massa
dalam jumlah besar.17 Di depan massa dan dibawah sorotan kamera TV para jurnalis, Aspidsus Kejati
NTB, I Ketut Parwata Kusuma, mengumumkan satu persatu nama 18 orang tersangka pimpinan dan
anggota Panggar DPRD NTB. Aspidsus saat itu juga menjelaskan bahwa untuk memudahkan proses
keluarnya surat ijin dari Mendagri, untuk sementara 11 orang tersangka akan dimintakan ijin sebagai
”tersangka” sementara sisanya akan dimohonkan ijin sebagai ”saksi”. Meski demikian, Aspidsus
menegaskan bahwa sejatinya ke 18 orang anggota panggar tersebut semuanya adalah tersangka.
Penyebutan nama para tersangka ini menjadi headline seluruh media di daerah esok harinya.
Beberapa diantaranya misalnya, Post Metro menurunkan judul ”Ini dia tersangka korupsi DPRD
NTB” dan memasang foto 18 orang Pimpinan dan anggota panggar DPRD NTB yang diumumkan
sebagai tersangka. Sementara SUARA NTB memilih judul: ”Gubernur NTB Tersangka Kasus korupsi
DPRD NTB”. Selain itu, harian lokal pun memuat kecaman masyarakat atas teknis permohonan ijin
pemeriksaan oleh Kejati NTB kepada Mendagri, yang dianggap sebagai akal-akalan untuk
menyelamatkan sebagian tersangka.
Atas pengumuman nama para tersangka ini, sejumlah anggota dewan yang disebut sebagai
tersangka menyatakan siap mengikuti proses hukum dan siap mundur dari jabatan dewan jika
terbukti bersalah. Lombok Post bahkan memuat secara bersambung komentar beberapa anggota
dewan yang diumumkan sebagai tersangka. Hampir semuanya menyatakan siap mengikuti proses
hukum, kecuali mantan Ketua Panggar DPRD NTB yang juga menjabat Gubernur NTB, H. Lalu
Serinata, yang menolak berkomentar soal namanya yang tercantum dalam daftar tersangka yang
diumumkan. Pengumuman ini disusul dengan pro-kontra, akibat gagalnya rencana pemeriksaan
saksi mantan Gubernur NTB, Harun Alrasyid, yang saat itu akan dilantik sebagai anggota Dewan
Pertimbangna Daerah (DPD) RI.
Aktivis BEM Unram nampaknya mulai memperluas lingkup jaringannya. Pada 7-9
September 2004, di Universitas Sumbawa, Sumbawa Besar, BEM se-NTB menggelar rembuk regional
untuk membicarakan agenda bersama dalam pemberantasan korupsi.18 Rembuk regional ini disusul
aksi bersama BEM se-NTB di Sumbawa Besar menuntut dituntaskannya kasus korupsi se-NTB.
Selanjutnya, pada 14 September 2004, BEM NTB Raya mendatangi Kejati NTB menanyakan
ketegasan pihak kejaksaan dalam menuntaskan kasus korupsi DPRD NTB. Namun para aktivis muda

17
BEM Unram juga bergabung dalam aksi tersebut. GeRAK NTB dalam aksi tersebut mendesak agar Kejati NTB segera menangkap
para koruptor dalam kasus DPRD se-NTB yang dikalkulasi merugikan keuangan daerah mencapai Rp 50 miliar. Selain itu, jika tidak
mampu, sebaiknya Kepala Kejati NTB dan jajarannya termasuk Kepala Kejati di daerah segera’angkat kaki’dari NTB.
18
Pada rembuk ini juga digelar seminar mengenai pemberantasan kasus korupsi DPRD, menghadirkan 2 narasumber yakni Ervyn
Kaffah (SOMASI NTB) dan Ichsan Tabarani (Praktisi Hukum). Rembuk regional ini merekomendasikan rencana aksi anti korupsi
BEM se-NTB : (1) aksi tiap daerah (kab/kota) tanggal 25 September, (2) Aksi tiap pulau (Lombok dan Sumbawa) tanggal 30
September 2006.
10

ini tidak bertemu satu pun pentolan Kejati NTB yang saat itu sedang menghadiri pemakaman Asdatun
Kejati NTB di Jawa Timur. Aksi ini selanjutnya disusul aksi serempak BEM NTB Raya di Mataram,
Sumbawa Besar dan Bima mendesak kasus korupsi DPRD NTB, dan kasus korupsi di daerah-daerah
dituntaskan.
Pada saat mutasi Kepala Kejati NTB (Suhardjono) dan sejumlah jajaran strategis Kejati NTB
berlangsung Akhir September 2004, sejumlah elemen mengungkapkan kekhawatirannya bahwa
pengusutan kasus akan kembali tersendat. Tanda-tandanya mulai kelihatan sejak pihak kejaksaan
mengumumkan bahwa permohonan ijin pemeriksaan akan dilakukan secara bertahap, dan hal itu
dianggap sebagai akal-akalan untuk meloloskan sebagian tersangka.
Apalagi saat pejabat Kepala Kejati NTB yang baru, A. Zaenal Arifin, mengumumkan pada
tanggal 1 November 2004 bahwa jumlah tersangka ”hanya” 12 orang, publik bereaksi sangat keras.
Selama kurang lebih lima hari berikutnya, kecaman pedas dari publik mengalir deras di harian lokal,
sembari mendesak Kejagung RI segera turun ke NTB untuk memeriksa ketidakberesan di tubuh
Kejati NTB. Sementara BEM Unram saat itu mengambil langkah berkirim surat kepada : (1) Jaksa
Agung, untuk memperketat pengawasan terhadap Kejati NTB, (2) Mendagri, agar segera
mengeluarkan Surat ijin pemeriksaan, dan (3) KPK, agar segera mengambil alih penanganan kasus
korupsi tersebut.
Ijin pemeriksaan Saksi Gubernur NTB H. Lalu Serinata sebagaimana diumumkan Juru Bicara
Kepresidenan Andi A. Mallarangeng bersamaan dengan sejumlah kepala daerah lainnya di Istana
negara, keluar tepat pada Hari Anti Korupsi 9 Desember 2004. Pada hari yang sama, di persimpangan
depan Bank Indonesia Mataram, GeRAK NTB bersama sejumlah elemen lainnya menggelar aksi
mimbar bebas dengan tuntutan penuntasan kasus DPRD di daerah dan isu lainnya terkait mafia
peradilan19, sementara BEM Unram ditempat yang sama juga menggelar orasi dan selanjutnya
memisahkan diri melakukan long march menuju Kantor Kejati NTB.
Keluarnya ijin pemeriksaan Serinata sebagai saksi disambut beragam oleh elemen masyarakat,
baik yang menyatakan gembira maupun sinis. Selanjutnya tanggal 14 Desember 2004, Lombok Post
menurunkan wawancara khusus dengan Gubernur NTB yang antara lain menyebut bahwa
pembongkaran kasus tersebut kental bermuatan politis dan menyebut sebuah nama berinisial ”MS”
yang menjadi dalang dibalik bergulirnya kasus tersebut. Serinata pun menyampaikan
kekhawatirannya akan dijebak oleh jaksa penyidik dalam proses pemeriksaan.20
Pada Akhir Desember 2004, tercatat dua massa menggelar aksi ke Kantor Kejati NTB dengan
isu yang berbeda. Massa pertama, FSDK (Forum Solidaritas untuk Demokrasi dan Keadilan) mendesak
Kejati NTB juga memeriksa Harun Alrasyid, mantan Gubernur NTB, sementara massa lainnya dari
unsur mahasiswa yang tergabung dalam AMPEL Lotim (Aliansi Mahasiswa Peduli Lombok Timur)
mendatangi Kejati NTB, mendesak kejaksaan segera menuntaskan kasus korupsi DPRD NTB.
Pada awal Januari 2005, SOMASI NTB menggelar jumpa pers catatan akhir tahun
pemberantasan korupsi di NTB, termasuk menyoroti proses penanganan kasus korupsi DPRD NTB
yang tersendat akibat ijin pemeriksaan yang belum juga keluar. Sementara pada 23 Februari 2005,
FMAK NTB mendatangi KPK untuk melaporkan perkembangan kasus dan meminta KPK turun
tangan mengambil alih kasus. Saat itu pula, FMAK NTB berpencar dan mencari dukungan kepada
sejumlah politisi NTB yang ada di Jakarta, yang menjabat Anggota DPD-RI dan DPR-RI. Pasca
kunjungan ke KPK ini, nampaknya aliansi taktis BEM unram dan kelompok lainnya dalam FMAK
NTB tidak berlanjut.
Langkah kejaksaan yang pada tanggal 22 Maret 2005 melakukan penahanan terhadap 9 orang
tersangka anggota panggar DPRD NTB mendapat pujian dari sejumlah elemen masyarakat NTB,
sebagaimana dimuat media keesokan harinya. Sementara itu, Gubernur NTB, H. Lalu Serinata yang
saat itu sedang berkunjung ke Jerman, rupanya mendapat berita atas penahanan anggota DPRD NTB.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh mantan Ketua DPRD NTB ini, adalah menelepon Kepala
Kejati NTB, A. Zaenal Arifin, dan menyampaikan keberatannya atas penahanan para tersangka tanpa

19
Aksi ini adalah rekomendasi dari pertemuan dua hari sebelumnya di Kantor SOMASI NTB yang difasilitasi oleh GeRAK NTB yang
dihadiri sejumlah aktivis organisasi mahasiswa, ornop, dan organisasi masyarakat, khususnya dari sektor nelayan, petani dan
buruh. Untuk mimbar bebas ini disepakati bahwa GeRAK NTB disepakati sebagai identitas aliansi.
20
Komentar Serinata ini disambut dengan pernyataan Humas Kejati NTB, Mariadi Idham Khalid, esok harinya yang menyatakan
bahwa Kejati NTB melaksanakan pengusutan kasus sesuai prosedur hukum dan Serinata tidak perlu takut akan dijebak.
11

ada koordinasi dengan pihaknya di pemerintah daerah yang notabene bertanggungjawab terhadap
keamanan daerah. Namun, rupanya keberatan gubernur ini tidak digubris oleh Kepala Kejati NTB. 21
Tiba di Mataram, Gubernur H. Lalu Serinata mengaku langsung menuju ke Gerung, Lombok
Barat, karena ada pertemuan sejumlah ”orang tua“ untuk membahas penahanan tersebut.22
Malamnya, ia mengunjungi para tahanan tersangka anggota DPRD NTB di Lapas Mataram, dan
mengetahui bahwa tiga orang anggota dewan sakit.
Pada tanggal 28 Maret 2005, sedianya jaksa penyidik berencana memeriksa saksi Gubernur
NTB H. Lalu Serinata. Sialnya, Serinata yang ditunggu-tunggu tak juga hadir, malah Kepala Kejati
NTB pada sekitar Pkl. 09.00 Wita mendadak menerima undangan rapat Muspida. Sementara
pimpinan korps baju coklat ini sedang mengikuti rapat Muspida di Kantor Gubernur NTB,
kantornya di Jl. Langko Mataram yang hanya berjarak sekitar 75 meter dari Mapolda NTB, malah
didatangi sekitar 3.000-an massa yang menyerbu dan melempari kantor itu. Hasilnya: kaca sejumlah
ruang di bagian depan kantor Kejati NTB hancur lebur. Sementara Kapolres Mataram, Ismail Bafadal,
yang memimpin pengamanan juga mengalami luka akibat lemparan batu dari pengunjuk rasa. Dari
massa keluar desakan agar kejaksaan tidak memeriksa Gubernur NTB, H. Lalu Serinata dan segera
membebaskan para tersangka yang ditahan. Massa pun meneriakkan agar mantan Gubernur NTB,
Harun Alrasyid segera diperiksa.
Sementara itu, di Kantor Gubernur NTB, dalam rapat Muspida itu, Gubernur NTB, H. Lalu
Serinata, meminta agar Kepala Kejati NTB membebaskan paling tidak tiga orang tersangka yang
sepengetahuannya sakit keras, namun ditolak oleh Kepala Kejati NTB 23. Bahkan, Kepala Kejati NTB,
A. Zaenal Arifin yang sekarang berkarir di Litbang Kejagung RI ini, malah menyampaikan langsung
surat pemanggilan pemeriksaan Gubernur Serinata sebagai saksi, sambil menanyakan kesediaan Sang
Gubernur kapan siap diperiksa, yang dijawab oleh Serinata bahwa ia bersedia diperiksa namun
waktunya malam hari.24 Pada hari yang sama, penasehat hukum para tersangka juga mengajukan
permohonan penangguhan para tahanan. Pasca penyerangan kantor Kejati NTB ini, Polda NTB
memberlakukan kondisi Siaga I dan menempatkan aparatnya untuk menjaga Kantor Kejaksaan Tinggi
NTB.
Pada tanggal 30 Maret 2005, jaksa penyidik sedianya kembali akan memeriksa saksi Gubernur
NTB, H. Lalu Serinata, namun hingga pukul 10.00 Wita Serinata tidak juga nampak batang
hidungnya, padahal pengacaranya telah menunggu sejak pagi di Kantor Kejati NTB. Untuk
memastikan kedatangan Serinata, pihak kejaksaan mengontak ajudan Gubernur, dan diperoleh
kepastian bahwa Gubernur siap datang ke kejaksaan. Namun hingga Pkl 12.00 Wita, saksi yang juga
Ketua DPD I Golkar NTB ini tak kunjung hadir. Setelah dikontak lagi oleh Humas Kejaksaan Tinggi
NTB, Ajudan Gubernur mengatakan bahwa Gubernur sudah tidak ada lagi di ruangannya. Pukul
13.15 Wita, secara mendadak Serinata berkirim surat yang disampaikan melalui pengacaranya di

21
Isi selengkapnya pembicaraan via telepon antara Gubernur HL Serinata mengenai hal tersebut sebagaimana diceritakan
Gubernur Serinata dalam konferensi persnya tanggal 09Juli 2006 pasca putusan hakim untuk 10 tersangka kasus ini, antara lain :
[.....Akhirnya saya coba minta kontak dengan Pak Jaksa tinggi pada waktu itu. Setelah berusaha keras untuk bisa kontak dengan
beliau, saya bicara dengan beliau...”Jadi..,” saya bilang, ”Saya dengar anda menahan anggota panitia anggaran.... eks anggota
Panitia anggaran yang dituduh begini-begini.....”. ”Benar”, katanya. ”Kenapa Bapak tahan. Kan Bapak tau... ini orang-orang...
ketua-ketua partai, orang-orang politik yang punya pengikut. Ada juga yang tuan guru, yang punya murid-murid. Yang pesantren
ini punya jaringan-jaringan. Harusnya Bapak koordinasi dulu dengan kami di Pemda. Kan ini tanggung jawab saya juga. Kalau
terjadi apa-apa nanti gimana. Saya khawatir terjadi hal-hal... Itu harus diperhitungkan dulu dong Pak dan koordinasi dengan
kami di Pemerintah Daerah. Saya kan penanggungjawab keamanan juga di daerah”. Itu saya bicara melalui telpon dari Jakarta,
karena beliau ndak mau ketemu dengan saya. Tapi beliau jawab, ”Sudah kita perhitungkan semua...”. Coba itu...]. Lihat
Dokumen Konferensi Pers Curhat/Uneg-uneg Gubernur NTB, L Serinata di Rumah Dinas Gubernur NTB 09 Juli 2006, Pasca Putusan
Majelis Hakim Kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB 2001-2002 tanggal 07 Juli 2006, dikumpulkan oleh GeRAK NTB, Juli 2006, hanya
untuk kalangan sendiri.

22
Menurut versi Serinata, tokoh yang berkumpul ingin menurunkan massa demonstrasi. Gubernur NTB ini mencoba melarang
karena mengkhawatirkan masalah keamanan, dan jika benar terjadi masalah, menurutnya ia pulalah yang kena getahnya. Namun
para tokoh yang hadir membantah dengan alasan bahwa pihak lain yang melakukan demonstrasi tidak dilarang oleh Gubernur.
Atas bantahan itu, Serinata mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Lihat Dokumen Konferensi Pers Curhat/Uneg-uneg Gubernur
NTB, L Serinata, di Rumah Dinas Gubernur NTB (Mataram, 09 Juli 2006), Pasca Putusan Majelis Hakim Kasus Korupsi Anggaran
DPRD NTB 2001-2002 tanggal 07 Juli 2006, dikumpulkan oleh GeRAK NTB, Juli 2006, hanya untuk kalangan sendiri.

23
Hal ini diceritakan oleh Gubernur HL Serinata dalam konferensi persnya pada tanggal 09 Juli 2006.

24
Informasi ini diperoleh dari seorang wartawan senior di Mataram yang mengaku memperoleh keterangan tersebut dari
seseorang yang juga ada di ruangan Rapat Muspida. Wartawan tersebut juga menjelaskan bahwa ketika hal tersebut
dikonfirmasikan kepada Kepala Kejati NTB Ahmad Zaenal Arifin, ia hanya tersenyum sambil mengatakan ”ya... sudahlah.”
12

kejaksaan. Surat tidak bernomor yang ditandatangani tiga orang pengacaranya itu berisi
pemberitahuan bahwa Serinata tak dapat menghadiri panggilan jaksa karena ada tugas keluar
daerah.25
Saksi yang akan diperiksa tak kunjung muncul, menjelang siang hari kantor Kejati NTB
malah didatangi sekitar 20 orang yang mengatasnamakan tokoh masyarakat dari Lombok dan
Sumbawa, yang selanjutnya mengadakan pertemuan tertutup dengan Kepala Kejati NTB selama
kurang lebih satu jam. Sementara itu, di luar Kantor Kejati NTB puluhan massa juga terlihat
menunggu.
Usai pertemuan, Umar M Tahir26 yang mewakili tokoh agama dan tokoh masyarakat ini
kepada wartawan mengatakan bahwa selama ini Kejati NTB terkesan melakukan diskriminasi dalam
memproses suatu kasus, salah satunya terlihat dari tidak diprosesnya kasus Wakil Gubernur NTB,
H.B. Thamrin Rayes, terkait pengadaan tanah cadangan Pemkab Sumbawa, di Seketeng. Kepala Kejati
NTB saat ditanya wartawan tak banyak berkomentar. ”Coba tanya ke Polda NTB. Kasusnya masih
disana,” katanya saat itu. Keluar dari Kantor Kejati NTB, para ”tokoh masyarakat” itu menuju ke
kantor DPD I Golkar NTB, di Jalan Sriwijaya Mataram. Sepulang para tokoh itu, sekitar 50 orang
masih bergerombol di depan kantor Kejati NTB. Beberapa orang diantaranya tampak turut hadir
dalam aksi demo yang berakhir dengan perusakan kantor kejati NTB pada Senin (28/3) sebelumnya.27
Massa baru meninggalkan kantor Kejati NTB ketika kejaksaan mengumumkan pemeriksaan Serinata
diundur.

Meninggalnya salah seorang tersangka tahanan kejaksaan di Lapas Mataram


Pagi hari tanggal 31 maret 2005, sekitar Pkl. 09.35 Wita, salah seorang tersangka yang sedang
dalam status tahanan kejaksaan di Lapas Mataram, yakni H.Lalu Artawa, meninggal di RS Angkatan
Darat yang letaknya bersebelahan dengan Lapas Mataram, karena sakit.
Menurut informasi sumber di Kejati NTB, pagi hari itu juga Kapolda NTB, M. Tosin,
mendatangi kantor Kejati NTB lewat pintu belakang dan menemui Kepala Kejati NTB di ruangannya.
Agaknya membicarakan tentang meninggalnya salah seorang tahanan tersebut.
Sekitar Pkl. 12.00 Wita secara mendadak dilaksanakan pertemuan Muspida di Kantor Kejati
NTB . Pertemuan dihadiri oleh Danrem 162 Wirabhakti, Kapolda NTB, Kepala Kejati NTB,
28

Gubernur NTB (diwakili Sekda NTB) dan Kepala Lapas Mataram. Sementara itu para tersangka
(tahanan) diangkut ke kantor Kejati NTB oleh mobil tahanan kejaksaan.
Sekitar 45 menit selepas pertemuan Muspida, jajaran Muspida bertemu dengan 8 orang
tersangka (berstatus tahanan) di aula Kejati NTB. Kejati NTB memberitahukan penangguhan
penahanan mereka kepada para tersangka. Sambutan para tersangka terhadap ’pembebasan’ mereka
diceritakan seorang sumber dengan ucapan, ” Senang semua... terbahak-bahak... ada yang tepuk
tangan.”29
Selanjutnya, sekitar Pkl. 13.00 Wita, Kepala Kejati NTB, A. Zaenal Arifin menggelar jumpa
pers mengumumkan penangguhan penahanan tersangka, didampingi oleh Jajaran Muspida. Zaenal
menjelaskan bahwa pembebasan para tahanan ini adalah: “... demi NTB ke depan, masalah

25
Menurut pantauan beberapa wartawan yang nge-pos dikantor Gubernuran NTB, hingga pukul 13.00 Wita, Gubernur NTB H.L
Serinata masih berada di ruangannya. “Bapak Gubernur masih ada di dalam ruangannya sedang menerima banyak tamu”, kata
salah seorang staf Gubernur yang ditemui sejumlah wartawan.

26
Umar M. Tahir adalah salah seorang pengurus DPD I Partai Golkar NTB.
27
Sebagaimana dikutip dari Koran Tempo, 31 Maret 2005.

28
Menurut Kepala Kejati NTB, A. Zaenal Arifin SH, yang mengundang anggota Muspida untuk rapat di kantornya adalah dirinya
sendiri. Ia mengaku ingin memperoleh pandangan Muspida mengenai dampak yang akan terjadi sehubungan dengan meninggalnya
salah seorang tahanan. Dari penjelasan dalam rapat itulah ia kemudian memutuskan untuk menangguhkan penahanan para
tersangka. Lihat Tabloid Rakyat, Edisi No.34/Tahun II/1-15 April 2005. Laporan Utama, Hal. 7, Wawancara A. Zaenal Arifin,
Kepala Kejati NTB : ”Semuanya untuk kepentingan yang Lebih Besar”.

29
Cerita seorang pejabat teras Kejati NTB yang ikut menghadiri pertemuan jajaran Kejaksaan, Muspida dan para tersangka di
aula Kejati NTB. Sumber tersebut juga menirukan ucapan Kepala Kejati NTB kepada para tersangka, ”Anda mulai saat ini sudah
ditangguhkan. Agar nanti kalau dipanggil, kooperatif ikut sidang.....”.
13

kemanusian dan masalah stabilitas NTB”. 30 Ia pun menegaskan bahwa penangguhan penahanan ini
bukan karena aksi demo ribuan massa yang berakhir dengan pengrusakan kantor Kejati NTB, Senin
lalu. Sedangkan Kapolda NTB M. Tosin meminta kepada delapan orang tersangka agar tidak
memprovokasi massa hingga kondisi menjadi keruh.
Masih pada hari yang sama. Malam harinya Gubernur Serinata mengundang sejumlah tokoh
masyarakat dan tokoh agama ke rumah dinasnya untuk tahlilan meninggalnya H. Lalu Artawa.
Melalui sebuah harian lokal beberapa hari berikutnya, Serinata membantah adanya tudingan kalau
acara itu bentuk langkah politis untuk menekan pihak Kejati NTB dalam menangani kasus korupsi
DPRD NTB.31
Pasca pembebasan para tersangka, pada tanggal 2-3 April 2005, BEM Unram menggelar
Seminar Nasional dan Temu BEM se-NTB di Universitas Mataram, menghadirkan pembicara
Soeripto, dan Kepala Kejati NTB. Sehari setelahnya, bersama sejumlah BEM lainnya yang tergabung
dalam BEM NTB Raya, mereka menggelar aksi dengan isu : (1) memberikan dukungan kepada Kejati
NTB dalam menuntaskan kasus DPRD NTB, (2) mendesak Gubernur NTB dan DPRD NTB untuk
menyelesaikan instabilitas daerah.
Pada Bulan Juni 2005, SOMASI NTB bertemu dengan KPK dan Kejagung di Jakarta untuk
menyampaikan review perkembangan penanganan kasus. Selain itu, pada 12 Juli 2005, Jaringan
GeRAK NTB juga melakukan hearing dengan Kepala Kejati NTB untuk mempertanyakan
perkembangan penanganan kasus korupsi DPRD se-NTB.

1.4. Proses Hukum di Persidangan


1.4.1. Penundaan Sidang, Pencabutan keterangan BAP oleh sejumlah saksi dan tersangka, dan
ketidakhadiran saksi Serinata
Kurang lebih dua minggu setelah dilimpahkan oleh pihak kejaksaan ke PN Mataram, pada
tanggal 25 Agustus 2005, sidang perdana kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp. 17,5 miliar
ini pun digelar. Sidang ini –dan juga sidang-sidang selanjutnya-- dibagi dalam dua sidang terpisah,
yang dipimpin oleh dua majelis hakim, yang mengadili masing-masing dua berkas perkara.
Dalam surat dakwaan Jaksa penuntut Umum (JPU), para terdakwa didakwa baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah melakukan atau turut melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga dipandang
sebagai perbuatan yang melawan hukum yang dapat mengakibatkan merugikan perekonomian negara
atau keuangan negara.
Fakta yang terungkap dalam surat dakwaan bukan hanya 11 tersangka saja yang menerima
uang tersebut. 55 orang anggota dewan lainnya ditambah 3 orang anggota dewan PAW juga
kecipratan dana diluar gaji tersebut. Ketua DPRD NTB saat itu, H. Lalu Serinata disebut menerima
uang sebesar Rp 600 juta lebih, sekaligus jumlah terbesar dibanding yang diterima pimpinan dan
anggota dewan lainnya. Disusul tiga orang wakil ketua Dewan (wakil Ketua Panggar Dewan), H.
Rahmat Hidayat mendapat Rp 494 juta lebih, Abdul Kappi sebesar Rp 425 juta lebih dan H.
Abdurrahim Rp 394 juta lebih. Yang lebih mengejutkan, perolehan H. Mahdar , sekretaris panggar
saat itu, nilainya melebihi pendapatan wakil ketua dewan sebesar Rp 428 juta lebih.
Pada sidang perdana ini saja, kericuhan sudah dimulai. Setelah JPU membacakan
dakwaannya, Lalu Martayadi, PH terdakwa Sunardi Ayub melakukan interupsi. Menurutnya,
seharusnya ketua DPRD NTB yang diproses terlebih dahulu sebagai tersangka dan selanjutnya sebagai
terdakwa sebelum kliennya disidangkan. Karena kliennya, Sunardi Ayub, bersama anggota panggar
lainnya dan saksi Hikemat selaku Sekwan, hanya menjalankan perintah ketua DPRD NTB saat itu, H.

30
Sebagaimana dikutip dari Koran Tempo, 2 April 2005. Dalam kesempatan lain, Zaenal menyebut bahwa meninggalnya Lalu
Artawa bisa memicu reaksi unjuk rasa lanjutan, karena kematian Artawa bisa digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi yang
paling ampuh. (Tabloid Rakyat, Edisi No.34/Tahun II/1-15 April 2005. Laporan Utama, Hal. 7, Wawancara A. Zaenal Arifin, Kepala
Kejati NTB : ”Semuanya untuk kepentingan yang lebih besar”).
31
”....Itu murni acara zikiran untuk mendoakan almarhum. Bukan ajang menghimpun kekuatan. Acara itu juga dimaksudkan
untuk meredam amarah massa yang akhir-akhir ini sedikit memanas, dengan cara mengundang para tokoh masyarakat dan Tuan
Guru,” aku Serinata di Taliwang, Sumbawa Barat. Ia juga mengaku menjadi penjamin para tahanan untuk meredakan tekanan
masyarakat dan (pertimbangan) dari segi kemanusiaan, dimana ada 2 orang anggota dewan yang menderita sakit dan harus
segera mendapat perawatan intensif (H Mahdan dan I Gusti Komang Padang). Namun ditanya soal teriakan massa ketika
melakukan pelemparan kejaksaan dengan meneriakkan, ’Gubernur jangan diperiksa,’ dia spontan menjawab: ”No comment
untuk pertanyaan itu”. Lihat Lombok Post, 4 April 2005.
14

Lalu Serinata, untuk membuat daftar usulan kegiatan daerah (DUKDA) DPRD dan Sekretariat DPRD
NTB. Atas interupsi itu, Ketua majelis hakim, Ketut Gde menjawab pihaknya pada dasarnya hanya
menyidangkan berkas perkara yang diterima dari penyidik.
Pada tanggal 30 Agustus 2005, PH terdakwa Sunardi Ayub mengajukan eksepsinya, sementara
sidang untuk 10 orang terdakwa lainnya ditunda hingga 5 September 2005. Dalam eksepsinya PH
Sunardi Ayub tetap menyoroti JPU yang tidak menyeret Ketua Panggar H. Lalu Serinata, sehingga
surat dakwaannya dinyatakan kabur. Ia menganggap aneh, jika orang yang disebut-sebut dalam surat
dakwaan bersama-sama melakukan perbuatan yang didakwakan, hanya berstatus sebagai saksi.
Apalagi, Sunardi Ayub selaku terdakwa hanya menjalankan perintah dari ketua dan sekretaris
Panggar DPRD NTB saat itu. Tim PH Sunardi Ayub juga mempertanyakan tidak ikut diseretnya
sebagai terdakwa para pimpinan dewan lainnya, seperti H. Rachmat Hidayat, Abdul Kappi dan H.
Abdurrahim serta Haryawan Sriyono (anggota panggar).
Pada 5 September 2005, Tim JPU menyampaikan tanggapan atas eksepsi PH Sunardi Ayub.
Disusul kemudian penyampaian eksepsi oleh PH terdakwa lainnya pada tanggal 12 September 2005.
Tanggal 21 September 2005, JPU kembali menyampaikan tanggapan atas eksepsi PH terdakwa. Dan
pada tanggal 27 September 2005, Majelis Hakim membacakan putusan sela yang menyatakan
menolak eksepsi PH terdakwa dan melanjutkan sidang dengan agenda pemeriksaan saksi.
Sidang pemeriksaan saksi pertama dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2005 dan berakhir
(sementara) pada tanggal 6 Desember 2005, saat pemeriksaan saksi mantan Wakil Ketua DPRD NTB,
Rachmat Hidayat. Sidang pemeriksaan para terdakwa, dengan berbagai alasan sempat tertunda hingga
akhir Desember 2005. Sidang berikutnya, malah dilakukan pemeriksaan saksi Gubernur NTB H. Lalu
Serinata, yang untuk kali pertama direncanakan berlangsung tanggal 6 Januari 2006. Namun hingga
panggilan kelima untuk mendengarkan kesaksiannya pada tanggal 9 Februari 2006, saksi Gubernur
NTB tetap tidak dapat hadir karena kesibukannya sebagai gubernur. Akhirnya hari itu juga, JPU
membacakan kesaksian yang bersangkutan sesuai keterangan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP).
Pada sidang-sidang pemeriksaan saksi diwarnai oleh pencabutan keterangan dalam BAP oleh
sejumlah saksi, antara lain : Zainal Abidin (mantan Sekretaris Dewan DPRD NTB tahun 2002),
Hikemat (mantan Sekretaris Dewan DPRD NTB tahun 2001), Huriati (Bendahara Setwan DPRD
NTB), L. Supartha (Staf Keuangan Setwan DPRD NTB), H. Mansyur (mantan Kepala Biro Keuangan
Setda Pemprov NTB), H. Abdul Kadir (mantan Sekretaris Daerah NTB), Michael Aban (mantan
anggota DPRD NTB tahun 1999-2004 sekaligus mantan Ketua Panitia Musyawarah DPRD NTB), H.
Mahdar (mantan anggota DPRD NTB tahun 1999-2004 sekaligus mantan Sekretaris Panggar 1999-
2004), Ruslan Turmuji (mantan anggota DPRD NTB tahun 1999-2004, dan terpilih kembali untuk
periode 2004-2009), M. Huzaini Areka (mantan anggota DPRD NTB tahun 1999-2004, dan terpilih
kembali untuk tahun 2004-2009), dan Rahmat Hidayat (mantan anggota DPRD NTB tahun 1999-
2004, mantan Wakil Ketua DPRD NTB dan Wakil Ketua Panggar, dan terpilih kembali untuk periode
2004-2009).
Sidang selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap saksi ahli dan saksi a de charge
(saksi yang meringankan). Jaksa mengajukan dua orang saksi ahli, yakni DR. Akram SE, MSi (dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Mataram) dan I Gde Kusmayadi, SH MH (dosen Fakultas Hukum
Universitas Mataram). Sementara PH Terdakwa menghadirkan saksi a de charge, Iskandar SH,
Mantan Kasubbag Perencanaan Sekretariat Dewan, dan 2 orang saksi ahli a de charge, masing-masing
adalah Drs. Syachril Mahmud, MSi (Kepala Pusat Data dan Informasi, Komunikasi dan
Telekomunikasi Sekjen Depdagri, namun hadir sebagai pribadi) dan Prof. DR. Gde Panca Astawa, SH
MH (Dosen Universitas Pajajaran, Bandung). Sementara sidang pemeriksaan terdakwa dimulai pada
19 April 2006.
Selanjutnya pada tanggal 2 Juni 2006, JPU membacakan tuntutannya. Dalam tuntutan yang
dibacakan dalam dua sidang terpisah itu, JPU menyatakan bahwa seluruh terdakwa secara sah dan
meyakinkan telah merugikan keuangan negara dan melanggar Pasal 2 ayat 1 junto pasal 18 ayat 2 UU
31/1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan TPK, Junto Pasal 55 ayat
1 Junto Pasal 66 KUHP. Adapun yang memberatkan, sebagai anggota dewan seharusnya
mencerminkan contoh yang baik, tapi tidak demikian dengan terdakwa, uang hasil korupsi telah
dinikmati, dan perbuatan terdakwa telah menusuk hati masyarakat NTB. Mereka juga tidak mengakui
15

perbuatannya, berbelit-belit dalam memberi keterangan dan mementingkan kepentingan pribadi


daripada kepentingan masyarakat banyak. Sedangkan yang meringankan, bersikap sopan selama
persidangan, memiliki tanggungan keluarga dan tidak pernah dihukum pidana. 10 terdakwa di tuntut
penjara masing-masing selama 5 tahun dan denda bervariasi (subsider 1 tahun 6 bulan).
Atas tuntutan ini, PH terdakwa menyampaikan pledoinya pada tanggal 15 Juni 2006. Minggu
berikutnya, giliran JPU menyampaikan replik menanggapi pledoi PH terdakwa. Atas replik ini,
tanggal 29 Juni 2005 Tim PH terdakwa menyampaikan dupliknya. Pada sidang ini pula, JPU
menyatakan tetap pada replik dan tuntutannya, dan sidang diundur untuk pembacaan putusan akhir.
Setelah proses persidangan yang berlangsung kurang lebih 10,5 bulan, persidangan sampai
pada tahap akhir, yakni pembacaan putusan akhir majelis hakim pada tanggal 7 Juli 2006. Pada sidang
itu, dua majelis hakim berbeda yang menangani masing-masing dua berkas dari total empat berkas
kasus ini, memberikan putusan akhir yang senada bahwa “penuntutan jaksa penuntut umum tidak
dapat diterima”, alasannya, karena dakwaan prematur. Atas putusan majelis hakim ini, tanggapan
JPU maupun PH terdakwa sama-sama menyatakan pikir-pikir.
Tanggal 12 Juli 2006 atau lima hari setelah keluarnya putusan itu, JPU menempuh langkah
banding ke Pengadilan Tinggi Mataram. Sementara tanggal 2 Agustus 2006, PH terdakwa mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung.

1.4.2. Dinamika selama proses hukum di persidangan


Pada tahap awal masa persidangan, SOMASI NTB terus menyampaikan review perkembangan
penanganan kasus kepada pihak Kejaksaan Agung. Pada Bulan September 2005, SOMASI NTB –
memanfaatkan agenda lainnya, bertemu dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan jajarannya.
Dalam kesempatan tersebut, SOMASI NTB juga menekankan agar pihak Kejagung terus memantau
proses persidangan kasus DPRD NTB, karena sejumlah jaksa mulai dari jaksa penyidik hingga jaksa
penuntut umum kasus tersebut, terindikasi merupakan jaksa bermasalah (jaksa nakal). Disusul
pertemuan berikutnya dengan Jamintel Kejagung RI untuk menyampaikan review penanganan
seluruh kasus korupsi yang telah dilaporkan masyarakat kepada pihak kejaksaan tinggi dan
penyerahan beberapa bahan persidangan seperti surat dakwaan jaksa penuntut umum kasus DPRD
NTB.
Awal Desember 2005, kembali terjadi pergantian Kepala Kejati NTB. A. Zaenal Arifin, Kepala
Kejati NTB sebelumnya dipindahtugaskan ke Kejagung RI sementara penggantinya adalah
Mohammad Ismail.
Pada momentum Hari Anti Korupsi tanggal 9 Desember 2005, GeRAK NTB menggelar
mimbas bebas mendesak Kejati NTB untuk menuntaskan sejumlah kasus korupsi yang telah
dilaporkan oleh masyarakat, yang diduga telah merugikan negara mencapai Rp. 50 miliar lebih.
Untuk kasus DPRD NTB, GeRAK NTB menilai bahwa maraknya pencabutan keterangan saksi yang
telah diberikan di hadapan penyidik sebagaimana tertuang dalam dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), tanpa ada ketegasan dan respon dari JPU maupun Majelis Hakim, menunjukkan indikasi
bahwa penanganan kasus korupsi DPRD NTB akan menyebabkan para tersangka bebas dari tuntutan.
Karenanya semua pihak diminta memantau dan mengawasi jalannya proses persidangan.
Aksi ini disusul hearing dengan Kepala Kejati NTB (yang baru) dan jajarannya untuk memberi
masukan bagi penuntasan kasus korupsi di NTB, yang penanganannya tersendat. Hasilnya, Kepala
Kejati NTB berjanji akan melibatkan masyarakat, khususnya pelapor kasus korupsi dalam gelar
perkara kasus korupsi. Ia juga memerintahkan Wakajati, Muhtar Hasan dan Aspidsus Kejati NTB
Agus Suratno, untuk menjadwalkan pertemuan dengan GeRAK NTB untuk membahas sejumlah
kasus-kasus yang pernah dilaporkan.
Pada Bulan Desember ini, persidangan memasuki tahap pemeriksaan terdakwa, namun sidang
beberapa kali ditunda. SOMASI NTB meminta agar pihak pengadilan mempercepat proses
persidangan kasus yang menyita perhatian publik ini. Di luar itu, Basri Mulyani dari SOMASI NTB
juga meminta agar pihak kejaksaan segera memproses sejumlah aktor utama kasus ini yang hingga
proses persidangan berlangsung belum juga dibawa ke persidangan. Hal serupa dilakukan oleh
Gerakan Pemuda (Garda NTB) yang pada 29 Desember 2005 mendatangi PN Mataram, mendesak agar
mantan Ketua DPRD NTB H. Lalu Serinata diadili terkait dugaan kasus korupsi DPRD NTB. Soal ini,
16

Ketua PN Mataram, Fachrurrozie menjelaskan bahwa pihaknya hanya memanggil para pihak yang
ada dalam berkas perkara, sedang yang tidak ada, tidak dipanggil, ia menyarankan agar hal itu
ditanyakan ke pihak kejaksaan.
Sidang pemeriksaan saksi Gubernur NTB H. Lalu Serinata yang pelaksanaannya sempat
tertunda hingga lima kali sidang juga tidak luput dari perhatian masyarakat. Saat rencana sidang
pertama pemeriksaan saksi H. Lalu Serinata, di luar ruangan sidang sejumlah aktivis BEM Unram
menggelar aksi menuntut transparansi pelaksanaan sidang. BEM Unram menuntut agar beberapa
tersangka yang belum dijadikan terdakwa segera ’diseret’ ke pengadilan. Pada sidang selanjutnya
tanggal 13 Januari 2006 dimana Serinata kembali tidak hadir dan sidang ditunda, sejumlah massa
Konsorsium Gerakan Permberdayaan Masyarakat (KGPM) NTB menuntut agar Srinata dijadikan
terdakwa. Menurut Ketua KGPM NTB, Bion Hidayat, keadilan hukum juga harus diberikan kepada
Serinata selaku ketua DPRD NTB saat itu yang jelas-jelas mengetahui pendapatan dan pembayaran
diluar gaji anggota DPRD NTB.
Sidang pemeriksaan saksi Gubernur H. Lalu Serinata tanggal 17 Januari juga ditunda. Hari itu,
Massa Konsorsium Gerakan Pemberdayaan Masyarakat (KGPM) NTB kembali mendatangi PN
Mataram, menuntut keseriusan pihak pengadilan dalam menyidangkan kasus dugaan korupsi APBD
di DPRD NTB, dan menyoroti ketidakhadiran saksi Serinata. Massa juga kembali menyoroti tidak
dijadikannya H. Lalu Serinata sebagai terdakwa dalam kasus ini padahal saat itu yang bersangkutan
adalah Ketua DPRD NTB. Ketidakhadiran Serinata kali ini juga mendapatkan tanggapan luas dari
sejumlah praktisi dan pengamat hukum sebagaimana dimuat sejumlah media keesokan harinya.
Intinya, mempertanyakan komitmen penegakan hukum Gubernur Serinata dan ketidakmampuan
jaksa maupun hakim untuk menghadirkan jaksa. Beberapa praktisi hukum malah mengusulkan agar
saksi dipanggil paksa dan bila tidak hadir dapat dikenakan ancaman hukuman 9 bulan penjara. Atas
tanggapan ini, kuasa hukum H. Lalu Serinata, IGB Made Harnaya, menyatakan Serinata dapat saja
dipanggil paksa karena telah dua kali tidak memenuhi panggilan sebagai saksi. Tetapi jika tidak ada
perintah dari hakim maka tidak bisa dipanggil paksa, karena hakimlah yang berwenang memutuskan
pemanggilan paksa tersebut dan bukan JPU. Selain itu, menurutnya, majelis hakim pun harus
memiliki argumentasi yang jelas perihal pemanggilan paksa seorang saksi. Hanya saksi kunci yang
dapat dipanggil paksa, sementara saat ini Serinata belum memiliki kapasitas sebagai saksi kunci. Saksi
kuncinya menurutnya adalah tim auditor anggaran atau dalam hal ini BPKP Perwakilan Denpasar-
Bali, karena auditorlah yang bisa memberikan keterangan bahwa ada mark- up anggaran dalam kasus
tersebut.
Berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya, sidang pemeriksaan saksi H. Lalu Serianta tanggal
26 Januari 2006, yang kembali ditunda karena Serinata tidak hadir, diramaikan oleh dua massa pro-
kontra. Massa pertama, yang dipimpin Puspawan AL-Lefaky mengaku hadir untuk mendukung
Serinata, sementara massa kedua dari KGPM NTB menuntut agar Serinata segera dijadikan terdakwa.
Sementara pada sidang tanggal 2 Februari 2006 setelah pemanggilan keempat kalinya terhadap saksi -
-yang juga ditunda karena saksi H. Lalu Serinata tidak hadir, sidang diramaikan oleh hadirnya massa
yang mengaku datang untuk mendukung Serinata. Berbeda dengan sebelumnya, yang selalu diwarnai
orasi, kali ini massa hanya duduk-duduk saja di depan pengadilan, dan membubarkan diri setelah
mengetahui bahwa saksi Serinata kembali tidak menghadiri sidang.
Tanggal 6 Maret 2006, SOMASI NTB bersama Koalisi Nasional Anti Korupsi menggelar jumpa
pers di Kantor KPK. Koalisi meminta KPK melakukan supervisi terhadap penanganan kasus korupsi
di daerah, karena sekitar 200 kasus mandeg penanganannya dan menyimpan banyak masalah dalam
penanganannya, termasuk diantaranya 11 kasus di NTB. Aktivitas ini mendapat liputan luas dari
media nasional, maupun di NTB sendiri. Menyusul kemudian, tanggal 5 April 2006, tim Komisi
Ombudsman Nasional yang dipimpin oleh Masdar Farid Mas’udi berkunjung ke kantor SOMSI NTB
dan berdialog dengan aktivis GeRAK NTB, untuk menyerap masukan terutama terhadap penanganan
kasus korupsi anggaran DPRD NTB. Dua hari berikutnya, KON juga berkunjung ke sejumlah kantor
penegak hukum di NTB.
Untuk mengoptimalkan proses penanganan kasus korupsi DPRD NTB, pertengahan April
2006, SOMASI NTB bersama jaringan nasional organisasi anti korupsi menyelenggarakn workshop
yang dihadiri selain oleh anggota jaringan GeRAK NTB juga dihadiri oleh sejumlah organisasi
17

mahasiswa dan organisasi masyarakat. Hasilnya, disepakati untuk terus mengintensifkan tekanan
kepada aparat hukum di daerah untuk segera menuntaskan kasus DPRD NTB, memperluas
kampanye, dan berupaya “menasionalisasikan” kasus ini.
Kepala Kejati NTB Mohammad Ismail, tak lama bertugas di NTB dan awal Mei 2006 kembali
dipindahtugaskan. Saat itu, sidang memasuki tahap pembacaan tuntutan JPU dan mengalami
penundaan yang cukup panjang. Awal Mei ini pula, Gerakan Bersama Anti Korupsi BEM NTB
Raya (Gebrak BEM NTB Raya), gabungan BEM PT/PTS se-NTB, menggelar demonstrasi di depan PN
Mataram, mendesak Ketua PN Mataram mengambil keputusan secara cepat dan tepat terhadap kasus
korupsi DPRD NTB. Selain itu, Kejati NTB diminta segera mempercepat penuntasan kasus korupsi,
dan legislatif dan eksekutif didesak membuat nota kesepahaman penyelenggaran pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN.
Sementara itu, untuk menyambut Kepala Kejati NTB yang baru, Singgih Iswara, GeRAK NTB
mengadakan aksi mimbar bebas di depan Kantor Kejati NTB, dengan isu : (1) mendukung Kajati NTB
yang baru, DR. Singgih Iswara, SH, MH, untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi di NTB. (2)
mendesak Kejati NTB agar 10 terdakwa yang sedang disidang di PN Mataram dituntut dengan
hukuman seberat-beratnya. (3) mendesak Kajati baru segera memberkas kembali 4 orang ”tersangka”
yang belum diberkas (mantan pimpinan Panitia Anggaran Legislatif HL Serinata cs) dan dibawa ke
pengadilan.
Di sisi lain, perhatian publik juga tersedot oleh rencana kedatangan Presiden Susilo Bambang
Yudyono untuk membuka Munas APPSI (Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia), yang
akan berlangsung di Mataram. Pemerintah Provinsi NTB, baik lewat Gubernur NTB H. Lalu Serinata
maupun Humas Pemprov NTB, meminta masyarakat untuk menjaga ketenangan selama pelaksanaan
APPSI. Penegasan langsung juga diungkapkan Walikota Mataram, HM Ruslan, yang melarang adanya
demonstrasi selama kunjungan presiden. GeRAK NTB mengumumkan bahwa pihaknya akan
memanfaatkan momentum kedatangan presiden tersebut untuk mendukung agenda pemberantasan
korupsi yang senantiasa digaungkan oleh presiden. Rencana aksi GeRAK NTB ini rupanya mendapat
tentangan dari Dewan Sasak Muda Bersatu (Desak Datu) yang menegaskan bahwa pihaknya akan
menjaga keamanan selama masa kunjungan presiden, dan siapa pun yang menggelar demonstrasi akan
berhadapan dengan pihaknya, yang menurut ketuanya, Lalu Winengan –juga Ketua KNPI NTB,
didukung oleh sejumlah organisasi Pamswakarsa di Lombok.
Larangan dan ancaman rupanya tak membuat masyarakat keder. Memanfaatkan momentum
20 Mei, pada tanggal 22 Mei 2006, BEM NTB Raya mengelar aksi refleksi terhadap reformasi yang
diantaranya menyuarakan keprihatinan terhadap pemberantasan korupsi yang tersendat. Aksi ini juga
nampaknya merupakan ’pemanasan’ terhadap rencana kedatangan presiden, esok harinya.
Pada hari kedatangan Presiden ke Mataram, tepat pada pembukaan Munas APPSI tanggal 23
Mei 2006, sekitar 750-an massa GeRAK NTB menggelar aksi demonstrasi di Kantor Kejati NTB
dengan isu nasional mendesak Presiden SBY untuk mengadili Soeharto 32. Untuk konteks lokal,
GeRAK NTB mendesak: (1) Presiden SBY memperhatikan penanganan kasus korupsi di NTB. (2)
Kajati NTB untuk segera mengadili 4 orang ”tersangka” dalam kasus Korupsi Anggaran DPRD NTB
(mantan pimpinan Panggar DPRD NTB, HL Serinata Cs).
Pada hari yang sama, aktivis BEM NTB Raya dan aktivis KaMRAD (Koalisi Massa Rakyat
untuk Demokrasi) Mataram, juga menggelar aksi di dekat persimpangan Jl. Majapahit-Jl. Erlangga
menyuarakan pemberantasan korupsi dan beberapa isu nasional-global lainnya. Jika aksi GeRAK NTB
berlangsung relatif aman dan disambut oleh jajaran Kejati NTB dengan orasi penegasan komitmen
pemberantasan korupsi, khususnya dalam kasus DPRD NTB, aktivis BEM NTB Raya dan KaMRAD
Mataram diserang kelompok massa. Massa GeRAK NTB yang rencananya bertemu Juru Bicara
Kepresidenan akhirnya tidak berhasil bertemu, karena dihalau aparat keamanan, sementara itu meski
sangat singkat sejumlah wakil BEM NTB Raya dan LSM, berhasil menemui Presiden SBY di Bandara
Selaparang, Mataram. Saat itu Presiden menyatakan telah menerima laporan masyarakat yang
dititipkan pada A. Mallarangeng dan akan menindaklanjutinya.
Tanggal 9 Juni 2006, SOMASI NTB melalui sejumlah media mendesak Kejati NTB
memberikan penjelasan menyusul informasi bahwa Kepala Kejati NTB dengan 5 orang tim JPU

32
Saat itu sedang bergulir debat tentang di- SP3 kannya kasus Soeharto oleh Kejagung RI.
18

melakukan gelar perkara untuk kasus korupsi DPRD NTB di Kejagung RI, khususnya terkait dengan
status 4 orang mantan pimpinan Panggar DPRD NTB. Sementara itu, LBH NTB meminta Kejati NTB
konsisten dengan dakwaan JPU, yang menyebutkan adanya tersangka lain yang saat ini belum
dibawa ke persidangan. Langkah ini disusul dengan hearing Jaringan GeRAK NTB dengan pihak
Kejati NTB tanggal 14 Juni 2006. Pada kesempatan itu, GeRAK NTB mendesak Kejati NTB untuk
segera memberkas kembali 5 nama yang sebelumnya sempat disebutkan dalam surat dakwaan namun
belum dibawa ke persidangan, yakni H. Lalu Serinata, H. Rahmat Hidayat, H. Abdul Kappi, H.
Abdurrahim, dan H. Mahdar, masing-masing adalah Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Panggar saat
dugaan korupsi berlangsung. Terkait tuntuan jaksa yang dibacakan tanggal 2 Juni 2006, GeRAK NTB
menilai bahwa tuntutan JPU tersebut terkesan main-main dan sarat dengan indikasi adanya ’main
mata’ antara JPU dengan terdakwa. GeRAK NTB juga menanyakan tuntuan terdakwa yang dinilai
ringan, yakni 5 tahun penjara. Pihak Kejati NTB menyatakan bahwa besarnya tuntutan yang
disampaikan oleh pihaknya adalah sesuai arahan dari Kejaksaan Agung dan dengan
mempertimbangkan proses penuntutan dalam kasus yang sama yang sebelumnya telah dilaksanakan
di sejumlah daerah lainnya.

1.5. Dinamika pasca vonis majelis hakim


Pasca pembacaan vonis majelis hakim tanggal 7 Juni 2006, SOMASI NTB mengambil langkah
cepat dengan mengirimkan laporan kepada Komisi Yudisial (KY) hari itu juga terkait putusan hakim.
Informasi juga disampaikan kepada ICW dan GeRAK Indonesia di Jakarta dengan harapan
mendapatkan bantuan.
Esok harinya, sejumlah media menurunkan berita mengenai vonis majelis hakim untuk kasus
korupsi DPRD NTB, dengan judul beragam. Harian Lombok Post misalnya, menurunkan judul :
’Tuntutan JPU Tak Dapat Diterima, Dakwaan Jaksa Atas 10 Terdakwa Kasus Dugaan Korupsi DPRD
NTB Prematur’. Sementara SUARA NTB memilih judul: ’Sidang Dugaan Korupsi APBD NTB, 10
Mantan panggar Diputus ”Bebas” ’. Selain itu, Lombok Post, SUARA NTB dan Koran Berita juga
menurunkan gambaran tingkah para terdakwa usai menerima vonis hakim.
Hari itu juga, BEM Unram dan KAMMI NTB menggelar aksi ke Kejaksaan Tinggi NTB dan
PN Mataram, mendesak : (1) Kejati NTB segera mengambil tindakan hukum dalam waktu 7 hari, jika
tidak hakim akan dilaporkan ke Komisi Yudisial, (2) agar HL Serinata ditangkap dan segera dibawa ke
persidangan. Massa melempar busuk ke arah kantor PN Mataram maupun kantor Kejati NTB. Selain
itu, mereka juga membacakan pernyataan sikapnya langsung ke udara dengan memotong siaran RRI
Mataram. Hingga tiga hari berikutnya, sejumlah media menurunkan tanggapan sejumlah elemen
masyarakat yang mengecam putusan majelis hakim dan kerja jaksa. Mereka mendesak Komisi
Yudisial dan Komisi Kejaksaan segera memeriksa Jaksa dan hakim. Sementara sebagian lainnya
berencana meminta KPK mengambil alih kasus ini.
Di sisi sebaliknya, ungkapan kegembiraan dilontarkan oleh sejumlah terdakwa yang untuk
sementara ”status”nya relatif mulai aman. Gubernur NTB, H. Lalu Serinata juga rupanya menganggap
penting untuk memanfaatkan momentum ini. Pada hari Minggu, 9 Juli 2006, didampingi oleh Humas
Pemprov NTB, mantan Ketua DPRD NTB 1999-2003 yang juga Ketua DPD I Golkar NTB, ini
menggelar jumpa pers di rumah dinasnya. Dalam jumpa pers itu, ia menjelaskan kepada para jurnalis
latar belakang dan kronologis munculnya kasus korupsi DPRD NTB, yang menurutnya adalah balas
dendam dan upaya lawan politiknya untuk menjatuhkannya. Selain itu, ia pun menjelaskan bahwa
selama proses berjalannya kasus tersebut, keluarganya sering mendapatkan ancaman maupun teror,
yang telah mengganggu ketenangan keluarganya. Dan selanjutnya, Gubernur mengharapkan agar
semua pihak menghormati putusan hakim.33 Jumpa pers Gubernur NTB ini mendapat liputan luas
dari media massa di daerah keesokan harinya.
Tanggal 11 Juli 2006, tudingan ”negatif” yang dialamatkan sejumlah elemen masyarakat mulai
mendapat tanggapan dari pihak kejaksaan, yang menegaskan bahwa kejaksaan sepenuhnya sudah

33
Untuk gambaran mengenai materi jumpa pers Gubernur NTB H Lalu Serinata lihat Dokumen Konferensi Pers Curhat/Uneg-uneg
Gubernur NTB, L Serinata di Rumah Dinas Gubernur NTB 09 Juli 2006, Pasca Putusan Majelis Hakim Kasus Korupsi Anggaran
DPRD NTB 2001-2002 tanggal 07 Juli 2006, dikumpulkan oleh GeRAK NTB, Juli 2006, hanya untuk kalangan sendiri.
19

berpegang pada koridor hukum. Sementara itu, menanggapi jumpa pers Gubernur Serinata, GeRAK
NTB menyatakan pejabat mestinya mendudukkan diri pada posisi yang tepat dalam pemberantasan
korupsi. Misalnya, gubernur telah mendapat instruksi dari presiden untuk memimpin pemberantasan
korupsi di daerah, yang terjadi malah sebaliknya. GeRAK NTB juga menyayangkan adanya pihak
yang mengkaitkan kasus ini dengan masalah politis, karena justru akan menghambat proses
penegakan hukum.
Selanjutnya, atas pernyataan Kejati NTB tanggal 12 Juli 2006 yang akan mengajukan banding
ke Pengadilan Tinggi Mataram, SOMASI NTB menyarankan sebaiknya jaksa mengajukan
mengajukan perlawanan (verzet) ke MA, agar proses penuntasan kasus ini tidak berlarut-larut.
Apalagi, menurut SOMASI NTB, keputusan hakim baru menyangkut formalitas perkara dan bukan
material perkara.
Untuk memperoleh kajian yang memadai terhadap putusan hakim ini, sejumlah elemen
masyarakat menggelar diskusi di Hotel Grand Legi Mataram, yang juga dihadiri oleh kalangan LSM,
Praktisi hukum dan pihak Kejati NTB. Sementara SOMASI NTB menggelar diskusi terbatas dengan
sejumlah pakar dan praktisi hukum untuk memperoleh kajian yang memadai mengenai putusan
hakim tersebut.
Tanggal 21 Juli 2006, BEM Unram bertemu dengan Anggota KY, Prof. Mustafa Abdullah –
yang saat itu hadir dalam sebuah workshop di Mataram, untuk melaporkan kasus putusan hakim atas
kasus DPRD NTB, sementara GeRAK NTB berdiskusi dengan tenaga ahli KY, Asep Rahmat Fajar
mengenai problem dan peluang penanganan putusan hakim. Malamnya, Aktivis GeRAK NTB secara
informal bertemu dengan Kepala Kejati NTB dan jajarannya, dan mendiskusikan kinerja kejaksaan
dalam penuntasan kasus serta putusan hakim. Esok harinya, sejumlah media memuat komentar KY
mengenai kesiapannya untuk memeriksa indikasi pelanggaran kode etik oleh hakim dan keganjilan-
keganjilan yang mungkin ada terkait putusan kasus korupsi DPRD NTB. KY juga mengakui
sebelumnya telah menerima laporan dari GeRAK NTB mengenai kejanggalan dalam putusan hakim.
Pihak Kejati NTB nampaknya gerah juga dengan tudingan ke arah pihaknya. Memperingati
Hari Adhyaksa tanggal 22 Juli 2006, Kepala Kejati NTB memberikan penghargaan kepada 11 orang
jaksa yang menangani kasus DPRD NTB termasuk jaksa penuntut umum kasus ini. Menurut Kepala
Kejati NTB, Singgih Iswara, para jaksa yang dihadiahi penghargaan itu memang layak
mendapatkannya. Ia menolak jika anak buahnya dikatakan tidak profesional dalam menjalankan
tugasnya. ''Biar saja mereka (masyarakat) bicara karena mereka tidak tahu. Saya di Kejati ini yang
tahu persis bagaimana kerja mereka,'' ucap mantan Kejari Selong, Lombok Timur itu.
Pada tanggal 2 Agustus 2006, barulah PH para terdakwa kasus korupsi DPRD NTB yang
diduga merugikan anggaran daerah senilai Rp 17,5 miliar ini mengeluarkan sikap. Mereka
mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung yang disampaikan melalui PN Mataram. Sementara
pada hari yang sama, Forum Masyarakat NTB, mendatangi dan berdialog dengan Kejati NTB
mempertanyakan penanganan kasus korupsi DPRD NTB yang disebut berakhir ”tragis”. Mereka
meminta Kejati NTB membuka kembali kasus itu dengan tersangka baru, selain meminta agar Kejati
NTB tidak menggunakan PP 105 Tahun 2000 dalam penanganan kasus ini, melainkan UU Anti
korupsi. Memasuki awal Agustus ini pula, beredar isu bahwa Ketua PN Mataram (yang juga ketua
MH kasus DPRD NTB), Fachrurrozie, Wakil Ketua PN Mataram (yang juga ketua MH kasus DPRD
NTB), Ketut Gde, dan salah seorang hakim anggota kasus DPRD NTB, Wayan Merta, akan dimutasi.
Tanggal 26 Agustus 2006, SOMASI NTB bersama GeRAK Indonesia melaksanakan Dialog
Publik untuk membahas kinerja kejaksaan dalam proses penuntutan kasus DPRD NTB dan mengkaji
prospek penuntasan kasus pasca vonis majelis hakim, yang dihadiri oleh sejumlah elemen masyarakat
dari Ormas, LSM, organisasi mahasiswa, kalangan akademisi, dan praktisi hukum. Pihak PN Mataram
yang juga diundang dalam acara itu tidak bersedia hadir, sementara sejumlah jaksa dari Kejati NTB
hanya hadir untuk mengisi presensi namun memilih pulang, dengan alasan sesuai perintah Kepala
Kejati NTB : untuk tidak mengikuti acara jika hakim tak hadir. Dialog Publik ini merekomendasikan
beberapa langkah bersama masyarakat untuk penanganan lebih lanjut kasus ini, diantaranya
membangun kampanye bersama tidak percaya kepada aparat hukum di daerah untuk menangani
kasus korupsi dan meminta KPK untuk mengambil alih kasus ini, khususnya terhadap sejumlah aktor
utama yang belum diproses hokum. Pertemuan juga merekomendasikan untuk melakukan tatap
20

muka dengan pihak Kejati NTB untuk mendiskusikan langkah yang mesti diambil kejaksaan terhadap
penuntasan kasus ini, dan SOMASI NTB diserahi mandat untuk memfasilitasi terjadinya pertemuan
dengan Kejati NTB. Namun, meski beberapa kali dilobby, dengan alasan kesibukan Kepala Kejati
NTB, tatap muka dengan Kepala Kejati NTB urung dilaksanakan.
Pasca dialog publik ini, SOMASI NTB menggelar kampanye media yang mendesak adanya
penghentian sementara (moratorium) penanganan kasus korupsi oleh aparat hukum di daerah karena
masyarakat tidak lagi memiliki kepercayaan kepada mereka untuk menangani kasus korupsi di
daerah. Sementara itu, juga beredar isu bahwa beberapa pihak berencana mendatangi KPK di Jakarta
untuk segera turun tangan menangani kasus ini.

II. KONTEKS LOKAL

Kondisi Sosial Politik


Provinsi NTB dengan luas 20.153,15 km2, terdiri dari dua pulau besar, yakni Pulau Lombok
dan Pulau Sumbawa, dan beberapa pulau kecil dan gili. Dari segi kondisi geografis dan kepadatan
penduduk, kedua pulau ini memiliki perbedaan. Pulau Lombok yang hijau mendapat curah hujan
yang lebih banyak daripada Pulau Sumbawa, sehingga Pulau Sumbawa lebih kering dan panas. Luas
Pulau Sumbawa tiga kali lipat Pulau Lombok, tetapi penduduk pulau Lombok tiga kali lipat Pulau
Sumbawa.
Provinsi Nusa Tenggara Barat didiami oleh tiga etnis awal, yakni suku sasak (dengan sasak)
yang mendiami Pulau Lombok, serta suku Bima (dou Mbojo) dan suku Sumbawa (tau samawa) yang
mendiami Pulau Sumbawa. Di luar tiga etnis ini juga bermukim sejumlah suku lainnya, seperti Bali,
Jawa, dsb. Sementara agama dominan di NTB adalah islam.
Pemerintahan Provinsi NTB terbentuk pada tahun 1958 dan hingga pertengahan 2006,
meliputi 9 kabupaten/kota, terdiri dari 4 daerah di Pulau Lombok 34 dan 5 lainnya di Pulau
Sumbawa35. Saat ini juga sedang berkembang isu pemekaran Provinsi dengan membentuk Provinsi
Pulau Sumbawa, sementara Kabupaten Lombok Barat diusulkan dimekarkan sebuah kabupaten baru,
yakni kabupaten Lombok Utara.
Dari sisi politik, sejak Pemilu 1971 hingga pemilu 2004 lalu, Golkar selalu keluar sebagai
peraih suara terbesar. Tinjauan terhadap faktor yang mempengaruhi perolehan suara, paling tidak
hingga Pemilu 1999 silam, diyakini bahwa kemenangan Golkar di NTB ditentukan oleh
kemampuannya memobilisasi birokrasi di Pulau Sumbawa, dengan perolehan suara yang stabil,
sementara perolehan suara di Pulau Lombok tergantung relasinya dengan kalangan pondok
pesantren, yang dalam hal ini diwakili oleh Tuan Guru (semacam Kyai di Jawa). 36 Dari sisi struktur
sosial, peran birokrasi di Pulau Sumbawa dianggap cukup dominan, sementara di Pulau Lombok,
selain peran birokrasi, faktor tokoh informal --dalam hal ini Tuan Guru, dianggap cukup
berpengaruh, termasuk ikut menentukan pilihan politik masyarakat.
Sejak era orde baru, NTB selalu dipimpin oleh gubernur dari kalangan militer, dan lebih-lebih
lagi orang luar daerah. Hal ini penting untuk disorot mengingat pada era orde baru, dalam proses
pemilihan gubernur, masalah etnis selalu dijadikan alasan bahwa NTB haruslah dipimpin oleh militer
(orang luar daerah). Pasca reformasi bergulir, salah seorang putera daerah (kelahiran Bima) yang lama
berkarir di luar daerah, yakni Harun Alrasyid, yang sebelumnya menjabat Mantan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Bidang Ekonomi, menjabat gubernur setelah melewati proses pemilihan yang juga kental
nuansa persaingan etnis, khususnya dengan suku sasak. Pada Pilgub-Wagub NTB tahun 2003
silam, isu etnis kembali menyeruak. Hasilnya, pasangan H. Lalu Serinata-HB. Thamrin Rayes, yang
dalam pendekatan etnis dianggap mewakili suku sasak-sumbawa, keluar sebagai pemenang dalam

34
Kabupaten/kota di Pulau Lombok yakni Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten
Lombok Timur
35
Kabupaten/Kota di Pulau SUmbawa yakni Kab. Sumbawa, Kab. Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima dan Kota
Bima.
36
Untuk uraian lebih lengkap lihat Ervyn Kaffah, Politik Korupsi di Nusa Tenggara Barat, dalam Ervyn Kaffah dan Moh. Asyiq
Amrulloh (ed.) Fiqh Korupsi: Amanah vs Kekuasaan, SOMASI NTB, Mataram, Desember 2003.
21

pemilihan di gedung DPRD NTB (masih dipilih oleh dewan). Masalah keseimbangan etnis juga
seringkali mewarnai pembicaraan menyangkut komposisi pemegang jabatan strategis di tubuh
birokrasi Pemprov NTB.
Dari sisi media, jumlah media cetak di NTB selalu berfluaktif. Selain beberapa koran dan
tabloid yang jangkauannya hingga seluruh kabupaten, sejumlah media diterbitkan khusus untuk
mengawal pemberitaan di daerah-daerah tertentu. Hingga September 2006, tercatat sejumlah harian
yang (terbit dan) beredar di seputar Mataram dan daerah lainnya, antara lain: Lombok Post, yang
masih termasuk jaringan Jawa Post Goup dan adanya kepemilikan saham Pemprov NTB, Bali Post
(dengan suplemennya SUARA NTB) yang terbit di Bali, Harian Lombok, Koran Berita, NTB Post, dan
beberapa media cetak lainnya termasuk beberapa tabloid mingguan. Di Mataram, juga telah muncul
beberapa radio yang menegaskan diri sebagai radio berita, antara lain Global FM yang masih
termasuk ”saudara” Bali Post/SUARA NTB, Radio Suara Maya Pesona, selain RRI Cabang Mataram.
Sementara itu, di Mataram pun telah hadir sebuah TV lokal, yakni Lombok TV, yang rutin
menayangkan berita daerah. Selain sejumlah media ”lokal” ini, beberapa media cetak nasional juga
beredar di NTB, seperti KOMPAS dan TEMPO. Demikian pula dengan media audio-visual, hampir
seluruh media televisi memiliki kontributor di NTB, antara lain SCTV, RCTI, Metro TV, Trans TV,
TPI, Lativi, dan tentu saja TVRI.

Ekonomi, Tingkat Kemiskinan dan Indikator Pembangunan


Beberapa tahun silam, Majalah TEMPO pernah memplesetkan NTB sebagai ’(N)asib T(idak)
(B)aik’. Plesetan ini tentu bukan tanpa dasar, pasalnya sejak dulu bahkan hingga hari ini, indikator-
indikator kesejahteraan provinsi ini masih terpuruk.
Pada tahun 2005, IPM NTB berada pada angka 62,4 atau menempati posisi 32 dari total 33
provinsi se-Indonesia. Indikator untuk pencapaian IPM itu pada tahun 2005 adalah: Angka harapan
hidup rata-rata 60,5 tahun; Angka melek huruf rata-rata 78,8 persen, rata-rata lama sekolah rata-rata
6,6 persen dan pendapatan perkapita sebesar Rp. 623.200. Berbanding lurus dengan itu, jumlah
penduduk miskin di provinsi yang dikenal sebagai Bumi Gora ini masih sangat tinggi. Angka untuk
jumlah penduduk miskin pada tahun 2003 adalah 1.054.700 jiwa (26,33%) dari total jumlah penduduk
4.024.857. Sementara pada tahun 2004 dengan jumlah penduduk 4.083.739 jumlah penduduk miskin
sebesar 1.031.600 (25,38%). Rata-rata kepemilikan tanah (1999) adalah 0,2 ha, sementara di sisi lain,
Pulau Lombok adalah salah satu daerah kantong TKI terbesar di Indonesia.
Pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan ekonomi NTB mencatat angka 3,87 persen dan 6,41
persen, dan pada tahun 2005, angka ini turun drastis hingga ke titik 2,17 persen. Secara umum, sektor
pertambangan dan sektor pertanian selalu mendominasi struktur PDRB. Sejak tahun 2001, sektor
pertambangan mulai menggeser posisi sektor pertanian yang sebelumnya bertengger pada urutan
pertama turun satu tingkat ke posisi kedua. Faktor yang paling berpengaruh di sektor pertambangan
adalah hadirnya PT. Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) yang beraktivitas di Pulau Sumbawa.
Sementara itu, dari sisi komposisi anggaran daerah, jika pada tahun 2001 total APBD Provinsi
NTB adalah Rp. 312,834 miliar lebih dengan perbandingan belanja rutin-pembangunan sekitar 70:30,
maka pada tahun 2005, total belanja APBD adalah sebesar Rp 500 miliar. Tingkat ketergantungan
pendapatan daerah terhadap kucuran dana dari pusat cukup tinggi. Pada tahun 2001, Pendapatan asli
daerah (PAD) berkontribusi hanya 18,5 persen terhadap total penerimaan daerah, sementara pada
tahun 2005, kontribusi PAD mencapai sekitar 35 persen dari total penerimaan daerah.

III. ANALISA KASUS

3.1. Modus korupsi Dewan dan celah terjadinya korupsi

Modus Korupsi
Sebagaimana biasanya, menjelang dimulainya penyusunan rancangan anggaran daerah, pihak
eksekutif melayangkan pemberitahuan kepada seluruh satuan kerja untuk menyusun DUKDA (Daftar
Usulan Kegiatan Daerah) dan DUPDA (Daftar Usulan Proyek Daerah). Untuk rancangan anggaran TA
22

2001, pada tanggal 2 Oktober 2000, Wakil Gubernur NTB mengeluarkan surat kepada seluruh
pimpinan dinas/instansi di lingkungan Pemda Provinsi NTB termasuk DPRD NTB untuk menyiapkan
DUKDA dan DIPDA.
Untuk DPRD NTB sendiri, sebenarnya terdapat dua jenis anggaran yang harus disusun,
pertama, anggaran (belanja) dewan, dan kedua, anggaran sekretariat dewan. Berbeda dengan
anggaran belanja dewan yang disusun sendiri oleh Panitia Anggaran DPRD NTB, anggaran
Sekretariat DPRD NTB disusun bersama oleh sekretariat dewan dan Panggar dewan. Kedua usulan ini
selanjutnya disatukan dalam DUKDA DPRD NTB sebelum dikirimkan oleh Sekwan ke Panggar
eksekutif.
Sekitar Bulan Oktober hingga Desember 2000, Panitia Anggaran DPRD NTB yang bertugas
menyusun anggaran dewan melaksanakan tugasnya untuk menyusun usulan anggaran belanja dewan
dan sekretariat dewan. Saat itu, pedoman mengenai anggaran belanja dewan telah diatur oleh
pemerintah melalui PP 110 Tahun 2000 tentang Pedoman Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Namun, karena merasa alokasi dana penunjang kegiatan dewan sebagaimana diatur PP ini tidak
mencukupi, Panggar kemudian menentukan sendiri nomenklatur anggaran lainnya, yang sama sekali
tidak diatur oleh PP 110 Tahun 2000, yaitu ’Biaya Pendukung Dana Penunjang Kegiatan Dewan’. Saat
itu total anggaran yang disusun oleh Panggar berjumlah Rp. 11.760.694.950 (Rp. 11,760 miliar)
dengan rincian belanja DPRD sebesar Rp. 9.514.903.544 (Rp. 9,514 miliar) dan Belanja Sekretariat
DPRD NTB sebesar Rp. 2.245.791.406 (Rp. 2,245 miliar).
Setelah rampung rencana belanja dewan ini disampaikan kepada Sekwan dan selanjutnya
dalam bentuk DUKDA DPRD NTB, disampaikan kepada Panitia anggaran eksekutif dalam hal ini
Bagian Keuangan Setda Pemprov NTB untuk dikompilasi/digabung dengan draft DUKDA dan
DUPDA dari seluruh dinas/instansi lainnya dalam RAPBD 2001.
RAPBD Propinsi NTB Tahun Anggaran 2001 ini kemudian dikirimkan oleh gubernur NTB
kepada Ketua DPRD NTB, dan selanjutnya Ketua DPRD NTB memerintahkan anggota Panggar
Dewan untuk melakukan pembahasan terhadap DUKDA dinas/instansi tersebut, dan membuat
pendapatnya untuk disampaikan dalam rapat paripurna pada saat penyampaian Nota Keuangan dan
RAPBD oleh Gubernur NTB, pada sidang paripurna dewan Tahap I. Proses selanjutnya adalah
pembahasan, baik berupa pemandangan umum oleh faksi maupun pembahasan oleh komisi terhadap
RAPBD tersebut. Dan selanjutnya melalui sidang paripurna dewan ditetapkan untuk dapat diterima
dan menjadi Perda mengenai APBD NTB TA 2001.
Namun, dari keseluruhan proses pembahasan terhadap RAPBD tahun anggaran 2001 ini
hingga penetapan diterimanya RAPBD sebagai APBD, rupanya khusus untuk anggaran belanja DPRD
NTB tidak dibahas sama sekali sehingga anggaran belanja dewan yang disusun oleh Panggar dewan
ini tetap dianggarkan sebesar Rp. 9.514.903.544 (Rp. 9,514 miliar).
Menurut pengakuan H. Kemat, Mantan Sekwan DPRD NTB pada tahun 2001 37, pada proses
pengajuan DUKDA saat itu, ia telah mengetahui adanya anggaran dewan yang disusun tidak sesuai
ketentuan saat itu, yakni PP 110 Tahun 2000. Ia menjelaskan bahwa sebelumnya, usulan anggaran
dewan tersebut sudah sempat ia tandatangani, namun bagian keuangan Setwan kembali merubahnya
sesuai perencanaan Panggar DPRD NTB, dan hal ini sempat ia pertanyakan. ” .... saya sudah tegor
mengapa kok saya sudah tanda tangan itu tapi dirubah..... di bagian perencanaan ya... di bagian
keuangan kita... Ah ini permintaan panitia anggaran... Saya lihat angkanya, yah... kenapa sampai
begini... kan abis PAD-nya untuk DPR saja saya bilang” cerita H. Kemat.
Meski demikian, Sekwan mengaku tak kuasa menghalangi masuknya DUKDA (untuk
anggaran dewan) tersebut. Lagipula, ia beranggapan bahwa masih banyak proses selanjutnya yang
akan menyaring usulan anggaran tersebut, dengan asumsi usulan itu masih bisa dirubah lagi.
Rupanya, baik dalam pembahasan di panitia anggaran eksekutif maupun selanjutnya setelah usulan
tersebut dikirim kembali ke DPRD NTB untuk dibahas, hingga ditetapkannya RAPBD menjadi APBD
TA 2001, rencana anggaran DPRD NTB tersebut sama sekali tidak dibahas. ”...Tapi yah terserahlah,
kan nanti ada cut-nya di eksekutif, ini kan masih... waktu itu saya berfikir ini kan baru DUK, daftar

37
H. Kemat sendiri menjabat Sekwan DPRD NTB sejak 1996 hingga 2001, sebelum diganti Sekwan berikutnya Zainal Abidin. Pada
saat menjabat Sekwan DPRD NTB pada era orde baru, ia juga merupakan sekretaris DPD I Golkar NTB. Serupa dengan itu,
sebelumnya H. Kemat pernah menjabat Sekwan DPRD Kabupaten Lombok Tengah saat ia pun sedang menjabat sebagai Sekretaris
DPD II Golkar Lombok Tengah.
23

usulan saja. Nanti di (bagian) keuangan (Setda Propinsi NTB).. dia kan pake aturan juga kan
keuangan... Cuma rupanya susah menghadapi panitia anggaran(dewan), yah.. ya ya saja,” kata H.
Kemat.
Masalah mulai mencuat di internal eksekutif, pada bulan Maret, saat verifikasi laporan
keuangan dewan terhitung sejak Januari-Maret 2001. Saat itu, Bagian Keuangan Setda Provinsi NTB
mempertanyakan adanya sebagian penghasilan dewan yang ternyata tak ada dasar hukumnya. Hal ini
dipertanyakan kepada sekretariat dewan, dan dijawab oleh Sekwan bahwa hal itu adalah keinginan
dari Panitia Anggaran dewan.
Proses selanjutnya, ketimbang kembali ke aturan penyusunannya dan melarang pengeluaran
dana tersebut, Gubernur NTB saat itu, Harun Alrasyid, malah mengeluarkan SK Gubernur No. 90
Tahun 2001 untuk mengesahkan pengeluaran belanja dewan yang tidak ada aturannya itu. Soal ini,
H.Kemat mengatakan: ”....... Jadi bagaimana sekarang untuk sahnya pengeluaran ini, akhirnya di
(bagian) keuangan (Setda NTB) mengambil inisiatif SK Gubernur untuk mengabsahkan apa yang
sudah dikeluarkan itu...”. Nampaknya, pengakuan Kemat cukup masuk akal, pasalnya meski SK ini
ditetapkan pada tanggal 31 Maret 2001, namun aturan ini dinyatakan berlaku mundur terhitung
sejak 1 Januari 2001.38
Dalam aturan ini, disebutkan bahwa ”untuk penyelenggaraan kegiatan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diberikan Penghasilan setiap bulan, Biaya pakaian dinas, Biaya perjalanan Dinas,
Check-up dan Dana Penunjang Kegiatan lainnya”.39 Untuk item ’penghasilan setiap bulan’, SK
Gubernur NTB No Tahun 2001 telah mendetailkannya dengan jenis penghasilan terdiri dari : (1)
Uang representasi, Tunjangan keluarga dan beras, dan Tunjangan jabatan, (2) uang paket dan
Tunjangan perbaikan penghasilan, (3) Tunjangan pemeliharaan kesehatan, (4) Tunjangan
kesejahteraan, dan (5) Uang kehormatan40. Sementara, untuk penghasilan lainnya belum ditentukan
secara rigid dan disebutkan dibayar sesuai kemampuan keuangan daerah. Dalam SK disebutkan ”.....
dan penghasilan lainnya dibayar sesuai dengan kemampuan keuangan daerah yang telah ditetapkan
dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah” 41.
Pada Perubahan APBD TA 2001, sekitar Bulan November 2001, belanja dewan mengalami
kenaikan sebesar Rp. 2.553.615.000 (Rp. 2,553 miliar) dari semula Rp. 9,514 miliar melonjak menjadi
Rp.12.068.518.544 (Rp. 12,068 miliar).
Pada TA 2002, anggaran belanja dewan kembali ditetapkan melampaui ketentuan PP 110
Tahun 2000, kembali dengan memasukkan nomenklatur yang tidak diatur dalam PP 110 Tahun 2000.
Untuk tahun ini, penyusunan anggaran dewan diawali oleh langkah Kabag Keuangan Setwan L.
Supartha yang membuat konsep draft DUKDA DPRD dan Sekretariat DPRD dengan cara menyalin
(mengcopy) anggaran tahun lalu (TA 2001) kemudian menyerahkannya kepada Panitia Urusan
Rumah Tangga (PURT) dewan untuk dikoreksi. Dari hasil koreksi PURT dewan ini, setelah
diperbaiki oleh staf keuangan Setwan kemudian diserahkan kepada Panggar dewan untuk dibahas.
Hasil pembahasan diajukan anggaran belanja dewan dan sekretariat dewan yang telah disatukan
dalam DUKDA TA 2002 untuk disampaikan ke Panggar eksekutif cq. Bagian Keuangan Setda
Pemprov NTB.
Pada APBD Tahun anggaran 2002 ini, anggaran belanja dewan dan sekretariat dewan
sebagaimana diusulkan dewan (dalam DUKDA) melonjak menjadi Rp. 20.671.744.580 (Rp. 20,671
miliar), dengan rincian belanja dewan Rp. 15.016.855.592 dan Belanja sekretariat dewan sebesar Rp.
5.654.888.988. Namun setelah proses pembahasan, anggaran belanja dewan ditetapkan menjadi
sebesar Rp. 14.224.413.476 (Rp. 14,224 miliar). Hal ini dikarenakan anggaran perjalanan dinas dan
pindah dan biaya penunjang kegiatan dewan sudah dimasukkan dalam Belanja Sekretariat dewan.

38
Lihat Pasal 5 SK Gubernur NTB No. 90 Tahun 2001 tentang Penyesuaian Keuangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD
Provinsi NTB.
39
Pasal 1 ayat (1) SK Gubernur NTB No. 90 Tahun 2001 tentang Penyesuaian Keuangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
40
Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 SK Gubernur NTB No. 90 Tahun 2001 tentang Penyesuaian Keuangan Ketua, Wakil Ketua dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

41
Pasal 3 SK Gubernur NTB No. 90 Tahun 2001 tentang Penyesuaian Keuangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
24

Sementara itu pada APBD Perubahan TA 2002, anggaran belanja dewan kembali naik
menjadi Rp. 16.233.697.476 (Rp. 16,233 miliar) atau bertambah sebesar Rp. 2.007.684.000 (Rp. 2,007
miliar). Penambahan tersebut terjadi pada Pos Biaya Pendukung penunjang kegiatan dewan, pada
digit Lain-lain kegiatan dari semula Rp. 5.863.166.720 (Rp. 5,863 miliar) yang bertambah menjadi Rp.
7.870.850.720 (Rp. 7,870 miliar).

Kerugian Daerah/Negara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati NTB dalam tuntutannya menyatakan bahwa para
terdakwa anggota panggar DPRD NTB secara bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan
hukum yakni bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan Daerah Pasal 4 yaitu : ”Pengelolaan Keuangan
Daerah dilakukan secara tertib, taat pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisien,
efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan”.42
Akibat praktek penyusunan dan pengalokasian belanja dewan yang melawan hukum ini,
menurut JPU Kejati NTB, negara/daerah dirugikan sebesar Rp. 17, 5 miliar. Angka ini diperoleh dari
penghasilan dewan di luar aturan pada tahun anggaran 2001 sebesar Rp. 7.008.922.924 dan pada
tahun anggaran 2002 sebesar Rp. 13.618.456.160, senilai Rp. 20.627.379.084 (Rp. 20,627 miliar)
dipotong PPh 15 %.
JPU Kejati NTB menyebut penghasilan dewan di luar aturan yang ditentukan tersebut
sebagai penghasilan diluar daftar gaji.

Tabel. Penghasilan Dewan Diluar Daftar Gaji TA 2001


Pos Anggaran Jumlah (Rp)
Asuransi Bumi Putera 237,187,500
Biaya Pendukung Dana Penunjang Kegiatan Dewan 6,771,735,424
Total 7,008,922,924
Sumber : diolah dari Dokumen Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tabel. Penghasilan Dewan diluar Daftar Gaji TA 2002


Pos Anggaran Jumlah (Rp)
Tunjangan Kesejahteraan & Asuransi Anggota Dewan 1,905,922,904
Biaya Pendukung dana Penunjang Kegiatan dewan 11,712,533,256
Total 13,618,456,160
Sumber : diolah dari Dokumen Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Pada titik mana korupsi terjadi?


Secara pendekatan sistem dalam proses penyusunan anggaran daerah, korupsi anggaran
dewan terjadi pada saat proses penyusunan anggaran dewan, yang dalam hal ini merupakan
wewenang panitia Anggaran DPRD NTB, sesuai Tata tertib dewan.
Korupsi berawal dari penyusunan belanja dewan tanpa mengikuti aturan yang berlaku saat
itu, yakni PP 110 Tahun 2000. Modusnya, Panitia Anggaran menentukan sendiri nomenklatur
anggaran yang tidak diatur. Setwan sendiri, karena hanya merupakan pembantu dewan tentu tidak
kuasa untuk merubah anggaran tersebut, sehingga usulan anggaran tersebut lolos ke pihak eksekutif.
Selanjutnya, sejak rencana anggaran dewan ini dikirimkan oleh Sekwan DPRD NTB untuk
dibahas di Panitia Anggaran eksekutif hingga dikirimkan kembali untuk dibahas di gedung dewan
bersama rencana anggaran daerah lainnya, anggaran dewan ini tidak pernah dibahas, sehingga
anggaran yang sedari awal diusulkan dewan ini tidak mengalami perubahan sama sekali. Menurut
salah seorang sumber, hal ini terjadi karena pihak eksekutif rupanya tidak berani mengutak-atik
anggaran belanja dewan, mengingat kewenangan penyusunan anggaran dewan tersebut, sebagaimana
diamanatkan oleh UU No. 22 Tahun 1999, memang merupakan kewenangan legislatif.
Setelah pihak eksekutif melakukan melakukan verifikasi terhadap realisasi anggaran triwulan
pertama (Januari-Maret 2001), pada Bulan Maret 2001, Bagian keuangan Setda Pemrov NTB

42
Lihat dokumen tuntutan Jaksa penuntut umum kasus
25

sebenarnya telah mengetahui adanya anggaran yang tidak sesuai aturannya. Namun, ketimbang
mengembalikan pada porsinya semula, Gubernur malah mengeluarkan SK untuk melegitimasi
pengeluaran anggaran tersebut.
Kejadian serupa akhirnya kembali terulang pada periode selanjutnya, khususnya pada
penyusunan APBD TA 2002, dan sebagai akibatnya, selama dua tahun anggaran ini, anggaran belanja
dewan melebihi ketentuan yang diatur dalam PP 110 Tahun 2000.
Dari sini dapat diketahui bahwa titik lemah sistem perencanaan belanja dewan saat itu
terletak pada tidak adanya pihak yang memiliki kewenangan (otoritas) atau paling tidak ”merasa
berhak” untuk merubah anggaran belanja yang diusulkan oleh dewan. Analisis ini juga berhubungan
dengan adanya kesan umum, khususnya dari kalangan eksekutif, bahwa jika alokasi anggaran belanja
dewan terlalu dipermasalahkan, maka hal itu juga akan berimplikasi pada semakin bertele-telenya
pembahasan rencana anggaran yang diajukan eksekutif untuk dibahas oleh dewan 43.
Hal lainnya yang perlu disorot adalah, fakta bahwa Pemerintah provinsi NTB saat itu ternyata
juga belum memiliki peraturan daerah yang mengatur pengelolaan keuangan daerah, yang pada
daerah-daerah lain juga mengatur tentang besarnya pengeluaran dewan, sebagai turunan dari
peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan keuangan daerah.

3.2. Strategi Para Aktor dalam mendorong penuntasan kasus

Dalam penanganan kasus ini, ada tiga aktor44 yang cukup dominan dalam mendorong kasus.
Aktor-aktor tersebut adalah : (1) BEM Unram dan jaringannya, (2) Kelompok Agus F. Wirawan-L.
Abdul Johan Blumbang cs, dan (3) Jaringan GeRAK NTB. Meski demikian, sejak awal mencuatnya
kasus ini hingga proses banding yang sedang berlangsung di Pengadilan Tinggi Mataram, beberapa
aktor lain, juga turut mewarnai upaya pendorongan kasus.
Untuk menggambarkan strategi para aktor, tinjauan umum terhadap para aktor pendorong
kasus ini menunjukkan bahwa masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Hal ini nampaknya lebih
terkait dengan visi-misi para aktor dalam konteks pemberantasan korupsi atau juga berkaitan dengan
motif dan karakter kelompoknya.
BEM Unram adalah sebuah organisasi intra kampus yang keberadaannya relatif sudah lama
dan sebagaimana umumnya organisasi mahasiswa semacam ini, BEM Unram melakukan pergantian
pengurus setiap tahun. Dan sepanjang perjalanan kasus, sejak terbongkarnya kasus dugaan korupsi
korupsi TA 2001, 2002, BEM Unram telah mengalami dua kali pergantian pengurus, yakni pada
Periode kepengurusan tahun Tahun 2004/2005 dengan ketua Iwan Wahyudi dan Periode
kepengurusan Tahun 2005/2006 dengan ketua M. Akhyar. Dalam mendorong kasus DPRD NTB, BEM
Unram juga terlihat dapat me-manage aksinya melalui BEM NTB Raya, yakni organisasi
beranggotakan seluruh BEM PTN/PTS se-NTB.
Ketua BEM Unram Periode 2005/2006, M. Akhyar mengakui bahwa pemahaman mahasiswa
mengenai peta situasi politik yang berkembang masih minim. Sementara di sisi lain, diakui bahwa
mahasiswa sendiri punya banyak kelemahan dalam mendorong kasus. Ia menganggap mereka masih
dalam taraf belajar dan punya banyak kesibukan akademik, sehingga pola penanganan kasus yang
dibangun dirasakan belum sistematis dan lebih banyak memanfaatkan momentum. 45
Sementara Kelompok Agus-Blumbang cs menengarai bahwa cara-cara konvensional tidak
akan cukup berarti dalam membongkar kasus korupsi. ”Menangkap maling dengan cara maling,
menangkap koruptor dengan cara korup”, kata Agus. Bagi Agus-Blumbang cs, untuk menjalankan
”gerakan” mendorong kasus, ketersediaan logistik sangatlah penting dan karenanya kelompok back
up juga perlu diperhatikan. Serupa dengan jaringan GeRAK NTB, Agus sendiri khususnya, sangat
memperhatikan masalah pergeseran konflik antar-elit politik yang terjadi dan memperkuat kerja
dokumentasi kasus.

43
Di kalangan aktivis advokasi anggaran dewan juga berkembang anekdot yang melukiskan kuatnya posisi dewan dan tabiat
dewan yang dianggap mementingkan kesejahteraannya sendiri : ”Anggaran dewan pasti ditempatkan di halaman satu dokumen
APBD. Jadi kalau halaman satu belum oke, anggaran lain belum bisa dibahas.” Anekdot serupa juga diungkapkan oleh H. Kemat,
mantan Sekwan DPRD NTB tahun 2001.

44
Aktor dalam tulisan ini dipersepsikan secara netral tanpa memandang motifnya
45
Diskusi pribadi dengan Ketua BEM Unram Periode 2005/2006, M. Akhyar, di Asrama Unram tanggal 11 Juli 2006.
26

Jaringan GeRAK NTB dirintis pada pertengahan 2003 menyusul dilaksanakannya strategic
planning jaringan GeRAK NTB. Dari sisi hubungan emosional antara aktor dan pola komunikasi
advokasi terlihat jaringan ini cukup solid. Aktor utama dalam jaringan ini adalah SOMASI NTB,
sebuah LSM anti korupsi yang berdiri sejak 1998, dan dibanding beberapa aktor lainnya, memiliki
legitimasi (sudah dikenal) sebagai organisasi yang concern mendorong pemberantasan korupsi di
NTB. Awalnya, lembaga yang bergabung dalam jaringan ini antara lain : SUAKA Lombok Tengah,
SOBAT Mataram, FORMAT Mataram dan LARDES Sumbawa, namun dalam perjalanan selanjutnya
juga muncul beberapa lembaga lain, seperti LBH NTB dan TRAPK NTB di Mataram, PiLAH di
Sumbawa dan Legitimid di Sumbawa Barat. Lembaga-lembaga ini nampaknya lebih kental
membangun identitas sebagai kelompok anti korupsi. GeRAK NTB lebih berorientasi memperluas
jaringan, dan mengembangkan basis ke tingkat desa atau basis sektor, dan sedang menuju kearah
pemantapan organisasi.
Dalam penuntasan kasus korupsi belanja dewan, dari segi target, GeRAK NTB memandang
bahwa gerakan advokasi kasus ini harus dipandang sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas untuk
membangun gerakan sosial anti korupsi di daerah. Kemenangan dalam menuntaskan kasus ini, hingga
dihukumnya para koruptor, adalah target yang penting sebagai momentum ”mengobati hati”
masyarakat bahwa korupsi bisa diberantas. Namun di sisi lain, jika target tersebut gagal, berarti tugas
selanjutnya adalah menjelaskan kepada publik bahwa masih ada masalah di sektor peradilan (judicial
corruption), yang harus diperbaiki bersama. Advokasi kasus korupsi DPRD NTB ini juga dimaknai
sebagai ajang konsolidasi di internal jaringan GeRAK NTB, sembari melakukan survey mengenai peta
struktur politik. Dalam mendorong kasus, Jaringan GeRAK NTB sangat memperhatikan
perkembangan politik yang terjadi, sekaligus pergeseran konflik yang terjadi di dataran elit, yang
dipersepsikan dapat memberikan peluang untuk mendorong kasus.

Dari ketiga aktor tersebut, jaringan GeRAK NTB relatif mempunyai visi jangka panjang
tentang pemberantasan korupsi, dibanding dua aktor lainnya, yang nampak lebih concern untuk
sekedar mendorong penuntasan kasus korupsi. Dan agaknya karena jaringan ini sudah dibangun
cukup lama, relatif lebih solid dalam konteks bangunan gerakannya, dibandingkan kelompok Agus-
Blumbang cs yang nampaknya lebih mengandalkan gagasan dan kapasitas personal, maupun di BEM
Unram yang lebih berorientasi menggalang aksi berdasarkan momentum.
Secara umum, strategi yang diambil oleh masing-masing aktor menunjukkan bahwa para
aktor ini cenderung mengambil jarak dari aparat penegak hukum. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh
pengalaman mereka selama ini menyangkut kinerja aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus
korupsi, khususnya pihak kejaksaan maupun pihak pengadilan, dalam penuntasan kasus korupsi. Dan
karenanya, strategi yang dijalankan dalam proses mendorong proses hukum kasus korupsi ini lebih
terarah untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pihak kejaksaan maupun pengadilan dalam proses
hukum kasus.
Namun disisi lain, baik BEM Unram maupun Kelompok Agus Blumbang cs juga ternyata
menjalin hubungan dengan kelompok politik. BEM Unram misalnya, menjalin hubungan erat dengan
politisi di DPW PKS NTB, sementara Kelompok Agus-Blumbang cs menjalin komunikasi dengan H.
Mesir Suryadi, Ketua DPD I Golkar NTB dan calon gubernur kalah pada Pilgub NTB 2003 dan salah
seorang wakil bupati di Pulau Lombok.

Gambaran mengenai strategi yang ditempuh oleh para aktor disampaikan dalam tabel.

Tabel. Strategi aktor dalam mendorong kasus

Aktor Strategi
BEM Unram dan • Pelaporan dan update update perkembangan kasus kepada aparat hukum antara lain kepada : Kejati
jaringannya NTB, Polda NTB, Kejagung RI, Polri, KPK, KY
• Kampanye media massa
• Kampanye aksi massa
• Kampanye Ruangan (Seminar, dll)
• mengkritisi kinerja aparat hukum
• Mengembangkan jaringan BEM NTB Raya, yang salah satu fokus agendanya adalah anti korupsi.
• Menjalin komunikasi dengan kelompok aktor lain pendorong kasus, misalnya dengan bergabung
27

dalam FMAK NTB, maupun menjalin komunikasi dengan Jaringan GeRAK NTB
• Menempuh move hukum pra peradilan bersama kelompok Agus-Blumbang cs
• Menjalin hubungan dengan politisi, misalnya DPW PKS NTB
Kelompok Agus- • Pelaporan dan update perkembangan kasus ke aparat hukum
Blumbang cs • Updating peta situasi politik dan pemantauan pergeseran konflik (termasuk dengan kasus lain) dan
memanfaatkan konflik politik
• Kampanye media massa, kadang segmen isu yang dikembangkan menohok ke arah Serinata
• Mengkritisi kinerja aparat hukum
• Menjalin komunikasi dengan kelompok aktor lain, misalnya dengan bergabung dalam FMAK NTB
• Menempuh move hukum pra peradilan bersama BEM Unram
• Menjalin hubungan dengan politisi, misalnya dengan Wakil Bupati di Pulau Lombok dan Kubu Mesir
Suryadi
Jaringan GeRAK • Pelaporan dan update perkembangan kasus ke aparat hukum, antara lain : Kejagung RI, KPK, KON,
NTB KY
• Pemetaan massa pendukung koruptor, updating peta situasi politik dan pemantauan pergeseran
konflik (termasuk dengan kasus lain)
• Kampanye aksi massa
• Kampanye media massa, termasuk dengan menggunakan media sendiri (Tabloid Rakyat, terbit Dwi
mingguan, dijual dengan oplah 1.500 eks), dengan redaksi yang terdiri dari sejumlah wartawan di
daerah.
• Kampanye Ruangan (Seminar, Dialog Publik, dll)
• Pemantauan Peradilan, Kajian data dan Proses Peradilan dan Penelusuran mafia peradilan
• Menjalin komunikasi (menjalin kontak) dengan pejabat strategis Kejaksaan Tinggi NTB, memberi
masukan dan mengkritisi kinerja aparat hukum.
• Memperlebar keterlibatan pihak lain di daerah (misal kelompok profesional seperti akademisi,
pengacara, dll)
• Menggunakan (bantuan) jaringan di Jakarta seperti ICW dan GeRAK Indonesia
• Menggunakan kontak berpengaruh di sekitar Kejagung dan lingkar Istana negara untuk mendorong
kasus
• Menjaga agar kasus tetap di rel hukum (untuk melawan politisasi kasus korupsi) dan menjaga
netralitas birokrasi khususnya untuk tidak terjebak ”mendukung” Gubernur H. Lalu Serinata

Di sisi lain, tingkat intensitas kerja pendorongan kasus ini lebih terlihat intens terjadi pada
aktivis BEM Unram (dan jaringannya) dan aktivis Jaringan GeRAK NTB, yang intens mendorong
kasus sejak kasus mulai mencuat sampai selesainya proses persidangan di PN Mataram. Walau
demikian, secara umum, kerja-kerja pendorongan kasus oleh BEM Unram lebih banyak didasarkan
pada momentum, hal ini sangat berbeda dengan kerja Jaringan GeRAK NTB yang meski kerap kali
juga memanfaatkan momentum, namun dalam pola kerjanya relatif lebih terencana dan sistematis.
Sementara untuk kelompok Agus-Blumbang cs, keterlibatannya terlihat intens hanya pada saat
mendorong kasus pada tahap awal dan berakhir ketika kasus telah dibawa ke persidangan.

Apakah terbangun jejaring antar-aktor?


Dari BEM Unram, ada kesan bahwa mereka memandang gerakan yang mereka bangun wajar
berbeda dengan gerakan kalangan LSM. Mereka menganggap agenda gerakan LSM berbeda dengan
agenda mahasiwa, karena menganggap ”kepentingannya macam-macam”. Namun meski demikian
aktivis BEM Unram tidak menutup diri untuk bekerjasama dengan pihak lain, sejauh sifatnya hanya
taktis saja.
BEM Unram bisa menjalin komunikasi dengan aktor lain, seperti Agus-Blumbang cs dan
Jaringan GeRAK NTB. Namun jika BEM Unram bisa menggalang aliansi taktis bareng dengan
kelompok Agus-Blumbang cs, jaringan GeRAK NTB justru tidak pernah membangun aliansi dengan
kelompok Agus-Blumbang cs.
Terbangunnya aliansi taktis antara BEM Unram dan kelompok Agus-Blumbang cs nampaknya
dipermudah oleh kedekatan antara Aktivis BEM Unram dengan pengurus DPW PKS NTB, yang
notabene memiliki hubungan yang cukup baik dan relatif lama dengan kelompok Agus-Blumbang cs,
di masa lalu.
Sementara bagi jaringan GeRAK NTB, aspek integritas menjadi hal yang sangat penting dalam
memilih kawan bergerak, terutama menyangkut integritas aktor yang diajak berkoalisi maupun
sebagai upaya menjaga diri agar integritas jaringan terjaga. Hal ini menjadi alasan tidak terbangunnya
aliansi antara Jaringan GeRAK NTB dengan kelompok Agus-Blumbang cs, yang disebabkan oleh
diragukannya integritas Agus F. Wirawan oleh aktivis GeRAK NTB. Berbeda dengan itu, aktivis
GeRAK NTB sering melakukan komunikasi dengan BEM Unram, dan beberapa kali juga menggarap
kerja bersama. Namun proses komunikasi antara GeRAK NTB dan BEM Unram juga tidak berujung
pada upaya menstrategiskan gerakan, hal ini nampaknya disebabkan oleh pilihan BEM Unram yang
cenderung mengambil posisi independen dari gerakan LSM, yang menurut mereka ”punya
28

kepentingan macam-macam”. Meski demikian, baik GeRAK NTB maupun BEM Unram terlihat
berupaya menjaga agar komunikasi diantara mereka tetap berjalan baik.
Kelompok Agus-Blumbang cs sendiri nampaknya tidak cukup punya batasan untuk menjalin
komunikasi dengan pihak lain. Pilihan untuk membangun kerja bersama dengan BEM Unram,
khususnya dalam langkah move praperadilan, nampaknya didasari oleh fakta bahwa ’hanya’ BEM
Unram yang punya ’legitimasi’ sebagai pelapor kasus, padahal BEM Unram sebenarnya hanya
melaporkan kasus dugaan korupsi belanja DPRD NTB TA 2003, dan bukan kasus yang sedang
diproses hukum oleh pihak kejaksaan.

3.3. Tanggapan pihak yang diduga melakukan korupsi dan para pendukungnya?
Selama proses hukum kasus ini, sejumlah pihak yang diduga melakukan korupsi maupun para
pendukungnya, juga melakukan perlawanan terhadap upaya pendorongan kasus.
Langkah ini sebenarnya telah diawali ketika 7 petinggi daerah, pasca penetapan tersangka
kasus ini oleh pihak Kejati NTB mengeluarkan statemen bersama bahwa penetapan tersangka dapat
menimbulkan instabilitas daerah. Uniknya, pada saat jumpa pers itu, Kepala Kejati NTB, Suhardjono
SH, Kepala Polda NTB dan Ketua PT Mataram juga hadir.
Bentuk perlawanan lainnya adalah langkah penekanan massa terhadap pihak kejaksaan,
yang saat itu dipimpin oleh A. Zaenal Arifin, untuk tidak memeriksa saksi Gubernur NTB dan segera
membebaskan pada tersangka kasus ini yang saat itu sedang ditahan oleh kejaksaan. Langkah ini
disusul dengan upaya untuk mengaburkan proses hukum, dengan menyebut pihak kejaksaan
diskriminatif karena kasus yang terkait dengan Gubernur NTB, H. Lalu Serinata diperiksa sementara
kasus yang diduga melibatkan Wakil Gubernur NTB, HB Thamrin Rayes tidak diusut.
Teror berupa telepon, sms maupun ancaman fisik baik kepada para aktor pendorong maupun
jaksa juga terjadi. Teror berupa sms dan telepon beberapa kali diterima oleh aktivis GeRAK NTB
dalam mendorong kasus ini. Begitu juga yang dialami oleh kelompok Agus-Blumbang cs yang dalam
sebuah aksi massa yang berlangsung di Kantor Gubernur NTB –juga terkait kasus Bandara Lombok
Tengah-- diserukan untuk dibunuh.
Di sisi kejaksaan, beberapa orang pejabat teras Kejati NTB dan jaksa penyidik menerima teror
berupa sms, yang bahkan dikirimkan dengan menyebutkan identitas penerornya. Salah seorang jaksa
penyidik kasus ini bahkan pernah didatangi oleh sejumlah orang yang mengaku ”diutus” untuk
’menjemputnya’ guna bertemu dengan pihak yang diduga melakukan korupsi.

3.4. Respon pihak legislatif dan eksekutif di daerah terhadap kasus ini
Pada tahap awal ketika kasus baru mencuat, model segmentasi isu yang dilontarkan pihak
DPRD NTB adalah mengarahkan argumennya bahwa penyusunan APBD tersebut sudah sesuai
aturan, misalnya dengan mengembangkan isu : (1) bahwa prosedur sudah sesuai perundangan dan
telah diatur dalam Perda; (2) Mendagri sudah menyetujui APBD NTB TA tersebut sehingga tidak ada
masalah; selain itu (3) Siap dipecat atau siap mundur jika terbukti bersalah.
Namun setelah pihak Kejati NTB menetapkan tersangka dalam kasus ini, tanggapan mereka
nampak berubah. Segmentasi isu yang dilontarkan oleh anggota dewan yang telah ditetapkan sebagai
tersangka, misalnya : (1) Bahwa yang bertanggungjawab terhadap masalah tersebut adalah eksekutif,
(2) Masalah tersebut adalah masalah administratif, (3) Mulai membiaskan kasus kearah politis dengan
menekankan bahwa munculnya kasus adalah upaya menggoyang kepemimpinan Gubernur HL
Serinata.
Selain itu, pasca penetapan tersangka, DPRD NTB pun melakukan konsolidasi internal
dewan, nampaknya untuk merumuskan langkah bersama, hasilnya misalnya, diperoleh kesepakatan
bahwa setiap informasi mengenai kasus tersebut akan keluar melalui satu jalur, yakni melalui Ketua
DPRD NTB saat itu, Sunardi Ayub. Hasil lainnya, DPRD NTB mengkampanyekan kepada publik
bahwa pihaknya telah membentuk tim kehormatan untuk menyelesaikan permasalah tersebut.
DPRD NTB pun menggelar jumpa pers dan menyatakan pemberitaan media yang gencar
mengenai kasus korupsi DPRD NTB merupakan pembunuhan karakter anggota dewan, selain telah
berdampak psikologis terhadap dewan dan keluarganya, sehingga mengganggu kinerja pemerintahan.
Disusul kemudian, 7 Fraksi DPRD (semua fraksi) memboikot penetapan APBD Perubahan TA 2004
29

dengan alasan takut berpendapat yang akan menimbulkan akibat hukum, sebagaimana terjadi pada
TA 2001 dan 2002 yang sedang diproses hukum. Bersama petinggi daerah lainnya, DPRD NTB juga
mengeluarkan pernyataan bersama bahwa pengungkapan kasus korupsi daerah mempengaruhi
instabilitas daerah khususnya menjelang pemilu, lebih-lebih dengan penetapan tersangka oleh pihak
kejaksaan.
Namun pasca Pemilu 2004, nampak DPRD NTB memilih tidak ikut campur dalam proses
hukum kasus ini, dan hanya menyatakan mendukung proses hukum yang berjalan.
Dari sisi eksekutif, saat proses hukum sedang berjalan, birokrasi secara umum sulit mengambil
sikap. Hal ini bisa jadi terkait dengan dugaan keterlibatan mantan ketua DPRD (yang kemudian
menjabat Gubernur NTB) dalam kasus ini. Sehingga kalangan birokrasi nampaknya lebih banyak
yang mengambil sikap tidak unjuk suara untuk mendukung atau menolak proses hukum. Sehingga
karakter birokrasi yang muncul di depan publik: nampak lebih dominan menempatkan diri sebagai
aparat birokrasi yang netral (tidak mau ikut campur) dalam persoalan ini. Namun meski demikian,
secara umum diketahui, selama proses hukum kasus ini berjalan terjadi perbedaan cara pandang di
birokrasi mengenai kasus ini.
Pasca pembacaan vonis hakim, salah seorang aparat jajaran birokrasi Pemprov NTB, meski
dengan menggunakan identitas sebagai mahasiswa pasca sarjana, juga ikut meramaikan koran lokal
dengan menulis opini yang mendukung putusan hakim, sementara salah seorang Kepala Biro Setda
NTB juga sempat juga kelepasan mengeluarkan statemen yang bernada ’mendukung’ Gubernur NTB,
namun setelah mendapat kritikan dari masyarakat, memilih tidak banyak bersuara.

3.5. Kinerja aparat hukum dalam menindaklanjuti kasus

Kinerja Kejaksaan
Proses penyidikan terhadap kasus ini di Kejaksaan Tinggi NTB berlangsung selama kurang
lebih 11 bulan, dan selama proses penyelidikan, penyidikan hingga proses persidangan, tercatat Kejati
NTB telah dipimpin oleh empat orang Kepala Kejati NTB.

Tabel. Kepala Kejaksaan Tinggi NTB dan Tahapan proses hukum yang dilaksanakan

Kepala Kejati NTB Waktu Proses hukum yang dilaksanakan Keterangan


Menjabat
Suhardjono, SH s.d. Penyelidikan s.d. proses awal Aspidsus I
September Penyidikan (pemeriksaan saksi Ketut parwata
2004 diluar anggota dewan) Kusuma
A. Zaenal Arifin, SH Oktober Penyidikan, penyerahan berkas ke Aspidsus Agus
2004- PN, penyusunan surat dakwaan Suratno, SH
Desember s,d. proses awal persidangan
2005 (sidang pemeriksaan saksi)
Moh. Ismail SH Desember Proses persidangan (pemeriksaan Aspidsus Agus
2005-Mei saksi s.d pemeriksaan terdakwa) Suratno, SH
2006
Dr. Singgih Iswara, SH. Mei 2006- Proses persidangan (Menjelang Aspidsus Agus
MH sekarang sidang pembacaan tuntutan JPU) Suratno, SH
s.d sekarang (proses banding ke
PN Mataram)

Pada era Kepala Kejati NTB, Suhardjono, awalnya kejaksaan menetapkan ada 15 orang
tersangka anggota Panggar DPRD NTB 1999-2004, namun atas desakan publik yang menyebut bahwa
jumlah anggota Panggar ada 18 orang, pihak kejaksaan menetapkan bahwa jumlah tersangka naik
menjadi 18 orang. Penetapan para tersangka ini disertai dengan penolakan kejaksaan menyebutkan
nama para tersangka, padahal publik sangat berharap agar pihak kejaksaan menyebutkan nama para
tersangka.
30

Pada era Kepala Kejati NTB, A. Zaenal Arifin, kejaksaan membuat pengumuman bahwa
tersangka menurut berkas yang diterima dari era Kepala Kejati Suhardjono hanya 11 orang. Hal ini
menunjukkan bahwa pada era Kepala Kejati Suhadjono telah terjadi ”kebohongan publik” dari pihak
kejaksaan, karena mengumumkan telah menetapkan 18 orang tersangka, namun yang ada dalam
berkas hanya 11 orang tersangka. Satu tersangka lainnya, malah baru ditetapkan oleh Kepala Kejati
NTB A. Zaenal Arifin.
Dalam surat dakwaannya, jaksa penuntut umum menyebut bahwa 12 orang tersangka dan
Mantan Ketua DPRD NTB (yang juga mantan Ketua Panggar) saat itu, H. Lalu Serinata, secara
bersama-sama dengan 12 orang tersangka lainnya melakukan korupsi, namun jika 11 orang tersangka
lainnya (diluar 1 orang yang meninggal di tahanan, H. Lalu Artawa) dibawa ke persidangan, hingga
keluarnya putusan hakim (untuk 10 org tersangka, 2 lainnya meninggal), Serinata belum juga
diperiksa sebagai tersangka, apalagi dibawa ke persidangan. Hal ini terus menjadi sorotan publik, yang
dijawab oleh pihak kejaksaan, bahwa proses hukum tersangka lainnya akan dilaksanakan setelah
proses hukum untuk terdakwa yang sedang diproses di persidangan telah selesai.

Kinerja Hakim
Proses persidangan kasus ini berjalan selama kurang lebih 10,5 bulan. Selama proses
persidangan, tercatat sidang ditunda lebih dari 15 kali sidang. Hal inilah yang menyebabkan sidang
menjadi berlarut-larut.
Namun salah satu sebab penundaan sidang yang cukup menyita perhatian publik adalah
ditundanya sidang akibat tidak hadirnya salah seorang saksi, Gubernur NTB, H. Lalu Serinata, yang
menyebabkan sidang ditunda hingga lima kali. Saksi berkirim surat dan menyatakan tidak dapat hadir
karena kesibukannya sebagai gubernur.
Para aktor maupun pengamat hukum berpendapat bahwa hakim memperlihatkan
kecenderungan tidak memiliki inisiatif dan komitmen untuk menegakkan hukum (pasif). Hakim
tidak bersungguh-sungguh melakukan pembuktian dalam persidangan. Hakim terlihat pasif saja,
padahal mestinya karena pengadilannya adalah pengadilan judex factie, hakim bertugas untuk
membuktikan kasus tersebut. Lebih-lebih lagi dengan putusan yang dianggap tidak memberikan
kepastian hukum baik bagi para terdakwa maupun pencari keadilan (masyarakat). Hal yang disorot
terhadap kinerja hakim antara lain : (a) Respon yang minim atas ketidakhadiran Saksi Gubernur
NTB, H. Lalu Serinata. Mestinya hakim mengeluarkan penetapan pemanggilan paksa untuk saksi,
sebagaimana permintaan jaksa penuntut umum, namun hakim tidak meresponnya, (b) pencabutan
kesaksian dalam BAP oleh para saksi dan terdakwa tanpa tanggapan memadai dari hakim, (c) Legal
rationing (dasar pemilihan pasal/pengambilan putusan) tidak diuraikan secara jelas.

Kinerja Kepolisian
Keraguan adanya jaminan pihak kepolisian terhadap keamanan para aktor maupun aparat
kejaksaan, menjadi keluhan para aktor pendorong, khususnya sejak diserangnya kantor Kejaksaan
Tinggi oleh massa pendukung pihak yang diduga melakukan korupsi. Lebih khusus lagi, kepolisian
dianggap melepaskan diri dalam mengusut penyerangan kantor kejaksaan tinggi oleh massa tersebut.
Banyak pihak berpandangan, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan
korupsi dan upaya penegakan hukum oleh kejaksaan mestinya diimbangi dengan adanya jaminan
keamanan bagi kejaksaan maupun masyarakat.

3.6. Bagaimana respon media terhadap korupsi dan proses yang terjadi?
Respon media, harus dilihat dalam dua konteks, pertama, respon jurnalis media itu sendiri,
dan kedua, respon media secara institusional.
Respon media secara umum cukup beragam, namun pandangan umum yang bisa ditangkap,
media cenderung tidak memiliki ”agenda” dalam menulis berita-berita terkait kasus korupsi ini.
Media hanya memberitakan peristiwa, tanpa berusaha melakukan penggalian. Media lebih memilih
untuk ”netral” dan memberi ruang yang sama bagi semua kelompok untuk menggunakan media.
Namun secara umum hampir semua aktor menyebutkan ada varian ”posisi” yang diambil oleh
media dalam kasus ini. Ada media yang dianggap konsisten, pasang-surut, maupun sangat minim
31

mendukung upaya penanganan kasus oleh para aktor. Hal ini ditengarai dipengaruhi antara lain oleh
kebijakan perusahaan dan sistem keredaksian yang tidak berjalan baik.
Meski demikian umumnya para aktor menjalin hubungan dengan personal jurnalis, baik di
level reporter maupun jajaran redaktur. Masalah umum yang disebutkan berkaitan dengan jurnalis,
diantaranya termasuk tidak tersedianya sistem data base di media, tingkat rolling wartawan yang
cukup tinggi, dan kapasitas wartawan yang masih lemah (khususnya wartawan hukum).

IV. KESIMPULAN

1. Faktor Pendukung keberhasilan para aktor dalam mendorong kasus


Bila ada keberhasilan yang dicapai dalam upaya mendorong kasus ini, bagi para aktor maupun
pengamat, adalah fakta bahwa kasus ini adalah kasus yang begitu menyita perhatian masyarakat NTB
yang pertama kali diproses aparat kejaksaan hingga ke proses persidangan.
Secara umum, semua pihak sepakat bahwa tanpa dorongan masyarakat yang terlibat
mendorong kasus ini, bisa dipastikan bahwa kasus ini hanya akan sekedar muncul sebagai isu di koran
lokal saja, untuk kemudian hilang, sebagaimana beberapa kasus sebelumnya yang pernah dilaporkan
oleh masyarakat. Namun sejumlah pihak juga berpandangan, kasus ini bisa diproses hingga ke
pengadilan karena adanya figur Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, seperti A. Zaenal Arifin yang memiliki
”keberanian” untuk melanjutkan proses hukum kasus ini dan membawanya ke persidangan, meski
menghadapi tekanan yang cukup besar dari pihak yang diduga melakukan korupsi dan para
pendukungnya.

2. Faktor yang memperlemah para aktor dalam mendorong kasus


Salah satu hambatan utama dalam mendorong kasus ini adalah kuatnya perlawanan para
pelaku korupsi, yang berupaya mempolitisasi kasus korupsi ini dari kasus hukum kearah konflik
politik, dan kuatnya tekanan (bujukan?) kepada pihak kejaksaan. Sementara itu, keraguan akan
jaminan keamanan dari pihak kepolisian baik terhadap aparat kejaksaan maupun aktor pendorong
kasus adalah salah satu hal yang menjadi keluhan dalam penanganan kasus.
Persepsi secara umum dari sejumlah aktor-pengamat menyayangkan tidak bisa bertemunya
antara para aktor untuk menggalang gerakan bersama, meski mengingat karakter kelompok dan cara
mereka menilai kelompok lainnya hal ini mungkin bisa dipahami.

5. Rekomendasi

5.1. Rekomendasi terkait Strategi Aktor dalam penuntasan kasus


Beberapa persepsi mengenai strategi yang seharusnya dikerjakan atau perlu diperbaiki oleh
aktor agar lebih berhasil dalam mendorong penuntasan kasus, antara lain :

• Memperbaiki pola komunikasi dengan media dan menyuplai data bagi media.
Kelemahan media di NTB adalah sebagian besar media tidak memiliki system data base di
keredaksian, sehingga data umumnya dimiliki oleh personal wartawan, yang umumnya berupa arsip
berita. Repotnya, dengan tingkat rolling wartawan (dari satu pos/tempat bertugas ke pos lain) yang
cukup cepat, kesinambungan penulisan menjadi terputus. Karenanya, para aktor diharapkan bisa
membantu memfasilitasi kekurangan ini, dengan terus mensuplai data dan bahan, meski jurnalis
menulis berita tersebut tanpa harus menyebut nama aktor tersebut.

• Merubah format kampanye media: dari konflik politik ke dampak korupsi bagi masyarakat.
Jurnalis menilai isu yang dilemparkan para actor masih berada pada level “isu konflik antar-
elit” sehingga disarankan memperbanyak isu yang bernuansa dampak dan bahaya korupsi DPRD NTB
kepada masyarakat. Meski menyadari bahwa suplemen kampanye dampak korupsi masih minim, para
aktor pun beranggapan bahwa umumnya media sulit untuk memberi ruang bagi segmentasi isu
semacam ini.
32

• Memperkuat aspek kajian hukum dalam pelaporan kasus


Memang ada debat juga menyangkut rekomendasi ini, di satu sisi beranggapan bahwa
minimnya kajian hukum dalam pelaporan berpotensi membuka ruang bagi jaksa untuk bermain pasal,
namun pendapat yang lain mengatakan bukan tugas masyarakat untuk membuat laporan yang
lengkap bahkan dengan kajian hukumnya, melainkan tugas aparat hukum.

• Menasionalisasikan kasus, dengan pertimbangan aparat hukum di daerah tidak bisa


diharapkan guna memperkecil potensi diserang dengan memindahkan locus pertempuran di
Jakarta.
Sejumlah aktor berpandangan bahwa proses hukum kasus ini akan berjalan cepat dan bersih
jika Presiden bahkan institusi seperti kejaksaan Agung dan KPK memiliki komitmen untuk
mendorong penuntasan kasus ini. Mereka milihat bahwa komitmen dari pusat sangat minim untuk
mendrong peradilan berjalan cepat, bersih dan adil, termasuk minimnya pengawasan dari institusi
Kejaksaan Agung RI terhadap kinerja jajarannya di daerah. Sehingga kampanye terus menerus agar
kasus ini mendapat perhatian pihak-pihak terkait harus terus dilakukan. Di sisi lain, setelah
menghadapi fakta bahwa kinerja kejaksaan dan pengadilan tidak cukup memuaskan dalam proses
hukum kasus ini, banyak pihak berpandangan bahwa jika kasus ini diproses di Jakarta dan diambil
alih oleh KPK, diyakini bahwa proses hukum akan lebih menjawab rasa keadilan masyarakat. Selain
bahwa, locus pertempuran dengan para pelakui korupsi dan para pendukungnya akan berpindah ke
Jakarta, dan mengurangi tekanan yang dialami oleh para aktor dalam mendorong kasus.

• Memperkuat tim kaji politik dan hukum, agar bisa cepar merespon perkembangan dan
mengidentifikasi adanya penyelewengan aparat hukum.
Sejumlah aktor menyadari bahwa dari sisi aktor pendorong kasus terdapat kelemahan yakni
minimnya kapasitas tim kaji politik dan hukum untuk mendorong kasus ini. Dari sisi hukum, juga
dibutuhkan tim pemantau proses peradilan yang lebih memadai, karena tidak jarang, indikasi
permasalahan banyak terjadi di sejumlah institusi penegak hukum.

• Memasang sosok yang bisa diterima dalam konteks politik lokal sebagai public relation
mendorong kasus.
Misalnya, bila aktor mengungkap kasus orang sasak, usahakan memasang orang sasak sebagai
public relation. Strategi ini perlu dilakukan mengingat isu etnis pun leluasa dimainkan oleh para
koruptor untuk mengaburkan proses hukum kasus korupsi.

• Pemerintah segera membentuk KPK di daerah


Pasca vonis hakim yang mendapat hujatan publik, dirasakan semakin mendesak agar KPK
segera dibentuk di daerah, karena publik tidak lagi memiliki kepercayaan kepada aparat hukum di
daerah dalam penuntasan kasus korupsi. Meskipun hal tersebut tidak harus dilakukan secara drastis
(dapat dilakukan secara bertahap)

5.2. Rekomendasi agar praktek korupsi serupa tidak berulang


Bagi beberapa pihak, praktek korupsi seperti ini diyakini tidak akan bisa berhenti selama
masalah yang lebih mendasar menyangkut pola relasi antara partai dengan anggota dewan dan pola
rekrutmen politik tidak diperbaiki. Bahkan, diyakini jika tidak ada perubahan pada sisi ini, sangat
besar peluang praktek serupa dengan modus yang lebih canggih akan kembali terulang.

***

Anda mungkin juga menyukai