Analisis Hirarki Perkotaan
Analisis Hirarki Perkotaan
1. Metode Christaller
Christaller berpendapat bahwa perbandingan jumlah penduduk antara kota
orde lebih tinggi dengan kota orde setingkat lebih rendah setidaknya tiga kali lipat.
Jadi, misalnya kota orde I jumlah penduduknya tiga kali lipat dibandingkan penduduk
kota orde II atau kota orde II penduduknya paling tinggi hanya sepertiga penduduk
kota orde I, demikian seterusnya. Kota yang menjual barang orde tertinggi sampai
terendah dinyatakan sebagai kota orde I. Makin rendah orde barang yang bisa
disediakan oleh suatu kota, orde kotanya juga makin rendah.
Apabila perbandingan itu dibulatkan tiga, metode perhitungannya adalah
seperti contoh berikut ini. Misalnya pada sebuah kabupaten, penentuan kota
didasarkan atas data BPS tentang penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan. Data
disajikan per kelurahan/desa. Dengan demikian, untuk menentukan penduduk suatu
kota harus digabung penduduk beberapa kelurahan yang bertetangga yang memang
sudah terlihat menyatu sebagai kota di lapangan. Penduduk perkotaan di suatu
kelurahan yang terpisah jauh dari penduduk perkotaan lainnya diperlakukan sebagai
kota yang berdiri sendiri. Atas dasar metode di atas maka di kabupaten itu misalnya
terdapat 32 buah kota. Kota terbesar adalah ibukota kabupaten itu sendiri dengan
penduduk 135.000 jiwa, kota terkecil berpenduduk 5.000 jiwa. Kota dengan
penduduk di bawah 5000 jiwa dikategorikan sebagai kota nonorde. Berdasarkan data
yang dikemukakan di atas, maka dapat dibuat susunan orde kota di kabupaten
tersebut sebagai berikut :
a. Kota orde I, jumlah penduduknya 135.000 jiwa
b. Kota orde II, jumlah penduduknya 45.000 jiwa
c. Kota orde III, jumlah penduduknya 15.000 jiwa
d. Kota orde IV, jumlah penduduknya 5.000 jiwa
Tentunya jumlah penduduk masing-masing kota tidaklah persis sama seperti
pembagian di atas. Dalam hal ini dilihat angka penduduk kota mendekati salah satu
dari angka tersebut di atas, dan itulah yang menjadi orde dari kota tersebut.
4q
4 log q = 1,431637 log q = 0,357841 antilog, maka q = 2,279507
Dengan demikian rumus Zipf menjadi :
Pn = 135000 Atas dasar rumus di samping, maka :
n2,279507
Kota orde I = 135000 : (12,279507) = 135000 jiwa
Kota orde II = 135000 : (22,279507) = 27806 jiwa
Kota orde III = 135000 : (32,279507) = 11043 jiwa
Kota orde IV = 135000 : (42,279507) = 5727 jiwa
a. Metode Christaller
Ketentuan dari metode Christaller ini adalah jumlah penduduk orde yang lebih
rendah adalah 1/3 dari jumlah penduduk orde yang lebih tinggi. Jumlah
penduduk terbanyak adalah penduduk Kota Medan yang berjumlah 2.210.624
jiwa penduduk, maka Kota Medan ber-orde I. Sehingga diperoleh kriteria untuk
tiap orde perkotaan sebagai berikut.
Orde Jumlah Penduduk (jiwa)
I 2.210.624
II 736.874
III 245.624
IV 81.874
Setelah mengetahui kriteria jumlah penduduk tiap orde perkotaan, kemudian
bandingkan jumlah tiap penduduk setiap perkotaan dengan kriteria di atas (cari
yang jumlahnya mendekati). Sehingga diperoleh sebagai berikut.
Nama Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Orde
Kota Medan 2.210.624 I
Kota Binjai 264.687 III
Kota Padangsidempuan 209.796 III
Kota Pematangsiantar 247.411 III
Kota Tanjungbalai 167.012 III
Kota Gunungsitoli 135.995 IV
Kota Sibolga 86.519 IV
Kota Tebing Tinggi 156.815 IV
c. Metode Zipf
Dengan rumus sebagai berikut :
Maka diperoleh :
Kota terbesar (orde I) dengan jumlah penduduk = 2.210.624 jiwa
Kota terbesar (orde IV) dengan jumlah penduduk = 86.519 jiwa
II 438.136
III 169.995
IV 86.836
Dokumen tata ruang sebagai produk dari kegiatan perencanaan ruang, selain
berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah terjadinya konflik
antar-fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, juga ditujukan untuk melindungi
masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan yang mungkin
timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi yang tidak sesuai peruntukan.
Oleh karena itu analisis hirarki sangat diperlukan dalam penyusunan dokumen tata
ruang, mulai dari dokumen yang bersifat makro yang berlaku pada level nasional
hingga dokumen detil yang hanya berlaku pada kawasan tertentu saja.
Analisis hirarki perkotaan dalam penyusunan dokumen rencana tata ruang digunakan
dengan tujuan agar fungsi yang ditetapkan antar-dokumen tata ruang tetap sinergis
dan tidak saling bertentangan karena dokumen tata ruang yang berlaku pada lingkup
mikro merupakan penjabaran dan pendetilan dari rencana tata ruang yang berlaku
pada wilayah yang lebih makro. Sebagai contoh, RTRWN menetapkan kawasan
Lhokseumawe dan sekitarnya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan fungsi
utama untuk pengembangan kegiatan industri. Kebijakan ini selanjutnya
diterjemahkan secara detil melalui pengalokasian fungsi ruang dan pengembangan
infrastruktur pendukung kegiatan industri di dalam dokumen RTRW Provinsi Aceh,
RTRW Kabupaten Aceh Utara, dan RDTR Kawasan Perkotaan Krueng Geukueh.
Dengan begitu, implikasi analisis hirarki perkotaan terhadap kebijakan perencanaan
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pengembangan struktur ruang:
peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan berhirarki;
peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi,
telekomunikasi, listrik, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di
seluruh wilayah.
2. Strategi peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah:
menjaga keterkaitan antar-kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan
dengan kawasan perdesaan, dan antara kawasan perkotaan dengan wilayah
sekitarnya;
pengembangan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh
pusat pertumbuhan;
mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif
dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.