Anda di halaman 1dari 9

Nama :

 Milana Angelika Marnala (123.16.00005)


 Ranni Willian (123.16.00021)

ANALISIS HIRARKI KOTA

A. Teori Analisis Hirarki Kota

1. Metode Christaller
Christaller berpendapat bahwa perbandingan jumlah penduduk antara kota
orde lebih tinggi dengan kota orde setingkat lebih rendah setidaknya tiga kali lipat.
Jadi, misalnya kota orde I jumlah penduduknya tiga kali lipat dibandingkan penduduk
kota orde II atau kota orde II penduduknya paling tinggi hanya sepertiga penduduk
kota orde I, demikian seterusnya. Kota yang menjual barang orde tertinggi sampai
terendah dinyatakan sebagai kota orde I. Makin rendah orde barang yang bisa
disediakan oleh suatu kota, orde kotanya juga makin rendah.
Apabila perbandingan itu dibulatkan tiga, metode perhitungannya adalah
seperti contoh berikut ini. Misalnya pada sebuah kabupaten, penentuan kota
didasarkan atas data BPS tentang penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan. Data
disajikan per kelurahan/desa. Dengan demikian, untuk menentukan penduduk suatu
kota harus digabung penduduk beberapa kelurahan yang bertetangga yang memang
sudah terlihat menyatu sebagai kota di lapangan. Penduduk perkotaan di suatu
kelurahan yang terpisah jauh dari penduduk perkotaan lainnya diperlakukan sebagai
kota yang berdiri sendiri. Atas dasar metode di atas maka di kabupaten itu misalnya
terdapat 32 buah kota. Kota terbesar adalah ibukota kabupaten itu sendiri dengan
penduduk 135.000 jiwa, kota terkecil berpenduduk 5.000 jiwa. Kota dengan
penduduk di bawah 5000 jiwa dikategorikan sebagai kota nonorde. Berdasarkan data
yang dikemukakan di atas, maka dapat dibuat susunan orde kota di kabupaten
tersebut sebagai berikut :
a. Kota orde I, jumlah penduduknya 135.000 jiwa
b. Kota orde II, jumlah penduduknya 45.000 jiwa
c. Kota orde III, jumlah penduduknya 15.000 jiwa
d. Kota orde IV, jumlah penduduknya 5.000 jiwa
Tentunya jumlah penduduk masing-masing kota tidaklah persis sama seperti
pembagian di atas. Dalam hal ini dilihat angka penduduk kota mendekati salah satu
dari angka tersebut di atas, dan itulah yang menjadi orde dari kota tersebut.

2. Metode Rank Size Rule


Rank size rule adalah teori yang berusaha menemukan hubungan angka-angka
antara persebaran populasi dengan area baik area wilayah dengan wilayah atau
kota dengan kota. Hukum besarnya menyatakan bahwa besarnya permukiman
berbalik secara proporsional dengan urutan peringkat. Suatu permukiman
diperingkat menurut besarnya populasi dengan urutan kota yang paling besar pada
urutan pertama. Dengan asumsi bahwa kota urutan kedua akan memilliki populasi
separuh dari kota pertama, kota ketiga dengan jumlah populasi sepertiga kota
pertama, kota keempat memiliki populasi sepermpat kota pertama. Atau dengan
kata lain kota pertama memiliki populasi dua kali kota kedua, dan seterusnya.
Dalam menetapkan orde perkotaan, metode rank size rule menggunakan
rumus berikut ini :
Pn = P1 x Rn-1
Ket :
Pn = Jumlah penduduk kota orde ke-n
P1 = Jumlah penduduk kota terbesar di wilayah tersebut (orde I)
Rn-1= Orde kota dengan pangkat -1 atau 1/Rn
Arti rumus ini adalah jumlah penduduk kota orde ke-n adalah 1/n jumlah penduduk
kota orde tertinggi (orde I, dalam hal ini P1). Dengan menggunakan contoh jumlah
penduduk pada metode Christaller, penentuan orde kota dengan rank size rule adalah
sebagai berikut :
a. Kota orde I, jumlah penduduknya 135.000 : 1 = 135.000 jiwa
b. Kota orde II, jumlah penduduknya 135.000 : 2 = 67.500 jiwa
c. Kota orde III, jumlah penduduknya 135.000 : 3 = 45.000 jiwa
d. Kota orde IV, jumlah penduduknya 135.000 : 4 = 33.750 jiwa
e. Kota orde V, jumlah penduduknya 135.000 : 5 = 27.000 jiwa
f. Kota orde VI, jumlah penduduknya 135.000 : 6 = 22.500 jiwa
Pengalaman menunjukkan bahwa metode Rank Size Rule ini menghasilkan orde kota
yang terlalu banyak.
3. Metode Zipf
Metode zipf ini mengemukakan bahwa ukuran distribusi aktivitas ekonomi dari
suatu kota akan mengikuti distribusi Pareto, sekaligus juga memiliki bentuk
parameter tertentu. Hukum zipf inilah menjadi dasar dari Rank Size Rule, sutu
persamaan yang digunakan untuk melihatproporsi distribusi aktivitas ekonomi
perkotaan (Paul Sitohang: 2014). Rumus berikut ini oleh Auerbach dan Singer tetapi
dipopulerkan oleh Zipf (Glasson, 1974) sehingga lebih dikenal dengan metode Zipf.
Rumusnya adalah :
Pn = P1/nq
Ket :
Pn = jumlah penduduk kota ranking ke-n
P1 = jumlah penduduk kota terbesar
n = orde (ranking) kota tersebut
q = sebuah pangkat
Rumus Zipf ini tidak dapat digunakan secara langsung karena pada persamaan
tersebut ada dua bilangan yang tidak diketahui, yaitu n dan q. untuk dapat
menggunakannya terlebih dahulu harus ditetapkan berapa tingkat ranking perkotaan
(n) yang akan dipakai di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan data tentang kota
dengan penduduk terbesar dan kota dengan penduduk terkecil (tetapi masih memnuhi
persyaratan sebgai kota). Menggunakan contoh pada metode Christaller maka kota
dengan penduduk terbesar tersebut otomatis diberi orde I, namun kota dengan
penduduk terkecil perlu ditetapkan orde ke berapa. Misalnya, kota terkecil itu
ditetapkan sebagai orde IV (secara arbiter). Dengan menggunakan rumus Zipf maka q
dapat dihitung sebagai berikut.
Pn = P1
nq

5000 = 135000 4q 27 4 log q = 27

4q
4 log q = 1,431637 log q = 0,357841 antilog, maka q = 2,279507
Dengan demikian rumus Zipf menjadi :
Pn = 135000 Atas dasar rumus di samping, maka :
n2,279507
Kota orde I = 135000 : (12,279507) = 135000 jiwa
Kota orde II = 135000 : (22,279507) = 27806 jiwa
Kota orde III = 135000 : (32,279507) = 11043 jiwa
Kota orde IV = 135000 : (42,279507) = 5727 jiwa

B. Contoh Kasus Analisis Hirarki Kota


Berikut contoh analisis hirarki kota di Provinsi Sumatera Utara:
Nama Kota Jumlah Penduduk (jiwa)
Kota Binjai 264.687
Kota Gunungsitoli 135.995
Kota Medan 2.210.624
Kota Padangsidempuan 209.796
Kota Pematangsiantar 247.411
Kota Sibolga 86.519
Kota Tanjungbalai 167.012
Kota Tebing Tinggi 156.815

a. Metode Christaller
Ketentuan dari metode Christaller ini adalah jumlah penduduk orde yang lebih
rendah adalah 1/3 dari jumlah penduduk orde yang lebih tinggi. Jumlah
penduduk terbanyak adalah penduduk Kota Medan yang berjumlah 2.210.624
jiwa penduduk, maka Kota Medan ber-orde I. Sehingga diperoleh kriteria untuk
tiap orde perkotaan sebagai berikut.
Orde Jumlah Penduduk (jiwa)
I 2.210.624
II 736.874
III 245.624
IV 81.874
Setelah mengetahui kriteria jumlah penduduk tiap orde perkotaan, kemudian
bandingkan jumlah tiap penduduk setiap perkotaan dengan kriteria di atas (cari
yang jumlahnya mendekati). Sehingga diperoleh sebagai berikut.
Nama Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Orde
Kota Medan 2.210.624 I
Kota Binjai 264.687 III
Kota Padangsidempuan 209.796 III
Kota Pematangsiantar 247.411 III
Kota Tanjungbalai 167.012 III
Kota Gunungsitoli 135.995 IV
Kota Sibolga 86.519 IV
Kota Tebing Tinggi 156.815 IV

b. Metode Rank Size Rule


Dengan menggunakan rumus Rank Size Rule yang telah dijelaskan datas maka
diperoleh kriteria jumlah penduduk tiap orde perkotaan adalah sebagai berikut.
Orde Kota Rumus Jumlah Penduduk (jiwa)
I 2.210.624
II =2.210.624*1/2 1.105.312
III =2.210.624*1/3 736.874
IV =2.210.624*1/4 552.656
V =2.210.624*1/5 442.124
VI =2.210.624*1/6 368.437
VII =2.210.624*1/7 315.803
VIII =2.210.624*1/8 276.328
IX =2.210.624*1/9 245.624
X =2.210.624*1/10 221.062...dst
Sehingga diperoleh orde perkotaan sebagai berikut :
Nama Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Orde
Kota Medan 2.210.624 I
Kota Binjai 264.687 VII
Kota Pematangsiantar 247.411 IX
Kota Padangsidempuan 209.796 XI
Kota Tanjungbalai 167.012 XIII
Kota Tebing Tinggi 156.815 XIV
Kota Gunungsitoli 135.995 XVI
Kota Sibolga 86.519 XXVI

c. Metode Zipf
Dengan rumus sebagai berikut :
Maka diperoleh :
 Kota terbesar (orde I) dengan jumlah penduduk = 2.210.624 jiwa
 Kota terbesar (orde IV) dengan jumlah penduduk = 86.519 jiwa

Orde Kota Rumus Jumlah Penduduk (jiwa)


I 2.210.624

II 438.136

III 169.995

IV 86.836

Sehingga diperoleh orde perkotaan sebagai berikut :


Nama Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Orde
Kota Medan 2.210.624 I
Kota Binjai 264.687 III
Kota Pematangsiantar 247.411 III
Kota Padangsidempuan 209.796 III
Kota Tanjungbalai 167.012 III
Kota Tebing Tinggi 156.815 III
Kota Gunungsitoli 135.995 III
Kota Sibolga 86.519 IV

C. Manfaat Analisis Hirarki Kota


Manfaat menganalisis yaitu untuk mengetahui orde perkotaan. Dengan mengetahui
orde perkotaan masing-masing perkotaan (status perkotaan berdasarkan BPS), maka
kita akan mengetahui kedudukan masing-masing perkotaan di suatu wilayah,
kaitannya dengan jangkauan fasilitas/pelayanan. Adapun manfaat analisis hirarki
perkotaan adalah sebagai berikut:
1. Ranking perkotaan adalah sekaligus penyusun struktur ruang di wilayah
tersebut
2. Ranking perkotaan dapat digunakan sebagai bahan untuk penyusunan program,
yaitu menetukan jenis dan besarnya fasilitas yang perlu dibangun
di kota tersebut sesuai dengan wilayh belakang dari pusat pertumbuhan.
3. Orde perkotaan bersama-sama dengan unsur pembentuk struktur ruang lainnya
dapat digunakan untuk meramalkan bagian wilayah mana yang akan cepat
berkembang.
4. Mudah memonitor apakah terjadi perubahan bentuk hubungan antara kota orde
yang lebih tinggi dengan kota orde yang lebih rendah.
5. Sebagai bahan masukan untuk perencanaan perkotaan dan perencanaan
pembangunan daerah, termasuk penetapan kebijakan tentang keseimbangan
pertumbuhan antarkota dan antara kota dengan wilayah belakangnya.
6. Perlu diperhatikan kota-kota yang berada pada masa perubahan (pancaroba).

D. Implikasi Analisis Hirarki terhadap Kebijakan Perencanaan


Teori tempat sentral atau ranking/hirarki perkotaan menjelaskan pola
geografis dan struktur hirarki pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah nodal.
Berdasarkan analisis hirarki tersebut, dapat ditentukan kota mana saja yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, provinsi, ataupun skala yang
lebih kecil lainnya. Dimana kawasan perkotaan merupakan kawasan yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Dokumen tata ruang sebagai produk dari kegiatan perencanaan ruang, selain
berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah terjadinya konflik
antar-fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, juga ditujukan untuk melindungi
masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan yang mungkin
timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi yang tidak sesuai peruntukan.
Oleh karena itu analisis hirarki sangat diperlukan dalam penyusunan dokumen tata
ruang, mulai dari dokumen yang bersifat makro yang berlaku pada level nasional
hingga dokumen detil yang hanya berlaku pada kawasan tertentu saja.

Analisis hirarki perkotaan dalam penyusunan dokumen rencana tata ruang digunakan
dengan tujuan agar fungsi yang ditetapkan antar-dokumen tata ruang tetap sinergis
dan tidak saling bertentangan karena dokumen tata ruang yang berlaku pada lingkup
mikro merupakan penjabaran dan pendetilan dari rencana tata ruang yang berlaku
pada wilayah yang lebih makro. Sebagai contoh, RTRWN menetapkan kawasan
Lhokseumawe dan sekitarnya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan fungsi
utama untuk pengembangan kegiatan industri. Kebijakan ini selanjutnya
diterjemahkan secara detil melalui pengalokasian fungsi ruang dan pengembangan
infrastruktur pendukung kegiatan industri di dalam dokumen RTRW Provinsi Aceh,
RTRW Kabupaten Aceh Utara, dan RDTR Kawasan Perkotaan Krueng Geukueh.
Dengan begitu, implikasi analisis hirarki perkotaan terhadap kebijakan perencanaan
adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pengembangan struktur ruang:
 peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah yang merata dan berhirarki;
 peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi,
telekomunikasi, listrik, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di
seluruh wilayah.
2. Strategi peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi
wilayah:
 menjaga keterkaitan antar-kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan
dengan kawasan perdesaan, dan antara kawasan perkotaan dengan wilayah
sekitarnya;
 pengembangan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh
pusat pertumbuhan;
 mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif
dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai