Kotrimoksazole adalah kombinasi antibiotik yang terdiri dari Trimethoprim dan
Sulfametoksazol. Kedua obat ini menghasilkan efek bakterisidal atau membunuh bakteri dan juga bakteriostatik atau menghentikan perkembangan bakteri. Kotrimoksazol merupakan golongan antibiotik Sulfonamida yang digunakan digunakan secara luas untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram positif dan Gram negatif tertentu, beberapa jamur dan protozoa. Golongan ini efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti Actinomycetes sp, Basillus anthracis, Brucella sp, Corinebacterium diphthriae, Calymmantobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis, E.coli, Haemophylus influenza, Nocardia sp, Proteus mirabilis, Pseudomonas pseudomallei, Streptococcus pneumonia, S. pyogenes, dan Vibrio cholera. 2. Penggunaan sulfonamida secara luas dan tidak selektif sering menyebabkan terjadinya kekebalan pada bakteri. Dari bebeberapa penelitian melaporkan telah terjadi resistensi Trimethoprim/Sulfametoksazol yang dijumpai di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Eropa. Terjadinya resisitensi ini akan meningkatkan resiko epidemi shigelosis, tidak terkecuali di Indonesia. 3. Sulfametoksazol (Trimethoprim/Sulfametoksazol) a. Sulfametosazol Rumus Struktur : C10H11N3O3 Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis tidak berbau. b. Trimethoprim Rumus Struktur : Pemerian : Hablur atau serbuk hablur : putih sampai krem, tidak berbau. 4. Hubungan antara struktur, Ph larutan, pka, keadaan ionisasi dan proses penembusan membran biologis Hubungan nilai pKa turunan sulfonamida dengan aktifitas antibekterinya secara invitro, Bell dan Roblin mendapatkan bahwa aktivitas antibakteri yang cukup tinggi ditunjukan oleh turunan sulfonamida yang mempunyai nilai pKa antara 6,0-7,4 dan terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai oleh senyawa yang mempunyai nilai pKa mendekati pH fisiologis. Bila sulfonamida terdisosiasi 50% atau [HA]=[A-], maka pH = pKa. Hal ini menunjukan bahwa untuk aktifitas antibakteri diperlukan bentuk yang tidak terionisasi pada pH fisiologis dan mudah larut dalam lemak sehingga mudah menembus dinding sel bakteri. Cowles dan Brucekener, mendapatkan bahwa aktivitas turunan sulfonamida meningkat dengan peningkatan pH sampai pada titik dimana obat terionisasi ±50%, dan kemudian aktivitasnya akan turun. Ionisasi sangat penting dalam hubungannya dengan proses penembusan obat ke dalam membran biologis dan interaksi obat – reseptor. Untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi ada pula yang aktif adalah bentuk ionnya . Sebagian besar obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya dapat memberika efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila kerja obat terjadi di membran sel atau di dalam sel. Dan derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai pKa dan suasana pH lingkungan. Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan koefisien partisi obat. Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya mudah diabsorbsi oleh saluran cerna, dan aktifitas biologis sesuai dengan kadar obat bebas yang terdapat dalam cairan tubuh. Kotrimoksazol bersifat asam lemah. Pada obat yang bersifat asam lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah obat yang menembus membran biologis semakin kecil. Akibatnya kemungkinan obat untuk berinteraksi dengan reseptor semakin rendah dan aktifitas biologisnya semakin menurun. Beberapa senyawa obat menunjukkan aktifitas biologis yang makin meningkat bila derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat umumnya sulit menembus membrane biologis, sehingga diduga senyawa obat dengan tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel. Bell dan Robin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri sulfonamide mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa tersebut sulfonamide terionisasi ± 50 %. Pada pKa 3-5, sulfonamia terionisasi sempurna, dan bentuk ionisasi ini tidak dapat menembus membrane sehingga aktivitas antibakterinya rendah. Bila kadar bentuk ion kurang lebih sama dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-8), aktivitas antibakterinya akan maksimal pada pKa 9-11, penurunan pKa meningkatkan jumlah sulfonamide yang terionisasi, jumlah senyawa yang menembus membrane kecil,sehingga aktivitas antibakterinya rendah. Menurut Cowles (1942), sulfonamide menembus membrane sel bakteri dalam bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang bekerja adalah bentuk ion. Turunan sulfonamida menembus membran sel bakteri dalam bentuk tak terionisasi, dan setelah berada didalam sel yang berkerja sebagai bakteriostatik adalah bentuk terionisasinya. Oleh karena itu, untuk mencapai aktivitas optimal senyawa harus mempunyai nilai pKa yang memberikAn keseimbangan antara aktivitas dan kemampuan penetrasi membran. Hal ini dapat dicapai bila jumlah obat yang terionisasi tidak terionisasi sama. 5. Dosis awal sulfonamida pada umumnya lebih besar dibanding dosis pemeliharaan oleh karena secara normal tubuh mengandung asam p-aminobenzoat sedang sulfonamida dengan asam tersebut bersifat kompetitif. Jadi perlu diberikan dosis awal yang besar agar kadar sulfonamida dalam darah lebih besar disbanding kadar asam p-aminobenzoat sehingga dapat bekerja secara kompetitif dan berkhasiat sebagai antibakteri. 6. Hubungan Struktur dan aktivitasnya : Gugus amino primer aromatik sangat penting untuk aktifitas,karena banyak modifikasi pada gugus tersebut ternyata menghilangkan aktivitas antibakteri. Contoh : metabolit N4 –asetilasi tidak aktif sebagai antibakteri. Oleh karena itu gugus amino harus tidak tersubstitusi (R’ = H) atau mengandung substituen yang mudah dihilangkan pada in vivo. Bentuk yang aktif sebagai antibakteri adalah bentuk garam N1-terionisasi ( N1- monosubstitusi), sedang N1-disubstitusi tidak aktif sebagai antibakteri. Penggantian cincin benzen dengan sistem cincin yang lain dan pemasukan substituen lain pada cincin benzen akan menurunkan atau menghilangkan aktivitas. Penggantian gugus SO2NH2 dengan SO2-C6H4-(p)NH2 senyawa tetap aktif sebagai anti bakteri. Pengantian dengan CONH-C6H4-(p)NH2 atau CO-C6H4-(p)NH2 akan menurunkan aktifitas. 7. Proses ADME Kotrimoksazol Absorpsi Pada penggunaan oral, trimetoprim dan sulfametoksazol dengan cepat dan hampir semuanya akan diabsobsi di saluran cerna. Kira-kira 70-100% dosis oral sulfonamid diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi terutama terjadi pada usus halus, tetapi beberapa jenis sulfa dapat diabsorpsi melalui lambung. Absorpsi melalui tempat-tempat lain, misalnya vagina, saluran napas, kulit yang terluka, pada umumnya kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau reaksi hipersensitivitas. Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada : o Ukuran partikel mol obat o Kelarutan obat dlm lemak/air o Derajat ionisasi Kadar puncak plasma terjadi setelah 1-4 jam setelah waktu konsumsi. Kedua antibakteri ini bersifat lipofilik sehingga konsentrasi obat pada jaringan terutama pada paru dan ginjal lebih tinggi daripada plasma. Trimetroprim dapat juga ditemukan pada cairan aqueous, ASI, cairan serebrospinal, cairan telinga, dan cairan sinovial. Distribusi Trimetoprim dan sulfametoksazol terkandung dalam darah dalam beberapa bentuk yaitu tidak terikat protein atau bebas, berikatan dengan protein, dalam bentuk metaboliknya serta dalam bentuk terkonjugasi. Ikatan protein terhadap sulfametoksazol secara signifikan akan mengurangi ikatan protein terhadap trimetoprim, namun tidak sebaliknya. Kedua antibakteri ini akan terdistribusi di sputum, cairan vagina sedangkan trimetoprim akan terdistribusi di bronkus, cairan plasenta dan ASI. Obat ini tersebar ke seluruh jaringan tubuh, karena itu berguna untuk infeksi sistemik. Metabolisme Sulfametoksazol akan dimetabolisme pada tubuh manusia menjadi lima metabolik aktif antara lain: N4-asetil, N4-hidroksi, 5-metilhidroksi, N45-metilhidroksi-sulfametoksazol dan konjugasi N-glukoronik. Pembentukan dari metabolic N4-hidroksi ini dimediasi oleh enzim CYP2C9. Secara in vitro, trimetoprim akan dimetabolisme menjadi sebelas metabolik aktif. Lima di antaranya adalah adduksi glutation dan enam lainnya adalah metabolik oksidasi yaitu metabolik mayor, 1-oksida, 3-oksida, derivat 3-hidroksi dan derivat 4-hidroksi. Bentuk bebas dari sulfametoksazol dan trimetoprim inilah yang menimbulkan efek terapeutik. Dalam tubuh, sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi inilah yang sering menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat. Ekskresi Ekskresi trimetroprim dan sulfametoksazol ini adalah melalui ginjal melalui mekanisme filtrasi glomerolus dan sekresi tubulus. Hampir 50% dari dosis trimetoprim akan diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dalam keadaan bentuk yang tetap. Trimetoprim juga akan diekskresikan melalui ASI. Sekitar 15% sampai 30% Sulfametoksazol dari dosis obat akan terkandung di urin dalam bentuk aktif. Sulfametoksazol adalah asam lemah sehingga konsentrasi obat ini akan tinggi pada cairan amnion, cairan aqueous, cairan empedu, cairan serebrospinal, cairan telinga, sputum, cairan synovial dan cairan interstisial dalam keadaan berikatan dengan protein.