Anda di halaman 1dari 10

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bayam (Amaranthus sp.)

Bayam merupakan tanaman sayuran yang dikenal dengan nama ilmiah


Amaranthus sp. Kata “amarath” dalam bahasa yunani berarti “everlasting” (abadi).
Tanaman bayam berasal dari daerah Amerika tropik. Tanaman bayam semula dikenal
sebagai tanaman hias. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman bayam
dipromosikan sebagai bahan pangan sumber protein, terutama untuk negara-negara
berkembang. Bayam yang terkenal dengan nama ilmiah Amaranthus sp. sudah
banyak dipromosikan sebagai sayuran yang banyak mengandung gizi bagi penduduk
di negara yang sedang berkembang. Karena tanaman bayam memiliki kandungan gizi
yang tinggi, maka sayuran bayam sering disebut sebagai raja sayuran atau king of
vegetable (Rukmana, 1994). Klasifikasi bayam dapat dilihat sebagai berikut:

Klasifikasi
Spesies
Kingdom Plantae
Devisi Magnoliophyta A. Hybridus
Kelas Magnoliophyta A. Tricolor
Ordo Caryophyllales A. Blitum
Famili Amaranthaceae A. Spinosus
Subfamili Amaranthoideae
Genus Amaranthus
Tabel 2.1 Klasifikasi Bayam

Bayam dapat tumbuh sepanjang tahun, baik di dataran rendah maupun di


dataran tinggi, pH yang baik untuk pertumbuhannya antara 6-7. Di bawah pH 6,
tanaman bayam akan merana, sedangkan di atas pH 7, tanaman akan menjadi
klorosis (warnanya putih kekuning-kuningan), terutama pada daun yang masih muda.
Tanaman bayam umumnya tumbuh baik di tanah-tanah vulkanis atau ordo andisol,
karena perakaran bayam yang serabut. Tanaman bayam cocok ditanaman didataran
tinggi yang curah hujannya juga lebih dari 1500 mm/tahun (Ariyanto, 2008).
2.1.1 Identifikasi Bayam Hijau
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Amaranthales
Famili : Amaranthaceae
Genus : Amaranthus
Spesies : Amaranthus hybridus L.
Nama Lokal : Bayam Hijau
2.1.2 Morfologi Tanaman Bayam
Tanaman bayam digolongkan dalam keluarga Amaranthaceae, marga
Amaranthus. Sebagai keluarga Amaranthaceae, bayam termasuk tanaman gulma yang
tumbuh liar. Namun karena perkembangannya, manusia memanfaatkan bayam
sebagai tanaman budi daya yang mengandung gizi tinggi, sehingga digunakan sebagai
bahan makanan dan sebagai tanaman obat (Bandini dan Azis, 1995). Bentuk tanaman
bayam adalah seperti terna (perdu), tinggi tanaman dapat mencapai 1,5-2m. Sistem
perakaran menyebar dangkal pada kedalaman antara 20-40 cm dan berakar tunggang.
Daun berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing dan urat-urat daun yang
jelas. Warna daun bervariasi mulai dari hijau muda, hijau tua, hijau keputih-putihan,
sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasar dan kadang berduri
(Bandini dan Azis, 1995).Batang tumbuh tegak, tebal, dan banyak mengandung air,
tumbuh tinggi di atas permukaan tanah. Bayam tahunan mempunyai batang yang
keras berkayu dan bercabang. Bunga bayam berukuran kecil, berjumlah banyak,
terdiri dari daun bunga 4-5 buah, benang sari 1-5. Bunga keluar dari ujung-ujung
tanaman atau ketiak daun yang tersusun dan tumbuh tegak. Perbanyakan tanaman
umumnya secara generatif (biji). Biji berukuran sangat kecil dan halus, berbentuk
bulat, dan berwarna coklat tua sampai hitam, namun ada beberapa jenis bayam yang
mempunyai warna biji putih sampai merah (Bandini dan Azis, 1995).
Gambar 2.1 Tanaman Bayam (Amaranthus hybridus L)
2.2 Komposisi Gizi dan Manfaat Bayam
Di dalam daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, mineral
kalsium, zat besi, magnesium, dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia (Bandini
dan Azis, 1995). Kandungan vitamin A dalam daun bayam berguna untuk
memberikan ketahanan tubuh dalam menanggulangi penyakit mata, gangguan
pernafasan, dan kesehatan kulit. Di dalam zat hijau daun terdapat karoten yang
merupakan provitamin A yang akan diubah di dalam tubuh menjadi vitamin A.
2.2.1 Mineral
Mineral memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik
pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral
berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam
aktivitas enzim-enzim. Keseimbangan ion-ion mineral di dalam cairan tubuh
diperlukan untuk pengaturan pekerjaan enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan
asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan penting melalui membran sel dan
pemeliharaan kepekaan otot dan saraf terhadap rangsangan (Sediaoetama, 2004).
2.2.2 Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh
manusia dan hewan. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh
sebagai alat angkut oksigen da ri paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut
elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam
jaringan tubuh (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008). Tubuh sangat efisien dalam
penggunaan mineral besi. Sebelum diabsorpsi di dalam lambung, besi akan
dibebaskan dari ikatan organik seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk
ferri (Fe+3) direduksi menjadi bentuk ferro (Fe+2). Hal ini terjadi dalam suasana
asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat di dalam
makanan. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus (duodenum) dengan alat
angkut protein khusus(Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
Kekurangan besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing,
kurang nafsu makan, menurunkan kebugaran tubuh, menurunkan kemampuan kerja,
menurunkan kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka. Kelebihan besi
jarang terjadi pada makanan, tetapi dapat disebabkan oleh suplemen besi. Gejalanya
adalah muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala dan pingsan
(Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
2.2.3 Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh, yaitu
1,5-2 % dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Dari
jumlah ini, 99% berada di dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam
bentuk hidroksiapatit. Jumlah yang dianjurkan per hari untuk anak-anak sebesar 500
mg, remaja 600-700 mg dan dewasa sebesar 500-800 mg (Kartasapoetra dan
Marsetyo, 2008). Peranan kalsium tidak saja sebagai pembentukan tulang dan gigi
tetapi juga memegang peranan penting pada berbagai proses fisiologik dan biokemik
di dalam tubuh. Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju, hasil
kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium
yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang menghambat
penyerapan kalsium, seperti serat, fitat dan oksalat. Susu nonfat merupakan sumber
terbaik kalsium karena ketersediaan biologiknya tinggi. Kebutuhan kasium akan
terpenuhi bila kita makan makanan yang seimbang tiap hari. Konsumsi kalsium
hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan
batu ginjal atau gangguan pada ginjal. Di samping itu, kelebihan kalsium juga dapat
menyebabkan konstipasi (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
2.2.4 Magnesium (Mg)
Dalam keadaan normal dalam tubuh, unsur magnesium bisa diperkirakan
tersedianya dalam tubuh sekitar 0,5 gram jaringan bebas lemak, kira -kira 60%
berada dalam jaringan tulang. Diperkirakan sepertiga dari tersedianya unsur ini
didalam tubuh bergabung dengan unsur fosfat, sisanya dalam keadaan bebas melekat
pada susunan mineral. Unsur yang melekat pada permukaan tulang biasanya mudah
bertukaran dengan sejumlah kecil Mg yang terlarut dalam cairan ekstraseluler
(Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008). Mineral magnesium diperoleh dari sumber alami
yaitu hampir dari semua bahan makanan, terutama dari sayuran hijau yang kandungan
magnesium dan klorofilnya cukup tinggi. Defisiensi magnesium dalam tubuh dapat
terjadi sebagai akibat gangguan absorpsi, menimbulkan diare berat, dan muntah-
muntah, yang tentunya dapat berakibat pada keaadaan lemas dan lesu, karena energi
banyak dikeluarkan (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
2.3 Interaksi Obat dan Makanan
2.3.1 Definisi Interaksi
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek dari suatu obat akibat obat
lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan saat bersamaan. Selain itu, definisi
lain dari interaksi obat adalah apabila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian
rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih akan berubah (Aslam,
2003). Beberapa herbal dapat berinteraksi dengan obat-obat konvensional, makanan,
atau minuman. Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau antagonis satu obat
oleh obat lainnya, atau kadang dapat memberikan efek yang lain (BPOM, 2008).
Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh
terhadap pengobatan.Interaksi dapat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah
akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat
tidak selamanya merugikan, terdapat dua efek yang dapat dihasilkan akibat adanya
interaksi obat, yakni efek yang dikehendaki (Desirable Drug Interaction) dan efek
yang memang tidak dikehendaki (Adverse Drug Interaction). Efek yang tidak
dikehendaki biasanya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas pada
pengguna, karena terjadi peningkatan kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunkan kadar obat didalam plasma yang nantinya akan menurunkan efektifitas
hasil terapi (Gitawati, 2008).
Obat herbal umumnya dianggap aman bila digunakan tunggal pada dosis dan
waktu yang telah dianjurkan, terdapat beberapa bukti yang mengatakan bahwa
interaksi obat dengan herbal dapat menyebabkan efek samping yang serius atau
kegagalan terapi dengan obat-obatan konvensional, seperti terjadinya perdarahan
yang disebabkan oleh interaksi ginkgo biloba dengan aspirin (Izzo, 2004). Namun,
tidak semua interaksi obat dengan herbal, memiliki efek yang merugikan. Beberapa
herbal yang berinteraksi dengan obat dilaporkan memiliki efek yang menguntungkan,
seperti mengurangi toksisitas atau mengurangi efek samping lain yang mungkin
dialami. Beberapa herbal juga dapat meningkatkan atau menurunkan metabolisme
obat, sehingga mempengaruhi ketersediaan obat dalam darah (Piscitelli, 2000).
Interaksi obat dengan herbal dapat dikategorikan sebagai farmakodinamik (PD) atau
farmakokinetik (PK), ataupun keduanya. Interaksi farmakodinamik dapat terjadi
ketika konstituen dari produk herbal memiliki aktifitas, baik sinergis ataupun
antagonis dalam kaitannya dengan obat konvensional. Sedangkan, hasil interaksi
farmakokinetik berasal dari perubahan absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi
dari obat konvensional dengan produk herbal atau lainnya (Lal et al., 2011).
2.3.2 Jenis Interaksi
Berdasarkan jenis mekanisme kerjanya, interaksi obat dapat terjadi melalui
beberpa cara, antara lain: interaksi obat farmasetik, interaksi obat farmakokinetik, dan
interaksi obat farmakodinamik.
a. Interaksi Obat Farmasetik
Sebagian besar interaksi obat farmasetik atau yang sering disebut dengan
inkompatibilitas, terjadi di luar tubuh sedangkan interaksi farmakologis terjadi di
dalam tubuh. Interaksi farmasetik umumnya terjadi sebelum obat-obatan benar-benar
diberikan kepada pasien. Interaksi obat farmastik dibagi menjadi dua, kimia dan
fisika (Scott and Nicholas, 2013). Interaksi kimia adalah perubahan yang terjadi
karena timbulnya reaksi-reaksi kimia pada waktu mencampurkan bahan obat. Contoh
dari reaksi kimia adalah inkompatibilitas kalium fosfat dan kalsium klorida dalam
persiapan nutrisi parenteral total, juga dikenal sebagai TPN atau hiperalimentasi.
Kedua obat dapat berinteraksi untuk membentuk kalsium fosfat, yang akan
menghasilkan endapan dalam kantong cairan intravena. Kejang persisten (status
epilepticus) adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan obat untuk
menghentikan kejang sesegera mungkin. Dua obat antikonvulsan yang biasa
digunakan, fenitoin (Dilantin) dan lorazepam (Ativan), keduanya menjadi tidak
efektif jika dicampur bersama dalam kantung intravena atau jarum suntik yang sama
(Scott and Nicholas, 2013).
Interaksi fisika adalah interaksi yang menyebabkanperubahan secara fisik
formulasi obat. Contoh interaksi secara fisika yaitu pengaruh satu obat yang dapat
mengubah formulasi obat lain, seperti kombinasi diazepam (Valium) dengan emulsi
propofol (Diprivan). Diazepam mengganggu stabilitas emulsi propofol, hal tersebut
menyebabkan fase minyak keluar dan menjadikannya berbahaya untuk diberikan
secara intravena. Selain itu, kondisi lingkungan dapat mempengaruhi obat. Cahaya
dapat menyebabkan beberapa obat menurun kualitasnya dan menjadi kurang efektif.
Inilah sebabnya mengapa botol obat biasanya berwarna kuning atau buram.
Kelembaban dapat memiliki efek serupa pada obat-obatan. Kondisi
lingkunganlainnya dapat mempengaruhi absorbsi obat (Scott and Nicholas, 2013).
b. Interaksi Obat Farkmakokinetik
Farmakokinetik didefinisikan sebagai apa yang dilakukan tubuh terhadap suatu
obat, atau lebih tepatnya, pergerakan obat melalui tubuh termasuk proses absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) (Scott and Nicholas, 2013).
Interaksi obat farmakokinetik umumnya juga akan menghasilkan perubahan pada
efek farmakodinamik. Hal ini dikarenakan, dewasa ini kebanyakan pemberian obat
dalam praktik klinis anastesi harian dilakukan titrasi untuk mendapatkkan efek klinis
yang diinginkan, dalam pengaplikasiannya, interaksi farmakokinetik sering dianggap
tidak terpisah dari interaksi farmakodinamikanya. Namun demikian, dokter harus
memahami mekanisme interaksi farmakokinetik untuk dapat mengetahui konsekuensi
dari skema pemberian dosis yang melibatkan kombinasi obat (Van den Berg et al.,
2017).
DAPUS:

Ariyanto. 2008. Analisis Tata Niaga Sayuran Bayam. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Aslam, M., Kaw Tan, C., dan Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: Elex Media
Komputindo

Bandini, Y., dan Azis, N. (1995). Bayam. Jakarta : Penebar Swadaya. Halaman 6-14.

BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia: Jakarta.

Gitawati, R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan. 18
(4): 175-184

Izzo, A.A. 2004. Herb-Drug Interaction: An Overview Of The Clinical Evidence. Fundamental
and Clinical Pharmacology. 19. 1-16.

Rukmana Ir. Rahmat. 1994. Bayam (Bertanam dan Pengolahan Pasca Panen). Jogyakarta:
Kanisius.

Kartasapoetra, G dan Marsetyo, H. (2008). Ilmu Gizi (Korelasi Gizi dan Produktivitas Kerja).
Jakarta : Rineka Cipta. Halaman 92-93.

Lal, V.K., dkk. 2011. Interaction of Aqueous Extract of Trigonella Foenum-Graecum Seeds
with Glibenclamide in Streptozotocin Induced Diabetic Rats. American Journal of
Pharmacology and Toxicology. 6 (4): 102-106.

Piscitelli, S.C., Burstein, A.H., Chaitt, D., Alfaro, R.M., Fallon, J. Indinavir Concentrations and
St. John’s Wort. Lancet. 2000. 355: 547-548.

Sediaoetama, A., D. (2004). Ilmu Gizi. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Halaman 183
189.

Scott, A. G. dan G.S. Nicholas. 2013. Mechanisms of Drug Interactions. Drug Interactions in
Infectious Disease. 18 (3): 13-39.

Van Den Berg, J. P., H. E. M. Vereecke, J. H. Proost, D. J. Eleveld, J. K. G. Wietasch, A. R.


Absalom, dan M. M. R. F. Struys. 2017. Pharmacokinetic and Pharmacodynamic
Interactions in Anaesthesia. A Review Of Current Knowledge And How It Can Be
Used To Optimize Anaesthetic Drug Administration. British Journal of Anaesthesia.
118(1):44–57

Anda mungkin juga menyukai