Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tanaman Langsat (Lansium domesticum var. pubescen

Kooders et Valeton)

Tanaman Langsat (Lansium domesticum var. pubescen Kooders et

Valeton) merupakan tanaman lahan basah yang tumbuh pada iklim tropis

berbentuk pohon. Langsat merupakan salah satu tanaman pada family

Meliaceae. Tanaman ini berasal dan banyak tumbuh di wilayah barat Asia

Tenggara, dari semenanjung Thailand di barat sampai ke Kalimantan di

timur. Spesies ini masih banyak ditemui tumbuh secara liar dan juga

merupakan salah satu spesies yang ditanam dan dibudidayakan (Rupiah et

al., 2018). Berdasarkan status taksonominya, spesies Langsat, Duku, dan

Kokosan masih belum memiliki klasifikasi yang memenuhi syarat.

Berdasarkan beberapa ahli taksonomi, hal ini disebabkan tingginya tingkat

kemiripan antar spesies, khususnya Langsat dengan Duku (Te-chato, Lim

and Masahiro, 2005). Berdasarkan makromorfologi Langsat, Duku, dan

Kokosan dibagi ke dalam dua varietas yaitu Lansium domesticum var. typica

Backer untuk Duku dan Lansium domesticum var. pubescen Kooders et

Valeton untuk Langsat dan Kokosan (Lim, 2012).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Langsat

Klasifikasi tanaman Langsat diambil dari Centre of Agriculture and

Biosciences International (2018) dan Lim (2012) adalah sebagai berikut:

8
9

Domain : Eukaryota

Kingdom : Plantae

Division : Spematophyta

Subdivision : Angiospermae

Class :

Dicotyledonae

Order : Rutales

Family : Meliaceae

Genus : Lansium

Species : Lansium domesticum var. pubescen Kooders et Valeton

2.1.2 Morfologi Tanaman Langsat

Tanaman langsat merupakan pohon yang memiliki tinggi sekitar 10

– 15 m dengan diameter batang 75 cm. Batangnya berwarna coklat

kemerahan atau coklat kekuningan dengan permukaan berkerut dan

menghasilkan getah putih susu. Daunnya besar dengan permukaan bagian

atas sedikit kasar, hijau tua, dan tampak mengkilap sedangkan bagian bawah

pucat dan kusam. Merupakan tanaman berbunga beraroma yang bunganya

tersusun secara spiral. Bunga tanaman Langsat berwarna hijau, putih

kekuningan. Buah Langsat tersimpan dalam satu kumpulan (baik padat

maupun longgar) dengan jumlah sampai dengan 230 buah tergantung

panjang dan kepadatannya. Memiliki warna kuning keabuan sampai coklat

muda, kulit buah seperti beludru, kasar dan tipis (sekitar 11,5 mm), dan

terdapat getah berwarna putih susu (Techavuthiporn, 2018).


10

Tabel 2.1 Karakterisasi Organ Tanaman Langsat (Lansium


domesticum var. pubescen Kooders et Valeton)
Organ Karakterisasi Langsat
Batang Tinggi batang 8-10 m
Tipe percabangan Monopodial
Warna batang Coklat keabuan
Lekuk batang 98 cma
Kondisi kanopi Terbuka dengan daun jarang
Daun Kehadiran rambut pada bagian atas dan Licin pada bagian permukaan atas dan
bawah daun permukaan bawah daun.
Ujung daun Lancip
Panjang daun 10 – 17 cm
Lebar daun 5,5 – 7,1 cm
Warna daun Hijau
Tulang daun Menyirip
Tepi daun Rata
Bentuk daun Jorong
Buah Ketebalan kulit buah 0,03 – 0,06 mm
Jumlah biji dalam setiap buah 3–4
Jumlah buah 20 – 30
Bentuk buah Oval
Warna buah Kuning
Diameter buah 8 – 9 cm
Sumber: Rupiah et al., 2018

Gambar 2.1 Daun Langsat Gambar 2.2 Buah


Langsat Sumber: Khaytarova, 2019 Sumber: Pinoyentre,
2010

2.1.3 Kandungan Metabolit Sekunder Daun Langsat

(1) Fenolik

Senyawa fenol (asam fenol) merupakan salah satu agen antibakteri

tertua. Fenol akan bekerja dalam 2 cara yang berbeda yaitu menghambat

pertumbuhan (bakteriostatik, fungistatik) atau membunuh patogen

(bakterisidal, agen virisidal atau efek virisidal). Fenol didapatkan secara

alami di alam seperti dalam bentuk aminoalkanoic acid yang ditemukan


11

pada banyak protein atau pada kondisi vasokonstriksi dalam bentuk

adrenalin. Fenol terdiri dari kresol, hexachlorophene, pine tar,

chloroxylenol, parachlorometaxylenol, dan dichlorometaxylenol. Fenol

terkadang merupakan formulasi yang rumit dari berbagai molekul aktif,

terkadang memerlukan tambahan pelarut pembantu, zat pengkelat, zat asam

atau alkali, produk aktif permukaan atau produk anti korosi. Pada analisis

aksi fenol, sering kali menjadi sulit untuk membedakan antara tahap primer

(karakteristik dari mode aksi) dan tahap sekunder yang merupakan akibat

dari adanya aksi (Sabbineni, 2016).

Gambar 2.3 Gugus Fenol


Sumber: UC Santa Cruz, 2014

(2) Saponin

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder glikosida aktif

permukaan yang terdapat secara alami diproduksi oleh tumbuhan, hewan

laut tingkat rendah, dan beberapa bakteri. Saponin terbentuk dalam banyak

spesies tumbuhan, baik tumbuhan liar maupun tanaman yang

dibudidayakan. Pada tanaman yang dibudidayakan, triterpenoid saponin

umumnya lebih dominan dan pada tumbuhan liar yang digunakan sebagai

bumbu dan obat herbal umumnya mengandung steroid saponin (Liwa et al.,

2017). Saponin terdiri dari keluarga besar senyawa yang secara struktur
12

saling berhubungan, termasuk di dalamnya steroid atau triterpenoid

aglycone (sapogenin) yang terhubung dengan satu atau lebih oligosakarida

melalui ikatan glikosidik. Bagian dari karbohidratnya merupakan pentosa,

heksosa, dan asam uronat. Kehadiran baik kelompok polar (gula) dan

nonpolar (steroid dan triterpenoid) memberikan saponin sifat aktif

permukaan yang kuat yang pada akhirnya memberikan banyak efek

menguntungkan dan merugikan. Efek biologis utama dari saponin adalah

interaksinya dengan sel dan komponen membran sel (Makkar et al., 2002).

Gambar 2.4 Triterpene Saponin Gambar 2.5 Steroid Saponin


Sumber: Makkar et al., 2002 Sumber: Makkar et al., 2002

(3) Triterpenoid/ steroid

Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan

dari strukturnya terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur

dasar 1,2-1,5 siklo-pentano-perhidro-fenantren, salah satu senyawa steroid

yang digunakan sebagai bahan obat dan zat antibakteri adalah β-sitosterol

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negative (Ciocan and

Bara, 2007). Senyawa steroid merupakan golongan senyawa dari

triterpenoid (kelompok golongan utama terpenoid). Senyawa ini memiliki

tekstur rumit. Kebanyakan berupa alkohol, aldehid, atau asam karboksilat.


13

Senyawa terpen atau terpenoid merupakan bahan aktif untuk melawan

bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Mekanisme aksinya belum dapat

dipahami seluruhnya akan tetapi terdapat spekulasi bahwa mekanisme

aksinya menyebabkan gangguan pada membran dengan senyawa lipofilik

(Cowan, 1999).

Gambar 2.6 Gugus β-sitosterol


Sumber: Engelking, 2015

2.2 Bakteri Uji Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

2.2.1 Escherichia coli

Klasifikasi Escherichia coli menurut Migula (1895) dan Castellani

and Chalmers (1919) dalam ITIS (2019) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Subkingdom : Negibacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gammaproteobacteria

Order : Enterobacteriales

Family : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli


14

Escherichia coli merupakan bakteri Gram-negatif, fakultatif

anaerob yang berbentuk basil/ batang dengan ukuran panjang berkisar 2,0 –

6,0 mm dan lebar 1,1 – 1,5 mm dan memiliki ujung membulat. Bentuk

sebenarnya dari bakteri beragam mulai dari spherical (kokus) sampai

memanjang atau menjadi batang filamentus. Escherichia coli merupakan

bakteri yang tidak menghasilkan spora dan umumnya motil menggunakan

flagela peritrikus. Escherichia coli menghasilkan gas dari fermentasi

karbohidrat (Percival and Williams, 2014).

Beberapa strain bakteri Escherichia coli sudah diketahui. Awalnya,

keseluruhan strains Escherichia coli diduga merupakan organisme

komensal non-patogenik. Akan tetapi, pada tahun 1940 an, strains

Escherichia coli diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan wabah parah

diare pada balita (Chaudhuri and Henderson, 2012). Patotipe yang

berhubungan dengan penyakit diare berbeda-beda tergantung dari lokasi

kolonisasi pada inang, mekanisme virulensi, dan gejala klinis yang

ditimbulkan. Berdasarkan hal di atas, strains atau patotipenya dibagi

menjadi lima yaitu Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enteroinvasive E. coli

(EIEC), Enteroaggregative E. coli (EAEC), Enterohemorrhagic (Shiga

toxin-producing) E. coli (EHEC/STEC), dan Enterotoxigenic E. coli

(ETEC) (Gomes et al., 2016).

Para ahli juga telah menemukan bakteri Escherichia coli yang

mampu menghasilkan enzim β-lactamase spektrum luas (Extended-spectrum

β-lactamase/ ESBL). β-lactamase merupakan enzim yang mampu

menjadikan bakteri penghasilnya resisten terhadap Penicillins,


15

Cephalosporins generasi pertama, kedua dan ketiga, dan Aztreonam dengan

cara menghidrolisis dan dihambat oleh penghambat β-lactamase seperti

asam klavulanat (Paterson and Bonomo, 2005). Penyebaran bakteri yang

termasuk ke dalam family Enterobacteriaceae (termasuk di dalamnya

Escherichia coli) yang mampu menghasilkan enzim tersebut telah

mengalami peningkatan secara drastis dan saat ini menjadi salah satu

penyebab ancaman kesehatan yang penting (Pana and Zaoutis, 2018). ESBL

yang paling umum merupakan ESBL dengan tipe gen TEM dan SHV, yang

berkembang karena adanya mutasi dari penicillinase awal. ESBL lainnya

yang tidak berkembang karena adanya mutasi titik dari β-lactamase

spektrum terbatas dan merupakan grup terpenting adalah enzim CTX-M.

ESBL lainnya yang sudah teridentifikasi adalah ESBL dengan tipe gen

VEB, PER, dan GES β-lactamase (Poirel, Naas and Nordmann, 2008).

Selain itu, saat ini juga telah ditemukan bakteri Escherichia coli

yang mampu memproduksi biofilm. Biofilm Escherichia coli terdiri dari

koloni bakteri yang menempel pada matriks substansi polimerik

ekstraseluler (Extracellular Polymeric Substances, EPS) yang melindungi

mikroba dari kondisi lingkungan yang merugikan dan menyebabkan infeksi

(Sharma et al., 2016). Analisis secara genetika menunjukkan bahwa struktur

permukaan dari Escherichia coli seperti flagela dan adhesin spesifik

membran luar, fimbria tipe 1, dan fimbria Curli merupakan komponen

penting dari pembentukan biofilm Escherichia coli, meskipun komponen

tersebut tidak harus ada (Niba et al., 2007).


16

Gambar 2.7 Gram-stain koloni Gambar 2.8 Escherichia coli


Escherichia coli perbesaran 1000x di bawah Mikroskop
Elektron Sumber: Carrol et al., 2016 Sumber: IGEM, 2007

2.2.2 Staphylococcus aureus

Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Rosenbach (1884)

diambil dari ITIS (2019b) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Subkingdom : Posibacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Order : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus pertama kali diisolasi dari pus manusia pada tahun

1880 oleh ahli bedah dari Skotlandia, Alexander Ogston. Nama

Staphylococcus diambil dari ―staphyle‖ (kumpulan anggur) dan

―kokkos‖ (buah beri) karena bakteri ini menyerupai kumpulan aggur ketita

dilihat menggunakan mikroskop. Staphylococcus aureus sendiri diambil

dari
17

bahasa Latin ―aurum‖ yang artinya adalah emas (Licitra,

2013). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif yang

membentuk koloni tidak beraturan seperti anggur. Berdasarkan genomik

DNA nya, Staphylococcus aureus termasuk ke dalam kelompok dengan

G+C yang rendah, berkisar 36% (Foster, 2002).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tidak menghasilkan

spora dan tidak bergerak. Merupakan bakteri fakultatif anaerob (yang dapat

tumbuh dengan cepat dan banyak pada kondisi aerob), katalase positif,

oksidase negatif, dan dapat tumbuh pada NaCl 10% (Foster and Geoghegan,

2015). Staphylococcus dapat bertahan pada benda yang tercemar (fomites),

debu, dan/atau pakaian selama beberapa hari. Karakteristik dari

Staphylococcus aureus adalah produksi enzim koagulase ekstraseluler dan

protein A (Daum, 2018). Staphylococcus aureus merupakan bakteri

komensal serta bakteri patogen manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia

dikolonisasi oleh Staphylococcus aureus (Tong et al., 2015).

Tempat terakumulasi (reservoir) terbesar dari Staphylococcus

aureus strain manusia adalah pada hidung manusia. Akan tetapi bagian lain

seperti rambut, kulit, dan membran mukosa juga tidak terlepas dari

kolonisasi Staphylococcus aureus (Grace and Fetsch, 2018). Sehingga

secara bersamaan, bakteri ini dapat memicu terjadinya bakterimia dan

infeksi endocarditis (IE), osteoarticular, infeksi kulit dan jaringan halus,

pleuropulmonary, dan infeksi yang berkaitan dengan alat-alat kesehatan

seperti alat bantu napas (Tong et al., 2015). Pada genus Staphylococcus

yang besar, Staphylococcus aureus merupakan spesies yang paling mudah


18

beradaptasi, khususnya dalam hal spektrum inang, faktor-faktor virulensi,

dan kapasitas patogeniknya (Becker, 2018).

Tahun 1961, resistensi Staphylococcus aureus terhadap methicillin

pertama kali dilaporkan. Beberapa tahun setelah munculnya resistensi

penicillins semi sintetik β-lactamase (Barber, 1961). Peningkatan resisten

mendorong pengembangan penicillins semi sintetik seperti methicillin. Pada

tahun 1990 an, rumah sakit banyak melaporkan kasus Staphylococcus

aureus yang resisten terhadap methicillin (Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus, MRSA), yang saat ini telah menjadi permasalah

yang penting di berbagai belahan dunia (Grace and Fetsch, 2018). Secara

khusus, terdapat berbagai manifestasi dari MRSA seperti healthcare-

associated MRSA (HA-MRSA), community-associated MRSA (CA-

MRSA), dan livestock-associated MRSA (LA-MRSA), yang bertanggung

jawab terhadap penurunan drastis dari pilihan terapi, infeksi serius, dan

meningkatnya biaya untuk tindakan pencegahan (Becker, 2018).

Carretto, Visiello dan Nardini (2018) menjelaskan bahwa

mekanisme utama dari resistensi terhadap methicillin adalah adanya

kehadiran gen spesifik yang disebut gen mecA. Gen ini akan mendorong

sintesis protein pengikat penicillin (Penicillin-Binding Proteins, PBP)

dengan afinitas rendah terhadap molekul β-lactam. Secara lebih detail,

kelompok enzim yang disebut PBP ini, diklasifikasikan berdasarkan berat

molekul dan aktivitas kimianya yang serupa dengan serine protease, mampu

mengkatalisis reaksi transpeptidase. Reaksi ini akan menyebabkan reaksi

silang peptidoglikan dinding sel bakteri. Penicillin dan Cephalosporin


19

mengganggu pembentukan peptidoglikan dengan cara menghambat PBS

secara kompetitif. β-lactam, secara kovalen, berikatan dengan PBS dan

membentuk komplek yang stabil. PBS yang sudah terikat tidak akan mampu

lagi untuk mengkatalis reaksi yang diperlukan untuk sintesis dinding sel.

Selain adanya ancaman resistensi, Staphylococcus aureus juga

memiliki mekanisme perlindungan lainnya berupa pembentukan biofilm.

Biofilm pada dianggap sebagai bagian siklus kehidupan normal

Staphylococcus aureus di lingkungan (Vázquez-Sánchez and Rodríguez-

López, 2018). Pembentukan biofilm pada Staphylococcus aureus

merupakan mekanisme yang kompleks. Akan tetapi dijelaskan dari

penelitian in vitro yang pernah dilakukan, bahwa secara garis besar

pembentukan biofilm Staphylococcus aureus terdiri dari (1) pelekatan awal,

(2) agregasi sel dan pembentukan lapisan multiseluler, dan (3) maturasi

biofilm serta pelepasan menjadi sel planktonik tunggal untuk memulai

pembentukan biofilm baru (Mohammed et al., 2018).

Lister and Horswill (2014) menjelaskan, komponen penting dari

matriks biofilm Staphylococcus aureus adalah adhesin polisakarida

intraseluler (Polysaccharide Intercellular Adhesin, PIA). Polimer PIA

tersusun dari β-1,6-linked N-acetylglucosamine polymer dan merupakan

protein yang dikodekan di lokus ica dan berperan dalam proses sintesis,

pengeluaran, dan modifikasi PIA. Meskipun beberapa penelitian telah

mengidentifikasi beberapa strain Staphylococcus aureus yang mampu

membentuk biofilm tanpa bantuan protein yang diproduksi di lokus ica (ica-

independent biofilm). Selain itu protein terkait permukaan seperti protein A,


20

protein pengikat fibrinogen (FnBPA and FnBPB), protein permukaan

Staphylococcus aureus (SasG), protein terkait biofilm (Bap), dan faktor

penggumpalan B (clfB), juga merupakan komponen penting dari biofilm

Staphylococcus aureus. Sebagai tambahan, protein yang disekresikan seperti

protein pelekatan ekstraseluler (Eap) dan beta toxin (HlB) juga berperan

dalam proses pematangan biofilm. Akan tetapi, derajat kepentingan dari

setiap protein terlibat berbeda-beda antara setiap strain yang ada (Artini et

al., 2013).

Gambar 2.9 Koloni Staphylococcus aureus dilihat menggunakan digitally-


colorized Scanning Electron Microscope (SEM) dengan Perbesaran 20.000x
Sumber: Carr, 2001

2.3 Biofilm

Mikroorganisme mengembangkan berbagai tipe mekanisme

pertahanan yang berbeda-beda seperti pengaturan pertumbuhan,

heterogenitas dalam populasi, sistem proteolitik dan lainnya untuk

beradaptasi pada kondisi stress. Salah satunya adalah pembentukan biofilm

(Kumar et al., 2017). Biofilm merupakan kumpulan dari mikroorganisme

terkait permukaan yang heterogen terselubuh di dalam matriks polimer yang

diproduksi sendiri yang terdiri dari polisakarida, protein, dan DNA.

Beberapa faktor seperti mekanisme pertahanan bakteri, area kolonisasi yang


21

sesuai, keuntungan terkait hubungan dengan lingkungan, dan mode khusus

untuk pertumbuhannya meningkatkan pembentukan biofilm (Jefferson,

2004). Biofilm dapat terbentuk dari satu, dua, atau banyak spesies

mikroorganisme dan dapat membentuk struktur lapis tunggal atau struktur

tiga dimensional. Biofilm yang sempurna mewakili ekosistem yang sangat

terorganisir dengan saluran air yang berpencar untuk memastikan pergantian

nutrien, metabolit, dan produk sisa (Sauer, Rickard and Davies, 2007).

Proses yang dinamis dari pembentukan biofilm didominasi

karakterisasinya oleh pelekatan awal yang reversible dari sel-sel planktonik,

agregasi sel dan kolonisasi permukaan, pematangan biofilm dan pelepasan

sel-sel dari biofilm ke keadaan planktonik (Makovcova et al., 2017). Bakteri

pada biofilm akan lebih terlindungi dari berbagai stress dibandingkan sel-sel

planktonik yang tumbuh secara eksponensial. Efek perlindungan ini tidak

hanya kepada aksi sistem imun, akan tetapi juga kepada agen antimikroba

(resistensi). Resistensi akan meningkat apabila banyak spesies bakteri

maupun jamur hadir membentuk biofilm (Burmølle et al., 2014).

Pada biofilm, resistensi tidak harus melibatkan mekanisme transfer

gen yang mengkode resistensi antibiotik atau didapatkan secara langsung,

akan tetapi lebih bergantung terhadap kemampuan lingkungan untuk

bekerjasama dalam menghadapi paparan agen antimikroba. Menurut Elias

dan Banin (2012), salah satu mekanime yang meningkatkan resistensi

antibiotik melibatkan perubahan komposisi dari matriks substansi polimerik

ekstraseluler (Extracellular Polymeric Substances, EPS).


22

2.3.1 Mekanisme Pembentukan Biofilm

Menurut Sharma et al. (2016), terdapat empat tahapan utama yang

terlibat dalam pembentukan biofilm yaitu sebagai berikut:

(1) Pelekatan Awal (Reversible)

Biofilm dapat terbentuk pada lingkungan yang beragam dengan

syarat lingkungan yang mencukupi. Selain itu, kondisi lingkungan seperti

temperatur, pH dan tekanan ionik dari medium juga berpengaruh dalam

pembentukan biofilm. Motilitas juga merupakan faktor penting untuk

pelekatan. Akan tetapi pada bakteri non-motil, tetap dapat melakukan

pelekatan di permukaan dengan adanya ekspresi faktor pelekatan yang kuat

(Beloin, Roux and Ghigo, 2008). Pada tahap ini sel bakteri berupa sel

planktonik. Pelekatan sel planktonik di permukaan ini tidak bersifat

permanen dan dan bakteri yang motil masih memiliki alat gerak seperti

flagela serta pili pada tahap ini (Arunasri and Mohan, 2019).

(2) Pembentukan Awal Struktur Biofilm (Irreversible)

Sel bakteri pada mikrokoloni akan mulai memperbanyak diri

sebagai akibat dari terjadinya pensinyalan kimia. Sinyal-sinyal kimiawi ini

akan aktif saat melewati ambang batas tertentu, mengaktifkan produksi

eksopolisakarida dan sel bakteri akan terus membelah di dalam matriks

eksopolisakarida (Nazir, Zaffar and Amin, 2019). Beberapa molekul seperti

cyclic-diguanylic acid (c-di-GMP) bertanggung jawab dalam proses

perubahan sel planktonik menjadi sel yang sesil. Konsentrasi c-di-GMP

rendah pada kondisi motil dan akan meningkat seiring proses pembentukan
23

biofilm berlangsung (Sharma et al., 2016). Pembentukan awal yang bersifat

irreversible ini juga dimediasi oleh ekspresi molekul pensinyalan quorum

sensing dan oleh pembentukan bahan polimer ekstraseluler. Quorum sensing

pada bakteri Gram-negatif sebagian besar dimediasi lewat peptida-peptida

kecil dan pada bakteri Gram-positif dimediasi lewat acyl-homoserine

lactones (Kumar et al., 2017).

(3) Pematangan/ Maturation

Proses maturasi biofilm akan menghasilkan struktur berbentuk tiga

dimensi yang di dalamnya terdapat sel-sel yang padat dalam suatu klaster

dengan saluran diantaranya yang digunakan untuk transpor air dan nutrisi

serta pembuangan limbah sisa (Arunasri and Mohan, 2019). Saat sel sudah

melekat dengan kuat di permukaan, sel akan beragregasi melalui interaksi

satu sama lain. Autotransporter (untuk interaksi antar sel) dan EPS (untuk

pembentukan matriks) merupakan komponen yang sangat penting dalam

proses maturasi biofilm.

(4) Dispersi Sel dari Biofilm Kembali ke Kondisi Planktonik

Tahapan terakhir dari pembentukan biofilm adalah pelepasan

bakteri dari biofilm yang telah matang dan dispersi, yang mana akan

mengembalikan bakteri ke keadaan planktonik. Sehingga bakteri dapat

berada pada jarak yang jauh dari lokasi awal dan kembali membentuk

biofilm baru. Pelepasan dapat terjadi dikarenakan adanya degradasi

enzimatis dari matriks biofilm dan quorum sensing sebagai akibat dari
24

perubahan lingkungan yang berhubungan kadar nutrisi dan penipisan

oksigen akibat tekanan luar.

Gambar 2.10 Tahap Pembentukan Biofilm


Sumber: Maunders and Welch, 2017

2.4 Perak (Ag)

Perak (silver, Ag) merupakan elemen kimia yang termasuk ke

dalam kelompok logam transisi. Perak memiliki karakteristik warna putih,

logam yang elastis yang terbentuk secara alami dalam berbagai bentuk,

mulai dari unsur murni sampai paduan dengan metal dan mineral

(Drugbank, 2019). Perak memiliki konduktivitas listrik, konduktivitas

panas, dan reflektivitas yang tinggi. Beberapa senyawa perak sangat

sensitivitas terhadap cahaya dan stabil di air dan udara, akan tetapi sangat

mudah berubah jika terkena senyawa seperti belerang (sulfur). Logam perak

tidak larut di dalam air, tetapi banyak perak yang berbentuk garam perak

seperti perak nitrat (AgNO3) larut dalam air (World Health Organization,

2002).
25

Gambar 2.11 Struktur Perak Nitrat (AgNO3)


Sumber: Maunders and Welch, 2017

Perak memiliki banyak peranan penting dalam berbagai hal seperti

bidang kimia, industri, pertanian, dan banyak lainnya. Selain itu tidak lepas

juga pemanfaatan perak dalam dunia kedokteran. Perak diketahui memiliki

potensi sebagai agen antimikroba dan telah digunakan sebagai agen

penyembuh sejak jaman dahulu. Selain itu perak juga digunakan sebagai

pelapis permukaan untuk berbagai alat kesehatan (Sim et al., 2018). Perak,

baik dalam bentuk logam maupun ion, memiliki kemampuan sebagai bahan

tambahan untuk antibakteri. Ion perak efektif melawan hampir seluruh

patogen yang ada di lingkungan pelayanan kesehatan. Ion-ion ini akan

berikatan kuat dengan molekul biologis seperti protein (DNA dan RNA) dan

akan mengganggu fungsi kerjanya (Thokala et al., 2018).

Gambar 2.12 Bentuk Aditif Antimikroba dari Perak


Sumber: Thokala et al., 2018
26

Perbedaan utama dari Ag ion dan Ag metal (bagian dari partikel

perak yang membentuk koloid perak) adalah Ag ion terdiri dari perak yang

terionisasi dan bersifat sangat reaktif sedangkan koloid perak terdiri dari

partikel perak yang terionisasi dan tidak. Nanopartikel merupakan salah satu

bentuk dari perak koloid (terbentuk dar Ag metal dengan atom-atom yang

berikatan dengan kuat satu sama lain) (Kędziora et al., 2018; Key, 2019).

Penggunaan antimikroba dari perak tersingkirkan perlahan setelah

ditemukannya antibiotik. Setelah hampir satu abad penggunaan antibiotik,

strains mikroba yang mengalami resistensi mulai bermunculan dan

efektifitas antibiotik menjadi berkurang. Saat ini penelitian dan penggunaan

perak, sebagai salah satu agen antimikroba yang sudah sejak lama

digunakan untuk melawan mikroorganisme patogen muncul kembali dalam

bentuk baru. Salah satunya adalah nanopartikel perak (AgNP)

(Ebrahiminezhad et al., 2016).

2.5 Nanopartikel Perak (AgNP)

2.5.1 Pengertian Nanopartikel

Hosokawa et al. (2007) mendefinisikan nanopartikel merupakan

partikel yang berukuran lebih kecil dari 10 – 20 nm dengan sifat fisika yang

berbeda-beda jika dilihat dari bahan pembentuknya, bidang/ bentuknya, dan

aplikasi dari nanopartikel tersebut. Selain itu, nanopartikel juga dapat

dijelaskan sebagai bahan yang memiliki dimensi nanoskopsi (seperti

memiliki ukuran berkisar 1-100 nm) yang ada di zona transisional antara

molekul individual dan bagian molekulnya yang lebih besar. Nanopartikel


27

menunjukkan sifat kimia yang beragam dan dapat berupa logam (perak,

emas, tembaga, seng, dan lainnya) atau terdiri dari metal oksida, silika,

polimer, organik atau karbon (Pal, Rai and Pandey, 2019).

2.5.2 Metode Sintesis Nanopartikel Perak (AgNP)

Penggunaan nanopartikel perak (AgNP) dalam berbagai bidang

termasuk kesehatan, makanan, layanan kesehatan, dan tujuan industri

meningkat dikarenakan sifat kimia dan fisikanya yang unik (Zhang et al.,

2016). Secara garis besar, Pal, Rai and Pandey (2019) menjelaskan ada dua

pendekatan yang dapat digunakan untuk sintesis nanopartikel, yaitu

pendekatan top-down dan bottom-up. Sintesis nanopartikel dengan

menggunakan pendekatan top-down menggunakan bahan yang berukuran

besar akan dipecahkan menjadi partikel-partikel halus melalui serangkaian

teknik litografi yang sesuai. Sedangkan metode dengan pendekatan bottom-

up adalah sintesis yang melibatkan pembentukan nanopartikel melalui

perakitan sendiri atom-atom menjadi inti baru, yang mana akan berkembang

menjadi partikel dengan dimensi nanoskopik melalui serangkaian metode

kimia maupun biologi. Metode yang digunakan untuk sintesis nanopartikel

sangat beragam. Secara garis besar dibagi menjadi tiga metode, yaitu:

(1) Metode Fisika

Sintesis nanopartikel menggunakan metode fisika biasanya

berlangsung cepat, tidak melibatkan bahan kimia beracun, dan membentuk

ukuran AgNP yang terbentuk kecil. Akan tetapi kerugian dari metode ini

adalah memerlukan banyak energi selama proses sintesis (Jorge de Souza,


28

Rosa Souza and Franchi, 2019). Beberapa contoh sintesis nanopartikel

menggunakan metode fisika antara lain arc discharge method, milling, dan

mechanical grinding (Parveen, Banse and Ledwani, 2016).

(2) Metode Kimia

Metode kimia yang paling umum dan paling banyak dilaporkan

penggunaannya untuk sintesis nanopartikel perak adalah reduksi kimia dari

Ag+ menjadi Ago dengan menggunakan agen pereduksi. Reduksi kimia

merupakan metode kimia basah (wet-chemical) yang efektif untuk

menghasilkan nanopartikel non-valen dari metal berbentuk garam cair

seperti perak nitrat (AgNO3) (Nam and Luong, 2019). Contoh lain dari

sintesis nanopartikel menggunakan metode kimia adalah proses sol-gel,

elektrokimia, dan pyrolysis (Parveen, Banse and Ledwani, 2016).

(3) Metode Biologi

Metode konvensional dari sintesis AgNP menggunakan reagen

beracun dan tidak ramah lingkungan. Dibandingkan dengan beberapa

metode untuk sintesis AgNP, metode biologi dianggap lebih sederhana,

cepat, tidak beracun, dapat diandalkan, dan menggunakan pendekatan alami

(green approaches) yang dapat menghasilkan nanopartikel dengan ukuran

dan morfologi yang dapat didefinisikan dengan baik di bawah kondisi yang

dioptimalkan (Zhang et al., 2016). Tiga sumber utama yang biasa digunakan

untuk sintesis AgN adalah bakteri, fungi, dan tumbuhan (Fahimirad,

Ajalloueian and Ghorbanpour, 2019).


29

Gambar 2.13 Metode Sintesis Nanopartikel Perak


Sumber: Pal, Rai and Pandey, 2019

2.6 Sintesis Nanopartikel Perak Berbasis Tumbuhan

Dikatakan bahwa penggunaan fungi sebagai bioreduktor, dapat

menghasilkan jumlah nanopartikel ekstraseluler yang lebih banyak

dibandingkan bakteri. Akan tetapi di sisi lain, penggunaan tanaman juga

lebih mudah dijangkau, lebih mudah diatur jumlah perhitungannya jika

ingin melakukan sintesis skala besar, aman, dan sebagian besar tidak

beracun bagi manusia (Gudikandula and Charya Maringanti, 2016). Akan

tetapi, banyak laporan yang menyarankan penggunaan tumbuhan-tumbuhan

dari subdivision Angiospermae dikarenakan dianggap paling cocok untuk

proses sintesis nanopartikel perak (Rajeshkumar, Bharath and Geetha,

2019). Bagian tertentu dari tumbuhan telah digunakan untuk sintesis

nanopartikel perak seperti kulit batang (Kamran et al., 2019), akar (Rashid

et al., 2019), daun (Rafique et al., 2019), bunga (Ameen et al., 2019), dan

buah (Chokkalingam et al., 2019).


30

Gambar 2.14 Skema Sintesis Nanopartikel Perak Menggunakan


Bioreduktor Ekstrak Tumbuhan
Sumber: Fahimirad, Ajalloueian and Ghorbanpour, 2019

Mekanisme utama dari proses sintesis nanopartikel berbasis

tanaman adalah terjadinya reduksi karena kehadiran senyawa fitokimia.

Fitokimia utama yang terlibat antara lain terpenoid, flavonoid, ketone,

aldehid, amida, dan asam karboksilik (Prabhu and Poulose, 2012).

Bioreduksi dari perak diasumsikan sebagai penjebakan ion Ag+ yang berada

di protein permukaan dikarenakan adanya interaksi elektrostatik antara ion

perak dan protein yang terdapat di ekstrak tumbuhan. Protein akan

mereduksi ion Ag+ dan mendorong terjadinya perubahan struktur sekunder

dan pembentukan inti perak. Inti perak yang terbentuk secara terus-menerus

dikarenakan terjadinya reduksi ion Ag+ sehingga terjadi penumpukan di inti

akan memicu pembentukan AgNP (Rajeshkumar and Bharath, 2017).

Pada gambar 2.15, terdapat enam tahapan sintesis nanopartikel

perak (AgNP). Tahap A, ekstrak dari tanaman baik kering maupun segar

diperoleh dengan cara yang sesuai standar. Tahap B dan C merupakan


31

tahapan optimasi dari sintesis AgNP dengan berbagai parameter berbeda.

Tahap D, nanopartikel diperoleh dalam bentuk pellet setelah melalui

tahapan sentrifugasi. Tahap E, nanopartikel akan melewat proses

karakterisasi yang sesuai untuk mendapatkan informasi terkait nanopartikel

seperti morfologi, ukuran, bentuk, dan grup fungsionalnya. Terakhir, pada

tahap E, nanopartikel yang sudah dikarakterisasi dengan baik dan bersifat

sangat stabil dapat digunakan untuk penelitian (Ovais et al., 2017).

Gambar 2.15 Tahapan Sintesis Nanopartikel menggunakan


Ekstrak Tumbuhan
Sumber: Ovais et al., 2017

2.6.1 Karakterisasi Nanopartikel Perak (AgNP)

Karakterisasi dilakukan untuk memahami potensi dari nanopartikel

yang terbentuk sehingga aplikasinya dapat lebih dipahami. Karakterisasi

dapat dilakukan menggunakan berbagai teknik dengan parameter yang

berbeda-beda seperti morfologi permukaan, distribusi ukuran partikel,

agregasi, potensi absorbsi, ukuran dan bentuk permukaan yang aktif, dan

lainnya (Noah, 2019). Salah satu metode karakterisasi nanopartikel yang


32

dapat dilakukan adalah menggunakan spektrofotometri Ultraviolet-Visible

(UV-Vis). Karakterisasi nanopartikel menggunakan spektrofotometri

Ultraviolet-Visible (UV-Vis) merupakan salah satu metode yang umum

digunakan dalam analisis farmakologis. Metode ini bekerja dengan cara

menghitung jumlah dari ultraviolet atau radiasi nampak yang diserap oleh

unsur yang ada di dalam larutan. Spektrofotometer UV-Vis digunakan untuk

mengukur rasio atau fungsi dari rasio, dari intensitas dua cahaya yang

berada di wilayah UV-Visible (Rajeshkumar, Bharath and Geetha, 2019).

Penyerapan spektrum setiap bahan logam berbeda-beda. Nanopartikel perak

biasanya diukur pada panjang gelombang antara 200 nm – 800 nm (Sökmen

et al., 2017; Du et al., 2019; Soto et al., 2019). Nanopartikel perak yang

berukuran 5 – 50 nm menunjukkan penyerapan sinar yang kuat pada

panjang gelombang berkisar 390 – 420 nm (Shukla and Iravani, 2017).

2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Sintesis Nanopartikel Berbasis Tumbuhan

Ekstrak kasar sangat banyak terdapat pada metabolik sekunder

seperti asam fenolik, flavonoid, terpenoid, dan alkaloid yang secara selektif

mereduksi ion logam dan mengarah pada pembentukan nanopartikel dalam

jumlah besar. Metabolik primer dan sekunder dari tumbuhan secara

konsisten terlibat dalam reaksi redoks pada jalur metabolisme tumbuhan.

Sifat inilah yang digunakan sebagai agen pereduksi dan agen penutup

(capping agent) dan mengarah pada sintesis nanopartikel yang ramah

lingkungan (Jamkhande et al., 2019). Rajan et al. (2015) menjelaskan


33

beberapa keuntungan dari sintesis nanopartikel menggunakan ekstrak

tumbuhan antara lain:

(1) Proses ekstraksi dapat menggunakan pelarut yang alami seperti air.

(2) Prosedur yang dilaksanakan sederhana (tanpa tekanan, tanpa harus menjaga

suhu, dan tanpa bahan kimia berbahaya). Hanya dengan mencampurkan

ekstrak dengan larutan garam metal yang diinginkan pada suhu ruang

dengan kurun waktu yang singkat (beberapa menit sampai beberapa jam

saja), nanopartikel dapat terbentuk.

(3) Berperan sebagai agen pereduksi dan agen penutup (capping agent).

(4) Potensi pereduksi yang lebih tinggi. Potensi bioreduksi dari ekstrak tanaman

lebih tinggi jika dibandingkan dengan filtrat mikroba (seperti bakteri dan

jamur).

(5) Tidak menghasilkan kontaminan sehingga dapat mengurangi dampak

terhadap lingkungan (selama proses sintesis dikerjakan sesuai dengan

prosedur yang ditentukan).

Prosedur sintesis nanopartikel yang dilakukan secara ketat

mengikuti prosedur green chemistry dan nanopartikel yang dihasilkan

ditemukan memiliki biokompabilitas, skalibilitas, dan aplikabilitas yang

lebih besar. Mempertimbangkan hal ini, secara umum, ekstrak dari

tumbuhan merupakan kandidat yang lebih baik digunakan untuk sintesis

nanopartikel, khususnya nanopartikel silver (Rajan et al., 2015).

Meskipun sintesis nanopartikel menggunakan senyawa metabolit

sekunder dari ekstrak tumbuhan, secara garis besar nanopartikel juga

memiliki beberapa poin kekurangan. Memproduksi nanopartikel sebagai


34

obat akan menyebabkan penggunaan agen pereduksi (khususnya yang

berbahan dasar kimia) dalam jangka panjang dapat menyebabkan masalah

toksisitas. Nanopartikel memiliki target kemampuan yang terbatas, sehingga

penghentian terapi menggunakan nanopartikel tidak bisa dihentikan (harus

jangka panjang). Nanopartikel juga dapat menyebabkan sitotoksisitas pada

tubuh (pembahasan pada 2.6.3). Nanopartikel juga memiliki waktu stabil

yang pendek. Menunjukkan terjadinya pertumbuhan partikel, kecendrungan

pembentukan gel yang tidak terduga, transmisi dinamik polimerik yang

tidak terduga, dan pelepasan ion yang mendadak (Parveen, Banse and

Ledwani, 2016).

2.6.3 Efek Toksisitas Nanopartikel Perak (AgNP)

Sejak awal abad 21, nanopartikel perak (AgNP) mengalami

peningkatan popularitas dan sekarang digunakan hampir di seluruh bidang,

khusunya bidang medis. Tidak bisa dihindari, perak dalam bentuk

nanopartikel memiliki efek toksisitas. Hingga saat ini hanya ada beberapa

penelitian yang dilakukan untuk melihat toksisitas dari AgNP (Prabhu and

Poulose, 2012). Meskipun beberapa penelitian tersebut memberikan

pandangan bahwa AgNP dapat memicu toksisitas pada makhluk hidup,

harus dipahami bahwa penelitian tersebut dilakukan dalam kondisi in vitro

yang sangat jauh berbeda dari kondisi in vivo. Sehingga, perlu untuk

dilakukan penelitian secara in vivo agar dapat menyimpulkan efek toksisitas

dari AgNP terhadap makhluk hidup.


35

Uji toksisitas secara in vitro pada sel hati tikus menunjukkan

paparan AgNP dalam konsentrasi rendah menyebabkan stres oksidatif dan

gangguan fungsi mitokondria (Hussain et al., 2005). Terdapat bukti yang

menunjukkan bahwa ion perak dapat menyebabkan perubahan pada

permeabilitas membran sel terhadap ion potasium dan sodium pada

konsentrasi yang bahkan tidak membatasi sodium, potasium, ATP, dan

aktivitas mitokondria. Nanopartikel perak juga diketahui menunjukkan efek

toksik yang berat pada sistem reproduksi pria. AgNP dapat melewati

pembatas darah dan testis (blood-testes barrier) dan menumpuk di testis

sehingga dapat mempengaruhi sel sperma (McAuliffe and Perry, 2007).

Salah satu studi in vivo yang dilakukan pada hewan menunjukkan

hasil histopatologis yang mana terdapat kejadian hiperplasia pada saluran

empedu hewan coba, baik disertai dengan nekrosis, fibrosis, pigmentasi,

maupun tidak (Kim et al., 2010). Penelitian juga menunjukkan bahwa

terdapat pelepasa perak ketika nanopartikel disimpan pada periode waktu

tertentu. Sehingga, nanopartikel perak yang sudah lama disimpan lebih

toksik dibandingkan nanopartikel perak yang baru (Kittler et al., 2010).

Sedangkan efek AgNP terhadap lingkungan hingga saat ini masih

sedikit diketahui. Akan tetapi, aktivitasnya tergantung dari struktur

permukaan, dan bentuk dari AgNP itu sendiri. AgNP berperan sebagai

reservoir dari ion perak dan dapat melepaskan ion Ag+ secara terus-

menerus. Perak diketahui bersifat toksik bagi ikan, kepiting, alga, dan

berbagai tanaman air lainnya, termasuk bakteri pengikat nitrogen

(Pandiarajan and Krishnan, 2017). Pelepasan nanopartikel perak pada


36

ekosistem air tawar dapat memicu terjadi dampak biologis, fisik, dan kimia

yang tidak dapat diperbaiki pada ekosistem dan isinya.

2.6.4 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Nanopartikel Perak (AgNP)

Zhang et al. (2016) menjelaskan bahwa aktivitas dari AgNP sendiri

bergantung pada beberapa faktor yang mempengaruhi. Antara lain yaitu

kimia permukaan nanopartikel, ukuran, distribusi ukuran, bentuk, morfologi

dan komposisi partikel, pelapisan dan pemberian tutup (coating and

capping), tingkat penumpukan dan peleburan partikel, reaktivitas partikel di

dalam larutan, efisiensi dari pelepasan ion, tipe sel, dan tipe agen pereduksi

yang digunakan untuk sintesis AgNP merupakan faktor penting dalam

menentukan sitotoksisitas AgNP. Selain faktor tersebut, secara spesifik,

kuantitas nanopartikel yang disintesis berbasis mikroorganisme dipengaruhi

oleh enzim intraseluler maupun ekstraseluler yang dihasilkan

mikroorganisme tersebut (Patra and Baek, 2014). Nanopartikel yang

dibentuk menggunakan metode sintesis berbasis tumbuhan juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor antara lain komposisi dari metabolit sekunder

tumbuhan yang digunakan. Hal ini dikarenakan metabolit sekunder

tumbuhan sangat tergantung dari jenis tumbuhannya, bagian tumbuhan yang

diambil untuk dijadikan ekstrak, serta metode ekstraksi yang digunakan

(Park et al., 2011).

2.6.5 Mekanisme Nanopartikel sebagai Agen Antimikroba

Aksi nanopartikel sebagai agen antimikroba dapat dijelaskan dalam

dua tahapan yang berbeda untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba.


37

Tahapan pertama yaitu interaksi Ag+ – AgNP dengan dinding sel bakteri,

mengakibatkan ternyata penghambatan fungsi dari protein bakteri yang akan

menghentikan pertumbuhan bakteri dan berujung kepada kematian sel

bakteri. Tahapan kedua melibatkan modifikasi stabilisasi dari permukaan

AgNP terhadap lingkungan mikroba melalui berbagai proses seperti

disolusi, agregasi, reaksi redoks foto, dan pelepasan ion Ag + dari AgNP

(Kailasa et al., 2019).

Gambar 2.16 Mekanisme Antibakteri AgNP


Sumber: Qing et al., 2018

Berdasarkan gambar di atas, dapat dipelajari mekanisme antibakteri

dari nanopartikel perak (AgNP) terhadap bakteri.

(1) AgNP dapat menempel pada dinding sel bakteri dan menembus ke dalam,

merusak membran plasma. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya

kebocoran sel. Selanjutnya, AgNP atau ion Ag+ dapat berikatan dengan

protein yang terdapat di membran sel, yang mana protein tersebut terlibat

dalam regenerasi ATP transmembran.


38

(2) AgNP dapat menembus masuk ke dalam sel mikroba. Kemudian AgNP

dengan ion Ag+ yang dilepaskan akan berinteraksi dengan struktur seluler

dan biomolekul bakteri seperti protein, enzim, lipid, dan DNA. Peningkatan

Reactive Oxygen Species (ROS) akan memicu terjadi respon serupa

apoptosi, peroksidasi lipid, kehancuran DNA, dan berakhir dengan

kematian.

(3) AgNP dapat secara berkelanjutan memasukkan ion Ag+ ke dalam bakteri

dan juga melepaskan ion tersebut dari dalam bakteri. Ion Ag + juga dapat

berinteraksi dengan protein dan enzim. Ion Ag+ secara signifikan akan

menginaktifkan jalur biologis sel bakteri dan menyebabkan terjadinya

penghambatan replikasi asam nukleat dan fungsi mitokondria, yang akan

memicu terjadinya kematian bakteri (Kailasa et al., 2019).

2.7 Ekstraksi Bahan Alam

Ekstraksi merupakan proses penarikan bahan aktif atau substansi

sisa dari bahan padat maupun bahan cair dengan menggunakan bantuan

pelarut cair yang sesuai (Gamse, 2019). Hasil dari proses ekstraksi disebut

sebagai ekstrak. Menurut Farmakope (2008), ekstrak adalah sediaan kering,

kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani

menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.

2.7.1 Metode Ekstraksi

Metode dengan teknik konvensional yang umumnya digunakan

untuk ekstraksi komponen aktif dari tanaman aromatik maupun tanaman


39

obat salah satunya adalah maserasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi

bahan aktif menggunakan pelarut dengan diaduk beberapa kali setiap hari

pada suhu ruang. Remaserasi merupakan teknik yang mana pelarut

ditambahkan kembali ke simplisia yang sudah diekstraksi sebelumnya.

Setelah dilakukan penyaringan, residu diekstraksi menggunakan sisa pelarut

dan residu simplisia diperas untuk menghasilkan larutan sebanyak mungkin.

Hasil dari proses maserasi dan remaserasi disebut maserat. Maserat adalah

ekstrak kasar dari tumbuhan yang disiapkan dengan cara merendam

tumbuhan di dalam pelarut selama waktu tertentu dan diikuti dengan

penyaringan (Mukherjee, 2019).

2.8 Antibakteri

Antimikroba adalah zat/ bahan yang mampu membunuh atau

menghentikan pertumbuhan mikroba (termasuk di dalamnya bakteri, fungi,

atau virus). Antimikroba dikelompokkan berdasarkan mikroba yang

dilawannya. Antibiotik merupakan antimikroba yang mampu membunuh

atau menghentikan pertumbuhan bakteri (CDC, 2019). Berdasarkan sifat

toksisitas selektifnya, Carrol et al. (2016) menjelaskan dalam Jawetz,

aktivitas antibakteri terbagi menjadi dua yaitu bakteriostatik (agen

antibakteri mampu menghambat perbanyakan bakteri, akan tetapi saat

pemberian antibakteri dihentikan, perbanyakan akan kembali terjadi) dan

bakterisida (agen antibakteri mampu membunuh bakteri dan bersifat

irreversible). Aktivitas bakterisida menyebabkan bakteri tidak dapat lagi

memperbanyak selnya meskipun agen antibakteri sudah tidak berikan.


40

2.8.1 Mekanisme Kerja Antibakteri

Terdapat lima mekanisme umum dari kerja antibakteri berbagai,

yaitu:

(1) Penghambatan Sintesis Dinding Sel

Antibakteri dapat bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding

sel. Sebagai contoh salah satu antibiotik ini adalah penicillin. Penicillin akan

berikatan dengan enzim spesifik yaitu Penicillin-binding proteins (PBP)

yang berada di membran sitoplasma bakteri. Ikatan ini akan menghambat

terjadinya reaksi transpeptidase yang berhubungan secara linear dengan

rantai peptidoglikan yang menyusun dinding sel. Enzim autolisis akan

teraktivasi sehingga menyebabkan lesi pada dinding sel bakteri. Hidrolisis

enzimatik dari cincin beta-lactam akan menyebabkan bakteri kehilangan

daya aktivitasnya dan kemudian mati (Trevor, Katzung and Kruidering-

Hall, 2015).

(2) Penghambatan pada Membran Sel

Meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa

intraseluler. Membran plasma bersifat semipermeabel dan mengendalikan

transport berbagai metabolit ke dalam dan luar sel. Adanya gangguan atau

kerusakan struktur pada membran plasma dapat menghambat atau merusak

kemampuan membran plasma sebagai penghalang (barrier) osmosis dan

mengganggu sejumlah proses biosintesis yang diperlukan dalam membran.

Salah satu antibiotik yang bekerja pada penghambatan membran sel adalah

Polymyxin. Polymyxin akan berikatan dengan phosphatidil-ethanolamine


41

pada membran sel bakteri dan selanjutnya akan menghancurkan membran

dalam dan luar bakteri. Ekor hidrofobik berperan penting dalam

menyebabkan kerusakan membran. Sehingga sel akan menjadi lebih

permeabel dan kemudian lisis lalu mati (Velkov et al., 2013).

(3) Penghambatan Sintesis Asam Nukleat/ DNA

Antibiotik yang bekerja dalam penghambatan sintesis asam nukleat

adalah Quinolone. Quinolone menghambat enzim gyrase dari DNA bakteri

yang memotong untai ganda DNA, memasukkan supercoils negatif dan

kemudian menutup kembali ujung-ujungnya. Ini sangat penting untuk

mencegah kelebihan supercoils positif pada untai saat kedua untai berpisah

untuk melakukan replikasi atau transkripsi. DNA gyrase terdiri dari dua

subunit A dan dua subunit B. Subunit A membawa pemutus DNA dan

subunit B memasukkan supercoils negatif, kemudian subunit A akan

menutup kembali untai. Quinolone akan berikatan dengan subunit A dengan

afinitas yang tinggi dan akan mengganggu fungsi pemotongan dan

penyambungan kembali untai DNA. Pada bakteri Gram-positif, target utama

dari Quinolone adalah topoisomerase IV yang mana memutus dan

memisahkan untai DNA anak setelah replikasi DNA. Afinitas yang lebih

besar untuk enzim ini mungkin memberikan potensi yang lebih besar untuk

melawan bakteri Gram-positif (Kapoor, Saigal and Elongavan, 2017).


42

(4) Penghambatan Sintesis Protein

Ribosom bakteri berjumlah 70S terdiri dari dua subunit

ribonucleoprotein yaitu subunit 30S dan 50S. Antibiotik menghambat

terjadinya sintesis protein dengan menjadikan subunit 30S dan 50S ribosom

bakteri sebagai target.

Antibiotik dengan Target Subunit 30S

Aminoglycoside merupakan antibiotik bermuatan positif yang

menempel pada membran luar sel bakteri yang bermuatan positif. Hal ini

memicu terjadinya pembentukan lubang besar dan dapat menyebabkan

antibiotik masuk ke dalam bakteri. Target utama dari antibiotik ini adalah

ribosom bakteri. Agar dapat memasukinya, Aminoglycoside harus melewati

membran sitoplasma dan memerlukan energi yang bergantung dari

mekanisme transpor aktif bakteri yang mana memerlukan oksigen dan

dorongan proton aktif. Oleh karena itu, Aminoglycoside bekerja dalam

keadaan aerobik dan memiliki kekuatan yang cukup lemah melawan bakteri

anaerob.

Aminoglycoside bersinergi dengan antibiotik yang memiliki

kemampuan menghambat sintesis dinding sel (seperti golongan beta-lactam)

yang memungkinkan penetrasi Aminoglycoside ke dalam sel dalam dosis

rendah. Aminoglycoside berinteraksi dengan subunit 16S rRNA dari subunit

30S yang dekat dengan A site melalui ikatan hidrogen. Interaksi ini

menyebabkan kesalahan pembacaan dan terminasi prematur dari translasi

mRNA (Kapoor, Saigal and Elongavan, 2017). Tetracycline juga merupakan

salah satu contoh antibiotik yang bekerja pada target subunit 50S ribosom.
43

Tetracycline bekerja pada urutan yang identik subunit 16S rRNA dari

subunit 30S untuk mencegah pengikatan tRNA ke A site.

Antibiotik dengan Target Subunit 50S

Antibiotik berinteraksi dengan urutan yang identik dari rongga

peptidyl transferase dari subunit 23S rRNA pada subunit 50S. Oleh

karenanya, antibiotik ini mencegah terjadinya sintesis protein dengan

mencegah pengikatan tRNA ke A site pada ribosom. Ini mempengaruhi

tahap awal dari sintesis protein (translokasi). Hal ini menyebabkan

terjadinya pelepasan prematur dari rantai peptida yang belum lengkap.

Antibiotik yang bekerja dengan target subunit 50S ribosom antara lain

adalah Macrolides, Lincosamides, dan Streptogramins B (Kapoor, Saigal

and Elongavan, 2017).

(5) Modifikasi Energi Metabolisme di Dalam Sitoplasma (Pada Siklus

Asam Folat) atau Competitive Antagonism dengan PABA

Antibiotik yang bekerja secara competitive antagonis dengan p-

aminobenzoic acid (PABA) pada siklus folat adalah Sulfonamida dan

Trimethoprim. Masing-masing antibiotik ini menghambat tahap yang

berbeda pada metabolisme asam folat. Kombinasi dari keduanya pada jalur

biosintesis yang sama akan menunjukkan sinergi dan mengurangi tingkat

mutasi resistensi. Sulfonamida menghambat sintesis dihydropteroate dalam

cara yang kompetitif dengan afinitas yang lebih tinggi untuk enzim daripada

substrat alami, p-aminobenzoic acid (PABA). Sedangkan Trimethoprim


44

bekerja pada tahap akhir sintesis asam folat dan menghambat enzim

dihydrofolate reductase (Kapoor, Saigal and Elongavan, 2017).

2.8.2 Metode Uji Antibakteri

Metode pengujian antibakteri menurut Wilkinson (2006) ada dua,

yaitu metode difusi dan metode dilusi. Metode difusi yang sering digunakan

antara lain metode difusi Cakram Kertas (Disk Diffusion) dan metode difusi

Sumuran Agar (Agar Well Diffusion) sedangkan metode dilusi yang sering

digunakan antara lain metode dilusi agar dan metode dilusi broth. Prosedur,

keuntungan, dan batasan dari setiap metode dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Prosedur, Keuntungan, dan Batasan Metode


Pengujian Antibakteri
Metode Prosedur Keuntungan Batasan

Metode Difusi

Difusi Medium agar di dalam 1. Biaya murah. 1. Perbedaan


cakram cawan petri diinokulasi 2. Hasil kemampuan
kertas (Disk dengan inokulum didapatkan 1 – difusi ekstrak
Diffusion) mikroorganisme yang 2 hari setelah dikarenakan
sudah distandarisasi. pengerjaan. adanya
Kemudian, cakram kertas 3. Tidak pembagian di
(bisa terbuat dari kertas memerlukan media cair.
saring berukuran fasilitas 2. Ukuran
diameter ± 6mm) yang laboratorium inokulum,
mengandung bahan spesifik. kehadiran agen
antibakteri yang ingin 4. Menggunakan pelarut, dan suhu
diujikan, diletakkan di alat dan bahan temperatur dapat
atas permukaan agar. sederhana. mempengaruhi
Cawan petri kemudian 5. Dapat zona hambat.
diinkubasi dengan dilakukan oleh 3. Senyawa yang
kondisi yang sesuai. staf mudah menguap
Diameter dari zona laboratorium. dapat
pertumbuhan yang 6. Jumlah sampel mempengaruhi
terhambat akan diukur. yang banyak pertumbuhan
dapat diteliti. bakteri.
Difusi Seluruh permukaan agar 7. Hasil dapat 4. Data hanya
sumuran diinokulasi dengan dianalisis dikumpulkan
agar (Agar mikroba uji. Selanjutnya, secara statistik. pada 1-2 waktu
Well lubang sumuran dengan
45

Metode Prosedur Keuntungan Batasan

Diffusion) diameter 6 – 8 mm tertentu saja.


dibuat secara aseptis
dengan menggunakan
pelubang dan sebanyak
20 – 10 mL agen
antibakteri yang ingin
diuji dimasukkan ke
dalam sumuran tersebut.
Hasilnya akan terbentuk
zona hambat di sekitar
sumuran.

Metode Dilusi

Dilusi agar Melibatkan 1. Biaya murah. 1. Ekstrak yang


penggabungan berbagai 2. Hasil hidrofobik
konsentrasi antibakteri didapatkan 1 – mungkin akan
yang diinginkan ke 2 hari setelah terpisah dari
medium agar. pengerjaan. agar.
Umumnya, 3. Tidak 2. Ukuran
menggunakan dilusi memerlukan inokulum,
serial two-fold yang fasilitas kehadiran agen
diikuti dengan inokulasi laboratorium pelarut, dan suhu
dari inokulum bakteri uji spesifik. temperatur
ke permukaan agar. Nilai 4. Menggunakan mempengaruhi
MIC akan dicatat sebagai alat dan bahan zona hambat.
konsentrasi terendah sederhana. 3. Senyawa yang
yang mampu 5. Dapat mudah menguap
menghambat dilakukan oleh mempengaruhi
pertumbuhan bakteri staf pertumbuhan
pada kondisi inkubasi laboratorium. bakteri.
yang sesuai.
Broth Memasukkan antibakteri 1. Memungkinka 1. Minyak esensial
dilution yang didilusi two-fold ke n pengamatan mungkin tidak
dalam medium aktivitas bertahan di
pertumbuhan cair yang antibakteri dari larutan pada saat
ada di dalam tabung waktu ke durasi
dengan volume minimun waktu. pemeriksaan,
2 ml atau untuk volume 2. Gambaran pengemulsi dan
lebih kecil dapat aktivitas pelarut dapat
menggunakan microtiter antibakteri mempengaruhi
plate. Setiap tabung lalu lebih jelas. keakuratan hasil.
diinokulasi dengan 3. Metode micro- 2. Tidak efesien
inokulum bakteri uji dan broth dapat secara waktu
diinkubasi. lai MIC akan digunakan jika serial dilusi
dicatat sebagai untuk melihat digunakan untuk
konsentrasi terendah hasil dari menentukan
yang mampu sampel besar jumlah sel.
menghambat dengan biaya 3. Ekstrak yang
46

Metode Prosedur Keuntungan Batasan

pertumbuhan bakteri yang lebih memiliki warna


pada kondisi inkubasi efektif. pekat dapat
yang sesuai. menganggu
ambang batas
kolorimetri pada
metode micro-
broth.

Sumber: Wilkinson, 2006; Balouiri, Sadiki and Ibnsouda, 2016

2.8.3 Kategori Uji Antibakteri

Ada empat kategori uji kepekaan antibakteri menurut Clinical and

Laboratory Standards Institute (2012):

(1) Peka (susceptible), kategori yang menyatakan bahwa isolat mampu

dihambat oleh antimikroba pada konsentrasi yang biasanya

digunakan/direkomendasikan untuk mengobati area infeksi.

(2) Sedang (intermediate), kategori yang menyatakan bahwa isolat dapat

dihambat oleh konsentrasi hambat minimal antimikroba yang biasanya

dapat mencapai darah atau jaringan dan tingkat respon antimikroba pada

kategori ini dapat lebih rendah dari kategori peka.

(3) Resisten (resistant), kategori yang menyatakan bahwa isolat tidak dapat

dihambat oleh antimikroba dengan konsentrasi dan jadwal pemakaian

normal yang biasanya digunakan dan/atau antimikroba yang menunjukkan

penghambatan pada konsentrasi hambat minimal dalam lingkup resistensi

antimikroba.

(4) Tidak peka (nonsusceptible), kategori yang digunakan untuk isolat yang

hanya memiliki kriteria interpretatif yang rentan yang sudah dibuat karena

ketidakhadiran atau kehadiran yang sangat jarang dari strain resisten. Isolat
47

yang memiliki angka KHM di atas atau diameter zona hambat di bawah

nilai yang menyatakan titik batas (breakpoint) kategori rentan (susceptible)

harus dilaporkan sebagai tidak peka (nonsusceptible).

2.9 Antibiofilm

Saat ini, penanganan biofilm dengan menggunakan antibiotik sudah

mulai menunjukkan hasil yang tidak efektif. Hal ini dikarenakan banyak

agen antibakteri yang tidak berhasil menembus sel target yang tertanam

dalam matriks biofilm. Alternatif diperlukan untuk pengendalian penyakit

yang melibatkan biofilm (Ashajyothi et al., 2016).

2.9.1 Metode Uji Antibiofilm

Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk deteksi dan

pengukuran respon biofilm mikroba terhadap agen antibiofilm. Beberapa

metode yang dapat digunakan dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Metode Uji Antibiofilm


Metode Aplikasi Target
Microtiter Plate Pengukuran biofilm Mengukur efek dari agen
(MtP) yang terbentuk pada antibiofilm terhadap
dinding sumuran dan produksi biofilm.
responnya
terhadap agen antibiofilm.
Microtiter Plate Pengukuran biofilm yang Mengukur efek agen
(MtP) untuk tersisa pada dinding sumuran antibiofilm terhadao biofilm
mengukur sebagai respon dari agen matang yang sudah
Minimum Biofilm biofilm dan mengukur terbentuk pada dinding
MBEC dari agen antibiofilm. sumuran.
Eradication
Concentration
(MBEC)
Vortex dan Penghitungan jumlah koloni Pemeriksaan aktivitas agen
penghitungan plate bakteri pembentuk biofilm antibiofilm terhadap bakteri
pada cawan. pembentuk biofilm.
Checkerboard Penghitungan jumlah koloni Pemeriksaan aktivitas agen
Assay pada cawan dan penghitungan antibiofilm yang
indeks Fractional Inhibitory dikombinasi/
Concentration (FIC).
48

Metode Aplikasi Target


Sonikasi, vortex, Penghitungan jumlah koloni Pemeriksaan aktivitas agen
dan penghitungan pada cawan dan deteksi antibiofilm terhadap bakteri
plate bMBC (biofilm Minimum penghasil biofilm.
Bactericidal Concentration).
PCR kuantitatif Pengukuran ekspresi pada gen Pengamatan ekspresi gen
spesifik biofilm. biofilm sebagai respon
terhadap agen
antibiofilm.
Spektometri Massa Pengukuran lokasi eksoenzim Pengamatan ekspresi
(MS) pada matriks biofilm. protein bakteri sebagai
respon terhadap agen
antibiofilm.
Sumber: Kirmusaoğlu, 2019

2.9.2 Interpretasi Hasil Uji Antibiofilm

Pembacaan hasil yang didapatkan dari uji antibiofilm

menggunakan metode microtiter plate dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Interpretasi Hasil Uji Antibiofilm


Hasil perhitungan Kesimpulan
OD ≤ ODc Tidak ada biofilm yang terbentuk
ODc < OD ≤ 2 × ODc Pembentukan biofilm tipis
2 × ODc < OD ≤ 4 × ODc Pembentukan biofilm sedang
4 × ODc < OD Pembentukan biofilm tebal
Keterangan: OD (Optical Density)
Sumber: Stepanović et al., 2007

Konsentrasi AgNP dalam menghambat dan menghancurkan biofilm

selanjutnya dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu tinggi (>50%),

sedang (50-25%), dan minimal (<25%) (Singh et al., 2016).

Anda mungkin juga menyukai