PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki sumber daya alam hayati yang
beranekaragam. Salah satu keanekaragaman ditemukan di Indonesia adalah pada
banyaknya jenis tumbuh-tumbuhan yang memiliki berbagai manfaat. Keanekaragaman
hayati Indonesia sangat besar artinya jika dimanfaatkan secara maksimal, khususnya
dalam usaha pengembangan potensi sumber daya alam. Sumber daya alam hayati seperti
tanaman yang berupa ekstrak umumnya digunakan dalam dunia medis dan industri.
Salah satu ekstrak tanaman yang banyak dimanfaatkan dalam dunia Farmasi dan
industri yaitu tanaman temu kunci (Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht). Temu
kunci (Boesenbergia pandurata) merupakan tanaman obat tradisional yang digunakan
masyarakat sebagai obat nyeri, obat peluruh dahak, obat cacing, dan penambah nafsu
makan. Temu kunci mudah didapatkan dengan harga yang murah dan mudah
dibudidayakan. Menurut Muhlisah juga rimpang temu kunci ini memiliki kegunaan
sebagai, antiradang, obat sariawan dan obat batuk kering. Selain itu manfaat yang dimiliki
sebagai antimutagenik dan juga mempunyai aktivitas sebagai antioksidan.
Bagian dari tanaman temu kunci yang biasa dimanfaatkan adalah bagian daun dan
rimpang. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa senyawa yang
terkandung dalam daun ataupun rimpangnya. Beberapa penelitian tentang bagian rimpang
temu kunci telah dilakukan salah satuya seperti penelitian yang dilakukan Ching A.Y.L
(2007) berhasil mengisolasi flavonoid yang merupakan senyawa metabolit sekunder dari
rimpang temu kunci.
Pada rimpang temu kunci ekstrak nheksana dihasilkan senyawa flavonoid jenis
flavanon yaitu 5-hidroksi-7-metoksiflavanon (Johansah, S., 2002) dan 5-hidroksi-7,4-
dimetoksiflavon; 5,7,4-trimetoksiflavon; 5,7,3,4-tetrametoksiflavon; 5-hidroksi-3,7-
dimetoksiflavon; 5-hidroksi-3,7,4-trimetoksiflavon; 3,5,7-trimetoksiflavon;5-hidroksi-
3,7,3,4 tetrametoksiflavon (Soegihardjo, C. J. 1984). Sebagai antimutagen dari fraksi
dietil eter rimpang temu kunci menghasilkan senyawa 2,4,6-trihidroksikalkon; 2,4-
dihidroksi-6-metoksikalkon (Trakoontivakorn, G., 2001).
Salah satu metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas adalah flavonoid. Banyak
senyawa flavonoid yang mudah larut dalam air sehingga pengekstraksian kembali larutan
1
dalam air tersebut dapat dilakukan dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan
air tetapi agak polar. Pemilihan pelarut organik untuk pengekstraksian kembali senyawa
flavonoid yang terlarut dalam air umumnya menggunakan kloroform, dietil eter, etil
asetat,dan nbutanol (Mulianingsih, L. 2004). Pengekstraksian kembali senyawa flavonoid
yang terlarut dalam air menggunakan etil asetat tidak hanya berasal dari tumbuhan suku
Zingeberaceae tetapi juga terdapat pada suku Compositae yang dibuktikan bahwa dalam
pemeriksaan kandungan flavonoid sebagai obat penyakit hati dari tumbuhan Sonchus
oleraceus L. menunjukkan bahwa fraksi etil asetat lebih banyak mengandung senyawa
flavonoid yang memiliki efek antihepatotoksik lebih tinggi bila dibandingkan dengan
fraksi n-butanol dan fraksi air dari ekstrak total dalam metanol (Achmad, S. A., 1986).
Mengingat bahwa telah dilakukannya penelitian turunan flavonoid pada ekstrak etil asetat
dari suku Zingiberaceae (Markham, K.R. ,1988) dan baru ditemukan senyawa flavonoid
pada rimpang temu kunci ekstrak n-heksana maupun ekstrak metanol fasa dietil eter maka
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang isolasi dan identifikasi senyawa
flavonoid fraksi n-Hexan-etil asetat dari rimpang temu kunci (B. pandurata).
B. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengisolasi senyawa pinostrobin pada rimpang Temu Kunci (B. pandurata).
2. Mengidentifikasi senyawa pinostrobin hasil isolasi dari rimpang Temu Kunci (B.
pandurata) dengan Kromatografi Lapis Tipis.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiamanakah cara ekstraksi senyawa pinostrobin dari rimpang Temu Kunci
(B.pandurata) ?
2. Bagaimanakah cara isolasi senyawa pinostrobin dari ekstrak rimpang Temu Kunci
(B.pandurata) ?
3. Bagaiamanakah cara identifikasi senyawa pinostrobin hasil isolasi dari ekstrak
rimpang Temu Kunci (B.pandurata) dengan Kromatografi Lapis Tipis ?
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Dapat mengetahui cara ekstraksi senyawa pinostrobin dari rimpang Temu Kunci
(B.pandurata).
2
2. Dapat mengetahui cara isolasi senyawa pinostrobin dari ekstrak rimpang Temu Kunci
(B.pandurata).
3. Dapat mengetahui cara identifikasi senyawa pinostrobi hasil isolasi dari ekstrak
rimpang Temu Kunci (B.pandurata) dengan Kromatografi Lapis Tipis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Kandungan Kimia
Komponen-komponen kimia tanaman temu-kunci ditemukan pada bagian
rizoma. Menurut Kardono (2003), senyawa-senyawa aktif pada temu kunci terdiri atas
flavanon (pinostrobin, pinosembrin, alpinetin, dan 5,7-dimetoksiflavanon), flavon
5
(dimetoksiflavon dan 3,4,5,7-tetrametoksi flavon), kalkon (2,6-dihidroksi-4-
metoksikalkon, kardamonin, panduratin A, panduratin B, boesenbergin A,
boesenbergin B, dan rubranin), monoterpena (geranial dan neral), dan diterpena (asam
pimarat). Beberapa struktur senyawa aktif temu kunci ditunjukan pada gambar 2.
B. FLAVONOID
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon.
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga dapat ditemukan pada setiap
ekstrak tumbuhan (Markham, 1988). Selama ini tercatat lebih dari 2000 jenis flavonoid
yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi oleh para ahli.
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 - C 3 -C 6 ,
artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 (cincin benzena tersubstitusi)
disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). Susunan kerangka
flavonoid dapat dibedakan menjadi 3 jenis struktur yakni flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid yang ditunjukkan pada gambar 3 (Arifin, 1986).
6
Gambar 3. Kerangka dasar Flavonoid, (1) Flavonoids (2-phenylbenzopyrans),
(2) Isoflavonoids (3-benzopyrans), (3) Neoflavonoids (4-benzopyrans).
Biosintesa pertama kali disarankan oleh Birch. Untuk tahap awal dari biosintesa
yakni, suatu unit C6-C3 berkombinasi dengan tiga buah unit C2 sehingga menghasilkan
unit C6-C3-(C2+C2+C2). Kerangka C15 yang dihasilkan dari kombinasi ini telah
mengandung gugus-gugus fungsi oksigen pada posisi yang diperlukan.
C. EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan
dengan bantuan pelarut. Ekstraksi juga merupakan proses pemisahan satu atau lebih
komponen dari suatu campuran homogeny menggunakan pelarut cair (solven) sebagai
separating agen. Ekstraksi pada padatan digunakan untuk memisahkan senyawa hasil alam
dari jaringan kering tumbuhan, mikroorganisme dan hewan. Metode ekstraksi ditentukan
oleh tekstur, kandungan air bahan yang akan diekstrak dan senyawa yang akan diisolasi.
Proses ekstraksi biasanya dimulai dengan menggunakan pelarut organic dengan
tingkat kepolaran rendah dan kemudian secara bertingkat dilanjutkan dengan pelarut yang
lebih polar. Pelarut yang digunakan adalah n-heksan, eter, petroleum eter atau kloroform
untuk mengambil senyawa yang kepolarannya rendah, selanjutnya digunakan pelarut yang
lebih polar seperti alkohol dan etil asetat untuk mengambil senyawa-senyawa yang lebih
polar. Pemilihan pelarut berdasarkan pada kaidah like dissolve like (Kristanti dkk,
2008).
Metode ekstraksi senyawa yang umum digunakan, yaitu metode ekstraksi secara
dingin dan ekstraksi secara panas. Contoh ekstraksi secara dingin antara lain metode
maserasi dan perkolasi. Contoh ekstraksi secara panas antara lain metode refluks dan
destilasi uap (Indraswari , 2008).
7
Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah metode maserasi yang dilakukan
dengan cara merendam padatan dalam suatu pelarut dengan tujuan untuk mengekstrak
suatu senyawa dari bahan alam yang dilakukan tanpa pemanasan (temperatur kamar).
Salah satu keuntungan metode maserasi adalah cepat. Waktu rendam bahan dalam pelarut
bervariasi antara 15-30 menit sampai 24 jam. Kelemahan dari metode ini adalah jumlah
pelarut yang diperlukan cukup besar (Kristanti dkk,2008).
8
campuran yang lebih kompleks cepat mengalami perubahan-perubahan fasa terhadap
perubahan-perubahan suhu (Hardjono, 2001).
Teknik pengembangan dapat dilakukan dari bawah ke atas (ascending), dari atas ke
bawah (descending) atau mendatar. Bila eluen mencapai garis batas plat kromatogram,
jangan terlalu lama mencelupkan plat tersebut. Hal ini dikarenakan pengaruh difusi dan
penguapan dapat menyebabkan pemancaran dari noda-noda yang terpisah. Selanjutnya
noda pada lapisan tipis diamati langsung untuk noda tampak. Jika noda tidak tampak
dapat dilihat dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm juga dapat
dilihat dengan menggunakan pereaksi semprot penimbul warna.
Setelah noda dikeringkan dan divisualisasi, identitas noda dinyatakan dengan harga
Rf (Retardation factor) merupakan rasio jarak noda terhadap titik awal dibagi jarak eluen
terhadap titik awal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam KLT yang juga
mempengaruhi harga Rf (Hardjono, 2001) adalah :
1. Struktur senyawa yang dipisahkan.
2. Sifat adsorben dan derajat aktivitasnya. Perbedaan adsorben memberikan perbedaan
yang besar terhadap harga Rf.
3. Tebal dan kerapatan lapisan adsorben.
4. Pelarut fasa gerak (dan tingkat kemurniannya).
5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.
6. Teknik percobaan dapat dilakukan dari bawah ke atas (ascending), dari atas ke bawah
(descending) atau mendatar.
7. Jumlah cuplikan yang digunakan. Penetesan jumlah cuplikan yang berlebihan
memberikan tendensi penyebab noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor.
8. Suhu, untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan-penguapan atau perubahan-perubahan fasa.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat- alat Penelitian
2. Bahan-bahan Penelitian
B. METODE
1. Preparasi sampel
Sampel yang digunakan adalah rimpang temu kunci yang di ambil di daerah
Kekait, Lombok Utara. Pertama-tama sampel dicuci,Setelah itu di rajang, sehingga
diperoleh sampel temu kunci sebanyak 800 gr. Proses pengeringan dilakukan dengan
diangin-anginkan lalu dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 60C selama
2 hari selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender.
2. Ekstraksi
Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. 125 gr sampel kering
dilarutkan dengan menggunakan 625 ml aceton selama 3 hari dan dilakukan
remaserasi sebanyak 2 kali. Ekstrak cair diuapkan dengan rotary evaporator.
3. Isolasi dan identifikasi pinostrobin
Identifikasi awal dilakukan dengan KLT dengan dua eluen yaitu n-Hexan-
kloroform (9:1) dan n-Hexan-etil asetat(5:1). Kemudian dilakukan farksinasi dengan
kolom kromatografi gravitasi (KKG) dengan eluen n-Hexan-etil asetat (5:1). Fraksi
yang didapat diidentifikasi dengan menggunakan KLT dengan eluen n-Hexan-etil
asetat (5:1). Fraksinasi tahap selanjutnya dilakukan dengan menggunakan KKG
dengan eluen n-Hexan-etil asetat (5:2). Identifikasi dan uji kemurnian secara KLT
dilakukan menggunakan 3 eluen dengan kepolaran yang berbeda yaitu n-Hexan, n-
Hexan-etli asetat (5:2), dan n-Hexan-klroform (9:1).
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang
mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam
cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Prinsip kerja dari maserasi
yaitu penyarian sederhana dengan merendam serbuk simplisia dalam suatu bejana dengan
cairan penyari yang sesuai selama beberapa hari dengan temperatur kamar, terlindung dari
cahaya matahari sambil diaduk dimana cairan penyari akan menembus dindig sel dan
masuk ke dalam rongga sel melalui zat aktif, karena adanya perbedaan konsentrasi di
dalam dan di luar sel maka larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar sel
(terjadi proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan
11
konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel. Adapun kelebihan dari metode
maserasi ini yaitu : alat dan cara yang digunakan sederhana, dapat digunakan untuk zat
yang tahan dan tidak tahan pemanasan. Sedangkan kekurangan dari metode maserasi,
yaitu : banyak pelarut yang dipakai, dan waktu yang dibutuhkan cukup lama.
Pelarut yang digunakan kali ini berdasarkan literature yang kami pakai adalah
aseton, karena dari literature diketahui bahwa aseton dapat menghasilkan maserat lebih
banyak dengan jumlah sampel yang digunakan lebih sedikit dibandingkan menggunakan
pelarut lain. Perbandingan yang dipakai adalah (1:5), dalam sekali maserasi digunakan
aceton sebanyak 625 mL. Sampel direndam selama 3 hari, sambil diaduk sesekali untuk
mempercepat proses pelarutan komponen kimia yang terdapat dalam sampel. Maserasi
dilakukan dalam toples kaca dan ditempatkan pada tempat yang terlindung dari cahaya.
Ekstraksi dilakukan pengualang 2 kali sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang
ditandai dengan pelarut pada sampel berwarna bening, sampel yang direndam dengan
pelarut tadi disaring dengan kain mori untuk mendapat maseratnya.
12
Pada praktikum kali ini awalnya menggunakan fase gerak kloroform dan n heksan dengan
perbandingan kloroform : n heksan (1 : 9). Hasil yang diperoleh dengan menggunakan
fase gerak tersebut saat dilihat pada lampu UV 254 nm yaitu spot tidak menunjukkan
adanya pemisahan baik pada sampel maupun standar atau biasa disebut dengan tailing.
Terjadinya tailing dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya saat penotolan yang yang
terlalu tebal sehingga sampel tidak bergerak jauh dari spot, pengaruh suhu lingkungan
sekitar dan kejenuhan fase gerak.
Adanya tailing sehingga penggunaan fase gerak diganti dengan n heksan dan etyl
asetat dengan perbandingan n heksan : etyl asetat (5:1). Hasil yang diperoleh yaitu
menunjukkan pemisahan yang baik, hasil penotolan antara sampel dan standar sejajar
walaupun ada beberapa zat pengotor lain. Sehingga untuk pemurnian digunakan fase
gerak eluen n-heksan : etyl asetat (5:1) sebanyak 600 mL. Tahap selanjutnya yaitu
fraksinasi dengan menggunakan kromatografi kolom dengan menggunakan fase diam
silika gel serbuk merck 29,357 gr. Fraksinasi Ekstrak aseton sebanyak 2 gr dilakukan
fraksinasi melalui kromatografi kolom gravitasi (KKG). Fraksinasi adalah prosedur yang
digunakan untuk memisahkan suatu senyawa agar didapat senyawa murni. Prinsip dari
fraksinasi adalah pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran
tergantung dari jenis senyawa yang dikandung.
Fraksi-fraksi yang diperoleh dari eluen tersebut sebanyak 20 vial. Dari 20 vial
tersebut, dikelompokkan menjadi 5 fraksi besar berdasarkan warnanya yaitu fraksi A (1),
fraksi B (2-5), Fraksi C (6-7), fraksi D (8-10), fraksi E (11-20). Fraksi yang terdeteksi
mengandung pinostrobin adalah fraksi B dan C. pada fraksi A dapat dikatakan bahwa
13
senyawa belum masuk ke larutan sehinga tidak terdeteksi adanya pinostrobin, sedangkan
pada fraksi D dan E senyawa pinostrobin sudah habis sehinga tidak terdeteksi adanya
pinostrobin. Untuk memastikan adanya senyawa pinostrobin pada fraksi lain dari
kelompok B dan C, maka diulangi kembali pengujian KLT. Diperoleh fraksi positif
pinostrobin adalah fraksi 4,5,6, dan 7. Kemudian fraksi yang positif dikering-anginkan
untuk menguapkan pelarut.
Hasil identifikasi KLT dibawah lampu Fraksi positif yang telah dikering-
UV 254 nm anginkan
Hasil dari fraksinasi pertama di uji kembali untuk mengetahui fase gerak yang
ideal dalam pengujian pinostrobin. Sebelum dilakukan fraksinasi kembali, dilakukan
pemilihan eluen yang tepat yaitu menggunakan heksan:etil-asetat dengan perbandingan
yang berbeda (1:0, 5:1, 5:2, 5:3).
Pada penggunaan eluen dengan perbandingan yang berbeda-beda diperoleh eluen
n heksan : etyl-asetat (5:2) baik pada standar maupun sampel terjadi pemisahan, namun
masih terdapat senyawa pengotor. Nilai Rf yang diperoleh dengan perbandingan eluen
tersebut yaitu Rf A : 0,825, Rf B : 0,75 (Pinostrobin) Rf C : 0,525, Rf D : 0,4375, Rf E :
0,3875 dan Rf stdr : 0,75. Pemilihan eluen n heksan : etyl-asetat (5:2) karena terdapat
senyawa yang memiliki nilai Rf sama dengan standar. Dilakukan fraksinasi kembali
dikarenakan masih terdapat zat pengotor dan untuk mendapatkan senyawa murni
pinsotrobin.
Fraksinasi kedua ini dilakukan karena pada hasil dari fraksinasi tahap pertama
masih terdapat banyak zat lain yang teridentifikasi saat deteksi dibawah sinar UV dengan
menggunakan KLT. Pelarut yang digunakan dalam fraksinasi kedua ini adalah eluen yang
pemisahannya paling baik setelah sebelumnya sudah identifikasi satu persatu dengan
14
KLT. Eluen yang diuji adalah heksan:etil-asetat dengan perbandingan yang berbeda (1:0,
5:1, 5:2, 5:3), dimana eluen yang paling baik adalah heksan:etil-asetat 5:2.
Ekstrak ini dipisahkan dengan kromatografi kolom menggunakan fase diam silika
gel Merck 60 G F254 dengan eluen berturutturut n-hensana, campuran n-heksana-etil
asetat. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi kolom gravitasi yang menggunakan dan
n-heksana-etil asetat (5:2). Hasil dari pemisahan tersebut dimonitor dengan kromatografi
lapis tipis menggunakan eluen n-heksan-etil asetat (5:2). Fraksi-fraksi yang telah
menunjukkan satu noda digabung kemudian direkristalisasi menggunakan pelarut benzena
sehingga diperoleh senyawa murni. Senyawa murni tersebut diuji kemurniannya dengan
kromatografi lapis tipis menggunakan 3 eluen dengan kepolaran yang berbeda.
1. Penyiapan kolom
Ekstrak etil asetat sebanyak 0,3 gr dilakukan fraksinasi melalui kromatografi
kolom. Fraksinasi menggunakan silika gel merck 60 G F254 sebagai fasa diam dan
fasa gerak berupa eluen n-heksana-etil asetat (5:2), sebanyak 700 mL. Sebelum
dilakukan fraksinasi, kolom dibasahi dulu dengan sejumlah fase gerak yang akan
digunakan. Kemudian serbuk silica harus dilarutkan terlebih dahulu dengan eluen agar
berwujud gel. Gel kemudian dituangkan kedalam kolom (packing column). Kolom
yang baik adalah jika fasa diamnya terbentuk secara rapat dan tidak terdapat rongga
udara dan tidak rapuh sehingga diperlukan pengetapan berkali-kali.
Tahap pertama, ekstrak dilarutkan dulu dengan aseton kemudian di aplikasikan
keatas kolom dengan pipet tetes tepat ditengah-tengah silica secara perlahan agar tidak
merusak formasi dari kolom yang digunakan dan sampel terposisikan merata dpada
permukaan fase diam sehingga elusidasinya baik.
Saat proses elusidasi flow rate solvent harus diperhatikan, jika kecepatan
penetesan digunakan terlalu lama maka tidak efisien, namun jika terlalu cepat
dikhawatirkan proses isolasi tidak berhasil karena ekstrak tidak terfraksinasi dengan
baik.
Fraksi-fraksi yang diperoleh dari eluen tersebut sebanyak 12 fraksi dengan
volume setiap fraksi 10 mL. Fraksi tersebut dimonitor dengan KLT menggunakan
eluen yang sama saat fraksinasi II yaitu nheksana-etil asetat 5:2. Berdasarkan gradasi
warna, dilakukan penggabungan fraksi menjadi 5 fraksi besar yaitu fraksi A (1), fraksi
B (2), Fraksi C (3-5), fraksi D (6-9), fraksi E (10-12).
2. Identifikasi dengan KLT
15
Pertama-tama, plat KLT dipotong dengan cutter. Pemotongan dilakukan
dengan menghadapkan plat kebawah agar silica yang ada pada plat tidak terkikis
karena dapat mempengaruhi pengamatan. Idealnya, 1 spot menggunakan pita selebar 1
cm. kemudian membuat based line penotolan dari bawah 1,5 cm agar based line
terletak lebih atas dari eluen agar elusinya baik. Saat penotolan sampel, totolan yang
dihasilkan tidak boleh terlalu besar karena dikhawatirkan saat elusidasi akan
mempengaruhi spot yang lain. Penotolan yang terlalu besar juga dapat menimbulkan
hasil yang tidak bagus saat dilihat dibawah UV.
Plat yang sudah ditotol dimasukkan kedalam chamber yang berisi eluen yang
telah dijenuhkan selama 30 menit. Waktu penjenuhan juga dapat mempengaruhi
identifikasi karena jika eluen belum jenuh eluen belum mengembang. Tutup segera
chamber yang telah dimasukkan plat KLT, kemudian menunggu eluen mencapai batas
atas.Segera keluarkan plat lalu kering-anginkan. Setelah itu, plat dapat dideteksi
dibawah sinar UV untuk mengetahui fraksi senyaawa dalam sampel.
16
Gambar 7. Penampakan spot KLT di bawah UV 254 nm Fraksinasi II
Fraksi yang terdeteksi mengandung pinostrobin adalah fraksi B, C, D, dan E.
sehingga vial yang diperoleh fraksi positif pinostrobin adalah fraksi 2,3,4,5,6,7,8, 9,
dan 10. Fraksi-fraksi tersebut kemudian dibagi menjadi 3 fraksi besar lagi berdasarkan
jumlah spot hasil deteksi dibawah sinar UV dengan KLT. Fraksi A mengandung 1
spot (2-3), fraksi B mengandung 3 spot (4-6), fraksi C mengandung 2 spot (7-10).
Fraksi yang sudah dibagi menjadi 3 kelompok besar tersebut di kering-anginkan
dengan cawan porselen untuk menguapkan pelarutnya agar terbentuk Kristal
pinostrobin.
18
19
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Johansah, S., 2002. Perbandingan Reaksi Demitilasi Pinostrobin Hasil Isolasi Rimpang Temu
Kunci (Boesenbergia pandurata) Dengan Pereaksi HBr dan Lil-KOlidina Serta
Asetilasi dan Benzoilasi Pinocembrin Hasil Reaksi, Tesis. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Achmad, S. A., 1986, Kimia Organik Bahan Alam. Modul 4-6. Jakarta: Karunia Universitas
Terbuka.
Ching. A. Y. L, Wah, T. S., Sukari, M. A., Lian, G. E. L. Rahmani, M., dan Khalid, K. 2007.
Characterization Of Flavonoid Derivatives from Boesenbergia rotunda (L). The
Malayssian Journal of Analytical Science. 11(1): 154-159.
Fessenden, Ralp J. & Fessenden, Joan S. 1997. Kimia Organik Jilid 1. (Alih bahasa: Aloysius
Haryana Pudjaatmaka Pd.D). Jakarta: Erlangga.
Indraswari, A. 2008. Optimasi Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru (Eugeni Uniflora L.)
Menggunakan Metode Maserasi Dengan Parameter Kadar Total Senyawa Fenolik
dan Flavonoid. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kristanti, A.N., N.S. Aminah, M. Tanjung dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia.
Surabaya: Airlangga University Press.
Kardono, L. B. S., dkk. 2003. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat Tradisional..
Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
21