Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Cendana

2.1.1 Taksonomi dan morfologi tanaman cendana

Gambar 2.1 Daun Cendana

Sumber: Rusyana (2015)

Klasifikasi cendana menurut Rusyana (2015) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Santales

Famili : Santalaceae

Genus : Santalum

Spesies : Santalum album L.

Pohon cendana merupakan tumbuhan yang memiliki tinggi antara 12–15 meter,

dengan batang bulat agak berlekuk-lekuk berdiameter 20–35 cm, serta akar yang

tidak berbanir (akar yang menjalur ke luar menyerupai dinding penopang).

Batangnya dilapisi dengan kulit kasar berwarna kelabu atau coklat tua, sedangkan

5
6

kayunya berwarna putih kekuningan. Daun cendana merupakan daun tunggal

yang berwarna hijau dengan ukuran berkisar 4–8 cm × 2–4 cm. Daunnya

berbentuk oval atau lanset, berminyak dan mudah gugur. Bunganya berwarna

kuning, yang nantinya berubah menjadi merah gelap kecoklatan dan berbentuk

seperti payung menggarpu (cymose) atau malai (panicle) dengan panjang 2–3

mm. Buahnya berwarna merah kehitaman dengan panjang kurang lebih 1 cm

(Riswan, 2001).

2.1.2 Habitat dan penyebarannya

Cendana (Santalum album L.) pada mulanya diperkirakan berasal dari India,

namun pakar-pakar botani lebih menyakini bahwa pohon cendana berasal dari

kepulauan Indonesia, yakni pulau Timor dan Sumba, ditambahnya bukti dari

sejarah perdagangan kayu cendana di masa lampau ikut menunjang bahwa pohon

cendana merupakan tanaman asli dari Nusa Tenggara Timur. Dalam

penyebarannya, pohon cendana tersebar secara alami di Jawa Timur, Sulawesi dan

Maluku. Pohon cendana dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 50 – 1200

Mdpl, dengan curah hujan antara 600 – 2000 mm per tahunnya dan pada suhu

dingin dan kering, serta intensitas cahaya matahari yang cukup (Dewi, 2014).

2.1.3 Manfaat cendana

Berdasarkan manuskrip Sanskerta dan Cina kuno, cendana (Santalum album

L.) telah digunakan semenjak 4000 tahun yang Ialu. Secara tradisional digunakan

sebagai aroma / pengharum ruangan yang berkhasiat menghentikan rasa sakit,

nausea dan sakit perut. Jika digunakan sebagai masker pada wajah, dapat

menghilangkan sakit kepala yang disebabkan karena panas. Kayunya banyak

digunakan sebagai pembasmi kuman pada saluran kencing dan sakit kencing
7

nanah. Selain itu kayunya dapat digunakan sebagai obat nyeri epigastrium, mual,

muntah dan sakit dada (Agusta, 2001).

2.1.4 Metabolit sekunder tanaman cendana

Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai

kemampuan bioaktifitas yang digunakan sebagai pelindung tumbuhan dari

gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri maupun lingkungannya.

Senyawa metabolit sekunder biasanya digunakan sebagai zat warna, senyawa

racun, aroma makanan, dan obat tradisional pada kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hasil analisis fitokimia ekstrak metanol daun cendana mengandung

senyawa alkaloid, terpenoid, flavonoid, fenol, dan steroid (Monika, 2017).

Tumbuhan cendana juga mengandung minyak atsiri yang tersusun atas α-

santalol dan β-santalol sebagai komponen utama, dengan turunan dan isomer

santalol lainnya sebagai komponen minor. Selain substansi minyak atsiri, Agusta

(2001) melaporkan bahwa kayu cendana mengandung zat warna yang disebut

dengan santalin dan santarubin, serta kulit batangnya mengandung triterpena,

turunan asam palmitat dan tanin.

2.2 Bakteri

Bakteri berasal dari kata Bakterion (bahasa yunani) yang berarti tongkat atau

batang, merupakan organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri

termasuk dalam mikroorganisme bersel satu dan berkembang biak dengan cara

membelah diri (aseksual). Bakteri rata-rata memiliki lebar 0,5-1 mikron dan

panjang hingga 10 mikron (1 mikron = 10-3 mm). Bakteri termasuk

mikroorganisme yang sangat kecil, sehingga untuk melihat bakteri perlu diwarnai,

pewarnaan ini disebut pengecatan bakteri (Dina, 2016).


8

Bakteri dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pewarnaan gram, yaitu

bakteri gram positif dan gram negatif. Perbedaan bakteri gram positif dan gram

negatif dilihat dari perbedaan dinding selnya, pada bakteri gram positif lapisan

peptidoglikan yang tebal mengakibatkan resisten terhadap lisis osmotik.

Sedangkan pada bakteri gram negatif lapisan peptidoglikan yang tipis dan terdapat

polisakarida dalam tubuhnya mengakibatkan lebih rentan terhadap kerusakan

mekanik dan kimia (Rahmadani, 2015). Pada tabel 2.1 ditunjukkan ciri-ciri

bakteri gram positif dan bakteri gram negatif sebagai berikut :

Tabel 2.1 Ciri-ciri bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
Perbedaan Relatif
Ciri
Gram Positif Gram Negatif
- Tebal (15-80nm). - Tipis (10-15nm).
Struktur dinding sel
- Berlapis tunggal (mono). - Berlapis tiga (multi).
- Kandungan lipid rendah (1- - Kandungan lipid tinggi (11-
4%). 22%).
- Peptidoglikan sebagai - Peptidoglikan terdapat di
Komposisi dinding lapisan tunggal, merupakan dalam lapisan kaku sebelah
sel komponen utama bakteri dan dalam, jumahnya sedikit
jumlahnya lebih dari 50% sekitar 10% berat kering.
berat kering sel bakteri. - Tidak memiliki asam tekoat.
- Memiliki asam tekoat.
Kerentanan
- Lebih rentan - Kurang rentan
terhadap penisilin
Pertumbuhan oleh
zat-zat warna dasar, - Pertumbuhan dihambat - Pertumbuhan tidak begitu
misalnya ungu dengan nyata. dihambat.
kristal
Persyaratan nutrisi - Relatif rumit - Relatif sederhana
Resistensi terhadap
- Lebih resisten - Kurang resisten
gangguan fisik
Sumber : Pelczar et al., 1986
9

2.2.1 Bakteri Escherichia coli

Gambar 2.2 Bakteri Escherichia coli

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (2018)

Klasifikasi Escherichia coli menurut Songer (2006) :

Kingdom : Eubacteria

Divisi : Proterobacteria

Kelas : Gamma Proterobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang

pendek, memilki ukuran 2,4µm dengan diameter 0,7µm dan lebar 0,4µm.

Menurut Rahmadani (2015) Escherichia coli merupakan bakteri yang tidak

membentuk spora dan tidak tahan asam, sebagian besar bergerak menggunakan

flagel pentrikus (tersebar merata pada permukaan sel dan beberapa strain

mempunyai kapsul), dan bersifat patogen yang menyebabkan diare. Dinding sel

bakteri gram negatif tersusun atas membran luar, peptidoglikan dan membran

dalam, Peptidoglikan dalam bakteri gram negatif memiliki struktur yang lebih

kompleks dibandingkan gram positif (Purwoko, 2007).


10

2.2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

Gambar 2.3 Bakteri Staphylococcus aureus

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (2011)

Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Gillespie (2009) :

Kingdom : Eubacteria

Divisi : Protophyta atau Schizophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk

bulat dengan diameter 0,5 – 1,5 µm, selalu berpasangan dan tidak dapat bergerak.

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang tersusun dalam kelompok tidak

teratur. Memiliki kokus tunggal, tidak motil dan tidak membentuk spora. Bakteri

Staphylococcus aureus dapat hidup dalam suasana aerobik atau mikroaerofilik.

Staphylococcus aureus mengandung polisakarida antigenik dan protein serta

substansi penting lainnya di dalam struktur dinding sel. Dinding sel pada bakteri

gram positif tersusun oleh peptidoglikan dan polimer polisakarida yang


11

mengandung subunit-subunit yang terangkai, sehingga menghasilkan eksoskelet

yang kaku pada dinding sel (Rostinawati, 2009).

2.3 Antibakteri

Senyawa antibakteri merupakan senyawa alami maupun sintetis yang dapat

menghambat pertumbuhannya sehingga menyebabkan bakteri mati. Senyawa

antibakteri yang dapat membunuh mikroorganisme disebut bakteriosidal,

sedangkan senyawa antibakteri yang tidak dapat membunuh namun dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme disebut bakteriostatik (Madigan et al.

2009). Aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakteriosidal,

jika kadarnya ditingkatkan melebihi konsentrasi hambat minimum. Menurut Nazri

et al. (2011) pada konsentrasi rendah (1 mg/mL – 30 mg/mL), diameter zona

hambat sebesar 0-9 mm memiliki daya hambat lemah, sedangkan pada 10-14 mm

bersifat sedang, dan pada 15-20 mm bersifat kuat.

Senyawa antibakteri dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik,

bakteriosidal, dan bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat

sintesis protein dan berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat

kuat pada sel target dan tidak hilang melalui pengenceran yang tetap akan

membunuh sel. Sel yang mati tidak hancur dan tetap memiliki jumlah sel yang

konstan. Beberapa bakteriosidal merupakan bakteriolisis, yakni membunuh sel

dengan mengalami lisis pada sel dan mengeluarkan komponen sitoplasmanya.

Lisis dapat menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur (Madigan et al.

2009). Berdasarkan mekanisme kerjanya, aktivitas antibakteri dapat dibagi

menjadi empat, yaitu :


12

1. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel.

Bakteri memiliki dinding sel yang kaku mengelilingi seluruh sitoplasma

membran sel, berisikan peptidoglikan dan komponen yang lain. Sel yang aktif

akan mensintesis peptidoglikan yang baru secara kontinyu dan menempatkannya

pada amplop sel. Hal ini yang membuat senyawa antibakteri akan bereaksi dengan

satu atau banyak enzim yang dibutuhkan untuk proses sintesis, sehingga

menyebabkan pembentukan dinding sel melemah dan pemecahan osmotik

(Talaro, 2008).

2. Penghambatan terhadap fungsi membran sel.

Membran sel mengatur sitoplasma yang berperan sebagai barrier

permeabilitas selektif, memiliki fungsi transport aktif dan mengontrol komposisi

internal sel. Senyawa antibakteri yang berikatan dengan membran fospolipid

menyebabkan fungsi integritas membran sitoplasma dirusak, sehingga terjadinya

pemecahan protein dan basa nitrogen menyebabkan membran sel bakteri mati

(Talaro, 2008).

3. Penghambatan terhadap sintesis material genetik.

Sel tersusun oleh DNA, RNA dan protein yang merupakan material genetik

penyusun kehidupan, jika pembentukan atau pada fungsinya terganggu, maka

dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Jadi senyawa antibakteri akan

menghambat translasi atau sintesis protein yang bereaksi dengan ribosom-mRNA

dengan menghalangi terikatnya RNA pada tempat spesifik ribosom selama proses

pemanjangan rantai peptida (Pelczar et al., 1986), namun senyawa antibakteri

dapat menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri tanpa berpengaruh pada
13

ribosom mamalia karena perbedaan subunit masing-masing tipe ribosom,

komposisi kimia dan spesifikasi fungsinya berbeda.

4. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat.

Pembentukan DNA dan RNA membutuhkan proses yang cukup panjang dan

membutuhkan enzim di beberapa prosesnya. Senyawa antibakteri akan

menginteferensi sintesis asam nukleat dengan menghambat sintesis nukleitida,

replikasi atau menghentikan transkripsi (Jawetz et al., 2005).

2.4 Senyawa Bahan Alam Antibakteri

2.4.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di

alam dan hampir tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan. Semua golongan

alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang bersifat basa dan

pada umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Harborne, 1996).

Berdasarkan penyusun asam aminonya alkaloid dibedakan menjadi alkaloid

alisiklik yang berasal dari asam ornitin dan lisin, alkaloid aromatis jenis

fenilalanin berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidroksifenilalanin, dan

alkaloid aromatis jenis indol yang berasal dari triptofan (Robinson, 1995).

Mekanisme alkaloid sebagai antibakteri berhubungan dengan tingginya

senyawa aromatik quartener dari alkaloid seperti barberine dan harmane yang

mempunyai kontribusi untuk membentuk interkhelat dengan DNA. Alkaloid yang

mengkhelat pada susunan DNA akan merusak pilin ganda (double helix) sehingga

menghambat replikasi DNA transkripsi dan rekombinasi DNA (Cowan, 1999).

Sementara Menurut Ernawati (2015) alkaloid dapat mengganggu jembatan silang


14

komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel

tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan sel mati.

2.4.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan senyawa fenolat terhidroksilasi yang

mempunyai kerangka dasar karbon membentuk susunan C6-C3-C6, yang mana dua

gugus aril (C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) (Cowan, 1999). Biosintesis

flavonoid melibatkan dua jalur biosintesis utama untuk cincin aromatik, meliputi

jalur shikimat dan jalur asetat-molanat. Cincin A pada struktur flavonoid berasal

dari jalur poliketida, yakni kondensasi dari tiga unit asetat atau malonat,

sedangkan cincin B dan rantai propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur

shikimat). Akibat berbagai perubahan, ketiga atom karbon dari rantai propan

dapat menghasilkan berbagai gugus fungsi seperti ikatan rangkap dua, gugus

hidroksil, gugus karbonil dan sebagainya (Robinson, 1995).

Ada beberapa mekanisme flavonoid sebagai antibakteri yang dibedakan

menjadi 3 yaitu, dengan menghambat sintesis asam nukleat yang mana cincin A

dan B memegang peran penting dalam proses interkelasi atau ikatan hidrogen

dengan menumpuk basa asam nukleat untuk menghambat pembentukan DNA dan

RNA. Letak gugus hidroksil di posisi 2',4' atau 2',6' dihidroksilasi pada cincin B

dan 5,7 dihidroksilasi pada cincin A yang berperan terhadap aktivitas antibakteri

pada flavonoid, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas

dinding sel bakteri, mikrosom,dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid

dengan DNA bakteri (Cushnie, 2005).

Dalam menghambat fungsi membran sel, flavonoid dari ekstrak etanol daun

jarak pagar akan membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan
15

terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya

senyawa intraseluler (Nuria et al., 2009). Penelitian lain menyatakan mekanisme

flavonoid menghambat fungsi membran sel dengan cara mengganggu

permebealitas membran sel dan menghambat ikatan enzim seperti ATP ase dan

fosfolipase (Li et al., 2003). Serta flavonoid dapat menghambat metabolisme

energi dengan menghambat penggunaan oksigen oleh bakteri, dengan

menghambat pada sitokrom C reduktase sehingga pembentukan metabolisme

energi terhambat. Energi dibutuhkan bakteri untuk biosintesis makromolekul

(Cushnie, 2005).

2.4.3 Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang terususun atas karbon-karbon dengan jumlah

kelipatan lima, yang sebagian besar dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang

disebut unit isopren. Disebut unit isopren karena kerangka karbon C 5 ini sama

seperti senyawa isopren. Dari beberapa struktur senyawa terpenoid yang telah

berhasil diidentifikasi, dapat diketahui bahwa unit-unit isopren saling berikatan

secara teratur di mana ''kepala'' dari unit yang satu berikatan dengan ''ekor'' dari

unit yang lainnya. Keteraturan struktur terpenoid ini dirumuskan dalam suatu

aturan yang disebut kaidah isopren, yang menyatakan bahwa struktur molekul

terpenoid dibangun oleh dua atau lebih unit isopren yang saling berikatan ''kepala-

ke-ekor''. Kaidah ini merupakan ciri khas senyawa golongan terpenoid sehingga

digunakan sebagai hipotesis dalam menentukan/menetapkan struktur suatu

senyawa terpenoid. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa struktur

senyawa terpenoid ada yang tidak mengikuti kaidah isopren ini (Robinson, 1995).
16

Terpenoid dalam fraksi kloroform ekstrak etanol pegagan (Centella asiatica

L. Urb.) memiliki aktivitas antibakteri yang bereaksi dengan porin (protein

transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer

yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Porin yang merupakan pintu

keluar masuknya senyawa akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakterinya

karena telah dirusak, sehingga sel bakteri akan kekurangan nutrisi, yang

mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Rachmawati, 2012).

Sedangkan Terpenoid dari Elephantopus scaber menunjukkan penghambatan

terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus dengan menghambat enzim autolisin

yang terdapat pada peptidoglikan dinding sel bakteri. Mekanisme terpenoid dalam

menghambat aktivitas enzim autolisin dengan membentuk interaksi yang kuat

dengan sisi aktif dari residu enzim autolisin, sehingga proses pertumbuhan sel,

peremajaan dinding sel, waktu masak peptidoglikan, pembelahan sel, pemisahan,

motilitas, kemotaksis, kemampuan genetik dan pengeluaran protein terganggu

(Daisy et al., 2008).

2.4.4 Steroid

Steroid adalah kelompok senyawa yang strukturnya terdiri atas 17 atom

karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2-siklopentenoperhidrofenantren.

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokannya

didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan. Ditinjau dari segi

struktur, perbedaan antara berbagai kelompok ini ditentukan oleh jenis substituen

R1, R2, dan R3 yang terikat pada kerangka dasar sedangkan perbedaan antara

senyawa yang satu dengan senyawa lainnya dari satu kelompok ditentukan oleh

panjangnya rantai karbon substituen, gugus fungsi yang terdapat pada substituen,
17

jumlah dan posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap pada kerangka dasar

serta konfigurasi pusat asimetris pada kerangka dasar (Robinson, 1995).

Mekanisme steroid sebagai senyawa antibakteri adalah dengan merusak

membran sel, yang diikuti dengan peningkatan membran fosfolipid yang bersifat

permeabilitas terhadap senyawa lipofilik. Sehingga terjadi kebocoran dalam sel,

yang menyebabkan integritas membran sel menurun serta morfologi membran

berubah, yang mengakibatkan sel lisis atau mati (Rijayanti, 2014).

2.4.5 Fenol

Fenolik merupakan senyawa yang mempunyai inti aromatik yang terikat

dengan satu atau lebih substituen hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut

dalam air karena umumnya senyawa ini seringkali berikatan dengan gula sebagai

glikosida (Robinson, 1995). Beribu-ribu senyawa fenol alam telah diketahui

strukturnya dan flavonoid merupakan golongan terbesar. Senyawa fenol dapat

dideteksi dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol

dalam larutan cuplikan yang memberikan warna hijau, merah, ungu, biru, atau

hitam yang kuat (Harborne, 1996).

Sebagai agen antibakteri senyawa fenol dapat mendenaturasi protein melalui

proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada konsentrasi tinggi, fenol

akan mengkoagulasi protein sehingga menyebabkan membran sel lisis, sedangkan

dalam konsentrasi rendah, akan terbentuk senyawa kompleks protein-fenol yang

berikatan lemah, sehingga terjadi penguraian yang diikuti penetrasi fenol ke

dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein (Purwantiningsih,

2014).
18

2.4.6 Tanin

Tanin merupakan penggambaran umum untuk golongan polimer fenolik,

dengan berat molekul antara 500 hingga 28.000 dan ditemukan pada bagian

tanaman kuncup, batang, daun, buah dan akar (Cowan, 1999). Tanin dibagi

menjadi 2 yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisa. Tanin terkondensasi

contohnya epigalokatekin (EGC), epikatekin (EC) dan katekin, sedangkan tanin

terhidrolisa contohnya (-)-epigalokatekin galat (EGCg) dan (-)-epikatekin galat

(EGg) (Harborne, 1996).

Tanin mempunyai aktivitas antibakteri melalui aksi molekulernya yaitu

membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen dan ikatan

hidrofobik (Cowan, 1999). Tanin dari daun teh (Camellia sinesis), mengandung (-

)-epigallocatechin gallate dan (-)-epicatechin gallate yang mempunyai aktivitas

antibakteri terhadap Multidrug-Resistent Stapylococcus aureus (MRSA), karena

senyawa tersebut dapat berikatan dengan peptidoglikan dinding sel bakteri dan

jika salah satu dari senyawa tersebut digabung dengan antibiotik β-Laktam

(pinisilin, ampisilin, metisilin) dapat menimbulkan efek sinergik yaitu bersama-

sama berikatan dengan peptidoglikan yang menyebabkan bakteri mati serta

senyawa EGCg atau EGg akan menghambat aktivitas enzim penisilinase yang

merupakan enzim perusak antibiotik β-Laktam, sehingga dapat melindungi

antibiotik β-Laktam dalam bekerja (Shimamura et al., 2007).

2.4.7 Saponin

Saponin dikenal sebagai sapogenin dan bentuk glikosidanya yang memiliki

aglikon berupa steroid dan titerpen. Glikosilasi biasanya terjadi pada posisi C-3.

Saponin adalah senyawa yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air
19

(karena sifatnya yang menyerupai sabun, maka dinamakan saponin). Busa yang

ditimbulkan saponin karena adanya kombinasi struktur senyawa penyusunnya

yaitu rantai sapogenin nonpolar dan rantai samping polar yang larut dalam air.

Saponin dapat menyebabkan hemolisis pada sel darah merah, dikarenakan saponin

dapat berikatan dengan kolesterol dari membran sel menyebabkan kerusakan

membran (Robinson, 1995).

Mekanisme saponin dalam ekstrak kasar jamur tiram putih (Pleurotus

ostreatus) sebagai antibakteri dengan menurunkan tegangan permukaan dinding

sel bakteri, hal ini dikarenakan saponin memiliki komponen aktif aglikon yang

bersifat membranolitik. Setelah tegangan permukaan dinding sel bakteri menurun,

zat antibakteri akan masuk ke dalam sel dan mengganggu metabolisme sel hingga

bakteri mati (Zahro, 2013).

2.5 Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroorganisme sebagai indikator

dalam menentukan suatu senyawa apakah memiliki aktivitas antibakteri atau

tidak. Adapun pengujian antibakteri dibagi menjadi dua, yaitu :

2.5.1 Metode difusi (Pratiwi, 2008)

a. Metode disc diffusion

Metode disc diffusion, merupakan metode yang digunakan untuk menentukan

aktivitas antibakteri. Pada metode ini, agen antibakteri dimasukkan ke dalam

media agar yang sudah ditanami oleh mikroorganisme, selanjutnya agen

antibakteri akan mengalami difusi pada media agar. Kemudian diidentifikasi

adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme, dengan mengukur zona bening

yang dihasilkan.
20

b. Metode E-test

Metode E-test adalah metode yang digunakan untuk menentukan KHM

(Konsentrasi Hambat Minimum) pada pertumbuhan mikroorganisme. Pada

metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antibakteri dari

konsentrasi terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media yang

sudah ditanami mikroorganisme. Zona bening yang dihasilkan, menunjukkan

adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme.

c. Metode ditch-plate technique

Pada metode ditch-plate technique, agen antibakteri diletakkan pada parit

yang dibuat dengan cara memotong media agar pada bagian tengah secara

membujur, selanjutnya mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah

parit yang terdapat agen antibakteri.

d. Metode cup-plate technique

Merupakan metode yang serupa dengan disc diffusion, namun pada metode

ini dibuatkan sumur pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme.

Selanjutnya pada sumur tersebut, diberi agen antibakteri yang akan diuji.

e. Metode gradient plate technique

Pada metode gradient plate technique berbagai konsentrasi agen antibakteri

dari terendah hingga tertinggi dicampur dengan media agar, lalu dimasukan ke

dalam cawan petri dan diletakan dalam posisi miring. Kemudian ditambahkan

nutrisi dan diinkubasi selama 24 jam agar terjadinya difusi. Selanjutnya

dimasukan mikroba uji (maksimum 6 macam) yang digoreskan dari konsentrasi

tinggi ke konsentrasi rendah. Hasil yang didapat berupa panjang total


21

pertumbuhan mikroorganisme dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil

goresan. Maka konsentrasi hambat dapat ditentukan menggunakan rumus :

X.Y
=
C

yang mana :

X : panjang total pertumbuhan mikroorganisme

Y : panjang pertumbuhan hasil goresan

C : konsentrasi agen antibakteri pada total volume media (mg/mL atau µg/mL)

2.5.2 Metode dilusi (Pratiwi, 2008)

a. Metode dilusi cair / broth dilution test

Merupakan metode yang digunakan untuk mengukur KHM (Konsentrasi

Hambat Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum). Mekanisme

pengujian pada metode dilusi cair dengan cara membuat beberapa seri

pengenceran agen antibakteri pada medium cair yang dicampur dengan mikroba

uji. Larutan uji yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba pada

konsentrasi terendah ditetapkan sebagai KHM. Selanjutnya dikultur ulang tampa

penambahan mikroba uji atau agen antibakteri dan diinkubasi selama 18 – 24 jam.

Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KMB.

b. Metode dilusi padat / solid dilution test

Merupakan metode yang serupa dengan metode dilusi cair, namun pada

metode ini digunakan media padat (solid) pada mekanisme pengujiannya.

Keuntungan metode ini adalah pada konsentrasi tertentu, agen antibakteri yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.


22

2.6 Metode Identifikasi

2.6.1 Spektrometri Massa

Dalam spektrometri massa, molekul-molekul organik ditembak dengan

berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang bertenaga

tinggi (ion-ion molekuler atau ion-ion induk), yang dapat pecah menjadi ion-ion

yang lebih kecil (ion-ion pecahan atau ion-ion anak). Lepasnya elektron dari

molekul menghasilkan radikal kation dan proses ini dapat dinyatakan sebagai

M→M+. Ion molekuler M+ biasanya terurai menjadi sepasang pecahan/fragmen,

yang dapat berupa ion pecahan dan radikal kation (Sastrohamidjojo, 2001).

M+ → m1+ + m2

Ion-ion molekuler, ion-ion pecahan dan ion-ion radikal pecahan dipisahkan

oleh pembelokan dalam medan magnetik yang dapat berubah sesuai dengan massa

dan muatan mereka, dan menimbulkan arus (arus ion) pada kolektor yang

sebanding dengan limpahan relatif lawan perbandingan massa/muatan (m/z).

Partikel-partikel netral yang dihasilkan dalam pemecahan/fragmentasi, yaitu

molekul tak bermuatan (m2) atau radikal (m.2) tidak dapat dideteksi dalam

spektrometer massa (Sastrohamidjojo, 2001).

Proses kerja alat kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS) dimulai dari

sampel yang berbentuk cairan disuntikkan ke dalam ruang injeksi dengan jarum

injeksi melalui klep khusus. Kemudian sampel akan terbawa oleh gas pembawa

melalui kolom dan di dalam kolom, sampel akan dipisahkan satu dengan yang

lainnya. Setelah masing-masing komponen sampel terpisah, maka setiap

komponen masuk ke ruang pengionan alat spektrometer massa. Pada ruang

pengionan ini komponen-komponen sampel ditembak oleh elektron berenergi


23

tinggi sehingga terbentuk ion positif. Ion-ion positif dari masing-masing

komponen akan dikirim ke detektor berdasarkan massanya dan dicatat dalam

rekorder berupa spektrum massa (McLafferty, 1998).

Anda mungkin juga menyukai