Anda di halaman 1dari 49

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa

yaitu sekitar 40.000 jenis tumbuhan dan jumlah tersebut sekitar 1300

diantaranya digunakan sebagai obat tradisional dapat dikembangkan secara

luas (Rustam, et al., 2007). Indonesia merupakan negara yang kaya akan

sumber daya alam hayati dan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang

terdapat diseluruh wilayah Nusantara. Kekayaan alam ini harus dilindungi dan

dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan

dimasa yang akan datang. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan,yang mana salah

satu fungsinya ialah sebagai sumber vitamin ( Sriastuti, et al., 2018 ).

Vitamin merupakan nutrien organic yang dibutuhkan dalam jumlah

kecil untuk berbagai fungsi biokimiawi dan yang umumnya tidak disintesis

oleh tubuh sehingga harus dipasok dari makanan ( Triana, 2006 ). Salah satu

vitamin yang esensial bagi tubuh ialah vitamin A. Dalam tubuh, vitamin A

berfungsi sebagai pembantu pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan mata

kesehatan kulit dan selaput lendir untuk perlindungan terhadap infeksi serta

membantu perkembangan yang normal dari tulang dan gigi (Setijahartini

1985).

Beta karoten merupakan zat provitamin A dalam bentuk pigmen Pada

berwarna kuning beta karoten, yang terdiri atas dua molekul retinal yang

dihubungkan pada ujung aldehid rantai karbonnya. Tetapi karena beta karoten
tidak mengalami metabolisme yang efisien, maka beta karoten mempunyai

efektifitas sebagai sumber vitamin A hanya sepersepuluh retinal ( Triana,

2006 ).

Beta karoten adalah jenis pigmen yang ditemukan dalam tanaman

terutama wortel dan sayuran berwarna hijau. Beta karoten juga digunakan

sebagai zat pewarna untuk makanan seperti margarin. Beta karoten juga dapat

dikonversi menjadi vitamin A (retinol) oleh tubuh. Sementara sejumlah besar

vitamin A dalam bentuk suplemen dapat menjadi racun, tubuh akan

mengkonversi hanya lebih banyak vitamin A dari beta karoten karena

kebutuhan. Itu berarti beta karoten dianggap sebagai sumber vitamin A yang

aman (Nururrahmah dan Wiwied, 2013 ).

Bahan pangan nabati, yaitu sayuran dan buah-buahan merupakan

sumber pro-vitamin A (beta-karoten). Makin tua warnanya (orange, kuning

hijau), makin tinggi kandungan beta karotennya (Muchtadi, 2008). Beta-

karoten banyak terdapat di berbagai tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan

seperti pisang, semangka kuning, cerry, tomat wortel labu, pepaya dan lain-

lain (Subroto, 2008).

Pepaya merupakan salah satu buah tropika unggulan Indonesia untuk

ekspor maupun konsumsi dalam negeri. Buah ini untuk perdagangan termasuk

buah yang menduduki tempat penting. (Paramastri dan Anindha, 2011).

Pepaya kaya akan gizi, seperti beta karoten, provitamin C, vitamin B, likopen,

mineral dan serat makanan ( Kurnia, 2018 ). Pepaya terdiri dari beberapa

varietas diantaranya yaitu, pepaya semangka, pepaya jingo, dan pepaya


cibinong. Selain itu dikenal juga varietas pepaya mas, pepaya item, dan

pepaya ijo. Belakangan mulai pula banyak ditanam pepaya Thailand, pepaya

meksiko, dan pepaya solo ( Baga, 1996 ). Di dalam buah pepaya mengandung

vitamin C sebesar 70,2 mg/100 g berat pepaya dan kandungan betakaroten

sebesar 20,722 μg/100 g berat papaya ( Marelli, et al., 2008 ).

Beta karoten tidak hanya terdapat pada buah pepaya tetapi juga

terdapat pada daunya. Ekstrak daun pepaya mengandung triterpenoid

mikronutrien di antaranya vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B12, Beta

karoten, mineral (Mg, Ca, K, Zn, Mn, Fe) ( Suresh, et al., 2008 ). Semua

vitamin dan mineral yang terdapat pada daun pepaya tentunya berguna bagi

kesehatan tubuh manusia. Daun pepaya mempunyai banyak manfaat seperti

meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan kesehatan tubuh ( Muharlien

dan Ani, 2015 ). Selain itu, Enzim papain pada daun pepaya memiliki sifat

sebagai antimikrobial yang dapat menghambat kinerja beberapa

mikroorganisme, dan beta karoten pada daun pepaya dapat berfungsi sebagai

antioksidan (Sutarpa dan Sutama 2008).

Berdasarkan hal diatas, maka perlu dilakukan penelitian kandungan

beta karoten dari beberapa varietas daun pepaya (Carica pepaya L.) yaitu,

daun pepaya semangka daun pepaya jinggo dan daun pepaya Bangkok. Hal ini

berguna untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kandungan beta karoten

yang disebabkan karena perbedaan varietas dari daun pepaya tersebut. Selain

itu analisis beta karoten baru dilakukan terhadap buah pepaya, padahal pada

daun pepaya juga terdapat berbagai macam vitamin yang dibutuhkan oleh
tubuh. Salah satunya ialah vitamin A, dimana provitamin A itu ialah beta

karoten. Sehingga peneliti terarik untuk melakukan penelitian beta karoten

terhadap daun pepaya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Adakah perbedaan kandungan beta karoten pada masing-masing

varietas daun pepaya ( Carica papaya L. )

2. Berapa banyak kandungan beta karoten pada masing-masing

varietas daun pepaya ( Carica papay L. ) tersebut

1.3 Tujuan Penilitian

1. Untuk mengetahui ada atau tidak nya perbedaan kandungan beta

karoten terhadap beberapa varietas daun pepaya yang berbeda

2. Untuk mengetahui berapa banyak kandungan beta karoten pada

masing-masing varietas daun pepaya (Carica pepaya L.)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan

terutama di bidang farmasi.

2. Bagi masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat akan kandungan beta

karoten pada daun pepaya yang dapat mencegah salah satu masalah

defisiensi zat gizi di Indonesia yaitu kekurangan Vitamin A.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Botani Tanaman Pepaya

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Pepaya

Tanaman pepaya dalam sistem klasifikasi menurut Rukmana, (1995)

adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiosperma

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Caricales

Family : Caricaceae

Spesies : Carica pepaya L.

Gambar 1. Tanaman Pepaya (google.co.id)


2.1.2 Morfologi Tanaman Pepaya

Pepaya ( Carica pepaya L. ) merupakan tanaman yang berasal dari

Amerika Tropis. Pusat penyebaran tanaman diduga berada di daerah sekitar

Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Bersama pelayar-pelayar bangsa

portugis di abad ke-16, tanaman ini turut menyebar keberbagai benua dan

Negara, termasuk ke benua afrika dan Asia serta negara india. Dari india

tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis lainnya, termasuk Indonesia

dan pulau-pulau di Lautan Pasifik di abad ke-17. Di Indonesia, tanaman

pepaya umumnya tumbuh menyebar dari daerah rendah sampai dataran tinggi

yaitu sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut ( Baga, 1996 ).

Dalam klasifikasi tanaman, pepaya termasuk dalam famili Caricaceae.

Famili ini memiliki empat genus, yaitu Carica, Jarilla, Jacaranta, dan

Cylicomorpha. Ketiga genus pertama merupakan tanaman yang berasal dari

Afrika. Genus Carica memiliki 24 spesies, salah satu diantarnya adalah

pepaya. Tanaman dari genus Carica banyak diusahakan petani karena buahnya

enak dimakan. Genus lainnya hanya lazim untuk dinikmati keindahan

habitusnya ( Baga, 1996 ).

Pepaya merupakan tanaman herba. Batangnya berongga, biasanya

tidak bercabang, dan tingginya dapat mencapai 10 m. Daunnya merupakan

daun tunggal, berukuran besar, dan bercangap ( Baga, 1996 ). Daun-daunnya

tersusun spiral berkelompok dekat dengan ujung batang. Tangkai daun dapat

mencapai 1m, berongga dan bewarna kehijauan, merah jambu kekuningan dan

keunguan. Helaian daunnya berdiameter 25-27 cm, bercuping 7-11, menjari


kadang-kadang ada yang tidak menjari, serta tidak berbulu ( Sujiprihati dan

Ketty, 2009 ). Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu bunga jantan bunga

betina, dan bunga sempurna ( Baga, 1996 ). Buah pepaya umumnya berkulit

tipis, halus, serta bewarna kekuning-kuningan atau jingga ketika matang.

Daging buah yang bewarna kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga

merah memiliki rasa yang manis dengan aroma yang lembut dan sedap

( Sriani dan Ketty, 2009 ). Pertumbuhan tanaman pepaya termasuk cepat

antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen

( Baga, 1996 ).

Bunga pepaya termasuk bunga majemuk yang terusun pada sebuah

tangkai atau poros bunga ( pedunculus ). Kelompok bunga majemuk tersebut

disebut infloresensia yang duduk pada ketiak daun. Tanaman pepaya memiliki

tiga jenis bunga, yaitu bunga jantan ( masculus ), bunga betina ( femineus )

dan bunga sempurna ( hermaprodit ). Bunga jantan adalah bunga yang hanya

memiliki benang sari saja, sedangkan bunga betina hanya memiliki putik saja.

Kedua jenis bunga tersebut disebut bunga berjenis kelamin satu atau

uniseksual. Jenis bunga yang memiliki putik dan benang sari disebut sebagai

bunga sempurna. Oleh karena memiliki dua kelamin, bunga sempurna

termasuk bunga biseksual ( Baga, 1996 ).

Bunga jantan berbentuk tabung ramping dengan panjang kira-kira 2,5

cm. Corolla ( mahkota bunga ) terdiri dari lima helai dan berukuran kecil-

kecil. Stamen ( benang sari ) berjumlah 10 yang tersusun menjadi dua lapis

dan melekat pada leher tabung. Lapis sebelah dalam terdiri dari lima benang
sari yang melekat antara daun mahkota. Ovarium ( bakal buah ) mengalami

rudimenter sehingga tidak akan menghasilkan buah ( Baga, 1996 ).

Bunga betina berukuran agak besar dan memiliki bakal buah yang

berbentuk bulat sehingga akan menghasilkan buah yang berbentuk bulat juga.

Jenis bunga ini mempunyai lima buah pistillum ( putik ). Adanya putik ini

membentuk alur atau garis pada buah. Meskipun buah berbentuk bulat, alur

atau garis putik ini tampak membekas juga. Mahkota bunga terdiri dari lima

helai daun mahkota yang melekat dibagian dasar bunga ( Baga, 1996 ).

Bunga sempurna memiliki putik dengan bakal buah dan benang sari.

Saat muncul sampai mekar berlangsung 45-47 hari. Bunga betina dan bunga

jantan mekar penuh antara 06.00-08.00 pagi, sedangkan bunga sempurna

mekarnya lebih lama, yaitu antara 08.00-10.00 pagi ( Baga, 1996 ).

Gambar 2. Tiga jenis bunga pepaya. A1-A2. bunga jantan B1-B2.

Bunga sempura, C1-C2. Bunga betina ( Indriyani, et al., 2008 ).


2.1.3 Varietas Tanaman Pepaya

( Baga, 2008 ) Varietas pepaya lebih banyak dikenal dari bentuk,

ukuran, warna, rasa, dan tekstur buahnya. Dari parameter tersebut maka

dikenal buah pepaya yang berukuran besar atau kecil, berbentuk bulat atau

lonjong, daging buah bewarna merah atau kuning, keras atau lunak berair,

rasanya manis atau kurang manis, dan kulit buah licin menarik atau kasar

tebal. Berat buah pepaya berkisar antara 0,5-9 kg. Di Indonesia varietas

pepaya yang banyak ditanam adalah pepaya semangka, pepaya jinggo dan

pepaya cibinong. Selain itu, dikenal juga varietas pepaya mas, pepaya item,

dan pepaya ijo. Belakangan mulai banyak ditanam pepaya Thailand, pepaya

meksiko, dan pepaya solo. Secara umum konsumen di Indonesia lebih

menyukai pepaya dengan daging buah bewarna jingga sampai merah. Pepaya

dengan daging buah bewarna kuning kurang disenangi sehingga varietas

pepaya ini kurang berkembang.

a. Pepaya semangka

Pepaya semangka merupakan varietas introduksi dari kaledonia baru yang

masuk ke Indonesia pada tahun 1930. Di tempat asalnya varietas ini dikenal

dengan nama annabone. Pada awalnya, introduksi varietas ini ditujukan

khusus sebagai buah pepaya untuk diproduksi papainnya. Namun, dalam

perkembangan varietas ini menjadi buah meja yang sangat popular dan

disukai. Daging buahnya bewarna merah seperti warna buah semangka,

rasanya manis, dan berair banyak. Bila telah masak kulit buah nya bewarna
kuning licin dan terlihat menarik. Bentuk buahnya bewarna kuning lonjong

berputing dengan berat buah kurang lebih 1kg/buah.

b. Pepaya jinggo

Pepaya jinggo mirip dengan varietas pepaya semangka. Daging buahnya

bewarna merah dan berair banyak, tetapi rasanya masih kalah manis

dibandingkan pepaya semangka. Kulit buahnya bewarna kuning dengan

bercak samar bewarna kelabu. Berat buah lebih kurang 1,5 kg/buah.

c. Pepaya Bangkok

Varietas pepaya Bangkok dikenal juga dengan nama pepaya thailand. Kulit

luarnya mirip pepaya cibinong, yaitu kasar dan tidak rata atau berbenjol-

benjol. Demikian juga cara masak nya yang dimulai dari ujung buah. Sedikit

yang membedakannya adalah pepaya Bangkok ini bentuk nya lebih bulat dan

lebih besar dibandingkan pepaya cibinong. Daging buah bewarna jingga

bersemu merah dank eras. Berat buah lebih kurang 3,5 kg.

d. Pepaya cibinong

Bentuk dan ukuran pepaya cibinong jauh berbeda dengan kedua varietas

pepaya diatas. Bentuk buahnya panjang besar dan lancip pada bagian

ujungnya. Jelasnya bentuk buah ini membesar dari pangkal ke bagian tengah

kemudian melancip dibagian ujung buah. Tangkai buahnya panjang, kulit

buahnya kasar dan tidak rata. Buah masak dari bagian ujung sedangkan bagian

pangkal tetap bewarna hijau dan lama untuk berubah menjadi kuning. Daging

buah berwama merah kekuningan, rasanya kurang manis, dan teksturnya agak
kasar serta lebih keras dibandigkan kedua varietas pepaya di atas. Berat

varietas pepaya ini kurang lebih 2,5 kg/buah.

e. Pepaya meksiko

Pepaya meksiko merupakan suatu varietas hasil silangan pepaya solo dan

hawaii. Kemungkinan varietas pepaya ini didatangkan ke Indonesia melalui

Meksiko. Bentuk buahnya mirip alpukat, yaitu bulat berleher. Beratnya

kurang lebih 3,5 kg/buah. Daging buah berwarna kuning, beraroma, dan

rasanya manis. Varietas pepaya ini tergolong tahan angkutan.

f. Pepaya solo

Di pasar Jakarta dan kota-kota besar lainnya kini tampak dijual pepaya

varietas solo, suatu varietas khas Hawaii. Kata solo berarti satu atau tunggal;

berarti buah cukup untuk dimakan sendiri. Varietas ini memiliki banyak

strain, di antaranya kapoho, masumoto solo, sunrise solo. Sifat khas varietas

ini adalah ukuran buahnya kecil dan bentuknya bentuknya mirip buah alpukat

berleher. Berat buah antara 0,4-1 kg/buah. Konsumen lebih menyukai buah

pepaya ini dengan berat 0,5 kg. Daging buah berwarna kuning, bera roma, dan

rasanya manis. Selain berdaging buah kuning, ada juga strain pepaya solo

yang daging buahnya berwarna merah.

g. Pepaya mas

Varietas ini mudah dikenal karena buahnya, baik mentah maupun masak,

berwarna kuning. Demikian pula tangkai daunnya. Daging buah berwarna

kuning, manis, dan rasanya ada kemiripan dengan buah mangga. Daging buah

bagian luar terasa agak keras dan liat. Buah sempurna berbentuk lonjong dan
buah betina berbentuk bulat. Saat ini, pepaya mas juga sudah sulit ditemukan

lagi.

h. Pepaya ljo

Dinamakan varietas ijo karena buah pepaya ini setelah masak tetap

berwarma hijau. Daging buahnya kuning, kurang manis (terasa agak tawar),

tetapi aromanya harum. Buah elongata dari pohon sempurna sering disebut

pepaya ijo panjang, sedangkan buah bulat dari pohon betina disebut pepaya ijo

bulat. Seperti halnya pepaya item, saat ini pepaya ijo juga sudah sulit dite-

mukan.

2.1.4 Kandungan Kimia Daun Pepaya

Daun pepaya (Carica pepaya L.) merupakan salah satu sumber

antioksidan yang telah terbukti mengandung senyawa α-tokoferol, asam

askorbat, dan flavonoid. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh

Maisarah (2013) diketahui bahwa aktivitas antioksidan ekstrak metanol

C. Pepaya L. yaitu daun muda (7,8 ± 0,006 mg/mL), buah mentah (4,3 ± 0,01

mg/mL), buah matang (6,5 ± 0,01 mg/mL), dan biji ( 1,0 ± 0,08 mg/mL ).

Daun pepaya merupakan tanaman obat-obatan karena mengandung

senyawa alkaloida dan enzim proteolitik, papain, khimopapain dan

lisozim,yang berguna pada proses pencernaan dan mempermudah kerja usus

(Kamaruddin dan Salim, 2003). Papain juga berfungsi membantu pengaturan

asam amino dan membantu mengeluarkan racun dari dalam tubuh (Sharma

dan Ogbeide, 1991). Daun pepaya juga mengandung β karoten yang berfungsi

sebagai pro vitamin A dan dapat digunakan sebagai sumber Xantophyl alami
(Dep. Kes RI, 1991). Selain itu daun pepaya mengandung vitamin C sebanyak

140 mg, vitamin E : 136 mg, Vitamin B1: 0,15, Kalsium 35 gram, Phosfor 63

mg dan zat besi yaitu 0,80 mg (USDA, 2001 ).

Daun pepaya banyak mengandung substansi penting untuk tubuh

diantaranya vitamin C dan E, serta beta karoten yang berfungsi sebagai

antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas hasil fagositosis neutrofil

terhadap debris dan bakteri pada proses penyembuhan luka. Papain membantu

mempercepat kerja makrofag dengan cara meningkatkan produksi interleukin

yang sangat berguna untuk proses penyembuhan luka serta menghambat

terjadinya infeksi yang luas ( Gohlil, et al., 2008 ).

(Anjum et al., 2013) daun pepaya juga mengandung flavonoid

(kaempferol, manghaslin, dan klitorin), saponin, alkaloid (karpain

pseudokarpain, dan dehidrokarpain I dan II), glikosida, fenol (asam ferulik

asam kafeik, dan asam klorogenik) dan enzim papain.

2.1.5 Kegunaan Daun Pepaya

Khasiat daun pepaya bagi kesehatan memang sudah tidak bisa

diragukan lagi, khususnya bagi kalangan penggemar jamu tradisional. Dibalik

rasanya yang pahit, daun pepaya berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis

penyakit seperti meredakan nyeri haid pada kaum hawa. Daun pepaya juga

berkhasiat untuk mengobati jerawat, melancarkan pencernaan, menambah

nafsu makan, serta mengobati demam berdarah. Bahkan beberapa penilitian


telah mengungkapkan khasiat daun pepaya sebagai antikanker ( Mardiana,

2012 ).

Penilitian kandungan daun pepaya telah dilakukan oleh beberapa

peniliti di dunia. Rata-rata hasil penilitian tersebut menegaskan bahwa zat-zat

yang terkandung dalam daun pepaya dapat melawan berbagai penyakit

didalam tubuh. Salah satu riset yang paling mencengangkan adalah yang

dilakukan oleh para peniliti dari Universitas Florida. Dari hasil riset tersebut

diketahui bahwa daun pepaya berkhasiat melawan berbagai sel kanker dalam

tubuh, antara lain kanker payudara, serviks, hati, paru-paru dan pancreas.

Kandungan dalam daun pepaya yang berkhasiat melawan sel kanker dalam

tubuh adalah sitokin. Zat sitokin dalam daun pepaya bermanfaat memperkuat

sistem kekebalan tubuh manusia untuk melawan berbagai sel kanker tersebut

( Mardiana, 2012 ).

Kandungan zat-zat lain dalam daun pepaya juga terbukti mampu

menghambat berkembangnya virus dalam tubuh manusia, salah satunya virus

demam berdarah dengue ( DBD ). Zat-zat tersebut antara lain senyawa

alkaloid carpaine, papain, saponin, violaksantin, tannin dan caricaksantin.

Disamping itu, daun pepaya juga mengandung enzim-enzim seperti papain,

nikotin, miosmin, pseudokarpin, kontinin dan karpain. Adanya kombinasi dari

zat-zat tersebut akan melemahkan dan membunuh virus DBD. Hal ini akan

meningkatkan jumlah trombosit dalam darah. Bila sudah demikian, perlahan

tapi pasti akan sembuh dari penyakit DBD ( Mardiana, 2012 ).


Bagi perempuan, ternyata daun pepaya bermanfaat lebih dari sekedar

member vitamin dan mineral. Menurut penilitian, perasaan daun pepaya

dihaluskan, direbus, dan diminum bias menyembuhkan aneka ganggua

kewanitaan seperti keputihan, demam akibat nifas, ketidakteraturan haid, dan

bias melancarkan air susu ibu ( Mardiana, 2012 ).

Daun pepaya yang mengandung saponin sudah lama dikenal sebagai

obat tradisional untuk mengobati luka bakar maupun luka iris. Di daerah

Sulawesi Tengah cara ini sering digunakan, dimana daun pepaya yang tua

diambil dan dirajang kemudian dibalur di tempat luka tersebut. Namun sejauh

ini penelitian terhadap manfaat tanaman obat tersebut belum dibuktikan secara

ilmiah. Daun pepaya adalah salah satu tanaman yang mengandung saponin

yang merupakan salah satu senyawa yang memacu pembentukan kolagen

yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka.

Senyawa ini merupakan senyawa flavonoid yang larut dalam air serta dapat

diekstrakkan menggunakan etanol 70% ( Muhlisah, 2001 ).

Daun pepaya banyak mengandung substansi penting untuk tubuh

diantaranya vitamin C dan E, serta beta karoten yang berfungsi sebagai

antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas hasil fagositosis neutrofil

terhadap debris dan bakteri pada proses penyembuhan luka. Papain membantu

mempercepat kerja makrofag dengan cara meningkatkan produksi interleukin

yang sangat berguna untuk proses penyembuhan luka serta menghambat

terjadinya infeksi yang luas ( Gohlil, et, al, 2007 ).


Dari banyak hijauan, tanaman pepaya (Carica pepaya L.) merupakan

alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas telur. Daun

pepaya merupakan tanaman obat-obatan karena mengandung senyawa

alkaloida dan enzim proteolitik, papain, khimopapain dan lisozim,yang

berguna pada proses pencernaan dan mempermudah kerja usus (Kamaruddin

dan Salim, 2003). Papain juga berfungsi membantu pengaturan asam amino

dan membantu mengeluarkan racun dari dalam tubuh (Sharma dan Ogbeide

1991). Selain itu daun pepaya jika dijadikan bahan pakan unggas kandungan

serat kasar tinggi, walaupun kehadirannya diperlukan sebagai “bulk” dan

mencegah penggumpalan makanan dalam lambung (Juju Wahyu, 1997).

Daun pepaya berguna untuk obat panas yang memiliki khasiat

menurunkan panas, obat malaria, menambah nafsu makan, meluruhkan haid

dan menghilangkan sakit. Juga berguna untuk penyembuhan luka bakar.

Selain itu dapat sebagai obat cacing kremi, desentri amoba, kaki gajah

(elephantois), kejengkolan, perut mulas, kanker dan masuk angin

(Wijayakusuma, et al., 1994).

2.2 Tinjauan Beta Karoten

2.2.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat yang berkhasiat atau zat-zat dari

bagian tanaman obat, hewan dan beberapa biota laut. Zat-zat aktif tersebut

terdapat didalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda pula dengan
ketebalanya, sehingga diperlukan dengan metode ekstraksi dan pelarut terentu

dalam mengekstraksinya (Harborne, J.B, 1987).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati dan simlisia nabati menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semuaatau hampir semua pelarut diuapkan dan massa serbuk

yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan adapun mekanisme ekstraksi yaitu pelarut organik akan menembus

dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat

aktif akan melarut dalam pelarut organik tersebut sehingga terjadi perbedaan

kosentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dan pelarut organik di luar sel,

maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang

terus sampai terjadi kesetimbangan antara kosentrasi cairan zat aktif dalam

dan luar sel (Harborne, 1987).

2.2.2 Pelarut-pelarut dalam Ekstraksi Karotenoid

Adapun pelarut-pelarut yang digunakan dalam ekstraksi karotenoid

adalah metanol atau aseton dan setelah disaring karotenoid diekstraksi dengan

eter (Harborne, 1987).

2.2.3 Metode-metoda Ekstraksi

2.2.3.1 Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut

1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar).

b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru hingga

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini

terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada

residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna.

b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

d. Infus
lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96- 98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur 30°C

sampai titik didih air.

2.2.2 Analisis beta karoten

Analisis beta karoten dapat dilakukan dengan menggunakan 2 cara

yaitu, analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif berkaitan

dengan identtifikasi zat-zat kimia, mengenali unsur atau senyawa apa yang

ada dalam satu sampel. Sedangkan analisa kuantitaif ialah analis yang

berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat yang terkandung dalam

suatu sampel. Zat yang ditetapkan tersebut yang seringkali dinyatakan

konstituen atau analit ( R.A Day, Jr dan A.L underwood, 2002 ).

2.2.3 Karotenoid dan Beta Karoten


Karotenoid merupakan antioksidan non-enzimatis yang banyak

ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran. Karotenoid tersusun atas Beta

karoten, likopen, lutein, zeaxanthin dan cryptoxanthin (Winarsih, 2007).

Karotenoid merupakan tetraterpenoid (C40), golongan pigmen yang

larut lemak dan tersebar luas, terdapat hampir di semua jenis tumbuhan, mulai

dari bakteri sederhana sampai compositae yang berbunga kuning. Pada

tumbuhan, karotenoid mempunyai dua fungsi yaitu sebagai figmen pembantu

dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah (buah palsu

mawar, tomat dan cabe capsium) (Harborne, 1996).

Karotenoid sebagai pigmen alami tumbuhan yang menghasilkan warna

merah, kuning, orange, dan hijau tua pada buah dan sayuran. Warna-warna

terlihat pada buah dan sayuran disebabkan oleh adanya ikatan rangkap dua

terkonjugasi dari karotenoid yang menyerap cahaya (Hock-Eng, dkk., 2011).

Semakin banyak ikatan ganda terkonjugasi, maka makin pekat warna pada

karotenoid tersebut yang mengarah ke warna merah (Heriyanto, 2009).

Karoten merupakan golongan pigmen yang larut dalam lipid sehingga

disebut pigmen-pigmen lipokrom yang tersebar luas dalam tanaman dan

hewan. Karotenoid merupakan pigmen yang berwarna kuning, jingga atau

merah yang warnanya disebabkan oleh sejumlah besar ikatan rangkap

terkonjugasi. Karotenoid terdiri dari dua kelompok hidrokarbon dan kelompok


xantofil yang merupakan derivate oksigenasi dari karoten yang tersusun atas

alkohol, aldehid, keton, epoksida dan asam (Harborne, 1987).

Karoten yang terkenal adalah hidrokarbon tak jenuh turunan likopen

yang berupa rantai panjang yang terdiri dari delapan satuan isoprene,

merangkai dari kepala sampai ekor sehingga terbentuk sistem ikatan

terkonjugasi lengkap. Rangkaian ini merupakan cincin likopen pada salah satu

ujung menghasilkan γ-karoten. Sedangkan bila cincin terjadi pada kedua

ujungnya terbentuklah hidrokarbon trisiklik, yaitu Beta karoten. Isomer

(misalnya α dan γ-karoten) hanya berbeda pada letak ikatan rangkapnya dalam

satuan ujung siklik (Ikan, 1997).

Saat ini terdapat lebih dari 300 karotenoid yang telah diketahui, yang

paling umum terdapat pada tumbuhan tinggi hanya sedikit, kemungkinan

terbesar adalah ßkaroten (Harborne, 1996). Struktur kimia senyawa beta

karotenterlihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 3. Struktur kimia Beta karoten (google.co.id)

Rumus : C40H56

Nama IUPAC : beta, beta-Carotene


Massa molar : 536,8726 g/mol

Titik didih : 633°C

Kepadatan : 940 kg/m3

Titik lebur : 180°C

Beta karoten merupakan salah satu dari 600 komponen karotenoid

yang banyak ditemukan dalam tanaman. Beta karoten biasanya digunakan

sebagai suplemen nutrisi maupun prekursor vitamin A. Salah satu peran Beta

karoten adalah meningkatkan efikasi kemoterapi dan radiasi pada kultur sel

kanker manusia. Banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran dengan

kandungan Beta karoten tinggi memiliki resiko rendah terkena berbagai jenis

kanker dan penyakit kardiovaskuler (Winarsih, 2007). Beta karoten dapat larut

dalam lemak, tidak larut dalam air, mudah rusak karena teroksidasi pada suhu

tinggi. Beta karoten dapat dipercaya dapat menurunkan risiko penyakit

jantung dan kanker. Beta karoten banyak terdapat di aprikot, tomat, mangga,

wortel dan pepaya. Konsumsi beta karoten sebanyak 50 mg tiap hari dalam

menu makanan dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung (Kosasih

and Setiabudi, 2004).

Beta karoten juga memiliki kemampuan untuk memproteksi sel

normal dari sel mutan (yang telah mengalami perubahan) pemicu

pertumbuhan kanker. Mekanisme yang ditempuh betakaroten adalah dengan

mendepresi gen yang menjadi “tumor maker”. Beta karoten memiliki unsur

penting penangkal radikal bebas yang merusak jaringan tubuh. Dengan


demikian, kalau konsumsi beta karoten itu cukup maka resiko terkena

serangan jantung dan penyakit sistem kardiovaskuler lainnya dapat

diminimalkan (Listya, 2010)

Potensi Beta karoten sebagai prekursor vitamin A dalam

mempertahankan kesehatan mata dan integritas membran sel menjadikan

senyawa ini bersifat vital bagi tubuh. Sejumlah karotenoid berperan sebagai

prekursor retinol dan retinoid, yang penting untuk kesehatan manusia,

termasuk di dalamnya untuk mencegah serangan oksidasi melalui potensinya

sebagai peredam oksidasi singlet (Gunawan, 2007 ).

2.2.4 Fungsi dan Aktivitas Farmakologi Beta Karoten

Karotenoid menghambat pertumbuhan beberapa sel kanker yang

memperberat sel kanker prostat, termasuk melanoma, paru-paru, payudara dan

sel kanker leukimia. Beta karoten mampu mecegah kerusakan sel normal

menjadi ganas, dengan cara meningkatkan keutuhan sel-sel normal dan

mengubah sel-sel kanker bertindak seperti halnya sel normal. Antioksidan

yang tidak larut dalam air ini berpotensi menjaga integritas membran sel

terhadap serangan oksidan, terutama melalui sifatnya yang dapat mengkelat

radikal bebas oksigen singlet (Winarsih, 2007).

Beta karoten banyak dikonsumsi sebagai suplemen karena memiliki

berbagai manfaat antara lain untuk kesehatan mata, mencegah penyakit

kanker, meningkatkan daya tahan tubuh melalui peningkatan komunikasi


antarsel, mengurangi risiko terjadinya stroke, dan memberikan efek analgetik

serta antiinflamasi (Astawan, 2008).

2.3 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

2.3.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode pemisahan

berdasarkan sifat fisis dimana campuran suatu senyawa didistribusikan antara

fase diam dan fase gerak. Prinsipnya berdasarkan proses perpindahan atau

pergeseran zat dengan kecepatan yang berbeda-beda (Sudjadi, 1998)

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan

adsorben bertindak sebagai fase diam. Empat macam absorben yang sering

digunakan atau umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina

(aluminium oxide), kieselguhr (diatomaceous earth), dan selulosa. Dari

keempat jenis adsorben yang paling banyak dipakai adalah silika gel dan

masing-masing terdiri dari beberapa jenis yang mempunyai nama

perdagangan bermacam-macam. Ada beberapa jenis silika gel yaitu silika gel

G, silika gel H, silika gel PF (Adnan, 1997).

Metode analisis kromatografi lapis tipis (KLT) telah menjadi bagian

dari teknik analisis rutin pada laboratorium analisis dan pengembangan

produk karena memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan utama metode

analisis kromatografi lapis tipis dibandingkan metode analisis kromatografi

cair kinerja tinggi adalah analisis beberapa sampel dapat dilakukan secara
simultan dengan menggunakan fase gerak dalam jumlah kecil sehingga lebih

hemat waktu dan biaya analisis serta lebih ramah lingkungan. Teknik

pemisahannya sederhana dengan peralatan yang minimal ( Wulandari 2011 ).

Kelebihan penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dibandingkan

dengan Kromatografi Kertas (KK) adalah karena dapat dihasilkan pemisahan

yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi dan dapat dilaksanakan

dengan cepat (Adnan, 1997).

Sistem kromatografi mempunyai kemampuan memisahkan campuran

bahan kimia dengan cara menghambat selektif perjalanan senyawa tertentu

melalui fase diam sedangkan senyawa lain dibiarkan terus berlalu, oleh karena

itu kromatogram dapat dievaluasi secara kualitatif dengan cara menentukan Rf

(Retordation factor) atau faktor penghambat untuk tiap bahan yang dielusi.

Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik

awal dan jarak antarmuka pelarut dari titik awal.

Jarak titik pusat bercak darititik awal


Rf =
Jarak garis depan darititik awal

Harga Rf dipengaruhi oleh faktor pelarut, bahan pengembang, jenis

dan ketebalan lapisan, suhu, kejenuhan ruangan akan pelarut, kelembaban

udara, konsentrasi senyawa asing dan pencemaran pelarut (Gritter, 1997).

2.3.2 Sejarah Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi kolom pertama kali ditemukan oleh ahli botani Rusia

Tswett pada tahun l903. Sekitar tahun l938 pemisahan pada lapisan tipis

ditemukan oleh Izmailov dan Shraiber, melalui teknik sederhana yang hanya

membutuhkan sampel dan sorben yang sedikit yaitu dengan memisahkan

ekstrak tanaman menggunakan aluminium oksida yang disebar pada lapisan

kaca. Sorben ditaruh pada objek glass mikroskop sebagai suatu lapisan

padatan yang berair dengan tebal sekitar 2 mm. Sampel (ekstrak tumbuh-

tumbuhan) diteteskan ke dalam lapisan, kemudian pelarut (metanol)

ditambahkan tetes demi tetes dari atas. Pada lapisan sorben diperoleh

serangkaian cincin melingkar berbentuk lapisan yang berbeda warna. Dari sini

lahirlah teknik baru KLT yang disebut drop kromatografi ( Lestyo Wulandari

2011 ).

2.3.3 Metode Pemisahan pada Kromatografi

( Lestyo Wulandari, 2011 ) Metode pemisahan pada kromatografi

sangat tergantung dari jenis fase diam yang digunakan. Jenis fase diam yang

digunakan menentukan interaksi yang terjadi antara analit dengan fase diam

dan fase gerak. Metode pemisahan pada kromatografi terbagi menjadi :

a. Pemisahan berdasarkan polaritas

Metode pemisahan berdasarkan polaritas, senyawa-senyawa terpisah

karena perbedaan polaritas. Afinitasanalit tehadap fase diam dan fase gerak

tergantung kedekatan polaritas analit terhadap fase diam dan fase gerak (like
dissolve like). Analit akan cenderung larut dalam fase dengan polaritas sama.

Analit akan berpartisi diantara dua fase yaitu fase padat-cair dan fase cair-cair.

Ketika analit berpartisi antara fase padat dan cair faktor utama pemisahan

adalah adsorbsi. Sedangkan bila analit berpartisi antara fase cair dan fase cair,

faktor utama pemisahan adalah kelarutan. Prinsip pemisahan dimana analit

terpisah karena afinitasterhadap fase padat dan fase cair biasadisebut dengan

adsorbs dan metode kromatografinya biasa disebut kromatografi adsorbsi.

Sedangkan prinsip pemisahan dimana analit terpisah karena afinitasterhadap

fase cair dan fase cair disebut dengan partisi dan metode kromatografinya

biasa disebut kromatografi cair.

b. Pemisahan berdasarkan muatan ion

Pemisahan berdasarkan muatan ion dipengaruhi oleh jumlah ionisasi

senyawa, pH lingkungan dan keberadaan ion lain. Pemisahan yang disebabkan

oleh kompetisi senyawa-senyawa dalam sampel dengan sisi resin yang

bermuatan sehingga terjadi penggabungan ion-ion dengan muatan yang

berlawanan disebut kromatografi penukar ion. Pemisahan yang terjadi karena

perbedaan arah dan kecepatan pergerakan senyawa-senyawa dalam sampel

karena perbedaan jenis dan intensitas muatan ion dalam medan listrik disebut

elektroforesis.

c. Pemisahan berdasarkan ukuran molekul

Ukuran molekul suatu senyawa mempengaruhi difusi senyawa-

senyawa melewati pori-pori fase diam. Pemisahan terjadi karena perbedaan


difusi senyawa-senyawa melewati pori-pori fase diam dengan ukuran pori-

pori yang bervariasi. Senyawa dengan ukuran molekul besar hanya berdifusi

kedalam pori-pori fase diam yangberukuran besar, sedangkan senyawa dengan

ukuran molekul kecil akan berdifusi ke dalam semua pori-pori fase diam

sehingga terjadi perbedaan kecepatan pergerakan molekul melewati fase diam.

Senyawa dengan ukuran molekul besar memiliki kecepatan yang lebih besar

dibanding senyawa dengan ukuran molekul kecil. Metode pemisahan ini biasa

disebut dengan kromatografi permeasi gel.

d. Pemisahan berdasarkan bentukan spesifik

Pemisahan senyawa berdasarkan bentukan yang spesifik melibatkan

ikatan kompleks yang spesifik antara senyawa sampel dengan fase diam.

Ikatan ini sangat selektif seperti ikatan antara antigen dan antibody atau ikatan

antara enzim dengan substrat. Pemisahan ini biasadisebut dengan kromatogafi

afinitas. Fase diam KLT dengan sorben yang memiliki bentukan spesifik

dengan selektifitas tinggi dalam bentuk lempeng siap pakai belum tersedia

dipasaran.

2.4 Spektrofotometer

2.4.1 Pengertian Spektrofotometri

Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari

spektrofotometer dan fotometer. Spektrofotometri menghasilkan sinar dan

spektrum dengan panjang gelombang dan fotometri adalah alat pengukur

intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometri


digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut

ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang

gelombang (Khopkar, 1990 )

Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis instrumental

yang menggunakan dasar interaksi energi dan materi. Spektrofotometri dapat

dipakai untuk menentukan konsentrasi suatu larutan melalui intensitas serapan

pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang dipakai adalah

panjang gelombang maksimum yang memberikan absorbansi maksimum.

Dalam analisis cara spektrofotometri terdapat tiga daerah panjang gelombang

elektromagnetik yang digunakan, yaitu daerah UV (200-380 nm), daerah

Visible (380-700 nm), daerah Inframerah (700-3000 nm). Salah satu prinsip

kerja spektrofotometri didasarkan pada fenomena penyerapan sinar oleh space

kimia tertentu didaerah ultra violet dan sinar tampak (visible). Sedangkan

peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer.

Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi

suatu larutan (Ayu, 2012).

Spektrofotometer terdiri dari beberapa jenis yaitu spektrofotometer

visible (sinar tampak), spektrofotometer UV (Ultra Violet), spektrometer

infra-merah, spektrofotometer resonansi magnet inti, spektrofotometer

serapan, spektrofotometer massa, dan spektrometer fluoresensi. Perbedaan

dari jenis spektrometer tersebut terletak pada sumber cahaya atau sampel yang

disesuaikan dengan apa yang akan diteliti (Agustina Ayu, 2012).


Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis yang

berdasarkan pada hasil interaksi atom atau molekul dengan radiasi

elektromagnetik. Interaksi tersebut akan menghasilkan peristiwa berupa

hamburan, serapan, dan emisi (Mulja,1995).

2.4.2 Spektrofotometri Sinar Tampak (Visible)

Spektroskopi UV-Vis adalah teknik analisis spektroskopi yang

menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dan sinar tampak

dengan menggunakan instrumen spektrofotometer. Prinsip dari

spektrofotometer UV-Vis adalah penyerapan sinar tampak untuk ultra violet

dengan suatu molekul dapat menyebabkan terjadinya eksitasi molekul dari

tingkat energi dasar (ground state) ketingkat energi yang paling tinggi (excited

stated). Pengabsorbsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul

umumnya menghasilkan eksitasi elektron bonding, akibatnya panjang

absorbsi maksimum dapat dikolerasikan dengan jenis ikatan yang ada didalam

molekul. (Hendayana. 1994 ).

Spektrum UV–Vis merupakan hasil interaksi radiasi UV-Vis terhadap

molekul yang mengakibatkan molekul mengalami transisi elektronik,

sehingga disebut spektrum elektronik.Hal ini didapat karena adanya gugus

berikatan rangkap atau terkonyugasi yang mangabsorbsi radiasi

elektromagnetik didaerah UV-Vis (Mulja,1995).


Pada umumnya terdapat dua tipe instrumen spektrofotometer, yaitu

single-beam dan double-beam. Single-beam instrument Gambar (4), dapat

digunakan untuk kuantitatif dengan mengukur absorbansi pada panjang

gelombang tunggal. Single-beam instrument mempunyai beberapa

keuntungan yaitu sederhana, harganya murah, dan mengurangi biaya yang ada

merupakan keuntungan yang nyata. Beberapa instrumen menghasilkan

single-beam instrument untuk pengukuran sinar ultra violet dan sinar tampak.

Panjang gelombang paling rendah adalah 190 sampai 210 nm dan paling

tinggi adalah 800 sampai 1000 nm. Double beam dibuat untuk digunakan

pada panjang gelombang 190 sampai 750 nm. Double-beam instrument

(Gambar 5) mempunyai dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang

berbentuk V yang disebut pemecah sinar. Sinar pertama melewati larutan

blanko dan sinar kedua secara serentak melewati sampel ( Suharti, 2013 ).

Gambar 4. Diagram alat spektrometer UV-Vis (single beam)


Sumber sinar polikromatis, untuk sinar UV adalah lampu deuterium,

sedangkan sinar Visibel atau sinar tampak adalah lampu wolfram.

Monokromator pada spektrometer UV-Vis digunakaan lensa prisma dan filter

optik. Sel sampel berupa kuvet yang terbuat dari kuarsa atau gelas dengan

lebar yang bervariasi. Detektor berupa detektor foto atau detektor panas atau

detektor dioda foto, berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel

dan mengubahnya menjadi arus listrik. Diagram spektrofotometer UV-Vis

(Double-beam) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 5.Skema Spektrofotometer UV-Vis (Double-beam)( google.co.id)

Komponen-komponen UV-Vis terdiri dari sumber radiasi yang stabil

dan berkelanjutan (kontinyu); sistem lensa, cermin dan celah untuk

membatasi, membuat paralel dan memfokuskan berkas sinar; monokromator

untuk menyeleksi sinar menjadi lamda tertentu (sinar monokromatis);


kontainer atau tempat sampel yang transparan biasa disebut dengan sel atau

kuvet; detektor yang dirangkaikan dengan readout atau piranti baca untuk

menangkap sinyal dari sinar yang masuk sesuai dengan intensitas cahayanya

dan ditampilkan pada layar readout. Komponen-komponen peralatan

spektrofotometer UV-Vis dijelaskan secara garis besar sebagai berikut

( Sitorus, 2009 ) :

1. Sumber radiasi

Beberapa sumber radiasi yang dipakai pada spektrofotometer adalah

lampu deuterium, lampu tungstein, dan lampu merkuri. Sumber-sumber

radiasi ultra lembayung yang kebanyakan dipakai adalah lampu hydrogen dan

lampu deuterium (D2). Disamping itu sebagai sumber radiasi ultra lembayung

yang lain adalah lampu xenon. Kejelekannya lampu xenon tidak memberikan

radiasi yang stabil seperti lampu deuterium. Lampu deuterium dapat diapakai

pada panjang gelombang 180 nm sampai 370 nm ( daerah ultra lembayung

dekat ).

Lampu tungstein merupakan campuran dari filament tungstein gas

iodine (halogen), oleh sebab itu sebagai lampu tungstein-iodin pada panjang

spektrofotometer sebagai sumber radiasi pada daerah pengukuran sinar

tampak dengan rentangan panjang gelombang 380-900 nm. Lampu merkuri

adalah suatu lampu yang mengandung uap merkuri tekanan rendah dan

biasanya dipakai untuk mengecek, mengkalibrasi panjang gelombang pada


spektrofotometer pada daerah ultra lembayung khususnya daerah disekitar

panjang gelombang 365 nm dan sekaligus mengecek resolusi monokromator.

2. Monokromator

Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromatis

dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis. Monokromator

pada spektrofotometer biasanya terdiri dari susunan meliputi celah (slit)

masuk-filter prisma-kisi(grating)-celah keluar.

a. Celah (slit)

Celah monokromator adalah bagian yang pertama dan terakhir dari

suatu sistem optik monokromator pada spektrofotometer. Celah

monokromator berperan penting dalam hal terbentuknya radiasi

monokromatis dan resolusi panjang gelombang.

b. Filter optik

Cahaya tampak yang merupakan radiasi elektromagnetik dengan

panjang gelombang 380-780 nm merupakan cahaya putih yang merupakan

campuran cahaya dengan berbagai macam panjang gelombang. Filter optik

berfungsi untuk menyerap warna komplomenter sehingga cahaya tampak

yang diteruskan merupakan cahaya yang berwarna sesuai dengan warna filter

optik yang dipakai. Filter optik yang sederhana dan banyak dipakai terdiri dari

kaca yang berwarna. Dengan adanya filter optik sebagai bagian


monokromator akan dihasilkan pita cahaya yang sangat sempit sehingga

kepekaan analisisnya lebih tinggi. Dan lebih dari itu akan didapatkan cahaya

hampir monokromatis sehingga akan mengikuti hukum Lamber-Beer pada

analisis kuantitatif.

c. Prisma dan Kisi (grating)

Prisma dan kisi merupakan bagian monokromator yang terpenting.

Prisma dan kisi pada prinsipnya mendispersi radiasi elektromagnetik sebesar

mungkin supaya didapatkan resolusi yang baik dari radiasi polikromatis.

3. Sel / Kuvet

Kuvet atau sel merupakan wadah sampel yang dianalisis. Kuvet ini

bentuk biasanya terbuat dari quarts atau leburan silika dan ada yang dari gelas

dengan bentuk tabung empat persegi panjang 1x1 cm, dengan tinggi kurang

lebih 5 cm. Pada pengukuran di daerah ultra lembayung dipakai quarts atau

leburan silika, sedang kuvet dari gelas tidak dipakai, sebab gelas

mengabsorpsi sinar ultra lembayung.

4. Detektor

Detektor merupakan salah satu bagian dari spektrofotometer yang

penting oleh sebab itu detektor akan menentukan kualitas dari

spektrofotometer adalah merubah signal elektronik.

5. Amplifier
Amplifier dibutuhkan pada saat sinyal listrik elekronik yang dilahirkan

setelah melewati detektor untuk menguatkan karena penguat dengan resistensi

masukan yang tinggi sehingga rangkaian detektor tidak terserap habis yang

menyebabkan keluaran yang cukup besar untuk dapat dideteksi oleh suatu alat

pengukur.

2.4.3 Hukum Lambert Beer

Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap

ketebalan sel (b) yang disinari, dengan bertambahnya sel, maka serapan akan

bertambah.

A = k. b

Menurut Beer, yang berlaku untuk radiasi monokromatis dalam

larutan yang sangat encer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi.

A = k. c

Jika konsentrasi bertambah, jumlah molekul yang dilalui berkas sinar

akan bertambah, sehingga serapan juga bertambah. Kedua persamaan ini

digabungkan dalam Hukum Lambert-Beer, maka diperoleh bahwa serapan

berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan sel yang dapat ditulis

dengan persamaan :

A = k.c.b

Umumnya digunakan dua satuan c (konsentrasi zat yang menyerap)

yang berlainan, yaitu gram per liter atau mol per liter. Nilai tetapan (k) dalam
hukum Lambert-Beer tergantung pada sistem konsentrasi mana yang

digunakan. Bila c dalam gram per liter, tetapan disebut dengan absorptivitas

(a) dan bila dalam mol per liter, tetapan tersebut adalah absorptivitas molar(ε).

Hukum Lambert-Beer (Beer’s law) adalah hubungan linearitas antara

absorban dengan konsentrasi larutan analit (Gandjar & Rohman, 2015), yaitu:

A = (Io / It) = abc

Keterangan :

Io : Intensitas sinar datang

It : Intensitas sinar yang diteruskan

a : Absorptivitas

b : Panjang sel/kuvet

c : Konsentrasi

A : Absorban
BAB III. METODA PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan ± 3 bulan di Laboratorium Kimia

Farmasi dan Laboratorium Kimia Bahan Alam Universitas Perintis Indonesia

Padang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Spektrofotometri UV-Visible, blender, corong pisah, corong, gelas

ukur, labu erlemeyer, pipet tetes, kertas saring, labu ukur, spatel, batang

pengaduk, timbangan analitik, aluminium foil, seperangkat alat kromatografi


lapis tipis, seperangkat alat maserasi, dan alat-alat gelas yang menunjang

penelitian.

3.2.2 Bahan

Air suling, Aseton, Benzen, Beta Karoten murni, Natrium sulfat

anhidrat (Na2SO4 anhidrat), Metanol, Kalium hidroksida (KOH), Petroleum

eter, serta daun pepaya.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun pepaya.

Sampel daun pepaya diperoleh dari salah satu perkebunan pepaya warga di

kabupaten padang pariaman.

3.3.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi seluruh bagian tanaman daun pepaya dilakukan di

Herbarium Jurusan Biologi Fakultas FMIPA Universitas Andalas (UNAND)

Padang.

3.3.3 Penyiapan Sampel

3.3.3.1 Preparasi Sampel Daun pepaya

Pisahkan daun pepaya dari tangkainnya, kemudian daun pepaya dicuci

bersih dengan air mengalir dan ditiriskan agar airnya turun. Daun pepaya
dipotong kecil-kecil lalu dikering anginkan. Selanjutnya dihaluskan sebanyak

50 gram (Syarif, 2013).

3.3.4 Penyiapan Larutan Pereaksi

3.3.4.1 Pembuatan Larutan Fase Gerak

Petroleum eter : benzene (9:1) dibuat sebanyak 30 mL, dengan cara

mencampurkan 3 mL benzene dengan 27 mL petroleum eter dalam botol

eluen, lalu dikocok hingga homogen (Syarif, 2013).

3.3.4.2 Pembuatan Larutan KOH 15% b/v dalam Metanol

Ditimbang 7,5 g KOH, dilarutkan dalam 25 mL metanol hingga larut.

Kemudian cukupkan volumenya hingga 50 mL dengan metanol (Syarif,

2013).

3.3.5 Ekstraksi Sampel

a. Daun pepaya yang sudah di beri perlakuan ditimbang sebanyak 50 g

masukkan ke dalam wadah maserasi dan ditambahkan 350 mL aseton

6 jam pertama di aduk sesekali kemudian dimaserasi 18 jam, lalu

disaring untuk memisahkan ampas dan ekstrak. Ampasnya dibuang

dan ekstrak aseton disimpan untuk dilakukan perlakuan lebih lanjut.

b. Hasil ekstrak aseton yang diperoleh diuapkan di Rotary Evaporator.

c. 5 mL esktrak aseton yang telah diuapkan kemudian dilakukan

saponifikasi dengan menambahkan KOH 15% dalam metanol


sebanyak 5 mL ke dalam labu gelap, dikocok dan diamkan

semalaman.

d. Hasil saponifikasi tersebut diekstraksi kembali dengan petroleum eter

sebanyak 55 ml, kemudian tambahkan aquadest 55 ml di dalam corong

pisah, dikocok searah selama ± 20 menit dengan sesekali tutup corong

pisah dibuka, diamkan sampai terbentuk dua lapisan, lapisan bawah

(larutan aseton) dibuang dan lapisan atas (larutan petroelum eter)

disimpan untuk perlakuan lebih lanjut.

e. Larutan petroleum eter yang sudah diperoleh kemudian disaring

dengan Na2SO4 anhidrat yang ditaburkan diatas kertas saring guna

untuk menyerap sisa air, sehingga diperoleh larutan petroleum

sebanyak 30 ml.

3.3.6 Analisis Kualitatif

Identifikasi beta karoten dilakukan dengan metode kromatografi lapis

tipis (KLT). Eluen yang digunakan adalah Petrolum Eter dan Benzene dengan

perbandingan 9 : 1. Larutan beta karoten murni sebagai pembanding dan

larutan ekstrak sampel daun pepaya ditotolkan dengan pipet mikro pada

lempeng KLT dengan jarak 1,5 sampai 2 cm dari tepi bawah lempeng KLT

dan jarak rambat, beri tanda pada jarak rambat. Setelah kering lempeng KLT

dimasukkan ke dalam chamber yang berisi cairan pengelusi petroleum eter –

Benzene (9 : 1). Tutup bejana dan biarkan hingga fase gerak merambat sampai

batas jarak rambat. Selanjutnya lempeng dikeluarkan dari chamber dan


dikeringkan di udara, dan bercak diamati. Diukur dan dicatat bercak dari titik

penotolan. Tentukan harga Retardation factor (Rf).

3.3.7 Analisis Kuantitatif

3.3.7.1 Pembuatan Larutan Induk Beta Karoten 500 ppm

Ditimbang teliti 50 mg beta karoten murni, dilarutkan dengan

petroleum eter hingga volume 100 mL pada labu ukur. Diperoleh larutan

dengan konsentrasi 500 ppm. Labu ditutup dengan alumunium foil karna beta

karoten mudah teroksidasi dan tidak stabil apabila terkena cahaya

(Syarif, 2013).

3.3.7.2 Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Beta Karoten

Untuk penentuan panjang gelombang serapan maksimum beta karoten

dilakukan pada konsentrasi 5 ppm dengan cara dipipet 0,5 mL larutan beta

karoten 100 ppm, masukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Tambahkan petroleum

eter hingga tanda batas, homogenkan. Lapisi labu ukur dengan aluminium foil.

Kemudian diukur panjang gelombang serapan maksimum beta karoten dengan

Spektrofotometer UV Visibel (Syarif, 2013).

3.3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Beta Karoten

Dari konsentrasi 500 ppm, dipipet 20 mL larutan dimasukkan ke

dalam labu tentukur 100 mL dan dicukupkan volumenya dengan petroleum

eter hingga 100 mL. Kemudian diperoleh larutan dengan konsentrasi 100

ppm. Dari konsentrasi 100 ppm kemudian dipipet 0,5 mL, 1 mL, 1,5 mL, 2

mL dan 2,5 mL. Kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 mL dan

dicukupkan volumenya dengan petroleum eter hingga 10 mL. Diperoleh


larutan baku dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, dan 25

ppm. Setelah itu diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer UV-Vis

pada panjang gelombang maksimum beta karoten. Kemudian buat kurva

kalibrasi beta karoten dan tentukan persamaan regresi linearnya (Syarif,

2013).

3.3.7.4 Pengukuran Kadar Beta Karoten pada Sampel

Untuk penetapan kadar beta karoten. Dipipet dengan teliti 1 ml larutan

sampel masing masing brokoli, masukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan

ditambahkan larutan petrolum eter hingga tanda batas dan di ukur serapannya

pada panjang gelombang maksimum beta karoten. Untuk blanko digunakan

petroleum eter, kemudian diukur absorbannya dengan Spektrofotometer UV-

Vis pada panjang gelombang maksimum beta karoten (Syarif, 2013).

Kadar beta karoten dihitung berdasarkan persamaan regresi linear dari

kurva kalibrasi y = a + bX

Keterangan: Y= absorban

X= konsentrasi

a = intersep

b = koefisien regresi/slop

3.4 Analisa Data

Dari persamaan regresi y = a + bX, diperoleh konsentrasi (X).

Kemudian dicari kadar sampel. Kadar =

konsentrasi X faktor pengenceran X volume


Berat sampel
Besarnya kadar sampel beta karoten kemudian dianalisa menggunakan

uji sample paired t-test untuk mengetahui ada dan tidaknya perbedaan yang

bermakna antara kadar beta karoten brokoli mentah dan rebus (Agustina,

2019).

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Technik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit


Andi: Yogyakarta
Agustina, A., Nurul H, Putri S. 2019. Penetapan Kadar Beta karoten Pada Wortel
(Daucus Carota, L) Mentah dan Wortel Rebus Dengan Spektrofotometri Visibel.
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis (JFSP): 05 (01) 7-13.
Astawan. M dan Andreas L.K 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia.
Ayu,Agustina.2012. Spektrofotometri .http:// augustiieenayoe. blogspot. com/2012/5/
spektrofotometri. html. Diakses pada 18 Oktober 2020.
Baga Kalie, Moedh. 1996. Bertanam Pepaya. Jakarta : Penebar Swadaya
Deddy Muchtadi, Prof, Dr, Ir., 2008. Pengantar Ilmu Gizi. Penerbit Alfa beta
Bandung. Hal. 42-43.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Ehlrich, Steven D. 2010. Beta-carotene (Online), VeriMed Healthcare Network,
http://www.umm.edu/altmed/artic les/beta-carotene-000286.htm. diakses 17
Oktober 2020.
Gandjar, I. G. dan Rohman, A. 2007, Kimia Farmasi Analisis, 323-346. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Gohil K, Patel J. Papain, Herbs and Supplements. Ind J Pharm. 2007;39:129-39.
Gritter, R, J. 1997. Pengantar kromatografi Edisi II. Penerbit ITB. Bandung.
Gunawan, S. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Harborne, J.B., 1996, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, Edisi II, ITB Bandung, hal 21-23, 123-125, 158, 161-164.
Harborne, J.B.,1987, “Metode Ftiokimia”, Penerbit ITB, Bandung.
Heriyanto, 2009, Karotenoid (Beta-karoten), (online), (http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/20091/4/k arotenoid(beta-karoten).pdf, diakses 18 Oktober
2020).
Hock-Eng, K., Prasad, K. N., Kin-Weng, K., Jiang Y., dan Ismail, A., 2011,
Carotenoids and Their Isomers: Color Pigments in Fruits and Vegetables, J.
Molc., 16, 1710- 1738.
Ikan, R., 1997, Organic Chemistry Fifth Edition, Mc.Graw-Hill, inc. New York.
Indriyani, N. L. P., Affandi, D dan Sunarwati. 2008. Pengelolaan Kebun Pepaya
Sehat. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Solok.
Juju Wahju. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press.
Kamaruddin, M. dan Salim. 2006. Pengaruh Pemberian Air Perasan Daun Pepaya
Pada Ayam : Respon Patofisilogik Hepar. J. Sain Vet. : 37 – 43.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Kosasih, E., Setiabudi, T., 2004. Peran Antioksidan pada Lanjut Usia. Pusat Kajian
Nasional Masalah Lanjut Usia.
Kurnia, Rohmat. 2018. Fakta seputar pepaya. Jakarta : Gramedia.
Listya, Ana, Sinly dan Satuhu S, 2010, Aktivitas Antiradikal Bebas Serta Kadar Beta
Karoten Pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng. FMIPA Universitas Udayana
Bukit Jimbaran.
Maisarah, A.M., Nurul, A.B., Asma, R., Fauziah, O., 2013. Antioxidant Analiysis of
Different Parts of Carica papaya. IFRJ, 20(3):1043-1048.
Mardiana, Lina. 2012. Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Jakarta : Penebar Swadaya
Muhlisah. Manfaat tanaman pepaya tanaman obat keluarga. Edisi ke-2. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press. 2001.
Mulja, M, 1995, Aplikasi Analisis Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel, Penerbit
Mechipso grafika. Surabaya.
Nururrahman, Wiwied. 2013. Analisis Kadar Beta-Karoten Kulit Buah Naga
Menggunakan Spektrofotometer UV-VIS. Jurnal Dinamika. Vol. 04 ( 1 ): 15-26
Paramastri, & Anindha. (2011). Pepaya yang tak busuk saat distribusi. Diunduh
kembali dari http://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/52408.
R.A. Day, JR dan A.L. Underwood. 2002. Analsis Kimia Kuantitatif. ( Edisi ke-6 ).
Terjemahan oleh Lis Sopyan. Jakarta : Erlangga
Rukmana, R. 1995. Pepaya Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Rustam, Atmasari, Yanwirasti. 2007. Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kunyit
(Curcuma domestica Val.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi.Vol 12(2):
112-115
Setijahartini, S, Didik Suyanto dan Santoso, 1985, Pangan dan Gizi, Balai Kerja
Sama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang.

Sharma, V.C. dan O. N. Ogbeide. 1991. Renewable Energy Resource For The
Production Of Alchohol Fuels 7 (10): 871 -873
Sitorus, M. 2009. Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul Organik Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sriastuti,Widia. 2018. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
tanaman hias dalam kawasan IUPHHK-HTI PT. Bhatara alam lestari di desa
sekabuk kecamatan sadaniang kabupaten mempawe. Jurnal Hutan Lestari. Vol.
06 ( 1 ) : 147-157.
Suhartati, Tati (2017) Dasar-dasar Spektrofotometri UV-VIS dan Spektrometri Massa
untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. 1, 1 (1). AURA, Bandar Lampung.
Sujiprihati, Sriani dan Ketty Suketi. 2009. Budidaya Pepaya Unggul. Bogor : Penebar
Swadaya.
Subroto, M. Ahkam, 2008, Real Food True Health, PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Sudjadi. 1998. Metode Pemisahan. Fakultas Farmasi UGM : Yogyakarta.
Sumar, Hendayana. 1994. Kimia Analisis Farmasi. Jakarta: UI Press.
Suresh, K., Deepa P., Harisaranraj R., dan Vaira Achudhan V.. 2008. ntimicrobial
and Phytochemical Investigation of the Leaves of Carica papaya L., Cynodon
dactylon (L.) Pers., Euphorbia hirta L., Melia azedarach L. and Psidium guajava
L.. Ethnobotanical Leaflets, Vol.12: 1184-1191.
Sutarpa, dan Sutama, I. N. 2008. Daun Pepaya dalam Ransum Menurunkan
Kolesterol pada Serum dan Telur Ayam. Jurnal Veteriner September 2008, 9 (3):
152-156.
Syarif, S. Flaning, M. 2013. Analisis Kandungan Βeta Karoten Pada Jenis Sawi
Putih (Brassica Pekinensia L) dan Jenis Sawi Hijau (Brassica Juncea L Coss)
Secara Spektrofotometri Uv-Vis. As-Syifaa : 05 (01) 55-61.
Triana, Vivi. 2006. Macam-macam Vitamin dan funsginya dalam tubuh manusia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 01 ( 1 ).
USDA Phytochemical and Ethnobotanical Database. 2001. Treating Livestock
Medical Plant or Toxis. Cariapapaya. Available on lineat
http://www.probe.nalusda.gov:8300/ogibin/browse/phytochemdb (diaskses 18
Oktober, 2020 )
V.M, Muharlien dan Ani Nurgiartiningsih. 2015. Pemanfaatan Limbah Daun Pepaya
dalam bentuk tepung dan jus untuk meningkatkan performans produk ayam arab.
Research Journal of Life Science. Vol 02 ( 2 ).
Wijayakusuma, Hembing. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jakarta :
Pustaka Kartini.
Winarsih, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta.
Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember : PT. Taman Kampus
Presindo.
PENETAPAN KADAR BETA KAROTEN PADA
BEBERAPA VARIETAS DAUN PEPAYA ( Carica
papaya. L ) DENGAN METODE
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

DRAFT PROPOSAL

Oleh :
MIKELWAGUCI
1704039

PROGRAM STUDI SI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
2020

Anda mungkin juga menyukai