Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN ESTETIKA BUDAYA MADURA ( SAPE SONOK )

MATA KULIAH

ESTETIKA PENDIDIKAN SENI BUDAYA

DISUSUN OLEH:
Arrya Afendiyanto
18070865014

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI BUDAYA
2018

0
BAB I
Pendahuluan

1.1 LATAR BELAKANG

Selain Kerapan Sapi, tradisi yang mulai berkembang di Madura adalah “Sape Sonok”.
Berbeda dengan Kerapan Sapi yang mengandalkan kecepatan sapi dalam berlari, Tradisi “Sape
Sonok” mengandalkan kepatuhan, estetika sapi dalam berjalan, menaiki kayu pijakan, dan
kedisiplinan. Perbedaan yang lain, jika kerapan sapi menggunakan sapi jantan, “Sape Sonok”
menggunakan sapi betina. Sapi betina biasanya digunakan untuk membajak sawah atau ladang,
dimanfaatkan oleh masyarakat Madura umumnya untuk Kontes SapE Sonok. Kontes Sapi Sonok
dijadikan aset budaya daerah, yang akhirnya juga bisa menjadi komoditas pariwisata nasional bahkan
manca negara. Namun, kedua tradisi tersebut selain berfungsi sebagai wahana berkesenian serta unsur
pariwisata, juga meningkatkan nilai jual harga sapi.

Sapi Madura dianggap sebagai salah satu bangsa sapi asli Indonesia yang telah terseleksi
dan dipertahankan kemurniannya di Pulau Madura dan sekitarnya.Sapi Madura merupakan salah satu
plasma nutfah sapi potong yang berkembang baik di Pulau Madura pada lingkungan agroekosistem
kering (Wijono dan Setiadi, 2004). Madura ditetapkan sebagai wilayah tertutup, yakni wilayah yang
dilarang melakukan perkawinan silang dengan pejantan ternak sapi potong yang berasal dari luar
Madura. Tujuan penetapan Madura sebagai wilayah tertutup dalam rangka mempertahankan
kemurnian sapi Madura sebagai salah satu plasma nutfah sapi lokal Indonesia (Siswijono,
Nurgiartiningsih dan Hermanto, 2013).

Sapi Madura memiliki nilai sosial budaya yang tinggi yaitu sebagai kebudayaan kerapan
sapi dan kontes sapi Sonok. Kontes Sapi Sonok merupakan bentuk kesenian tradisional masyarakat
Madura yang mengedepankan segi keindahan bentuk tubuh, warna bulu, keserasian dan keterampilan
sapi betina yang merupakan hasil seleksi dan pemeliharaan secara spesifik (Kosim, 2007). Kerapan
sapi merupakan bentuk kesenian tradisional masyarakat Madura yang mementingkan kecepatan lari
sapi jantan (Hasan, 2012). Kebudayaan ini agar terus bertahan dan berkembang menjadi agrowisata
sehingga dapat menarik wisatawan serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi diperlukan manajemen
pembibitan yang didukung oleh suatu data yang akurat tentang penampilan sapi Sonok dan sapi
Kerapan. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut di atas bahwa suatu program dapat terealisasi dengan
baik apabila didukung oleh suatu data tentang penampilan karakteristik vital sapi Sonok dan sapi
Kerapan pada umur yang berbeda.

Tradisi “Sape Sonok” merupakan salah satu bentuk tradisi lisan di Madura. “Sape Sonok”
disebut tradisi lisan karena “Sape Sonok” merupakan wujud kesenian rakyat yang berkembang dan
sudah menjadi adap kebiasaan di beberapa daerah di Madura. “Sape Sonok” sudah menjadi alternative
1
kebudayaan yang menggunakan media sapi yang tidak kalah populer di kalangan masyarakat selain
kerapan sapi. Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun
temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal seperti yang dikemukakan oleh Roger Tol
dan Pudentia (1995:2), yakni “oral traditions do not only contain folktales, myths and legends (…),
but store complete indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices, adat law,
medication. ” Sastra dan tradisi merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bertolak dari
argumen Nasaruddin (1994:01) bahwa dalam seni tradisi juga terangkum bentuk-bentuk sastra yang
holistik dengan drama dan teater. Argumen tersebut sangat beralasan, karena dalam seni tradisi,
banyak terdapat unsur sastra berupa lagu atau cerita. Cerita atau lagu tersebut dalam khazanah sastra
disebut sastra lisan. Suatu tradisi lisan dapat dianggap sebagai sastra lisan, apabila tradisi lisan
tersebut tersebut mengandung asonansi, aliterasi, perlambang, dan lain-lain, yang oleh masyarakat
setempat dianggap sebagai suatu keindahan (Hutomo, 1991:95). Asonansi, aliterasi, dan perlambang
dapat berbentuk cerita atau lagu yang terdapat dalam tradisi lisan. Dalam tradisi “Sape Sonok”
asonansi dan aliterasi berbentuk lagu berbahasa Madura dan juga berbahasa Arab.

Tradisi “Sape Sonok” sebagai seni tradisi berdasarkan beberapa argumen di atas, memenuhi
kriteria untuk dianggap sastra lisan. Karena dalam tradisi “Sape Sonok”, menggunakan Tradisi
(Kidung) untuk ‘menghipnotis’ sapi agar sapi patuh atas perintah tuannya. Terdapatnya lagu yang
dinyanyikan, menjadikan tradisi “Sape Sonok” dapat dikategorikan sebagai sastra lisan. Tradisi “Sape
Sonok” dikatakan sebagai tradisi, karena keberadaan “Sape Sonok” melekat dalam hati anggotanya,
sehingga mereka membentuk wadah untuk mentradisikan “Sape Sonok”, dengan cara lomba dan
perhelatan kebudayaan besar yang melibatkan komunitas masyarakat.

Istilah tradisi lisan dan sastra lisan juga berkaitan dengan folklor. Hutomo (1999:20)
menganggap sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan dan folklor. Folklor menurut Danandjaja (1994:2)
merupakan bagian dari kebudayaan kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, secara
tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat. Terdapat beberapa ciri pengenal folklor menurut Danandjaja
(1994:3), antara lain :

1. disebarkan secara lisan,

2. bersifat anonim,

3. ada dalam bentuk varianvarian,

4. bersifat tradisional,

5. bentuknya berpola,

6. mempunyai fungsi di masyarakat,

2
7. bersifat pralogis atau mempunyai logika yang tidak sesuai dengan logika umum,

8. milik bersama atau kolektif,

9. bersifat polos dan lugu dan terlihat kasar.

Tradisi “Sape Sonok” dapat dipandang sebagai folklor atau kebudayaan lisan, karena
keberadaan Tradisi dalam tradisi “Sape Sonok” juga melalui bentuk pewarisan budaya secara turun
temurun, disebarkan melalui lisan, dan disertai gerak isyarat tari sebagai pembantu pengingat. Karena
keberadaannya diwariskan secara lisan, tradisi “Sape Sonok” di Sumenep juga mempunyai beberapa
varian yang dalam beberapa hal mempunyai perbedaaan tertentu. Tradisi yang dinyanyikan dalam
tradisi “Sape Sonok” bersifat hapalan dan isinya merujuk pada apsek-apsek kebudayaan local dalam
masyarakat Madura.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah estetika dari budaya madura “sape sonok”?
2. Bagaimanakah prinsip dan unsur seni rupa yang disajikan pada budaya madura “sapi sonok”?

1.3 TUJUAN
1. Mendeskripsikan estetika dari budaya madura “sape sonok.
2. Mendeskripsikan prinsip dan unsur seni rupa yang disajikan pada Mendeskripsikan prinsip
dan unsur seni rupa yang disajikan pada budaya madura “sape sonok”.

1.4 MANFAAT
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penulisan kajian ini bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
pengembangan dalam mengkaji estetika budaya yang lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan tentang cara mengkaji dan menikmati budaya madura “sape sonok”
dengan pendekatan estetika (wujud), selain lewat konsep, makna dan teknik.
b. Bagi Penikmat Budaya
Memberikan pandangan lain mengenai sudut pandang estetik budaya madura “sape
sonok” dengan estetika budaya lainnya.
c. Bagi Masyarakat
Menunjukan budaya madura “sape sonok” yang tak hanya dibedakan berdasarkan jenis
dimensi maupun gaya dan budaya melainkan berdasarkan nilai estetiknya.

1.5 BATASAN OPERASIONAL

3
Dalam membahas atau mengkaji sebuah budaya tentu saja dapat dikaitkan dengan berbagai hal
menyangkut seni itu sendiri. Dalam mendeskripsikan sebuah budaya pun juga dibutuhkan kacamata
yang sesuai. Meskipun menggunakn sudut pnadng estetika, ilmu yang selalu dikaitkan dan digunakan
untuk menelaah sebuah karya seni adalah sebuah ilmu mono-disiplin, namun di dalam estetika
tersebut masih terdapat cabang-cabang tentang perspektif ataupun hal-hal yang digunakan untuk
menelaah sebuah budaya. meskipun apabila dilihat secara keseluruhan namun pada faktanya estetika
sendiri memiliki cangkupan yang sangat luas.
Penulis menyadarai kemampuannya bahwa tidak memungkinkan untuk mengkaji budaya
menggunakan seluruh bagian dari keilmuan estetika. Dari kesadaran tersebut, penulis dalam proposal
ini memberi batasan operasional terkait pengkajian budaya madura “sape sonok”. Penulis dalam
kajian ini ditelaah dari berbagai sumber dari penelitian terdahulu serta wawancara langsung terhadap
budayawan sekaligus pelaku yang selalu ikut dalam acara, yang membahas tentang estetika dalam
budaya sape sonok
Dalam pengkajian etetia penulis hanya akan menggunakan teori estetika antara lain teori
estetika oleh John Dewey dan Ki Hadjar Dewantara, untuk mengkaji budaya madura “sapi sonok”

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

4
2.1 ESTETIKA
estetika adalah keindahan, sedangkan tujuan logika adalah menemukan kebenaran
(Hadiyatno), Menurut Eli Siegel dalam Dharsono (2003:78) terdapat 15 pokok kesatuan dalam
estetika dari hal-hal yang berbeda antara lain tentang kebebasan dan keberaturan, persamaan dan
perbedaan, kesatuan dan keragaman, impersonal, alam semesta dan objek, logika dan emosi,
kesederhanaan dan kompleksitas, kontinyuitas, dan diskontinyuitas, kedalaman, ketenangan dan
energi, berat dan ringan, outline dan warna, gelap dan terang, kesantaian dan keseriusan, kebenaran
dan imagi. Lalu menurut Ki Hadjar Dewantara syarat suatu keindahan dalam bentuk karya seni
adalah; 1) berjenis-jenis, beraneka-ragam isinya, 2) lengkap serta utuh, 3) patut (runtut), dan seimbang
(harmonis).
Menurut (Eaton, 1988:7) berpendapatKomponen yang berbeda dari apa yang kita sebut
“situasi estetik” memungkinkan kita untuk mengelompokkan teori estetika menurut; 1) pembuat
(setidaknya jika objek tersebut berupa artefak), 2) penikmat, 3) objek, 4) konteks dimana objek,
kegiatan, atau pertunjukan dialami.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulan bahwa estetika secara umum adalah tentang seluruh
bentuk, aktifitas maupun cara / metode, yang dianggap indah dan dapat dinikmati oleh panca indra.
bahkan masih ada perdebatan menurut pandangan secara objektif maupun subjektif persepsi tentang
keindahan itu sendiri.
Masyarakat Madura membuktikan bahwa warisan kebudayaan nenek moyang lebih
mempunyai nilai filosofi yang tinggi. Mayoritas masyarakat menyadari betul bahwa “Sape Sonok”
adalah suatu khazanah penting yang harus dipelihara dan dilestarikan keberadaannya. “Sape Sonok”
merupakan kontes sepasang sapi betina pilihan yang dipajang dan diberi aksesori layaknya pengantin
dengan diiringi musik saronen, yaitu sejenis musik yang terdiri atas terompet, kendang, dan gong.
Tradisi sape sono menampilkan nilai estetik yang tinggi. Baik itu meliputi gerakan, busana,
penampilan, maupun iringan musik saronen. Sang pemilik merasakan sebuah simbol kesopanan dan
keberhasilan dalam melestarikan budaya. Karena sapi adalah budaya besar bagi masyarakat Madura.
Sedangkan pengertian dari “Sape Sonok” berasal dari bahasa Madura. Bila mengambil kata sono,
berasal dari kata srono’, yang artinya masuk. Masuk di sini adalah berkaitan dengan awal mula
budaya ini, yang kerap digunakan menyambut tamu yang datang di rumah warga Madura. Tak hanya
itu yang dilakukan. Dalam pertunjukan “Sape Sonok” selalu dipadukan dengan iringan kesenian
musik saronenan. Sebuah musik khas Madura yang di antaranya terdiri atas bunyibunyian selompret
dari kayu jati.Iringan musik saronen inilah menambah menariknya suasana “Sape Sonok”. Sehingga
tidak hanya sapi yang dihias seperti pengantin, tetapi kelompok pemusik saronen juga dihias dengan
seragam warna-warni. Hingga sesuai dengan nilai estetika yang disepakati yang bisa dinikmati oleh
semua panca indrawi kita hingga pada praktiknya seakan-akan selalu menjadi ide pokok dalam setiap
pembahasan sebuah estetik pada sebuah budaya. Estetika selalu dihadirkan ketika sebuah karya seni
di bicarakan. Seperti yang dikemukakan seorang filsuf bernama A.G. Baumgarten (1714-1762).
5
Sumardjo (2000:24) menyatakan bahwa secara epistemologi estetika di ambil dari bahasa Yunani
Kuno “Aistheton”, yang berarti “Kemampuan melihat lewat pengindraan”.keindahan dirumuskan
sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-
pencerapan inderawi kita” ( dalam Nanang, Enday, 2009:15)
Sape sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura, Saronen. Kedua sapi yang berlomba
akan berlenggak-lenggok indah ketika berjalan. Tentu saja lenggak-lenggok itu ala para sapi. Dalam
musik saronen tersebut Tradisi di lantunkan oleh sinden maupun orang yang dianggap mampu
melaguka Tradisi. Lebih jauh Ali Nabhan (nara sumber) menambahkan, pelestarian sebuah budaya
bukan hanya dilihat dari apresiasi, implementasi dan gandrungnya masyarakat terhadap budaya
tersebut. Lebih dari itu, sebuah budaya dapat dikatakan lestari dan memasyarakat ketika budaya
tersebut dapat berimplikasi positif terhadap kondisi masyarakat yang lebih riil, yaitu ketika mereka
dapat memetik hikmah di dalamnya. Karena dapat dipastikan setiap budaya memiliki nilai substansial
yang inheren, dimana nilai tersebut dapat diperoleh dengan adanya penghayatan yang mendalam
terhadap segala ekspresi budaya itu sendiri.
a. nilai estetik. Keindahan sepasang sapi dalam sape sonok setidaknya dapat dijadikan sebagai
parameter oleh masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang lebih indah, baik budi pekerti,
pikiran, penampilan, dan termasuk juga membangun keindahan alam semisal peningkatan
keindahan objek wisata yang ada.
b. nilai pendidikan. Di tengah sistem pendidikan yang semakin tidak menentu, nilai pendidikan
sape sonok mungkin dapat diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Dalam sape sonok,
seorang pendidik harus benar-benar telaten, sabar, semangat, kreatif, kaya strategi, faham
pisikologi objek didik, dan penuh perjuangan dan pengorbanan. Jika tidak, proses pendidikan
dan pembentukan karakter objek didiknnya akan gagal. Sama hal dengan pendidikan, seorang
pendidik dituntut untuk memiliki sikap-sikap sebagaimana disebutkan, yang kemudian
ditopang dengan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga proses pendidikan benar-benar
menjadi media transformatif dalam mencetak generasi bangsa di masa depan.
c. nilai kesetaraan gender. Pada awalnya, sapi betina hampir sama nasibnya dengan perempuan
dalam masyarakat kita, termarginalkan. Namun, dominasi sapi betina dalam budaya sape
sonok sedikit telah mengangkat martabatnya, sehingga bisa tampil sama dengan sapi jantan,
samasama menjadi ikon budaya yang dibanggakan. Artinya, benar bahwa betina (perempuan)
tidak memiliki kemampuan sebagaimana jantan (laki-laki), tapi perlu diingat bahwa mereka
dapat tampil seimbang dengan keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki. Pesan akhir,
‘persamaan’ gender antara kaum Adam dan Hawa bisa saja tidak memungkinkan, tapi
‘kesetaraan’ gender antara mereka harus diyakini masih bisa diproses dan diperjuangkan
Sebagian besar masyarakat Pulau Garam menganggap sapi adalah bagian dari budaya. Karena
itu pula setahun sekali diadakan event besar di sana. Yaitu sapi sono dan karapan sapi.

6
Kendati demikian, pada umumnya orang lebih mengenal karapan sapi daripada sapi sono.
Padahal, kontes sapi betina ini juga termasuk salah satu warisan budaya.

2.2 KETERKAITAN PERTUNJUKAN SAPE SONOK TERHADAP ESTETIKA


Elemen aksesoris “Sape Sonok” Sumenep menunjukkan beberapa unsur visual, sebuah
keindahan yang tercermin dalam sebuah estetik dari setiap elemen yang terdapat pada aksesoris yang
menghiasi sapi tersebut, seperti pada aksesoris kepala, leher dan tubuh. Keindahan nampak pada
penampilan hasil perpaduan antara elemen struktural dan elemen dekoratifnya. Di setiap elemen
terlihat adanya unsur-unsur, seperti gaya, bentuk, bahan, warna dan tekstur. Semua elemen
aksesorisnya berbentuk mengikuti anatomi tubuh sapi yang elemen strukturalnya berpadu dengan
ornamen. Konsep dari semua elemen estetik aksesoris yang dihadirkan dalam masing-masing
aksesoris, telah disesuaikan dengan fungsi dari aksesorisnya itu sendiri. Makna yang terkandung
dalam ornamen aksesoris sape sono’ diantaranya berhubungan dengan keagungan. Asal yang
melatarbelakangi pemilihan berasal dari daerah Madura sendiri dan telah mendapat pengaruh dari
budaya Cina yaitu daerah Dempo.
Dalam konteks ini, Sapi-sapi yang digelar dalam prosesi Kesenian Sapi Sonok adalah sapi-
sapi yang benar-benar memiliki banyak kelebihan nilai estetik. Artinya kualitas sapi sudah benar-
benar tertangkap dari aspek visualisasi postur atau bentuk tubuh sapi. Sapi yang berkualitas dalam
Kesenian Sapi Sonok bukan sekadar bobot tubunya yang ideal (tidak kurus atau tidak terlalu gemuk,
kulit mengkilat, memiliki mata dan tanduk yang bagus, dsb), akan tetapi kualitas pasangan Sapi
Sonok itu diketahui juga dari keserasiannya dalam melangkah. Jika dalam melangkah terjadi semacam
ketidakserasian (tidak kompak) maka sapi-sapi tersebut belum bisa dikatakan berkualitas dan tidak
estetik.
Aksesorisnya pun harus memiliki nilai estetik terhadap model-model tradisional, seperti
sepasang sapi betina didandani bagaikan ratu kecantikan. Tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya
disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya
dipenuhi dengan hiasan, kakinya pun memiliki ‘sepatu’ khusus yang dibuat dari bahan khusus pula.
Menariknya pada ajang sapi sono ini, 24 pasang sapi-sapi betina dari berbagai umur, dihias bak ratu
kecantikan dengan dandanan menarik. Mulai dari kain beludru merah dan juga kuning, kayu ukir
Bentaos dari Karduluk (sentra ukiran Sumenep), juga tak ketinggalan kelintingan (bebunyian). Semua
dipersiapkan para tongkok (joki, red), guna menambah indah suasana saat sapi sono melintas di atas
catwalk sepanjang 25 meter.

Pada penilaian lomba “Sape Sonok”: Penilaian dewan juri didasarkan pada sejumlah
ketentuan estetika yang disepakati bersama sebelumnya. Ketentuan yang harus dilakukan oleh setiap
pasang “Sape Sonok” di antaranya adalah waktu perjalanan mulai berangkat hingga selesai dalam dua
7
menit, tidak boleh kurang dan tidak boleh melebihi batas. Jika sepasang “Sape Sonok” berjalan
kurang dari dua menit sampai selesai atau melebihi batas waktu, dewan juri akan mengurangi lima
angka. Setiap kali sepasang “Sape Sonok” menyentuh garis lintasan, juri berhak memberi sanksi
pengurangan lima angka. Sementara sapi yang berbalik arah dinyatakan gagal atau didiskualifikasi.
Penilaian terbaik diberikan pada sepasang sapi yang berjalan lurus serasi antar gerakan kaki. Setelah
itu sepasang sapi harus naik panggung yang terbuat dari papan, dengan menginjakkan dua kaki
depannya di atas papan. Tepat di bibir papan kayu, dua kaki depan sepasang sapi harus serasi diam
menunggu penilaian dewan juri. menurut penuturan H. Zainuddin dan H. Hatib (tokoh Kesenian Sapi
Sonok Waru dan Pasean Pamekasan), mereka biasa menyebutnya dengan Sapi Taccek. kebiasaan
memajang sapi-sapi para petani di atas papan dan Bila kaki sapi tidak pas menginjak papan
panggung, penilaian bisa berkurang. Begitu pun jika sepasang kaki depan sapi bergerak-gerak tidak
tenang, penilaian juga akan berkurang, sehingga estetik yang disepakati Bersama akan tercapai dan
sesuai dengan deretan penilaian yang harus dipenuhi oleh semua sapi peserta. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ki Hadjar Dewantara syarat suatu keindahan dalam bentuk karya seni adalah; 1) berjenis-
jenis, beraneka-ragam isinya, 2) lengkap serta utuh, 3) patut (runtut), dan seinmbang (harmonis).
Namun, dalam event “Sape Sonok” semua peserta berhak mendapatkan penghargaan dari
panitia, sebagai apresiasi terhadap pelaku lomba sebagai penyemangat telah ikut unjuk gigi. Hal ini
sangat berbeda dengan event karapan sapi, penghargaan hanya diberikan pada satu pemenang saja.

2.3 ESTETIKA DALAM NILAI TRADISI


Hasil analisis nilai tradisi dalam Tradisi “Sape Sonok” yang berkaitan dengan nilai tradisi
berdasarkan konsep nilai tradisi dari Roger Tol dan Pudentia (1995:2) meliputi hal-hal berikut : (1)
nilai yang berkaitan dengan mitos dan legenda yang berkembang dalam masyarakat; (2) nilai tradisi
yang berkaitan dengan kebiasaan turun temurun; (3) praktik hukum dalam masyarakat; (4) nilai yang
berkaitan hukum adat; (5) nilai yang berkaitan dengan hal yang berkaitan dengan praktik kesehatan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Tradisi “Sape Sonok” ditemukan estetika dalam nilai tradisi yang berkaitan dengan
kebiasan turun-temurun yang menyatukan semua kpmponen menjadi satu kesatuan, yakni:
a) tradisi lantunan musik yang khas
b) tradisi keindahan aksesoris dalam sape sonok
c) tradisi menjaga dan merawat bentuk harmoni tubuh sapi
d) “Romantisme” dalam keanggunan dan ketenagan sapi dalam berjalan sebagai tradisi
sebuah ketengan dan romantisme dalam hidup.
e) Tradisi menyatukan semua kelarasan seni, meliputi audio dan visual

8
Hal ini bisa mewakili ungkapan yang disampaikan Eli Siegel dalam Dharsono (2003:78)
terdapat 15 pokok kesatuan dalam estetika dari hal-hal yang berbeda antara lain tentang kebebasan
dan keberaturan, persamaan dan perbedaan, kesatuan dan keragaman, impersonal, alam semesta dan
objek, logika dan emosi, kesederhanaan dan kompleksitas, kontinyuitas, dan diskontinyuitas,
kedalaman, ketenangan dan energi, berat dan ringan, outline dan warna, gelap dan terang, kesantaian
dan keseriusan, kebenaran dan imagi.

BAB III
PEMBAHASAN

9
3.1 KAJIAN ESTETIKA MENGGUNAKAN TEORI KI HADJAR DEWANTARA
Dalam teori Ki Hadjar Dewantara ini terdapat beberapa syarat untuk menyatakan sebuah
karya memiliki nilai estetik, antara lain berjenis-jenis, beraneka-ragam isinya, lengkap serta utuh,
patut (runtut), dan seimbang (harmonis). Dalam budaya madura “sape sonok” sudah memenuhi
kriteria tersebut, mulai dari berjenis-jenis dan beraneka ragam isinya, artinya tidak hanya
mengandalkan satu jenis seni saja, namun digabungkan dengan berbagai seni, mulai dari visual
aksesoris pada sapi, tarian yang mengiri dibelakang kedua sapi tesebut dan musik yang mengiringi
ketika sapi mulai berjalan atau berlenggak - lenggok. Sehingga ungkapan ki hadjar dewantara ini
sesuai dengan pembahsan sebelumnya, yang membahas berbagai element kebudayaan sape sonok
yang berjenis-jenis, beraneka-ragam isinya, lengkap serta utuh, patut (runtut), dan seimbang
(harmonis),
Pembahasan singkat mengenai hubungan budaya sape sonok yang pandang dalam sisi teori ki
hadjar dewantara meliputi:
a. Berjenis- jenis, berjenis- jenis sapi yang di tampilkan damun tetap harus sesuai dengan
ketentuan estetika yang disepakati bersama
b. Beraneka ragam isinya, dengan berbagai karna seni yang terdapat dalam budaya sape
sonok,
c. Lengkap serta utuh, kelengkapan iringan musik, keanggunan gera sapi hingga visual
tampilan aksesoris sapi, menjadi suatu keharusan yang menjdi syarat kelengkapan sebuah
estetika yang harus dipenuhi dari kespakatan Bersama.
d. Patut (runtut), hal ini bisa terlihat dari bentuk runtutan acara (struktur pertunjukan) yang
slalu di jaga setiap sesi proses tanpa ada yang dihilangkan atau jadwal yang di dahulukan
prosesnya
e. Seimbang (harmonis), hal ini bisa terlihat dari betuk postur tubuh sapi hingga meliputi
aksesoris yang dipakai.
, karna hal ini sudah menjadi pakem dari acara ini dan tidak berubah meskipun berbeda
daerah, dilihat dari sudut pandang keseimbangan (harmonis), budaya ini telah menitik beratkan pada
keharmonisan, terlihat pada tampilan dan bentuk sapi tersebut, harus proporsi mulai dari warna, tinggi
hingga dan bentuk badan kedua sapi tersebut sehingga mendapatkan nila dan perhatian yang lebih
oleh masyrakat dan juri, dari teori estetika Ki Hadjar Dewantara pembahasan budaya ini dapat
dikategorikan mimiliki nilai estetika.

3.2 SIMPULAN
Berdasarkan temuan data di lapangan, dapat diketahui bahwa Sapi Sonok merupakan sebuah
kebudayaan yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan menurut pemaparan para
informan, Sapi Sonok sudah ada sejak sebelum mereka lahir. Dengan kata lain Sapi Sonok sudah
menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak pertama kali mengenal kehidupan. Pengenalan pertama
10
kali mereka akan Sapi Sonok, tentu saja berawal dari ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan
atau orang yang memang sudah lebih dahulu mengenal Sapi Sonok dari pada mereka. Dari proses
interaksi inilah akhirnya orang yang tidak mengenal Sapi Sonok akhirnya menjadi tahu apa itu Sapi
Sonok. Sapi Sonok adalah simbol pemersatu bangsa. Dalam kesenian ini terkandung nilai-nilai estetik
dan nilai-nilai persatuan yang dianut oleh masyarakat Madura, dimana dengan memlihara Sapi Sonok
mereka akan mengenal masyarakat Madura yang “lain” yang juga menganut nilai-nilai yang sama
dengan mereka, dan nilai-nilai yang sama itulah yang bisa menghindarkan mereka dari konflik. Sapi
Sonok juga membentuk sebuah jaringan sosial melalui paguyuban-paguyuban yang tersebar di setiap
kabupaten yang ada di Madura yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi yang dijalin oleh
paguyuban-paguyuban inilah yang bisa mengikat rasa kekeluargaan di antara para anggota
paguyuban-paguyuban yang ada. Sapi Sonok mengandung makna prestis di dalamnya. Dimana para
pemilik sapi adalah orang-orang yang memang secara ekonomi berada dalam kalangan atas, dimana
dalam setiap kontesnya terdapat adu gengsi antar pemilik di dalamnya Berdasarkan analisis data
penelitian nilai tradisi dan nilai estetik dalam Tradisi tradisi “Sape Sonok” di Kabupaten Sumenep
disajikan. Ditemukan nilai yang berkaitan dengan hal yang berkaitan dengan teori Ki Hadjar
Dewantara, mulai dari berjenis-jenis dan beraneka ragam isinya, artinya tidak hanya mengandalkan
satu jenis seni saja, namun digabungkan dengan berbagai seni, mulai dari visual aksesoris pada sapi,
tarian yang mengiri dibelakang kedua sapi tesebut dan musik yang mengiringi ketika sapi mulai
berjalan atau berlenggak – lenggok. kemudian pembahasan mengenai lengkap serta utuh dan patut
(runtut) hal ini bisa terlihat dari bentuk runtutan acara (struktur pertunjukan) yang slalu di jaga setiap
sesi proses tanpa ada yang dihilangkan atau di dahulukan prosesnya, karna hal ini sudah menjadi
pakem dari acara ini dan tidak berubah meskipun berbeda daerah, dilihat dari sudut pandang
keseimbangan (harmonis), budaya ini telah menitik beratkan pada keharmonisan, terlihat pada
tampilan dan bentuk sapi tersebut, harus proporsi mulai dari warna, tinggi hingga dan bentuk badan
kedua sapi tersebut sehingga mendapatkan nila dan perhatian yang lebih oleh masyrakat dan juri.

DAFTAR PUSTAKA

Enday Tarjo, Nanang Ganda Prawira. (2009). Konsep dan Strategi Pembelajaran Seni Rupa.
Bandung: CV. Bintang WarliArtika.

11
Danandjaja, James. 1990. “Metode Penulisan Kualitatif dalam Penulisan Folklor”. Dalam Aminudin:
Pengembangan Penulisan Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Hiski
Komisariat Malang dan YA3.
----- 1994. Folklor Indonesia. IImu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta. Grafiti Pers.
----- 1997. Folklor Jepang dilihat dari Kacamata Indonesia. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Hasan, F. 2012. Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai BudayaKarapan Sapi.SEPA : Vol. 8 No. 2:
51 – 182.
Kosim, M. 2007. Kerapan Sapi; “Pesta” Rakyat Madura(Perspektif HistorisNormatif).Karsa, Vol. XI
No. 1.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Siswijono, S.B., Nurgiartiningsih, V.M.A., dan Hermanto. 2013. Pengembangan Model Kelembagaan
Konservasi Sapi Madura. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Melalui DIPA
Universitas Brawijaya Nomor: DIPA023.04.2.414989/2013. SK Rektor Universitas
Brawijaya, Nomor: 295
Wijono, D.B. dan Setiadi B.. 2004. Potensi Dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi
Madura.Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004. Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan
dan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
https://ilmuseni.com/dasar-seni/pengertian-estetika-menurut-para-ahli

12

Anda mungkin juga menyukai