Abstraksi
Ragam hias sebagai identitas budaya telah melalui proses lahir, tumbuh dan berkembang
dengan tidak meninggalkan corak khas atau corak aslinya. Dalam sisi yang positif,
perkembangan ini dapat menjadi indikator dinamisnya suatu kebudayaan. Pada sisi yang
lain, perkembangan corak identitas dalam kurun waktu yang panjang, telah melahirkan
gaya corak atau langgam-langgam baru. Perkembangan ragam hias identitas sebagai
proses kreativitas dan persentuhan budaya, menuntut usaha untuk tetap menjaga dan
melestarikan ragam hias dalam bentuknya yang asli. Penelitian ini bermaksud untuk
menelusuri kembali ragam hias identitas pada Masyarakat Aceh khususnya masyarakat
nelayan dan masyarakat peladang dengan local genius-nya masing-masing. Hasil
penelitian menunjukan bahwa ragam hias identitas masyarakat nelayan dan Peladang
dapat diamati melalui motif dasar yang berkembang pada wilayah geografis tersebut. Di
wilayah pantai dengan pengaruh budaya islam yang lebih kuat maka untuk menghindari
ikonoklasme, seni hias muncul dalam bentuk kaligrafi dan arabesk. Aarabesk merupakan
pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan
mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan,
daun-daunan dan poligon-poligon. Pada masayarakat peladang motif dasar yang ada
selain menunjukan kekayaan geografis yang bersifat setempatan juga menunjukan motif
alam yang didominasi dengan bentuk dasar awan dan bintang. Pemaknaan ragam hias
banyak dihubungkan dengan tata nilai dan sistem adat yang berlaku dalam masyarakat
peladang. Temuan di lapangan menunjukan pemanfaatan ragam hias pada produk
ekonomi kreatif tidak menunjukan kekayaan ragam hias identitas pada masing-masing
wilayah. Pengembangan motif diwilayah pesisir justru banyak mengambil motif dasar
milik masyarakat peladang. Sehingga disarankan agar motif dasar pada masing-masing
wilayah dapat dikonservasi melalui berbagai kegiatan.
90
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
ragam hias yang khas wilayah budaya, ruang dan waktu untuk masyarakat
seperti ragam hias langgam pedalaman Peladang dan Masyarakat Nelayan,
dan langgam pesisiran. Identitas ragam menurut Jakob Sumardjo (2002)
hias ini telah menjadi warisan budaya dikenal secara primordial dengan
sekaligus asset ekonomi kreatif. pembagian dua dan kesatuan tiga.
Penelitian mengenai Ragam Hias di Pemahaman terhadap ruang dan waktu
Jawa atau wilayah kebudayaan lainnya berpengaruh pada pilihan ragam hias
telah banyak dilakukan, akan tetapi yang digunakan oleh masyarakat
tidak begitu halnya dengan wilayah pendukungnya. Nilai-nilai dalam
kebudayaan Aceh. masyarakat peladang dan nelayan Aceh
Sejarawan Anthony Read pernah tidak hanya dimaksudkan untuk
menuliskan dalam salah satu karyanya memenuhi kebutuhan estetika atau
bahwa Aceh merupakan “pintu gerbang kebutuhan jasmani saja akan tetapi
masuk” untuk mengetahui harta tak untuk memenuhi kebutuhan rohani
terhingga Asia Tenggara. Dalam masyarakat penciptanya, menunjukan
pandangannya, pintu Aceh dapat identitas, gagasan bahkan otoritasnya.
diartikan bahwa Aceh sebagai pulau Beberapa penelitian
kaya raya yang penuh dengan rahasia di pendahuluan terhadap ragam hias Aceh
timur-Suvarna-Dvipa, tanah emas seperti yang dilakukan oleh Wardiah
pengawal gerbang menuju semua harta (2014) dalam jurnal Mentari
Asia Tengara. Bagi Indonesia, pulau itu (http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php
adalah “tanah peluang” dengan sumber /mentari/article/view/48), justru
alam yang berlimpah dan potensi menunjukan perlunya pengembangan
ekonomi yang besar (Read, Anthonys, desain motif pada pakain adat Aceh
2011:1), kekayaan ini seharusnya dapat yang merujuk pada penggunaan ragam
ditelusuri dari kebudayaan fisik yang hias asli. Ragam hias asli hanya
ada di Aceh termasuk dalam bentuk bertolak dari pandangan pragmatis dan
ragam hiasnya. Sementara ini, lambang tidak memiliki makna sosial budaya,
pintu Aceh merupakan lambang sehingga dikhawatirkan akan mengikis
identitas untuk provinsi Aceh dengan jatidiri masyarakat Aceh. Padahal jika
makna yang tidak dikenal secara luas dirunut lebih jeli, Ragam hias Aceh
oleh masyarakatnya pendukung memiliki fungsi sebagai penujuk
budayanya. identitas budaya, sosial bahkan identitas
Aceh dalam kajian wilayah geografis seperti halnya kekayaan
kebudayaan dapat diklasifikasi sebagai aneka ragam hayati Aceh. Penelitian
masyarakat peladang dan nelayan terhadap ragam hias sebagai kekayaan
dengan identitas Islam yang kuat. Corak ragam hayati telah dikaji oleh Sofyan
masyarakat ini dapat dikenali dari (2014) dengan judul “Ornaments of
karakteristik budayanya. Pembagian Flora and Fauna on Traditional
wilayah budaya ini dapat dianalisa Acehnese House” dalam jurnal Natural
berdasarkan kajian geografis- Vol.14 No.2, 33-35, September 2014
demografis maupun melalui analisa milik Unsyiah (file:///C:/Users/WIN
etnografis mengenai sistem pemahaman 7.WIN7-PC/Downloads/2261-4217-1-
terhadap ruang dan waktu. Pemahaman SM.pdf)
91
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
92
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
93
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
94
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
95
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
dokumen tersebut tersaji 8 daerah di Aceh walaupun potensi sumber dayanya relatif
dengan karakteristik motif hias ornamentik rendah. Lebih kurang dua pertiga
Aceh, terdiri Aceh Besar, Pidie, Aceh penduduk bermukim pada dataran
Utara, aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh sepa jang pantai utara dan timur.
barat, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Sedangkan lainnya mendiami wilayah
Penamaan kelompok wilayah pantai barat dan selatan, serta pedalaman
tersebut seringkali berbeda. Menurut Aceh bagian tengah dan tenggara (Ibrahim
pengelompokan sosial budaya , Hasan , 1979; 5; Hariri Hadi, 1972: 24
penyebaran penduduk di Daerah Istimewa dalam laporan depdikbud. 1983: 26).
Aceh dibagi dalam wilayah pantai utara Ragam hias identitas seperti
dan timur, pantai barat dan selatan serta dijelaskan sebelumnya dapat dirunut
wilayah pedalaman di Aceh Tengah dan dengan mengamati motif dasar pada
Tenggara. Persebaran penduduk diwilayah masing-masing wilayah. Berikut adalah
Aceh memang tidak merata. Pada pembagian Motif dasar berdasarkan sifat
umumnya penduduk itu lebih terpusatkan geografis dan pembagiannya dalam
pada wilayah-wilayah yang sudah terbuka penamaan jenis ragam hias.
96
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Gambar motif merupakan dokumen yang warisan dari orang tuanya yang diberikan
diperoleh dari ibu Mariana seorang sebelum terjadinya bencana Tsunami di
Pengrajin Tas bordir Aceh di desa Ulee Aceh.
Madoon Aceh Utara dan merupakan
97
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Motif dasar berikutnya adalah Pantai Barat (atau disebut pula pantai
motif dasar Aceh Barat dan Aceh Selatan selatan) bercirikan motif dengan ukuran
yang dikelompokkan dalam Ragam Hias yang besar.
98
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Pada rumah adat Aceh lama di yang paling menonjol adalah motif flora
wilayah Aceh Besar sebenarnya masih yang terdiri dari Unsur Bunga melati
dapat ditemukan motif fauna lainnya yakni (Jasminum sambac), daun kelor (M.
belalang dan motif kupu-kupu. Namun oleifera), sulur pakis (Diplazium
99
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
100
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Motif-motif hias tersebut juga tampil Hasil kerajinan anyaman antara lain
pada hiasan benda kerajinan anyaman, berupa bermacam-macam tikar, tas dan
keramik, tenunan, sulaman, kerajinan wadah. Teknik anyaman daun pandan yang
bambu dan kayu. Untuk bahan baku khas Aceh menghasilkan kerawangan
kerajinan anyaman seringdipakai bambu, dengan motif ilmu ukur seperti hiasan
pandan dan mendong. Padaumumnya kerawang godok, lelayang, sesiku, putu
kerajinan anyaman termasuk kegiatan talae, rantai, tapak catur, tapak kedidi dan
kaum wanita, khususnya para gadis;suatu sebagainya. Motif ilmu ukur juga tampil
kerajinan yang berdasarkan adat pada hasil kerajinan tenunan. Berikut
bahwaseorang gadis yang akan dipinang adalah hasil penelusuran aplikasi ragam
harus sudahmampu mengerjakan anyaman hias pada berbagai media :
dengan hasilyang baik.
Gb.9.Kain batik koleksi Dekranasda Aceh Utara
Gb.10. Kaligrafi dengan fungsi penghias pada Rumoh Aceh di Musium Aceh
101
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
b. Ragam hias identitas Masyarakat ciri khas Aceh Tenggara dan Aceh
Peladang dan Pemaknaannya. Tengah sebagai varian dari ragam
Berikut ini adalah motif dasar dan hias masyarakat peladang.
nama-namanya yang merupakan
102
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
103
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
kelompok besar dengan wilayah yang digunakan adalah sulur, relung dan
dipisahkan oleh batas alam yang luas dan lingkaran. Warna yang menonjol adalah
sulit untuk berhubungan satu sama lain, warna kuning, hijau, merah dan putih.
namun secara etnogarfis budaya gayo Warna tersebut dipadu dalam warna dasar
merupakan satu kesatuan (Hurgronje, hitam yang bermakna tanah atau bumi.
1997). 4 Kelompok tersebut adalah Gayo Warna kuning memiliki makna sebagai
Lut dan gayo Deret yang mendiami sifat musuket sipet (penuh pertimbangan)
Kabupaten Aceh tengah dan Bener Meriah, sebagi simbol raja atau pemimpin. Warna
Gayo Lues di Aceh Tenggara dan terakhir merah melambangkan sifat musidik sasat
adalah masyarakat Gayo yang dapat yaitu penuh keberanian dalam menegakan
disebut Gayo rantau. Masyarakat Gayo kebenaran. Warna putih melambangkan
rantau adalah minoritas di wilayah Aceh perlu sunet yakni kemampuan
Timur yang disebut Gayo Lokop dan Gayo membedakan baik dan buruk serta
Kalul di wilayah Aceh Tamiang kesucian. Warna hijau bermakna sebagai
(Ibrahim,2007). Masyarakat Lokop genap mupakat atau musyawarah
sebagai sub Budaya Gayo dalam perspektif (Ferawati, 2010. Portal
sejarah memiliki keterikatan asal dari Garuda.org/article.php, download tangal
kerajaan Lingge di Aceh Tengah, namun 25 Agustus 2016). Sedangkan bentuk
karena kedekatan Geografis dengan motif yang memiliki sifat repetisi adalah
wilayah Aceh Tenggara, maka beberapa emun berangkat, puthek tali atau puter
praktik budayanya cenderung mengikuti tali, tapak seleman, pucuk ni tuis atau
budaya gayo lues. pucuk khebung/pucuk rebung dan motif
Keempat kelompok tersebut dalam peger dan ulen (bulan) yang merupakan
ragam hiasnya secara umum dihubungkan simbol penerangan dan keindahan. Motif
dengan penggunaan elemen berupa garis, ulen merupakan susunan geometris dengan
nada, struktur dan warna. Struktur yang pola memancar.
104
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Pada masyarakat Gayo lues, pola motif ini disebut dengan sesirung atau sirung tumpak
tampuk yang melambangkan sifat gotong royong dan bahu membahu.
Gb.17. Motif sesirung pada rumah masyarakat Lokop
105
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
Gb. 19. Aplikasi Tapak Seleman Dan Peger Dalam Produk Terapan
106
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
107
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
DAFTAR PUSTAKA
108
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017
109