Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.

1, Januari – Juni 2017

RAGAM HIAS ACEH:


CORAK IDENTITAS DAN PEMAKNAANNYA DALAM
MASYARAKAT NELAYAN DAN PELADANG

T.Junaidi, Mufti Riyani


Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Samudra
revolusihening@rocketmail.com

Abstraksi
Ragam hias sebagai identitas budaya telah melalui proses lahir, tumbuh dan berkembang
dengan tidak meninggalkan corak khas atau corak aslinya. Dalam sisi yang positif,
perkembangan ini dapat menjadi indikator dinamisnya suatu kebudayaan. Pada sisi yang
lain, perkembangan corak identitas dalam kurun waktu yang panjang, telah melahirkan
gaya corak atau langgam-langgam baru. Perkembangan ragam hias identitas sebagai
proses kreativitas dan persentuhan budaya, menuntut usaha untuk tetap menjaga dan
melestarikan ragam hias dalam bentuknya yang asli. Penelitian ini bermaksud untuk
menelusuri kembali ragam hias identitas pada Masyarakat Aceh khususnya masyarakat
nelayan dan masyarakat peladang dengan local genius-nya masing-masing. Hasil
penelitian menunjukan bahwa ragam hias identitas masyarakat nelayan dan Peladang
dapat diamati melalui motif dasar yang berkembang pada wilayah geografis tersebut. Di
wilayah pantai dengan pengaruh budaya islam yang lebih kuat maka untuk menghindari
ikonoklasme, seni hias muncul dalam bentuk kaligrafi dan arabesk. Aarabesk merupakan
pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan
mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan,
daun-daunan dan poligon-poligon. Pada masayarakat peladang motif dasar yang ada
selain menunjukan kekayaan geografis yang bersifat setempatan juga menunjukan motif
alam yang didominasi dengan bentuk dasar awan dan bintang. Pemaknaan ragam hias
banyak dihubungkan dengan tata nilai dan sistem adat yang berlaku dalam masyarakat
peladang. Temuan di lapangan menunjukan pemanfaatan ragam hias pada produk
ekonomi kreatif tidak menunjukan kekayaan ragam hias identitas pada masing-masing
wilayah. Pengembangan motif diwilayah pesisir justru banyak mengambil motif dasar
milik masyarakat peladang. Sehingga disarankan agar motif dasar pada masing-masing
wilayah dapat dikonservasi melalui berbagai kegiatan.

Kata kunci: Ragam Hias identitas, masyarakat nelayan, masyarakat peladang

A. PENDAHULUAN menunjukan identitas suatu kelompok


Salah satu kompleks hasil pendukung kebudayaan. Penggunaan
kebudayaan yang secara massif banyak ragam hias sebagai suatu simbol
digunakan oleh masyarakat pendukung identitas kebudayaan dalam masyarakat
kebudayaan adalah ragam hias. Ragam selaras dengan hakikat manusia sebagai
hias merupakan sistem simbol yang mahluk simbolik atau homo symbolicus.
menampilkan ide, gagasan, aspirasi dan Keadaan ini, di Jawa, melahirkan

90
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

ragam hias yang khas wilayah budaya, ruang dan waktu untuk masyarakat
seperti ragam hias langgam pedalaman Peladang dan Masyarakat Nelayan,
dan langgam pesisiran. Identitas ragam menurut Jakob Sumardjo (2002)
hias ini telah menjadi warisan budaya dikenal secara primordial dengan
sekaligus asset ekonomi kreatif. pembagian dua dan kesatuan tiga.
Penelitian mengenai Ragam Hias di Pemahaman terhadap ruang dan waktu
Jawa atau wilayah kebudayaan lainnya berpengaruh pada pilihan ragam hias
telah banyak dilakukan, akan tetapi yang digunakan oleh masyarakat
tidak begitu halnya dengan wilayah pendukungnya. Nilai-nilai dalam
kebudayaan Aceh. masyarakat peladang dan nelayan Aceh
Sejarawan Anthony Read pernah tidak hanya dimaksudkan untuk
menuliskan dalam salah satu karyanya memenuhi kebutuhan estetika atau
bahwa Aceh merupakan “pintu gerbang kebutuhan jasmani saja akan tetapi
masuk” untuk mengetahui harta tak untuk memenuhi kebutuhan rohani
terhingga Asia Tenggara. Dalam masyarakat penciptanya, menunjukan
pandangannya, pintu Aceh dapat identitas, gagasan bahkan otoritasnya.
diartikan bahwa Aceh sebagai pulau Beberapa penelitian
kaya raya yang penuh dengan rahasia di pendahuluan terhadap ragam hias Aceh
timur-Suvarna-Dvipa, tanah emas seperti yang dilakukan oleh Wardiah
pengawal gerbang menuju semua harta (2014) dalam jurnal Mentari
Asia Tengara. Bagi Indonesia, pulau itu (http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php
adalah “tanah peluang” dengan sumber /mentari/article/view/48), justru
alam yang berlimpah dan potensi menunjukan perlunya pengembangan
ekonomi yang besar (Read, Anthonys, desain motif pada pakain adat Aceh
2011:1), kekayaan ini seharusnya dapat yang merujuk pada penggunaan ragam
ditelusuri dari kebudayaan fisik yang hias asli. Ragam hias asli hanya
ada di Aceh termasuk dalam bentuk bertolak dari pandangan pragmatis dan
ragam hiasnya. Sementara ini, lambang tidak memiliki makna sosial budaya,
pintu Aceh merupakan lambang sehingga dikhawatirkan akan mengikis
identitas untuk provinsi Aceh dengan jatidiri masyarakat Aceh. Padahal jika
makna yang tidak dikenal secara luas dirunut lebih jeli, Ragam hias Aceh
oleh masyarakatnya pendukung memiliki fungsi sebagai penujuk
budayanya. identitas budaya, sosial bahkan identitas
Aceh dalam kajian wilayah geografis seperti halnya kekayaan
kebudayaan dapat diklasifikasi sebagai aneka ragam hayati Aceh. Penelitian
masyarakat peladang dan nelayan terhadap ragam hias sebagai kekayaan
dengan identitas Islam yang kuat. Corak ragam hayati telah dikaji oleh Sofyan
masyarakat ini dapat dikenali dari (2014) dengan judul “Ornaments of
karakteristik budayanya. Pembagian Flora and Fauna on Traditional
wilayah budaya ini dapat dianalisa Acehnese House” dalam jurnal Natural
berdasarkan kajian geografis- Vol.14 No.2, 33-35, September 2014
demografis maupun melalui analisa milik Unsyiah (file:///C:/Users/WIN
etnografis mengenai sistem pemahaman 7.WIN7-PC/Downloads/2261-4217-1-
terhadap ruang dan waktu. Pemahaman SM.pdf)

91
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Penelitian ini bertujuan untuk mempertimbangkan ruang lingkup


menemukan ragam hias identitas yang penelitian.
membedakan masyarakat nelayan dan 2. Identifikasi wilayah dan penentuan
masyarakat peladang di Aceh serta wilayah budaya Aceh dalam corak
menemukan makna ragam hias tersebut masyarakat Peladang dan nelayan.
dengan local genius masing-masing 3. Memulai heuristik dan
masyarakat pendukungnya. Penelitian Pengumpulan data etnografi
dapat merekam ragam hias yang biasa dilakukan dengan melakukan kajian
ditemukan pada kain tradisional, budaya pada masyarakat nelayan
pakaian, peralatan hidup maupun dan peladang di Aceh.
peralatan religi, atau pada benda-benda 4. Kritik sumber dan pembuatan
hasil budaya baik yang berfungsi profan rekaman etnografi.
maupun berfungsi sakral, sehingga 5. Intepretasi data dan Analisis data
identitas budaya Aceh dapat terus etnografi.
diwariskan serta diharapkan dapat 6. Historiografi dalam bentuk
membuka kajian bagi pengembangan penulisan etnografi.
ekonomi kreatif di Aceh.
B. METODE PENELITIAN C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini peneliti Penelitian ini dimulai dengan
menggunakan metodologi sejarah melakukan Heuristik yakni pengumpulan
dengan pendekatan etnografi yang jejak-jejak sejarah dimulai dengan mencari
bersifat field riset. Metodologi sejarah sumber-sumber sekunder sejarah
sesuai kerangka kerja yang dirumuskan terbentuknya masyarakat Aceh dan budaya
oleh Gottschalk (1975) dimulai dari yang dimiliki sebagai akibat perjalanan
kegiatan heuristik, kritik, intepretasi sejarah. Hal ini penting dilakukan untuk
dan historiografi. Pendekatan mengetahui persebaran budaya dan
penelitian lapangan etnografi bersifat kemungkinan-kemungkinan relevansi antar
holistik-integratif, thick description, budaya. Pengaruh budaya asing dalam
dan analisa kualitatif dalam rangka sejarah Aceh juga menentukan bentuk
mendapatkan native’s point of view ragam hias sebagai hasil akulturasi dalam
(Spradley, 2006) dimanfaatkan untuk pergaulan Aceh di masa lalu baik dengan
mengintepretasi data. negeri-negeri diluar Aceh maupun negeri-
Alur Penelitian negeri Asing seperti hubungan Aceh
Alur penelitian yang digunakan dalam dengan Cina, India, Turki, Arab dan
penelitian ini mengacu pada alur sebagainya. Intensitas dan bentuk
penelitian sejarah dengan pendekatan akukturasi dengan bangsa-bangsa asing ini
etnografi (Spradley dalam Creswell, menentukan karakteristik yang muncul
2012:475) dengan langkah metode dalam ragam hias pada suatu wilayah.
sejarah: Selain bersumber dari literatur sejarah,
1. Pemilihan suatu proyek etnografi penelusuran sumber sekunder dapat
melalui studi pendahuluan. Siklus diperoleh melalui studi-studi terdahulu
ini dimulai dengan memilih suatu yang relevan dengan keberadaan ragam
proyek penelitian etnografi dengan hias Aceh. Beberapa sumber literatur
penting dapat diperoleh di Pusat data dan

92
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Dokumentasi Aceh atau PDIA dan Masyarakat Aceh mengenal


acehbook.com. beberapa jenis senjata tradisional
Data etnografi diperoleh melalui 2 selain rencong (Talsya. 1972: 7).
cara yakni secara teoritis dan praktis. Data Senjata tersebut antara lain terdiri
teoritis diperoleh melalui literatur yang dari Reuncong, Ulee Lapan Sagoe,
relevan dengan sistem budaya masyarakat Ulee dandan, ule meucangge,
peladang dan nelayan termasuk peudeung, peudeung unjuk, ulee
didalamnya kecenderungan komunitas janggok, ulee paroh bleseka, ulee
masyarakat terhadap hasil budaya dan seni. boh glima, siwaih, tumpang jengki
Data praktis diperoleh melalui pengamatan dan peudeung lintek. Senjata
langsung pada subyek penelitian. tersebut pada jaman dahulu banyak
Penelitian etnografi telah berhasil diproduksi di wilayah Aceh besar.
mengumpulkan beberapa data penting baik Selain itu terdapat beberapa senjata
berupa dokumen, gambar, keterangan lain seperti tumbak petake berambu
maupun hasil pengamatan langsung. yang digunakan untuk upacara adat,
Kritik sumber dan pembuatan senajata perang dan peralatan
rekaman etnografi. Kritik sumber pengawal istana, pedang betilam,
dilakukan pada sumber tertulis dan sumber pedang panjang, tumbak lada,
lisan. Tehnik kritik sumber dokumen sundak udang dan senjata semi
tertulis dilakukan dengan tehnik kritik modern yaitu senjata berapi seperti
eksternal dan internal. Kritik sumber meriam lela dan pemuras yakni
kualitatif untuk data etnografi dilakukan senjata sejenis pistol dengan peluru/
dengan tehnik mengalir dan triangulasi. pemuras dan menggunakan pelatuk.
Obyek penelitian terdiri dari: Senjata-senjata tersebut banyak
a. Ragam hias pada rumah dan rumah diproduksi di wilayah Aceh barat.
adat tergolong sebagai ragam hias Saat ini, tempat yang paling
pada pada bidang kayu. memungkinkan untuk melakukan
Ragam hias pada bidang kayu kajian terhadap senjata tradisional
merupakan ragam hias tertua yang Aceh dapat dilakukan di musium
ditemukan dalam sejarah nagari di Aceh Besar. Ragam hias
kebudayaan setelah mengalami pada senjata tradisional dapat
perkembangan dari seni rupa berupa memperlihatkan kekayaan ragam
seni lukis pada dinding gua. Obyek hias pada bidang kayu dan sekaligus
ini diteliti dengan pengamatan pada bidang logam. Ragam hias pada
langsung rumah penduduk diwilayah bidang logam juga dapat diamati
masyarakat peladang dan nelayan. pada perhiasan tradisional.
Penelusuran data dapat dilakukan c. Ragam hias pada anyaman
melalui studi dokumentasi pada Setelah pada bidang kayu, ragam
penelitian terdahulu. Pada hias banyak dimanfaatkan untuk
hakikatnya ragam hias pada rumah menghias peralatan hidup yang
adat dapat pula digolongkan sebagai berupa anyaman.
ragam hias pada bidang kayu yang d. Ragam hias pada kain tradisional
biasa disebut dengan seni ukir. Ragam hias ini pada dasarnya dapat
b. Ragam hias pada senjata tradisional digolongkan sebagai ragam hias

93
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

pada bidang kain. Biasanya penduduk yang bermatapencaharian


digunakan dalam kain songket, tas, sebagai nelayan”. (Fachrudin dalan
penghias ruangan, atau peralatan Hasanuddin, 1985:108)
yang bersifat sakral (kegiatan adat)
maupun pada kegiatan profan. Berdasarkan hasil riset, Fachrudin
Berdasarkan Identifikasi geografis dkk. (1976) mengelompokkan, desa-desa
terhadap masyarakat Peladang dijelaskan pesisir ke dalam empat jenis, yaitu: (1)
sebagai berikut. Masyarakat Peladang desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu
yakni masyarakat mendiami wilayah desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
pedalaman Aceh dengan ciri hutan dan penduduknya bermatapencaharian sebagai
pegunungan, meliputi wilayah yang petani sawah; (2) desa pesisir tipe tanaman
didiami masyarakat Gayo dan Lues industri, yaitu desa-desa yang sebagian
meliputi: Aceh Tengah dengan pusat kota besar atau seluruh penduduknya
Takengon, Kutacane, Aceh Tenggara dan bermatapencaharian sebagai petani
Lokop (Secara Administratif termasuk tanaman industri; (3) desa pesisir tipe
Kabupaten Aceh Timur). Serta terdapat nelayan/empang, yaitu desa-desa yang
beberapa wilayah pesisir yang berbatasan sebagian besar atau seluruh penduduknya
atau berdekatan dengannya seperti bermatapencaharian sebagai nelayan,
pedalaman Sigli, Tangse, Beureuen dan petambak, dan pembudidaya perairan; dan
Jantho yang berdasarkan penelitian (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi,
memiliki ragam hias dengan sifat peralihan yaitu desa-desa yang sebagian besar atau
dari identitas masyarakat Peladang dan seluruh penduduknya bermatapencaharian
Nelayan. sebagai pedagang antarpulau dan penyedia
Sedangkan yang dapat digolongkan jasa transportasi antarwilayah (laut).
sebagai masyarakat nelayan secara
geografis dan demografis meliputi Dalam penelitian ini konstruksi
wilayah: Sigli, Pidie, Lhokseumawe, masyarakat nelayan dipahami dengan
Meulaboh, Tapaktuan, Banda Aceh, konteks pemikiran di atas, yaitu suatu
Blangkajeren dan Langsa. Masayarakat konstruksi masyarakat yang kehidupan
Nelayan dalam pengertian ini merupakan sosial budayanya dipengaruhi secara
masyarakat pesisir yang mengacu pada signifikan oleh eksistensi kelompok–
tipe masyarakat pesisir yang diajukan oleh kelompok sosial yang merupakan
Fachrudin (dalam Hasanudin.1985) dengan gabungan tipe-tipe desa seperti klasifikasi
penjelasan sebagai berikut: diatas. Hal ini disebabkan meskipun
masyarakat nelayan memiliki identitas
“Sebagai suatu kesatuan sosial, kebudayaan yang berbeda dengan satuan-
masyarakat nelayan hidup, tumbuh, satuan sosial lainnya, seperti petani di
dan berkembang di wilayah pesisir dataran rendah, peladang di lahan kering
atau wilayah pantai. Dalam konstruksi dan dataran tinggi, kelompok masyarakat
sosial masyarakat di kawasan pesisir, di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya
masyarakat nelayan merupakan bagian yang hidup di daerah perkotaan. Bagi
dari konstruksi sosial tersebut, masyarakat nelayan, kebudayaan
meskipun disadari bahwa tidak semua merupakan sistem gagasan atau sistem
desa-desa di kawasan pesisir memiliki kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman

94
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan digolongkan dalam wilayah besar ragam


sosial, serta sebagai sarana untuk hias Aceh dengan karakteristik pantai dan
menginterpretasi dan memaknai berbagai pedalaman dengan ciri masyarakat
peristiwa yang terjadi di lingkungannya peladang (Wawancara Hj. Cut Huzaimah,
(Keesing, 1989:68-69), namun gagasan Tanggal 1 Juni 2016) yang terdiri dari:
dan praktik kebudayaan harus bersifat 1. Wilayah pantai utara, meliputi:
fungsional dalam kehidupan masyarakat Aceh Tamiang, Lhokseumawe,
sehingga pemanfaatan ragam hias sebagai Kota Langsa, Beureuen, banda
seni hias ornamentik tidak begitu Aceh dan Sigli. Meskipun Sigli
mendapatkan tempat khusus. dikelompokkan dalam wilayah
Hal ini juga didasarkan pada pantai utara namun memiliki gaya
pengamatan bahwa masyarakat nelayan di yang cukup mencolok dengan
Aceh tidak memiliki ciri khusus sebagai wilayah lainnya. Sedangkan
pembeda dengan tipe desa pesisir lainnya. wilayah dengan gaya ragam hias
Haln tersebut paling nampak pada rumah yang sangat identik dimiliki oleh 3
tinggal yang tidak memanfaatkan ragam wilayah yakni Beureuen,
hiasn secara khusus, namun pada Lhokseumawe dan Kota Langsa.
keperluan tradisi dan upacara adat serta 2. Wilayah pantai selatan, meliputi :
peralatan hidup lainnya masih Meulaboh, Tapaktuan
memanfaatkan ragam hias yang umumnya 3. Wilayah Pedalaman (ladang dan
dipakai di desa-desa pesisir. hutan) : Aceh Tenggara, Aceh
Dengan demikian Masyarakat tengah dan Lokop.
Nelayan Aceh adalah masyarakat yang Dalam kajian sejarah politik, pantai
secara geografis tinggal di daerah pesisir utara biasa disebut dengan pantai Timur
atau pantai Aceh. Berdasarkan (Sumatera) dan pantai selatan disebut
pembahasan sebelumnya wilayah pesisir dengan Pantai Barat (Sumatera). Dalam
Aceh dalam pembedaan ragam hiasnya kajian ragam hias, khususnya pada
dibedakan mencari ragam hias dengan pembuatan motif pada kain, pantai utara
karakteristik pantai Utara dan Pantai dan selatan dibedakan dalam bentuk
Selatan. Pantai Utara meliputi beberapa sulaman dalam dan sulaman luar. Pada
wilayah seperti Aceh Besar, Aceh Utara sulaman dalam, terdapat garis pembatas
dan Aceh Timur. Sedangkan Pantai pinggir sebagai pola dasar, sedangkan di
Selatan terdiri dari Aceh Selatan dan wilayah pantai selatan, sulaman tidak
Barat. Wilayah Selatan sedikit terpengaruh diberi batas pinggir yang menandai pola
oleh karakteristik ragam hias masyarakat dasar
Peladang di Aceh Tengah dan Tenggara Melalui studi dokumentasi
yang disebabkan disparitas budaya. ditemukan salah satu dokumen yang
Selain berdasarkan karakteristik ditengarai sebagai dokumen bedah motif
geografis, pertimbangan subyek dan lokasi Aceh ke-1 yang dilakukan oleh
penelitian juga dipertimbangkan dari pemerintahan Aceh (keterangan ibu Susi,
karakteristik pola ragam hias atau Pengurus Dekranasda Kota Lhokseumawe,
karakteristik motif. Berdasarkan penelitian 2 Juni 2016). Dokumen tersebut diperoleh
awal melalui survey data dan penelusuran dari salah satu narasumber yang berada di
informasi terdapat 3 wilayah besar yang Aceh Utara (Ibu Mariana). Dalam

95
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

dokumen tersebut tersaji 8 daerah di Aceh walaupun potensi sumber dayanya relatif
dengan karakteristik motif hias ornamentik rendah. Lebih kurang dua pertiga
Aceh, terdiri Aceh Besar, Pidie, Aceh penduduk bermukim pada dataran
Utara, aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh sepa jang pantai utara dan timur.
barat, Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Sedangkan lainnya mendiami wilayah
Penamaan kelompok wilayah pantai barat dan selatan, serta pedalaman
tersebut seringkali berbeda. Menurut Aceh bagian tengah dan tenggara (Ibrahim
pengelompokan sosial budaya , Hasan , 1979; 5; Hariri Hadi, 1972: 24
penyebaran penduduk di Daerah Istimewa dalam laporan depdikbud. 1983: 26).
Aceh dibagi dalam wilayah pantai utara Ragam hias identitas seperti
dan timur, pantai barat dan selatan serta dijelaskan sebelumnya dapat dirunut
wilayah pedalaman di Aceh Tengah dan dengan mengamati motif dasar pada
Tenggara. Persebaran penduduk diwilayah masing-masing wilayah. Berikut adalah
Aceh memang tidak merata. Pada pembagian Motif dasar berdasarkan sifat
umumnya penduduk itu lebih terpusatkan geografis dan pembagiannya dalam
pada wilayah-wilayah yang sudah terbuka penamaan jenis ragam hias.

Gambar 1. Pembagian motif Dasar Aceh

pedalaman khas masyarakat peladang


Berdasarkan gambar tersebut dapat Aceh. Motif yang dimaksud adalah motif
diamati bahwa pada wilayah masyarakat fauna, meskipun motif ini sudah jarang
pantai Timur Aceh menggunakan motif digunakan.
dasar Aceh besar dengan variasi besaran
aplikasi bentuk motif yang digunakan dan a. Ragam hias identitas masyarakat
penggunaan garis tepi pada sulaman atau nelayan Aceh dan Pemaknaannya
garis motif yang tegas. Motif dasar Aceh Berikut adalah motif dasar yang
Barat dan Aceh Tenggara memiliki motif muncul pada wilayah masyarakat Nelayan.
dasar penghubung berupa bentuk awan. Motif yang banyak digunakan adalah motif
Motif dasar pantai Barat pada dasarnya Aceh Besar yang mempengaruhi sebagian
merupakan ragam hias peralihan karena besar wilayah Pantai Timur (masyarakat
sifatnya yang bercampur dengan motif awan menyebut sebagai pantai utara).

96
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Gambar motif merupakan dokumen yang warisan dari orang tuanya yang diberikan
diperoleh dari ibu Mariana seorang sebelum terjadinya bencana Tsunami di
Pengrajin Tas bordir Aceh di desa Ulee Aceh.
Madoon Aceh Utara dan merupakan

Gb.2. Motif Dasar Aceh Besar

Sumber : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 12-16

Berdasarkan studi lapangan, dalam sulaman kasab. Motif Oun Ubi


beberapa motif dasar tersebut banyak dimanfaatkan dalam kain Batik di
dimanfaatkan oleh beberapa wilayah di Aceh Besar. Sedangkan di Aceh Utara
Pantai Timur dengan salah satu motif yang pemanfaatan motif Matahari menjadi ciri
menonjol. Misalnya di Sigli, Motif bulan motif tolak angin yang menghiasi ventilasi
banyak di rangkai menjadi motif bunga atap rumah maupun penghias daun pintu.

Gb. 3. Motif matahari di rumah dinas bupati Lhokseumawe

Sumber: foto pribadi

97
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Gb.4. Motif pada sulam kasab khas Sigli

Sumber: foto pribadi, 2016

Motif dasar berikutnya adalah Pantai Barat (atau disebut pula pantai
motif dasar Aceh Barat dan Aceh Selatan selatan) bercirikan motif dengan ukuran
yang dikelompokkan dalam Ragam Hias yang besar.

Gb.5. Motif Dasar Aceh Barat dan Selatan

Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 46-50

Gb. 6. Motif Dasar Aceh Selatan

98
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 75-78

Seperti disebutkan sebelumnya, burung dan ikan, ketiganya merupakan


motif Aceh Selatan memiliki keterkaitan fauna khas daerah pesisir. Namun motif
dengan motif Aceh Tengah termasuk ikan juga ditemukan di wilayah Aceh
pemanfaatan motif fauna. Bentuk fauna Tengah disamping motif naga dan ayam
yang digunakan adalah motif udang, yang disebut kur.

Gb.7. Motif bentuk fauna Aceh Selatan

Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Ace nim: 112

Gb.8. Aplikasi Motif Fauna Aceh Selatan pada Produk Kerajinan

Sumber : : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh:116

Pada rumah adat Aceh lama di yang paling menonjol adalah motif flora
wilayah Aceh Besar sebenarnya masih yang terdiri dari Unsur Bunga melati
dapat ditemukan motif fauna lainnya yakni (Jasminum sambac), daun kelor (M.
belalang dan motif kupu-kupu. Namun oleifera), sulur pakis (Diplazium

99
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

esculentum), rebung (Dendrocalamus mengembangkan seni hias dalam bentuk


asper), kupula (Mimusops elengi), pisang kaligrafi dan arabesk. Kaligrafi
(Ravelana madagascariensis), bunga mengekspresikan paham ketuhanan yan
matahari (Helianthus annuus), rambutan abstrak , tidak dapat dilukiskan kecuali
(Nephelium lappacium), dan pucuk labu melalui wakyu-wahyu-Nya. Maka
(Cucurbita moschata) (Sofyan, 2014. beberapa ragam hias pada masyarakat
Jurnal Natural Vol. 14 No. 2:34). Nelayan Aceh juga mengkombinasikan
Namun dalam perkembangan lebih kaligrafi tersebut. Sedangkan arabesk
lanjut, berdasarkan hasil Intepretasi data merupakan pengembangan rasa keindahan
yakni proses menghubungkan satu fakta yang bebas dari mitos alam dan dilakukan
dengan fakta lainnya tengah berlangsung. dengan mengembangkan pola-pola abstrak
Dapat ditarik suatu garis merah pada yang diambil dari pengolahan motif
wilayah-wilayah pesisir Aceh bahwa bunga-bungaan, daun-daunan dan poligon-
ragam hias identitas pada masyarakat poligon.
Nelayan identik dengan pengaruh Arabesk Seni hias khas Islam berupa gubahan
yang besar. Pengaruh ini menyebabkan motif aksara Arab dan motif ilmu ukur
dinamisnya ragam hias dalam bentuk yang digarap dalam hiasan bidang. Motif
stilirisasi bentuk agar semakin jauh dari aksara Arab disusun dalam hiasan kaligrafi
bentuk aslinya. Selain itu, ragam hias yang dipadukan dengan motif lain.
tersebut jarang sekali memiliki makna Kaligragi Arab tampil sebagai hiasan pada
khusus kecuali sebagai bentuk representasi mesjid, makam dan pada benda kerajinan.
alam namun bebas dari mitos-mitos yang Ayat-ayat suci dari Al-Qur'an dengan
dimaknakan secara magis. Hal ini dapat indah sekali disusun menjadi hiasan batu
dipahami sebab, pesisir Aceh merupakan nisan makam para raja, hulubalang dan
wilayah dengan pengaruh Islam yang lebih para pembesar Aceh dengan keluarganya.
dominan dibandingkan wilayah pedalaman Makammakam semacam ini tersebar di
Aceh yang berbasis budaya peladang. daerah Kotamadya Banda Aceh dan
Relevansi Islam dengan budaya dan Samudra Pase. Bentuk batu nisannya
khususnya seni sangat besar. Kondisi ini adalah sangat khas untuk makam-makam
sesuai dengan pendapat Nurcholish Madjid di Aceh yang berbeda dengan batu nisan
(2013:127) yang menyatakan bahwa makam dari daerah lain (Album Seni
semangat egaliterianisme islam Budaya Aceh. Depdikbud.1982:8).
diwujudkan pula dalam sikapnya yang anti Kekayaan ragam hias yang tampil
ikonoklasme, terutama anti gambar memang tidak selalu bernafaskan Islam
representasional yang bersifat emblemetis karena peranan tradisi seni hias asli yang
dan magis (yaitu setiap gambar yang masih terpelihara. Di antara motif-motif
mengungkapkan suatu mitologi kepada hias tradisional Aceh yang terkenal ialah
alam). Ide dasar dari sikap tersebut ialah motif stilasi binatang dan tumbuh-
bahwa magisme menghalangi manusia dari tumbuhan dan motif ilmu ukur. Termasuk
sifat keadilan berdasarkan persamaan jenis motif tumbuh-tumbuhan ialah motif
(semangat egaliterianisme). bungong jeumpa (bunga cempaka), motif
Untuk menghindari ikonoklasme, bungong meulue (bunga melur), motif
maka masyarakat nelayan seperti apa yang pucuk rebung dan lain-lain.
disarankan oleh peradaban Islam

100
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Motif-motif hias tersebut juga tampil Hasil kerajinan anyaman antara lain
pada hiasan benda kerajinan anyaman, berupa bermacam-macam tikar, tas dan
keramik, tenunan, sulaman, kerajinan wadah. Teknik anyaman daun pandan yang
bambu dan kayu. Untuk bahan baku khas Aceh menghasilkan kerawangan
kerajinan anyaman seringdipakai bambu, dengan motif ilmu ukur seperti hiasan
pandan dan mendong. Padaumumnya kerawang godok, lelayang, sesiku, putu
kerajinan anyaman termasuk kegiatan talae, rantai, tapak catur, tapak kedidi dan
kaum wanita, khususnya para gadis;suatu sebagainya. Motif ilmu ukur juga tampil
kerajinan yang berdasarkan adat pada hasil kerajinan tenunan. Berikut
bahwaseorang gadis yang akan dipinang adalah hasil penelusuran aplikasi ragam
harus sudahmampu mengerjakan anyaman hias pada berbagai media :
dengan hasilyang baik.
Gb.9.Kain batik koleksi Dekranasda Aceh Utara

Sumber: foto pribadi

Gb.10. Kaligrafi dengan fungsi penghias pada Rumoh Aceh di Musium Aceh

Sumber foto: pribadi

Gb.11. Aplikasi motif dasar pada ornamen penghias rumah

Sumber : Proyek Media Kebudayaan Departemen pendidikan dan Kebudayaan.1983/1984: 12

101
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

b. Ragam hias identitas Masyarakat ciri khas Aceh Tenggara dan Aceh
Peladang dan Pemaknaannya. Tengah sebagai varian dari ragam
Berikut ini adalah motif dasar dan hias masyarakat peladang.
nama-namanya yang merupakan

Gb.12.Motif Dasar Aceh Tenggara

Sumber : ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 130

Gb.13. Motif Dasar Aceh Tenggara

Sumber: ___. 2002. Ragam Hias Ornamentik Aceh: 142

102
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Tabel 1. Nama Motif di Aceh Tengah dan Tenggara


Nama motif
Pucuk khebung
Papan catur
Tikan jejak
Puter tali
Gelombang anak
Jejhak panthemken
Cecengkuk anak
Cuping gajah
Pakuk sekhpe
Lempang ketang
Bunge panah
Sesirung
Sarak opat
Layang-layangg
Gegaping
Selalu
Leladu
Tapak seleman
Rante
Ulung lela
Tapak tikus
Bungeni bako
Kacang
Kapas

Daerah dengan karakteristik lambang kekuasaan. Pola dasar yang


masyarakat Peladang memiliki konsep digunakan adalah bentuk-bentuk
pembagian ruang yang disebut dengan geometris. Pemaknaan terhadap ragam
“pembagian tiga” atau “kesatuan tiga”. hias pada masyarakat Peladang banyak
Pembagian ini lebih menekankan dihubungkan dengan penegakan adat dan
independensi ruang dan egaliterian etika sosial yang dipegang oleh
(Sumardjo, Jakob. 2002:20). Ragam hias masyarakat setempat. Hal yang unik
yang sering muncul pada pola ruang adalah munculnya ragam hias sebagai
kesatuan tiga adalah bidang kain dalam representasi kekayaan geografis pada
garis-garis pemisah. Garis “batas” yang masing-masing wilayah. Dari 2 wilayah
bersifat dominan dan ada bidang “dalam” budaya yang berbeda ini dapat ditemukan
(bagian terluas bidang hias) dan bidang beberapa motif dasar yang sama dengan
“luar: (disisi kiri dan kanan bidang utama). penamaan yang berbeda dan motif
selain secara vertikal, garis sebagai ragam penghubung diantara keduanya.
hias muncul pada bidang kategori Masyarakat Peladang Aceh secara
horisontal, misalnya lambang lelaki, budaya merupakan pengusung budaya
perempuan, lambang harmoni dan gayo. Tanah Gayo dibagi menjadi 4

103
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

kelompok besar dengan wilayah yang digunakan adalah sulur, relung dan
dipisahkan oleh batas alam yang luas dan lingkaran. Warna yang menonjol adalah
sulit untuk berhubungan satu sama lain, warna kuning, hijau, merah dan putih.
namun secara etnogarfis budaya gayo Warna tersebut dipadu dalam warna dasar
merupakan satu kesatuan (Hurgronje, hitam yang bermakna tanah atau bumi.
1997). 4 Kelompok tersebut adalah Gayo Warna kuning memiliki makna sebagai
Lut dan gayo Deret yang mendiami sifat musuket sipet (penuh pertimbangan)
Kabupaten Aceh tengah dan Bener Meriah, sebagi simbol raja atau pemimpin. Warna
Gayo Lues di Aceh Tenggara dan terakhir merah melambangkan sifat musidik sasat
adalah masyarakat Gayo yang dapat yaitu penuh keberanian dalam menegakan
disebut Gayo rantau. Masyarakat Gayo kebenaran. Warna putih melambangkan
rantau adalah minoritas di wilayah Aceh perlu sunet yakni kemampuan
Timur yang disebut Gayo Lokop dan Gayo membedakan baik dan buruk serta
Kalul di wilayah Aceh Tamiang kesucian. Warna hijau bermakna sebagai
(Ibrahim,2007). Masyarakat Lokop genap mupakat atau musyawarah
sebagai sub Budaya Gayo dalam perspektif (Ferawati, 2010. Portal
sejarah memiliki keterikatan asal dari Garuda.org/article.php, download tangal
kerajaan Lingge di Aceh Tengah, namun 25 Agustus 2016). Sedangkan bentuk
karena kedekatan Geografis dengan motif yang memiliki sifat repetisi adalah
wilayah Aceh Tenggara, maka beberapa emun berangkat, puthek tali atau puter
praktik budayanya cenderung mengikuti tali, tapak seleman, pucuk ni tuis atau
budaya gayo lues. pucuk khebung/pucuk rebung dan motif
Keempat kelompok tersebut dalam peger dan ulen (bulan) yang merupakan
ragam hiasnya secara umum dihubungkan simbol penerangan dan keindahan. Motif
dengan penggunaan elemen berupa garis, ulen merupakan susunan geometris dengan
nada, struktur dan warna. Struktur yang pola memancar.

Gb.14. Detail dan Pola Motif Emun Berangkat

Sumber : ferawati, 2010

104
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Gb. 15. Detail dan Pola Motif Puter Tali

Sumber : Ferawati, 2010

Gb.16. Detail dan Pola Pucuk Khebung

Sumber: Ferawati, 2010:

Pada masyarakat Gayo lues, pola motif ini disebut dengan sesirung atau sirung tumpak
tampuk yang melambangkan sifat gotong royong dan bahu membahu.
Gb.17. Motif sesirung pada rumah masyarakat Lokop

Sumber: foto pribadi

105
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Gb. 18. Desain dan pola tapak seleman

Sumber : Ferawati, 2010

Gb. 18. Desain dan Pola Peger

Sumber: Ferawati, 2010

Gb. 19. Aplikasi Tapak Seleman Dan Peger Dalam Produk Terapan

Sumber : foto pribadi

106
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Gb.20. Detail dan pola motif ulen

Sumber: Ferawati, 2010

D. KESIMPULAN tersebut. Dalam hal pemaknaan,


Aceh sangat kaya dengan ragam masyarakat Aceh dengan basis budaya
hias dalam bentuk motif hias dan pesisir memaknai ragam hias secara
ornamentik. Masing-masing wilayah lugas dengan pokok yang identik dengan
memiliki ragam hias yang sangat variatif, ciri egaliterian. Hal tersebut berbeda
meskipun demikian ragam hias pada dengan pemaknaan ragam hias pada
wilayah Aceh dengan basis budaya masyarakat peladang yang identik
nelayan dan peladang dapat diidentifikasi dengan penegakan adat dan etika sosial.
dengan menganalisa pola-pola motif Hal yang unik adalah munculnya ragam
dasarnya. Latar belakang lingkungan hias sebagai representasi kekayaan
budaya dan pengaruh luar yang masuk geografis pada masing-masing wilayah.
menentukan corak ragam hias yang Dari 2 wilayah budaya yang berbeda ini
berkembang. Namun perkembangan dapat ditemukan beberapa motif dasar
tersebut didasarkan pad motif dasar yang yang sama dengan penamaan yang
identik pada wilayah-wilayah budaya berbeda dan motif penghubung diantara
tersebut. Selain motif dasar, warna juga keduanya.
menentukan identitas ragam hias

107
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002.Motif Hias Seni Keesing. 1989. Antropologi Budaya:


Ornamentik Aceh. Dokumen suatu perspektif kontemporer.
diperoleh dari informan di Ulle Jakarta: Erlangga
Madoon, Aceh Utara
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu
Creswell. 2012.Education Research, Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
planning, conducting and
evaluation quantitative and Marsden, William. 2008. Sejarah
qualitative Research.4Th Edition. Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
Boston: Pearson

Gottscahlk. 1975. Mengerti Sejarah. Nurcholish, Madjid. 2013. Islam


Jakarta: UI Press Kemoderenan dan
Keindonesiaan. Edisi ke 2.
Ferawati, 2010. Motif Kerawang Gayo Bandung: Mizan
Pada Busana Adat Pengantin di
Aceh Tengah. Portal Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi
Garuda.org/article.php, download Kebudayaan Daerah Departemen
tangal 25 Agustus 2016 Pendidikan Dan Kebudayaan .
1983. Aspek Geografi Budaya
Hasanudin.1985. Hasanudin, Basri.1985. Dalam Wilayah Pembangunan
”Beberapa Hal Mengenai Struktur Daerah Istimewa Aceh. Jakarta:
Ekonomi Masyarakat Pantai”, Debdikbud.
dalam A.S. Achmad dan S.S.
Acip (Peny.). Komunikasi dan Proyek Media Kebudayaan Departemen
Pembangunan. Jakarta: Penerbit Pendidikan Dan Kebudayaan
Sinar Harapan Direktorat Jenderal Pendidikan .
1982/1983. Album Seni Budaya
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger: Aceh. Jakarta: Debdikbud
Perubahan Sosialb dan
Perkelahian Politik. Yogyakarta: Proyek Media Kebudayaan Departemen
LkiS pendidikan dan Kebudayaan.
Album arsitektur
Hurgronje. 1997. Aceh, Rakyat dan Adat tradisional,.1983/1984: 12
Istiadatnya, jil. 1 (terj.) Sutan
Meimoen. Jakarta: Inis Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah
Sumatra: Antara Indonesia dan
Ibrahim Hasan.1979; 5; Hariri Hadi, Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka
1972: 24 dalam laporan Obor Indonesia: KITLV Jakarta.
depdikbud. 1983
Sofyan. 2014. Ornaments of Flora and
Jakob, Sumardjo. 2002. Arkeologi Fauna on Traditional Acehnese
Budaya Indonesia. Yogyakarta: House. Jurnal Natural Vol. 14
Qalam No. 2:34.

108
Jurnal Seuneubok Lada, Vol.4,No.1, Januari – Juni 2017

Soegeng Toekio M., 1987, Mengenal


Ragam Hias Indonesia, Bandung: Sumber wawancara
Angkasa.
Hj. Cut Huzaimah, Tanggal 1 Juni 2016,
T. Alibasyah Talsya. 1972. Atjeh Jang pukul 13.00 – 15.30 WIB
Kaja Budaja. Banda Aceh:
Pustaka Mutia ibu Susi, Pengurus Dekranasda Kota
Lhokseumawe, 2 Juni 2016,
Wardiah .2014. pengembangan desain Pukul 11.30 – 14.00 WIB
motif pada pakain adat
Aceh.Jjurnal Mentari. Ibu Mariana, pengrajin tas bordir ulee
http://ejournal.unmuha.ac.id/inde Madoon, Aceh Utara, 3 Juni
x.php/mentari/article/view/48 2016, Pukul 15.00-18.00 WIB

109

Anda mungkin juga menyukai