Anda di halaman 1dari 16

1

EKSISTENSI LUKISAN PRASEJARAH PADA SITUS LIANG KABORI


DI KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

EXISTENCE OF PAINTING ON SITE PREHISTORIC LIANG KABORI


MUNA IN SOUTHEAST SULAWESI

Oleh:
Yabu M.
Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar

Abstrak
Lukisan prasejarah menyajikan banyak hal, terutama tentang wawasan pikiran
dan imajinasi peradaban masa lampau. Para arkeolog dari generasi ke generasi semakin
tertarik untuk mengartikan temuan-temuan tersebut guna mengungkap banyak hal tentang
kehidupan masyarakat pada waktu itu. Situs Liang Kabori adalah salah satu diantara
sekian banyak situs di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang memiliki peninggalan
warisan budaya bangsa, yakni berupa lukisan prasejarah. Tinggalan tersebut kini menjadi
bukti otentik dari pola pikir, adat-istiadat, sistem sosial budaya, teknologi, dan religi yang
perlu dipahami bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Peradaban masa
lalu, seperti mengekspresikan hasil pemikiran, hasrat, dan cita-cita melalui gambar-
gambar pada dinding gua adalah bentuk kebudayaan yang unik dan langka. Dalam
konteks masa lalu, gua menjadi tempat hunian, tempat beraktivitas bagi masyarakat
prasejarah, serta sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, hasrat, pikiran, cita-cita, dan
harapan mereka dalam bentuk kepercayaan (magis-religius).
Kata Kunci: Lukisan prasejarah, situs, liang Kabori.
Abstract
Prehistoric paintings presents a lot of things, especially about the insights the
mind and imagination of past civilizations. The archaeologists from generation to
generation more interested in interpreting these findings in order to reveal much about
the life of society at that time. Site Kabori Liang is one among the many sites in Muna,
Southeast Sulawesi, which has relics of the nation's cultural heritage, namely in the form
of prehistoric paintings. The remains are now to be authentic evidence of the mindset,,
customs, social and cultural systems, technology, and religion that needs to be
understood for present and future generations. Past civilizations, such as expressing the
thoughts, desires, and ideals through the drawings on cave walls is a unique form of
culture and rare. In the context of the past, the cave into the shelter, place of activity for
the prehistoric society, and as a means to express themselves, desires, thoughts, ideals,
and their hope in the form of beliefs (magical-religious).
Keywords: Prehistoric Paintings, the site, Burrow Kabori.
A. Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki ribuan pulau yang antara laut dan
darat memiliki potensi kekayaan budaya warisan nenek moyang. Namun
sayangnya diantara warisan tersebut banyak yang diterlantarkan sehingga tidak
bisa diberdayakan. Wilayah Sulawesi, juga merupakan lahan strategis yang
sangat kaya dengan peninggalan arkeologis dan cagar budaya alam.
Kedudukannya yang berada di jalur utama antara pulau-pulau barat dan timur
2

Nusantara telah melahirkan anasir-anasir budaya yang beragam sejak zaman


prasejarah sampai dengan zaman kolonial. Peninggalan-peninggalan tersebut
merupakan potensi pendidikan, penelitian dan pariwisata yang belum digarap
secara maksimal (Irfan Mahmud, 2001).
Peradaban masa lalu, seperti mengekspresikan hasil pemikiran, hasrat, dan
cita-cita melalui coretan-coretan atau gambar-gambar pada dinding gua adalah
bentuk kebudayaan yang unik dan langka yang perlu dilestarikan. Namun
peradaban seperti itu seringkali gagal mendapatkan tempat yang wajar oleh
pemiliknya sendiri. Pemerintah daerah yang seharusnya melindungi dan
memanfaatkan sumberdaya warisan budaya seperti itu terkadang tidak bisa
berbuat banyak dengan alasan keterbatasan dana. Bahkan di beberapa tempat
cenderung dibiarkan terlantar akhirnya mengalami kerusakan. Hal ini dapat
dimaklumi karena pemikiran-pemikiran pada sebagian masyarakat Indonesia
cenderung menganggap bahwa penggalian masa lalu sebagai romantisme yang
kurang perlu diperhatikan dan kecil manfaatnya. Padahal tinggalan peradaban
masa lalu memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (Irfan Mahmud, 2001).
Pelestarian warisan budaya yang bersifat fisik melalui berbagai upaya,
seperti kegiatan perlindungan, pemeliharaan, dan penyelamatan merupakan salah
satu wujud kepedulian. Dalam arti pengembangan kebudayaan lokal maupun
nasional, termasuk di dalamnya pelestarian lukisan pada gua-gua. Pentingnya
kegiatan perlindungan dan penyelamatan situs cagar budaya tersebut karena di
samping sebagai pelestarian warisan budaya dan aset bangsa, juga sebagai upaya
memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa.
Selain itu, warisan budaya seperti itu mempunyai arti yang sangat penting dalam
kajian sejarah dalam rangka memajukan kebudayaan bangsa sekaligus sebagai
bagian yang integral dari pembangunan nasional.
Kepulauan Muna adalah salah satu daerah di wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara yang memulai kehidupannya sejak zaman prasejarah. Hal ini diperkuat
oleh bukti-bukti sejarah dengan ditemukannya bentuk-bentuk peradaban masa
lalu, yakni berupa lukisan prasejarah pada beberapa situs yang telah disurvei oleh
3

para ahli sejarah dan arkeologi (Irfan Mahmud, 2001; Depdikbud, 1993; Puslit
Arkenas, 1977 dan 1984).
Hariati Soebadio dan Edi Sedyawati menyampaikan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam peninggalan budaya, tradisi, dan peradaban masa lalu perlu
dipahami, dilestarikan, dan dimanfaatkan serta diteladani sebagai acauan tentang
jatidiri dan kepribadian bangsa (dalam Irfan Mahmud, 2001:26). Pernyataan
tersebut mengindikasikan bahwa kandungan nilai-nilai pada tinggalan sejarah
memiliki aspek yang dapat memberikan kebanggaan bagi bangsa dan sekaligus
membuktikan bahwa sejak zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah
memiliki peradaban yang tinggi.
Situs Liang Kabori di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara adalah salah
satu diantara sekian banyak situs yang memiliki lukisan prasejarah. Jika lokasi
situs tersebut mendapat perhatian dari pemerintah, maka sangat menguntungkan
karena dapat memberikan sumber-sumber pemasukan bagi daerah. Oleh karena
itu, nilai-nilai luhur yang tercermin pada peninggalan budaya bangsa memiliki
muatan pengetahuan yang perlu diketahui dan dipahami sebagai warisan nenek
moyang, terutama bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

B. Permasalahan
Permasalahan dalam tulisan ini dilandasi oleh asumsi bahwa apresiasi
terhadap peninggalan sejarah yang menjadi kebanggaan nasional tersebut perlu
dikembangkan agar jatidiri dan kepribadian yang menandai kehidupan nenek
moyang pada masa lalu tetap diketahui dan dapahami sebagai acuan hidup,
sekaligus diteladani oleh generasi masa kini. Untuk itu, maka perlu dipelajari
dalam kerangka proses belajar mengajar sebagai pengetahuan yang dapat
ditanamkan kepada anak didik kita mulai dari tingkat yang paling rendah yang
sekaligus perlunya menumbuhkan rasa untuk ikut memiliki (sense of belonging)
terhadap hasil warisan budaya masa lalu sebagaimana dikemukaankan oleh
Graham Clark dalam Bukunya: Archaeoloy and Society (dalam Irfan Mahmud,
2001:28).
Tulisan dalam arti karya ilmiah yang dibuat berdasarkan hasil penelitian
mengenai lukisan prasejarah di Kabupaten Muna dapat dikatakan masih sangat
langka jika dibandingkan dengan penulisan tentang lukisan prasejarah di daerah-
4

daerah lainnya di Indonesia. Jika kegiatan penulisan mengenai peninggalan


prasejarah di Kepuluan Muna juga diaktifkan, maka tentu saja diharapkan dapat
menambah informasi kesejarahan yang tentunya akan sangat bermanfaat dalam
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sumber-sumber prasejarah
Indonesia, terutama bagi generasi masa kini dalam usahanya untuk memahami
kehidupan nenek moyang, termasuk bagi siswa-siswa sekolah umum dan
mahasiswa seni rupa dalam rangka proses belajar untuk memahami peradaban
masa lampau sebagai acuan hidup. Hal ini penting karena dalam peradaban dan
kehidupan manusia tidak terlepas dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau,
seperti dengan adanya bentuk-bentuk kebudayaan dan karakteristik kelompok
manusia sebagai suatu masyarakat yang bersuku-suku, berbangsa dan bernegara -
dan setiap kelompok manusia sudah pasti memiliki latar belakang budaya yang
berbeda-beda.
Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai: (1) bahan informasi
budaya bagi masyarakat luas atas keberadaan lukisan prasejarah pada situs gua
Liang Kabori dan situs gua Liang Metanduno di Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara sebagai salah satu peninggalan budaya, khususnya kesenian prasejarah
masyarakat Muna di masa lampau; (2) sebagai bahan referensi yang diharapkan
dapat menumbuhkan kesadaran berbudaya serta untuk meningkatkan apresiasi
masyarakat terhadap peninggalan-peninggalan prasejarah yang mengandung nilai-
nilai sejarah yang tak ternilai harganya karena peristiwa semacam ini tak mungkin
lagi dapat diulangi oleh masyarakat sekarang.
Peninggalan lukisan prasejarah di Pulau Muna yang tersebar di beberapa
situs gua adalah hasil karya budaya para leluhur yang sekarang diwarisi oleh
daerah-daerah dimana peninggalan-peninggalan tersebut berada. Di beberapa
tempat peninggalan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan seperti itu dengan
sendirinya memiliki nilai potensial untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
pembangunan daerah tersebut, termasuk di dalamnya lukisan prasejarah pada situs
gua Kabori dan situs gua Metanduno, Kabupaten Muna. Peninggalan-peninggalan
prasejarah tersebut perlu dilestarikan agar generasi muda kita dapat mengetahui
atas keberadaannya, terutama untuk kepentingan apresiasi seni budaya bangsa.
5

C. Tinjauan Pustaka

1. Sejarah Singkat Kabupaten Muna

Kata Muna berasal dari kata Wuna yang artinya Wuna (bahasa muna).
Sebutan nama Wuna didasarkan pada penemuan Kontu Kowuna (Batu
Berbunga) yang terletak di Kota Muna, yaitu kurang lebih 22 kilometer sebelah
selatan Kota Raha ibu kota Kabupaten Muna. Kontu Kowuna biasa juga dikenal
dengan nama Bukit Bahutara yang merupakan tempat terdamparnya perahu
Sawerigading. Batu tersebut berbentuk kerucut, besarnya seperti sebuah rumah
dengan tinggi kurang lebih 7 meter dari permukaan tanah. Bagian sekelilingnya
sampai permukaan bagian atas ditumbuhi semacam bunga berwarna putih dan
berumpun-rumpun serta terlihat sangat indah. Itulah sebabnya Pulau Muna biasa
pula disebut Witeno Wuna, artinya Tanah Bunga.
Menurut legenda, awal diketahuinya Pulau Muna, yakni dengan adanya
seorang pelayar terkenal saat itu, ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan yang
dikenal dengan nama Saweri Gading. Dalam suatu perjalanan pelayarannya,
diberitakan bahwa perahunya terdampar di sekitar pantai timur Pulau Muna,
tepatnya di Kampung Butu (suatu tebing di pinggir laut saat itu). Ketika Belanda
mulai menanamkan pengaruh kekuatannya di Muna pada sekitar tahun 1906,
sebutan Wuna diganti menjadi Muna yang disesuaikan dengan ucapan atau
lidah orang Belanda, dimana sebutan konsonan W menjadi M. Sejak itulah
maka sebutan Muna menjadi populer dan secara umum digunakan oleh
masyarakat, terutama orang asing atau orang yang berasal dari luar daerah Muna.
Muna mempunyai nama lain yang disebut Pancana (sesuai nama yang tertulis
dalam naskah Perjanjian Bongaya, tanggal 18 November 1667).

2. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Muna: Persebaran penduduk dan


anasir-anasir kebudayaan masyarakat prasejarah
Sebagaimana telah disinggung terdahulu bahwa Kepulauan Muna adalah
salah satu daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang diperkirakan telah
memulai kehidupannya sejak zaman prasejarah. Lingkungan dan kondisi alam
Pulau Muna hampir sama dengan kondisi alam di Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan, yaitu berbukit-bukit batu gamping dan batu karang. Semua gugusan pada
kawasan situs gua di Pulau Muna bentuknya beraneka ragam. Gua yang berukuran
6

besar disinyalir sebagai tempat tinggal manusia pada saat itu, sedangkan gua yang
berukuran kecil hanyalah sebagai tempat berteduh dan istirahat pada saat
melakukan aktivitas kehidupan, misalnya berburu. Jarak diantara situs-situs
tersebut tidak berjauhan, yakni sekitar 200 sampai dengan 1500 meter. Luas gua
yang menjadi tempat tinggal mereka berkisar antara 50 hingga 300 meter sehingga
diperkirakan penghuninya antara 10 sampai 20 orang secara berkelompok.
Kelompok masyarakat yang menghuni ke-13 gugusan gua tersebut
disinyalir memiliki budaya sekalipun masih dalam taraf yang rendah. Hal ini
terbukti pada lukisan-lukisan yang terdapat di setiap gua pada situs Liang Kabori
yang terdiri dari berbagai corak. Keanekaragaman corak tersebut diasumsikan
bahwa manusia yang menghuni gua tersebut telah mempunyai kebudayaan yang
tinggi. Lukisan yang ada menunjukkan bahwa manusia pada saat itu telah
menuangkan perpaduan antara daya imajinasi, artistik dengan relaitas kehidupan
yang dialaminya. Kemampuan mereka untuk memperlihatkan kreativitas seni
yang sesuai dengan dasar-dasar kehidupan mereka dapat dilihat pada contoh
lukisan-lukisan yang terdapat pada situs Liang Kabori. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa manusia prasejarah pada awalnya memiliki corak hidup yang
sama, yaitu hidup mengembara dan mengumpulkan makanan sebagaimana halnya
manusia purba yang mendiami sekitar Liang Kabori.
Berdasarkan kondisi gua dan hasil analisa terhadap lukisan pada dinding
gua yang menggambarkan aktivitas sosial mereka seperti perburuan, maka
diperkirakan bahwa aktivitas manusia di sekitar situs tersebut adalah berburu. Hal
ini terlihat pada (1) gua-gua sebagai situs sejarah di Liang Kabori, terdapat 4 gua
yang ukurannya kurang lebih 200 meter sehingga sangat memungkinkan sebagai
tempat tinggal; (2) sudah menjadi ciri khas manusia purba bahwa setiap yang
tinggal di dalam gua, maka pola kehidupannya adalah mengembara; (3) sesuai
pengamatan gambar-gambar yang terdapat pada dinding gua, yaitu gambar-
gambar babi, orang berburu dengan menunggang kuda yang menunjukkan ciri
khas corak kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan; dan (4) lokasi situs
gua Kabori, letak geografisnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, karena
di sekitar gua tidak terdapat tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi sehingga
sangat memungkinkan kehidupan mereka hanya tergantung pada binatang buruan.
7

Demikain gambaran kehidupan sosial budaya dan kepercayaan masyarakat Muna


pada masa lampau.
Robert Van Heine Sclaern (seorang sarjana Austria) dalam penelitiannya
tentang tingkat hidup bangsa Indonesia pada zaman Neolitikum menyimpulkan
telah mengenal anasir-anasir kebudayaan, yaitu: menanam padi, memiliki alat
pemotong padi, dapat membuat minuman keras dari beras, memelihara babi,
kerbau, dan binatang lainnya untuk keperluan penyajian, membuat benda pecah
belah dari tanah liat, membuat pakaian dari kulit kayu, mendirikan rumah di atas
tiang dan berbentuk persegi panjang, menjalankan pemotongan kepala manusia
untuk keperluan keagamaan, dan mendirikan bangunan megalit yang terbuat dari
batu besar untuk keperluan upacara agama (pemujaan terhadap arwah nenek
moyang), dan mengenal suatu jenis kesenian
Anasir-anasir kebudayaan tersebut masih ditemukan pada masyarakat di
pedesaan sampai sekarang, walaupun cara dan bentuknya ada yang mengalami
perubahan dan lebih maju. Sebagai contoh pembuatan minuman keras dari beras,
dalam hal kepercayaan kepada arwah nenek moyang, pembuatan barang pecah
belah dari tanah liat. Fenomena budaya dan tradisi seperti itu masih dijumpai
sampai sekarang pada masyarakat Muna yang bermukim di pedalaman. Dapat
disimpulkan bahwa penduduk Pulau Muna adalah bagian yang tak terpisahkan
dari persebaran penduduk pertama yang mendiami kepulauan Nusantara.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan, maka dapat
dipastikan bahwa penghuni pertama Pulau Muna tinggal di gua-gua secara
berpindah-pindah dari gua yang satu ke gua yang lain bila persediaan makanan
dan binatang buruan mulai berkurang. Kehidupan semacam ini juga terjadi sejak
zaman Paleolitikum. Kemudian pada masa neolitikum diduga mulai dikenal
kehidupan beternak dan pembuatan periuk dari tanah liat. Bila dihubungkan
dengan penelitian Robert Van Heine Sclaern tentang tingkat hidup bangsa
Indonesia, maka diduga kemampuan membuat benda pecah belah dari tanah liat
menurut tradisi dari masyarakat setempat sudah lama dikenal, terutama di
Kampung Labora (penduduk tertua di Muna). Pada zaman Neolitikum, kehidupan
mereka mulai menetap dan mengembangkan kehidupan bercocok tanam (terutama
tanaman umbi-umbian), mereka juga mulai mengembangkan pembuatan periuk
8

dari tanah liat sebagai tempat memasak dan wadah air, keterampilan memintal
benang dan menenun. Pada masa ini mereka membuat tempat tinggal tetap
(rumah/pondok) yang tiangnya agak tinggi dari permukaan tanah untuk
menghindari ancaman binatang buas (Keterangan dari Bapak La Hada). Walaupun
demikian, kehidupan berburu tidak ditinggalkan, bahkan sampai sekarang masih
ada penduduk desa yang melakukan pekerjaan berburu rusa sebagai kegiatan
sambilan.
Bagi masyarakat prasejarah, kegiatan berburu binatang telah menjadi salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk yang pertama kali
menghuni Pulau Muna. Hal ini terbukti dengan banyaknya terdapat lukisan
dengan tema perberburuan pada sejumlah gua. Selain itu, untuk menghadapi
musuh juga dilambangkan pada gambar-gambar atau lukisan orang yang sedang
naik kuda sambil memegang tombak.

3. Kepercayaan masyarakat prasejarah

Seperti halnya pada kepercayaan lama masyarakat di Indonesia pada


umumnya, yaitu percaya pada tahayul-tahayul, terutama masyarakat di pedesaan
juga masih dijumpai wujud kepercayaan dinamisme dan animisme. Kepercayaan
semacam ini hampir ditemukan pada semua suku bangsa di Indonesia.
Kepercayaan lama pada masyarakat Indonesia beranggapan bahwa tiap-tiap benda
atau mahluk mempunyai makna. Selain dinamisme terdapat pula kepercayaan
animisme yang keduanya sangat berkaitan erat. Animisme adalah percaya bahwa
tiap benda atau mahluk mempunyai roh seperti jiwa yang secara langsung tidak
dapat dilihat dengan mata. Jika ada orang meninggal, maka hanya tubuhnya yang
hancur sedangkan jiwanya tetap hidup dan seakan-akan tinggal di sekelilingnya.
Anggapan mereka bahwa dunia dimana kita hidup terdapat jiwa orang-orang yang
sudah meninggal. Begitu pula mahluk lain yang tidak tampak secara kasat mata
(sering diibaratkan dengan hantu, kuntilanak, dan sebagainya). Mereka
beranggapan bahwa orang-orang yang telah meninggal tidak pernah lepas dari
masyarakat atau orang-orang yang masih hidup dan mereka itu tetap
memperhatikan orang-orang yang ditinggalkan. Atas kepercayaan tersebut,
mereka lalu mengadakan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Wujud
pemujaan tersebut dilakukan melalui upacara-upacara melalui ritual tradisional.
9

D. Pembahasan
Lukisan prasejarah menyajikan banyak hal, terutama tentang wawasan
pikiran dan imajinasi peradaban masa lampau. Para arkeolog dari generasi ke
generasi semakin tertarik untuk mengartikan temuan-temuan tersebut. Akhirnya
mereka berhasil mengungkap banyak hal tentang kehidupan masyarakat pada
waktu itu. Lukisan yang ditemukan di gua-gua, seperti di gua Kabori dan gua
Metanduno, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara serta beberapa lukisan
prasejarah di Sulawesi Selatan membawa kita kembali ke sekitar ratusan tahun
yang lalu. Meskipun sebelumnya para arkeolog telah menyatakan bahwa lukisan-
lukisan tersebut adalah hiasan semata. Lalu kemudian mereka tahu bahwa itu
tidak benar karena pada umumnya gua-gua tersebut gelap gulita. Teori yang lain
mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut merupakan kekuatan sihir dalam
berburu, lalu mereka melukiskan binatang yang ingin mereka tangkap supaya
mereka kelak berhasil dalam berburu. Teori terakhir yang mungkin paling masuk
akal (mendekati kebenaran) adalah bahwa tempat-tempat/gua semacam itu pernah
dihuni orang. Tempat-tempat seperti di gua Leang-Leang, gua Leang Kabori dan
gua Metanduno, mungkin pernah menjadi tempat untuk melakukan upacara ritual,
atau upacara lainnya.

1. Lukisan Gua pada Situs Prasejarah di Kepulauan Muna

Gua merupakan salah satu fenomena hasil rekayasa alam yang secara
khusus terjadi di kawasan batu gamping karst pada kisaran waktu puluhan juta
tahun silam. Gua tidak tidak saja ditemukan di dataran tinggi, dataran rendah, dan
lembah tetapi juga di dasar laut dalam bentuk tebing dan terjalan (Kosasih, 1995
dalam Irfan Mahmud, 2001: 150). Gua juga telah menjadi tempat hunian dan
tempat beraktivitas bagi masyarakat prasejarah sebelum mereka mengenal pola
hidup berpindah-pindah dan bercocok tanam. Bahkan gua telah menjadi salah
sarana untuk mengekspresikan hasrat, pikiran, cita-cita, dan harapan mereka
dalam bentuk kepercayaan (magis-religius). Itulah sebabnya sehingga banyak gua
yang pernah dihuni oleh masyarakat primitif yang tersebar di seluruh dunia yang
di dalamnya ditemukan bekas-bekas peninggalan sebagai bukti bahwa mereka
pernah tinggal di sana.
10

Pada bulan Maret 1977, Tim kecil dari Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional yang terdiri dari Drs. E.A. Kosasih dan Rokhus Due Awe,
B.A. melakukan penjajakan yang pertama sebagai survei pendahuluan. Sesuai
dengan laporan tersebut, tim memperoleh data yang positif tentang sejumlah gua
dan ceruk yang memiliki lukisan yang terdapat di daerah perladangan Liabalano,
Kampung Mabolu, Desa Liang Kabori, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Gua dan ceruk yang dimaksud yang sekaligus pada waktu itu dapat diteliti adalah
gua Metanduno dan gua Kobori, serta ceruk-ceruk La Sabo, dan Tangga Ara.
Survei selanjutnya dilaksanakan pada tahun 1984 terhadap sejumlah objek
penelitian yang lebih luas lagi. Tim survei akhirnya menemukan 7 gua dan 6
ceruk. Keseluruhan gua dan ceruk tersebut selanjutnya diberi nama Liang Kabori.
Manusia yang menghuni situs Liang Kabori kemudian mengalami proses
perubahan pola kehidupan dari berburu dan mengumpulkan makanan menjadi
pola bercocok tanam. Hal ini seperti ditunjukkan pada lukisan-lukisan yang
terdapat pada 4 buah situs yang baru ditemukan oleh La Hada, yakni gua Sugi
Patani, gua Pominasa, ceruk Pinda, ceruk La Kubah. Keempat situs tersebut
memiliki perbedaan dengan 9 situs sebelumnya yang diteliti oleh Kosasih.
Perbedaan ini terlihat dari adanya lukisan yang menunjukkan ciri-ciri kehidupan
bercocok tanam, dibuktikan dengan adanya lukisan kelapa, lukisan jagung, dan
lukisan umbu-umbian.
Peninggalan prasejarah lainnya yang ditemukan di sekitar situs Liang
Kabori adalah makam raja-raja Muna sebagaimana keterangan yang disampaikan
oleh La Hada (juru pelihara situs Liang Kabori). Menurut informasi dari
masayarakat setempat bahwa di sekitar situs Liang Kabori terdapat makam raja-
raja Muna, yakni Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende. Situs dari
makam-makam tersebut masih dapat dilihat dengan jelas sampai sekarang. Sayang
sekali penulis tidak mendapatkan dokumentasi foto dari makam-makam tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Arkeologi Nasional
Jakarta pada tahun 1977 bahwa lukisan-lukisan yang ditemukan di Pulau Muna,
Sulawesi Tenggara diperkiraan dibuat sekitar abad ke-12 dengan dasar
pertimbangan bahwa bukti-bukti temuan pada situs itu masih muda, baik dilihat
dari segi bahan maupun motipnya. Sebagaimana ciri khusus kehidupan prasejarah
11

bahwa manusia pada zaman itu kebanyakan memilih tempat tinggal pada
ketinggian yang memiliki gua (La Kimi Batoa, 1991:7).
Para ahli berpendapat bahwa situs kepurbakalaan di Kabupaten Muna,
merupakan kawasan yang sarat dengan temuan kepurbakalaan prasejarah (Puslit
Arkenas, 1977 dan 1984). Di dalam situs tersebut terdapat berbagai jenis lukisan
prasejarah yang menggambarkan berbagai aktivitas kehidupan manusia prasejarah
yang mendiami lokasi tersebut (Informasi disampaikan oleh La Kimi Batoa,
mantan Kepala Seksi Kebudayaan, Kantor Depdikbud, Kabupaten Muna).
Gua Kabori terdapat di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Kabupaten
Muna. Situs ini berjarak sekitar kurang lebih 17 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Muna yang beribukota di Raha. Dari ketinggian kurang lebih 800
meter dari permukaan laut, dan dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dengan
kendaraan roda dua. Menurut keterangan dari La Hada (juru pelihara sekaligus
penemu gua tersebut) bahwa keseluruhan lukisan di gua Kabori berjumlah 130
lukisan. Akan tetapi dari sejumlah lukisan tersebut, banyak yang sudah rusak,
bahkan ada yang sudah tidak jelas lagi sehingga sulit diidentifikasi. Kerusakan
gambar-gambar tersebut selain faktor alam, juga disebabkan oleh ulah para
pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Lukisan yang masih dapat dijumpai
dalam gua Kabori, antara lain adalah lukisan dengan motip binatang, figur
manusia dalam berbagai variasinya, gambar perahu, dan gambar matahari.
Penulis berasumsi bahwa lukisan-lukisan antara gua yang satu dengan
lukisan yang ada pada gua lainnya memiliki saling keterkaitan atau persamaan-
persamaan, baik dari karakteristik pola, tema maupun makna-makna simbolik
yang terkandung di dalamnya.
Tabel 1
Lukisan prasejarah di gua Kabori
Tema/jenis gambar/motip gambar Karakteristik gaya
Binatang buruan: Babi, rusa. Naturalis-dekoratif
Sarana berburu: Kuda, anjing
Binatang melata: Lipan
Figur manusia: Naturalis-dekoratif
Orang berkuda, orang main silat, orang naik perahu,
orang berburu, orang berperang, orang tanpa kepala,
manusia terbang.
Gambar perahu: Naturalis-dekoratif
Perahu dengan layar, perahu sedang di dayung.
12

Gambar/motif alam: Naturalis


Gambar matahari sedang bersinar.

Tabel 2
Lukisan prasejarah di Gua Metanduno
Tema/jenis gambar/motip gambar Karakteristik gaya
Berburu/Perburuan: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar orang naik kuda.
Perang: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar orang naik kuda sambil
memegang tombak pada tangan kanan, orang tanpa
kepala.
Aktivitas kebaharian: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar perahu sebagai sarana transportasi
laut, perahu dengan layar, perahu sedang di dayung.
Kepercayaan: Naturalis
menampilkan gambar matahari sedang bersinar.
E. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan terdahulu, penulis dapat menyimpulkan bahwa:


(1) Kecenderungan tema gambar-gambar atau lukisan prasejarah di situs Liang
Kabori umumnya menampilkan tema yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial
budaya dan religi, seperti adegan perburuan dengan menampilkan binatang
buruan, alat trasportasi laut dengan menampilkan perahu-perahu, dan adegan
peperangan, gejala alam (matahari), manusia berkuda, manusia tanpa kepala,
manusia bersikap silat, serta binatang melata; dan (2) Makna simbolik yang
implisit dalam lukisan prasejarah di situs Liang Kabori tidak terlepas dari
kepercayaan lama, serta kebiasaan setempat, seperti kegiatan sehari-hari berupa
berburu dan mengumpulkan makanan, dan aktivitas kebaharian.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menyarankan kepada pemerintah
Kabupaten Muna agar kiranya terus menggalakkan penulisan dan inventarisasi
benda-benda cagar budaya serta menjaga kelestariannya, kepada Dinas Purbakala
Kabupaten Muna kiranya situs Liang kabori dapat dilindungi sebagaimana dengan
situs purbakala lainnya, dan kepada masyarakat Muna agar ikut menjaga dan
melestarikan peninggalan sejarah tersebut agar masyarakat kita ke depannya dapat
membandingkan karya-karya seni pada zaman dahulu dengan karya-karya seni
zaman sekarang.
Daftar Pustaka
13

AKW, 1991. Sejarah Seni Rupa Indonesia, Seri 2: Zaman Hindu, FPBS IKIP
Ujung Pandang.
Batoa, La Kimi. 1982. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: CV. ASTRI Raha
Diknas dan Balai Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1983. Aspek Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah
Sulawesi Tenggara, Jakarta: Proyek Investarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.
Devereux, Paul, Arkeologi, Elex Media Komputindo, halaman 13.
Kosasih, E.A., 2001. Bentang Ekosistem Karts dan Prospek Wisata Arkeologi di
Indonesia dalam Buku: Memediasi Masa Lalu: Spektrum Arkeologi dan
Pariwisata, Cetakan I. Makassar: Lembaga Penelitian UNHAS
(LEPHAS, M. Irfan Mahmud (Editor), halaman 149-180.
Puslit Arkenas. 1984. Laporan Penelitian Arkeologi di situs-situs lukisan gua dan
ceruk Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) tahun1977 dan 1984. Jakarta :
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soekmono, 1981 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 1, 2, dan 3,
Edisi ke-3, Yogyakarta: Kanisius.
Sukendar, Haris, 2001. Masyarakat Sumberdaya Arkeologi Sulawesi dan
Pemberdayaannya dalam Menunjang Pembangunan Daerah, dalam
Buku: Memediasi Masa Lalu: Spektrum Arkeologi dan Pariwisata.
Cetakan I. Makassar: Lembaga Penelitian UNHAS (LEPHAS), M. Irfan
Mahmud (Editor), halaman 23-38.
Soebadio, Haryati, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa, dalam Buku: Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Genius), Penyunting Ayatrohaedi, Cetakan I, hlm.
18-26, Jakarta: Pustaka Jaya.
Yabu M. 2005. Materi Kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia: Prasejarah,
Makassar: Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar.
14

Lampiran

Lukisan prasejarah pada gua-gua di Kab. Muna Sulawesi Tenggara.


Kiri: Salah satu lukisan di gua Kabori yang menggambarkan adegan berburu.
Kanan: Salah satu lukisan di gua Kabori yang menggambarkan
adegan pemotongan kepala (Dokumentasi: Wa Muliati, 2009).

Lukisan prasejarah pada gua-gua di Kab. Muna Sulawesi Tenggara.


Kiri: Salah satu lukisan di gua Kabori yang menggambarkan adegan pertarungan/perang.
Kanan: Lukisan perahu layar di gua Kabori.
(Dokumentasi: Wa Muliati, 2009).

Salah satu gambar/lukisan gua di Pulau Muna


yang menggambarkan adegan perburuan
(Sumber: Kosasih dalam Irfan Mahmud, 2001:178).

(Sumber: Kosasih dalam Irfan Mahmud,


2001:178).
15

Biodata Penulis:

Nama : Drs. Yabu M., M.Sn.


Tempat/Tgl. Lahir : Ujungloe / Jeneponto, 1 Desember 1955
Pendidikan : S2
Alamat Kantor : Universitas Negeri Makassar :
Alamat Rumah : Komp. Tata I Indah, Jl. Dg. Tata 1 No.19B/3 RT 03 RW 03
Makassar, 90224, Telepon (0411) 869689
Alamat e-mail : yabumallabasa@yahoo.co.id
Alamat Kantor : Kampus FSD Parangtambung, Jl. Mallengkeri
Makassar, 90224, Telepon & Faks. (0411) 888524

Artikel dalam Jurnal/Majalah Ilmiah:


Pengembangan Model Pembelajaran Seni Budaya Berbasis Infiltrasi Pendidikan Lintas
Kultur dalam Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik, Artikel dalam Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Seni FSD UNM Tgl. 8 Desember 2015, ISBN 978-602-
6883-04-9, hlm. 215
Profil Lulusan Program Studi Berdasarkan KKNI dan Implementasinya pada
Pengembangan Kurikulum Program Studi, Artikel dalam Prosiding Forum FBS, FPBS,
FSB, FSD LPTK se-Indonesia Tgl. 18-20 September 2013 di Malang, Jawa Timur.
Kewirausahaan Berbasis Sains di Perguruan Tinggi. Jurnal IMAJINASI, Jurusan Seni
Rupa FBS UNM Makassar, Vol. 1 No. 1 Januari 2003, ISSN 1693-3990.
Semester Pendek dan Beberapa Permasalahannya: Studi terhadap Opini Mahasiswa dan
Dosen Jurusan Seni Rupa FSD UNM, Jurnal INSANI, Lemlit UNM, Vol. 10, No. 1
Juli 2009, ISSN 0854-3712, hlm. 94-105.
Visi dan Misi Pendidikan Seni di Era Globalisasi: Sebuah Tinjauan. Jurnal SPARTA,
Edisi Khusus Agustus 2008, FSD UNM, hlm.1-8.
Seni Konseptual di Indonesia. Majalah SPHINX, Edisi Khusus Agustus 2007, FBS
UNM, hlm.1-9.
Fenomena Kebudayaan Pop di Indonesia (Sebuah Catatan) Majalah SPHINX, Edisi
Khusus Agustus 2007, FBS UNM, hlm.23-27.
Fenomena Kebudayaan Pop di Indonesia Jurnal IMAJINASI, Jurusan Seni Rupa FBS
UNM Makassar, Vol.1 No.3, Juni. 2004, ISSN 1693-3990.
Simbiosis Islam dalam Bangunan Sakral. Jurnal IMAJINASI, Jurusan Seni Rupa FBS
UNM Makassar, Vol.1 No. 1 Juni 2003.
Pengembangan Budaya Kewirausahaan Berbasis Sains di Perguruan Tinggi. Jurnal
IMAJINASI, Jurusan Seni Rupa FBS UNM Makassar, Vol. 1 No. 1 Januari 2003, ISSN
1693-3990.
Pengalaman Penelitian:
Ketua Penelitian: Konsep Silabus dan Kerangka Bahan Ajar PPG Prajabatan Bidang
Studi Pendidikan Seni Rupa, Lemlit UNM, Biaya PNBP 2010.
16

Anggota Penelitian: Koleksi Referensi Perpustakaan Seni dan Relevansinya dengan


Mata Kuliah pada Prodi di FSD UNM, Lemlit UNM, Biaya PNBP 2010.
Ketua Penelitian: Pengembangan Keramik Hias melalui Penerapan Ragam Hias Etnik
pada Kriya Keramik di Desa Jipang, Kec.Bontonompo, Kab. Gowa, Penelitian Strategis
Nasional, Lemlit UNM, Biaya DIPA-Dikti 2009.
Anggota Penelitian: Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Tradisional pada Masyarakat
Sulawesi Selatan. Biaya Balitbanda Prov. Sulsel, 2007.

Anda mungkin juga menyukai