Oleh:
Yabu M.
Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Lukisan prasejarah menyajikan banyak hal, terutama tentang wawasan pikiran
dan imajinasi peradaban masa lampau. Para arkeolog dari generasi ke generasi semakin
tertarik untuk mengartikan temuan-temuan tersebut guna mengungkap banyak hal tentang
kehidupan masyarakat pada waktu itu. Situs Liang Kabori adalah salah satu diantara
sekian banyak situs di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang memiliki peninggalan
warisan budaya bangsa, yakni berupa lukisan prasejarah. Tinggalan tersebut kini menjadi
bukti otentik dari pola pikir, adat-istiadat, sistem sosial budaya, teknologi, dan religi yang
perlu dipahami bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Peradaban masa
lalu, seperti mengekspresikan hasil pemikiran, hasrat, dan cita-cita melalui gambar-
gambar pada dinding gua adalah bentuk kebudayaan yang unik dan langka. Dalam
konteks masa lalu, gua menjadi tempat hunian, tempat beraktivitas bagi masyarakat
prasejarah, serta sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, hasrat, pikiran, cita-cita, dan
harapan mereka dalam bentuk kepercayaan (magis-religius).
Kata Kunci: Lukisan prasejarah, situs, liang Kabori.
Abstract
Prehistoric paintings presents a lot of things, especially about the insights the
mind and imagination of past civilizations. The archaeologists from generation to
generation more interested in interpreting these findings in order to reveal much about
the life of society at that time. Site Kabori Liang is one among the many sites in Muna,
Southeast Sulawesi, which has relics of the nation's cultural heritage, namely in the form
of prehistoric paintings. The remains are now to be authentic evidence of the mindset,,
customs, social and cultural systems, technology, and religion that needs to be
understood for present and future generations. Past civilizations, such as expressing the
thoughts, desires, and ideals through the drawings on cave walls is a unique form of
culture and rare. In the context of the past, the cave into the shelter, place of activity for
the prehistoric society, and as a means to express themselves, desires, thoughts, ideals,
and their hope in the form of beliefs (magical-religious).
Keywords: Prehistoric Paintings, the site, Burrow Kabori.
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang memiliki ribuan pulau yang antara laut dan
darat memiliki potensi kekayaan budaya warisan nenek moyang. Namun
sayangnya diantara warisan tersebut banyak yang diterlantarkan sehingga tidak
bisa diberdayakan. Wilayah Sulawesi, juga merupakan lahan strategis yang
sangat kaya dengan peninggalan arkeologis dan cagar budaya alam.
Kedudukannya yang berada di jalur utama antara pulau-pulau barat dan timur
2
para ahli sejarah dan arkeologi (Irfan Mahmud, 2001; Depdikbud, 1993; Puslit
Arkenas, 1977 dan 1984).
Hariati Soebadio dan Edi Sedyawati menyampaikan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam peninggalan budaya, tradisi, dan peradaban masa lalu perlu
dipahami, dilestarikan, dan dimanfaatkan serta diteladani sebagai acauan tentang
jatidiri dan kepribadian bangsa (dalam Irfan Mahmud, 2001:26). Pernyataan
tersebut mengindikasikan bahwa kandungan nilai-nilai pada tinggalan sejarah
memiliki aspek yang dapat memberikan kebanggaan bagi bangsa dan sekaligus
membuktikan bahwa sejak zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah
memiliki peradaban yang tinggi.
Situs Liang Kabori di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara adalah salah
satu diantara sekian banyak situs yang memiliki lukisan prasejarah. Jika lokasi
situs tersebut mendapat perhatian dari pemerintah, maka sangat menguntungkan
karena dapat memberikan sumber-sumber pemasukan bagi daerah. Oleh karena
itu, nilai-nilai luhur yang tercermin pada peninggalan budaya bangsa memiliki
muatan pengetahuan yang perlu diketahui dan dipahami sebagai warisan nenek
moyang, terutama bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
B. Permasalahan
Permasalahan dalam tulisan ini dilandasi oleh asumsi bahwa apresiasi
terhadap peninggalan sejarah yang menjadi kebanggaan nasional tersebut perlu
dikembangkan agar jatidiri dan kepribadian yang menandai kehidupan nenek
moyang pada masa lalu tetap diketahui dan dapahami sebagai acuan hidup,
sekaligus diteladani oleh generasi masa kini. Untuk itu, maka perlu dipelajari
dalam kerangka proses belajar mengajar sebagai pengetahuan yang dapat
ditanamkan kepada anak didik kita mulai dari tingkat yang paling rendah yang
sekaligus perlunya menumbuhkan rasa untuk ikut memiliki (sense of belonging)
terhadap hasil warisan budaya masa lalu sebagaimana dikemukaankan oleh
Graham Clark dalam Bukunya: Archaeoloy and Society (dalam Irfan Mahmud,
2001:28).
Tulisan dalam arti karya ilmiah yang dibuat berdasarkan hasil penelitian
mengenai lukisan prasejarah di Kabupaten Muna dapat dikatakan masih sangat
langka jika dibandingkan dengan penulisan tentang lukisan prasejarah di daerah-
4
C. Tinjauan Pustaka
Kata Muna berasal dari kata Wuna yang artinya Wuna (bahasa muna).
Sebutan nama Wuna didasarkan pada penemuan Kontu Kowuna (Batu
Berbunga) yang terletak di Kota Muna, yaitu kurang lebih 22 kilometer sebelah
selatan Kota Raha ibu kota Kabupaten Muna. Kontu Kowuna biasa juga dikenal
dengan nama Bukit Bahutara yang merupakan tempat terdamparnya perahu
Sawerigading. Batu tersebut berbentuk kerucut, besarnya seperti sebuah rumah
dengan tinggi kurang lebih 7 meter dari permukaan tanah. Bagian sekelilingnya
sampai permukaan bagian atas ditumbuhi semacam bunga berwarna putih dan
berumpun-rumpun serta terlihat sangat indah. Itulah sebabnya Pulau Muna biasa
pula disebut Witeno Wuna, artinya Tanah Bunga.
Menurut legenda, awal diketahuinya Pulau Muna, yakni dengan adanya
seorang pelayar terkenal saat itu, ia berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan yang
dikenal dengan nama Saweri Gading. Dalam suatu perjalanan pelayarannya,
diberitakan bahwa perahunya terdampar di sekitar pantai timur Pulau Muna,
tepatnya di Kampung Butu (suatu tebing di pinggir laut saat itu). Ketika Belanda
mulai menanamkan pengaruh kekuatannya di Muna pada sekitar tahun 1906,
sebutan Wuna diganti menjadi Muna yang disesuaikan dengan ucapan atau
lidah orang Belanda, dimana sebutan konsonan W menjadi M. Sejak itulah
maka sebutan Muna menjadi populer dan secara umum digunakan oleh
masyarakat, terutama orang asing atau orang yang berasal dari luar daerah Muna.
Muna mempunyai nama lain yang disebut Pancana (sesuai nama yang tertulis
dalam naskah Perjanjian Bongaya, tanggal 18 November 1667).
besar disinyalir sebagai tempat tinggal manusia pada saat itu, sedangkan gua yang
berukuran kecil hanyalah sebagai tempat berteduh dan istirahat pada saat
melakukan aktivitas kehidupan, misalnya berburu. Jarak diantara situs-situs
tersebut tidak berjauhan, yakni sekitar 200 sampai dengan 1500 meter. Luas gua
yang menjadi tempat tinggal mereka berkisar antara 50 hingga 300 meter sehingga
diperkirakan penghuninya antara 10 sampai 20 orang secara berkelompok.
Kelompok masyarakat yang menghuni ke-13 gugusan gua tersebut
disinyalir memiliki budaya sekalipun masih dalam taraf yang rendah. Hal ini
terbukti pada lukisan-lukisan yang terdapat di setiap gua pada situs Liang Kabori
yang terdiri dari berbagai corak. Keanekaragaman corak tersebut diasumsikan
bahwa manusia yang menghuni gua tersebut telah mempunyai kebudayaan yang
tinggi. Lukisan yang ada menunjukkan bahwa manusia pada saat itu telah
menuangkan perpaduan antara daya imajinasi, artistik dengan relaitas kehidupan
yang dialaminya. Kemampuan mereka untuk memperlihatkan kreativitas seni
yang sesuai dengan dasar-dasar kehidupan mereka dapat dilihat pada contoh
lukisan-lukisan yang terdapat pada situs Liang Kabori. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa manusia prasejarah pada awalnya memiliki corak hidup yang
sama, yaitu hidup mengembara dan mengumpulkan makanan sebagaimana halnya
manusia purba yang mendiami sekitar Liang Kabori.
Berdasarkan kondisi gua dan hasil analisa terhadap lukisan pada dinding
gua yang menggambarkan aktivitas sosial mereka seperti perburuan, maka
diperkirakan bahwa aktivitas manusia di sekitar situs tersebut adalah berburu. Hal
ini terlihat pada (1) gua-gua sebagai situs sejarah di Liang Kabori, terdapat 4 gua
yang ukurannya kurang lebih 200 meter sehingga sangat memungkinkan sebagai
tempat tinggal; (2) sudah menjadi ciri khas manusia purba bahwa setiap yang
tinggal di dalam gua, maka pola kehidupannya adalah mengembara; (3) sesuai
pengamatan gambar-gambar yang terdapat pada dinding gua, yaitu gambar-
gambar babi, orang berburu dengan menunggang kuda yang menunjukkan ciri
khas corak kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan; dan (4) lokasi situs
gua Kabori, letak geografisnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, karena
di sekitar gua tidak terdapat tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi sehingga
sangat memungkinkan kehidupan mereka hanya tergantung pada binatang buruan.
7
dari tanah liat sebagai tempat memasak dan wadah air, keterampilan memintal
benang dan menenun. Pada masa ini mereka membuat tempat tinggal tetap
(rumah/pondok) yang tiangnya agak tinggi dari permukaan tanah untuk
menghindari ancaman binatang buas (Keterangan dari Bapak La Hada). Walaupun
demikian, kehidupan berburu tidak ditinggalkan, bahkan sampai sekarang masih
ada penduduk desa yang melakukan pekerjaan berburu rusa sebagai kegiatan
sambilan.
Bagi masyarakat prasejarah, kegiatan berburu binatang telah menjadi salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk yang pertama kali
menghuni Pulau Muna. Hal ini terbukti dengan banyaknya terdapat lukisan
dengan tema perberburuan pada sejumlah gua. Selain itu, untuk menghadapi
musuh juga dilambangkan pada gambar-gambar atau lukisan orang yang sedang
naik kuda sambil memegang tombak.
D. Pembahasan
Lukisan prasejarah menyajikan banyak hal, terutama tentang wawasan
pikiran dan imajinasi peradaban masa lampau. Para arkeolog dari generasi ke
generasi semakin tertarik untuk mengartikan temuan-temuan tersebut. Akhirnya
mereka berhasil mengungkap banyak hal tentang kehidupan masyarakat pada
waktu itu. Lukisan yang ditemukan di gua-gua, seperti di gua Kabori dan gua
Metanduno, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara serta beberapa lukisan
prasejarah di Sulawesi Selatan membawa kita kembali ke sekitar ratusan tahun
yang lalu. Meskipun sebelumnya para arkeolog telah menyatakan bahwa lukisan-
lukisan tersebut adalah hiasan semata. Lalu kemudian mereka tahu bahwa itu
tidak benar karena pada umumnya gua-gua tersebut gelap gulita. Teori yang lain
mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut merupakan kekuatan sihir dalam
berburu, lalu mereka melukiskan binatang yang ingin mereka tangkap supaya
mereka kelak berhasil dalam berburu. Teori terakhir yang mungkin paling masuk
akal (mendekati kebenaran) adalah bahwa tempat-tempat/gua semacam itu pernah
dihuni orang. Tempat-tempat seperti di gua Leang-Leang, gua Leang Kabori dan
gua Metanduno, mungkin pernah menjadi tempat untuk melakukan upacara ritual,
atau upacara lainnya.
Gua merupakan salah satu fenomena hasil rekayasa alam yang secara
khusus terjadi di kawasan batu gamping karst pada kisaran waktu puluhan juta
tahun silam. Gua tidak tidak saja ditemukan di dataran tinggi, dataran rendah, dan
lembah tetapi juga di dasar laut dalam bentuk tebing dan terjalan (Kosasih, 1995
dalam Irfan Mahmud, 2001: 150). Gua juga telah menjadi tempat hunian dan
tempat beraktivitas bagi masyarakat prasejarah sebelum mereka mengenal pola
hidup berpindah-pindah dan bercocok tanam. Bahkan gua telah menjadi salah
sarana untuk mengekspresikan hasrat, pikiran, cita-cita, dan harapan mereka
dalam bentuk kepercayaan (magis-religius). Itulah sebabnya sehingga banyak gua
yang pernah dihuni oleh masyarakat primitif yang tersebar di seluruh dunia yang
di dalamnya ditemukan bekas-bekas peninggalan sebagai bukti bahwa mereka
pernah tinggal di sana.
10
Pada bulan Maret 1977, Tim kecil dari Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional yang terdiri dari Drs. E.A. Kosasih dan Rokhus Due Awe,
B.A. melakukan penjajakan yang pertama sebagai survei pendahuluan. Sesuai
dengan laporan tersebut, tim memperoleh data yang positif tentang sejumlah gua
dan ceruk yang memiliki lukisan yang terdapat di daerah perladangan Liabalano,
Kampung Mabolu, Desa Liang Kabori, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Gua dan ceruk yang dimaksud yang sekaligus pada waktu itu dapat diteliti adalah
gua Metanduno dan gua Kobori, serta ceruk-ceruk La Sabo, dan Tangga Ara.
Survei selanjutnya dilaksanakan pada tahun 1984 terhadap sejumlah objek
penelitian yang lebih luas lagi. Tim survei akhirnya menemukan 7 gua dan 6
ceruk. Keseluruhan gua dan ceruk tersebut selanjutnya diberi nama Liang Kabori.
Manusia yang menghuni situs Liang Kabori kemudian mengalami proses
perubahan pola kehidupan dari berburu dan mengumpulkan makanan menjadi
pola bercocok tanam. Hal ini seperti ditunjukkan pada lukisan-lukisan yang
terdapat pada 4 buah situs yang baru ditemukan oleh La Hada, yakni gua Sugi
Patani, gua Pominasa, ceruk Pinda, ceruk La Kubah. Keempat situs tersebut
memiliki perbedaan dengan 9 situs sebelumnya yang diteliti oleh Kosasih.
Perbedaan ini terlihat dari adanya lukisan yang menunjukkan ciri-ciri kehidupan
bercocok tanam, dibuktikan dengan adanya lukisan kelapa, lukisan jagung, dan
lukisan umbu-umbian.
Peninggalan prasejarah lainnya yang ditemukan di sekitar situs Liang
Kabori adalah makam raja-raja Muna sebagaimana keterangan yang disampaikan
oleh La Hada (juru pelihara situs Liang Kabori). Menurut informasi dari
masayarakat setempat bahwa di sekitar situs Liang Kabori terdapat makam raja-
raja Muna, yakni Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende. Situs dari
makam-makam tersebut masih dapat dilihat dengan jelas sampai sekarang. Sayang
sekali penulis tidak mendapatkan dokumentasi foto dari makam-makam tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Arkeologi Nasional
Jakarta pada tahun 1977 bahwa lukisan-lukisan yang ditemukan di Pulau Muna,
Sulawesi Tenggara diperkiraan dibuat sekitar abad ke-12 dengan dasar
pertimbangan bahwa bukti-bukti temuan pada situs itu masih muda, baik dilihat
dari segi bahan maupun motipnya. Sebagaimana ciri khusus kehidupan prasejarah
11
bahwa manusia pada zaman itu kebanyakan memilih tempat tinggal pada
ketinggian yang memiliki gua (La Kimi Batoa, 1991:7).
Para ahli berpendapat bahwa situs kepurbakalaan di Kabupaten Muna,
merupakan kawasan yang sarat dengan temuan kepurbakalaan prasejarah (Puslit
Arkenas, 1977 dan 1984). Di dalam situs tersebut terdapat berbagai jenis lukisan
prasejarah yang menggambarkan berbagai aktivitas kehidupan manusia prasejarah
yang mendiami lokasi tersebut (Informasi disampaikan oleh La Kimi Batoa,
mantan Kepala Seksi Kebudayaan, Kantor Depdikbud, Kabupaten Muna).
Gua Kabori terdapat di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Kabupaten
Muna. Situs ini berjarak sekitar kurang lebih 17 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Muna yang beribukota di Raha. Dari ketinggian kurang lebih 800
meter dari permukaan laut, dan dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dengan
kendaraan roda dua. Menurut keterangan dari La Hada (juru pelihara sekaligus
penemu gua tersebut) bahwa keseluruhan lukisan di gua Kabori berjumlah 130
lukisan. Akan tetapi dari sejumlah lukisan tersebut, banyak yang sudah rusak,
bahkan ada yang sudah tidak jelas lagi sehingga sulit diidentifikasi. Kerusakan
gambar-gambar tersebut selain faktor alam, juga disebabkan oleh ulah para
pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Lukisan yang masih dapat dijumpai
dalam gua Kabori, antara lain adalah lukisan dengan motip binatang, figur
manusia dalam berbagai variasinya, gambar perahu, dan gambar matahari.
Penulis berasumsi bahwa lukisan-lukisan antara gua yang satu dengan
lukisan yang ada pada gua lainnya memiliki saling keterkaitan atau persamaan-
persamaan, baik dari karakteristik pola, tema maupun makna-makna simbolik
yang terkandung di dalamnya.
Tabel 1
Lukisan prasejarah di gua Kabori
Tema/jenis gambar/motip gambar Karakteristik gaya
Binatang buruan: Babi, rusa. Naturalis-dekoratif
Sarana berburu: Kuda, anjing
Binatang melata: Lipan
Figur manusia: Naturalis-dekoratif
Orang berkuda, orang main silat, orang naik perahu,
orang berburu, orang berperang, orang tanpa kepala,
manusia terbang.
Gambar perahu: Naturalis-dekoratif
Perahu dengan layar, perahu sedang di dayung.
12
Tabel 2
Lukisan prasejarah di Gua Metanduno
Tema/jenis gambar/motip gambar Karakteristik gaya
Berburu/Perburuan: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar orang naik kuda.
Perang: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar orang naik kuda sambil
memegang tombak pada tangan kanan, orang tanpa
kepala.
Aktivitas kebaharian: Naturalis-dekoratif
Menampilkan gambar perahu sebagai sarana transportasi
laut, perahu dengan layar, perahu sedang di dayung.
Kepercayaan: Naturalis
menampilkan gambar matahari sedang bersinar.
E. Kesimpulan dan Saran
AKW, 1991. Sejarah Seni Rupa Indonesia, Seri 2: Zaman Hindu, FPBS IKIP
Ujung Pandang.
Batoa, La Kimi. 1982. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: CV. ASTRI Raha
Diknas dan Balai Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 1983. Aspek Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah
Sulawesi Tenggara, Jakarta: Proyek Investarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.
Devereux, Paul, Arkeologi, Elex Media Komputindo, halaman 13.
Kosasih, E.A., 2001. Bentang Ekosistem Karts dan Prospek Wisata Arkeologi di
Indonesia dalam Buku: Memediasi Masa Lalu: Spektrum Arkeologi dan
Pariwisata, Cetakan I. Makassar: Lembaga Penelitian UNHAS
(LEPHAS, M. Irfan Mahmud (Editor), halaman 149-180.
Puslit Arkenas. 1984. Laporan Penelitian Arkeologi di situs-situs lukisan gua dan
ceruk Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) tahun1977 dan 1984. Jakarta :
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soekmono, 1981 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 1, 2, dan 3,
Edisi ke-3, Yogyakarta: Kanisius.
Sukendar, Haris, 2001. Masyarakat Sumberdaya Arkeologi Sulawesi dan
Pemberdayaannya dalam Menunjang Pembangunan Daerah, dalam
Buku: Memediasi Masa Lalu: Spektrum Arkeologi dan Pariwisata.
Cetakan I. Makassar: Lembaga Penelitian UNHAS (LEPHAS), M. Irfan
Mahmud (Editor), halaman 23-38.
Soebadio, Haryati, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa, dalam Buku: Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Genius), Penyunting Ayatrohaedi, Cetakan I, hlm.
18-26, Jakarta: Pustaka Jaya.
Yabu M. 2005. Materi Kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia: Prasejarah,
Makassar: Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar.
14
Lampiran
Biodata Penulis: