Anda di halaman 1dari 6

Nama : Khairunnisa Callista Ardiningrum

NPM/FG : 1906292401 / FG 1
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
LTM : Strategi dan Hambatan Kolaborasi

I. Pendahuluan
Dalam melakukan kerja sama tim kesehatan, konflik menjadi suatu hal yang tidak dapat
terelakkan. Perbedaan pendapat dan kepentingan masing – masing, karakter yang superior
maupun inferior seorang biasa menjadi sebuah pemicu dalam kerja sama kolaborasi tim.
Maka dari itu diperlukan adanya pengetahuan dan solusi mengenai konflik ini
II. Isi
A. Definisi dan Tipe Konflik
Konflik pada kolaborasi tim diartikan sebagai ekspresi pertentangan kebutuhan,
dorongan, keinginan, atau tuntutan internal maupun eksternal dari anggota yang berada dalam
tim. (Greer et al.,2012). Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu
atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran tidak sejalan. Sumber konflik
dapat berasal dari seluruh sprektum kebutuhan manusia. Mulai dari kebutuhan bertahan hidup
hingga pembentukan identitas diri.

Tipe Konflik (Greer et al.,2012)


1. Konflik tugas, merupakan tipe konflik terkait material tugas yang diselesaikan
oleh tim, misalnya pertentangan strategi dan tujuan yang dicapai
2. Konflik Relasi, bertipe konflik pribadi anggota tim, misalnya perbedaan nilai atau
cara masing – masing anggota tim dalam menyelesaikan tugas tim. Muncul dari cara
komunikasi yang terkesanseperti atasan dan bawahan.
3. Konflik proses, konflik terkait isu logistik penugasan, misalnya pertentangan cara
mendelegasi tanggung jawab atau penentuan waktu koordinasi.

B. Tahapan Manajemen Konflik


Tahapan manajemen konflik dapat membantu tim untuk mengatur strategi penyelesaian
konflik. Secara umum terdapat 3 tahap manajemen konflik, yaitu:
1. Kesepakatan, dimana pihak yang berkonflik menyepakati, bahwa konflik yang terjadi
memerlukan penyelesaian segera. Perlu tidaknya sebuah konflik diselesaikan dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian proses penyelesaian konflik.
2. Persiapan, pihak yang berkonflik menentukan sebab dan jenis konflik, memahami posisi
masing-masing, mengumpulkan data terkait konflik, mempertimbangkan motivasi dan
sasaran yang ingin dicapai, menentukan intensitas konflik, dan memerhatikan respons emosi
pada pihak yang berkonflik.
3. Melakukan Pembicaraan, dimulai dengan menetapkan aturan dasar lalu memahami apa
yang terjadi, lalu mendengar pandangan dan pendapat dari pihak pihak yang berkonflik.
Setelah kedua pihak mengutarakan pendapat mereka, masalah dapat didefinisikan, lalu pihak
yang berkonflik melakukan brainstorming mencari solusi yang dapat disepakati oleh semua
pihak dengan mencari kesamaan unutuk berkompromi sehingga diterima semua pihak lalu
menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan.

C. Gaya manajemen konflik


Dalam melakukan kolaborasi kesehatan terdapat bermacam – macam konflik yang
dapat menjadi suatu faktor penghambat dalam melakukan pekerjaan. Manajemen konflik
merupakan suatu langkah dari orang yang terlibat konflik maupun pihak ketiga untuk
menyusun strategi dalam mengarahkan perselisihan menuju perdamaian agar terdapat
resolusi yang diinginkan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut terdapat beberapa gaya
sebagai opsi untuk membantu dalam penyelesaiian konflik. Berikut beberapa gaya
manajemen konflik menurut Thomas dan Killman 1978 dalam tulisan Sportman dan
Hamilton (2007) :
1. Gaya menghindar (Avoiding)
Gaya yang terjadi ketika sesorang tidak berusaha menyelesaikan konflik. Gaya ini
bersifat pasif, tidak asertif, tidak kooperatif, bahkan cenderung apatis. Seseorang yang
menyelesaikan masalah dengan gaya ini cenderung menghindar atau mengabaikan konflik,
sehingga konflik berpotensi menjadi lebih rumit dari sebelumnya.
2. Gaya bersaing (Competing)
Gaya yang bersifat sangat asertif namun tidak begitu kooperatif. Kepentingan pribadi
menjadi dominansi dalam penyelesaian masalah. Dimana biasanya dalam menyelesaikan
masalah, seseorang yang memiliki kekuasaan akan mendapatkan hal yang diinginkan dengan
tidak begitu memikirkan kepentingan orang lain. Pemegang kekuasaan tersebutlah yang
memegang wewenang dalam strategi penyelesaian masalah. Hal ini dapat memicu dampak
negatif dan munculnya konflik lain.
3. Gaya akomodasi (Accomodating)
Gaya ini cenderung lebih mementingkan keharmonisan dan kerukunan dalam suatu
kelompok. Dimana terdapat pihak yang berusaha memuaskan kepentingan pihak lain demi
menyelesaikan konflik. Gaya ini cenderung tidak asertif namun kooperatif. Tetapi dampak
buruknya, pihak ini yang mengakomodasi orang lain akan kehilangan kesempatannya dalam
berekspresi terhadap perasaan, ide, maupun pendapatnya.
4. Gaya kompromi (Compromising)
Gaya yang bersifat deal deal bagi kedua belah pihak dengan mencari titik tengah
antara kepentingan dua pihak walaupun tidak dapat memuaskan semua kepentingan antara
dua belah pihak tersebut. Kedua pihak sama – sama berusaha rela berkorban demi
menemukan dasar dari konflik masalah kedua belah pihak. Gaya ini menjadi pertengahan dari
gaya persaingan dan akomodasi karena sifatnya asertif dan kooperatif.
5. Gaya kolaborasi (Collaborating)
Gaya yang mengedepankan kepuasan dari kedua belah pihak. Gaya ini mencoba
menemukan solusi baru dengan proses bekerja sama dengan potensi yang dimiliki masing –
masing. Gaya ini bersifat asertif dan kolaboratif sehingga memerlukan waktu karena cukup
tingginya tingkat kesulitan membangun gaya ini.

D. Pencegahan Konflik
Berikut beberapa cara dalam mencegah konflik dalam tim kolaborasi, antara lain (Harolds
dan Wood, 2006; Andrew, 1999; Ramsay, 2001):
1. Mengikutsertakan seluruh anggota tim membahas tahap perencanaan. Sebagai
bentuk menghargai keberadaan, transparansi, dan kerja sama tim.
2. Membuat panduan berisi kebijakan dan pembagian kerja anggota tim. Sebagai
suatu prosedur agar pekerjaan tim kolaborasi dapat berjalan tertib dan sistematis.
3. Menyelesaikan setiap masalah sekecil apapun dan menginformasikan kepada
anggota tim. Hal ini menjadi pencegahan akan munculnya masalah yang lebih besar
jika tidak segera diselesaikan, terlebih jika kurangnya komunikasi antar anggota tim.
4. Membuka akses komunikasi antar anggota dan pimpinan tim. Agar pimpinan tim
dapat memonitor apabila ada hal yang tidak sesuai rencana dapat segera diselesaikan.
5. Menjadwalkan waktu pertemuan rutin tim. Hal ini dilakukan agardapat melakukan
evaluasi perkembangan dan mengeratkan hubungan antar anggota tim.
6. Melatih keterampilan pengelolaan masalah, kerja sama tim, dan komunikasi
efektif. Agar sumber daya manusia di tim tersebuet memiliki kualitas yang semakin
membaik.
7. Mempertimbangkan secara seksama perubahan anggota tim. Karena perubahan
anggota tim dapat memungkinkan adanya suatu masalah baru mengenai struktur tim
dan pembagian tugas.
8. Memberi kesempatan mendapat umpan balik dan melakukan refleksi diri. Agar
anggota tim dapat senantiasa memperbaiki diri agar kesalahan pribadi maupun tim
tidak kembali terulang.
9. Menerapkan pola kepemimpinan yang menimbulkan iklim optimism dan kerja
sama tim. Menerapkan sikap disiplin dan kepemimpinan agar kerja sama tim dapat
berjalan baik karena interaksi yang baik.
Memahami mekanisme terjadinya konflik paling efektif untuk mencegah adanya konflik.
Menurut sisi anggota tim, konflik terjadi karena kurangnya komunikasi, adanya
perundungan, perbedaan pilihan penatalaksanaan pasien, kritik destruktif, ekspektasi yang
tidak mendasar, isu SARA (suku, agama, ras, antar golongan), dan kurang menghargai
satu sama lain. Dan dari sudut pandang pimpinan, sebagian besar pemicu konflik adalah
kurangnya pengawasan kinerja tim namun terlalu mengandalkan kinerja tim, tidak
memenuhi janji dan tanggung jawab, serta ketidaksesuaian tindakan dengan perkataan
(Ramsay, 2011)
E. Manajemen Kemarahan
Kemarahan merupakan suatu hal wajar karena menjadi suatu sifat dasar bagi manusia.
Marah dalam kerja sama tim kesehatan sering terjadi karena terdapat beberapa stimulus.
Tekanan yang terus berlangsung, kompleksitas relasi, dan hal tak terkontrol membuat
kemarahan kita muncul. Apabila marah, reaksi tubuh kita memproduksi adrenalin dan
nonadrenalin, keadaan tubuh mengalami peningkatan kontraksi otot, tekanan darah, detak
jantung, dan pernapasan. Hal ini memengaruhi kestabilan dalam menentukan presepsi,
pemikiran, komunikasi, dan berperilaku. Kemarahan menimbulkan suatu kesan menakutkan
dan mengintimidasi. Kemarahan dapat ditekan, namun jika terlalu dipaksakan bisa
menimbulkan penyakit, contohnya psikosomatis. Namun jika penyebab kemarahan diketahui
dan dapat diperbaiki maka akan menjadi suatu hal produktif.(Gibson dan Tulgan,2002). Hal
ini juga disebutkan Tjosvold, 2002, bahwa kemarahan dapat dikelola dengan baik apabila
bersifat terbuka terhadap orang lain dengan menganalisis perbedaan yang memprovokasi.
Kemarahan pada lingkungan kerja dapat dikategorikan menjadi (Gibson dan Tulgan,2002):
1. Kemarahan kepada sistem
Kondisi yang tidak terkontrol dan keluar dari sistem yang contohnya masalah
ketenagakerjaan dan peningkatan beban kerja, dapat memicu kemarahan.
2. Persepsi terhadap keadilan
Dimana kondisi manusia merasa tidak adil sebab membandingkan diri dengan orang
lain, dan dimana orang tersebut terlihat lebih baik dapat menimbulkan kemarahan.
3. Sasaran yang terhambat
Dimana sasaran atau goal seseorang dalam pekerjaan terhambat suatu hal sehingga
menunda proses pencapaian sasaran tersebut dapat memicu kemarahan.
4. Perbedaan nilai – nilai
Nilai kompetensi, kerja keras, dan integritas menjadi suatu nilai yang harus diterapkan
adalam melaksanakan suatu pekerjaan. Jika seseorang tidak menjalankan nilai
tersebut dapat menimbulkan kemarahan pihak lainnya.
5. Hubungan dengan atasan
Antara atasan dan bawahan memiliki penyebab kemarahan berbeda. Bagi atasan,
bawahan yang mempertanyakan kemampuannya dalam memimpin dapat memicu
kemarahannya. Dan bagi bawahan, sikap atasan yang semena – mena dan
memanfaatkan kelemahan bawahan menjadi pemicu utama kemarahan. Namun dalam
hirarki pekerjaan, bawahan tidak bisa langsung mengekspresikan kemarahannya
kepada atasan sehingga ia memendamnya sehingga terkadang menimbulkan dendam
yang diekspresikan kepada junior atau teman sejawatnya.
Manajemen kemarahan dibagi menjadi manajemen kemarahan diri sendiri dan orang lain
dan ketika menghadapi orang lain yang sedang marah.
 Mengelola Kemarahan Diri

Untuk mengelola kemarahan diri sendiri dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu:
1. Menghindari kemarahan
Dengan mengenali hal yang mungkin menimbulkan kemarahan dan cara menghindari
penyebab tersebut.
2. Meredakan tanda-tanda fisik kemarahan yang terjadi
Ketika detak jantung meningkat dan wajah menghangat, cobalah menenangkan diri
dengan menarik nafas panjang atau bermeditasi.
3. Berpikir secara logis
Dengan menyadari bahwa kemarahan bisa menyebabkan penyimpangan persepsi
terhadap penyebab kemarahan itu sendiri yang seharusnya dianalisis lebih logis.
4. Mengekspresikan perasaaan dengan efektif dan sesuai
Seseorang harus mengetahui perasaan yang muncul, apa yang sebenarnya terjadi dan
diinginkan dengan berpikir logis dalam menganalisis penyebab kemarahan.
5. Menemukan solusi masalah penyebab kemarahan
Solusi tepat dapat ditemukan dengan bertanya kepada diri sendiri apakah penyebab
kemarahan dapat diubah oleh diri sendiri, lalu buat rencana untuk menyelesaikan
masalah.
6. Let go (Mengikhlaskan)
Membiarkan masalah penyebab kemarahan pergi dari pikiran. Tidak masalah apakah
masalah tersebut ada solusinya atau masih menunggu diselesaikan.

 Mengelola kemarahan orang lain

Manajemen menghadapi orang lain yang sedang marah dapat dilakukan melalui 5 langkah,
yaitu:
1. Memulai dari diri sendiri
Dimulai dengan mengetahui perasaan kita saat itu, apakah berpengaruh terhadap
interaksi dengan orang lain. Apabila kita sendiri merasa marah, maka kita harus
mengelola kemarahan kita terlebih dahulu sebelum menghadapi kemarahan orang
lain.
2. Mengumpulkan informasi
Mencari tahu penyebab kemarahan yang terjadi. Lebih bagus mengetahi penyebab
kemarahan dari setidaknya dua orang yang berbeda.
3. Menjadwalkan pertemuan
Sebaiknya pertemuan ditunda ketika sedang marah. Perlu waktu beberapa jam
setelah kemarahan muncul, tetapi jangan terlalu lama. Pilih tempat yang
menenangkan untuk bertemu dan menyiapkan diri berkomunikasi dengan orang
yang sedang marah. Bila perlu lakukan latihan sebelumnya.
4. Engage with the person
Menjadi seorang pendengar yang aktif, mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin dan berempati. Jika dperlukan mintalah kehadiran orang ketiga sebagai
mediator.
5. Evaluasi dan ambil sikap
Evaluasi dilakukan terhadap cara mengekspresikan kemarahan dan penyebab
kemarahan. Berikan umpan balik mengenai cara mengekspresikan kemarahan lalu
diskusikan solusi masalah yang mendasari kemarahan.
Pekerjaan pada pelayanan kesehatan yang menerapkan kolaborasi tim kesehatan
memiliki kecenderungan menghasilkan konflik. Contoh sebabnya adalah perbedaan latar
belakang profesi, nilai – nilai budaya, dan perbedaan lainnya. Hal ini berdampak negative
pada kepentingan pasien sebagai hasil yang ingin dicapai. Walaupun dapat menjadi ajang
seseorang memahami proses kolaborasi, konflik ditengah pekerjaan dapat memberi dampak
negative. Maka, anggota profesi kesehatan perlu memerhatikan pencegahan, komunikasi
efektif, dan pengelolaan kemarahan demi menguasai keterampilan mengelola konflik.
III. Penutup
Sebagai seorang praktisi kesehatan juga harus mengelola konflik agar bukan menjadi
suatu hambatan dalam kerja sama. Dikarenakan kerja sama tim kesehatan berbasis kolaborasi
maka gaya kolaborasi dalam tim perlu diterapkan. Pun perlunya kapabilitas yang baik dalam
mengelola kemarahan diri sendiri maupun orang lain agar konflik tidak mudah terjadi.
Referensi

1. Andrew, L. B. 1999. Conflict Management, Prevention and Resolution in Medical


Setting. Physician Excecutive : 25 (4) : 38 – 42
2. Gibson, D. dan B. Tulgan. 2002. Managing Anger in The Workplace.
3. Greer, L. L., O. Saygi, H. Asldering, dan C. K. de Dreu. 2012. Conflict in a Medical
Teams : Opportunity or Danger?. Medical Education 46 (10) : 935 – 942.
4. Harolds, J. dan B.P. Wood. 2006. Conflict Management and Resolution. Journal of
the American College of Radiology 3(3) : 200 – 206
5. Nursalam. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik
KeperawatanProfesional. 4 E, editor. Jakarta:Salemba Medika; 2014.
6. Ramsay, M. A. E. 2001. Conflict in The Healthcare Workplace. 138 – 139
7. Sportsman, S. dan P. Hamilton. 2007. Conflict Managemenet Styles in The Health
Professions. Journal of Professional Nursing 23(3): 157 – 166
8. Sunyoto D. Penelitian Sumber Daya Manusia: Teori, Kuesioner, AlatStatistik, dan
Contoh Riset. Yogyakarta: CAPS; 2015
9. Tjosvold, D. 2002. Managing Anger for Teamwork in Hong Kong: Goal
Interdependence and Open-Mindedness. Asian Journal of Social Psychology 5(2):
107 - 123
10. Wahyudi. Manajemen Konflik dalam Organisasi. kedua C, editor. Bandung:Alfabeta;
200
11. Wirawan. Konflik dan manajemen konflik : teori, aplikasi, dan penelitian.Jakarta:
Salemba Humanika; 2010

Anda mungkin juga menyukai