Anda di halaman 1dari 20

Nama : M Gunawan Wibiksana

NIM : 6111191045
Kelas : B2
Mata Kuliah : Manajemen Resolusi Konflik
Dosen Pengampu : : Zaenal Abidin AS, S.IP., M.Sc

Tugas essay Manajemen dan Resolusi Konflik

Manajemen dan Resolusi Konflik


Konflik adalah perjuangan yang dilakukan secara sadar dan langsung antara individu dan atau
kelompok untuk tujuan yang sama. Mengalahkan saingan nampaknya merupakan cara yang
penting untuk mencapai tujuan. (Theodorson & Theodorson, 1979 : 71)
* Menurut Kilmann & Thomas (dalam Luthans, 1983 : 366) yang dimaksud dengan konflik
adalah : “ Suatu kondisi ketidakcocokan obyektif antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan, seperti
perilaku yang secara sengaja mengganggu upaya pencapaian tujuan, dan secara emosional
mengandung suasana permusuhan.
Menurut Mc.Namara (2007)
Konflik seringkali diperlukan untuk :
1. Membantu untuk memunculkan dan mengarahkan masalah.
2. Memacu kerja menjadi isyu yang sangat diminati.
3. Membantu orang menjadi “lebih nyata”, dan mendorongnya
untuk berpartisipasi.
4. Membantu orang belajar bagaimana mengakui dan
memperoleh manfaat dari adanya perbedaan.
Menurut Mc.Namara (2007), konflik akan menjadi masalah apabila :
1. Menghambat produktivitas.
2. Menurukan moralitas.
3. Menyebabkan konflik lain dan berkelanjutan.
4. Menyebabkan perilaku yang tidak menyenangkan.
Menurut Mc.Namara (2007),ada beberapa tipe tindakan manajerial yang menyebabkan
konflik di tempat kerja yaitu :
1. Komunikasi yang terbatas.
2. Jumlah sumber daya yang tersedia jumlahnya tidak
mencukupi.
3. “Karakter Pribadi”, termasuk konflik nilai atau tindakan
antara manajer dengan pekerja.
4. Masalah kepemimpinan, termasuk ketidakkonsistenan,
kehilangan arah, kepemimpinan yang memperoleh informasi
cukup.
Menurut Mc.Namara (2007).ada tujuh kunci tindakan manajerial untuk mengurangi konflik
yaitu :
1. Secara periodik melihat kembali uraian tugas.
2. Membangun hubungan kerja secara intensif dengan seluruh
bawahan.
3. Buat aturan, serta buat laporan tertulis.
4. Arahkan pada pelatihan dasar.
5. Kembangkan prosedur untuk tugas-tugas rutin dan meminta
masukan dari para pegawai.
6. Secara periodik adakan pertemuan manajemen.
7. Adakan kotak saran yang bersifat anonim untuk memperoleh
masukan secara obyektif.
Menurut Luthans (1983 : 371- 374 ) konflik individual terhadap tujuan dapat bersifat
positif maupun negatif. Ada tiga jenis konflik terhadap tujuan yakni :
1. Approach- approach conflict, dimana individu dimotivasi
untuk mendekati dua atau lebih pendekatan positif tetapi
punya kaitan erat dengan tujuan.
2. Approach – avoidance conflict, dimana individu dimotivasi
mendekati tujuan dan pada saat bersamaan dimotivasi untuk
menghindarinya. Tujuan tunggal berisi kedua karakteristik
baik positif maupun negatif bagi individu ybs.
3. Avoidance-avoidance conflict, dimana individu dimotivasi
untuk menghindari dua atau lebih tujuan negatif tetapi
memiliki kaitan erat dengan tujuan.
Konflik antar personal Situasi konflik terjadi apabila sekurang-kurangnya dua individu yang
berada pada sudut pandang bertentangan, dimana masing-masing tidak memiliki toleransi
terhadap perbedaan, serta mengabaikan kemungkinan adanya wilayah titik temu, kemudian
secara cepat meloncat pada kesimpulan. (Kelly dalam Luthans, 1083 : 376).
Ada tiga strategi untuk mengatasi konfilk antarpersonal yakni :
1) Lose-lose (kalah- kalah);
2) Win-lose (menang- kalah);
3) Win- win (menang- menang). (Luthans, 1983 : 378 - 379).
Filley, House & Kerr (dalam Luthans, 1083 : 379) mengemukakan ada beberapa bentuk
pendekatan konflik dengan strategi kalah- kalah yaitu sbb :
1) Melakukan pendekatan untuk mencari kesepakatan atau
mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan perselisihan;
2) Membayar salah satu pihak yang berkonflik;
3) Menggunakan pihak ketiga sebagai penengah (arbitrator);
4) Merujuk pada aturan birokrasi atau aturan yang berlaku
untuk memecahkan konflik.
STRATEGI MENANG - KALAH
Strategi ini banyak digunakan pada masyarakat Amerika.
Strategi ini dapat ditemukan di dalam huungan antara yang menguasai dan dikuasai,
konfrontasi antara lini dan staf, huungan antara serikat pekerja dengan manajemen.
Strategi menang – kalah dapat menimbulkan dua konsekuensi sekaligus baik yang bersifat
fungsional maupun disfungsional bagi organisasi. Secara fungsional, strategi ini dapat
mendorong terciptanya kompetisi untuk menang dan dapat memperkuat keeratan dan
semangat korsa pada situasi konflik. Sebaliknya, strategi ini dapat menciptakan disfungsi
karena menutup peluang penyelesaikan cara lain seperti kerjasama, kesepakatan bersama
dlsb.
STRATEGI MENANG - MENANG
Strategi ini sangat cocok dilihat dari sisi kemanusiaan dan organisasi, karena sumberdaya
yang ada lebih difokuskan pada upaya memecahkan masalah bersama, bukan untuk saling
menjatuhkan.
Dalam konteks budaya bangsa Indonesia, musyawarah mufakat sebagai salah satu sila dalam
Pancasila merupakan strategi menang – menang, sedangkan pemungutan suara merupakan
strategi menang - kalah.
Strategi menang-menang digunakan oleh PT Telkom pada saat memberhentikan sebagian
besar tenaga administrasinya. Istilah lainnya adalah : THE GOLDEN SHAKEHAND.
Pada waktu pelaksanaan REGOM di AS tahun 1992, juga digunakan strategi ini untuk
mengatasi konflik karena PHK pegawai pemerintah federal.
Apabila sistem komunikasi dan informasi tidak menemui sasarannya, timbulah salah
paham atau orang tidak saling mengerti. Selanjutnya hal ini akan menjadi salah satu sebab
timbulnya konflik atau pertentangan dalam organisasi.
Konflik biasanya juga timbul sebagai hasil adanya masalah-masalah hubungan pribadi
(ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai pribadi karyawan dengan perilaku yang harus
diperankan pada jabatannya, atau perbedaan persepsi) dan struktur organisasi (perebutan
sumber dayasumber daya yang terbatas, pertarungan antar departemen dan sebagainya).
Suatu pemahaman akan konsep dan dinamika konflik ialah bagian vital studi perilaku
organisasional. Seperti konsep-konsep lain yang dibahas dalam tulisan ini, konflik adalah
sangat kompleks. Konflik sering diartikan berbeda oleh orang yang berbeda pula dan dapat
mencakup kerangka intensitas dari perbedaan pendapat “sepele” sampai perang antar negara.
Pada hakekatnya konflik merupakan suatu pertarungan menang kalah antara kelompok atau
perorangan yang berbeda kepentingannya satu sama lain dalam organisasi. Atau dengan kata
lain, konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau
lebih pihak.
Pertentangan kepentingan ini berbeda dalam intensitasnya tergantung pada sarana yang
dipakai. Masing-masing ingin membela nilai-nilai yang telah mereka anggap benar, dan
memaksa pihak lain untuk mengakui nilai-nilai tersebut baik secara halus maupun keras.
Untuk mengetahui adanya konflik, sebenarnya dapat diketahui dari hubunganhubungan yang
ada, sebab hubungan yang tidak normal pada umumnya suatu gejala adanya konflik.
Misalnya ketegangan dalam hubungan, kekakuan dalam hubungan, saling fitnah-menfitnah.
Bila pemimpin mengetahui adanya gejala-gejala tersebut memang itu merupakan konflik.
Tidak semua konflik diketahui gejala-gejalanya maka untuk dapat mengetahui konflik seawal
mungkin pimpinan harus bertindak aktif. Alex Nitisemito mengemukakan beberapa hal yang
bisa membantu kemampuan pimpinan dalam memahami adanya konflik di dalam organisasi
adalah:
a. Dapat diciptakan komunikasi timbal balik
Apabila pimpinan mampu menciptakan komunikasi timbal-balik terutama dari bawah ke
atas, maka bawahan akan mempunyai keberanian untuk mengembangkan segala sesuatu
kepada atasannya. Dari informasi-informasi yang diperoleh dari bawahan tersebut,
kemungkinan ada hal-hal yang merupakan petunjuk bagi pimpinannya tentang adanya
konflik. Dengan pengetahuan itu maka pimpinan dapat melakukan tindakan-tindakan
pencegahan atau pengarahan. Bilaman pimpinan tidak mampu menciptakan komunikasi
timbal balik, maka bawahan akan takut mengemukakan segala sesuatu kepada atasannya.
b. Menggunakan Jasa Pihak Ketiga
Pada umumnya pihak-pihak yang sedang konflik akan lebih terbuka pada pihakketiga
yang tidak berpihak kepada keduanya. Oleh karena itu untuk dapat lebih mempermudah
mengetahui seawal mungkin, dapat menggunakan jasa pihak ketiga.
b. Menggunakan Jasa Pengawasan Informal
Untuk mengantisipasi konflik sedini mungkin, kita dapat juga menempatkanpengawasan-
pengawasan secara informal. Orang yang kita tempatkan ini sebetulnya sangat rahasia.
Pengawas informasi ini bertugas sebgai intel yang harus melaporkan segala sesuatunya
kepada atasan. Untuk berhasilnya usaha ini maka pengawas informal harus dapat bertindak
secara wajar agar tidak diketahui oleh teman-temannya.
Timbulnya Konflik
Suatu konflik dapat terjadi karena masing-masing pihak atau salah satu pihak merasa
dirugikan. Kerugian ini bukan hanya bersifat material, tetapi dapat juga bersifat non material.
Untuk dapat mencegah konflik, maka pertama-tama kita harus mempelajari sebab-sebab
tersebut antara lain:
- Perbedaan pendapat
Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, dimana masing-masing pihak
merasa dirinyalah yang paling benar. Bila perbedaan pendapat ini cukup tajam, maka dapat
menimbulkan rasa yang kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
- Salah paham
Salah paham juga merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi oleh pihak lain tindakan tersebut
dianggap merugikan.
- Salah satu atau kedua belah pihak merasa dirugikan
Tindakan salah satu mungkin dianggap merugikan yang lain, atau masing-masing
merasa dirugikan oleh pihak yang lain. Sudah barang tentu seorang yang dirugikan merasa
kurang enak kurang simpati atau malahan benci. Perasaan-perasaan ini dapat menjurus ke
arah konflik.
- Perasaan yang terlalu sensitif
Perasaan yang terlalu sensitif mungkin adalah wajar tetapi oleh pihak lain hal ini
dianggap merugikan. Jadi kalau dilihat dari sudut hukum atau etika yang berlaku, sebenarnya
tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah, meskipun demikian karena pihak lain
terlalu sensitif perasaannya, hal ini tetap dianggap merugikan, sehingga dapat menimbulkan
konflik. Keempat konflik tersebut di atas terjadi oleh sebab interen, tetapi sebenarnya konflik
dapat terjadi karena faktor-faktor eksteren. Sebab eksteren adalah bilamana terjadinya
konflik itu karena dipanasi oleh pihak lain secara sengaja maupun tidak. Hal ini dapat
dilakukan dengan jalan mengadu domba antara pihak-pihak yang konflik tersebut.
Jenis-Jenis Konflik Orang mengelompokkan konflik ke dalam:
1. Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (personrole conflict), dimana
peraturan yang berlaku tidak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang itu memilih untuk
tidak melaksanakan sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2. Konflik antar peranan (inter role conflict), dimana orang menghadapi persoalan karena dia
menjabat dua tau lebih fungsi yang saling bertentangan; misalnya saja anggotaserikat pekerja
yang juga pengawasan atau mandor perusahaan;
3. Konflik yang timbul karena seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang
(intersender conflict), misalnya saja dekan suatu fakultas harus memenuhi permintaan yang
berlainan para ketua jurusan;
4. Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan
(intrasender conflict). Kelompok konflik yang pertama pada hakekatnya meminta kesadaran
orang untuk mentaati peraturan yang ada atau memerlukan kesetiaan orang pada organisasi.
Kelompok konflik yang kedua dapat dihindari dengan mendefinjisikan kembali tugas yang
terlebih dahulu telah dispesialisasikan dan dialokasikan pada seorang tertentu sehingga akibat
negatif dwi-fungsi diminimumkan.
Sedangkan kelompok konflik ketiga dapat dihindari dengan memperlakukan sama
bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan. Akhirnya kelompok konflik keempat dapat
dihindari dengan sistem informasi yang lebih baik serta adanya buku pedoman atau petunjuk
perusahaan. Dalam kehidupan organisasi, konflik juga dapat dibedakan menurut pihak-pihak
yang saling bertentangan. Atas dasar hal ini, kita mengenal lima konflik (T. Hani
Handorko,1984):
1. Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian
tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan
pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari pada
kemampuannya.
2. Konflik antar individu dalam organisasi yang sama, dimana hal ini sering diakibatkan oleh
perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga berasal dari adanya konflik antar peranan
(seperti antara manajer dan bawahan).
3. Konflik antara individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara
individumenanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja
mereka. Sebagai contoh, seorang indiidu mungkin dihukum atau diasingkan oleh kelompok
kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok.
4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi pertentangan
kepentingan antar kelompok.
5. Konflik antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam
sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya pengembangan
produk baru, teknologi, dan jasa, harga-harga lebih rendah, dan penggunaan sumber daya
lebih efisien. Lewis A. Coser mengemukakan bahwa konflik mempunyai segi-segi positif
konflik dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Konflik dalam:
 Penggantian pimpinan yang lebih berwibawa, penuh ide baru dan semangat baru.
 Perubahan tujuan organisasi yang lebih mencerminkan nilai-nilai yang disesuaikan dengan
perubahan situasi dan kondisi.
 Pelembagaan konflik itu sendiri, artinya konflik disalurkan agar tidak merusak susunan
atau struktur organisai, dengan demikian konflik tidak dipadamkan tetapi dialirkan sesuai
dengan kehendak anggota sehinga tercipta tata susunan baru peraturan pemain dalam
organisasi.
2. Konflik dengan organisasi lain mungkin dapat
 Lebih mempersatukan para anggota organisasi;
 Mendatangkan kehidupan baru di dalam hal tujuan serta nilai organisasi;
 Lebih menyadarkan para anggota terhadap strategi serta taktik lawan;
 Sebagai suatu lembaga pengawasan masyarakat
Bagaimanapun juga, konflik merupakan suatu hal yang memakan pikiran, waktu,
tenaga, dan lain-lain untuk menyelesaikannya. Kalau ini sering terjadi dan penyelesaiannya
berlarut-larut akan memperlemah kedudukan pihak-pihak yang saling konflik dan organisasi
sebagai keseluruhan. Pihak-pihak menjadi lemah dan lesu untuk melaksanakan tugas-tugas
sampai konflik tersebut terselesaikan dan memuaskan semua pihak. Oleh karena itu
penyelesaian secara cepat konflik yang terjadi diperlukan, apabila diinginkannya agar
komunikasi tidak ladung (stagnan). Masalahnya sekarang adalah bagaimana manajer dapat
mengelola tingkat konflik untuk menghasilkan prestasi organisasi maksimum.
Hubungan antara konflik organisasi dan prestasi (performance). Bila tingkat konflik
terlalu rendah prestasi organisasional akan ladung (mengalami stagnasi). Organisasi terlalu
lambat menyesuaikan diri dengan berkembangnya permintaan atau perubahan lingkungan,
dan kelangsungan hidupnya terancam. Bila tingkat konflik terlalu tinggi, kekacaua-balauan
dan perpecahan juga membahayakan kelangsungan hidup organisasi. Manajer perlu berusaha
untuk mencapai tingkat optimal, yaitu tingkat fungsional konflik tertinggi dimana prestasi
organisasi adalah maksimum. Konflik dan Prestasi Organisasional dibedakan karena mereka
mengembangkan berbagai tujuan, tugas dan personalia yang tidak sama
1. Kebutuhan untuk membagi sumber daya-sumber daya yang terbatas. Bila setiap satuan
dalam suatu organisasi mempunyai sumber daya terbatas, masalah bagaimana membaginya
merupakan konflik potensial. Sumber daya-sumber daya tersebut harus dialokasikan,
sehingga beberapa kelompok tak terelakkan akan mendapatkan lebih sedikit daripada yang
mereka inginkan atau butuhkan. Konflik dapat timbul karena kelompok-kelompok organisasi
bersaing untuk memperebutkan bagian terbesar sumber daya-sumber daya yang tersedia.
2. Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tujuan. Seperti telah kita ketahui,
kelompokkelompok organisasi cenderung menjadi terspesialisasi atau dibedakan karena
mereka mengembangkan berbagai tujuan, tugas dan personalia yang tidak sama.
Perbedaan-perbedaan ini sering mengakibatkan konflik kepentingan atau prioritas, meskipun
tuuan organisasi sebagai keseluruhan telah disetujui. Sebagai contoh, departemen penjualan
mungkin menginginkan penetapan harga rendah untuk menarik lebih banyak langganan,
sedangkan departemen produksi mungkin menghendaki harga lebih tinggi dan sudut
pandangan yang berbeda-beda, mereka sering menghadapi kesulitan untuk menyetujui
program-program kegiatan.
3. Saling ketergantungan kegiatan-kegiatan kerja. Saling ketergantungan kerja ada bila dua
atau lebih kelompok saling tergantung satu dengan yang lain untuk menyelesaikan tugas-
tugas repetitif mereka. Dalam kasus seperti ini seberapa besar potensi konflik atau kooperasi
sangat tergantung pada cara situasi tersebut dikelola. Kadang-kadang konflik muncul bila
seluruh kelompok yang terlibat diberi terlalu banyak pekerjaan. Tekanan di antara berbegai
macam kelompok akan naik, dan mereka saling menyalahkan atau melempar tanggung
jawab. Konflik mungkin juga memanas bila pekerjaan didistribusikan secara sama tetapi
penghargaan-penghargaan diberikan secara berbeda-beda. Konflik potensial adalah terbesar
bila suatu unit tidak dapatmemulai pekerjaannya karena harus menunggu penyelesaian
pekerjaan unit lain.
4. Perbedaan nilai-nilai atau persepsi. Perbedaan-perbedaan tujuan diantara para anggota
berbagai satuan dalam organisasi sering berkaitan dengan berbagai perbedaan sikap, nilai-
nilai dan persepsi yang dapat menimbulkan konflik. Sebagai contoh, para manajer tingkat
atas, yang terlibat dengan pertimbangan-pertimbangan jangka Panjang hubungan manajemen
serikat buruh, mungkin ingin menghindari penetapan perjanjian-perjanjian, dan mungkin
malah mencoba untuk membatasi fleksibilitas para penyelia lini pertama. Para anggota
departemen teknis mungkin menggunakan kriteria nilai-nilai mereka atas dasar kualitas
produk, kecanggihan desain dan daya tahan,sedangkan para anggota departemen pabrikasi
mungkin mendasarkan nilai-nilai mereka pada kesederhanaan desain dan biaya-biaya
produksi yang rendah. Ketidaksesuaian nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan konflik.
5. Kemenduaan Organisasional. Konflik antar kelompok dapat juga berasal dari tanggung
jawab kerja yang dirumuskan secara mendua (ambiguous) dan tujuan-tujuan yang tidak jelas.
Seorang manajer mungkin mencoba memperluas peranan kelompok kerjanya, usaha ini
biasanya akan menstimulasi para manajer lain untuk “mempertahankan ladang mereka”. Di
samping itu, komunikasi yang mendua dapat menyebabkan konflik antar kelompok, bila
kalimat (ungkapan) yang sama mempunyai pengertian yang berbeda bagi kelompok-
kelompok yang berbeda.
6. Gaya-gaya individual. Banyak orang menyukai konflik, debat dan argumentasi; dan bila
hal ini dapat dikendalikan maka dapat menstimulasi para anggota organisasi untuk
meningkatkan atau memperbaiki prestasi. Tetapi bila hal itu mengarah ke “peperangan”, akan
menimbulkan konflik. Pada umumnya, potensi konflik antar kelompok adalah paling tinggi
bila para anggota kelompok sangat berbeda dalam hal ciri-ciri seperti sikap kerja, umur dan
pendidikan.
Konflik Organisasional
Individu-individu dalam organisasi mempunyai banyak tekanan pengoperasian
organisasional yang menyebabkan konflik. Bass mengemukakan berbagai contoh sebagai
berikut (Joseph A. Litterer, 1965) :
Atasan menghendaki produksi lebih banyak; para bawahan menginginkan perhatian
lebih besar. Para langgananan minta pengiriman lebih cepat; rekan sekerja mengharap
penundaan skedul. Para konsultan menyarankan perubahan; para bawahan menolak
perubahan. Buku pedoman menguraikan suatu rumusan; staf mengatakan bahwa itu tidak
akan berjalan.
Secara lebih konseptual. Litterer mengemukakan empat penyebab konflik
organisasional: (1) situasi dimana tujuan-tujuan tidak sesuai, (2) keberadaan
peralatanperalatan yang tidak sesuai, (3) suatu masalah ketidaktepatan status, dan (4)
perbedaan persepsi. Sumber-sumber konflik organisasional ini sebagian besar merupakan
hasil dinamika interaksi individual dan kelompok serta proses-proses psikologis.
Konflik Struktur
Dalam organisasi klasik ada empat bidang struktural dimana konflik sering terjadi :
1. Konflik hirarkis, yaitu konflik antara berbagai tingkatan organisasi. Manajemen menengah
mungkin konflik dengan personalia penyelia, dewan komisaris mungkin konflik dengan
manajemen puncak, atau secara umum terjadi konflik antara manajemen dan para karyawan.
2. Konflik fungsional, yaitu konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi.
Sebagai contoh klasik, konflik antara departemen produksi dan pemasaran dalam suatu
organisasi perusahaan.
3. Konflik lini-staf, yaitu konflik antara lini dan staf. Hal ini sering merupakan hasil adanya
perbedaan-perbedaan yang melekat pada personalia lini dan staf.
4. Konflik formal-informal, yaitu konflik antara organisasi formal dan informal. (Fred
Luthans, 1977). Desain organisasi modern juga mengandung situasi-situasi konflik potensial.
Secara khusus, organisasi proyek dan matriks secara struktural, menciptakan konflik.
Manajer proyek dengan tanggung jawab tetapi tanpa wewenang, dan manajer pada suatu
struktur matriks dengan seorang atasan fungsional serta pimpinan proyek menyajikan situasi-
situasi konflik. Seperti telah dikemukakan di muka, bahwa keberadaan konflik dalam desain
organisasi modern juga dapat menunjukkan manfaat. Dalam banyak kasus desain organisasi,
konflik ternyata dapat sangat membantu manajemen.
Peranan Konflik dalam Organisasi
Secara tradisional pendekatan terhadap konflik organisasional adalah sangat
sederhana dan optimistik. Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga anggpan sebagai berikut
(Joe Kelly, 1974):
1. Konflik menurut definisinya dapat dihindarkan
2. Konflik diakibatkan oleh para pembuat masalah, pengacau dan primadona
3. Bentuk-bentuk wewenang legalistik seperti “berjalan melalui saluran-saluran” atau
“berpegang pada aturan” ditekankan
4. Korban diterima sebagai hal yang tak dapat dielakkan.
Manajemen mendasarkan pada wewenang formal dan penyusunan organisasi klasik
untuk memecahkan “masalah konflik” mereka. Para manajer individual sering menjadi
hipokritis untuk dapat dihindari konflik-konflik dari atas atau bawah. Mereka menutup mata
terhadap keberadaan konflik, menciptakan taktik-taktik penundaan yang masuk akal untuk
menghindari konflik dan kembali menggunakan mekanisme-mekanisme defensive sebagai
penyelesaian semu terhadap konflik.
Pada saat sekarang, konflik telah menjadi suatu subyek paling vital dalam
pembahasan perilaku organisasional. Perkembangan ini, paling sedikit tidak secara langsung,
disebabkan perhatian masyarakat terhadap konflik pada tingkat nasional, organisasional,
kelompok dan individual. Hasilnya berupa serangkaian anggapan baru tentang konflik yang
hampir persis berlawanan dengan anggapan-anggapan tradisional (Joe Kelly, 1974):
1. Konflik tidak dapat dihindarkan
2. Konflik ditentukan oleh faktor-faktor struktural seperti bentuk fisik suatu bangunan,
desain suatu struktur karier, atau sifat sistem kelas.
3. Konflik adalah bagian integral sifat perubahan
4. Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan organisasi dalam
berbagai derajat.
5. Tingkat konflik minimal adalah optimal. Atas dasar anggapan-anggapan tersebut,
manajemen konflik organisasional telah menggunakan suatu pendekatan baru.
Pendekatan yang cukup representatif adalah tiga strategi dasar untuk mengurangi
konflik organisasional yang dikemukakan Litterer. Pertama, penyangga atau penengah dapat
diletakkan diantara pihak-pihak yang sedang konflik. Strategi kedua adalah membantu pihak-
pihak yang sedang konflik untuk mengembangkan pandangan yang lebih baik tentang diri
mereka dan cara mereka saling mempengaruhi. Strategi ketiga adalah merancang kembali
struktur organisasi agar konflik berkurang. Ini, tentu saja, merupakan strategi utama yang
dipergunakan pendekatan tradisional untuk mengelola konflik. Berikut ini secara lebih
terperinci akan diuraikan berbagai cara untuk mengatasi konflik.
Menghindari Konflik
Di muka telah dikemukakan bahwa kesatuan pengertian merupakan syarat bagi
kesatuan tindakan. Jelas bahwa pimpinan organisasi harus memperhatikan sikap dan
pendapat para anggota organisasi agar kegiatan yang terorganisasi secara efektif dapat
dilaksanakan. Agar pendapat bahwa di lain pihak mungkin diperlukan “indoktrinasi”.
Pada hakekatnya semua akan menimbulkan semangat anggota untuk menuruti
peraturan yang telah disetujui bersama di alam organisasi. Cara pertama merupakan cara
yang relatif lebih lunak dibandingkan yang kedua.
Selanjutnya pimpinan harus memberikan contoh yang baik dalam
tindakantindakannya. Kemudian dengan mempraktekkan evaluasi jabatan dapatlah dicapai
pembenahan fungsi, kekuasaan, tanggung jawab serta pelaporan; dengan ini dihindari atau
dikurangi konflik kepentingan yang berhubungan dengan upah dan gaji. Program-program
jaminan yang lain dapat meniadakan konflik yang berhubungan dengan keamanan atau
kelangsungan hidup anggota.
Bagaimanapun juga konflik mungkin timbul dan sulit untuk mencegahnya. Untuk itu
perlu juga membuka segala hal yang menyebabkan orang tidak setuju satu sama lain terhadap
suatu hal. Caranya dengan (1) prosedur kelah, (2) kotak saran, (3) kebijaksanaan pintu
terbuka, (4) pertemuan kelompok, (5) rapat anggota, dan lain-lain.
Menyelesaikan Konflik
Bila keadaan tidak saling mengerti serta situasi penilaian terhadap perbedaan antar
anggota organisasi itu makin parah sehingga konsensus sulit dicapai, maka dikonflik pun tak
terelakkan.
Pimpinan dapat melakukan tindakan alternatif seperti dikemukakan di bawah ini,
tetapi tergantung pada situasi dan kondisi yang ada (T. Hani Handoko, 1984).
1. Menggunakan kekuasaan – melaksanakan pendapat dengan menyatakan siapa yang setuju
dengan pimpinan dan yang tidak hendaknya mengundurkan diri.
2. Konfrontasi – dimana penyelesaian melalui persetujuan semua pihak tidak dapat dicapai,
dan hal itu dibiarkan demikian agar pihak-pihak memikirkan dan merenungkan kembali
pendapat masing-masing.
3. Kompromi – dimana pihak yang satu mengorbankan sesuatu agar memuaskan pihak yang
lain; tentu saja pihak-pihak tak ada yang senang akan hal ini, tetapi apa boleh buat karena
keadaan berlarut-larut dan organisasi menjadi “mati”. Ini akan justru merugikan semua pihak
karena anggota saling menyabot kegiatan-kegiatan operasional.
4. Menghaluskan situasi – ini meneruskan usaha mempertahankan “statusquo”, akan tetapi
pimpinan secara informal berusaha untuk menyelesaikan persoalan terhadap isu yang sifatnya
sepele.
5. Pengunduran diri – dalam hal ini pimpinan “melarikan diri” dari situasi yang timbul dan
tak berusaha untuk menyelesaikannya sama sekali; pimpinan menyerahkan pada kekuatan
yang ada untuk nantinya memperoleh keseimbangan kembali, karena dia memang
berpendapat bahwa demikianlah seharusnya proses konflik berjalan; memang diperkirakan
bahwa sesuatu yang baru tentu menimbulkan gejolak dan berbagai pendapat, tetapi dengan
berjalannya waktu hal yang baru itu diterima sebagai hal yang biasa dan pihak-pihak akan
dengan sendirinya mengerti duduk perkaranya.
Berbagai keadaan yang menguntungkan suatu organisasi dalam menghadapi konflik adalah
bila:
 Strukturnya dapat memperlancar saling tindak anggota dan kelompok;
 Anggotanya mampu melaksanakan proses saling tindak yang efektif dan saling
mempengaruhi;
 Anggota yang satu mempercayai kemampuan anggota yang lain, setia dan lain lain.
Dampak Konflik Konflik dapat berdampak positif dan negative yang rinciannya
adalah sebagai berikut:
1. Dampak Positif Konflik Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan
pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak
positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai
sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
 Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti
hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang
kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara
efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
 Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian
tugas dan tanggungjawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
 Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetensi secara sehat antar pribadi
maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan pretasi
kerja, tanggungjawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
 Semakin berkurangnya tekanantekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan
produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan memperoleh
perasaanperasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau
bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
 Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya
melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling)
dalam aspek kognitif, efektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi
tercapai dan produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik Dampak negative konflik (Wijono, 1993, p.2),
sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada
kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya
konflik. Akibat munculnya keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-
jam kerja berlangsung seperti misalnya mengobrol barjam-jam sambil mendengarkan
sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada
ditempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
b. Banyaknya karyawan ;yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang
dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
c. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan
keluarganya.
d. Banyak karyawan yang sakitsakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman maupun atasan, merasa tidak
dihargai hasil pekerjaannya, timbul stress yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit
tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
e. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari
atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak
mesinmesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat
intrik-intrik yang merugikan orang lain.
f. Meningkatnya kecenderungan yang keluar masuk dan ini disebut labor trun over. Kondisi
semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh
karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk
kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalan cost benefit.
Akibat-Akibat Konflik Konflik dapat berakibat negative maupun positif tergantung
pada cara mengelola konflik tersebut. Akibat Negatif Konflik:
 Menghambat komunikasi
 Mengganggu kerjasama atau team work
 Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produki
 Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
 Individu atau peronil mengalami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi,
menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustasi, dan apatime.
Akibat Positif Konflik:
 Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
 Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
 Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan dalam sistem
dan prosedur, mekanissme, program, bahkan tujuan organisasi.
 Memunculkan keputusankeputusan yang bersifat inovatif.
 Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat
Ciri-Ciri dan Tahapan Terjadinya Konflik
Menurut Wiyono (1993: 37) ciri-ciri konflik adalah:
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok yang terlibat
dalam suatu interaki yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perorangan maupun kelompok
dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma
yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang sering ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan
untuk saling meniadakan, mengurangi dan menekan terhadap pihak lain agar dapat
memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai
macam kebutuhan fisik: sandang-pangan, materi dan keejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu: mobil, rumah, bonu, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman,
kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang
berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, pretise dan
sebagainya.
Tahapan-tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik sebagai berikut:
1. Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan
sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan
secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara
keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan
sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) Munculnya akibat antecedent condition
yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk
mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya, individu,
kelompok atau organisasi cenderung berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil
terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya
malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang
tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya
bila tidak, maka bisa berdampak negative terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produktivitas kerja (Wijono, 1993, 38-41)
Gaya konflik Thomas dan Kilmann (conflict mode) (1978)
Instrumen Thomas-Kilmann telah menjadi pemimpin dalam penilaian resolusi konflik
selama lebih dari empat puluh tahun. Instrumen ini tidak memerlukan kualifikasi khusus
untuk administrasi. Hal ini digunakan oleh konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) dan
Pengembangan Organisasi (OD) sebagai katalis untuk membuka diskusi tentang isu-isu sulit
dan memfasilitasi pembelajaran tentang bagaimana cara penanganan konflik mempengaruhi
dinamika pribadi, kelompok, dan organisasi. TKI juga banyak digunakan oleh mediator,
negosiator, dan banyak praktisi dalam profesi coaching (pelatih eksekutif, pelatih karir,
pelatih bisnis, pelatih kehidupan, dll).
Lebih dari  8.000.000  eksemplar TKI telah diterbitkan sejak 1974. Selain bahasa
aslinya bahasa Inggris,  TKI juga tersedia dalam beberapa bahasa lain:  Spanyol (Eropa dan
Amerika Latin), Prancis, Portugis (Brasil), Denmark, Belanda, Swedia, Jepang, Rusia,
Jerman, Italia, dan Cina (tradisional dan sederhana).
Instrumen Thomas-Kilmann dirancang untuk mengukur perilaku seseorang dalam situasi
konflik. “Situasi konflik” adalah situasi di mana kekhawatiran dua orang tampaknya tidak
sesuai.
Dalam situasi konflik seperti itu, kita dapat menggambarkan perilaku individu dalam
dua dimensi: (1) ketegasan, sejauh mana orang tersebut berusaha untuk memuaskan
kepentingannya sendiri, dan (2) kooperatif, sejauh mana orang tersebut berusaha untuk
memuaskan orang lain. kekhawatiran seseorang.
Kedua dimensi yang mendasari perilaku manusia (ketegasan dan kerja sama) ini
kemudian dapat digunakan untuk mendefinisikan lima mode berbeda untuk menanggapi
situasi konflik:
1. Bersaing  bersifat tegas dan tidak kooperatif—seorang individu mengejar
kepentingannya sendiri dengan mengorbankan orang lain. Ini adalah mode berorientasi
kekuasaan di mana Anda menggunakan kekuatan apa pun yang tampaknya sesuai untuk
memenangkan posisi Anda sendiri—kemampuan Anda untuk berdebat, pangkat Anda,
atau sanksi ekonomi. Bersaing berarti “membela hak Anda,” mempertahankan posisi
yang Anda yakini benar, atau sekadar mencoba untuk menang.
2. Mengakomodasi  tidak tegas dan kooperatif—kebalikan dari bersaing. Ketika
mengakomodasi, individu mengabaikan kepentingannya sendiri untuk memuaskan
kepentingan orang lain; ada unsur pengorbanan diri dalam mode ini. Mengakomodasi
bisa dalam bentuk kemurahan hati atau amal tanpa pamrih, mematuhi perintah orang lain
ketika Anda memilih untuk tidak melakukannya, atau menyerah pada sudut pandang
orang lain.
3. Menghindari  adalah tidak tegas dan tidak kooperatif—orang tersebut tidak mengejar
kepentingannya sendiri maupun orang lain. Jadi dia tidak berurusan dengan
konflik. Menghindari mungkin mengambil bentuk diplomatis menghindari suatu
masalah, menunda masalah sampai waktu yang lebih baik, atau hanya menarik diri dari
situasi yang mengancam.
4. Berkolaborasi  itu asertif dan kooperatif—kebalikan dari menghindari. Berkolaborasi
melibatkan upaya untuk bekerja dengan orang lain untuk menemukan beberapa solusi
yang sepenuhnya memenuhi keprihatinan mereka. Ini berarti menggali masalah untuk
menentukan kebutuhan dan keinginan yang mendasari kedua individu. Berkolaborasi
antara dua orang mungkin mengambil bentuk mengeksplorasi ketidaksepakatan untuk
belajar dari wawasan satu sama lain atau mencoba untuk menemukan solusi kreatif untuk
masalah interpersonal.
5. Kompromi  adalah moderat baik dalam ketegasan dan kooperatif. Tujuannya adalah
untuk menemukan beberapa solusi yang bijaksana dan dapat diterima bersama yang
sebagian memuaskan kedua belah pihak. Ia berada di tengah-tengah antara bersaing dan
akomodatif. Berkompromi menyerah lebih dari bersaing tetapi kurang dari
mengakomodasi. Demikian juga, ini membahas masalah lebih langsung daripada
menghindari, tetapi tidak mengeksplorasinya secara mendalam seperti berkolaborasi.
Dalam beberapa situasi, kompromi mungkin berarti memecah perbedaan antara dua
posisi, bertukar konsesi, atau mencari solusi jalan tengah yang cepat.
Masing-masing dari kita mampu menggunakan kelima mode penanganan konflik. Tak
satu pun dari kita dapat dicirikan memiliki gaya tunggal dalam menangani konflik. Tetapi
orang-orang tertentu menggunakan beberapa mode lebih baik daripada yang lain dan, oleh
karena itu, cenderung lebih mengandalkan mode tersebut daripada yang lain—baik karena
temperamen atau latihan.
Oleh karena itu, perilaku konflik Anda di tempat kerja merupakan hasil dari
kecenderungan pribadi Anda dan tuntutan situasi di mana Anda berada. Instrumen Thomas-
Kilmann dirancang untuk mengukur penggunaan mode penanganan konflik Anda di berbagai
kelompok dan pengaturan organisasi

Perbedaan Gaya Kolaborasi dan Kompromi


 Kolaborasi : Solusi berupa alternatif lain yang bukan tujuan kedua balah pihak yang
terlibat namun kedua belah pihak sepenuhnya puas
 Kompromi : solusi berupa alternative lain yang memenuhi sebagai keinginan masing-
masing pihak namun kedua belah pihak hanya merasa terpenuhi sebagian keinginannya.

Keterampilan yang diperlukan untuk menggunakan Gaya Manajemen Konflik

Kompetisi Kolaborasi Kompromi Menghindar Akomodasi


 Berdebat dan  Mendengarkan  Kemampuan  Kemampuan  Kemampuan
membantah dengan baik bernegosiasi untuk menarik untuk
 Berpegang yang  Mendengarka diri melupakan
teguh dua dikemukakan n dengan baik  Kemampuan keinginan
dimensi pada lawan konflik apa yang meninggalkan diri sendiri
pendirian  Kemampuan dikemukakan sesuatu tanpa  Kemampuan
 Menilai bernegosiasi lawan konflik terselesaikan untuk
pendapat dan  Mengidentifikas  Mengevaluasi  Kemampuan melayani
perasaan diri i pendapat nilai untuk lawan
sendiri dan lawan konflik  Menemukan mengesamping
lawan
konflik
 Menyatakan
posisi diri
secara jelas kan masalah
 Kemampuan  Kemampuan
konflik
memperbesar  Konfrontasi untuk
 Kemampuan
kekuasaan tidak menerima
untuk
diri sendiri mengancam jalan tengah kekalahan
mematuhi
 Kemampuan  Menganalisis  Memberikan  Kemampuan
perintah atau
untuk masukan konsesi untuk
melayani
memperkecil  Memberikan melupakan
lawan
kekuasaan konsesi sesuatu yang
konflik
lawan menyakitkan
konflik hati
 Menggunaka
n berbagai
taktik yang
memengaruhi

Kekerasan
Definisi Kekerasan Di dalam World report on violence and health (WRVH) WHO
menyebutkan bahwasanya penggunaan kekuatan fisik atau kekuatan yang disengaja,
terancam atau aktual, terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau
komunitas, yang beroleh hasil atau memiliki kemungkinan tinggi mengakibatkan luka,
kematian, bahaya psikologis, pembangunan yang tidak benar, atau kekurangan.
Istilah kekerasan didefinisikan sebagai“perilaku seseorang terhadap orang lain yang
dapat menyebabkan kerusakan fisik atau psikis”(Children and Violence, 2010)
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat,
berciri khas, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik, karena adanya paksaan, kekerasan fisik seperti penganiayaan,
pembunuhan, perampokan, hologanisme, pemerkosaan terhadap anak gadis di bawah umur,
bahkan hingga sodomi. Kekerasan merupakan perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang
salah.
Kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan dengan hokum (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan sebuah tindak kejahatan.
Bentuk-bentuk Kekerasan dari berbagai bentuk kekerasan itu sebenarnya dapat digolongkan
ke dalam dua bentuk, yaitu:
• Kekerasan langsung (direct violent) adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan secara
langsung terhadap pihakpihak yang ingin dicederai atau dilukai. Bentuk kekerasan ini
cenderung ada pada tindakan-tindakan, seperti melukai orang lain dengan sengaja,
membunuh orang lain, menganiaya, dan memperkosa.
• Kekerasan tidak langsung (indirect violent) adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain melalui sarana. Bentuk kekerasan ini cenderung ada pada
tindakantindakan, seperti mengekang, meniadakan atau mengurangi hakhak seseorang,
mengintimidasi, memfitnah, dan perbuatanperbuatan lainnya.
Dalam konteks sosial munculnya teori kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur
sosial tertentu.
2. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa
banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan
kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran
kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
4. Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasian diri untuk
bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya
kekerasan.
5. Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan,
menghambat, dan mengakhiri kekerasan. Selain itu, KUHP telah mengklasifikasikan
beberapa pasal yang berkaitan dengan penganiayaan dan juga jenis ataupun bentuk
penganiayaan yang tentu memiliki kosekuensi pemidanaan yang berbeda pula. Dalam
pandangan klasik, suatu tindak kekerasan (violence) menunjuk pada tingkah laku yang
pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun
sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda
atau fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang karena menyangkut pula
perbuatan “mengancam” di samping suatu tindakan nyata.
Jenis kekerasan
 Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
membenturkan kebenda yang lain, bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau
melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat mengakibatkan, antara lain:

 Sakit yang menimbulkan ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari.



 Luka berat pada tuubuh korban, luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan
kematian.
 Kehilangan salah satu panca indera.
 Luka yang mengakibatkan cacat.
 Kematian korban.

Kekerasan fisik ringan seperti menampar, menarik rambut, mendorong, dan perbuatan lain
yang mengakibatkan, antara lain:

 Cidera ringan.
 Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat.

 Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis atau kekerasan mental adalah kekerasan yang mengarah pada serangan
terhadap mental/psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan
nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman.

Sedangkan di dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang P-KDRT dijelaskan bahwa, “Kekerasan
Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat
pada seseorang”. (Pasal 7).

 Kekerasan seksual
meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
( Pasal 8 ).

Kata ‘ Pemaksaan hubungan seksual ‘ disini lebih diuraikan untuk menghindari  penafsiran
bahwa pemaksaan hubungan seksual hanya dalam bentuk pemaksaan fisisk semata ( harus
adanya unsur penolakan secara verbal atau tindakan ), tetapi pemaksaan juga dapat terjadi
dalam tataran psikis (dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan penolakan dalam
bentuk apapun).

 Kekerasan Ekonomi
Pasal 9 menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga atau
dapat diartikan sebagai kekerasan ekonomi terhadap rumah tangga, antara lain:

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal
menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, dia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah
kendali orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai