Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan Kesiapsiagaan Bencana

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan

diperoleh manusia melalui pengamatan indranya (Mahmud,

2010). Pengetahuan merupakan hasil seseorang dalam

mengetahui sesuatu menggunakan penginderaannya.

Pengindraan yang dimaksud di atas adalah panca indra

manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,

perasa, dan peraba (A. Wawan dan Dewi M., 2017).

Menurut al-Ghazali manusia memperoleh pengetahuan

melalui dua cara yaitu belajar di bawah bimbingan seorang

guru dengan menggunakan indra dan akal serta belajar

dengan memperoleh pengetahuan dari hati melalui ilham

dan wahyu (yang bersifat rabbani atau belajar ladunni)

(Mahmud, 2010).

Pengetahuan atau kognitif memiliki peranan yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Berdasarkan pengalaman dan penelitian, perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama

dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Proses kognitif dapat terjadi pada saat

individu memperoleh informasi mengenai objek sikap.

11
Proses kognitif ini dapat terjadi melalui pengalaman

langsung (A. Wawan dan Dewi M., 2017).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dkk

(2017) didapatkan bahwa setiap individu memiliki

pengetahuan berbeda-beda sesuai pengalaman dan

informasi yang didapatkan. Dapat disimpulkan bahwa ilmu

pengetahuan dapat diterima dari berbagai sarana dan

informasi sehingga pengetahuan terhadap manajemen

bencana dapat diterima. Adapun karakteristik yang

12
13

mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu jenis kelamin,

umur, riwayat pendidikan, pekerjaan, pendidikan dan

pelatihan, dan simulasi (Damayanti, Wahyu RG, &

Muhanni’ah, 2017).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu (A.

Wawan dan Dewi M., 2017):

1. Tahu (Know)

Tahu dapat diartikan sebagai mengingat

sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk

didalamnya, mengingat kembali (recall) bahan yang

telah dipelajari atau rangsangan yang telah

duterima. Tingkatan ini merupakan tingkatan yag

paling rendah. Kata kerja yang dapat digunakan

untuk mengukur tahu seseorang tentang apa yang

dipelajari yaitu dengan menyebutkan, menguraikan,

mengidentifikasi, menyatakan, dan lain-lain.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami merupakan suatu kemampuan untuk

menjelaskan tentang obyek yang diketahui dan

dapat menginterprestasikannya dengan benar.

Orang yang telah faham terhadap suatu objek dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

dan meramalkan suatu objek yang dipelajari.


14

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan

untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi yang sebenarnya. Aplikasi dapat

menggunakan hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk

menyatakan materi atau suatu objek kedalam

komponen-komponen tertentu. Akan tetapi, masih

ada kaitan satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis)

Sintesis yang dimaksud adalah menunjukkan

kemampuan dalam melaksanakan atau

menghubungkan bagian-bagian dari suatu

keseluruhan kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi yang sudah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan justifikasi atau

penilaian terhadap kemampuan seseorang dalam

mengusai suatu materi atau objek. Penilaian ini

berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.


15

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pengetahuan, diantaranya yaitu (A. Wawan dan Dewi M.,

2017):

1. Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan

informasi. Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku

seseorang terhadap pola hidupnya terutama dalam

memotivasi sikap untuk berperan serta dalam

kegiatan kemanusiaan. Pada umumnya, makin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah menerima

informasi.

2. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan hal yang harus dilakukan

untuk menunjang kehidupan seseorang. Pekerjaan

seringkali dilakukan berulang dan banyak tantangan.

Sehingga akan menambah pengalaman seseorang

ketika akan melakukan sesuatu.

3. Umur

Usia adalah umur individu mulai dari kelahiran

sampai berulang tahun. Tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang dalam berkerja maupun berfikir

akan meningkat seiring dengan kecukupan umurnya.

Semakin cukup umur seseorang, semakin matang


16

pula pola berfikir dan bekerjanya. Pengalaman dan

kematangan jiwa seseorang dapat dilihat dari usia.

Semakin bertambah usia seseorang, semakin matang

dalam berfikir.

4. Lingkungan

Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang

ada disekitar seseorang yang dapat mempengaruhi

perkembangan dan perilaku seseorang.

5. Sosial-budaya

Sosial-budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi sikap seseorang dalam menerima

informasi.

2.1.4 Kriteria Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan

diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif (A.

Wawan dan Dewi M., 2017):

1. Baik : Hasil presentase 76% - 100%

2. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%

3. Kurang : Hasil presentase > 56%

2.1.5 Pengetahuan tentang Kesiapsiagaan Bencana

Pengetahuan kebencanaan adalah kemampuan dalam

mengingat peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan

oleh faktor alam atau faktor non-alam yang dapat


17

mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

(Pembriati, Santosa, & Sarwono, 2015). Pengetahuan

bencana dapat menumbuhkan pemahaman, kesadaran, dan

peningkatan pengetahuan tentang bencana dengan harapan

terciptanya manajemen bencana yang sistematis, terpadu,

dan terkoordinasi (Mulyono, 2014). Selain itu, pengetahuan

tentang bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi

bencana sangat penting untuk mengurangi resiko yang

ditimbulkan akibat bencana. Kurangnya pengetahuan

kebencanaan dapat menyebabkan rendahnya

kesiapsiaagaan saat terjadi bencana (Fauzi et al., 2017).

Pengetahuan merupakan kunci utama dalam meningkatkan

kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pengetahuan dapat

mempengaruhi sikap dan kepedulian seseorang agar siap

mengantisipasi bencana (Kurniawati & Suwito, 2017).

Peran pendidikan sangat berpengaruh terhadap

terwujudnya kesiapsiagaan bencana. Edukasi merupakan

salah satu media terbaik untuk mempersiapkan komunitas

untuk menghadapi bencana (Clust, Human, & Simpson,

2007). Kesiapan individu terhadap bencana juga

ditunjukkan oleh adanya pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan yang diperoleh melalui pembelajaran dari


18

pengalaman yang diaplikasikan secara nyata saat kondisi

darurat (Kurniawati & Suwito, 2017).

Kesiapsiagaan bencana merupakan tindakan kolaboratif

integral dari berbagai lembaga seperti rumah sakit, otoritas

kesehatan setempat, pertahanan sipil, dan lainnya (Naser &

Saleem, 2018). Dalam siklus manajemen bencana

dibutuhkan adanya kolaborasi antara sektor publik, swasta,

dan organisasi terkait untuk membangun manajemen

bencana yang efektif. Kolaborasi antara pengetahuan dan

tindakan dari tiap organisasi yang berbeda sangatlah

penting dalam mempersiapkan aspek pencegahan-

kesiapsiagaan-mitigasi bencana, yang terbukti efektif dalam

mengurangi korban jiwa dan kerusakan sarana-prasarana

(Ulum, 2014).

Beberapa peran yang dapat dilakukan relawan untuk

membantu dalam proses kesiapsiagaan bencana, yaitu:

membantu dalam kegiatan pemantauan, evaluasi, dan

pelaporan perkembangan akan ancaman bahaya dan

kerentanan masyarakat terhadap bencana yang mungkin

akan muncul, mendukung masyarakat dalam meningkatkan

kesiapsiagaan bencana melalui pelatihan dan simulasi

bencana, menyediakan dan menyiapkan barang-barang

guna memenuhi kebutuhan dasar dari pada masyarakat

yang rentan akan terdampak bencana, mendukung dalam


19

menyediakan dan menyiapkan barang dan peralatan untuk

memulihkan sarana-prasarana umum, dan mendukung

dalam menyiapkan dan mengelola lokasi evakuasi dan

penampungan bagi para masyarakat yang kemungkinan

terdampak bencana.

Menurut Moe, Gehbauer, Senitz, & Mueller (2007)

sangat penting bagi praktisi di bidang manajemen bencana

untuk inovatif dan belajar dari pengalaman agar dapat

mengambil pelajaran terbaik selama siklus manajemen

bencana. Praktisi dalam manajemen bencana harus

meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka,

sehingga dapat membangun kebiasaan belajar dari

pengalaman sebelumnya dan menerapkan implementasi

terbaik.

Baru-baru ini ditemukan bahwa latihan kesiapsiagaan

bencana dapat efektif dalam meningkatkan kompetensi

dokter, persepsi kesiapsiagaan, kepercayaan diri,

pemahaman tentang peran individu, peran mitra, dan

pengetahuan tentang aktivitas serta prosedur darurat

(Samardzic, Hreckovski, & Hasukic, 2015). Pelatihan

merupakan elemen penting dari kesiapsiagaan bencana

(Daily RN, Padjen, & Birnbaum, 2010). Untuk memperkuat

kemampuan profesional kesehatan dalam hal penanganan

darurat dan bencana, penyediaan program pendidikan


20

formal diperlukan, yakni program pelatihan jangka panjang

yang memiliki kurikulum komprehensif yang terstandarisasi

(Peleg, Michaelson, Shapira, & Aharonson-Daniel, 2003).

Dalam hal ini perlu adanya pembahasan mengenai

perencanaan darurat bencana yang mana perencanaan

darurat bencana ini merupakan suatu rencana jangka

panjang yang bersifat komprehensif, dimana sumber daya

akan diarahkan dan dialokasikan untuk mencapai tujuan

dalam kondisi darurat. Perencanaan sangat diperlukan

untuk menentukan jenis dan bentuk sumber daya yang

diperlukan baik itu sumber daya manusia, peralatan, dan

material (Ulum, 2014).

2.2 Sikap Kesiapsiagaan Bencana

2.2.1 Definisi Sikap

Secara bahasa, sikap (attitude) berasal dari bahasa

Italia attitude yaitu “Manner of placing holding the body,

dan Way feeling thinking or behaving”, artinya adalah cara

menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan,

jalan pikiran, dan perilaku. Sikap sebagai a complex mental

state involving beliefs and feelings and values and

dispositions to act in certain ways. Dapat diartikan sebagai

kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan

dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara

tertentu (A. Wawan dan Dewi M., 2017).


21

Sikap merupakan pendapat maupun keyakinan

seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif tetap,

yang disertai adanya perasaan tertentu untuk membuat

respons atau berperilaku dengan cara yang dipilihnya

(Walgito, 2003).

Sikap adalah sebuah tindakan seseorang terhadap suatu

stimulus atau rangsangan yang diberikan oleh seseorang

ataupun benda berupa respons atau tanggapan sebagai

reaksinya. Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan

sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap

suatu situasi serta menentukan apa yang dicari individu

dalam kehidupan (Slameto, 2010).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan

bersikap seseorang dapat memahami proses yang

menentukan tindakan nyata dan tindakan yang mungkin

dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya (A. Wawan

dan Dewi M., 2017).

Sikap bukanlah suatu tindakan atau aktifitas, akan

tetapi merupakan predisposisi dari tindakan atau perilaku

yang mendasari dan mendorong ke arah perbuatan yang

saling berkaitan sehingga harus ada informasi pada

seseorang untuk mereka bersikap. Dari informasi tersebut

akan timbul perasaaan positif atau negatif pada suatu objek


22

dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku

tertentu, kemudian terjadilah sikap (Slameto, 2010).

Dari sikap akan muncul reaksi atau respon positif

maupun negatif seseorang terhadap suatu stimulus atau

objek. Respon tersebut nantinya akan memunculkan

perasaan senang - tidak senang, suka - tidak suka atau

reaksi terhadap rangsangan yang datang dari luar

(Notoatmodjo, 2012). Karena itu, sikap dapat digambarkan

melalui pilihan sikap positif atau negatif. Sikap negatif

dapat diidentikkan dengan tidak suka/tidak ada kemauan,

sedang sikap positif diwujudkan dengan rasa suka/ada

kemauan (Adiwijaya, 2017).

2.2.2 Komponen Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012) sikap mempunyai tiga

komponen pokok, yaitu:

1. Kepercayaan (keyakinan): ide dan konsep terhadap

suatu obyek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional

terhadap suatu obyek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tred to behave).

Menurut Robins, Noftle, Trzesniewski, & Roberts (2005)

mengandung tiga komponen yang membentuk struktur

sikap, yaitu:
23

1. Komponen kognitif (komponen persepsual), yakni

komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,

pandangan, dan keyakinan. Hal ini berkaitan dengan

bagaimana orang mempersepsikan pada objek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional),

merupakan komponen yang berhubungan dengan

rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.

Komponen afektif menunjukan arah sikap positif dan

negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu

komponen yang berhubungan dengan

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.

Komponen konatif menunjukan intensitas sikap,

yakni menunjukkan besar kecilnya kecenderungan

seseorang dalam bertindak atau berperilaku

terhadap objek sikap.

2.2.3 Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo,

2012):

1. Menerima (receiving)

Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang

(subjek) memiliki keinginan dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).


24

2. Merespon (responding)

Dalam hal ini seseorang memberikan jawaban

apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan.

3. Menghargai (valving)

Dalam hal ini seseorang mengajak orang lain

untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah dengan orang lain.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Hal ini ditunjukkan dengan bentuk tanggung

jawab seseorang atas segala sesuatu yang telah

dipilihnya dengan segala resiko yang ada.

2.2.4 Sifat Sikap

Sifat sikap dibagi menjadi dua, yaitu (A. Wawan dan

Dewi M., 2017):

1. Sikap positif terdapat kecenderungan untuk

mendekati, menyayangi, dan mengharapkan objek

tertentu.

2. Sikap negative terdapat kecenderungan untuk

menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak

menyukai objek tertentu.

2.2.5 Ciri-ciri Sikap

Ciri-ciri sikap adalah (A. Wawan dan Dewi M., 2017):

1. Sikap dibentuk atau dipelajari


25

2. Sikap dapat berubah-ubah apabila terdapat keadaan

dan syarat tertentu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, namun mempunyai

hubungan tertentu terhadap suatu objek.

4. Objek sikap merupakan suatu hal atau merupakan

kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaaan.

2.2.6 Faktor yang mempengaruhi Sikap

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap (A.

Wawan dan Dewi M., 2017):

1. Pengalaman Pribadi

Sikap akan mudah terbentuk apabila

pengalaman yang terjadi melibatkan faktor

emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang yang dianggap penting dapat

mempengaruhi sikap seseorang.

3. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan sangat berpengaruh dalam

pembentukan sikap manusia.

4. Media Massa

Komunikasi merupakan sarana untuk

pembentukan opini dan kepercayaan individu.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama


26

Dua hal ini mempunyai sistem dalam

pembentukan sikap karena meletakkan pengetahuan

dan moral pada diri seseorang.

6. Faktor Emosional

Merupakan penyaluran frustasi atau pengalihan

bentuk mekanisme pertahanan ego.

2.2.7 Pengukuran Sikap

Beberapa teknik pengukuran sikap, antara lain (A.

Wawan dan Dewi M., 2017):

1. Skala Thrustona

Metode ini menempatkan sikap seseorang pada

sebuah rangkaian dari yang unfavorable sampai

dengan favorable terhadap suatu objek sikap. Untuk

menghitung nilai skala dan memilih pernyataan

sikap, pembuat skala perlu membuat sampel

pernyataan sikap sebanyak 100 atau lebih.

Pernyataan-pernyataan ini kemudian diberikan

kepada beberapa orang (penilai) yang bertugas

untuk menentukan derajat favorabilitas masing-

masing pernyataan. Favorabilitas diekspresikan

melalui titik skala dengan rentang 1-11. Rata-rata

perbedaan penilaian antar penilai terhadap item

kemudian dijadikan nilai skala masing-masing item.

Kemudian, pembuat skala menyusun item mulai dari


27

item yang memiliki nilai skala terendah hingga

tertinggi. Dari item yang sudah dipilih, pembuat

skala memilih item yang akan digunakan untuk

kuisioner yang sesungguhnya.

2. Skala Likert

Metode ini lebih sederhana dari pada skala

thrustona. Skala thrustona terdiri dari 11 poin yang

disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu

favorable dan unfavorable. Namun, item yang

menunjukkan netral tidak disertakan. Skala likert

menggunakan teknik lain untuk mengatasi hilangnya

netral pada skala thrustona, yang mana responden

diminta untuk melakukan agreement atau

disagreement untuk masing-masing item dalam skala

yang terdiri dari lima poin, yaitu sangat setuju,

setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak

setuju. Semua item yang favorable diubah nilainya

dalam angka, yaitu sangat setuju angka 5 dan sangat

tidak setuju angka 1. Sedangkan, untuk unfavorable

nilai skala sangat setuju adalah 1 dan sangat tidak

setuju adalah 5. Skala ini juga disusun dan diberi

skor sesuai dengan intervalnya.

3. Unobstrutive Measures
28

Metode ini menekankan bahwa seseorang dapat

mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau

memilih pernyataan dalam kuisioner sesuai dengan

sikapnya

4. Multidimensional Scaling

Metode ini lebih pada mendeskripsikan sikap

seseorang dari pada melakukan pengukuran sikap

yang bersifat angka.

5. Pengukuran Involuntary Behavior

Pengukuran ini dapat diartikan sebagai

pengukuran terselubung, dimana pengukuran dapat

dilakukan jika memang diinginkan dan responden

rela untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Pengukuran lebih kepada observasi terhadap reaksi

fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh

individu yang bersangkutan. Dalam hal ini, observer

dapat meninterpretasikan sikap individu mulai dari

facial reaction, voice tones, body gesture, keringat,

dilatasi pupul mata, detak jantung, dan beberapa

aspek fisiologis lainnya.

2.2.8 Sikap Dalam Kesiapsiagaan Bencana

Sikap kesiapsiagaan merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukan untuk mengurangi risiko bencana. Pengurangan

risiko bencana antara lain rencana penanggulangan


29

bencana, penyuluhan tentang bencana, sistem peringatan

dini, lokasi evakuasi sampai penyediaan barang pasokan

pemenuhan kebutuhan dasar (Ningtyas, 2015). Meskipun

kemajuan dalam sains dan teknologi saat ini terus

berkembang, masih ada beberapa bencana alam yang tidak

dapat diprediksi secara akurat. Namun, dengan

pengetahuan yang tepat, perencanaan yang akurat, dan

prediksi yang diperlukan dapat mengurangi kematian dan

kerugian finansial akibat bencana. Oleh karena itu, sikap

dan kesiapsiagaan personil terhadap bencana dapat

memiliki peran penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan

(Asadzadeh, Aryankhesal, Seyedin, & Babaei, 2013).

Studi yang dilakukan oleh Ahayalimudin et al. (2012)

menunjukkan bahwa pelatihan penting untuk dilakukan

guna memastikan kesiapan personel dalam menghadapi

bencana, karena ada hubungan yang signifikan antara

kehadiran pendidikan/pelatihan dengan praktik terkait

bencana. Personil yang menghadiri pendidikan atau

pelatihan bencana dan terlibat dalam respons bencana

memiliki lebih banyak kepercayaan diri dan peningkatan

kesadaran akan pentingnya manajemen bencana. Personel

harus dilatih untuk meningkatkan kinerja mereka agar

dapat merespons secara efektif terhadap bencana (Lynn,

Gurr, Memon, & Kaliff, 2006).


30

Penelitian yang dilakukan Naser & Saleem (2018)

mengungkapkan sikap positif responden yang menunjukkan

kesiapan mereka untuk belajar mengenai manajemen

bencana dan keinginan untuk berersiap menghadapi

bencana. Selain itu, pengalaman yang panjang tidak

berpengaruh pada sikap profesional terhadap manajemen

bencana. Namun, mereka yang telah bekerja lebih lama

tampak sedikit lebih bersemangat untuk pelatihan dan

implementasi rencana darurat di tempat kerja mereka.

Mereka juga menganggap bahwa latihan dan lokakarya

langsung atau lapangan adalah metode yang tepat dalam

pelatihan bencana daripada ceramah dan presentasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Nofal et al. (2018)

didapatkan hasil bahwa dokter dan perawat memiliki sikap

yang positif dalam kesiapsiagaan bencana dengan skor

persentase 68,87%. Sekitar 12 (6,3%) peserta tidak tertarik

untuk mengetahui rencana operasional darurat (bencana),

dan sekitar 21 (11%) sepakat bahwa manajemen dan

perencanaan bencana hanya untuk beberapa orang di

rumah sakit. Lebih lanjut, 66 (34,9%) peserta percaya

bahwa bencana tidak mungkin terjadi di rumah sakit

mereka. Konsensus lengkap diperoleh di antara peserta

tentang perlunya memiliki rencana operasional darurat

(bencana) serta untuk melakukan latihan di rumah sakit,


31

sementara 186 (98,4%) pasien percaya bahwa pelatihan

diperlukan untuk semua petugas kesehatan.

2.3 Kesiapsiagaan Bencana

2.3.1 Definisi Kesiapsiagaan Bencana

Kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting

dalam pencegahan dan pengurangan risiko sebelum

terjadinya bencana (Kurniawati & Suwito, 2017).

Kesiapsiagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

manajemen bencana. Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas

sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk

mengembangkan kapasitas operasional dan memfasilitasi

respon yang efektif ketika terjadi bencana (Paripurno &

Jannah, 2018). Kesiapan merupakan serangkaian kegiatan

untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian

serta langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk

membangun kesiagaan dan ketahanan dalam menghadapi

datangnya bencana (Anies, 2017). Kesiapsiagaan bertujuan

untuk meminimalkan efek samping bahaya melalui tindakan

pencegahan yang efektif, tepat waktu, dan memadai untuk

tindakan tanggap darurat dan bantuan saat bencana

(Dodon, 2013).

Kesiapsiagaan bencana merupakan upaya-upaya yang

dilakukan agar dapat mengatasi bahaya dari peristiwa alam

melalui pembentukan struktur dan mekanisme tanggap


32

darurat yang sistematis. Hal ini untuk meminimalkan

korban jiwa dan kerusakan sarana pelayanan umum (Anies,

2017). Selain itu, juga berguna untuk mempersiapkan

masyarakat dari ancaman bencana, juga bagi pihak yang

akan menolong. Tanpa mengenali hazard-nya, akan tidak

jelas preparedness untuk bencana yang mana yang harus

dilakukan, karena setiap bencana memiliki masalah yang

spesifik (Pusponegoro & Sujudi, 2016).

Tidak semua bencana dapat diprediksi sebelumnya.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk dapat

mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat, agar

jumlah korban manusia maupun harta benda dapat ditekan

seminimal mungkin. Langkah penting yang perlu disiapkan

sebelum bencana terjadi adalah peringatan dini. Peringatan

dini merupakan langkah penting untuk menyebarkan

informasi dengan segera kepada semua pihak, khususnya

masyarakat yang terancam terkena bencana (Anies, 2017).

Dalam hal kesiapsiagaan ini dilakukan penguatan sistem

peringatan dini (early warning system), yaitu upaya untuk

memberikan tanda peringatan bahwa bencana

kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian peringatan

dini harus dapat menjangkau dan dipahami (accessible),

segera (immediate), tidak membingungkan (coherent), dan

bersifat resmi (official) (Paripurno & Jannah, 2018).


33

2.3.2 Upaya Kesiapsiagaan Bencana

Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan

Kesiapsiagaan bencana meliputi (Anies, 2017):

1. Menilai resiko.

Pengkajian risiko bencana adalah langkah yang

diperlukan untuk penerapan kebijakan dan upaya

pengurangan risiko bencana yang efektif dengan

cara mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau

risiko bencana yang akan terjadi serta menerapkan

sistem peringatan dini. Dalam hal ini, juga penting

untuk mengembangkan, memperbarui, dan

menyebarluaskan peta risiko beserta informasi

terkait kepada para pengambil kebijakan dan

masyarakat umum. Penilaian risiko bencana dapat

dimasukkan dalam kebijakan, perencanaan, dan

program-program pembangunan yang berkelanjutan

dan efektif, dengan menekankan pada pencegahan,

mitigasi, persiapan, dan pengurangan kerentanan

bencana (UNDP, 2009).

2. Perancanaan darurat bencana.

Perencanaan darurat bencana adalah suatu

rencana jangka panjang yang bersifat komprehensif,

dimana sumber daya akan diarahkan dan

dialokasikan untuk mencapai tujuan dalam kondisi


34

darurat. Perencanaan darurat bencana juga

merupakan suatu proses untuk mempertimbangkan

tujuan organisasi, penentuan strategi, kecakapan,

dan program strategi untuk perncanaan darurat

tersebut. Perencanaan sangat diperlukan untuk

menentukan jenis dan bentuk sumber daya yang

diperlukan baik itu sumber daya manusia, peralatan,

dan material (Ulum, 2014).

3. Koordinasi.

Dalam siklus manajemen bencana dibutuhkan

adanya kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan

organisasi terkait untuk membangun manajemen

bencana yang efektif. Kolaborasi antara

pengetahuan dan tindakan dari tiap organisasi yang

berbeda sangatlah penting dalam mempersiapkan

aspek pencegahan-kesiapsiagaan-mitigasi bencana,

yang terbukti efektif dalam mengurangi korban jiwa

dan kerusakan sarana-prasarana (Ulum, 2014).

Dalam hal ini, perlu adanya dialog dan

pertukaran informasi serta koordinasi antar lembaga

yang menangani peringatan dini, pengurangan risiko

bencana, tanggap darurat, pembangunan, dan

sebagainya pada semua tingkatan. Memperkuat dan

membangun koordinasi antar wilayah sangat


35

diperlukan guna meningkatkan kebijakan regional

melalui mekanisme operasional dan sistem

komunikasi perencanaan untuk menyiapkan respons

yang efektif (UNDP, 2009).

4. Mekanisme respon.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk

memperkuat kesiapan menghadapi bencana agar

respon yang dilakukan lebih efektif, meliputi:

a. Memperkuat kebijakan, kemampuan

teknis, dan kelembagaan dalam

penanggulangan bencana, termasuk yang

berhubungan dengan teknologi, pelatihan,

sumber daya manusia, dan lain-lain.

b. Mendukung dialog atau pertukaran

informasi dan koordinasi antara lembaga-

lembaga yang menangani peringatan dini,

pengurangan risiko bencana, tanggap

darurat, pembangunan, dan sebagainya

pada semua tingkatan.

c. Memperkuat dan membangun koordinasi

antar wilayah serta meningkatkan

kebijakan regional melalui mekanisme

operasional dan sistem komunikasi


36

perencanaan untuk menyiapkan respons

yang efektif.

d. Menyiapkan dan memperbarui rencana

kesiapan bencana serta kebijakan dan

rencana tanggap darurat.

e. Mengupayakan diadakannya dana darurat,

logistik, dan peralatan untuk mendukung

langkah-langkah kesiapsiagaan bencana.

f. Membangun mekanisme khusus untuk

menggalang partisipasi aktif dan rasa

memiliki dari para pemangku kepentingan

terkait termasuk masyarakat.

5. Manajemen informasi.

Penyediaan informasi yang tepat waktu dan

efektif dapat mendorong pihak yang terkena bahaya

untuk mengidentifikasi dan mengambil tindakan.

Akses informasi harus bersifat komprehensif yang

dapat diakses tepat waktu oleh semua pihak yang

bersangkutan. Masalah yang sering terjadi di

kalangan pemegang kekuasaan adalah kurangnya

informasi penting yang berguna untuk setiap fase

dalam manajemen bencana. Tersedianya informasi

yang mudah diakses oleh mereka yang terlibat

dalam pengambilan keputusan akan terwujud jika


37

ada kolaborasi, kemitraan, dan jaringan di antara

elemen pemerintah, yaitu negara, sektor swasta, dan

masyarakat sipil (Ulum, 2014).

6. Simulasi.

Simulasi merupakan hal yang sangat penting

untuk meningkatkan kemampuan semua personel di

berbagai bidang yang akan terlibat dalam

penanggulangan bencana. Simulasi akan

menghasilkan orang-orang yang andal dalam

memberikan penanggulangan bencana, termasuk

kesiapsiagaannya (Pusponegoro & Sujudi, 2016).

2.3.3 Peran Relawan dalam Kesiapsiagaan Bencana

Pada saat tidak terjadi bencana/ berpotensi akan terjadi

bencana, relawan dapat berperan melalui kegiatan

kesiapsiagaan bencana, antara lain melalui (BNPB, 2014):

1. Pemantauan perkembangan ancaman dan

kerentanan masyarakat.

Relawan dapat membantu dalam kegiatan

pemantauan, evaluasi, dan pelaporan perkembangan

akan ancaman bahaya dan kerentanan masyarakat

terhadap bencana yang mungkin akan muncul.

2. Penyuluhan, pelatihan, dan geladi tentang

mekanisme tanggap darurat bencana.


38

Dalam hal ini relawan dapat mendukung

masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan

bencana melalui pelatihan, geladi, dan simulasi

bencana.

Pelatihan, termasuk simulasi, merupakan hal

yang sangat penting karena dapat meningkatkan

kemampuan masyarakat terkait dengan tanggap

darurat bencana. Apabila di suatu daerah banyak

anggota masyarakat yang mendapat pelatihan maka

akan meningkatkan local capacity building

(pengembangan kemampuan daerah). Dengan

sejumlah informasi, sosialisasi, dan pendidikan

terhadap masyarakat, idealnya masyarakat bisa

mengetahui bencana apa yang kemungkinan akan

menimpa mereka, serta bagaimana menghindarinya

(Pusponegoro & Sujudi, 2016).

3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan

pemenuhan kebutuhan dasar.

Dalam hal ini relawan menyediakan dan

menyiapkan barang-barang guna memenuhi

kebutuhan dasar dari pada masyarakat yang rentan

akan terdampak bencana. Relawan dapat membantu

dalam mengelola penerimaan, penyimpanan, dan


39

distribusi logistik, termasuk pencatatan dan

pelaporannya. Selain itu, relawan juga dapat

membantu dalam menjaga kecukupan pangan dan

status nutrisi masyarakat yang rentan terdampak

bencana, termasuk menjaga kecukupan, kualitas,

dan kehigienisan makanan yang disiapkan.

Relawan yang terdidik dalam bidang kesehatan

dan/atau memiliki pengalaman dalam bidang medis

dapat mendukung dalam menjaga kesehatan dan

mencegah timbulnya penyakit para masyarakat yang

rentan terdampak bencana, termasuk dalam

penyelenggaraan pelayanan kesehatan keliling,

pengelolaan air bersih, sanitasi, dan kesehatan

lingkungan.

4. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan

peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana

dan sarana.

Dalam hal ini relawan dapat mendukung dalam

menyediakan dan menyiapkan bahan, barang, dan

peralatan untuk memulihkan sarana-prasarana

umum, seperti infrastruktur/ fasilitas publik lainnya

dan hunian sementara untuk para korban bencana.

5. Penyiapan lokasi evakuasi.


40

Dalam hal ini relawan dapat mendukung dalam

menyiapkan dan mengelola lokasi evakuasi dan

penampungan bagi para masyarakat yang

kemungkinan terdampak bencana. Selain itu,

relawan juga dapat mendukung dalam mengelola

posko penanggulangan bencana.

2.3.4 Keefektifan Kesiapsiagaan Bencana

Efektivitas adalah keaktifan dan keefektifan yang mana

terdapat kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas

dengan sasaran yang dituju. Efektivitas pada dasarnya

tertuju pada hasil dari tercapainya suatu tujuan (Sutrisno,

2009).

Efektivitas dari suatu program dapat dilihat dari

beberapa aspek, antara lain (Muasaroh, 2010):

1. Aspek tugas atau fungsi, yaitu dikatakan efektif jika

dilaksanakan dengan baik sesuai tugas dan

fungsinya.

2. Aspek rencana atau program, yaitu seluruh rencana

dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Aspek ketentuan dan peraturan. Aspek ini dapat

dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang

telah dibuat dalam rangka menjaga berlangsungnya

proses kegiatan.
41

Indikator yang dapat dijadikan acuan dalam mengukur

efektivitas manajemen bencana dilihat dari segi

kesiapsiagaan dan pelayanan publik yaitu (Sutrisno, 2009):

1. Pemahaman Program

Yang dimaksud dengan pemahaman program ini

adalah sejauh mana relawan bencana memahami

dan mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya

dalam melaksanakan tugas saat terjadi bencana di

suatu Daerah.

2. Tepat Sasaran

Tepat sasaran yang dimaksud adalah

kemampuan relawan bencana dalam mengambil

keputusan, memberi arahan, atau perintah dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawab di

lapangan pada saat terjadi bencana di daerah.

3. Tepat Waktu

Yang dimaksud dengan tepat waktu adalah

melihat efektivitas dan kedisiplinan yang ditunjukan

oleh relawan bencana apakah tepat waktu dalam

melaksanakan tugas pelayanan pada saat status

kebencanaan, tidak mengulur-ulur waktu dalam

bekerja, dan melakukan tindakan sesuai dengan

standar operasional prosedur (SOP) yang telah

ditetapkan.
42

4. Tujuan Tercapai

Pencapaian tujuan ini dimaksudkan sebagai

dasar penyusunan kebijakan, program, kegiatan, dan

indikator kinerja kegiatan dalam mencapai asas dan

prinsip kerja relawan.

2.4 Hubungan Pengetahuan dan Sikap Manajemen

Bencana

Pengetahuan (masalah teoritis), sikap (kepercayaan),

dan perilaku (praktik dan pengalaman) tentang bencana

adalah komponen yang tidak terpisahkan dan memiliki

dampak langsung untuk manajemen bencana (Zhiheng et

al., 2012). Pengetahuan bencana bermanfaat untuk

mempengaruhi sikap dan kepedulian seseorang untuk siap

dan siaga dalam mengantisipasi bencana (Fauzi et al.,

2017).

Pelatihan menciptakan kesiapan untuk mengelola

dampak bencana. selain itu, pelatihan dapat meningkatkan

pengetahuan dan praktik personil, sehingga meningkatkan

sikap mereka terhadap manajemen bencana (Ahayalimudin

& Osman, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahayalimudin &

Osman (2016) menunjukkan bahwa pendidikan/pelatihan

terkait bencana signifikan dan bermanfaat untuk

meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik personel


43

medis darurat khususnya perawat. Studi yang dilakukan

oleh Ahayalimudin et al. (2012) menunjukkan bahwa

pelatihan penting untuk memastikan bahwa personel

memiliki kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana, karena

ada hubungan yang signifikan antara kehadiran

pendidikan/pelatihan dan praktik terkait bencana. Personil

yang menghadiri pendidikan atau pelatihan bencana dan

terlibat dalam respons bencana memiliki kepercayaan diri

yang tinggi dan peningkatan kesadaran akan pentingnya

manajemen bencana. Dari penjelasan tersebut dapat

disimpulkan bahwa pelatihan dapat menciptakan kesiapan

relawan untuk mengelola dampak bencana (Ahayalimudin &

Osman, 2016).

2.5 Relawan

2.5.1 Pengertian Relawan

Relawan bencana merupakan individu ataupun kelompok

yang meluangkan waktu dan tenaga untuk menjamin

kehidupan dan keselamatan korban bencana yang secara

sukarela, mandiri, dan kreatif mengembangkan aksi

tanggap bencana (Kumamoto, 2016).

Relawan adalah seorang atau sekelompok orang yang

memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara

sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana

(BNPB, 2014).
44

2.5.2 Panca Darma Relawan Bencana

Menurut peraturan kepala BNPB Nomor 17 tahun 2011

panca darma relawan bencana adalah sebagai berikut:

a. Mandiri

b. Profesional

c. Solidaritas

d. Sinergi

e. Akuntabel

2.5.3 Prinsip kerja relawan bencana

Prinsip Kerja Relawan menurut peraturan kepala BNPB

Nomor 17 Tahun 2011, yaitu:

a. Cepat dan tepat

b. Prioritas

c. Koordinasi

d. Berdaya guna dan berhasil guna

e. Transparansi

f. Akuntabilitas

g. Kemitraan

h. Pemberdayaan

i. Non-diskriminasi

j. Tidak menyebarkan agama

k. Kesetaraan gender

l. Menghormati kearifan lokal


45

2.5.4 Kecakapan Relawan

Menurut Peratura Kepala BNPB No. 17 tahun 2011

Kecakapan relawan dalam kesiapsiagaan bencana adalah

sebagai berikut:

1. Perencanaan

Dalam hal ini relawan yang telah menerima

pelatihan atau pernah terlibat dalam perencanaan

penanggulangan bencana dapat mendukung proses

perencanaan dalam keadaan yang tidak pasti,

perencanaan tanggap darurat, dan perencanaan

rehabilitasi serta rekonstruksi pasca bencana.

2. Sistem Informasi Geografis dan Pemetaan

Relawan yang berpengalaman dalam bidang

Sistem Informasi Geografis (SIG) dan pemetaan

dapat membantu dalam mengadakan pemetaan

dengan menggunakan sistem informasi geografis

dalam situasi tidak ada bencana, saat tanggap

darurat, maupun pada tahap pasca bencana.

3. Pelatihan, Geladi, dan Simulasi Bencana

Relawan yang telah menerima pelatihan atau

berpengalaman dalam bidang pelatihan, geladi, dan

simulasi bencana dapat membantu masyarakat

dalam peningkatan kesiapsiagaan bencana melalui

pelatihan, geladi, dan simulasi bencana.


46

4. Informasi dan Komunikasi

Relawan yang telah menerima pelatihan atau

berpengalaman dalam bidang ini dapat membantu

dalam pengelolaan informasi, termasuk informasi

peringatan dini jika bahaya masih mengancam, dan

mendukung kelancaran komunikasi dalam situasi

darurat bencana.

5. Hubungan Media dan Masyarakat

Relawan yang telah menerima pendidikan dan

pelatihan atau berpengalaman dalam bidang ini

dapat membantu dalam menyampaikan informasi

kepada media dan masyarakat, termasuk

menampung keluhan-keluhan dari pihak media dan

masyarakat korban bencana maupun penduduk yang

tinggal di sekitar lokasi penampungan sementara.

Anda mungkin juga menyukai