Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tingkat Pengetahuan
1. Definisi
Menurut Notoatmodjo (2017) pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia dalam Budiman & Riyanto (2018) pengetahuan
adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.
Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam, seperti motivasi
dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia, serta keadaan sosial
budaya. Menurut Notoatmodjo (2017) pengetahuan manusia tidak saja
diperoleh melalui pengalaman dalam lingkungan hidupnya, tetapi dapat
juga melalui catatan (buku, kepustakaan dan lainnya). Pengetahuan ini
harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru dalam lingkungan.
Pengetahuan merupakan domain penting untuk terbentuknya tindakan.
Berdasarkan beberapa penelitian menyimpulkan bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
merupakan hasil tahu yang didapatkan individu setelah melakukan
penginderaan.
2. Proses Pengetahuan
Hasil penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2017) menyatakan
bahwa terbentuknya perilaku akan melalui proses berurutan (akronim
AIETA), yaitu awareness (kesadaran); keadaan menyadari untuk
mengetahui dan memahami terlebih dahulu tentang stimulus (objek),
interest (merasa tertarik); keadaan untuk tertarik terhadap stimulus (objek)
yang ada. Pada tahap ini sikap subjek sudah mulai terbentuk, evaluation
(menimbang-nimbang); keadaan menimbang tentang baik dan buruknya
stimulus bagi individu. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,
trial; tahap mencoba oleh subjek untuk melakukan sesuatu sesuai dengan

7
8

apa yang dikehendaki stimulus dan adoption; tahap dimana subjek telah
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus. Rogers dalam Notoatmodjo (2015) menjelaskan bahwa
pada penelitian selanjutnya perubahan perilaku tidak selalu melewati
tahapan tersebut.
3. Sumber Pengetahuan
Mehra dan Burhan (1964, dalam Notoatmodjo, 2015) menerangkan
bahwa ada tiga sumber pengetahuan meliputi; pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman langsung, pengetahuan yang diperoleh dari suatu
konklusi dan pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan authority.
Berdasarkan bentuknya, sumber pengetahuan dibagi dalam dua bentuk,
yaitu;
a. Pengetahuan langsung dan tidak langsung. Pengetahuan langsung,
yaitu pengetahuan yang didapat dari persepsi extern dan persepsi
intern.
Pengetahuan langsung didapatkan melalui pemberian informasi
langsung seperti proses sosialisasi, edukasi, komunikasi langsung.
b. Pengetahuan tidak langsung, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan
cara menarik konklusi, kesaksian dan authority.
4. Faktor Pengetahuan
Menurut Budiman & Riyanto (2018) pengetahuan ditentukan oleh;
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun
nonformal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan
juga usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.
b. Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate
impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan. Berkembangnya teknologi akan menyediakan
bermacam-macam media massa yang dapat memengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.
9

c. Sosial, Budaya dan Ekonomi


Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian,
seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan
tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu
sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan
seseorang (Sunaryo, 2016).
d. Lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun
tidak, yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang
kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah
yang dihadapi masa lalu.
f. Usia
Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik.
5. Tingkatan Pengetahuan
Menurut Bloom dalam Budiman & Riyanto (2018) menjelaskan
bahwa tingkat pengetahuan dalam domain kognitif terbagi dalam 6
tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu adalah mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk dalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari.
b. Memahami (Comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui. Orang yang
telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan.
10

c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi disini
diartikan sebagai penggunaan hukum, rumus, metode dan sebagainya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan menjalankan materi ke dalam
komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih
ada kaitan. Kemampuan ini dapat dilihat dengan kata kerja seperti
dapat menggambarkan, memisahkan, mengelompokan, dan
sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kemampuan menghubungkan bagian ke
dalam bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya menyusun,
merencanakan atau meringkas teori.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
6. Penilaian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2015) penilaian pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi
yang ingin diukur dari responden ke dalam pengetahuan yang ingin
diukur.
Menurut Skinner (dalam Budiman & Riyanto, 2018) bila seseorang
mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun
tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut.
Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal
sebagai berikut;
a. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman.
b. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis.
c. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi.
Arikunto dalam Budiman & Riyanto (2018) membuat kategori tingkat
pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada
nilai persentase yaitu sebagai berikut;
a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%.
11

b. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56-74%.


c. Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya < 55%.
Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga
dikelompokkan menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum,
yaitu tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50% dan tingkat
pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 50%. Namun, jika yang
diteliti respondennya petugas kesehatan, maka persentasenya akan
berbeda, yaitu tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 75% dan
tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 75% (Budiman &
Riyanto, 2018).

B. Kecelakaan Lalu Lintas


1. Definisi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan
bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak
diduga dan tidak disengaja yang diakibatkan olehkendaraan dengan atau
tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau
kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian pada lalu
lintas jalan yang sedikitnya diakibatkan oleh satu kendaraan yang
menyebabkan cedera,kerusakan, atau kerugian pada pemiliknya atau
korban (Kemenkes, 2018). Secara teknis kecelakaan lalu lintas
didefinisikan sebagai suatu kejadian yang disebabkan oleh banyak faktor
yang tidak sengaja terjadi (Random Multy Factor Event). Dalam pengertian
secara sederhana, bahwa suatu kecelakaan lalau lintas terjadi apabila
semua faktor keadaan tersebut secara bersamaan pada satu titik waktu
tertentu bertepatan terjadi. Hal ini berarti memang sulit meramalkan secara
pasti dimana dan kapan suatu kecelakaan akan terjadi (PT. Jasa Marga,
2015).
2. Faktor Penyebab
Secara umum ada tiga faktor utama penyebab kecelakaan; Faktor
Pengemudi (Road User), Faktor Kendaraan (Vehicle), Faktor Lingkungan
Jalan (Road Environment). Kecelakaan yang terjadi pada umumnya tidak
hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil interaksi antar
faktor lain. Hal-hal yang tercakup dalam faktor-faktor tersebut antar lain:
12

a. Faktor Pengemudi ; kondisi fisik (mabuk,


lelah, sakit, dsb), kemampuan mengemudi, penyebrang atau pejalan
kaki yang lengah, dll.
b. Faktor Kendaraan ; kondisi mesin, rem,
lampu, ban, muatan, dll.
c. Faktor Lingkungan Jalan ; desain jalan
(median, gradien, alinyemen, jenis permukaan, dsb), kontrol lalu lintas
(marka, rambu, lampu lalu lintas), dll.
d. Faktor Cuaca ; hujan, kabut, asap, salju, dll.
Pada dasarnya faktor-faktor tersebut berkaitan atau saling
menunjang bagi terjadinya kecelakaan. Namun, dengan diketahuinya faktor
penyebab kecelakaan yang utama dapat ditentukan langkah-langkah
penanggulangan untuk menurunkan jumlah kecelakaan (PT. Jasa Marga,
2015).
Kejadian kecelakaan lalu-lintas jalan juga dipengaruhi oleh faktor usia
pengemudi. Analisis data yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat menunjukkan bahwa usia 16-30 tahun adalah
penyebab terbesar kecelakaan alu-lintas jalan (55,99%). Hal ini
menunjukkan bahwa pada usia tersebut sangat rawan akan kecelakaan
lalu-lintas. Kelompok usia 21-25 tahun adalah penyebab terbesar
kecelakaan dibanding dengan kelompok usia lainnya, sedangkan pada
kelompok usia 26-30 tahun, sebagai penyebab kecelakaan lalu-lintas,
menurun cukup tajam. Kelompok usia di atas 40 tahun menjadi penyebab
kecelakaan yang relatif kecil seiring dengan kematangan dan tingkat
disiplin yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berusia muda.

C. Gawat Darurat
1. Definisi
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. Sedangkan Penanganan Gawat Darurat adalah tindakan medis
yang dibutuhkan oleh Korban/Pasien Gawat Darurat dalam waktu segera
untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan (Kemenkes,
2018). Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 (2014) menjelaskan bahwa
pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan
13

tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar
dapat meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya kecacatan
yang tidak perlu. Hamarno (2016) menyatakan bahwa pelayanan di unit
gawat darurat merupakan pelayanan yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya kematian dan kecacatan korban. Untuk dapat mencegah
kematian dan kecacatan korban dibutuhkan kemampuan kognitif, afektif
maupun psikomotor untuk dapat menolong dengan cepat dan tepat.
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut (Kemenkes, 2018). Pelayanan pasien gawat darurat
adalah pelayanan yang memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat
dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, time saving is live
saving (waktu adalah nyawa). Waktu menjadi faktor yang penting dalam
penatalaksaan keadaan gawat darurat. Penting agar terapi mengikuti
urutan yang sesuai dengan urutan mendesaknya keadaan. Pengertian
kegawatan adalah keadaan yang menimpa seseorang yang dapat
menyebabkan jiwanya terancam sehingga memerlukan pertolongan secara
cepat, tepat dan cermat. Sedangkan kedaruratan adalah keadaan yang
memerlukan tindakan mendesak dan tepat untuk menyelamatkan nyawa,
menjamin perlindungan dan memulihkan kesehatan individu (Sudoyo,
2014).
Kemenkes (2018) menjelaskan bahwa pasien gawat darurat adalah
pasien yang memerlukan pertolongan segera (cepat, cermat, tepat) untuk
mencegah kematian atau kecacatan. Upaya peningkatan gawat darurat
ditujukan untuk menunjang pelayanan dasar, sehingga dapat
menanggulangi pasien gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari
maupun dalam keadaaan bencana. Dengan semakin meningkatnya jumlah
penderita gawat darurat, maka diperlukan peningkatan pelayanan gawat
darurat baik yang diselenggarakan ditempat kejadian, selama perjalanan
ke rumah sakit, maupaun di rumah sakit.
Kemenkes (2016) menjelaskan bahwa sistem penanganan
korban/pasien gawat darurat secara umum terdiri dari:
a. Penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebelum ke fasilitas
kesehatan.
14

b. Penanganan intrafasilitas pelayanan kesehatan, yang dilakukan di unit


gawat darurat.
c. Penanganan antar fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan
rujukan ke fasilitas yang lebih lengkap.
2. Ruang Lingkup Pelayanan Gawat Darurat
Hamarno (2016) menyatakan ruang lingkup pelayanan gawat darurat
adalah;
a. Pasien dengan kasus True Emergency
Yaitu pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat darurat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya
(akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
b. Pasien dengan kasus False Emergency, yaitu pasien dengan;
1) Keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat.
2) Keadaan gawat tetapi tidak mengancam nyawa dan badannya.
3) Keadaan tidak gawat dan darurat.
Pemberian pertolongan pertama terhadap korban kecelakaan yaitu
pemberian pertolongan untuk yang pertama kalinya pada korban yang
terkena kecelakaan. Bantuan yang dilakukan oleh penolong pertama harus
dilakukan dengan cepat dan tepat sebelum korban dibawa ke rujukan.
Pemberian pertolongan pada korban kecelakaan lalu lintas memerlukan
penanganan medis dasar, yaitu tindakan perawatan yang berdasarkan ilmu
kedokteran yang dapat dimiliki oleh masyarakat awam (Susilowati, 2015).
Sikap penolong dalam memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan
adalah;
a. Tenang, bertindak cekatan, tidak terpengaruh keluhan korban dan
jangan menganggap enteng luka korban.
b. Lihat pernapasan korban jika perlu berikan pernapasan buatan.
c. Hentikan perdarahan.
d. Perhatikan tanda-tanda syok.
e. Jangan terburu-buru untuk memindahkan korban sebelum mengetahui
jenis dan keparahan luka yang dialami korban (Susilowati. 2015).
Kewajiban penolong yang harus diperhatikan adalah :
a. Perhatikan keadaan sekitar tempat kejadian.
b. Perhatikan keadaan penderita.
15

c. Merencanakan langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan saat


memberikan pertolongan.
d. Jika korban meninggal beritahu kepolisian atau bawa korban ke rumah
sakit terdekat (Susilowati. 2015).
3. Tanda Gawat Darurat
American Heart Association (AHA) (2015) menjelaskan bahwa tanda
kegawatdaruratan dapat menggunakan konsep ABCD:
a. Airway. Apakah jalan napas bebas? Sumbatan jalan napas (stridor).
b. Breathing. Apakah ada kesulitan bernapas? Sesak napas berat (retraksi
dinding dada, merintih, sianosis)?
c. Circulation. Tanda syok (akral dingin, capillary refill > 3 detik, nadi cepat
dan lemah).
d. Consciousness. Apakah klien dalam keadaan tidak sadar (Coma)?
Apakah kejang (Convulsion) atau gelisah (Confusion)?
e. Dehydration. Tanda dehidrasi berat dengan diare (lemah, mata cekung,
turgor menurun).
4. Penanganan Kegawatan
a. Tujuan
Tujuan dari tindakan prehospital care yaitu :
1) Mencegah bertambahnya tingkat cidera pada korban.
2) Mencarikan bantuan yang lebih ahli.
3) Mempertahankan jalan napas dan denyut jantung korban.
4) Menyelamatkan nyawa korban (Jakarta Medikal Senter, 2018).
b. Prinsip
Prinsip dasar pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K);
1) Pastikan kondisi tempat kejadian aman sebelum memberikan
pertolongan.
2) Gunakan cara pertolongan yang cepat, mudah dan efisien.
Pergunakan sumberdaya yang ada baik alat, manusia maupun
sarana pendukung lainnya.
3) Buat catatan tentang pertolongan yang telah dilakukan, identitas
korban dan tempat serta waktu kejadian (Susilowati. 2015).
c. Teknik
P3K adalah hal-hal yang diprioritaskan dalam memberikan pertolongan
pertama pada kecelakaan adalah :
16

1) Cari keterangan penyebab terjadinya kecelakaan.


2) Amankan korban dari tempat berbahaya.
3) Perhatikan keadaan umum korban
4) Segera lakukan pertolongan yang lebih lanjut dengan sarana yang
tersedia (Susilowati. 2015)
Menurut JMS 119 (2018) cara yang dilakukan untuk
mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadaan
yang mengancam nyawa dikenal sebagai “Bantuan Hidup” (Life Support).
Bantuan hidup yang dilakukan tanpa memakai cairan intra-vena, obat-
obatan ataupun kejutan listrik maka dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar
(Basic Life Support). Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah serangkaian
tindakan yang untuk memudahkan disingkat sebagai DR. ABC (Danger,
Response, Airway, Breathing, Cirrculation). Menurut penelitian yang
dilakukan AHA (American Heart Association, 2015) urutan yang dianjurkan
untuk penolong pada pasien kegawat daruratan jantungadalah
meggunakan CAB (Circulation-Airway-Breathing) sedangkan pada pasien
dengan kegawat daruratan trauma menggunakan ABC (Airway, Breathing
dan Circulation).
a. D untuk Danger
Saat seorang penolong tiba di tempat kejadian maka penilaian
pertama yang harus dilakukan adalah menilai potensi bahaya pada
lokasi yang mungkin mengancam pasien, penolong ataupun orang lain
di sekitar tempat kejadian.
b. R untuk Response
Periksa kesadaran pasien. Respon pasien dinyatakan dengan
derajat AVPU (Alert, Verbal/Voice, Pain dan Unresponsif). Alert untuk
sadar penuh tanpa rangsangan dari luar, Verbal/Voice untuk merespon
rangsangan suara dengan benar, Pain apabila ada respon terhadap
rangsangan nyeri berupa penekanan sternum dengan buku-buku jari
tangan dan Unresponsive apabila sama sekali tidak ada respon.
c. Bila ada respon, maka:
1) Tinggalkan pada posisi yang diperkirakan aman, atau amankan lokasi
penderita dari ancaman bahaya lain. Minimalkan untuk mengubah
posisi pasien bila diperkirakan ada cedera leher dan tulang belakang.
2) Aktifkan EMS dan berilah informasi penting yang dipelukan meliputi;
17

a) Tempat: lokasi, potensi bahaya pada lokasi, cuaca, kondisi


kerumunan orang dan potensi adanya bahan beracun berbahaya.
b) Pasien: umur, jenis kelamin, derajat respon, kemungkinan
penyebab kegawatdaruratan.
c) Pendamping atau kerumunan: urutan kejadian, alergi, riwayat
penyakit dan pengobatan, makanan/minuman yang di konsumsi
dan gerakan ataupun petunjuk dari bahasa tubuh tentang lokasi
sakit.
d) Mekanisme cedera: trauma tajam, tumpul, panas, api, ataupun
bahan kimia.
e) Deformitas atau cedera tampak: posisi yang tidak wajar, lebam,
lepuh.
f) Tanda: sesuatu yang mudah dilihat, dicium dan didengar, seperti
darah, muntah dan hangus serta ledakan.
3) Mencoba memberikan bantuan yang diperlukan seperti
memindahkan ke tempat yang lebih aman dan teduh.
4) Nilai ulang secara teratur. Bila tidak ada repon, maka:
a) Periksa nadi (karotis untuk dewasa dan brakhialis untuk bayi).
b) Bila ada denyut nadi, namun tidak ada nafas spontan berikan
bantuan nafas 10 kali/menit.
c) Bila tidak ada denyut nadi atau ada keraguan maka mulailah
kompresi dada.
5. Pengkajian Gawat Darurat
a. Airway (Jalan Napas)
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
atau mengalami obstruksi total atau partial sambil mempertahankan
tulang servikal. Sebaiknya perawat membantu untuk mempertahankan
tulang servikal. Pada kasus non trauma dan korban tidak sadar, buatlah
posisi kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi) sedangkan pada kasus
trauma kepala sampai dada harus terkontrol atau mempertahankan
tulang servikal posisi kepala. Pengkajian pada jalan nafas dengan cara
membuka mulut korban dan lihat: Apakah ada vokalisasi, muncul suara
ngorok; Apakah ada secret, darah, muntahan; Apakah ada benda asing
seperti gigi yang patah; Apakah ada bunyi stridor (obstruksi dari lidah).
18

Apabila ditemukan jalan nafas tidak efektif maka lakukan tindakan untuk
membebaskan jalan nafas (Yayasan Ambulans Gawat Darurat, 2014).

b. Breathing (Pernapasan)
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian
jalan nafas. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Pengkajian dilakukan
dengan sistem look, listen dan feel, yaitu melakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien Inspeksi dada korban: Jumlah, ritme dan
tipe pernafasan; Kesimetrisan pengembangan dada; Jejas/ kerusakan
kulit; Retraksi intercostalis. Palpasi dada korban: Adakah nyeri tekan;
Adakah penurunan ekspansi paru. Auskultasi: Bagaimanakah bunyi
nafas (normal atau vesikuler menurun); Adakah suara nafas tambahan
seperti ronchi, wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan di
daerah thorak dengan hati hati, beberapa hasil yang akan diperoleh
adalah sebagai berikut: Sonor (normal); Hipersonor atau timpani bila
ada udara di thorak; Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau cairan
(Yayasan Ambulans Gawat Darurat, 2014).
c. Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai
kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam memompa darah
keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: Tekanan darah; Jumlah
nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat; Sianosis; Bendungan vena
jugularis (Hamarno, 2016).
d. Diasbility
Pengkajian ini dilakukan dengan sistem AVPU, yaitu;
Alert (merespon secara tepat dan cepat).
Vocalises (respon suara).
Pain (merespon dengan nyeri).
Unresponsive (tidak merespon terhadap stimulus).
6. Faktor Tindakan
Menurut Nursalam (2016) tindakan ditentukan 3 kelompok variabel
berikut;
a. Variabel Individu
19

Variabel individu dikelompokan pada sub variabel kemampuan


dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel
kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku individu. Variabel demografis, mempunyai efek
tidak langsung pada perilaku individu seperti pengalaman dan pelatihan.
b. Variabel Organisasi
Variabel psikologis terdiri dari sub variabel persepsi, sikap,
kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh
keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel
demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan
belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur. Selain itu individu
masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar
belakang, budaya dan ketrampilan yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya.
c. Variabel Psikologis
Varibel organisasi mempunyai efek tidak langsung terhadap
kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub-variabel
sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan disain pekerjaan.
20

D. Kerangka Teori

Tindakan Gawat
Darurat Awam
1. Danger
Kecelakaan Lalu 2. Respon
Lintas 3. Airway
4. Breathing
5. Circulation
Faktor Tindakan
1. Individu
a. Tipe Demografi
b. Pengalaman Pengetahuan Tentang
c. Pelatihan Penanganan Awal
2. Psikologis Masyarakat
a. Pengetahuan 1. Baik
b. Motivasi 2. Sedang
c. Sikap 3. Kurang
d. Kepribadian
3. Organisasi
a. Lingkungan
b. Budaya
c. Sistem Bantuan

Keterangan :

------------------ : Yang Diteliti

___________ : Tidak Diteliti

Gambar 2.1
Kerangka Teori

Sumber : Notoatmodjo, 2017; Budiman & Riyanto, 2018; Hamarno, 2016;


AHA, 2015; JMC, 2018; Nursalam, 2016.
21

Anda mungkin juga menyukai