TINJAUAN PUSTAKA
A. Tingkat Pengetahuan
1. Definisi
Menurut Notoatmodjo (2017) pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia dalam Budiman & Riyanto (2018) pengetahuan
adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.
Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam, seperti motivasi
dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia, serta keadaan sosial
budaya. Menurut Notoatmodjo (2017) pengetahuan manusia tidak saja
diperoleh melalui pengalaman dalam lingkungan hidupnya, tetapi dapat
juga melalui catatan (buku, kepustakaan dan lainnya). Pengetahuan ini
harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru dalam lingkungan.
Pengetahuan merupakan domain penting untuk terbentuknya tindakan.
Berdasarkan beberapa penelitian menyimpulkan bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
merupakan hasil tahu yang didapatkan individu setelah melakukan
penginderaan.
2. Proses Pengetahuan
Hasil penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2017) menyatakan
bahwa terbentuknya perilaku akan melalui proses berurutan (akronim
AIETA), yaitu awareness (kesadaran); keadaan menyadari untuk
mengetahui dan memahami terlebih dahulu tentang stimulus (objek),
interest (merasa tertarik); keadaan untuk tertarik terhadap stimulus (objek)
yang ada. Pada tahap ini sikap subjek sudah mulai terbentuk, evaluation
(menimbang-nimbang); keadaan menimbang tentang baik dan buruknya
stimulus bagi individu. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,
trial; tahap mencoba oleh subjek untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
7
8
apa yang dikehendaki stimulus dan adoption; tahap dimana subjek telah
berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus. Rogers dalam Notoatmodjo (2015) menjelaskan bahwa
pada penelitian selanjutnya perubahan perilaku tidak selalu melewati
tahapan tersebut.
3. Sumber Pengetahuan
Mehra dan Burhan (1964, dalam Notoatmodjo, 2015) menerangkan
bahwa ada tiga sumber pengetahuan meliputi; pengetahuan yang diperoleh
dari pengalaman langsung, pengetahuan yang diperoleh dari suatu
konklusi dan pengetahuan yang diperoleh dari kesaksian dan authority.
Berdasarkan bentuknya, sumber pengetahuan dibagi dalam dua bentuk,
yaitu;
a. Pengetahuan langsung dan tidak langsung. Pengetahuan langsung,
yaitu pengetahuan yang didapat dari persepsi extern dan persepsi
intern.
Pengetahuan langsung didapatkan melalui pemberian informasi
langsung seperti proses sosialisasi, edukasi, komunikasi langsung.
b. Pengetahuan tidak langsung, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan
cara menarik konklusi, kesaksian dan authority.
4. Faktor Pengetahuan
Menurut Budiman & Riyanto (2018) pengetahuan ditentukan oleh;
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun
nonformal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan
juga usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.
b. Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate
impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan. Berkembangnya teknologi akan menyediakan
bermacam-macam media massa yang dapat memengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.
9
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi disini
diartikan sebagai penggunaan hukum, rumus, metode dan sebagainya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan menjalankan materi ke dalam
komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih
ada kaitan. Kemampuan ini dapat dilihat dengan kata kerja seperti
dapat menggambarkan, memisahkan, mengelompokan, dan
sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kemampuan menghubungkan bagian ke
dalam bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya menyusun,
merencanakan atau meringkas teori.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
6. Penilaian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2015) penilaian pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi
yang ingin diukur dari responden ke dalam pengetahuan yang ingin
diukur.
Menurut Skinner (dalam Budiman & Riyanto, 2018) bila seseorang
mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun
tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut.
Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal
sebagai berikut;
a. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman.
b. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis.
c. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi.
Arikunto dalam Budiman & Riyanto (2018) membuat kategori tingkat
pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada
nilai persentase yaitu sebagai berikut;
a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%.
11
C. Gawat Darurat
1. Definisi
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. Sedangkan Penanganan Gawat Darurat adalah tindakan medis
yang dibutuhkan oleh Korban/Pasien Gawat Darurat dalam waktu segera
untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan (Kemenkes,
2018). Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118 (2014) menjelaskan bahwa
pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan
13
tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar
dapat meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya kecacatan
yang tidak perlu. Hamarno (2016) menyatakan bahwa pelayanan di unit
gawat darurat merupakan pelayanan yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya kematian dan kecacatan korban. Untuk dapat mencegah
kematian dan kecacatan korban dibutuhkan kemampuan kognitif, afektif
maupun psikomotor untuk dapat menolong dengan cepat dan tepat.
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan lebih lanjut (Kemenkes, 2018). Pelayanan pasien gawat darurat
adalah pelayanan yang memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat
dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan, time saving is live
saving (waktu adalah nyawa). Waktu menjadi faktor yang penting dalam
penatalaksaan keadaan gawat darurat. Penting agar terapi mengikuti
urutan yang sesuai dengan urutan mendesaknya keadaan. Pengertian
kegawatan adalah keadaan yang menimpa seseorang yang dapat
menyebabkan jiwanya terancam sehingga memerlukan pertolongan secara
cepat, tepat dan cermat. Sedangkan kedaruratan adalah keadaan yang
memerlukan tindakan mendesak dan tepat untuk menyelamatkan nyawa,
menjamin perlindungan dan memulihkan kesehatan individu (Sudoyo,
2014).
Kemenkes (2018) menjelaskan bahwa pasien gawat darurat adalah
pasien yang memerlukan pertolongan segera (cepat, cermat, tepat) untuk
mencegah kematian atau kecacatan. Upaya peningkatan gawat darurat
ditujukan untuk menunjang pelayanan dasar, sehingga dapat
menanggulangi pasien gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari
maupun dalam keadaaan bencana. Dengan semakin meningkatnya jumlah
penderita gawat darurat, maka diperlukan peningkatan pelayanan gawat
darurat baik yang diselenggarakan ditempat kejadian, selama perjalanan
ke rumah sakit, maupaun di rumah sakit.
Kemenkes (2016) menjelaskan bahwa sistem penanganan
korban/pasien gawat darurat secara umum terdiri dari:
a. Penanganan prafasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebelum ke fasilitas
kesehatan.
14
Apabila ditemukan jalan nafas tidak efektif maka lakukan tindakan untuk
membebaskan jalan nafas (Yayasan Ambulans Gawat Darurat, 2014).
b. Breathing (Pernapasan)
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian
jalan nafas. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Pengkajian dilakukan
dengan sistem look, listen dan feel, yaitu melakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien Inspeksi dada korban: Jumlah, ritme dan
tipe pernafasan; Kesimetrisan pengembangan dada; Jejas/ kerusakan
kulit; Retraksi intercostalis. Palpasi dada korban: Adakah nyeri tekan;
Adakah penurunan ekspansi paru. Auskultasi: Bagaimanakah bunyi
nafas (normal atau vesikuler menurun); Adakah suara nafas tambahan
seperti ronchi, wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan di
daerah thorak dengan hati hati, beberapa hasil yang akan diperoleh
adalah sebagai berikut: Sonor (normal); Hipersonor atau timpani bila
ada udara di thorak; Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau cairan
(Yayasan Ambulans Gawat Darurat, 2014).
c. Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai
kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam memompa darah
keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: Tekanan darah; Jumlah
nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat; Sianosis; Bendungan vena
jugularis (Hamarno, 2016).
d. Diasbility
Pengkajian ini dilakukan dengan sistem AVPU, yaitu;
Alert (merespon secara tepat dan cepat).
Vocalises (respon suara).
Pain (merespon dengan nyeri).
Unresponsive (tidak merespon terhadap stimulus).
6. Faktor Tindakan
Menurut Nursalam (2016) tindakan ditentukan 3 kelompok variabel
berikut;
a. Variabel Individu
19
D. Kerangka Teori
Tindakan Gawat
Darurat Awam
1. Danger
Kecelakaan Lalu 2. Respon
Lintas 3. Airway
4. Breathing
5. Circulation
Faktor Tindakan
1. Individu
a. Tipe Demografi
b. Pengalaman Pengetahuan Tentang
c. Pelatihan Penanganan Awal
2. Psikologis Masyarakat
a. Pengetahuan 1. Baik
b. Motivasi 2. Sedang
c. Sikap 3. Kurang
d. Kepribadian
3. Organisasi
a. Lingkungan
b. Budaya
c. Sistem Bantuan
Keterangan :
Gambar 2.1
Kerangka Teori