Anda di halaman 1dari 9

BAB IV AKHLAQ SOSIAL

a. Masyarakat Dambaan Islam

Selain sebagai makluk yang secara fitrah baik, manusia juga secara fitrah adalah makhluk
sosial. Artinya manusia tidak dapat dan tidak mungkin hidup seorang diri di dunia. Pertalian
hidup antar manusia ditunjukkan Qur’an dengan cerita awal penciptaan Adam dan Hawa yang
berlanjut hingga terbentuknya masyarakat besar yang sering disebut bangsa. Kemudian dari
setiap bangsa yang pernah ada sudah diutus seorang pembawa risalah Allah, nabi dan rasul.
Sebagaimana diungkapkan dalam dua ayat berikut :

109. Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang
Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri. Maka tidakkah
mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-
orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan Sesungguhnya
kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memikirkannya? (Q.S. Yusuf (12); 109)

58. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, Yaitu
Para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat
bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang
yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-
ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan bersujud dan menangis. (Q.S. Maryam (19); 58)

b. toleransi inter dan antarumat beragama dalam islam

Umat muslim mempuyai dasar yang kuat untuk memahami perbedaan yang ada di
masyarakatnya. Dasar itu merupakan pegangan bagi umat muslim saat ini jika harus berada
bersama dengan umat yang lain. Seperti termaktub dalam Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 :

13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat di atas tersirat sunnatullah adanya perbedaan yang terjadi di antara umat
manusia di muka bumi. Tidak mengherankan jika nabi SAW pun menyadari akan hal ini dengan
menerapkan suatu aturan yang terdapat dalam perjanjian piagam Madinah. Sebuah perjanjian
yang juga mengigatkan kita tentang keberagaman yang hidup dalam negara ini.

Dasar mengapa Allah SWT menetapkan perbedaan sebagai sunnah-Nya adalah sangat
beralasan. Pertama ; penghargaan terhadap kehidupan umat manusia. Artinya manusia
dibimbing oleh Allah SWT untuk melihat perbedaan bukan sebagai dalih permusuhan atau
perseteruan namun sebagai tolak ukur manusia untuk menyadari seberapa jauh mereka
menghargai sebuah kehidupan manusia di bumi tanpa adanya saling menekan satu sama lain
tetapi menyelaraskan dengan saling membantu dan tolong menolong. Meskipun mereka berasal
dari latar belakang keyakinan yang berbeda namun demi kelangsungan hidup manusia di bumi
apa pun semestinya diperjuangkan. Seperti diungkap dalam surat al-Baqarah ayat 177.

177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

pertama ; kebutuhan dasar manusia untuk bersaing. Jika dilihat sepintas kebutuhan ini
berkonotasi negatif, namun jika dipahami lebih jauh hal ini wajar karena sifat manusia secara
individual memerlukan pengakuan eksistensi dirinya.

Kedua ; penghitungan (hisab) amalan hidup manusia yang bukan dilakukan di dunia tapi di
akhirat kelak dan hanya Allah yang maha tahu atas segala amal baik atau buruk manusia, jadi
bukan manusia yang memutuskannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 68-69
: 68. Dan jika mereka membantah kamu, Maka Katakanlah: "Allah lebih
mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan". 69. Allah akan mengadili di
antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu
berselisih padanya.

Ketiga : perintah Allah bagi setiap muslim untuk berlaku adil terhadap siapapun meski
mempunyai keyakinan yang berbeda.

Keempat ; pemuliaan wujud manusia sebagai bani Adam yang semua harus diperlakukan sama.
Sikap rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir, mencontohkan sebuah
penghormatan yang dalam terhadap seorang jenazah Yahudi yang lewat di depan beliau.

Betapa Islam sangat memberi arti pada nilai-nilai toleransi yang dibangun berlandaskan
perintah langsung dari Allah SWT dan dipertegas dengan contoh-contoh perilaku rasulullah.
Sehingga tidak ada alasan sedikit pun untuk tidak melakukan nilai beradab ini. Toleransi lahir
setelah manusia memahami arti perbedaan. Arti toleransi yang berkorelasi dengan kelapangan
dada mempunyai maksud agar manusia dalam memahami perbedaan dilakukan dengan hati yang
menerima tanpa merasa salah satu lebih unggul dari yang lain. Islam menuntun umatnya untuk
bertoleransi tidak saja dengan sesama umatnya namun juga terhadap umat yang lain. M. Quraish
Shihab mengawali kesejahteraan sosial dengan kata “Islam” sebagai bentuk penyerahan diri
manusia kepada Allah SWT demi mewujudkan dan menumbuh suburkan aspek-aspek akidah
dan etika (Shihab ;1998 ; 129). Sesuai dengan namanya Islam mengandung beberapa pengertian
di antaranya keselamatan, kedamaian, kasih sayang, dan kepatuhan. Bukan hal yang kebetulan
jika Allah SWT memberi nama Islam sesuai dengan maksud dan tujuan kebenaran di masa
depan. Dari beberapa pengertian tersebut dapat digali makna-maknanya antara lain ;

Makna keselamatan adalah terma pertama yang menjadi rujukan manusia dalam
memandang dirinya sendiri. Sifat selamat akan membawa diri pada kemampuan manusia untuk
melanjutkan kehidupan selanjutnya, baik itu kehidupan dunia maupun akhirat. Pencarian
keselamatan hampir dianut oleh semua agama dan non-agama. Pencarian ini sangat mendasar
sebab menyangkut kelangsungan hidup pribadi. Makna kedamaian merupakan kelanjutan dari
terma keselamatan yang menjadi rujukan manusia dalam melihat dirinya berlawanan dengan
manusia lain. Setelah selamat manusia akan berhadapan dengan manusia yang lain dalam sebuah
proses komunikasi dan interaksi. Saling keterhubungan ini menyebabkan manusia berada dalam
kondisi yang selalu berubah mengikuti alur kehidupan yang menyertainya. Dalam keadaan ini
manusia diharapkan selalu berdamai dengan manusia lain agar tidak terjadi tindakan saling
memusnahkan.

c. pandangan islam terhadap beberapa persoalan social : kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran

Kemiskinan berkenaan dengan masalah ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi


kebutuhan dasarnya. Ketidakmampuan ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain
tidak tersedianya sumber daya ; baik manusia maupun alam, kurang meratanya persediaan
kebutuhan, struktur sosial yang memiskinkan masyarakat, dan keadaan kultural masyarakat yang
miskin. Secara singkat faktor-faktor itu dapat dibagi menjadi dua yaitu kemiskinan struktural dan
kultural.

Kemiskinan struktural merupakan bentuk kemiskinan yang seringkali terjadi pada negara
yang sebenarnya memiliki sumber daya alam melimpah. Solusi Islam jelas bahwa sistem
kapitalis bukan jawaban mengatasi persoalan kemiskinan. Karena sistem itu adalah bagian yang
menyebabkan kemiskinan. Pesan awal Qur’an cukup sederhana yaitu tidak dibenarkan
menumpuk kekayaan untuk kesenangan pribadi, tetapi dianggap kebaikan jika memberikan
derma dan membagi kekayaan secara merata (Amstrong; 2000; 113). Perubahan sistem ini
mutlak dilakukan karena tanpa merubah sistem pesan Qur’an tidak mungkin tersampaikan.
Kemiskinan struktural terpelihara oleh sistem yang keliru dan menjerat. Jalan satu-satunya untuk
melepas jeratan hanyalah perubahan sistem.

Sedangkan kemiskinan kultural tidak terkait dengan sistem yang dianut


oleh suatu negara. Kemiskinan ini terpelihara oleh budaya yang dianut oleh
sekelompok masyarakat. Mereka menganggap kemiskinan yang sudah
terjadi pada diri mereka memang sudah takdir Allah yang Maha kuasa. Sikap
pasrah ini menyebabkan mereka tidak perlu berikhtiar apa pun. Sebuah
sikap yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam ini terpelihara oleh budaya
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga bisa ditebak bahwa
dalam masyarakat seperti ini tidak akan terjadi perubahan nasib mereka
menjadi lebih baik. Bahkan kini ada pula budaya mengemis di suatu daerah
yang sudah secara temurun dilakukan.
Islam memandang kemiskinan kultural tidak sesuai dengan tujuan
kemanusiaan universal. Kemiskinan kultural sama artinya dengan bentuk
pembudayaan miskin. Bahkan pada tingkat akut mereka merasa mengemis
atau meminta-minta adalah hal yang wajar dan bagian dari mata
pencaharian. Padahal jelas Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah, tangan yang di atas adalah menafkahkan
dan tangan di bawah adalah yang meminta (HR. Bukhari dan Muslim).

Dua bentuk kemiskinan di atas membawa akibat turunan seperti


kebodohan. Maksudnya jika keadaan miskin akan menyebabkan seseorang
tidak dapat mengenyam pendidikan secara baik. Hal yang tidak dapat
dipungkiri saat ini bahwa orang miskin sulit memiliki akses ke bidang
pendidikan. Sebab pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit
sedangkan bagi mereka yang miskin dipastikan tidak mampu
menggapainya. Seharusnya masalah pendidikan tidak terkait langsung
dengan masalah kemiskinan kalau mereka diberikan jalan keluar atas kondisi
kemiskinannya. Sebaliknya jika tidak ada jalan keluar maka kemiskinan bisa
menjadi pangkal kebodohan. Islam memberi jalan keluar pada setiap muslim
untuk menuntut ilmu dimana pun, kapan pun dan pada siapa pun.
Ketidakterbatasan ilmu dalam Islam banyak dituangkan dalam Qur’an
maupun Hadist Nabi saw ;

2. ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

BAB VI ISLAM DAN PERSOALAN EKONOMI

Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau


ajaran Islam. Sedangkan Menurut Umar Chapra, Ilmu ekonomi Islam adalah
suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan
manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang langka
yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk
menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan
moral masyarakat

a. Prinsip-prinsip dalam ekonomi islam

 Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia,


sehingga pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan di
akherat kelak.

 Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang


berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui
pendapatan yang diperoleh secara tidak sah.

 Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam.

 Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-


orang kaya

 Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya


dialokasikan untuk kepentingan orang banyak

 Seorang muslim harus tunduk pada Allah dan hari


pertanggungjawaban di akherat (QS. 2:281).

 Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas


(nisab).

 Islam melarang riba dalam segala bentuknya. Secara tegas dan jelas
hal ini tercantum dalam QS 30:39, 4:160-161, 3:130, dan 2:278-279.

b. Beberapa persoalan ekonomi dalam pandangan islam: bank, asuransi,


valas, bursa efek dan lain-lain

1. Perbankan Syari’ah

Produk yang disediakan berupa:


a. Al-Wadi’ah/jasa penitipan

b. Deposito Mudhorobah

c. Al-Musyarakah

d. Al-Mudharabah

e. Al-Muzara'ah

f. Al-Musaqah

g. Ba’i Murabahah

h. Bai' As-Salam

i. Bai' Al-Istishna'

2. Asuransi (Takâful)

3. Penggadaian /Rahn

produk jasa yang disediakan berupa :

a. Gadai

b. Jasa taksir

c. Jasa titipan

4. Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)

5. Pasar Modal Syariah

Penjelasan :

c. Bekerja sebaagai kewajiban dan ibadah


Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka
kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia
tidak bisa dilepaskan dari kerja. Islam menempatkan kerja atau amal sebagai
kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki
yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna
ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh
sebab itu, muslim harus menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam
melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap
hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan.

d. Akhlak (Etos) bekerja dalam islam

Etos kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman


dan pengamalan atas doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang
dianut. Agama atau ideologi merupakan pembentuk etika yang paling
dasar yang dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan
aktual masyarakat. Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya
Islam Dogma dan Peradaban mencatat beberapa konsep ajaran Islam
yang terkait erat dengan peningkatan kualitas etos kerja umat, antara
lain : 1) Niat dan Tauhidullah, 2) Ihsan dan Itqan, 3) Pentingya bekerja
dalam Islam, 4) Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah.

Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam


Dogma dan Peradaban mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang
terkait erat dengan peningkatan kualitas etos kerja umat, antara lain :

1) Niat dan Tauhidullah

2) Ihsan dan Itqan

3) Pentingya bekerja dalam Islam


4) Mukmin yang Kuat lebih dicintai Allah.

Anda mungkin juga menyukai