Theme :
Increasing Pulmonology Competence to Strengthening
Competitiveness In SDGs Era
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
ii
KUMPULAN MAKALAH
Theme :
Increasing Pulmonology Competence to Strengthening
Competitiveness In SDGs Era
UNS PRESS
iii
KUMPULAN MAKALAH
Editor
Prof. Dr. dr. Suradi, SpP(K), MARS, FISR (UNS)
Dr. dr. Reviono, SpP(K), FISR (UNS)
Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, SpP(K), FISR (UNS)
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FAPSR, FISR (UI)
Dr. dr. Susanthy Djajalaksana, Sp.P(K), FISR, FAPSR (UB)
dr. Isnin Anang Marhana, Sp.P (K), FISR, FAPSR (UNAIR)
Penyunting
Dr. dr. Harsini, Sp.P(K), FISR
Reviewer
dr. Jatu Aphridasari, Sp.P(K), FISR
Ilustrasi Sampul
Arif Hasanudin
UNS Press
ISBN 978-602-397-294-4
iv
PREFACE
Dear Colleagues,
In order to increase the knowledge in Pulmonology and
Respiratory Medicine, Indonesian Society of Respirology (ISR)
carries out several scientific programmes, such as Work
Conference XVI 2019 that is executed every three years.
The Work Conference XVI of 2019 will be held on 11th – 16th
September 2019 at Alila Hotel Solo, and this year theme is
“Increasing Pulmonology Competence to Strenghtening
Competitiveness in SDG’s Era”.
This scientific Conference includes symposiums and seven
(7) workshops which bring out Pulmonary Emergency and
Respiratory Life Support (PEARLS), Thoracic USG (basic
level), Tuberculosis and Other Lung Infections,
Bronchoscopy and Interventional Pulmonology, Respiratory
Critical Care and Thoracic Oncology.
The scientific materials in this programmes have been organized
into a proceeding book. We wish this book can be rewarding to
colleagues.
We are very grateful to all writers, editors, and participants who
have contributed in compiling this proceeding book.
Sincerely,
v
ORGANIZING COMMITTEE
WORK CONFERENCE XVI INDONESIAN SOCIETY OF RESPIROLOGY
SOLO, SEPTEMBER 11th – 16th 2019
Patron
Chief of Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Advisory Board
Prof. dr. Anwar Jusuf, Sp.P(K), FISR
Prof. dr. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FISR
Prof. dr. Faisal Yunus, PhD., Sp.P(K), FISR
Prof. Dr. dr. Suradi, Sp.P(K), MARS, FISR
Prof. Dr. dr. Muhammad Amin, Sp.P(K), FISR
Dr. dr. Eddy Surjanto, Sp.P(K)
Dr. Hadi Subroto, Sp.P(K), MARS
Committee
Chairman : Dr. dr. Harsini, Sp.P(K), FISR
Secretary : dr. A. Farih Raharjo, Sp.P(K), M.Kes, FISR
Treasurer : Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P(K), FISR
Vice Treasurer : dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), FISR
Funding
Dr. dr. Reviono, Sp.P(K), FISR
dr. Windhu Prasetyo, Sp.P(K), FISR
dr. Chrisrianto Edy Nugroho, Sp.P, FISR
vi
FB and Souvenir
dr. Anita Muntafi’ah, Sp.P, M.Kes, FISR
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes
dr. Indrawati Sri Wulan
dr. Azizah Suprihatin
Organisatory Meeting
dr. Novita Tjahyaningsih, Sp.P, FISR
dr. Riana Sari, Sp.P
dr. Zakiah Novianti, Sp.P, M.Kes
vii
viii
DAFTAR ISI
Preface ................................................................................. v
Organizing Committee .......................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................... ix
Jadwal Acara ........................................................................ xv
ix
Pemetrexed as 1st line treatment for Malignant Pleural
mesothelioma ....................................................................... 92
Elisna Syahruddin
The role of Stem Cells in Lung Maintenance and Repair ....... 131
Fariz Nurwidya
x
Comparison of Adverse Effects and Treatment Outcome of
Drugs Resistant Tuberculosis Patients using Shorter
Treatment Regimen and Conventional Regimen In H Adam
Malik Hospital Medan ............................................................ 184
Bintang Y.M. Sinaga
xi
Bacterial Lysate : An Excacerbation prevention strategy on
chronic asthma and COPD .................................................... 264
Ratnawati
xii
Pengetahuan Kode Etik Kedokteran Sebagai Upaya
Peningkatan Pelayanan Kesehatan ....................................... 359
Adji Suwandono
xiii
xiv
xv
xvi
xvii
xviii
xix
xx
HIGHLIGHT IN ACUTE RESPIRATORY FAILURE
ABSTRACT
Pendahuluan
Gagal nafas akut merupakan kondisi yang sangat buruk bagi
pasien akibat dari kegagalan fungsi paru atau kelemahan fungsi
otot pernafasan. Gagal nafas akut merupakan kejadian yang
sangat menantang bagi klinisi yang bertugas di dalam maupun di
Definisi
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk
sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral
difus pada foto toraks, penurunan daya regang paru dan tidak
terdapat bukti adanya gagal jantung kongestif.3 Beberapa definisi
ARDS telah beberapa kali diperbarui. Salah satu yang terbaru
adalah Kriteria Berlin yang dipublikasikan pada tahun 2012.4
Pada tahun 1994, definisi ARDS yang baru dideklarasikan
oleh American-European Consensus Conference (AECC), dengan
kriteria hipoksemia berat termasuk rasio PaO2/FiO2 < 200 mmHg,
infiltrat bilateral pada foto toraks dan tidak terdapat bukti edema
paru kardiogenik. Setelah aplikasi kriteria AECC selama 18 tahun,
terdapat banyak pertanyaan dari keterbatasan kriteria seperti
istilah akut yang tidak dijelaskan definisinya, inkonsistensi dari
sensitivitas rasio PaO2/FiO2 karena tergantung dari setting
ventilator pasien, foto toraks yang sering tidak sesuai kriteria dan
kesulitan untuk menentukan penyebab edema paru.5
Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami
kerusakan pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas barrier alveolar dan kapiler sehingga cairan masuk
ke dalam ruang alveolar (gambar 1)8
Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor
penyebab yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan
ARDS disebut sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko
tertinggi. Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua
Diagnosis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak diagnosis
kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS. Tandanya adalah
takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi kasar yang jelas dan
gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respon dengan
pemberian oksigen. Dapat dijumpai hipotensi dan febris. Sebagian
besar kasus disertai dengan multiple organ dysfunction syndrome
(MODS) yang umumnya melibatkan ginjal, hati, otak, system
kardiovaskuler dan saluran cerna seperti perdarahan saluran
cerna.11
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:9
- Analisa gas darah arteri: hipoksemia, hiperkapnia, bisa terjadi
alkalosis respiratorik pada proses awal dan kemudian
berkembang menjadi asidosis respiratorik
- Pada darah perifer dapat dijumpai gambaran leukositosis,
anemis, trombositopenia.
Radiologi:9
Pada awal proses, dari foto thoraks dapat ditemukan
lapangan paru yang relatif jernih, namun pada foto serial
berikutnya tampak bayangan radio-opak difus atau patchy bilateral
dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran confluent
tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.
Daftar Pustaka
1. Pisani L, Corcione N, Nava S. Management of acute
hypercapnic respiratory failure. Curr Opin Crit Care 2016; 22:
45–52
2. Matkovic Z, Huerta A, Soler N, et al. Predictors of adverse
outcome in patients hospitalised for exacerbation of chronic
obstructive pulmonary disease. Respiration 2012; 84: 17–26.
dari highlight of ARF
Teuku Zulfikar
ABSTRACT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Venturi Mask
Venturi mask akan memberikan konsentrasi yang akurat dari
oksigen ke pasien terlepas dari laju aliran oksigen (laju aliran yang
disarankan minimum ditulis pada masing-masing perangkat
Venturi dan pilihan yang tersedia ditunjukkan pada Gambar 3).
Konsentrasi oksigen tetap konstan karena prinsip Venturi. Aliran
gas ke dalam topeng diencerkan dengan udara yang dimasukkan
melalui sangkar pada adaptor Venturi. Jumlah udara yang dihisap
ke dalam kandang terkait dengan aliran oksigen ke sistem Venturi.
Semakin tinggi aliran, semakin banyak udara yang dihisap.
Proporsi tetap sama dan oleh karena itu Venturi mask memberikan
konsentrasi oksigen yang sama dengan laju aliran ditingkatkan. 3
Masker Venturi tersedia dalam konsentrasi berikut: 24%, 28%,
31%, 35%, 40% dan 60%. Mereka cocok untuk semua pasien
yang membutuhkan konsentrasi oksigen yang diketahui, tetapi
masker Venturi 24% dan 28% sangat cocok untuk mereka yang
berisiko retensi karbon dioksida. Manfaat lebih lanjut dari masker
Venturi adalah bahwa laju aliran gas dari masker biasanya akan
melebihi laju aliran inspirasi pasien. Satu studi telah menunjukkan
bahwa pasien dengan laju pernapasan> 30 napas/menit sering
memiliki laju aliran inspirasi di atas laju aliran minimum yang
ditentukan pada kemasan masker. Oleh karena itu, untuk pasien
dengan laju pernapasan tinggi, disarankan agar laju aliran untuk
masker Venturi harus ditetapkan di atas laju aliran minimum yang
tercantum pada kemasan (meningkatkan laju aliran oksigen ke
masker Venturi tidak meningkatkan konsentrasi oksigen yang
dikirim). Keakuratan pengiriman oksigen dari masker Venturi
sangat berkurang jika masker tidak secara akurat diletakkan pada
wajah pasien. Pasien dengan laju pernapasan> 30 napas/menit
sering memiliki laju aliran yang di atas minimum yang diberikan
oleh sistem Venturi. seperti yang ditentukan oleh laju aliran yang
Nasal canule
Nasal canule dapat digunakan untuk menghasilkan konsentrasi
oksigen konsentrasi rendah dan konsentrasi sedang (Gambar 4).
Namun, ada variasi luas dalam pola pernapasan pasien sehingga
laju aliran yang sama dari oksigen hidung mungkin memiliki efek
yang sangat berbeda pada tingkat oksigen darah dan karbon
dioksida pasien yang berbeda. Nasal canule pada 1-4 L/mnt dapat
memiliki efek pada saturasi oksigen kira-kira setara dengan yang
terlihat dengan 24-40% oksigen dari masker Venturi. Konsentrasi
aktual oksigen yang dikirim (FiO2) tidak dapat diprediksi sehingga
tidak dapat digunakan jika diperlukan perhitungan gradien A – a.
Konsentrasi oksigen terus naik hingga mengalir di atas 6 L/mnt.
Beberapa pasien mungkin mengalami ketidaknyamanan dan
kekeringan pada aliran hidung di atas 4 L/menit. Meskipun
seseorang mungkin mengharapkan pernapasan mulut untuk
mengurangi efisiensi nasal canule, sebagian besar studi telah
menunjukkan bahwa pernapasan mulut menghasilkan konsentrasi
oksigen yang diilhami yang sama atau konsentrasi yang lebih
tinggi, terutama ketika laju pernapasan meningkat.464 Ini penting
karena pasien dengan sesak napas akut cenderung bernapas
Tracheostomy mask
Perangkat ini dirancang untuk memungkinkan oksigen diberikan
melalui tabung trakeostomi atau untuk pasien dengan
laryngectomy sebelumnya (yaitu pasien pernapasan leher;
Gambar 6). Oksigen yang diberikan dengan cara ini untuk jangka
waktu lama membutuhkan pelembapan yang konstan dan pasien
mungkin perlu hisap untuk mengeluarkan lendir dari jalan napas.3
Ventilasi non-invasif
Opsi perawatan ini berada di luar cakupan pedoman ini. Pembaca
dirujuk ke pedoman BTS mengenai penggunaan NIV pada pasien
dengan eksaserbasi PPOK.3
9. Untuk pasien yang sakit kritis atau mereka yang syok atau
hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg), pengukuran
gas darah awal harus diperoleh dari sampel arteri. Bagi
sebagian besar pasien yang memerlukan pengambilan
sampel gas darah, gas darah arteri (ABG) atau gas darah
daun telinga arterial dapat digunakan untuk mendapatkan
pengukuran pH dan PCO2 yang akurat. Namun, PO2 kurang
akurat dalam sampel gas darah daun telinga (itu meremehkan
PO2 sebesar 0,5-1 kPa) sehingga oksimetri harus dipantau
dengan hati-hati jika spesimen gas darah daun telinga
digunakan dan spesimen arteri berulang harus diambil jika
ada kekhawatiran tentang keakuratan sampel kapiler (kelas
D).
10. Anestesi lokal harus digunakan untuk semua spesimen ABG
kecuali dalam keadaan darurat (grade A).
11. Gas darah harus diperiksa dalam situasi berikut:
a. Semua pasien sakit kritis (derajat D).
b. Penurunan SpO2 yang tidak terduga atau tidak sesuai di
bawah 94% pada pasien yang menghirup udara atau
oksigen atau pasien yang membutuhkan oksigen untuk
mencapai kisaran target di atas. (Kelonggaran sementara
harus dilakukan untuk penurunan sementara hingga 90%
atau kurang pada peserta normal selama tidur) (kelas D).
c. Penurunan saturasi oksigen (turun ≥3%) atau peningkatan
sesak napas pada pasien dengan hipoksemia kronis yang
sebelumnya stabil (misalnya, PPOK parah) (derajat D).
d. Sebagian besar pasien yang sebelumnya stabil yang
memburuk secara klinis dan membutuhkan peningkatan
fraksi oksigen inspirasi (FiO2) untuk mempertahankan
saturasi oksigen yang konstan (tingkat D).
Asma akut
Pedoman BTS/SIGN untuk pengelolaan asma akut
merekomendasikan bahwa saturasi oksigen harus dijaga antara
94% hingga 98%. Meskipun tidak ada bahaya hipoksia jaringan
pada setiap saturasi di atas 90%, setetes saturasi oksigen di
bawah 94% dapat mengindikasikan kerusakan dan harus segera
dilakukan penilaian lebih lanjut. Oksigen tambahan harus mulai
menggunakan nasal canul pada 2-4 L/ mnt atau simple mask pada
5 L/ mnt atau 35-40% Venturi mask dan disesuaikan seperlunya
untuk menjaga saturasi 94-98%.
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2003 menunjukkan
bahwa pemberian oksigen 100% pada pasien dengan asma berat
akut menghasilkan PaCO2 yang meningkat dan aliran puncak
ekspirasi yang menurun dibandingkan dengan pasien yang diobati
dengan oksigen 28% Para penulis studi tersebut
merekomendasikan penggunaan terapi oksigen yang ditargetkan
daripada memberikan oksigen konsentrasi tinggi untuk semua
pasien dengan asma berat akut.
Hiperkapnia pada asma akut menunjukkan serangan yang hampir
fatal dan mengindikasikan perlunya pertimbangan perawatan
intensif dan ventilasi. Percobaan Perrin et al3 menunjukkan bahwa
banyak kasus kegagalan pernapasan hiperkapital pada asma akut
mungkin disebabkan oleh terapi oksigen yang berlebihan. Tetap
tepat untuk memberikan oksigen kepada pasien dengan asma
berat akut dengan tidak adanya hasil oksimetri atau gas darah,
tetapi tidak ada bukti manfaat dari memberikan oksigen kepada
pasien yang tidak hipoksemia dan studi di atas menunjukkan
bahwa pemberian oksigen yang tidak perlu dapat menyebabkan
kerusakan. . Oksigen tidak boleh ditahan dari pasien hipoksemia
Pneumonia
Pedoman BTS untuk pneumonia merekomendasikan membidik
kisaran target saturasi oksigen 94-98% pada pneumonia tanpa
komplikasi dengan penyesuaian yang sesuai untuk pasien dengan
PPOK, dipandu oleh pengukuran gas darah.268 Pedoman ini
mendukung prinsip-prinsip ini. Baru-baru ini telah diperlihatkan
bahwa terapi oksigen konsentrasi tinggi dapat meningkatkan kadar
CO2 transkutan pada pasien dengan dugaan pneumonia yang
didapat komunitas.
Rekomendasi: Dalam kasus pneumonia yang tidak berisiko
mengalami kegagalan pernapasan hiperkapnic, bidik saturasi
oksigen sebesar 94-98% (tingkat D).
KESIMPULAN
Suplementasi oksigen rutin telah terbukti tidak hanya tanpa
manfaat tetapi juga dikaitkan dengan kemungkinan efek
berbahaya. Dengan bukti yang lebih konklusif, meta-analisis ini
mengkonfirmasi studi sebelumnya dan mendukung tren perubahan
dalam rekomendasi untuk menghindari oksigen tambahan pada
pasien dengan saturasi oksigen perifer ≥ 90% Ada bukti yang jelas
bahwa penggunaan terapi oksigen tambahan yang tepat selama
eksaserbasi PPOK merupakan faktor penting yang dapat sangat
memengaruhi hasil, dan kami telah berupaya menguraikan hal ini
di sini. Penelitian di masa depan dapat fokus pada strategi
pengiriman baru untuk meningkatkan titrasi terapi oksigen serta
terapi baru untuk mengobati PPOK yang mendasarinya.
Sementara itu, kita harus memastikan bahwa pengetahuan yang
sudah tersedia diterjemahkan ke dalam praktik klinis dan praktik
terbaik diikuti. Ini pasti akan meningkatkan perawatan yang
diberikan kepada pasien ini.
Daftar Pustaka
1. Siemieniuk RAC, Chu DK, Kim LHY, Güell-Rous MR, et al.
Oxygen therapy for acutely ill medical patients: a clinical
practice guideline. BMJ. 2018.
2. Brill SE, Wedzicha JA. Oxygen therapy in acute exacerbations
of chronic obstructive pulmonary disease. Dovepress. 2014.
3. British Thoracic Society Emergency Oxygen Guideline
Development Group. Bts Guideline For Oxygen Use In Adults
In Healthcare And Emergency Settings. Thorax. 2017.
Feni Fitriani
ABSTRACT
Nuryunita Nainggolan
ABSTRACT
A. Farih Raharjo
ABSTRACT
Muhammad Amin
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Sirkulasi pulmonal bertanggung jawab untuk membawa darah
deoksigenasi dari jantung ke paru dan mengembalikan darah
oksigenasi ke jantung yang selanjutnya diteruskan ke sistemik.
Arteri pulmonal terdiri dari 3 lapisan yaitu: inner intima, lapisan
medial tengah dan lapisan adventisia luar. Apabila sel-sel di atas
DEFINISI
Hipertensi pulmonal adalah tekanan arteri pulmonal (mPAP) > 25
mmHg diukur melalui kateterisasi jantung kanan saat istirahat.
Beda pulmonary arterial hypertension (PAH) dan pulmonary
venous hypertension (PVH) adalah pada PAH pulmonary wedge
pressure (PAWP) < 15 mmHg (Wrobel 2012).
KLASIFIKASI
Hipertensi pulmonal diklasifikasi menjadi 5 kelompok yaitu
(ECS/ERS 2016):
• Pulmonal arterial hypertension (PAH)
• Hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh gagal jantung kiri
• Hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru
dan/atau hipoksia
• Chronic thrombombolism pulmonary hypertension (CTEPH)
• Hipertensi pulmonal dengan mekanisme multifaktorial yang
tak jelas
Remodeling Vaskuler
Genetik
Predisposisi genetik penting untuk perkembangan PPOK tapi
hanya defisiensi alfa-1 antitripsin (AAT) yang sudah terbukti
kausal. Genetik polimorfism endotel NO sintase dan 5 hidroksi
triptopan berdampak pada disfungsi endotel dan remodeling pada
PPOK (Vaillancourt 2015).
RINGKASAN
Etiologi PHT-PPOK kompleks, multifaset dan disebabkan karena
mekanisme pre dan post kapiler. Meskipun bukti kuat mendukung
sejumlah mekanisme patologi tapi masih tetap bervariasi,
penekanan ditujukan pada kesimpulan bahwa tidak ada
mekanisme tunggal yang bertanggung jawab pada PH-PPOK.
Hipoksia jelas pegang peran penting pada perkembangan PH-
PPOK tapi keberadaan dan besar kontribusi mekanisme patologik
yang lain tetap tidak dapat dibuktikan. Tabel di bawah ini
manyajikan kontribusi masing-masing mekanisme patologik
berdasar bukti terkini. Faktor-faktor yang terlibat harus dipastikan
sebagai kausatif, kontributif atau hanya berhubungan saja pada
PH-PPOK.
DAFTAR PUSTAKA
Blanco I, Piccari L, and Barbera JA. 2016. Pulmonary vasculature
in COPD: The silent component. Respirology; 21 : 984–994 doi:
10.1111/resp.12772
ABSTRACT
Keyword
Cigarette abstinence rate; n-acetylcysteine in smoking cessation
PENDAHULUAN
Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Cina dan
India dari 10 negara dengan tingkat perokok tertinggi di
dunia. Data hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan rata-
rata konsumsi rokok sebanyak 12 batang/hari pada
kelompok usia 30-34 tahun (74,5%). Angka perokok baru
dari data WHO pada usia muda (13-15 tahun) laki-laki
sebanyak 41% dan perempuan sebanyak 3,5%. World
Health Organization juga melaporkan bahwa sekitar 6 juta
kematian akibat penggunaan tembakau beserta pajanan
asap rokok terjadi setiap tahun yaitu meliputi 6% penyebab
kematian pada perempuan dan 12% penyebab kematian
pada laki-laki. Pada tahun 2020 kematian akibat penggunaan
tembakau tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 7,5
juta pertahun yaitu mencakup 10% penyebab semua
kematian di dunia. Merokok juga diperkirakan sebagai
penyebab kejadian pada 71% kanker paru, 42% penyakit
pernapasan kronik dan hampir 10% penyakit kardiovaskular.
Data dari Departemen Kesehatan Indonesia menyatakan
sebanyak 10% atau sekitar 200.000 jiwa dari total kematian
di Indonesia disebabkan oleh rokok. Gangguan kesehatan
yang terjadi karena rokok banyak dihubungkan dengan efek
pembakaran tembakau dan senyawa berbahaya lainnya
dalam rokok yang berbahaya bagi perokok dan
lingkungan sekitarnya.
Sekitar 70% perokok mempunyai keinginan untuk
berhenti merokok namun sebagian besar melakukan usaha
berhenti merokok tanpa bantuan pihak lain sehingga hanya
KESIMPULAN
Farmakoterapi dalam program berhenti merokok
membantu untuk mengatasi adiksi dan withdrawal effect.
Mekanisme kerja NAC pada berhenti merokok adalah
sebagai restorasi atau pemulihan cystine-glutamate untuk
mengembalikan fungsi atau aktivasi glutamate 2/3 reseptor
(mGluR2/3). Beberapa uji klinis baik di dalam maupun luar
negeri terlihat NAC cukup efektif dalam membantu
seseorang untuk berhenti merokok jika dibandingkan dengan
plasebo.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Adults Tobacco
Survey Colaborative Group. Global Adults Tobacco
Survey (GATS) : Indonesia Report 2011. 2011:p.1-14.
(indawati)
2. Kementerian Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Bukti Fakta Tembakau. Edisi Pertama. Jakarta.
2012. [cited 18 Maret 2013]. Available from : www.tcsc-
indonesia.org/wp-content/uploads/.../Buku-Fakta-
Tembakau.pdf. (nisa)
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas). Jakarta. 2013. [cited 21 Maret 2015 ].
Available from :
www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/riskesdas. (nisa)
4. World Health Organization. WHO report on the global tobacco
epidemic : The MPOWER package. Geneva:WHO, 2013.
[cited : 17 Maret 2015]. Available from :
http://www.who.int/tobacco/global_report/2013/en/ (nisa)
Susanthy Djajalaksana
Eksaserbasi PPOK
Ada perbedaan numerik dalam eksaserbasi dengan Tio +
Olo 5/5 μg dibandingkan dengan monoterapi Namun, harus
ditekankan bahwa penelitian tidak didukung untuk
mendeteksi signifikansi dalam eksaserbasi antara
kelompok uji coba
Keamanan
Insiden efek samping umumnya seimbang di semua
kelompok perlakuan, dengan mayoritas keparahan ringan
sampai sedang. Tingkat efek samping serius secara umum
serupa di seluruh kelompok pengobatan.
- OTEMTO®9
Penggunaan FDC tiotropium/olodaterol 5/5 mcg via Respimat®
selama 12 minggu memberikan manfaat klinik yang lebih baik
bagi pasien dalam perbaikan kualitas hidup, jika dibandingkan
dengan bronkodilator tunggal.
Skor total SGRQ
Peningkatan skor total SGRQ untuk kumpulan data
gabungan secara signifikan meningkat (lebih rendah vs
baseline) untuk Tio + Olo 5/5 μg (37,6) dibandingkan
dengan Tio 5 μg (39,7) dan plasebo (42,3) (p <0,01 dan
<0,0001 , masing-masing). Perbedaan dari plasebo
bermakna secara klinis (> 4 unit peningkatan)
Referensi:
1. @2019 Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
all rights reserved. Use is by express license from the owner
2. Fletcher C, Peto R. BMJ 1977; 1: 1645–1648
3. Mapel DW, et al. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2011; 6:
573−581
4. Reardon JZ, et al. Am J Med 2006;119 (10 Suppl): S32–S37
5. Tantucci C, Modina D. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2012;
7: 95–99
6. Magnussen H, et al. N Engl J Med. 2014;371(14):1285-1294.
7. Calverley PMA, et al. Am J Respir Crit Care Med. 2017.
doi:10.1164/rccm. 201612-2525LE.
8. Welte T, et al. Int J Clin Pract; 2014; 69:336–349
9. ZuWallack R et al.Int J COPD 2014;91133–1144
10. Buhl RM, et al. Eur Respir J 2015; 45: 969–979
11. Singh D, Respir Med 2015;109(10):1312-1319
12. Beeh KM et al. Int J COPD 2016;11:193-205
ABSTRACT
ABSTRACT
Elisna Syahruddin
ABSTRACT
Laksmi Wulandari
ABSTRACT
INTRODUCTION
Lung cancer is the most common killer cancer worldwide.1
Most of lung cancers (~90%) are NSCLC.It is consisted of three
main subtypes: adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, and
large cell carcinoma. Adenocarcinoma is the most common
subtype of NSCLC, comprising approximately 40% to 50% of all
lung cancer.2Each NSCLC subtypes are driven by various
activated oncogenes. Currently, at least eighteen different driver
mutations have been identified in NSCLC.In 2004, for the first time,
mutations in the epidermal growth factor receptor (EGFR) gene
were described in some advanced cases of NSCLC. This kind of
mutation responds very well to treatment with EGFR tyrosine
kinase inhibitors (TKIs) such as gefitinib and erlotinib.3Several
years later, a small inversion/translocation in chromosome 2p,
resulting in a fusion gene comprising portions of the echinoderm
microtubule-associated protein-like 4 (EML4) gene and the
anaplastic lymphoma kinase (ALK) gene, had been described in a
subset of advanced NSCLC.4
Anaplastic lymphoma kinase (ALK) is a fusion
oncogene.ALK rearrangements occur in 3–7% of patients with
NSCLC and are more common among patients with a never/light
smoking history, adenocarcinoma histology, a younger age, female
gender and in tumours wild type for EGFR and KRAS.5,6It is largely
mutually exclusive of EGFR or K-RAS mutations.5 At least 27
fusion variants have been identified according to the specific
chromosomal location of the gene fusion.7 The prevalence of ALK
mutations in NSCLC patients is similar across different
races.8International Association for the Study of LungCancer
(IASLC) and the European Society forMedical Oncology (ESMO)
Immunohistochemistry (IHC)
There is currently no standard protocol for using IHC to
detect ALK in NSCLC. Furhtermore, ALK protein levels in ALK-
rearranged NSCLCs are considerably low. Antibodies used with
some success have been D5F3 (Cell Signaling Technology,
Danvers, MA, USA), 5A4 (Novocastra, Newcastle, UK), and ALK
clone ZAL4 (Invitrogen, Carlsbad, CA, USA).13The advantages of
IHC technique are: low cost, ease of interpretation by the general
pathologist,retention of histologic information, relative short turn-
around time, and relative ease of implementation. The
disadvantages of this technique include: problems in tissue
preparation,antibody choice, signal enhancement systems, and the
optimal scoring system. The clinical application of ALK IHC in
NSCLC need further analysis and validation.13,14
Reference:
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Dikshit R, Eser S, Mathers C,
Rebelo M, et al. Cancer incidence and mortality worldwide:
sources, methods and major patterns in GLOBOCAN 2012. Int
J Cancer. 2015. 136(5): E359–E386.
2. Molina JR, Yang P, Cassivi SD, Schild SE, Adjei AA. Non-small
cell lung cancer: epidemiology, risk factors, treatment, and
survivorship. Mayo Clin Proc. 2008;83(5):584-594.
3. Pao W, Miller V, Zakowski M, Doherty J, Politi K, Sarkaria I, et
al. EGF receptor gene mutations are common in lung cancers
from “never smokers” and are associated with sensitivity of
Wahyu Aniwidyaningsih
ABSTRACT
Laksmi Wulandari
ABSTRAK
INHIBITOR CHECKPONT
Imunoterapi telah disetujui untuk pengobatan NSCLC setelah
respon yang sangat baik dan tahan lama, profil toksisitas yang
rendah, dan dampak pada OS seperti yang terlihat pada uji klinis
PHASE III (Brahmer et al 2015, Reck et al 2016, Rittmeyer et al
2017, Vavala 2018). Sistem kekebalan memiliki “perlindungan”
untuk mencegahnya menyerang sel-sel sehat. Perlindungan ini
disebut dengan checkpoint. Mereka memperlambat atau
menghentikan serangan sistem kekebalan ketika jaringan sehat
terancam. Beberapa kanker telah belajar cara mengaktifkan
checkpoint ini untuk menghindar dari serangan sistem kekebalan
tubuh. Sel kanker menipu tubuh untuk mematikan pertahanannya
sendiri. Obat baru yang disebut inhibitor checkpoint dirancang
untuk mematikan checkpoint ini, dan membantu tubuh melawan
kanker (FSAC 2017).
Checkpoint inhibitor adalah protein pada permukaan limfosit dan
sel imun lainnya, terutama pada sel T sitotoksik yang mampu
menginduksi sinyal stimulasi atau penghambatan untuk memicu
atau mengurangi respon imun adaptif seluler ketika terikat dengan
ligan spesifik mereka. Banyak checkpoint telah ditemukan,
termasuk CTLA-4, PD-1 (dan ligannya, PD-L1), B7-H3, B7x,
imunoglobulin sel T (Ig) dan molekul yang mengandung molekul-3
musin, dan attenuator limfosit sel B dan T (Harvey 2014, Herzberg
et al 2017, Malhotra et al 2017, Vavala 2018).
KESIMPULAN
Checkpoint inhibitor telah menandai era baru dalam pengobatan
NSCLC. Mereka menawarkan pilihan pengobatan dengan
peningkatan efektivitas dan lebih sedikit efek samping untuk
pasien yang mengalami progresi penyakit. Beberapa uji klinis
sedang mengeksplorasi penggunaan inhibitor checkpoint pada
berbagai tahap NSCLC, sebagai kombinasi bagian atau
pengobatan tunggal. Pada Desember 2017, lebih dari 250 uji klinis
terdaftar di www.clinicaltrials.gov untuk pengobatan kanker paru-
paru dengan pembrolizumab, nivolumab atau atezolizumab.
Sementara ada kemungkinan bahwa indikasi inhibitor checkpoint
imun akan berkembang di masa depan, penting untuk dicatat
bahwa persetujuan peraturan saat ini hanya untuk pasien dengan
pasien advanced NSCLC, dan dalam kasus pembrolizumab hanya
dalam kombinasi dengan uji PD-L1. Secara khusus,
pembrolizumab disetujui sebagai terapi lini pertama untuk
advanced NSCLC dengan kadar PD-L1 ≥ 50% dan terapi lini
kedua dengan ekspresi PD-L1 ≥1%. Atezolizumab dan nivolumab
disetujui sebagai terapi lini kedua terlepas dari status PD-L1 (Raju
et al 2018).
Imunoterapi dengan inhibitor checkpoint untuk advanced NSCLC
telah menghasilkan paradigma baru dari opsi pengobatan yang
memberikan peningkatan OS, dan profil toksisitas yang lebih
ringan namun berbeda jika dibandingkan dengan kemoterapi.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan urutan waktu
yang tepat dan kombinasi yang tepat antara kemoterapi dengan
imunoterapi, biomarker untuk menilai respon dan untuk
memprediksi toksisitas dan penentuan penyebab resistensi primer
atau sekunder terhadap imunoterapi (Raju et al 2018).
ABSTRAK
ABSTRACT
ABSTRACT
Lung cancer is the most common cancer in the world. And the
majority of patients with lung cancer have an advanced stage of
the disease at clinical presentation. It is estimated that
approximately 75% of cancer patients live with chronic pain, this
pain is secondary to nociceptive or neuropathic syndromes which
represent direct effects of the cancer. The three main causes of
pain in patients with advanced lung cancer are skeletal metastatic
disease, pancoast tumor, and chest wall disease. Initial and
ongoing assessment of pain should be an integral part of cancer
care and indicates when additional comprehensive assessment is
needed. The World Health Organization’s (WHO) Analgesic
Ladder for Cancer Pain Relief provides a stepwise approach to
managing pain in patients with cancer. Step 1 advises the use of
paracetamol or a non-steroidal anti-inflammatory drug. If pain is
not satisfactorily controlled, it is appropriate to move to Step 2
Analgesia which includes the use of weak opioids, usually codeine.
In practice, patients with severe pain usually need Step 3
Analgesia, the use of strong opioids. Morphine is the usual first-
line Step 3 opioids however there are many alternatives to
morphine now. At any step, in the analgesic ladder adjuvant
analgesics can be used. Opioid therapy is the first-line approach
for moderate or severe chronic cancer pain. While opioids are
effective analgesics. Opioids can be administered orally,
intravenously, subcutaneously, sublingually, intrathecally, and
topically depending on its indication and available routes for
administration. Unfortunatly one of the most commonly
encountered side effects from opioids is constipation. Although,
some opioids are less constipating than others.
Keywords: lung cancer, pain, management
Fariz Nurwidya
ABSTRACT
Stem cells
Stem cells are essential for normal organ development,
maintenance, and repair.Stem cell-based regenerative medicine
holds great potential for combating tissue damage in lung diseases
and other disorders by providing unlimited materials for transplant.
Induced pluripotent stem cells (iPSCs) could be the source of cells
for autologous transplantation [7]. iPSC has been successfully
differentiated to alveolar and airway lineage [8]. It remains
unknown however, whether these iPSC-derivatives can form lung
Conclusion
Lung stem cells are essential for normal lung development,
maintenance, and repair.A rapidly growing number of
investigations of stem cells and cell therapies in lung biology and
References
1. Rawlins EL, Okubo T, Que J, Xue Y, Clark C, Luo X, Hogan
BL. Epithelial stem/progenitor cells in lung postnatal growth,
maintenance, and repair. Cold Spring HarbSymp Quant Biol
2008;73:291-5.
2. Kim CFB, Jackson EL, Wooolfenden AE, Lawrence S, Babar I,
Vogel S, et al. Identification of Bronchioalveolar Stem Cells in
Normal Lung and Lung Cancer. Cell 2005; 121: 823-835.
3. Stripp BR, Reynolds SD. Maintenance and repair of the
bronchiolar epithelium. Proc Am ThoracSoc 2008; 5:328–333.
4. Dor Y, Melton DA. How important are adult stem cells for tissue
maintenance? Cell Cycle 2004; 3:1104–1106.
5. Giangreco A, Reynolds SD, Stripp BR. Terminal bronchioles
harbor a unique airway stem cell population that localizes to
the bronchoalveolar duct junction. Am J Pathol 2002; 161:173–
182.
6. Moulton BC, Barker AF. Pathogenesis of bronchiectasis.
Clinics Chest Med 2012; 33:211–217.
7. Huang SX, Islam MN, O’Neill J, Hu Z, Yang YG, Chen YW, et
al. Efficient generation of lung and airway epithelial cells from
human pluripotent stem cells. Nat Biotechnol2014; 32:84–91.
8. McCauley KB, Hawkins F, Serra M, Thomas DC, Jacob A,
Kotton DN. Efficient derivation of functional human airway
epithelium from pluripotent stem cells via temporal regulation of
Wnt signaling. Cell Stem Cell 2017; 20(844–857):e846.
ABSTRACT
Treatment of chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
has been long developed. Initially, physicians treatCOPD with
systemic therapy, but now, it is already shifted to inhalation and
combination therapy. Broad-spectrum and non-targeted therapies
have evolved into focused therapy to reduce side effects.
Sometimes, various therapies are not able to meet
theirexpectations. Disease prevention is still not optimal, andthe
mortality rate is still high. So, we need to control the symptoms and
prevent the development or progression of the disease.
The use of inhaled corticosteroids (ICS) and longacting
betaagonists (LABA) combination in COPD is the newest
therapeutic approach.GOLD 2019 provides clearer therapeutic
steps compared to GOLD 2018. GOLD 2019 alsoprovides
therapeutic adjustments with more consideration to patient
complaints. The restrictions on ICS/LABA administration also
provided in GOLD 2019.
GOLD 2019 emphasizes the use of ICS in group D after
initiation of therapy and in each group according to the patient
phenotype. The use of ICS as an initial therapy must consider the
risks and benefits for the patient. The use ofICS/LABA is indicated
in COPD patientswho have asthma symptoms, history of
asthma,patients with exacerbations 1 time per year with peripheral
blood levels ≥300cell/µL,patients with ≥2 timesmoderate
exacerbation per year or at least 1 time severe exacerbation who
require hospitalization in the previous year with blood eosinophil
levels ≥100cells/µL. The use of ICS in COPD patients with
inappropriate indications can increase the side effects such as
pneumonia, TB infection, osteoporosis, diabetes, and cataracts.
Keywords: COPD, ICS/LABA, GOLD 2019, indications, side
effects
Terapi inisiasi
Terapi pada tahapan inisiasi pada GOLD 2019 tetap sesuai
dengan group kategori PPOK (A,B,C, dan D). Jika terdapat respon
yang baik terhadap terapi maka terapi akan dilanjutkan. Jika
pasien kontrol dengan respon yang kurang/tidak baik terhadap
terapi maka dilakukan evaluasi terhadap keluhan tersebut. Dokter
yang menangani diharapkan mencari tahu keluhan utama yang
menyebabkan pasien datang berobat. Jika keluhan yang dominan
berupa sesak napas tanpa eksaserbasi yang bermakna
(eksaserbasi ringan) maka terapi akan dilanjukan memakai
pandauan dari kolom terapi lanjutan bagian sesak napas
(dyspneu). Jika pasien mengalami eksaserbasi berulang yang
mengganggu (sedang ataupun berat) dengan ataupun tanpa
sesak napas yang menetap/ memberat maka terapi akan
dilanjutkan menggunakan panduan dari kolom eksaserbasi.
RINGKASAN
• Prevalensi PPOK akan semakin meningkat 30 tahun ke depan
• GOLD 2019 menekankan penggunaan ICS pada kelompok D
pada terapi inisiasi dan pada tiap kelompok sesuai fenotip
pasien
• Penggunaan ICS padaterapiawalharusmempertimbangkanrisk
danbenefit untukpasien
• LABA/ICS diindikasikan pada;
– PPOK dengan riwayat asma atau temuan gejala asma
– Pasien dengan eksaserbasi 1x /thn dengan kadar darah
perifer ≥300sel/µL
– Pasien ≥2x eksaserbasi/ moderate/tahun atau minimal 1x
eksaserbasi berat yang membutuhkan hospitalisasi setahun
sebelumnya dengan kadar EOS darah ≥100sel/µL
• Penggunaan ICS padapasien PPOK denganindikasi yang
tidaksesuaidapatmeningkatkanrisikopasienterkenaefeksamping
seperti pneumonia, resiko infeksi TBC, osteoporosis, diabetes,
dankatarak
DAFTAR PUSTAKA
1. Director GOLD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. 2019;(report).
2. Murray JF, Nadel J a. Textbook of Respiratory Medicine.; 2001.
doi:10.1001/jama.1989.03420150117056.
Amira Tarigan
ABSTRACT
2.1. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat
dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan dan
keterbatasan aliran udara yang persisten disebabkan oleh
kelainan saluran napas dan / atau alveolar yang biasanya
diakibatkan oleh paparan signifikan partikel atau gas yang
berbahaya. Keluhan utamanya antara lain sesak napas, batuk
kronis dengan dahak dan keterbatasan aktifitas (1).
Faktor Keterangan
risiko
2.2 EPIDEMIOLOGI
Saat ini PPOK adalah penyebab kematian ke-4 di dunia (2),
dan perkiraan menjadi penyebab kematian ke-3 di dunia tahun
2030 (3). Diperkirakan kematian terkait PPOK 3 juta orang pada
tahun 2012 (6% dari total kematian), akan meningkat sebanyak
4.5 juta pada tahun 2030 (1).
(12)
Gambar 1.Mekanisme seluler dan molekuler pada PPOK
Penilaian Gejala
Ada beberapa kuesioner yang sudah divalidasi (1):
- Modified British Medical Research Council (mMRC)
- COPD Assesment Test (CAT). Kuesioner CAT terdiri dari 8
butir pertanyaan, skor 0-40
Kuesioner lain yang lazim digunakan diantaranya:
• St George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ)
• Chronic Respiratory Questionnaire (CRQ)
• Modified Medical Research Council (mMRC) questionnaire
Penilaian Spirometri
Tabel berikut menunjukkan klasifikasi derajat hambatan
aliran udara pada PPOK:
Penilaian Komorbiditas
Komorbiditas yang sering terjadi pada pasien PPOK adalah
penyakit jantung, disfungsi otot rangka, sindroma metabolik,
osteoporosis, depresi dan kanker paru (8).
2. Terapi farmakologis
Pemberian terapi farmakologis pada PPOK stabil perlu
disesuaikan dengan keparahan penyakit (1).
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung D isease
[Internet]. 2019 [cited 2019 Jun 10]. Available from:
www.goldcopd.org
2. Lozano R, Naghavi M, Foreman K, Lim S, Shibuya K, Aboyans
V, et al. Global and regional mortality from 235 causes of death
for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for
the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet [Internet].
Menaldi Rasmin
ABSTRACT
1.1 Definisi
Idiopathic Pulmonary Fibrosis (IPF) merupakan bagian dari
Interstitial Lung Disease (ILD) yang bersifat kronis, adanya
pneumonia interstitial dan fibrosis yang progresif dengan
penyebab yang tidak diketahui, terutama terjadi pada usia tua,
terbatas pada paru-paru dan secara histopatologi dan/atau
radiologi memiliki bentukan Usual Interstitial Pattern (UIP) tanpa
adanya bentuk pneumonia interstitial termasuk Idiopathic
Interstitial Pneumonia dan ILD yang berhubungan dengan paparan
lingkungan, obat-obtan atau penyakit sistemik (Raghu et al, 2011).
1.2 Epidemiologi
IPF adalah penyakit yang jarang, baik insiden dan
prevalensinya masih jarang. Prevalensi penderita IPF di Amerika
Serikat secara umum berkisar antara 14 sampai 27,9 kasus per
100.000 populasi, insidensi berkisar antara 6,8 sampai 8,8 per
100.000 populasi. Sedangkan prevalensi di Eropa berkisar antara
1,25 sampai 7,4 kasus per 100.000 populasi, insidensi berkisar
antara 0,22 sampai 7,4 per 100.000 populasi. Di Belgia proporsi
insiden IPF berkisar 19% diantara semua penyakit ILD, di Jerman
Kwun M Fong
ABSTRACT
Alvin Kosasih
ABSTRAK
ABSTRACT
ABSTRACT
BACKGROUND
REFERENCE
1. Van Deun A, Maug AKJ, Hamid Salim MA, et al. Short, highly
effective, and inexpensive standardized treatment of multidrug-
resistant tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 2010;
182:684-692.
2. World Health Organization. Global tuberculosis report, 2016.
WHO/HTM/TB/2016. Geneva, Switzerland: WHO, 2016.
3. Tegegne, BS, Mengesha MM, Teffera AA, Awoke MA,
Habtewold TD. Association betweendiabetes mellitus andmulti-
drug-resistant tuberculosis: evidence from a systematic review
and meta-analysis. Systematic Reviews (2018) 7:161.
https://doi.org/10.1186/s13643-018-0828-0.
Guido Vagheggini, MD
Summary
Pulmonary rehabilitation (PR) is recognized as a core component
of the comprehensive management of COPD patients. Following a
pulmonary rehabilitation program (PRP), patients report
improvements in health-related quality of life (HRQL), relief of
respiratory and extrapulmonary symptoms, increased exercise
tolerance and a greater level of independence in the performance
of activities of daily living. The available data regarding the
effectiveness of PR for asthma patients are sparse. Only very few
randomized studies concerning the effectiveness of a multimodal
PR program in asthma have been published. However, guidelines
recommend PR for asthma patients if physical, mental or social
consequences of the illness are constraining and persist during
daily life despite adequate medical therapy.
Asthma
Asthma is one of the most common chronic diseases worldwide
with an estimated 300 million affected individuals and, in spite of
the availability of effective medications, it remains incurable. The
Global Initiative for Asthma (GINA) definition describes asthma as
a heterogeneous disease, usually characterized by chronic airway
inflammation and a history of respiratory symptoms that vary over
time and in intensity, including wheeze, shortness of breath, chest
tightness and cough, together with variable expiratory airflow
limitation [16]. Clinical symptoms assessment is of primary
relevance both for diagnosis and for clinical management [17].
Various cross-sectional studies have shown a high number of
patients with poorly controlled asthma in many countries [18,19].
Pulmonary rehabilitation (PR) is widely accepted as an effective
treatment for patients with chronic respiratory diseases, especially
for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) [20]. In Europe
and North America, asthma patients are also commonly enrolled in
PR programs [21], but the available data regarding the
effectiveness of PR for asthma patients are sparse. Only very few
randomized studies [22,23] concerning the effectiveness of a
multimodal PR program in asthma have been published.
References
1. Global Strategy for the Diagnosis, Management and
Prevention of COPD, Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD). 2014, http://www.goldcopd.org/
(accessed March 2014).
2. Camiciottoli G, Bigazzi F, Paoletti M, Cestelli L, Lavorini F,
Pistolesi M: Pulmonary function and sputum characteristics
predict computed tomography phenotype and severity of
COPD. Eur Respir J 2013;42:626-635.
3. Vanfleteren LE, Spruit MA, Groenen M, Gaffron S, van Empel
VP, Bruijnzeel PL, et al: Clusters of comorbidities based on
validated objective measurements and systemic inflammation
in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med 2013;187:728-735.
4. Barnes PJ, Celli BR. Systemic manifestations and
comorbidities of COPD. Eur Respir J. 2009 May;33(5):1165-
85.
5. Singer JP, Katz PP, Iribarren C, Omachi TA, Sanchez G, Yelin
EH, et al: Both pulmonary and extra-pulmonary factors predict
the development of disability in chronic obstructive pulmonary
disease. Respiration 2013;85:375-383.
Fajrinur Syarani
ABSTRAK
1. Latar Belakang
Pneumothorax merupakan penyakit kegawatdaruratan
medis yang didefinisikan sebagai kondisi abnormal
terdapat udara pada rongga pleura yang secara fisiologis
hanya berisi sedikit cairan.[1] Pneumothorax yang
berukuran besar mengakibatkan penurunan kapasitas
vital paru dan PaO2 sehingga timbul hipoksia hingga
distress pernapasan. [2]
Pneumothorax adalah istilah medis untuk terkumpulnya
udara pada rongga pleura, yaitu rongga tipis yang
dibatasi dua selaput pleura di antara paru-paru dan
dinding dada. Udara yang terkumpul pada rongga pleura
dapat terjadi akibat adanya celah yang terbentuk akibat
cedera pada dinding dada atau robekan pada jaringan
paru-paru. Akibatnya, udara tersebut dapat menekan
paru-paru dan membuat paru-paru menjadi mengempis
(kolaps). [1]
Pneumothorax dapat timbul spontan maupun akibat
trauma. Pneumothorax tergolong spontan primer jika
timbul tanpa adanya penyakit paru dasar atau trauma
thoraks. Pneumothorax tergolong spontan sekunder jika
disebabkan penyakit paru dasar. [1]
Penegakan diagnosis didasari atas anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala utama berupa
sesak dan nyeri dada pleuritik. Temuan klinis pada
pemeriksaan fisik yang khas meliputi pergerakan dada
tertinggal satu sisi, suara napas menurun atau bahkan
tidak terdengar saat auskultasi, penurunan vokal fremitus
serta hipersonor. Bila gejala berat disertai tanda
gangguan kardiorespirasi, tension pneumotoraks harus
dipertimbangkan. Tanda-tanda fisik pneumothoraks dapat
terjadi secara perlahan namun khas. Pemeriksaan
oksimetri, rontgen thoraks, analisa gas darah serta
ultrasonografi dapat membantu penegakan diagnosis.
[3,4]
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi
Pneumothorax adalah istilah medis untuk terkumpulnya
udara pada rongga pleura, yaitu rongga tipis yang
dibatasi dua selaput pleura di antara paru-paru dan
dinding dada, sebagai kondisi abnormal terdapat udara
2.8. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan pneumotoraks tergantung pada:
berat dan lamanya keluhan atau gejala, adanya riwayat
pneumotoraks sebelumnya, jenis pekerjaan penderita.
Sasaran pengobatan adalah secepatnya
mengembangkan paru yang sakit sehingga keluhan-
keluhan juga berkurang dan mencegah kambuh
kembali.[26]
Pneumotorak mula-mula diatasi dengan pengamatan
konservatif bila kolaps paru-paru 20% atau kurang.
Udara sedikit demi sedikit diabsorpsi melaului
2.9. Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan mengalami
pneumotorak ulangan, tetapi tidak ada komplikasi
jangka panjang dengan terapi yang berhasil.
Kesembuhan dari kolap paru secara umum
membutuhkan waktu 1 sampai 2 minggu.
Pneumotoraks tension dapat menyebabkan kematian
secara cepat berhubungan dengan curah jantung yang
tidak adekuat atau insufisiensi oksigen darah
(hipoksemia), dan harus ditangani sebagai kedaruratan
medis.[26]
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothorax
antara lain tension pneumothorax, hemopneumothorax,
fistula bronkopleural, pneumomediastinum, dan
pneumothorax kronik (kegagalan paru untuk ekspansi).
[18,19]
BAB 3
KESIMPULAN
ABSTRACT
Budhi Antariksa
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a
common, preventable, and treatable disease that is characterized
by persistent respiratory symptomsand airflow limitation that is due
to airway and/or alveolar abnormalities usually caused by
significant exposure to noxious particles or gases. The prevalence
of COPD was increase from 10.7% in 1990 to 11.7% in 2010.
The burden of COPD is related to the frequency, duration
and severity of exacerbation. COPDexacerbation is correlated to
mucus hyper-secretionand oxidative stress. Erdostein is a
mucolytic with antioxidant and anti-inflammatory activity that have
been used to treat COPD’s mucus hyper-secretion.
The RESTORE study is a real-life randomized, double-
blind, and placebo controlled study. It is enrolling 467 patients
aged 40-80 who been classified on GOLD stage II/III. The patients
received 300 mg twice daily or placebo added to usual COPD
therapy for 12 months. The RESTORE study demonstrates that
Erdosteine reduces 19.4% the rate exacerbation of all COPD
patients and 47% of inCOPDmoderate severe patients. Erdosteine
reduces 24.6% the duration of exacerbation in all patients COPD,
and 26% in moderate severe patients. Erdosteine was effective
reduces the frequency and duration of exacerbation, mostly in
early stage patients (stage II).
In addition to duration and frequency of exacerbation, it is
also important to delay the onset of exacerbations. The time to the
first exacerbation was significantly longer in Erdostein group
especially in early stage patients.Erdostein provides greater
additional benefit to COPD maintenance therapy by giving
especially in early stages of COPD.
Keywords: Erdostein, COPD reduce exacerbation, RESTORE study
Hadiarto Mangunnegoro
Faisal Yunus
ABSTRACT
Susanthy Djajalaksana
ABSTRAK
4 Dalam 4 minggu >3 kali 1-2 kali 2-3 kali <1 kali Tidak
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma 2018. Global strategy for asthma
management and prevention. Cape Town: GINA Executice
Commite University of Cape Town Lung Institute.
2. Currie GP, srivastava P, dempsey OJ, Lee DKC. Therapeutic
modulation of allergic airways disease with leukotriene receptor
antagonists. Q J Med 2005; 98:171–82.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2018.
4. Sears et al. Lancet 1990;336:1391-6.
5. Gauvreau GM, et al. AJRCCM 1997;156:1738-45.
6. Suissa S et al. AJRCCM 1994;149:604-10.
7. Tattersfield et al. Am J Respir Crit Care Med 1999
Soedarsono
ABSTRACT
Pendahuluan
Ringkasan
Penggunaan antibiotik yang sesuai dapat meminimalkan
atau mencegah kemunculan, penyebaran, dan diversifikasi
resistensi antibiotik. Aktifitas sefditoren yang tinggi secara in vitro,
sesuai dengan sifat farmakokinetiknya (memungkinkan obat
diberikan dua kali sehari) menjadikan sefditoren sebagai antibiotik
yang berperan penting dalam pengobatan infeksi saluran
pernafasan di komunitas. Studi secara klinis menunjukkan bahwa
Referensi
1. Marco FD, Braido F, Santus P, Scichilone N, Blasi F. The role
of cefditoren in the treatment of lower community-acquired
respiratory tract infections (LRTIs): from bacterial eradication to
reduced lung inflammation and epithelial damage. Eur Rev
Med Pharmacol Sci. 2014; 18: 321-32.
2. Blasi F, Concia E, del Prato B, Giusti M, Mazzel T, Polistena B,
Rossi A, Stefani S, Novelli A. The most appropriate therapeutic
strategy for acute lower respiratory tract infections: a Delphi-
based approach. J Chemother. 2017; 29(5): 274-86.
3. Soedarsono, Widyaningsih PD. Relationship between initial
antibiotic therapy and outcomes in hospitalized patients with
community acquired pneumonia at Dr. Soetomo general
hospital, Surabaya. Respirology. 2018; 23(Suppl. 2): 66-67.
4. Aguilar L, Gimenez MJ, Barberan J. Drug resistance in
community-acquired respiratory tract infections: role for an
emerging antibacterial. Infect Drug Resist. 2010; 3: 35–43.
5. Barberan J, Aguilar L, Gimenez MJ. Update on the clinical
utility and optimal use of cefditoren. Int J General Med. 2012;
5: 455-64.
6. Soriano F, Gimenez MJ, Aguilar L. Cefditoren in upper and
lower community-acquired respiratory tract infections. Drug
Des Dev Ther. 2011; 5: 85-94.
7. Kennewell PD. Major drug introductions. Comprehensive
medicinal chemistry II. Elsevier. Swindon: UK. 2007.
8. Gimenez MJ, Aguilar L, Granizo JJ. Revisiting cefditoren for
the treatment of community-acquired infections caused by
Irawaty Djaharuddin
ABSTRACT
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pneumonia bervariasi dari ringan sampai
berat. Sebagian pasien menunjukkan gejala demam, menggigil,
diaforesis, dan takikardia. Batuk bisa tanpa atau dengan produksi
dahak, dan dahak bisa mukoid, purulen, atau bercampur darah.
Hemoptisis masif menandakan kemungkinan community
associated methicillin resistant Staphylococcus aureus (CA-
MRSA) pneumonia.5Tergantung derajat penyakit, pasien mampu
berbicara dengan baik atau tampak sangat sesak. Nyeri dada
terjadi jika pleura ikut terlibat. Pada 20% pasien, keluhan juga
disertai mual muntah, dan atau diare. Gejala penyerta lain seperti
DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan melalui anamnesis
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan
pemeriksaan radiologis.4,9Anamnesis ditujukan untuk mengetahui
kemungkinan penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi
yaitu evaluasi faktor pasien/predisposisi, bedakan lokasi infeksi
dan onset. Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan
keadaan klinis. Sayangnya, sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan fisik hanya 58% dan 67%. Karena itu, perlu
pemeriksaan radiologis untuk menegakkan pneumonia dan
menyingkirkan diagnosis diferensial.5Foto toraks, bisa berupa
pneumonia alveolar dengan gambaran air bronkogram (airspace
disease) misalnyaStreptococcus pneumoniae, bronkopneumonia
(segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus, virus atau
Mycoplasma, dan pneumonia interstisial (interstitial disease) oleh
virus dan Mycoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apikal
lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman
aspirasi. Lesi berupa kavitas dengan air-fluid level sugestif untuk
abses paru, infeksi anaerob, gram negatif atau amiloidosis. Foto
toraks kontrol juga perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan
infeksi sekunder, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau
pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan
klinis foto toraks kontrol dapat ditunda karena resolusi pneumonia
berlangsung 4-12 minggu.4 Pemeriksaan computed tomography-
scan (CT-scan) bisa memberi informasi mengenai parenkim paru
lebih akurat dibanding foto toraks, memperlihatkan komplikasi
seperti pleuritis dan nekrosis pulmonal, atau diagnosis diferensial
UPAYA PENCEGAHAN
Pada pasien berisiko tinggi pneumonia, atau dengan
gangguan imun, penyakit berat termasuk penyakit paru kronik,
hati, ginjal dan jantung, disarankan rutin vaksinasi influenza dan
pneumokokus. Rekomendasi ini juga berlaku bagi pasien umur
>65 tahun atau penghuni rumah panti jompo atau penampungan
penyakit kronik. Pada pasien rawat inap, terapi pencegahan perlu
diberikan pada pasien dengan skor APACHE tinggi dan penyakit
dasar yang bisa berakibat fatal. Pencegahan ini juga terutama
dilakukan pada faktor-faktor risiko yang dapat diubah seperti
pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau
pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antogonis H2 dan
antasida.4
Ratnawati
ABSTRACT
Budhi Antariksa
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara namun terlihat
kecenderungan meningkat jumlah penderitanya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma banyak dikembangkan. National
Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa
setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkhitis
kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema salah satu
bentuk asma. Data World Health Organization (WHO) 2000
menyatakan bahwa ada lima penyakit paru utama yang
menyebabkan 17,4% dari seluruh kematian di dunia yaitu (1)
infeksi paru 7,2%, (2) Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
4,8%, (3) Tuberkulosis 3%, (4) kanker paru/trakea/bronkus 2,1%,
1
(5) asma 0,3%.
Berdasarkan data yang diambil dari WHO 2002 dan Global
Initiative for Ashtma (GINA) 2011, diperkirakan di seluruh dunia
terdapat 300 juta orang penderita asma dan tahun 2025
diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta orang.
Jumlah ini dapat saja lebih besar, karena kasus asma biasanya
tidak terdiagnosis. Penyebab meningkatnya jumlah penderita
asma tersebut diperkirakan karena buruknya kualitas udara dan
berubahnya pola hidup masyarakat. Data dari berbagai negara
menunjukkan bahwa prevalens penyakit asma berkisar antara 1-
1
19% (GINA,2011).
Prevalens penyakit asma tahun 2007 dibandingkan dengan
prevalens penyakit asma tahun 2013, didapatkan kenaikan
prevalens penyakit asma secara nasional sebesar 1%. Akan tetapi
terdapat perbedaan dalam mendiagnosis penyakit asma di laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melalui
ASMA
Definisi Asma
Menurut GINA (Global Iniative for Asthma) 2016, asma merupakan
suatu penyakit heterogen kronik yang disebabkan karena
gangguan inflamasi kronik dan hiperresponsif saluran napas.
Asma ini tidak bisa disembuhkan namun bisa dikontrol. Gejala-
Patofisiologi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktifitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan
napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom
dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktifitas saluran napas. Peningkatan
reaktifitas saluran napas terjadi karena inflamasi kronik yang khas
dan melibatkan dinding saluran napas sehingga aliran udara
menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Hipereaktifitas tersebut terjadi sebagai
respons terhadap berbagai macam rangsang. Otot polos saluran
napas dapat menyebabkan obstruksi langsung jalan napas yaitu
melalui kontraksi serta obstruksi tidak langsung melalui reaksi
inflamasi. Tiap proses ini saling berkaitan dan kompleks (gambar
3,4
1).
ANTAGONIS LEUKOTRIN
Leukotrin berperan terhadap reaksi inflamasi. Pada pasien asma,
leukotrin (LTC4/ leukotriene type C4 dan LTD4/leukotriene type
D4) menimbulkan bronkokonstriksi, peningkatan reaktifitas
bronkus, peningkatan sekresi mukus dan edema mukosa (gambar
2). Leukotrin terbentuk dari hasil metabolisme asam arakhidonat
oleh 5- ,12-, dam 15-lipooksigenase (LOX). Asam arakhidonat
sebenarnya dioksigenasi oleh 4 jalur saat terjadi inflamasi yaitu
oleh jalur siklooksigenase (COX), lipooksigenase (LOX),
epoksigenase P450 dan isoeikosanoid. Selain leukotrin, hasil
metabolisme asam arakhidonat oleh 5-,12- dan 15-lipoksigenase
yaitu HETEs (hidroxyeicosatetraenoic acid) dan lipoksin (gambar
7
3).
Terlihat pada gambar di bawah ini bahwa seseorang yang
terpapar inflamasi, asam arakhidonat akan dioksidasi oleh ke-4
jalur yaitu oleh jalur siklooksigenase (COX), lipooksigenase,
epoksigenase P450 dan isoeikosanoid. Terdapat dua golongan
obat yang mempengaruhi jalur leukotrin yaitu (1) inhibitor enzim 5-
lipoksigenase
MONTELUKAST
®
Montelukast sodium dengan merk dagang singulair diproduksi
oleh perusahaan farmasi Merck & Co,Inc pada tahun 1998. Merck
& Co,Inc memiliki hak paten mulai dari tahun 1998 – 2009.
Montelukast generik mulai diterima oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan di Amerika Serikat (FDA/Food and Drug
Administration) sejak bulan Agustus 2012. Montelukast sodium
bersifat higroskopis, larut dalam etanol, metanol dan air, tidak larut
dalam asetonitril.Montelukast mempunyai rumus kimia [R-(E)]-1-
[[[1-[3-[2-(7-kloro-2- kuinolil) etenil] fenil] -3-[2-(1-hidroksi-1-
metiletil) fenil] propil] tio] metil] asam siklopropaaneasetik, garam
monosodium. Rumus empirisnya yaitu C35H35ClNNaO3S dengan
8
berat molekul 608,18 (gambar 4).
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Infodatin : You can control your
asthma. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI. 2014.hal 1-8.
2. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma
management and prevention. 2016.hal 16-7.
3. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013
(RISKESDAS 2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. 2003.hal 7-12.
5. Barnes, PJ. Pathophysiology of asthma. J Eur Respir Mon.
2003;23:84-91.
6. Doeing DC, Solway J. Airway smooth muscle in the
pathophysiology and
treatment of asthma. J Appl Physiol.
2013;114: 834–43.
7. Smyth E, Fitzgerald GA. The eicosanoids: prostaglandins,
thromboxanes, leukotrienes & related compunds. Dalam :
th
Basic and Clinical Pharmacology 12 Edition. Bertram G.
Katzung, Susan B. Masters, Anthony J. Trevor
(Editors).
Singapur : McGraw Hill. 2012.hal.313-57.
Allen Widysanto
Introduction
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is characterized
by progressive persistent airflow limitation that is usually
associated with an enhanced chronic inflammatory response in the
airways and the lung to noxious particles or gases. 1Obstructive
sleep apnea (OSA) is recognized as a common comorbidity of
COPD. Meta-analysis study showed COPD-OSA overlap
syndrome was highly prevalent in COPD or OSA population in
comparison with general population.2
Conclusion
References
1. Vogelmeier C, Criner G, Martinez F, Anzueto A, Barnes P,
Bourbeau J, et al. Global Strategy for the Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Lung
Erlina Burhan
Pneumonia Komunitas
Epidemiologi dan Faktor Risiko
Pneumonia komunitas –community acquired pneumonia
(CAP) –merupakan penyakit inflamasi akut pada parenkim paru
Hasil Laboratorium
pH<7,35 +30
BUN >10,7 mmol/L +20
Natrium <130 mEq/L +20
Glukosa >13,9 mmol/L +10
Hematokrit <30% +10
Tekanan O2 arteri <60 mmHg +10
Efusi pleura +10
Tabel 2. CURB655,11
Confusion
Uji mental 8 skor 1
Uji mental > 8 skor 0
Daftar Pustaka
1. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious
Diseases Society of America/American Thoracic Society
consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl.
2, S27–S72.
2. JustActions. The Missing Piece. Why Continued Neglect of
Pneumonia Threatens the Achievement of Health Goals. New
York, USA: JustActions, 2018.
Harsini
Referensy
1. Organisation mondiale de la santé. Global tuberculosis report
2018. 2018.
Jatu Aphridasari
ABSTRACT
ABSTRAK
KONTROL INFEKSI
Rekomendasi WHO untuk menurunkan jumlah ko-infeksi TB-HIV
adalah dengan the Six I’s yaitu:27
1. Intensified case-finding
Gerakan aktif untuk menemukan kasus TB di antara
pasien HIV dan menemukan kasus HIV di antara kasus TB
dengan menerapkan pemeriksaan tes cepat TB dan HIV. Tes
HIV lebih ditingkatkan pada populasi rentan yaitu wanita
hamil, pasangan serodiscordant, dan pasien dengan koinfeksi
TB atau hepatitis B. Peraturan untuk skrining HIV pada saat
masuk penjara menghasilkan angka infeksi HIV yang lebih
rendah secara signifikan.4
Kemungkinan kasus TB yang tidak terdiagnosis
menimbulkan risiko untuk penularan penyakit, khususnya di
antara anggota keluarga. Rekomendasi skrining aktif TB
dilakukan pada orang dengan HIV atau dengan infeksi
oportunistik.28
2. Isoniazid preventive therapy (IPT)
Orang dewasa dan remaja dengan HIV tanpa salah
satu gejala batuk, demam, dan penurunan berat badan atau
keringat malam maka harus ditawarkan IPT. Orang dewasa
dan remaja dengan HIV dengan status tuberculin skin test
(TST ) positif dan tidak mungkin memiliki TB aktif harus
menerima setidaknya enam bulan IPT. Orang dewasa dan
remaja dengan HIV yang tidak diketahui status TST dan tidak
mungkin memiliki TB aktif harus menerima setidaknya 36
bulan IPT. Tuberculin skin test bukan persyaratan untuk
memulai IPT pada orang dengan HIV. Pemberian IPT kepada
orang dengan HIV tidak meningkatkan risiko mengembangkan
TB yang resistan terhadap isoniazid (INH).29
3. Infection control
Penurunan risiko penularan TB-RO dilakukan dengan
identifikasi cepat TB aktif dan TB-RO, inisiasi pengobatan dan
dukungan kepatuhan pengobatan, serta pengendalian infeksi
TB di fasilitas kesehatan dan dukungan masyarakat. Upaya
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organisation. Diagnosis and treatment: TB,
HIV-associated TB and drug-resistant TB. In: Global Health
TB Report 2018. Geneva; 2018:67-102.
2. TBFACTS.ORG. TB & HIV - Co-infection, statistics,
diagnosis, treatment. https://www.tbfacts.org/tb-hiv/.
Accessed May 15, 2019.
3. Blair HA, Scott LJ. Delamanid: a review of its use in patients
with multidrug-resistant tuberculosis. Drugs. 2015;75(1):91-
100.
4. Nelwan EJ. HIV infection in Indonesia. Acta Med Indones.
2017;49(3):193-194.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29093228.
5. Mesfin YM, Hailemariam D, Biadglign S, Kibret KT.
Association between HIV/AIDS and multi-drug resistance
tuberculosis: A systematic review and meta-analysis. PLoS
One. 2014;9(1):1-9.
6. Wells CD, Cegielski JP, Nelson LJ, et al. HIV infection and
multidrug‐resistant tuberculosis—the perfect storm. J Infect
Dis. 2007;196(1):86-107.
7. Eldholm V, Rieux A, Monteserin J, et al. Impact of HIV co-
infection on the evolution and transmission of
multidrugresistant tuberculosis. Elife. 2016;5:1-19.
8. Gandhi NR, Shah NS, Andrews JR, et al. HIV coinfection in
multidrug- and extensively drug-resistant tuberculosis
results in high early mortality. Am J Respir Crit Care Med.
2010;181(1):80-6.
9. World Health Organization. Global commitments to end TB
and multisectoral accountability. In: Global Health TB
Report 2018. Geneva; 2018:9-25.
10. Suchindran S, Brouwer ES, Van Rie A. Is HIV Infection a
risk factor for multi-drug resistant tuberculosis? a systematic
review. Marais B, ed. PLoS One. 2009;4(5):1-9.
11. Van Den Hof S, Tursynbayeva A, Abildaev T, Adenov M,
Pak S, Ismailov S. HIV and multidrug-resistant tuberculosis:
Winariani Koesoemoprodjo
Universitas Airlangga
RSUD Dr Soetomo, Surabaya
ABSTRACT
Daftar Pustaka.
1. Global Tuberculosis report, 2018. Drug-resistant tuberculosis
– WHO https://www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-
tb/en/
2. Khazaei S., Salehiniya H., Soltani S, Hafshejani AM.
Multidrug-Resistant TB as A Major Concern for Tuberculosis
Control Programs. Iran J Public Health. 2016 ; 45(1): 114–115.
3. World Health Organization, 2013. Multidrug-resistant
tuberculosis (MDR-TB) Available from:
http://www.who.int/tb/publications/MDRFactSheet2012.
4. World Health Organization, 2014. “Global Tuberculosis Report
2014”, WHO, Geneva, Available from:
www.who.int/tb/publications/global_report/
5. Loddenkemper R., Sagebiel D., Brendel A. Strategies against
multidrug-resistant tuberculosis. European Respiratory Journal,
2002; 20: 66s-77s;
6. Global rise of multidrug resistant tuberculosis threatens to
derail decades of progress, 2017.
https://www.sciencedaily.com/releases/2017/03/170323083613
.htm
7. Guidelines for workplace TB control activities, 2003.
Guido Vagheggini, MD
ABSTRACT
Introduction
Dyspnoea is frequently reported as one of the most relevant
symptoms by patients suffering from chronic obstructive pulmonary
disease (COPD). The progression of the disease is often coupled
with worsening of breathlessness, leading patients with severe
Exercise training
Exercise training may reduce the metabolic load of the exercise,
lowering ventilatory demand and therefore reducing dyspnoea.
The improvement in dyspnea, exercise tolerance and HRQoL
obtained by mild to severe COPD patients as a result of exercise
training programs is multifactorial [5]. Enhanced oxidative capacity
and higher capillary density has been described in trained muscles
[6]. After exercise training, a slower deeper breathing pattern
develops, resulting in a reduction of the end-expiratory lung
volume, a lower ventilatory requirement for exercise, and a
reduction in dynamic hyperinflation [7].
High intensity training programmes (above 80% of maximal work
rate) have been shown to achieve greater physiological training
response and exercise tolerance can, compared to the low
intensity ones (below 50% of maximal work rate) [8]. The
combination of strength and aerobic training seems to be a more
physiologically complete approach, promoting muscle growth and
strength in COPD patients, although additional improvement in
exercise capacity and HRQoL are not clearly proven when
strength training is added to an aerobic training program [9].
Intermittent workload training programmes, named “interval
training” may be better tolerated and related to better outcomes in
COPD subjects with more limited lung function [10]. Use of
portable NIMV has been recently proposed during the recovery
periods inmoderate and high intensity interval exercise
programmes. An increased exercise tolerance compared to pursed
lip breathing was observed with lower breathlessness, and better
systemic oxygen availability [11].
Breathing maneuvers
Different techniques are included under this term such as pursed-
lips breathing and diaphragmatic breathing. Pursed-lips breathing
(PLB) is a technique attempting to prolong active expiration
through constricted lips. This maneuver is routinely taught as a
breathing retraining exercise as it is often spontaneously adopted
by COPD patients to alleviate dyspnea. Although pursed-lip
Psychological support
Psychological co-morbidities such as anxiety and depression are
common in COPD. There is evidence available for the efficacy of
pharmacological treatments, cognitive behavioural therapy,
pulmonary rehabilitation, relaxation therapy and palliative care in
COPD. Developing an adequate support system is a most
important component of pulmonary rehabilitation [26]. Patients with
chronic respiratory disease will benefit from supportive counseling,
either individually or in a group format [5]. Treating depression may
make a significant difference in the patient’s quality of life.
Conclusions
Although drug therapy remains the main corner of comprehensive
treatment of dyspnoea in COPD patients, there are also several
nonpharmacological approaches. Exercise training may represent
the best cost-effective modalities to add to pharmacological
treatment of COPD. Other interventions like education, nutrition,
psychological counseling should be used as adjuncts to well-
designed comprehensive respiratory rehabilitation programs and
tailored to the specific patient.
References
1. American Thoracic Society (ATS). Dyspnea. Mechanisms,
assessment and management: A consensus statement. Am J
Respir Crit Care Med. 1999;159:321–40.
2. Scano G, Ambrosino N. Pathophysiology of dyspnea. Lung.
2002;180:131–48.
3. Singer HK, Ruchinskas RA, Riley KC. The psychological
impact of end-stage lung disease. Chest. 2001;120:1246–52.
4. Ambrosino N, Scano G. Dyspnoea and its measurement.
Breathe. 2004;1:101–7.
5. Nici L, Donner C, Wouters E, et al. the ATS/ERS Pulmonary
Rehabilitation Writing Committee. American Thoracic
Guido Vagheggini, MD
Summary
Prolonged hospital stay, severe multi-organ impairment, and
adverse side effects of drug therapy, may cause severe late
complications like muscle weakness, prolonged symptoms, mood
alterations and poor health-related quality of life. Purpose of this
review article is to review the currently available evidence of
comprehensive rehabilitation programs in critically ill patients, with
a description of the key components and techniques used
particularly in specialised ICUs to promote early mobilization and
muscle retraining.
Introduction
The improvements in critical phase treatments have allowed for a
better survival of critically ill patients admitted to intensive care
units (ICUs) or respiratory intermediate intensive units (RIICUs).
Nonetheless, persisting physical disabilities have been described
in many survivors, causing impaired quality of life, even lasting for
some years [1-3]. Decline in pulmonary function, contractures and
pressure palsies, as well as persistent muscle weakness may
contribute to these post-critical physical limitations, and also lead
to a growing number of partial or complete dependence from
mechanical ventilation. Physiotherapy is an integral part of the
management of critically ill patients. In the Intensive Care Unit
(ICU) setting, early mobilization has the aims of improve
Mobilization Techniques
In critical care settings, positioning techniques are used to
increase gravitational stress and the body fluids shift in order to
REFERENCES
1. Esteban A, Frutos-Vivar F, Muriel A, et al. Evolution of
mortality over time in patients receiving mechanical
ventilation. Am J Respir Crit Care Med 2013; Apr 30
2. Kahn JM, Benson NM, Appleby D, et al: Long-term acute
care hospital utilization after critical illness. JAMA 2010; 303:
2253-2259.
3. Herridge MS, Tansey CM, Matté A, et al. Functional disability
5 years after acute respiratory distress syndrome. N Engl J
Med 2011; 364: 1293-1304.
4. Carpene` N, Vagheggini G, Panait E, et al. A proposal of a
new model for long-term weaning: respiratory intensive care
unit and weaning center. Respir Med 2010; 104: 1505–1511.
5. Nelson JE, Cox CE, Hope AA, Carson SS. Concise Clinical
Review: Chronic Critical Illness. Am J Respir Crit Care Med
2010;182:446-54.
6. Montagnani G, Vagheggini G, Panait Vlad E, et al. Use of
the functional independence measure following a weaning
program from mechanical ventilation in difficult to wean
patients. Phys Ther 2011; 9: 1109–1115.
7. Ambrosino N, Gabbrielli L. The difficult-to-wean patient.
Expert Rev Respir Med 2010; 4: 685-692.
8. Van den Berghe G, de Zegher F, Veldhuis JD, et al.
Thyrotrophin and prolactin release in prolonged critical
illness: dynamics of spontaneous secretion and effects of
growth hormones ecretagogues. Clin Endocrinol 1997; 47:
599-612.
Erlang Samoedro
Mukhtar Ikhsan
ABSTRACT
Pendahuluan
Fisiologi Penerbangan
Tindakan Pencegahan2
• Alkohol yang berlebihan harus dihindari sebelum dan selama
penerbangan, terutama pada mereka yang mengalami OSA
dan mereka yang berisiko terjadi tromboemboli vena;
• Individu yang tidak menerima oksigen harus tetap bergerak
selama penerbangan;
• Olahraga tanpa oksigen tambahan dapat memperburuk
hipoksemia;
• Individu dengan risiko penyakit tromboemboli harus ada
tindakan profilaksis;
• Pasien penyakit obtruktif harus membawa inhaler untuk
pencegahan;
• Nebuliser portabel dapat digunakan dengan izin awak kabin,
tetapi ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa spacer
sama efektifnya dengan nebuliser dalam mengobati asma;
• Obat yang dibawa harus dinilai apakah dipengaruhi oleh suhu
ekstrem di ruang bagasi.
• Mesin CPAP mungkin diperlukan pada pasien dengan OSA
terutama pada penerbangan jarak jauh, tetapi harus dimatikan
sebelum mendarat;
• Pasien yang tergantung pada ventilator harus menanyakan
kepada maskapai penerbangan tentang persyaratan yang
1. Asma
Bagi sebagian besar pasien dengan asma, lingkungan
penerbangan komersial seharusnya tidak menimbulkan
masalah. Kejadian medis dalam penerbangan yang dilaporkan
oleh maskapai penerbangan QANTAS pada tahun 1993
terdapat 454 kejadian medis yang bermakna, 9% di antaranya
infeksi saluran pernapasan atau asma.3 Laporan kejadian
medis pada pesawat komersial di AS ditemukan bahwa 10%
dari 362 kejadian disebabkan oleh asma, penyakit paru atau
sesak napas.4
2. PPOK
Data pada pasien dengan PPOK terbatas, dan pedoman yang
ada sebagian besar berisi saran empiris berdasarkan penelitian
yang relatif sedikit. Selain risiko hipoksemia, pasien dengan
PPOK berat dapat berisiko dari tingginya kadar
karboksihemoglobin akibat merokok. Bula emfisematosa
kemungkinan dapat mengalami ekspansi yang selanjutnya
dapat mengganggu fungsi paru.2
4. Pneumotoraks
Intervensi bedah membuat risiko kekambuhan pneumotoraks
dapat diabaikan. Pasien dapat terbang 6 minggu setelah
operasi dan resolusi pneumotoraks, tanpa adanya kontra
indikasi lainnya. Perlu penilaian medis yang cermat
sebelumnya. Terdapat golongan yang berisiko terjadi
kekambuhan setidaknya setahun setelah episode pertama.
Risiko paling besar terutama bagi mereka yang sudah
menderita menderita penyakit paru dan masih terus merokok.2
5. Operasi toraks
Volume gas di ruang udara akan meningkat 30% pada
ketinggian kabin 2438 m (8000 kaki). Komplikasi pasca operasi
seperti sepsis atau penurunan volume paru harus diobati
sebelum pasien menjalani perjalanan udara. Ada laporan sakit
kepala hebat dalam perjalanan pesawat terbang tujuh hari
setelah anestesi spinal, diduga karena perubahan tekanan
kabin yang menyebabkan kebocoran dural.6 Pasien pasca
operasi mengalami peningkatan konsumsi oksigen karena
trauma bedah, kemungkinan sepsis dan peningkatan dorongan
adrenergik. Pengiriman oksigen dapat berkurang pada pasien
berusia lanjut, hipovolemi, anemia atau yang memiliki penyakit
kardiopulmoner.7
Daftar Pustaka
1. Medical Guidelines for Airline Travel, 2nd ed. Aerospace
Medical Association, Medical Guideline. Task Force,
Alexandria, VA
2. British Thoracic Society Standards of Care Committee.
Managing passengers with respiratory disease planning air
Adji Suwandono
ABSTRAK
Di Indonesia, kesadaran tentang upaya peningkatan
pelayanan kesehatan mulai timbul di masyarakat, terutama sejak
diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini perlu
diimbangi dengan peningkatan pengetahuan kode etik kedokteran,
tidak hanya sebagai slogan, akan tetapi berkaitan dengan
implementasinya.
Setiap dokter di Indonesia memiliki pedoman dalam
melaksanakan praktik kedokterannya dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI). Kode Etik Kedokteran berdasarkan pada
kaidah dasar bioetika, antara lain berbuat baik (beneficence), tidak
merugikan (non maleficence), menghargai otonomi pasien
(autonomy), dan berlaku adil (justice). Peningkatan pelayanan
kesehatan diharapkan dapat dilakukan dengan berpedoman kode
etik kedokteran yang memegang prinsip bioetika non maleficence.
Keberadaan dan tindakan dokter pada fasilitas pelayanan
kesehatan selalu memiliki berbagai dinamika yang berkembang
dari waktu ke waktu. Fasilitas kesehatan yang tersebar dan terdiri
dari tiga hierarki, dari faskes primer, faskes sekunder bahkan
faskes tersier harus melaksanakan semua kaidah dasar bioetika
tersebut disamping juga banyak sekali kaidah klinis yang sudah
dilaksanakan.
Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan
promotif, pelayanan kesehatan preventif, pelayanan kesehatan
kuratif dan pelayanan kesehatan rehabilitatif.
Kata Kunci : Jaminan Kesehatan Nasional, kode etik kedokteran,
pelayanan kesehatan.
PENDAHULUAN
Setiap jenis tenaga kesehatan memiliki kode etik masing-
masing tak terkecuali dokter. Setiap dokter di Indonesia sudah
memiliki pedoman dalam melaksanakan praktik kedokterannya
seperti halnya yang sudah tercantum dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI). Kode Etik Kedokteran berdasarkan pada
kaidah dasar bioetika, antara lain berbuat baik (beneficence), tidak
merugikan (non maleficence), menghargai otonomi pasien
(autonomy), dan berlaku adil (justice) (IDI, 2012).
STUDI PUSTAKA
ETIKA
Dalam bahasa Yunani Ethos, etika diartikan sebagai
karakter, watak kesusilaan atau adat. Refleksi dari self control
karena berkaitan dengan baik atau buruk, benar atau salah suatu
tindakan disebut etika. Etika dibangun oleh kepentingan individu
atau kelompok profesi itu sendiri. Menurut Robert Salomon, etika
merupakan karakter seorang individu dimana orang yang beretika
termasuk orang baik. Etika merupakan hukum sosial dimana
sifatnya mengikat, mengatur, serta membatasi perilaku individu.
Individu yang beretika dan memahami norma yang berlaku di
kehidupan tidak akan melakukan hal buruk yang bertentangan
dengan etika. Etika merupakan ilmu dengan sudut pandang
PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah hasil proses mencari tahu manusia
setelah melakukan penginderaan terhadap objek tertentu yaitu
melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Indera penglihatan dan pendengaran yang paling banyak
digunakan. Pengetahuan juga diartikan sebagai hasil proses
ingatan manusia terhadap suatu objek yang diamati baik
mengingat secara sengaja maupun tidak sengaja. Pengetahuan
dapat dijadikan landasaran pedoman dalam mengambil sikap
A. Sumber Pengetahuan
Menurut Suhartono (2008) dan Slamet (2010),
pengetahuan dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu :
1) Kepercayaan berdasarkan tradisi, adat, dan agama
Norma-norma dan kaidah yang berlaku di kehidupan
sehari-hari mengandung pengetahuan yang
kebenarannya belum dapat terbukti secara rasional
dan empiris tetapi hal tersebut sulit dikritik dan diubah
karena sudah terlaksana turun temurun.
2) Pengetahuan berdasarkan pada otoritas kesaksian
orang lain.
SIKAP
Tindakan batiniah terkait merespon suatu objek yang akan
menentukan tingkah laku dari seseorang disebut sikap. Banyak
faktor yang mempengaruhi sikap seseorang yaitu perbedaan
dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, perasaan maupun
kondisi lingkungan. Seseorang akan bersikap positif apabila
stimulus yang diberikan merupakan suatu pengalaman yang
menyenangkan bagi seseorang tersebut. Bila stimulus berupa
pengalaman yang tidak menyenangkan demikianlah akan
terbentuk sikap negatif. Wujud dari sikap tidak dapat langsung
dilihat sehingga dapat diartikan sikap adalah tingkah laku yang
masih tertutup.
Komponen sikap meliputi kognitif, afektif dan kecenderungan
bertindak. Komponen kognitif berhubungan dengan penilaian
individu terhadap suatu objek atau subjek. Informasi yang
diperoleh akan diolah melalui tahap analisis, sintesis dan evaluasi
sehingga menghasilkan nilai baru yang akan di baur dengan
A. Pembentukan Sikap
Pola sikap dari individu terhadap objek psikologis yang
dihadapinya dapat menggunakan interaksi sosial. Menurut
Azwar (2013), interaksi sosial merupakan hubungan timbal
balik dan saling mempengaruhi perilaku antar individu satu
dengan yang lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap yaitu:
1) Pengalaman pribadi
Kejadian yang dialami seseorang akan membentuk
dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap
stimulus sosial sehingga menciptakan tanggapan yang
merupakan salah satu dasar terbentuknya sikap.
2) Pengaruh orang yang dianggap penting
Komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap
individu adalah orang yang berada di sekitarnya yang
dianggap penting seperti orang tua, orang yang status
sosialnya tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru dan
sebagainya.
3) Kebudayaan
Kebudayaan tanpa disadari telah mengarahkan sikap
dan perilaku individu dengan penguatan dari
masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut.
4) Media massa
Media massa dapat memberikan informasi baru serta
sugesti sehingga mengarahkan pembentukan opini
dan kepercayaan individu tersebut.
5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama
mengajarkan pemahaman baik dan buruk serta
mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan, sehingga membentuk
kepercayaan individu dan mempengaruhi dalam
menentukan sikap.
6) Emosi
B. Tingkatan Sikap
Sikap memiliki tingkatan yakni:
1) Menerima (receiving)
Stimulus yang diberikan diperhatikan oleh individu.
2) Merespon (responding)
Memberi reaksi dari stimulus seperti dengan menjawab
bila ditanya atau menyelesaikan tugas yang diberikan
yang merupakan suatu indikasi sikap.
3) Menghargai (valuing)
Indikasi sikap tingkat tiga yaitu dengan mengajak
orang lain mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab
dengan pilihan yang telah dipilih dengan segala
resikonya.
(Subagio, 2015)
C. Ciri-ciri Sikap
Menurut Purwanto (2013), ciri-ciri yang dimiliki oleh
sikap sebagai berikut :
1) Sikap dapat dibentuk, dipelajari, dan bukan bawaan
dari lahir.
2) Sikap tidak bersifat tetap. Sikap dapat berubah-ubah
dalam keadaan tertentu.
3) Sikap tidak dapat berdiri sendiri berhubungan dengan
suatu objek.
4) Objek dari sikap berupa suatu hal tertentu maupun
kumpulan dari hal-hal tersebut.
PELAYANAN KESEHATAN
Menurut UU nomor 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 7 tentang
kesehatan yang berbunyi, “Fasilitas pelayanan kesehatan adalah
suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”. Upaya
pelayanan kesehatan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Terdapat 4
bentuk upaya pelayanan kesehatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan promotif
Suatu atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
lebih mengutamakan kegiatan promosi kesehatan.
2) Pelayanan kesehatan preventif
Suatu kegiatan pelayanan kesehatan yang berfungsi untuk
mencegah suatu masalah kesehatan/penyakit.
3) Pelayanan kesehatan kuratif
Suatu atau serangkaian kegiatan pengobatan untuk
penyembuhan penyakit, mengurangi kesakitan,
pengendalian penyakit dan kecacatan supaya kualitas hidup
pasien dapat terjaga optimal.
4) Pelayanan kesehatan rehabilitatif
Suatu atau serangkaian kegiatan yang bertujuan
mengembalikan fungsi dan peran bekas penderita ke
masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
A. Keselamatan Pasien
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”,
bunyi UU nomor 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 2 tentang
kesehatan. Hal tersebut selaras dengan bunyi UU nomor 44
tahun 2009 pasal 3 tentang rumah sakit, “Pengaturan
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S., 2013. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. 2 ed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hanafiah, M. J. & Amir, A., 2009. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. 4 ed. Jakarta: EGC.
IDI, P. B., 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI.
Laura, B., Beauchamp, T. & Childress, J., 2016. Principles -
Respect, Justice, Nonmaleficence, Beneficence. Kennedy
Institute of Ethics, p. 21.
Notoatmodjo, S., 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Purwanto, H., 2013. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Putri, R. A., Herman, R. B. & Yulistini, 2015. Gambaran Penerapan
Kode Etik Kedokteran Indonesia pada Dokter Umum di
Puskesmas di Kota Padang. Jurnal FK UNAND, 4(2).
Rosihan, A., 2014. Etika dan Komunikasi Dokter, Pasien dan
Mahasiswa. Banjarmasin: PT. Grafika Wangi Kalimantan.
Setyawan, D. A., 2013. Etika dan Kode Etik Penelitian. Jurnal
Poltekes Kemenkes Surakarta, p. 9.
Slamet, 2010. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Subagio, A., 2015. Konsep Sikap.