Anda di halaman 1dari 5

REFLEKSI

Nama : Stefanus Prasetyo


NIM : 201817041

Pada saat pertama sampai di RS dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) bogor, saya merasa
senang, karena sejujurnya berkomunikasi dengan orang yang memiliki gangguan jiwa itu cukup
mengasikan, dimana saya akan menemukan hal-hal unik dan pembelajaran yang baru. Selama
berkuliah di STIK Sint Carolus ini adalah praktek kedua ditempat yang berbeda pada saat lab lap
dan pada saat profesi, ada timbul rasa tegang karna harus beradaptasi dengan lingkungan yang ada.
Ketika orientasi atau penyambutan mahasiswa di RSMM ini ada sekitar 150peserta praktik yang
akan berproses selama 2 minggu dan 1 bulan, saya berpikir bahwa akan sulit ketika praktik dengan
mahasiwa yang banyak di satu ruangan. Setelah melakukan orientasi, saya menemui beberapa
klien dan melakukan pendekatan, akan tetapi dari beberapa klien yang saya temui saya tertarik
untuk mengetahui lebih dalam lagi dan mengkaji klien. Kesempatan ini yang saya pergunakan
untuk berkomunikasi dan mulai bercerita-cerita tentang masalah diri nya. Tampak Tn. P merasa
senang dan terbuka pada perawat sehingga perawat lebih intens melakukan komunikasi denga
Tn.P. Komunikasi merupakan kegiatan penyampaian pesan yang tidak akan pernah lepas dari
kehidupan manusia. Untuk mendapatkan hubungan yang baik itu maka kita tidak boleh melupakan
unsur-unsur dalam berkomunikasi ( Fidya, 2014). Komunikasi sangatlah penting bagi seorang
perawat untuk melakukan perannya, karena peran perawat sangat penting.
Saya dibagi tempat dinas di ruangan sadewa, sebelumnya saya belum punya gambaran
kasus apa yang banyak disana, ruangan kelas berapa, dan jenis kelamin yang ada di ruangan
sadewa apakah gabung ataukah hanya laki-laki saja. Bertempat di ruang sadewa RSMM saya
mengira bahwa klien yang ada di ruangan itu merupakan gabungan perempuan dan laki-laki, tetapi
hanya klien laki-laki dan dari data yang saya temui di ruangan sadewa bahwa sebanyak 19,64%
klien dengan perilaku kekerasan, dari sini saya tertarik untuk mengambil kasus dengan core
problem perilaku kekerasan. Saya mengambil klien kelolaan Tn.P saat mengambil kasus tersebut
saya masih sedikit takut untuk menjalin komunikasi kepada klien dengan perilaku kekerasan
apalagi klien yang saya kelola laki-laki.
Ketika melakukan komunikasi dengan klien lain saya juga menemukan beberapa klien
dengan resiko perilaku kekerasan banyak klien yang memiliki riwayat perilaku kekerasan di
ruangan sadewa. Hal ini di tegaskan melalui jurnal yang ditulis Keliat, Mustikasari dan Panjaitan
(2003), RSJP Bogor adalah 16 orang perempuan dan 32 orang laki-laki. Sedangkan di RSJP
Jakarta adalah 7 orang perempuan dan 13 orang laki-laki. Maka dari kesimpulan tersebut laki-laki
sangat bersesiko perilaku kekerasan dibandingkan perempuan.
Di dapatkan klien dengan kasus perilaku kekerasan, saya memilih Tn. P karena selama
berkomunikasi Tn. P sangat koperatif tetapi ada sifat-sifat yang sangat terlihat seperti tampak
mondar-mandir, tatapan mata tajam saat berkomunikasi, dan klien menceritakan masalahnya tanpa
rasa bersalah, hal berikut berkaitan dengan teori perilaku kekerasan menurut Nita Fitria (2012).
Selama kurang lebih 4 minggu praktik di RSMM, saya menemukan berbagai core problem resiko
perilaku kekerasan yang sebelumnya perilaku kekerasan karna telah melukai orang tuanya. Pada
klien yang saya jumpai, sebagian besar faktor presipitasi klien dengan perilaku kekerasan yang di
alami karena klien mengkonsumsi obat-obatan atau penyalahgunaan narkoba seperti yang di
jelaskan pada jurnal. Pelaku mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi (Keliat &
Pawirowiyono, 2016).
Bentuk tindakan yang dilakukan pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) antara lain
mengungkapkan rasa amarahnya ke seseorang, klien yang saya kelola memiliki tindakan
kekerasan seperti jahil ke pada klien lain. ODGJ dengan perilaku kekerasan cenderung melukai
seseorang dengan tujuan kepuasan diri sendiri dan ungkapan kekesalannya. Hal ini berkaitan
dengan perilaku kekerasan yang merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologi (Keliat & Pawirowiyono, 2016). Pengamatan klien ODGJ
selain ODGJ kelolaan saya mengamati bahwa terdapat klien yang memiliki fase ke perilaku
kekerasan ada yang tidak memiliki riwayat perilaku kekerasan menjadi perilaku kekerasan, hal
tersebut seiring dengan rentang respon yang semakin hari semakin agresif , dari pasif menjadi
agresif dan melakukan tindakan keperawatan. Bentuk rentang respon perilaku kekerasan yaitu
respon adaptif hingga respon maladaptif. Respon adaptif adalah respon normal klien yang masih
terkontrol terhadap suatu masalah, sedangkan respon maladaptif adalah respon klien yang
berlebihan atau tidak normal terhadap suatu masalah (Yulsar, 2017).
Pengamatan perilaku kekerasan Tn.P ini setiap hari telah di intervensi mengenai masalah
keperawatannya baik SP 1 hingga SP 5 dengan harapan klien dapat mengontrol rasa marah melalui
hal-hal yang positif dan tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain. Tindakan keperawatan
yang dilakukan dengan klien perilaku kekerasan adalah terapi farmakologi dan non-farmakologi,
klien diberikan obat penenang mengurangi perilaku agresif dan disruptif yang membahayakan
klien maupun orang lain. Cara yang lain yang bisa di lakukan adalah dengan melakukan terapi
aktivitas supportif, dari jadwal kegiatan yang klien lakukan klien memiliki kegiatan rutin di
rehabilitas kegiatan tersebut meliputi, bercocok tanam, geraba, senam otak, dan kerajinan tangan
sehingga kegiatan tersebut dapat berguna untuk mengurangi perilaku kekerasan.
Tindakan keperawatan spesialis diberikan kepada pasien yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan beraktivitas positif. Terapi ini merupakan metode yang didasarkan
prinsip-prinsip sosial dan menggunakan teknik perilaku bermain peran, praktek dan umpan balik
guna meningkatkan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah (Kneisl, 2004 &
Varcarolis, 2006 dalam Wakhid 2013). Sehingga saya dan teman-teman melakukan terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS) untuk meningkatkan aktivitas yang memperlihatkan cara
mengontrol emosi dengan tindakan positif. Terdapat 42 klien dengan perilaku kekerasan yang
sesuai dengan kriteria inklusi, klien yang mengalami tingkat kemarahan sedang berdasarkan hasil
screening emosi marah dan klien yang sudah mendapatkan TAK stimulasi persepsi perilaku
kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kemampuan klien
mengatasi perilaku kekerasan sebelum dan sesudah diberikan terapi kelompok suportif. (Hidayati,
2012)
Menurut saya pribadi, masalah utamanya dalam melakukan hal diatas adalah melakukan
komunikasi. Walaupun sudah pernah praktik keperawatan jiwa di panti sosial selama seminggu
tetapi masih menjadi kecemasan untuk bertemu para pasien dan ini termasuk stressor untuk saya
sendiri selama praktik serta harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta perawat ruangan
yang tampaknya tidak suka dengan kinerja kami dalam membantu para pasien di ruangan praktik.
Hal yang paling saya cemaskan adalah ketika berkomunikasi dengan para pasien dimana saya
bingung menanggapi jawaban pasien yang menjawab diluar pertanyaan dan menghadapi saat
mereka blocking. Namun, saya berusaha untuk mempersiapkan dan memberanikan diri saat
bertemu para pasien, tentunya berbincang dengan jarak yang dekat dengan mereka sambil terus
membina trust dan terus menggali masalah yang terjadi pada mereka. Walaupun terkadang sering
mengalami kejadian ditinggal pasien karena pasien bosan atau merasa mengantuk.

Sebagai seorang perawat, saat mengahadapi pasien, saya harus tetap menggunakan teknik-
teknik komunikasi terapeutik. Walaupun ini merupakan hal kecil, tetapi dapat mempengaruhi
dalam pemberian asuhan keperawatan jiwa. Saat menemukan kejadian ada perawat yang tidak
menggunakan teknik komunikasi yang terapeutik, tentunya membuat saya jadi prihatin dengan
fenomena ini.
Komunikasi terapeutik dalam menghadapi klien tetap harus dilakukan karena kita adalah
perawat yaitu petugas kesehatan. Menurut saya selama praktik stase jiwa ini senjata dalam
menghadapi masalah keperawatan adalah dengan komunikasi terapeutik dan analisa berpikir kritis
sebagai petugas kesehatan apalagi dengan jumlah perawat yang terbatas dengan tugas
dokumentasi yang banyak pula ditambah dengan jumlah pasien yang banyak menjadi kurang
efektif dalam menangani pasien, sehingga itulah menjadi tanggung jawab kami sebagai praktikan
yang harus memperhatikan pasien-pasien lainnya. Setelah saya mengamati selama hampir 4
minggu, saya akhirnya berusaha untuk memahami. Ternyata, kondisi di ruangan para perawat dan
petugas harus bersikap sangat tegas agar para pasien mau menuruti mereka. Hal ini dilakukan
untuk menjaga keamanan baik dari pihak petugas maupun pasien sendiri.
Para pasien tersebut akan lebih terbuka untuk menceritakan apa dan perasaan yang
dirasakan jika kita menggunakan kalimat-kalimat yang tepat saat berkomunikasi. Apabila kita
sendiri tidak memperlihatkan sikap terbuka, maka mereka juga tidak akan mau bercerita dengan
kita, tentunya didukung oleh lingkungan yang kondusif juga seperti saat saya melakukan ujian SP
dimana pasien merasa bingung karena mendengar berbagai suara dari sekitarnya sehingga
membuat pasien blocking.
Bagi saya, melakukan komunikasi terapeutik merupakan hal yang sulit. Kebiasaan dan
budaya yang keras dilingkungan tempat tinggal dengan bahasa sehari – hari yang tergolong kurang
teraupetik. Sehingga diperlukan latihan terus-menerus untuk mengasah kemampuan dalam
berkomunikasi terapeutik. Melalui komunikasi kita kepada pasien diharapkan dalam membantu
dalam proses penyembuhan pasien. Kesempatan berpraktik di sini membuat saya harus lebih
bersyukur dan berguna untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang saya jumpai setiap hari
di bangsal. Memposisikan diri menjadi mereka dan keluarga mereka membuat saya merasakan
bagaimana rasanya apabila kita diperlakukan atau di ajak berbicara dalam kondisi sakit tetapi
dengan komunikasi yang tidak teraupetik. Saya bersyukur, karena saya memiliki kesempatan ini
dibandingkan denngan para pasien disini dan tidak berarti saya mengasihani mereka, tetapi saya
lebih ingin menolong mereka.
Hidayati, E. (2012). Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku
Kekerasan Pada Klien Skizofrenia. Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan Semarang, 1.

Keliat, B. A., & Pawirowiyono, A. (2016). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC.

Yulsar, F. H. (2017). Upaya Penurunan Resiko Perilaku Kekerasan Dengan Melatih Asertif Secara
Verbal. eprints.ums, 4.

Stuart. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Jakarta: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai