Anda di halaman 1dari 14

KOMUNIKASI TERAPEUTIK, TAHAPAN

KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT-PASIEN DAN


STRATEGI PELAKSANAAN KOMUNIKASI
PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

Disusun Oleh:
IMAN BUDIMAN
NIM. 191FK09045

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BAHKTI KENCANA
TASIKMALYA 2020
Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Jiwa

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto,1994). Teknik komunikasi
terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi
penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk
mempengaruhi orang lain (Stuart & sundeen,1995).
Adapun tujuan komunikasi terapeutik adalah:
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal
yang diperlukan;
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya;
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan mengajarkan kerja sama antara
perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Perawat berusaha mengungkap
perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan
dalam perawatan (Purwanto, 1994).
Prinsip-prinsip komunikasi adalah:
1. Klien harus merupakan fokus utama dari interaksi
2. Tingkah laku professional mengatur hubungan terapeutik
3. Membuka diri dapat digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan
terapeutik
4. Hubungan sosial dengan klien harus dihindari
5. Kerahasiaan klien harus dijaga
6. Kompetensi intelektual harus dikaji untuk menentukan pemahaman
7. Implementasi intervensi berdasarkan teori
8. Memelihara interaksi yang tidak menilai, dan hindari membuat penilaian tentang tingkah
laku klien dan memberi nasihat
9. Beri petunjuk klien untuk menginterprestasikan kembali pengalamannya secara rasional
10. Telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan hindari perubahan
subyek/topik jika perubahan isi topik tidak merupakan sesuatu yang sangat menarik klien.
Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus, ada
beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan gangguan
akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :
1. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan
penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien dengan perubahan
fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita
penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa saja
jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.
Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan
tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus
terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja
kacau balau. Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :
1. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama –
sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri
penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau
berhubungan dll.
4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus direduksi
atau ditenangkan dengan obat – obatan sebelum kita support dengan terapi – terapi lain,
jika pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan pasien lain bisa menjadi korban.
Kesehatan jiwa sering berpijak pada beberapa komponen, beberapa komponen tersebut
adalah:
1. Support system : dukungan dari orang lain atau keluarga membantu seseorang bertahan
terhadap tekanan kehidupan, stresor yang menyerang seseorang akan melumpuhkan
ketahanan psikologisnya, dengan dukungan dari sahabat, orang-orang terdekat, suami,
istri, orang tua maka seseorang menjadi lebih kuat dalam menghadapi stressor.
2. Mekanisme Koping : bagaimana cara seseorang berespon terhadap stressor menjadi satu
ciri khas bagi setiap individu, jika responnya adaptif maka hasilnya tentu perlaku positif,
jika responnya negatif hasilnya adalah perilaku negatif.
3. Harga Diri : jika dia merasa lebih baik dari orang lain maka akan menjadi sombong, jika
dia merasa orang lain lebih baik dari dia maka dia akan mengalami Harga Diri Rendah.
4. Ideal Diri : Bagaimana cara seseorang melihat dirinya, bagaimana dia seharusnya : " saya
hanya akan menikah dengan seorang wanita anak pengusaha" comment tersebut adalah
ideal diri tinggi, " saya hanya lulusan SD, menjadi buruh saja saya sudah maksimal"
comment ini adalah ideal diri rendah.
5. Gambaran Diri : apakah seseorang menerima dirinya beserta semua kelebihan dan
kekurangan, meski cantik dia menerima kecantikannya tersebut satu paket dengan
keburukan lain yang menyertai kecantikan tersebut.
6. Tumbuh Kembang : Jika seseorang tidak pernah mengalami trauma maka dewasa dia tidak
akan mengalami memori masa lalu yang kelam atau yang buruk.
7. Pola Asuh : kesalahan mengasuh orang tua memicu perubahan dalam psikologis anak.
8. Genetika : Schizofrenia bisa secara genetis menurun ke anak, bahkan pada saudara kembar
peluang nya 50 %.
9. Lingkungan : Lingkungan yang buruk menjadi salah satu faktor pendukung munculnya
gangguan jiwa.
10. Penyalahgunaan Zat : penyalahgunaan zat memicu depresi susunan saraf pusat, perubahan
pada neurotransmitter sehingga terjadi perubahan pada fungsi neurologis yang berfungsi
mengatur emosi.
11. Perawatan Diri : jika seseorang tidak pernah mendapatkan perawatan, ex : lansia maka dia
akan mengalami suatu perasaan tidak berguna jika perasaan ini berlangsung lama bisa
memicu gangguan jiwa.
12. Kesehatan Fisik : gangguan pada sistem saraf mampu merubah fungsi neurologis, dampak
jangka panjangnya jika yang terkena adalah pusat pengaturan emosi akan memicu
gangguan jiwa.
Seharusnya ada banyak faktor yang memicu gangguan jiwa, jika semua faktor bisa
direduksi dan di minimalisir maka ke depan jumlah penderita gangguan jiwa dapat ditekan
sekecil mungkin.
Tahapan Komunikasi Terapeutik Perawat-Pasien

Komunikasi merupakan hal yang dilakukan oleh tiap individu. Melalui komunikasi,
seseorang akan dapat mengerti, mengetahui, dan memahami sesuatu atau orang lain. Menurut
Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni (2007) fungsi komunikasi adalah untuk pertukaran
informasi dan memengaruhi orang lain. Pada dunia kesehatan, komunikasi yang diterapkan oleh
tenaga kesehatan khususnya perawat dengan pasien adalah komunikasi terapeutik. Melalui
komunikasi terapeutik, diharapakan perawat akan dapat lebih mengetahui kebutuhan pasien yang
menunjang proses penyembuhannya. LTM ini akan menguraikan tentang komunikasi terapeutik
yang berfokus kepada tahapannya.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi inter-personal antara perawat dengan
pasien yang berfokus kepada kebutuhan pasien agar tercapai pertukaran informasi yang efektif
untuk menunjang proses pemulihan (Videbeck, 2008). Tujuan dari komunikasi terapeutik dapat
dicapai melalui eksplorasi berbagai aspek pengalaman hidup pasien (Stuart, 2013). Hal yang
perlu diperhatikan pada komunikasi terapeutik adalah sikap dan kemampuan perawat dalam
melakukan komunikasi inter-personal. Menurut Potter & Perry (2013) untuk melalukan
komunikasi inter-personal, diperlukan kemampuan mengambil inisiatif, memberikan respon
yang tepat, membangun kepercayaan antara perawat- pasien, dan menghargai setiap karakter
individu.
Penerapan komunikasi terapeutik pada individu dilakukan dalam 4 tahap. Menurut Stuart
(2013) tahap komunikasi terapeutik antara lain:
1. Tahap pra-interaksi
Pada tahap ini, perawat berfokus kepada eksplorasi kemampuan diri sendiri. Tahap ini terjadi
sebelum perawat melakukan komunikasi dengan pasien. Hal yang perlu dilakukan pada tahap
pra-interaksi antara lain:
a. Evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri seperti:
a) Apakah saya memandang individu secara stereotip?
b) Bagaimana pengalaman interaksi saya dengan pasien?
c) Bagaimana saya menghadapi pasien yang sedang marah, sedih, dan kecewa?
d) Bagaimana respon saya selanjutnya jika menghadapi pasien yang diam dan menolak
berbicara?
b. Mengumpulkan data pasien untuk menemukan berbagai informasi seperti kondisi
maupun perkembangannya.
c. Rencana interaksi pertama dengan pasien. Pada tahap ini perawat perlu mempersiapkan
rencana percakapan, teknik komunikasi, dan teknik observasi selama percakapan
berlangsung (Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni, 2007).
2. Tahap perkenalan atau orientasi
Tahap ini merupakan pertemuan pertama perawat dengan pasien. Pada tahap ini perawat perlu
menemukan hal yang menjadi permasalahan pasien. Perawat juga berusaha membangun
hubungan baik agar tercipta rasa saling percaya. Menurut Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni
(2007), hal yang dilakukan pada tahap perkenalan atau orientasi adalah memperkenalkan diri,
mengevaluasi kondisi pasien, dan menyepakati kontrak mengenai topik yang dibicarakan,
tempat, waktu, dan tujuan.
3. Tahap kerja
Pada tahap ini perawat membantu mengatasi kecemasan yang ada dalam diri pasien dengan
memberikan mekanisme koping. Selain itu, perawat juga memberikan edukasi kepada pasien
dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan.
4. Tahap terminasi
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam komunikasi terapeutik. pada tahap ini perawat
mengevaluasi pencapaian tujuan secara objektif, dan evaluasi terhadap hasil tindakan yang telah
dilakukan. Menurut Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni (2007) terminasi terbagi menjadi 2
yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Pada terminasi sementara, perawat akan bertemu
lagi dengan pasien pada waktu yang telah disepakati dengan membuat rencana tidak lanjut dan
kontrak waktu. Namun, pada terminasi akhir, perawat dan pasien tidak menentukan kembali
waktu pertemuan karena pasien telah mampu menyelesaikan masalahnya.
Komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat terhadap pasien sangat menunjang proses
penyembuhan atau pemulihan pasien. Hal ini dikarenakan pada komunikasi terapeutik, perawat
dapat mengetahui segala keluhan pasien dan perawat juga mengedukasi pasien untuk
menghadapi keluhan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai proses
komunikasi terapeutik untuk dapat menerapkan hal tersebut dengan baik. Sehingga, tujuan yang
akan di capai oleh perawat dan pasien dapat terwujud.
Strategi Pelaksana Komunikasi Terapeutik pada Pasien Halusinasi

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
a) Data Subjektif (DS)
1) Klien mengatakan mendengar suara dan bisikan
2) Bisikan-bisakan yang menyuruh klien untuk menusuk mata anak
b) Data Objektif (DO)
1) Klien ngomel-ngomel sendiri
2) Klien senyum-senyum sendiri
3) Gelisah
2. Diagnosa keperawatan
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Tujuan Khusus
a) Menumbuhkan hubungan saling percaya antara perawat-klien
b) Mendiskusikan waktu, frekuensi, dan kondisi yang menjadi pemicu klien
berhalusinasi
c) Mendiskusikan respon klien terhadap halusinasi yang muncul
d) Mengajarkan klien mengatasi dan menghilangkan halusinasinya
4. Tindakan keperawatan
a) Menumbuhkan hubungan saling percaya antara perawat-klien
b) Hubungan saling percaya dapat ditumbuhkan melalui komunikasi terapeutik
c) Mendiskusikan waktu, frekuensi, dan kondisi yang menjadi pemicu klien
berhalusinasi
d) Melalui sikap dan teknik komunikasi yang tepat yaitu menunjukkan sikap kepedulian
perawat terhadap klien dan mengajukan pertanyaan secara perlahan
e) Mendiskusikan respon klien terhadap halusinasi yang muncul
f) Menanyakan kepada klien bagaimana perasaan dan apa yang dilakukannya ketika
halusinasinya muncul
g) Mengajarkan klien mengatasi dan menghilangkan halusinasinya Mengajarkan klien
untuk mengenali halusinasi dan mengontrol halusinasi tersebut
B. Strategi Komunikasi dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan SP
Prolog
Disebuah Puskesmas terdapat pasien gangguan jiwa bernama nyonya L.I, berobat jalan ke
PUSKESMAS karena dirumah suka melamun, menyendiri dan kadang-kadang sering
mendengar suara bisikan-bisikan menyuruh menusuk mata anak.. Keluarga berusaha mengajak
klien berbicara serta memberikan perhatian lebih.

SP 1
1. Salam terapeutik
“Assalamualaikum, selamat pagi Ibu perkenalkan nama saya Iman. Kalau nama Ibu siapa?
Ibu senang dipanggil dengan sapaan apa?”
2. Evaluasi
“Bagaimana kondisi ibu hari ini? Apakah ibu merasa baik-baik saja?”
3. Kontrak topik, waktu, dan tempat
“Ibu, hari ini kita akan berbincang mengenai permasalahan yang Ibu alami seperti rasa
cemas dan ketakutan yang Ibu rasakan saat ini, hanya sekitar 10 menit. Ibu nyaman kalau
kita berbincang di sini? Atau hendak pindah ke tempat lain?”
4. Tujuan
“Tujuan kita mengobrol di sini agar kita dapat menghadapi masalah yang sedang Ibu
alami”
5. Fase Kerja
a. “Saya sering melihat ibu ngomel-ngomel sendiri dan gelisah, apa yang Ibu dengar?”
b. “Ibu mendengar suara itu berapa kali dalam sehari?”
c. “Pada saat apa Ibu mendengar suara itu?”
d. “Saat mendengar suara itu, apa yang Ibu rasakan?”
e. “Lalu apa yang Ibu lakukan untuk mengatasi bayangan itu?”
f. “Apakah cara yang Ibu lakukan dapat berhasil untuk menghilangkan suara itu?”
g. “Apakah Ibu ingin tahu cara mengatasai suara itu? Mari saya ajarkan caranya”
h. “Saya akan mengajarkan agar Ibu dapat menghilangkan suara itu, suara-suara yang
ibu dengar itu disebut halusinasi. Ada 4 cara untuk mengontrol halusinasi yang Ibu
alamai. Pertama; menghardik suara-suara itu. Kedua; bercakap-cakap dengan orang-
orang. Ketiga; melakukan kegiatan dan yang terakhir minum obat secara teratur”
i. “Saya mulai dengan cara pertama yaitu menghardik. Jika ibu mendengar suara itu,
tutup kedua telinga Ibu lalu katakan saja “Pergi kamu! Kamu palsu dan saya tidak
dengar!” diulangi terus sampai suara itu hilang”
j. “Jika Ibu mendengar itu lagi, ibu bisa lakukan apa yang saya ajarkan”
6. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah berbincang dengan saya? Apakah merasa lebih
baik?”

b. Evaluasi Objektif
“Apakah Ibu dapat mengulang apa yang sudah saya ajarkan untuk mengusir suara-
suara yang ibu dengar?”
“wah hebat sekali ibu dapat melakukan apa yang saya jelaskan”
c. Rencana tindak lanjut
“Ibu, sekian dulu perbincangan kita untuk hari ini. Ingat ya lakukan apa yang tadi Ibu
praktikkan kalau ibu mendengar suara itu lagi. Untuk selanjutkan, bagaimana kalau
kita membuat jadwal latihannya? Untuk mepelajari cara selanjutnya untuk mengontrol
halusinasi ibu. Mau jam berapa Ibu latihannya?”
d. Kontrak yang akan datang
“Baik Ibu, besok saya akan mengunjungi ibu lagi untuk melatih Ibu lagi mengatasi
suara itu. Saya akan datang jam 11, kalau di tempat ini lagi bagaimana Ibu? Oke baik
besok kita bertemu di sini lagi ya Ibu. Sampai bertemu esok hari”
SP 2
1. Salam terapeutik
“Assalamualaikum, selamat pagi Ibu, masih ingat dengan saya?”
2. Evaluasi
“Bagaimana kondisi ibu hari ini? Apakah ibu masih mendengar suara-suara itu?”
3. Kontrak topik, waktu, dan tempat
“Ibu, hari ini kita akan melanjutkan cara mengontrol halusinasi suara yang ibu dengar,
hanya sekitar 10 menit. Ibu nyaman kalau kita berbincang di sini? Atau hendak pindah ke
tempat lain?”
4. Tujuan
“Tujuan kita kali ini untuk mengatasi atau mengontrol halusinasi suara-suara yang masih
sering mucul”
5. Fase Kerja
a. “Ketika ibu mendengar suara-suara itu lagi, apakah ibu memperaktikan apa yang saya
ajarkan sebelumnya?”
b. “Apabila ibu masih kadang-kadang mendengar suara-suara itu, ibu dapat melakukan
cara selanjutnya, yaitu ibu cari teman untuk mengobrol atau berbincang-bincang,
tujuannya untuk menghilangkan suara-suara tersebut”
6. Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan ibu sekarang setelah berbincang dengan saya? Apakah merasa
lebih baik?”
b. Evaluasi Objektif
“Apakah Ibu dapat mengulang apa yang sudah saya ajarkan untuk mengusir suara-
suara yang ibu dengar?”
“wah hebat sekali ibu dapat melakukan apa yang saya jelaskan”
c. Rencana tindak lanjut
“Ibu, sekian dulu perbincangan kita untuk hari ini. Ingat ya lakukan apa yang tadi Ibu
praktikkan kalau ibu mendengar suara itu lagi. Untuk selanjutnya, masih ada 2 cara
lagi ibu untuk mengotrol halusinasi untuk? Ibu maunya kapan?”
d. Kontrak yang akan datang
“Baik Ibu, besok saya akan mengunjungi ibu lagi untuk melatih Ibu lagi mengatasi
suara itu. Saya akan datang jam 11, kalau di tempat ini lagi bagaimana Ibu? Oke baik
besok kita bertemu di sini lagi ya Ibu. Sampai bertemu esok hari”

SP 3
1. Salam terapeutik
“Assalamualaikum, selamat pagi Ibu?”
2. Evaluasi
“Bagaimana kondisi ibu hari ini? Apakah ibu masih mendengar suara-suara itu?”
3. Kontrak topik, waktu, dan tempat
“Ibu, hari ini kita akan melanjutkan cara mengontrol halusinasi suara yang ibu dengar,
hanya sekitar 10 menit. Ibu nyaman kalau kita berbincang di sini? Atau hendak pindah ke
tempat lain?”
4. Tujuan
“Tujuan kita kali ini untuk mengatasi atau mengontrol halusinasi suara-suara yang masih
sering mucul”
5. Fase Kerja
a. “Ketika ibu mendengar suara-suara itu lagi, apakah ibu memperaktikan apa yang saya
ajarkan sebelumnya?”
b. “Apabila ibu masih kadang-kadang mendengar suara-suara itu, ibu dapat melakukan
cara selanjutnya, yaitu dengan membuat jadwal kegiatan”
c. “Disini saya sudah membawa contoh jadwal kegiatan dari mulai ibu bangun, ibu dapat
membuat jadwal kegiatan sesuai yang ibu inginkan”
6. Fase Terminasi
e. Evaluasi Subjektif
“Baiklah ibu, sudah mengerti apa yang saya jelaskan?”
“Bagaimana perasaan ibu sekarang, apakah senang?”
f. Evaluasi Objektif
“Apakah Ibu dapat mengulang apa yang sudah saya ajarkan untuk mengusir suara-
suara yang ibu dengar?”
“wah hebat sekali ibu dapat melakukan apa yang saya jelaskan”
g. Rencana tindak lanjut
“Ibu, sekian dulu perbincangan kita untuk hari ini. Ingat ya lakukan apa yang tadi Ibu
praktikkan kalau ibu mendengar suara itu lagi. Untuk selanjutnya, kita akan berbincang
tentang cara meminum obat? Ibu maunya kapan?”
h. Kontrak yang akan datang
“Baik Ibu nanti saya akan mengunjungi ibu lagi untuk melatih Ibu cara meminum
obat. Sampai bertemu lagi”
Daftar Pustaka

Keliat, B., Akemat., Helena, N., & Nurhaeni, H. (2007). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas
: Basic course. Jakarta : EGC
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2013). Fundamental of Nursing 8th Edition. Singapore: Elsevier.
Stuart, G. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing 10th edition. St. Louis: Mosby
Videbeck, S. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. (Terj. Ns. Pamilih Eko Karyuni). Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai