Anda di halaman 1dari 184

EFEK APLIKASI PASTA TRIANTIBIOTIK PADA PROSES

KESEMBUHAN PADA TAHAP PERAWATAN SALURAN AKAR


GIGI KASUS PERIODONTITIS APIKALIS KRONIS
TINJAUAN TERHADAP PROFIL BAKTERI, KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9
(MMP-9), TISSUE INHIBITOR MATRIX METALLOPROTEINASE-1 (TIMP1), DAN
EPIDERMAL GROWTH FACTOR (EGF)

Effect of Triantibiotic Paste Application on Healing Process


in the Course of Endodontic Treatment of Chronic Apical
Periodontitis
Evaluation of bacteria profile, levels of matrix metalloproteinase-9 (MMP-9), tissue inhibitor
of matrix metalloproteinase-1 (TIMP-1), and epidermal growth factor (EGF)

MARIA TANUMIHARDJA
PO200310009

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
EFEK APLIKASI PASTA TRIANTIBIOTIK PADA
PROSES KESEMBUHAN PADA TAHAP PERAWATAN
SALURAN AKAR GIGI KASUS PERIODONTITIS
APIKALIS KRONIS

(TINJAUAN TERHADAP PROFIL BAKTERI, KADAR MATRIX


METALLOPROTEINASE-9 (MMP-9), TISSUE INHIBITOR MATRIX
METALLOPROTEINASE-1 (TIMP1), DAN EPIDERMAL GROWTH
FACTOR (EGF)

DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi

Ilmu Kedokteran

Disusun dan diajukan oleh

Maria Tanumihardja

PO200310009

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2015

ii
Effect of Triantibiotic Paste Application on Healing
Process in the Course of Endodontic Treatment of
Chronic Apical Periodontitis

Evaluation of bacteria profile, levels of matrix metalloproteinase-9


(MMP-9), tissue inhibitor of matrix metalloproteinase-1 (TIMP-1),
and epidermal growth factor (EGF)

MARIA TANUMIHARDJA
PO200310009

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2015

iii
iv
DAFTAR TIM PENGUJI

Promotor : Prof. Dr. drg. Rasmidar Samad, MS

Ko Promotor : Prof. dr. Syarifuddin Wahid, Ph.D, Sp. PA (K)

: dr. Sitti Wahyuni, Ph.D

Anggota : Prof. Dr. drg. Latief Mooduto, MS, Sp. KG (K)

: Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc, Sp.GK (K)

: Dr. drg. Indrya Kirana Mattulada, MS

: DR. Med. Dent. Rehatta Yongki

: Dr. dr. Ilhamjaya Pattelongi, MS

v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Maria Tanumihardja

Nomor mahasiswa : PO200310009

Program Studi : S3 Kedokteran Program Pascasarjana UNHAS

Menyatakan bahwa disertasi yang saya tulis ini benar benar merupakan
hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 20 Januari 2015

Yang menyatakan,

Maria Tanumihardja

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala rahmat dan penyertaanNya dalam penyelesaian penulisan

disertasi ini.

Gagasan dari penelitian ini berdasarkan pengamatan dan

pengalaman penulis terhadap waktu perawatan saluran akar gigi infeksi

yang relatif lama. Disamping itu ada pemahaman yang kurang tepat

mengenai pasta triantibiotik berikut penggunaannya sehingga

menyebabkan kegagalan perawatan saluran akar gigi. Saya berharap

hasil penelitian ini dapat memberi gambaran dan menjadi pertimbangan

bagi para praktisi tentang penggunaan pasta triantibiotik yang tepat

terutama dalam penanganan kasus saluran akar gigi infeksi.

Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan

disertasi ini, dan hanya berkat bantuan berbagai pihak maka disertasi ini

selesai pada waktunya. Pada kesempatan ini dengan tulus saya

menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada :

Prof. Dr.drg. Rasmidar Samad, MS selaku promotor atas segala

pemikiran yang kritis, bimbingan, arahan dan petunjuk untuk

pengembangan penelitian dan kesempurnaan disertasi ini.

vii
Prof. dr. Syarifuddin Wahid, Ph.D, selaku ko-promotor yang telah

meluangkan waktu memberi arahan untuk berdiskusi dan mempertajam

disertasi ini, juga memacu semangat untuk penyelesaian disertasi ini.

dr. Sitti Wahyuni, Ph.D, selaku ko-promotor yang berkenan

meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penelitian dan

penulisan disertasi ini.

Prof. Dr. Drg. Latief Mooduto, MS, Sp KG (K), selaku penguji

eksternal yang memberi banyak perhatian, dorongan dan semangat, juga

saran-saran yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.

Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc, Sp GK(K), selaku Ketua

Program Studi sebelumnya dan juga sekaligus penguji, yang selalu atensi,

mendorong dan memberikan arahan dan kesempatan untuk studi di

program S3 Kedokteran.

Dr. drg. Indrya K.Mattulada, MS, dan DR. Med. Dent. Rehatta

Yongki, sebagai penguji sekaligus kolega senior yang selalu memberi

motivasi dalam penyelesaian studi S3 Kedokteran.

Dr.dr. Ilhamjaya Pattelongi MS, sebagai anggota tim penguji yang

sangat membantu dalam memberi masukan untuk kesempurnaan

disertasi ini.

Prof. dr. Mochammad Hatta, Sp M.K.(K), Ph.D, selaku Ketua

Program Studi Kedokteran yang sangat membantu dalam memberi

kesempatan untuk penyelesaian studi saya di program S3 kedokteran.

viii
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof.Dr.dr.Idrus

Patturusi selaku Rektor Universitas Hasanuddin, dan Prof.dr.Irawan Yusuf

Ph.D, selaku Dekan Fakultas Kedokteran periode sebelumnya, Ibu Rektor,

Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan

program S3 pada program studi Ilmu Kedokteran di Universitas

Hasanuddin.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan kepada para

pimpinan Fakultas Kedokteran Gigi, Prof.drg. Mansjur Nasir, Ph.D, selaku

dekan, Prof.Dr.drg Burhanuddin DP MS, Prof.Dr.drg. Sri Oktawaty, Sp.

Perio,dan Prof Dr.drg Muh Hendra Candha, MS, selaku wakil dekan, dan

juga para pimpinan Fakultas Kedokteran Gigi periode sebelumnya, Prof.

drg. Muh Dharmautama Ph.D, Dr.drg Baharuddin Thalib M.Kes, drg. Rini

Pratiwi, M.Kes, Dr.drg.Asdar Gani, M.Kes yang selalu memberi perhatian

dan dorongan untuk penyelesaian studi saya.

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada Kepala Bagian

Konservasi drg Nurhayati Natsir Ph.D, Sp KG, dan Dr.drg Andi Sumidarti,

MS, selaku Ketua Bagian Konservasi periode sebelumnya yang telah

memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan S3, para

teman sejawat bagian Konservasi yang selalu memberi dorongan,

perhatian, dan juga mengambil alih tugas saya di bagian Konservasi.

Para dosen saya, drg. Fonny Dahong, drg. Peter Rovani, drg Els

Rovani Sp Pros, drg. Laonardo, drg Angela T, Prof. drg. M.Hatta HS,

ix
Ph.D, drg. Hendrik Rasuballa, drg. Imam Mudjari, drg Zohra Nazaruddin,

drg. Vero Harsinen, drg Nurhayati Siregar, Dr. drg. Mardiana Andi Adam

MS, Prof Dr drg.Sumintarti MS, drg. Syamsiar Toppo, MS, drg Netty

Kawulusan M.Kes, Prof.Dr.drg Harlina MS, Dr. drg. Irene Riewpassa

M.Kes, drg Paulus Setiabudi, drg Teddy Haryanto, drg Henny. dan para

kolega yang selalu memberi asa dan semangat untuk penyelesaian studi

saya, juga teman sejawat lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu.

Terima kasih juga saya haturkan kepada para pimpinan Rumah

Sakit Gigi dan Mulut FKG-UNHAS, Ketua Pusat Penelitian FK-UNHAS,

Laboratorium Mikrobiologi FK-UNHAS, atas diijinkan penulis melakukan

pengambilan sampel, dan analisis sampel pada tempat-tempat tersebut.

Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Angkatan 2010 baik di

Kedokteran (Quantum-10) maupun pada Studi Kesehatan Masyarakat,

sahabat-sahabat dari Fakultas Farmasi UNHAS, yang telah memotivasi,

dan medukung penulis dalam penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga secara khusus saya haturkan kepada

IFARS Pharmacy, Prof Dr rer.nat.Marianti A.M,Apt, dan Drs. Fredryk W.

Mandey,MSc atas sumbangsi bahan antibiotik pada penelitian ini, Bapak

Markus Lembong yang membantu dalam kultur bakteri, Bapak Djoharsyah

(Lab Kes DepKes), , Ibu Nur, Pak Dahyar, Ibu Ida, Ibu Wiwik, Nia,

Mayang, Midun, Iwan, Hasma dan para mahasiswa/mahasiswi dan para

x
dokter gigi muda, antara lain drg. Tommy Dharmaji, yang telah membantu

kelancaran penelitian saya.

Kepada orang tua tercinta Bapak dr. Andreas Tanumihardja, Ibu

Evi Widodo (almh), Ibu Merry Dewangga, Ibu Anita Guyadi, para om dan

tante, penulis haturkan banyak terima kasih atas doa, dukungan moril dan

materil kepada penulis selama mengikuti pendidikan sampai saat ini.

Terima kasih kepada para kerabat dan adik-adikku, Ir. Fredy,

dr.Jani,Sp.S , Drs.Joni, Dra.Meriati , Drs.Alfred, dan dr.Meriana beserta

keluarga, para sepupu, atas dukungan moril selama menjalani pendidikan.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada suami tercinta

Ir. Adri Nirwan, dan anak-anakku terkasih drg. Melania Utami Nirwan dan

Michael Dwianto Nirwan,S.Mn atas doa, dukungan dan pengertiannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih banyak penulis haturkan kepada semua pihak yang

telah membantu secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian

studi saya, semoga Tuhan membalas segala budi baik

bapak/ibu/saudara(i) yang telah diberikan kepada penulis.

Makassar, 13 Januari 2015.

Maria Tanumihardja

xi
ABSTRAK

Maria Tanumihardja. Efek aplikasi pasta triantibiotik pada proses kesembuhan


pada tahap perawatan saluran akar gigi dengan periodontitis apikalis kronis.
Tinjauan terhadap profil bakteri, kadar matrix metalloproteinase-9, Tissue
inhibitor matrix metalloproteinase-1 dan Epidermal growth factor (dibimbing oleh
Rasmidar Samad, Syarifuddin Wahid, dan Sitti Wahyuni).

Bakteri merupakan penyebab utama terjadinya periodontitis apikalis


kronis dan perawatan saluran akar gigi merupakan cara efektif mengeradikasi
bakteri. Kegagalan perawatan terjadi akibat persistensi bakteri terutama pada
bagian apikal gigi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek pasta
triantibiotik terhadap profil bakteri, kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF
pada tahap perawatan saluran akar. Hasil dari penelitian ini diharapkan pasta
triantibiotik dapat digunakan sebagai medikamen antar kunjungan pada kasus
gigi infeksi untuk mengoptimalkan eliminasi bakteri sehingga mempercepat
proses kesembuhan pada perawatan saluran akar gigi.
Dua puluh empat subyek dengan diagnosis klinik periodontitis apikalis
kronis (PAK) dialokasikan ke dalam dua kelompok, kelompok perlakuan 12 orang
yang mendapat aplikasi pasta triantibiotik dan kelompok kontrol 12 orang yang
dimedikasi kalsium hidroksid pada tahap perawatan saluran akar gigi. Sampel
cairan saluran akar gigi diperoleh sebelum perawatan, seminggu setelah
perawatan saluran akar dan medikasi kalsium hidroksid, dan seminggu setelah
aplikasi pasta triantibiotik. Profil bakteri sampel dianalisa melalui kultur, kadar
MMP-9, kadar TIMP-1 dan kadar EGF dianalisa menggunakan Enzyme Linked
Immonosorbent Assay (ELISA). Analisis statistik yang digunakan adalah uji
Wilcoxon, uji Mann-Whitney U dan analisa korelasi Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan pasta triantibiotik efektif secara bermakna
menurunkan jumlah CFU bakteri (p=0.024) dan jenis bakteri dibandingkan
dengan medikasi kalsium hidroksid pada tahap perawatan saluran akar gigi.
Kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF lebih rendah pada keberadaan
bakteri negatif/menurun dibandingkan dengan keberadaan bakteri
tetap/meningkat walaupun tidak bermakna secara statistik. Ada korelasi positif
bermakna antara penurunan/peningkatan kadar MMP-9 dan kadar TIMP-1,
penurunan/peningkatan kadar MMP-9 dan kadar EGF, penurunan/peningkatan
kadar TIMP-1 dan kadar EGF (p<0.05).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah medikasi dengan pasta triantibiotik pada
periodontitis apikalis kronis dapat meningkakan proses kesembuhan pada tahap
perawatan saluran akar.gigi.

Kata kunci : pasta triantibiotik, perawatan saluran akar gigi, periodontitis apikalis
kronis, profil bakteri, MMP-9, TIMP-1, EGF.

xii
ABSTRACT

Maria Tanumihardja. Effect of triantibiotic paste application on the healing


process in the course of endodontic treatment of chronic apical periodontitis.
Evaluation of bacteria profile, levels of MMP-9. TIMP-1, and EGF (supervised by
Rasmidar Samad, Syarifuddin Wahid, and Sitti Wahyuni).

Bacteria are the main cause of chronic apical periodontitis and root canal
treatment is effective in eradicating the bacteria. Treatment failure is caused by
the persistence of bacteria in apical part of root canal. The purpose of this study
was to evaluate the effect of triantibiotic paste applied in apical part of root canal
on bacteria profile, level of MMP-9, TIMP-1, and EGF in the course root canal
treatment. The result of this study is expected that triantibiotic paste can be used
as an inter-appointment medicament in the course root canal treatment of chronic
apical periodontitis in order to eliminate residual bacterial therefore improving the
healing process.
Twenty four subjects with clinical diagnosis of chronic apical periodontitis were
allocated into two groups. Twelve subjects were treated with triantibiotic paste
and the other twelve subjects were treated with calcium hydroxide as control
group. Exudates of root canals of both groups were collected before root canal
treatment, one week following medication with calcium hydroxide, and another
one week following application of triantibiotic paste. Bacteria profiles of the
subjects were evaluated using culture technique, levels of MMP-9, TIMP-1 and
EGF were evaluated using ELISA method. The results were statistically analyzed
using Wilcoxon test , Mann-Whitney U test and Spearman’s correlation.
The results showed medication with triantibiotic paste significantly reduced
bacterial CFU (p=0.024) and types of bacteria compared to medication with
calcium hydroxide in the course of root canal treatment. Levels of MMP-9, TIMP-
1, and EGF was lower in negative/decreased bacteria than in increased/persisted
bacteria although no significant difference was observed. Decreased level of
MMP-9 corerelated positively with decreased level of TIMP-1, level of MMP-9 and
level of EGF, level of TIMP-1 and level of EGF (p<0.05).
It can be concluded that medication with triantibiotic paste could increase healing
process in the course of root canal treatment.

Keywords : triantibiotic paste, root canal treatment, chronic apical periodontitis,


bacteria profile, MMP-9. TIMP-1,. EGF.

xiii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................i
HALAMAN PENGAJUAN DISERTASI..................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................iv
DAFTAR TIM PENGUJI.........................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI................................................vi
KATA PENGANTAR..............................................................................vii
ABSTRAK..............................................................................................xii
ABSTRACT............................................................................................xiii
DAFTAR ISI...........................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................xvii
DAFTAR TABEL....................................................................................xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN......................................xix

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................5
C. Tujuan Penelitian..........................................................................7
D. Manfaat Penelitian........................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................10


A. Periodontitis Apikalis Kronis..........................................................10
B. Bakteri Saluran Akar.....................................................................22
C. Tahap Perawatan Saluran Akar Gigi............................................25
D. Pasta Triantibiotik.........................................................................27
E. Kalsium Hidroksid ........................................................................36
F. Matriks Metalloproteinase-9..........................................................38
G. Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-1........................................45
H. Hubungan antara MMP-9 dan TIMP-1.........................................47
I. Epidermal Growth Factor..............................................................49
J. Kesembuhan PAK Setelah perawatan Saluran Akar....................52

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
............................................................................................
60
A. Landasan Teori.............................................................................60
B. Kerangka Teori..............................................................................62

xiv
C. Kerangka Konsep.........................................................................63
D. Hipotesis.......................................................................................64
E. Variabel Penelitian........................................................................64

xv
BAB IV METODE PENELITIAN.............................................................65
A. Jenis dan Disain Penelitian...........................................................65
B. Waktu dan Lokasi Penelitian.........................................................65
C. Populasi dan Sampel Penelitian...................................................66
D. Definisi Operasional Variabel.......................................................70
E. Alat dan Bahan..............................................................................71
F. Tatalaksana Penelitian..................................................................72
G. Alur Penelitian...............................................................................78
H. Pengumpulan dan Analisis Data..................................................79
I. Aspek Etik Penelitian......................................................................79

BAB V HASIL
..................................................................................................
81
A. Gambaran Umum Sampel
81
B. Karakteristik Subjek Penelitian
83
C. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian pada Masing-
masing Kelompok
83
D. Profil Eradikasi Jenis Bakteri pada Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol
85
E. Profil Eradikasi Jenis Bakteri pada Kedua Kelompok menurut
Pengelompokan Jenis Bakteri
87
F. Perubahan Jumlah Bakteri Hasil Kultur pada Masing-masing
Kelompok Sesudah Perlakuan
88
G. Perubahan Eradikasi Bakteri antara Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol setelah Medikasi
89
H. Perubahan Kadar Biomarker setelah Perlakuan pada Masing-
masing Kelompok
91
I. Hubungan Perubahan Pertumbuhan Bakteri dengan Biomarker
Inflamasi
92

xvi
BAB VI PEMBAHASAN.........................................................................96
A. Profil Eradikasi Jenis Bakteri pada Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol .........................................................................97
B. Profil Eradikasi Jumlah Koloni (CFU) Bakteri pada Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol.................................................106
C. Perubahan Kadar Biomarker setelah Perlakuan pada Masing-
masing Kelompok
109
D. Efek Eradikasi Bakteri terhadap Kadar MMP-9, Kadar TIMP-1,
Rasio MMP-9/TIMP-1, dan Kadar EGF pada Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol (Temuan Bakteri
tetap/meningkat dan Temuan Bakteri Negatif/menurun)
111

BAB VII KESIMPULAN SARAN............................................


..................................................................................................
122
A. Kesimpulan....................................................................................122
B. Saran............................................................................................122

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................124

LAMPIRAN.............................................................................................136

xvii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Periodontitis apikalis kronis.............................................................15


2 Perjalanan penyakit periapikal melalui berbagai tahapan
proses penyakit...............................................................................15
3 Interaksi antara bakteri saluran akar, produknya dan
komponen seluler pada patogenesis periodontitis apikalis
kronis...............................................................................................22
4 Positive feedback antara sitokin dan MMP-9..................................44
5 Mediator dan mekanisme inflamasi dan resolusi inflamasi dan
repair...............................................................................................55
6 Tahapan perawatan saluran akar...................................................75
7 Distribusi penderita berdasarkan jenis bakteri yang ditemukan
setelah perlakuan pada kedua kelompok berdasarkan temuan
jenis bakteri sebelum perlakuan.....................................................85
8 Distribusi penderita dengan temuan bakteri obligat gram -,
obligat gram +, dan fakultatif gram + pada kelompok
perlakuan dan kontrol setelah perlakuan........................................87

xviii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Karakteristik sampel pasien............................................................83


2 Deskripsi variabel penelitian sebelum dan sesudah perlakuan
pada masing-masing kelompok......................................................84
3 Perubahan jumlah bakteri setelah perlakuan pada masing-
masing kelompok............................................................................88
4 Perbedaan distribusi penderita berdasarkan eradikasi bakteri
sesudah perlakuan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol.............................................................................................89
5 Perbedaan distribusi penderita berdasarkan perubahan
pertumbuhan bakteri sesudah perlakuan antara kedua
kelompok.........................................................................................90
6 Perubahan mediator inflamasi sebelum – sesudah perlakuan
pada kedua kelompok.....................................................................91
7 Hubungan perubahan pertumbuhan bakteri dengan marker
inflamasi..........................................................................................92
8 Perbedaan perubahan biomarker inflamasi berdasarkan
perubahan pertumbuhan bakteri ....................................................93
9 Korelasi perubahan pertumbuhan bakteri dengan biomarker
inflamasi..........................................................................................94

xix
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/singkatan Arti dan keterangan


AP-1 : activated protein 1
APC : antigen presenting cell
bFGF : basic fibroblast growth
factor
BMP : bone morphogenic protein
C1q : complement 1
C3 : complement 3
CD-14 : cluster differentiation 14
CD4 : cluster differentiation 4
CFU : colony forming unit
CGRP : calcitonin gene related
peptide
CXCR1 : cysteine x cysteine
receptor 1
DNA : deoxy ribonucleic acid
EDTA : ethylene diamine
tetraacetic acid
EGF : epidermal growth factor
ERK1/2 : extracellular signal
regulated kinase 1/2
Fab : fragmen antigen binding
Fc : fragmen cyrstallizable
FGF : fibroblast growth factor
fMLP : f-Methionin Leucine Phenyl
Alanine
ICAM-1 : intercellular adhesion 1
IFN-γ : interferon gamma
IGF-1 : insulin growth factor 1
IgG : immunoglobulin G
IgM : immunoglobulin M
IL-10 : interleukin 10
IL-12 : interleukin 12
IL-1β : interleukin 1 beta
(interleukin 6)
IL-8 : interleukin 8
IL-Ra : interleukin reseptor
antagonis

xx
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
JNK/SAPK : c-jun N-terminal
kinase/stress-activated
protein kinase
KGF : keratinocyte growtfactor
LBP : lipopolysaccharide binding
protein
LFA-1 : leukocyte function antigen
1
LPS : lipopolysaccharide
LTA : lipo techoid acid
MAPK : mitogen-activated protein
kinase
MCP-1 : monocyte chemoattractant
protein 1
MD2 : myeloid differentiation 2
MHC-2 : major histocompatibility
complex 2
MMP-1 : matrix metalloproteinase 1
MMP-12 : matrix metalloproteinase
12
MMP-13 : matrix metalloproteinase
13
MMP-2 : matrix metalloproteinase 2
MMP-8 : matrix metalloproteinase 8
MMP-9 : matrix metalloproteinase 9
MTAD : mixture of tetracycline and
detergent
NADPH : nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate
dehydrogenase
NF-kB : nuclear factor kappa beta
NrF-2 : nuclear factor 2
PAMPs : pathogen-associated
molecular patterns
PCR : polymerase chain reaction
PDGF : platelet-derived growth
factor
PG : prostaglandin
PGE-2 : prostaglandin E 2

xxi
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
PMA : phorbol myristate acetate
PRR : pattern recognition receptor
OH : oral hygiene
sTNFR : soluble tumor necrosis
factor receptor
TIMP-1 : tissue inhibitor of matrix
metalloproteinase-1
TGF-β : transforming growth factor
beta
Th : T helper
TLR : toll like receptor
TNF-α : tumor necrosis factor alfa
VEGF : vascular endothelial growth
factor
VIP : vasoactive intestinal
peptide

xxii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Periodontitis apikalis kronis (PAK) merupakan penyakit

keradangan pada apikal gigi, umumnya dijumpai pada populasi

penderita karies gigi yang tidak dirawat. Bakteri penyebab karies

menginvasi pulpa, menimbulkan infeksi pada pulpa dan saluran akar,

dan mengakibatkan nekrosis gigi (Nair, 2004). Karakteristik PAK

adalah kehadiran lesi pepiapikal akibat destruksi jaringan lunak dan

jaringan keras daerah apikal (Dezerega dkk, 2012). Data epidemiologi

menunjukkan periodontitis apikalis dialami oleh 50% populasi usia 50

tahun dan 62% di atas usia 60 tahun (Figdor dan Gulabivala, 2011),

dan memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia. PAK sering berakhir

dengan kehilangan gigi karena tidak atau sedikit memberikan gejala

klinis. Data dari Depertemen Kesehatan mengenai Profil Kesehatan

Indonesia tahun 2010, menunjukkan pada tahun 2009 penyakit pulpa

dan periapikal gigi telah menempati urutan ke 8 dari pola 10 besar

penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan rumah sakit di Indonesia,

dan meningkat menjadi peringkat ke 7 pada tahun 2010 (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia 2011).

Sebagai penyebab utama infeksi saluran akar, bakteri menjadi

target kontrol dalam perawatan saluran akar (disebut juga perawatan

1
endodontik) melalui preparasi kemomekanik, sterilisasi dan obturasi.

Perawatan endodontik yang baik memberi keberhasilan berkisar

antara 85% dan 96% (Lazarski dkk, 2001; Friedman dkk, 2002).

Menurut Figdor dan Gulabivala, (2011), tingkat keberhasilan

perawatan endodontik lebih tinggi dicapai oleh praktisi terlatih (87%)

dibandingkan dengan praktisi umum (72%).

Kegagalan perawatan akibat reinfeksi membawa konsekuensi

terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi baik secara individu maupun

dalam masyarakat (Figdor dan Gulabivala, 2011). Penyebab utama

terjadinya reinfeksi adalah persistensi bakteri yang terutama mendiami

bagian apikal sistem saluran akar dan menyebabkan inflamasi pada

jaringan periapikal. Disamping itu kehadiran bakteri setelah perawatan

endodontik bisa juga merupakan bakteri yang menginisiasi infeksi

primer atau bocoran mikro sekitar restorasi koronal. Oleh sebab itu

upaya mengoptimalkan eliminasi bakteri terutama bagian apikal akar,

terus dikembangkan, seperti alat-alat intrakanal, irigan dan

medikamen saluran akar dengan daya antibakteri yang lebih besar,

dan bahan obturasi kedap (Figdor dan Gulabivala, 2011).

Berbagai medikamen saluran akar telah dikembangkan, antara

lain kalsium hidroksid yang merupakan medikamen yang paling

banyak digunakan walaupun efektifitasnya terbatas dalam

mengeliminasi seluruh bakteri saluran akar (Sathorn dkk, 2007).

Belum lama ini medikamen yang mengandung beberapa antibiotik

2
untuk mengatasi saluran akar infeksi dikembangkan oleh Hoshino dkk

di Universitas Niigata (Hoshino dkk,1996). Dalam uji in vitro tersebut,

kombinasi 3 antibiotik dalam bentuk pasta terdiri dari ciprofloxacin,

metronidazole dan minosiklin (pasta triantibiotik), mampu secara

konsisten mengeliminasi semua bakteri yang diambil dari dinding

dentin saluran akar terinfeksi. Berbagai penelitian klinis lainnya

melaporkan keberhasilan perawatan saluran akar terinfeksi setelah

medikasi aplikasi lokal pasta triantibiotik pada gigi susu (Takushige

dkk, 2004), gigi permanen dengan abses (Manuel dkk,2010, Sahwny

dkk, 2013), dan revaskularisasi pada gigi permanen muda. (Kim dkk,

2010; Thomas 2014).

Eradikasi bakteri setelah perawatan saluran akar mendorong

terjadinya kesembuhan. Restorasi jaringan periapikal membutuhkan

waktu lama, 3-4 tahun setelah perawatan saluran akar gigi yang

pertama. Gambaran kesembuhan umumnya terdeteksi secara

radiografis setelah 1 tahun perawatan endodontik (Penesis dkk,

2008). Selama ini pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan klinis

merupakan kriteria utama dalam menilai keberhasilan perawatan

endodontik (Huumonen dan Orstavik, 2002), akan tetapi gambaran

kesembuhan dapat juga dinilai dari proses kesembuhan yang terjadi

lewat proses inflamasi dan belum banyak diteliti terutama dalam

penggunaan pasta triantibiotik.

3
Proses kesembuhan merupakan proses biologik kompleks yang

tertata secara berurut dan teratur, meliputi inflamasi, kemotaksis sel,

mitosis sel-sel, sintesis protein matriks ekstrasel dan remodelling.

melibatkan sitokin-sitokin, growth factors, protease, dan hormon

(Schultz dan Mast, 1999).

Matriks ekstrasel (MES) merupakan struktur tiga dimensi yang

menentukan arsitektur sel, berperan sebagai adhesi sel,

meningkatkan penyebaran sel dan organisasi sitoskletal. Berbagai

komponen matriks ekstrasel membantu mempertahankan integritas

jaringan, meregulasi migrasi sel dan menjadi sumber sitokin-sitokin

dan growth factors (Stamenkovic, 2003). Degradasi dan remodelling

MES dilakukan oleh protease, terutama matrix metalloproteinases

(MMPs) sebagai elemen penting pada perbaikan jaringan dan

berbagai mekanisme kesembuhan (Mc Carty & Percival, 2003).

MMPs disekresi dalam bentuk laten dan diurai menjadi aktif

secara biologik tetapi aktifitasnya diregulasi dengan ketat oleh

inhibitor-inhibitornya, tissue inhibitor of metalloproteinases (TIMPs)

yang mengikat enzim MMP aktif dengan afinitas tinggi. Dalam

keadaan fisiologis, TIMPs mengikat MMPs dengan perbandingan

stoikiometri 1:1. Gangguan keseimbangan antara MMPs dan TIMPs

dihubungkan dalam berbagai kondisi patologis, termasuk periodontitis,

rheumatoid arthritis, dan kanker, yang secara umum lebih mengarah

ke peningkatan MMPs (Verstappen dan Von Den Hoff 2006).

4
Kehadiran matrix metalloproteinase-9 yang tinggi telah dikaitkan

dengan inflamasi kronis jaringan periapikal (Bjarnsholt dkk, 2008),

sebaliknya tissue inhibitor of metalloproteinase-1 dilaporkan

terekspresi tinggi pada kesembuhan jaringan periapikal manusia

(Garlet dkk, 2012). Ekspresi dan aktifitas beberapa MMPs juga

diregulasi oleh growth factors, termasuk Epidermal Growth Factor

(EGF) melalui induksi gen (Armstrong dan Jude, 2002).

EGF dan growth factors lainnya disekresi oleh sel-sel residen

jaringan atau sel-sel imun untuk memodulasi proses kesembuhan

secara terkoordinasi (Pyrc dkk, 2013). EGF menstimulasi proliferasi

fibroblas, sel yang menghasilkan kolagen, dan berperan

meningkatkan migrasi sel-sel osteoblas (Howard dkk, 2010), akan

tetapi perannya belum banyak diketahui pada proses kesembuhan

jaringan periapikal sehingga hal ini membuat peneliti tertarik untuk

mengetahui bagaimana peran EGF dan interaksinya dengan

protease-protease ini dalam proses kesembuhan jaringan periapikal.

B. Rumusan Masalah

Periodontitis apikalis kronis (PAK) yang disebabkan karies

menunjukkan peningkatan prevalensi di Indonesia. Penyebab utama

PAK adalah bakteri yang menginfeksi sistem saluran akar, memicu

ekspresi berbagai mediator radang seperti IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8,

MMPs, dan menyebabkan destruksi jaringan periapikal, yang

5
berakibat pada kehilangan gigi. Eradikasi bakteri dilakukan melalui

perawatan saluran akar, akan tetapi kegagalan perawatan dapat

terjadi akibat reinfeksi, terutama akibat persistensi bakteri pada bagian

apikal saluran akar, dan menyebabkan inflamasi berkelanjutan pada

jaringan periapikal.

Pasta triantibiotik yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh

Hoshino dkk, telah banyak dilaporkan berhasil mengatasi infeksi pada

gigi susu, gigi permanen muda dan gigi abses, tetapi belum pernah

diaplikasikan pada gigi PAK. Disamping itu, pasta triantibiotik selama

ini diaplikasikan pada daerah orifisium atau pada seluruh akar gigi.

Peneliti tertarik untuk mengaplikasikan pasta triantibiotik pada daerah

apikal saluran akar gigi yang belum pernah dilakukan sebelumnya,

dan ingin mengetahui bagaimana efek pasta triantibiotik tersebut

terhadap profil bakteri.

Gambaran klinis dan gambaran radiografis merupakan kriteria

keberhasilan perawatan saluran akar selama ini yang membutuhkan

waktu yang lama, sedangkan kesembuhan dapat juga dinilai dari

proses kesembuhan, meliputi inflamasi, perbaikan dan remodelling.

Oleh sebab itu penelitian ini ditujukan untuk menilai proses inflamasi

khususnya menilai aktifitas protease MMP-9, TIMP-1, dan growth

factor (EGF) pada tahap perawatan saluran akar gigi setelah diaplikasi

pasta triantibiotik. Medikasi dengan kalsium hidroksid yang menjadi

acuan medikamen dijadikan sebagai pembanding.

6
Berdasarkan pertimbangan bahwa indikator keberhasilan

perawatan saluran akar tidak dilakukan melalui indikator kesembuhan

yang lazim, tetapi melalui proses kesembuhan dengan menilai

indikator inflamasi, maka beberapa pertanyaan penelitian dapat

diajukan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan profil bakteri saluran akar pada tahap

perawatan saluran akar gigi yang diaplikasi pasta triantibiotik pada

kasus PAK?

2. Apakah terdapat pengaruh eradikasi bakteri terhadap kadar matriks

metalloproteinase -9 (MMP-9) pada tahap perawatan saluran akar

gigi pada kasus PAK?

3. Apakah terdapat pengaruh eradikasi bakteri terhadap kadar tissue

inhibitor matriks metalloproteinase -1 (TIMP-1) pada tahap

perawatan saluran akar gigi pada kasus PAK?

4. Apakah terdapat pengaruh eradikasi bakteri terhadap kadar

epidermal growth factor (EGF) pada tahap perawatan saluran akar

gigi pada kasus PAK?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk membuktikan ada pengaruh aplikasi pasta triantibiotik

terhadap profil bakteri dan pengaruh eradikasi bakteri terhadap kadar

7
MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF pada tahap perawatan

saluran akar gigi pada periodontitis apikalis kronis.

2. Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan adanya perbedaan profil bakteri pada tahap

perawatan saluran akar gigi dengan aplikasi pasta triantibiotik pada

kasus PAK.

2. Untuk membuktikan adanya pengaruh eradikasi bakteri terhadap

kadar MMP-9 pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus

PAK.

3. Untuk membuktikan adanya pengaruh eradikasi bakteri terhadap

kadar TIMP-1 pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus

PAK.

4. Untuk membuktikan adanya pengaruh eradikasi bakteri terhadap

kadar EGF pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus

PAK.

D. Manfaat Penelitian

1. Bidang substansi ilmu

a. Menjelaskan patomekanisme enzimatik proses keradangan dan

kesembuhan pada periodontitis apikalis kronis (PAK).

8
b. Menjelaskan pengaruh aplikasi lokal pasta triantibiotik terhadap

profil bakteri dalam saluran akar pada tahap perawatan saluran

akar gigi pada PAK.

c. Menjelaskan pengaruh eradikasi bakteri terhadap mediator

enzimatik proinflamasi, antiinflamasi dan growth factor.

d. Menambah pengetahuan dokter gigi mengenai peran pasta

triantibiotik dalam mengeradikasi bakteri saluran akar yang dapat

dimanfaatkan dalam perawatan saluran akar gigi, khususnya kasus

PAK.

2. Bidang klinis

a. Bagi dokter gigi.

Bila hasil penelitian ini positif efektif, pasta triantibiotik baik

diaplikasikan dalam saluran akar gigi non vital pada kasus PAK

untuk mempercepat proses kesembuhan sehingga meningkatkan

prognosis gigi yang dirawat.

b. Bagi pasien.

Ketahanan fungsional gigi yang dirawat saluran akar gigi

meningkat seiring dengan peningkatan prognosis gigi pada kasus

PAK.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Periodontitis Apikalis Kronis

1. Gambaran umum jaringan periapikal

Jaringan periapikal terdiri dari sementum, ligamentum

periodontal, dan tulang alveolar. Sementum adalah jaringan ikat

mineralisasi, avaskuler, dan terdiri dari tiga tipe yang berbeda yaitu

acelluler afibrillar cementum meliputi gigi dan sepanjang

cementoenamel junction, aceluller extrinsic fiber cementum yang

terbatas pada separuh koronal akar, dan celluler intrinsic fiber

cementum yang terdapat pada seperdua apikal akar. Berbagai

growth factor seperti IGF-1, FGFs, EGF, BMPs, TGF-β, dan PDGF

terdapat pada matriks sementum. Growth factor ini dilepaskan pada

kondisi tertentu, dikaitkan dengan proliferasi, migrasi dan diferensiasi

sementoblas selama kesembuhan pada sementum (Grzesik WJ &

Narayanan AS,2002).

Ligamentum periodontal merupakan jaringan ikat khusus lunak

yang menghubungkan sementum dan tulang alveolar. Ligamentum

periodontal mengandung berbagai populasi sel heterogen dan

matriks ekstrasel. Sel-sel dalam ligamentum periodontal meliputi

osteoblas, osteoklas, fibroblas, epithelial cell rest of Mallasez,

makrofag, sementoblas, dan undifferentiated mesenchymal cell

10
(stem cell). Fibroblas, osteoblas dan epithelial cell rest of Mallasez

adalah sel-sel diferensiasi yang tetap memiliki kemampuan

membelah diri dan proliferasi atas stimulasi sinyal-sinyal tertentu.

Multipotent stem cell ligamentum periodontal mampu berdiferensiasi

menjadi sel seperti sementoblas dan sel ligamentum periodontal,

juga osteoblas. Matriks ekstrasel dari ligamentum periodontal terdiri

dari serabut kolagen, fibronektin, elastin, protein non kolagen lainnya

dan proteoglikan. Matriks ekstrasel berperan sebagai stratum untuk

adhesi sel dan meningkatkan penyebaran dan organisasi

sitoskeletal. Serabut-serabut kolagen (Sharpey’s fiber)

menghubungkan gigi dan tulang alveolar (Grzesik WJ & Narayanan

AS,2002).

Epithelial cell rest Mallasez (ERM), merupakan sisa-sisa dari

Hertwig epithelial root sheath, terdapat pada ligamentum periodontal

dekat permukaan akar, dan terhubung sebagai jejaring yang

dikelilingi oleh lamina basalis. ERM dalam kondisi dormant dalam

ligamentum periodontal yang normal tetapi dapat distimulasi untuk

berproliferasi pada periodontitis apikalis. ERM merupakan sumber

sel yang dapat membentuk kista radikuler bila terstimulasi pada lesi

periodontitis apikalis.

Tulang alveolar atau prosesus alveolar merupakan bagian dari

tulang rahang yang menjadi soket gigi, terdiri dari cortical plate luar,

tulang cancellous, dan tulang yang melapisi soket gigi. Matriks tulang

11
berisi IGF-1, FGFs, EGF, BMPs, TGF-β, dan PDGF yang penting

untuk proliferasi, migrasi dan diferensasi sel selama proses

kesembuhan tulang (Lin & Huang, 2011).

2. Etiologi periodontitis apikalis kronis

Periodontitis apikalis kronis (PAK) merupakan penyakit

inflamasi yang mengenai jaringan sekitar apikal gigi, disebabkan oleh

bakteri dalam saluran akar (Siqueira & Roqas, 2009). Bakteri

sebagai penyebab infeksi saluran akar dikemukakan pertama kali

oleh WD Miller tahun 1890 (Nair, 2004). Penelitian-penelitian

berikutnya menegaskan peran bakteri dalam berbagai infeksi saluran

akar yang berada dalam lingkungan menguntungkan untuk

perkembangannya. Pada awalnya terjadi karies gigi yang tidak

dirawat dan kemudian mencapai pulpa, menyebabkan kerusakan

luas pada pulpa sehingga pulpa menjadi nekrosis. Rongga pulpa

menjadi tempat yang baik bagi perkembangbiakan bakteri. Mulanya

pulpa gigi terinfeksi oleh mikroflora mulut kemudian makin

berkembang menjadi polimikrobial dengan adanya pulpa yang

terbuka. Perkembangan teknik sampling dan metode molekuler

menunjukkan kompleksitas bakteri dalam saluran akar yang

merupakan lingkungan selektif terhadap pertumbuhan bakteri

tertentu (Nair,2006; Figdor & Sundqvist, 2007).

12
3. Klasifikasi periodontitis apikalis

Periodontitis apikalis dapat diklasifikasikan berdasarkan

etiologi, gejala-gejala dan gambaran histopatologis (Abbott, 2002).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengklasifikasi periodontitis

apikalis ke dalam 5 kategori yaitu :

1. Periodontitis apikalis akut berasal dari pulpa

2. Periodontitis apikalis kronis

3. Abses periapikal disertai sinus

4. Abses periapikal tanpa sinus

5. Kista radikuler

Klasifikasi ini tidak lengkap dan tidak mempertimbangkan aspek

struktural lesi periapikal sehingga pada tahun 1997 Nair mengajukan

klasifikasi alternatif berdasarkan gambaran histopatologi dan

dinamika lesi dengan kriteria yang ketat, meliputi distribusi dan tipe

sel-sel inflamatori dalam lesi, ada atau tidak adanya sel epitel untuk

mengetahui adanya transformasi lesi menjadi kista, yang

diringkaskan sebagai berikut :

1. Periodontitis apikalis akut- primer atau sekunder

2. Periodontitis apikalis kronis

3. Abses apikalis-akut atau kronis

4. Kista periapikal- true atau pocket

13
a. Periodontitis apikalis akut.

Terjadi dalam waktu singkat dan biasanya didahului oleh

respons jaringan periapikal yang sehat terhadap iritan. Bila terjadi

infeksi, respons ini berkembang menjadi periodontitis. Periodontitis

apikalis dengan eksersebasi akut dapat juga terjadi dari lesi kronis

periodontitis apikalis, dikenal sebagai periapikal flare-up

eksersebasi akut, phoenix abscess atau periodontitis sekunder.

Periodontitis apikalis dengan eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi

lesi berepitel atau tidak berepitel. Respons PMN dapat terjadi pada

area kecil di apeks, membentuk mikro periodontitis yang memenuhi

seluruh daerah apikal dan menjadi periodontitis dentoalveolar yang

kemudian membentuk sinus tract.

b. Periodontitis apikalis kronis.

Merupakan peradangan yang terjadi pada apeks gigi dalam

jangka waktu lama. Karakteristik periodontitis apikalis kronis adalah

jaringan granulasi yang didominasi oleh sel-sel infiltrat seperti

limfosit, sel plasma, dan makrofag. Lesi ini dapat berepitel atau

tidak berepitel.

14
Gambar 1. Periodontitis Apikalis Kronis

Saluran akar yang terinfeksi

Periodontitis Apikalis Akut Primer

Jika tidak diobati

 Intensifikasi Gejala Inflamasi


Abses Apikalis Akut Primer  Facial Cellulitis
 Kista periapikal (pocket/true), ATAU
 Abses Apikalis Kronis (dengan
Periodontitis Apikalis Kronis draining) sinus)

Abses Apikalis Akut Sekunder

Periodontitis Apikalis Akut Sekunder

Gambar 2. Perjalanan penyakit periapikal melalui berbagai tahapan


proses penyakit (Abbott, 2002)

15
4. Patomekanisme terjadinya periodontitis apikalis kronis

a. Sel-sel yang terlibat pada respons terhadap periodontitis

apikalis kronis.

Periodontitis apikalis kronis menggambarkan adanya

persistensi rangsangan inflamatori, adaptasi respons host terhadap

rangsang, kehadiran respons imun adaptif dan inisiasi proses

perbaikan. PAK merupakan proses dinamis antara bakteri saluran

akar dan produknya dengan mekanisme pertahanan tubuh karena

tubuh tidak dapat menghancurkan dan mengeliminasi sempurna

faktor-faktor patogenik tetapi membentuk barier yang secara efektif

mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut (Nair, 2004; Colic dkk,

2009). Gambaran histopatologis PAK beragam dengan gambaran

utama jaringan granulomatosa, terdiri dari monosit, limfosit, leukosit

PMN, osteoklas, dan komponen fibrovaskuler lainnya seperti

fibroblas dan epithelial rest of Malassez (Marton & Kiss, 2000).

b. Respons imunologis pada periodontitis apikalis kronis.

Infiltrat sel inflamasi pada PAK memicu sistem imun, non

spesifik dan spesifik, tidak saja melindungi tubuh dari invasi

langsung bakteri pada tulang yang mengelilingi apeks gigi tetapi

juga merusak komponen-komponen jaringan normal,

mengakibatkan resorpsi tulang, yang ditandai dengan gambaran

16
radiolusensi pada apikal gigi (Marton & Kiss, 2000; Colic dkk,

2009).

Proses peradangan diawali oleh pengenalan komponen

bakteri yang memiliki motif spesifik; PAMPs, seperti LTA pada

dinding bakteri gram positif, atau LPS pada dinding bakteri gram

negatif. PAMPs dikenali PRRs pada permukaan sel, disebut juga

TLRs, dan selanjutnya memicu jalur sinyal intrasel untuk aktifasi

sitokin proinflamasi dan berbagai respons imun seperti fagositosis,

aktifasi komplemen, opsonisasi, dan induksi apoptosis (Kaneko

dkk, 2001; Lukic dkk, 2006). LPS diikat oleh LBP dalam darah,

kemudian melalui molekul CD14 dan MD2 menyatu dengan TLR-4,

mengaktifasi jalur sinyal dalam sitosol untuk transkripsi sitokin-

sitokin TNF-α, IL-1β, IL-6, E-selektin, MCP-1 dan lainnya (Siqueira

& Roqas, 2009; Abbas dkk, 2012). Pelepasan sitokin ini

meningkatkan ekspresi molekul adhesi ICAM-1 pada permukaan

sel endotel, berinteraksi dengan LFA-1 pada permukaan sel PMN,

menyebabkan marjinasi leukosit. Ekstravasasi PMNs dipicu oleh IL-

8 berdasarkan gradien konsentrasi, mengurai basement membrane

yang dimediasi MMP-9, mengantar PMNs ke daerah apikal gigi

dimana PMNs melakukan fungsi fagositosis. Ekstravasasi monosit

ke daerah infeksi dimediasi oleh kemokin MCP-1. Bakteri patogen

seperti Porphyromonas gingivalis dapat menghindar dari efek

fagositosis dengan menghambat tahap awal respons inflamasi

17
karena mencegah sel endotel mengekspresikan E-selektin. Bakteri

lainnya, Actinomyces israelii membentuk biofilm dalam koloni

kohesif yang besar sehingga tidak mampu difagosit oleh PMN,

menyebabkan infeksi persisten dan kegagalan perawatan saluran

akar (Nair, 2004; Nair, 2006).

Fagositosis juga dimediasi melalui opsonisasi dimana LPS

mengaktifasi sistem komplemen melalui dua jalur yaitu jalur klasik,

yang tergantung pada antibodi spesifik IgG atau IgM sebagai

opsonin, mengikat antigen pada permukaan bakteri dan

mengaktifkan molekul C1q, selanjutnya lewat ensim C3 konvertase

mengurai komplemen C3 menjadi C3a dan C3b. IgG atau IgM

melekat pada antigen melalui bagian Fab IgG yang kemudian

melekat pada sel fagosit lewat bagian Fc dari molekul IgG, untuk

selanjutnya berperan sebagai sinyal pada PMN untuk target

fagositosis yang efektif. Jalur alternatif terjadi melalui komplemen

C3 yang diurai menjadi C3a dan C3b yang kemudian melekat pada

permukaan bakteri, berperan sebagai sinyal pada PMN yang

memiliki reseptor C3b untuk selanjutnya menjadi target fagositosis.

Mekanisme ini merupakan opsonisasi penting untuk eliminasi

bakteri oleh PMNs. Ketersediaan komponen komplemen yang

berkelanjutan penting untuk menjamin kelancaran proses

fagositosis. Hal ini dapat juga dicapai dengan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler akibat pelepasan histamin oleh

18
aktifasi dan degranulasi sel mast lokal yang diinduksi komplemen

C3a dan C5a. Dilain pihak beberapa strain bakteri Porphyromonas

dan Prevotella dapat menghasilkan enzim protease yang

mengdegradasi faktor komplemen C3 atau C5, memotong bagian

Fc dari molekul IgG sehingga terhindar dari fagositosis (Metzger &

Abramovitz, 2008).

LPS juga merangsang serabut sensoris aferen melepaskan

neuropeptida tertentu seperti CGRP, menyebabkan vasodilatasi,

dan substansi-P (SP) yang meningkatkan permeabilitas kapiler

sehingga meningkatkan ekstravasasi leukosit ke tempat infeksi.

Dalam konsentrasi yang memadai, SP juga merangsang makrofag

meningkatkan sekresi IL-1, IL-6 dan TNF-α, dan merangsang

proliferasi sel T limfosit dan produksi IFN-γ. Sebaliknya

neuropeptida Y dan VIP menghambat respons inflamasi dengan

menghambat produksi IL-12, IL-6 dan TNF-α, berarti menghambat

resorpsi tulang melalui penekanan aktifitas osteoklas. (Lipatas dkk,

2003).

Mekanisme fagositosis lainnya oleh PMN dan makrofag terjadi

melalui mekanisme yang dimediasi oksigen dan enzim NADPH

oksidase. Molekul efektor dari sistem ini adalah hidrogen peroksid,

superokside anion, radikal hidroksil, oksigen nasen, hipoklorus dan

nitrit oksida. Mekanisme fagositosis lain yang tidak tergantung

oksigen adalah enzim-enzim yang terdapat dalam granula sel

19
fagosit seperti laktoferin, lisosim dan defensin. Bakteri yang

difagosit terbungkus oleh fagosom dalam sitosol, kemudian

menyatu dengan fagolisosom, selanjutnya didegradasi oleh enzim

proteolitik dalam lisosom. Mekanisme ini bersifat sementara tetapi

sangat merusak karena selain menghancurkan bakteri, juga

merusak jaringan tubuh (Hou dkk, 2000; Ataoglu dkk; 2002).

Respons imun humoral pada periodontitis apikalis kronis

terutama diperankan oleh makrofag, sel dendrit, sel T dan sel

plasma. Dalam imunitas alami, makrofag sebagai sumber utama

sitokin-sitokin IL-1, IL-8, dan TNF-α yang berperan pada inisiasi dan

regulasi proses peradangan, juga mengfagosit sisa -sisa sel PMN

dan bakteri yang mati melalui berbagai molekul aktif seperti matriks

metalloproteinase (kolagenase dan elastase), yang juga merusak

komponen jaringan ikat dan jaringan periapikal. Pada imunitas

adaptif, makrofag, sel dendrit dan sel lmfosit-B berperan sebagai

APC professional, bersama MHC klas II mempresentasikan antigen

ke limfosit T CD4+,naif yang kemudian menjadi sel T efektor; Th1,

Th2 atau Th17. Sel Th1 mengsekresi IL-2 untuk memicu aktifasi

klonal sel T, menghasilkan interferon-gamma, untuk aktifasi klon

makrofag sehingga meningkatkan fagositosis dan menginduksi sel

B menghasilkan antibodi untuk opsonisasi. Sel dendrit berperan

penting untuk polarisasi respons imun sel limfosit T helper, yang

mengawali respons imun adaptif terhadap antigen protein. Sel

20
dendrit teraktifasi menghasilkan IL-12 yang merupakan kunci utama

imunitas yang dimediasi sel (Hou dkk, 2000, Fouad dkk, 2001;

Kaneko dkk, 2001; Ataoglu dkk, 2002).

Sel Th2 terutama ditujukan untuk aktifasi sel B melalui sekresi

IL-4, dan IL-5. Aktifasi sel B akan berdiferensiasi menjadi sel

plasma untuk menghasilkan antibodi masal. Sel Th2 juga

menghasilkan IL-10 yang ditujukan untuk menahan aktifasi sel Th1,

sehingga IL-10 disebut sitokin imunosupresif. Sel B dapat juga

diaktifasi langsung oleh LPS menghasilkan poliklonal sel B yang

kemudian berperan dalam mekanisme efektor sel B. Limfosit sel B

sebagai prekursor sel plasma telah ditemukan pada periodontitis

apikalis kronis. Ini menunjukkan keberadaan antibodi pada jaringan

periapikal yang spesifik terhadap bakteri tertentu dalam saluran

akar. Konsentrasi IgG dalam eksudat periapikal dilaporkan empat

kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kadar dalam serum

pasien. Penelitian lain menunjukkan peran sel B sebagai elemen

imun yang penting dalam mencegah penyebaran infeksi endodontik

pada periodontitis apikalis (Fouad dkk, 2001, Ataoglu dkk, 2002).

21
Gambar 3. Interaksi antara bakteri saluran akar, produknya dan
komponen seluler pada patogenesis periodontitis apikalis kronis
(Marton & Kiss, 2000)

B. Bakteri Saluran Akar

Setiap bakteri yang menginfeksi saluran akar dapat memicu

peradangan periapikal, akan tetapi virulensi dan patogenitas masing-

masing spesies bakteri sangat beragam dan dapat dipengaruhi oleh

kehadiran bakteri lain. Ketahanan dan patogenitas bakteri saluran

akar dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi interaksi dengan

22
bakteri lain dalam saluran akar, membentuk sinergi atau asosiasi

negatif dengan bakteri lainnya, dan juga memiliki kemampuan

menghindar dari pertahanan tubuh. Selain itu bakteri memiliki

komponen-komponen antigenik seperti lipopolisakarida (LPS),

peptidoglikan (PG), lipoteichoic acid (LTA), dan mensintesis enzim-

enzim yang merusak tubuh seperti kolagenase, hyaluronidase dan

protease lainnya yang membantu penyebaran bakteri dalam jaringan

(Nair, 2004).

Bakteri saluran akar berbeda dengan bakteri pada karies atau

poket periodontal karena jenis dan ketersediaan nutrien, oxygen

tension dan interaksi bakteri mempengaruhi spesifitas flora saluran

akar. Kondisi selektif saluran akar berpengaruh terhadap

pertumbuhan spesies bakteri tertentu dan menghambat bakteri

lainnya (Figdor & Sundqvist, 2007). Jumlah spesies bakteri dalam

saluran akar terinfeksi beragam, tergantung dari kasus, ukuran lesi,

dan metode pemeriksaan, berkisar 1 – 83 spesies (Nair, 2006; Roqas

& Siqueira, 2008; Figdor & Gulabivala, 2011; Siqueira dkk, 2011).

Pada PAK, bakteri gram+ sebanding dengan bakteri gram-,

didominasi oleh bakteri obligat anaerob (Figdor & Sundqvist, 2007).

Komunitas polimikroba memicu respons inflamasi, dapat

berkembang menjadi akut atau kronis, bergantung pada intensitas dan

durasi faktor pemicu (Marton & Kiss, 2000; Siqueira & Roqas, 2009).

Pada kelainan kronis, kehadiran bakteri dalam jangka waktu lama

23
tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas pada pasien. Bakteri-

bakteri yang umum ditemukan pada PAK adalah Fusobacterium

nucleatum, Veilonella parvula, Eubacterium, Campylobacter,

Enterococcus, Peptostreptococcus, Porphyromonas, Prevotella,

Propionibacterium, Streptococcus. Prevotella intermedia dan

Prevotella nigrescens ditemukan dalam 26-40% kultur bakteri saluran

akar, sedang frekuensi Porphyromonas endodontalis dan P gingivalis

lebih rendah, ± 10%. Ketersediaan rantai makanan berperan penting

dalam metabolisme dan nutrisi untuk pertumbuhan suatu spesies

dalam saluran akar. Spesies bakteri berbeda juga ditemukan selama

kunjungan perawatan saluran akar, umumnya didominasi oleh bakteri

enterik. Beberapa spesies baru ditemukan dalam frekuensi cukup

tinggi dengan metode reverse-capture checkerboard hybridization

assay seperti Prevotella baroniae, D. iInsivus, P. Stomatis (Nair, 2006;

Roqas & Siqueira, 2008).

Bakteri Enterococcus merupakan bakteri dengan ketahanan

tinggi terhadap perawatan kemomekanik dan medikasi saluran akar.

Hal ini dikaitkan dengan kemampuan bakteri tersebut membentuk

biofilm, suatu jejaring kompleks dari beragam bakteri, terdistribusi

dalam matriks dan terlindung dari perubahan-perubahan lingkungan,

efek biosid yang merusaknya, sehingga periodontitis apikalis dianggap

sebagai kelompok penyakit infeksi pada manusia yang disebabkan

biofilm bakteri (Siqueira & Roqas, 2009; Figdor & Gulabivala 2011).

24
C. Tahap Perawatan Saluran Akar Gigi

Periodontitis apikalis kronis merupakan penyakit keradangan

yang disebabkan oleh bakteri yang menginfeksi saluran akar gigi dan

eliminasi bakteri menjadi target kontrol melalui perawatan saluran

akar.

Rangkaian perawatan saluran akar terdiri dari :

1. Preparasi kemomekanik

Preparasi saluran akar merupakan satu tahapan yang paling

penting dalam perawatan saluran akar, meliputi pengeluaran jaringan

vital dan nekrotik dari sistem saluran akar dan dentin akar yang

terinfeksi. Preparasi saluran akar diselesaikan melalui penutupan

sempurna saluran akar dan restorasi koronal (Johnson & Noblett,

2002). Berbagai teknik dan alat yang digunakan untuk preparasi

saluran akar, termasuk preparasi manual, preparasi sonik dan

ultrasonik, atau preparasi yang digerakkan dengan mesin,

penggunaan sistem laser, belum mampu mengeliminasi sempurna

bakteri saluran akar karena bakteri tersebut dapat berdiam dalam

kompleksitas anatomi sistem saluran akar. Penelitian menunjukkan

sejumlah kecil bakteri tetap bertahan pada 30% -50% kasus (Figdor

dan Gulabivala, 2011). Demikian juga instrumentasi manual

menggunakan alat stainless steel atau instrumentasi dengan alat

putar Ni-Ti masih menyisakan bakteri pada 25%-50% kasus.

Preparasi mekanis saluran akar harus selalu diikuti dengan disinfeksi

25
menggunakan irigan seperti sodium hipoklorit, klorheksidin, EDTA,

MTAD (Figdor dan Sunqvist, 2007). Hasil penelitian dengan berbagai

irigan menunjukkan kemampuan irigan tersebut mengeliminasi

bakteri pada lebih dari separuh kasus (Martinho dan Gomes 2008;

Roqas dan Siqueira, 2011).

2. Medikasi saluran akar

Medikasi saluran akar dilakukan antar kunjungan terutama

pada kasus gigi nekrosis dan periodontitis apikalis dengan tujuan

mengurangi rasa sakit, mengurangi pertumbuhan dan jumlah bakteri.

Medikasi saluran akar diperlukan karena prosedur pembersihan

saluran akar tidak mampu menghilangkan seluruh bakteri yang ada

dalam saluran akar yang kompleks. Berbagai medikamen saluran

akar telah digunakan untuk menyempurnakan disinfeksi saluran

akar. Medikamen seperti golongan fenol dan aldehide menunjukkan

aksi non spesifik yang membunuh bakteri tetapi juga merusak

jaringan pejamu sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan, dan

penelitian-penelitian klinis menunjukkan medikamen tersebut tidak

efektif (Johnson & Noblett, 2002; Haapasalo & Wei Qian, 2008).

3. Obturasi saluran akar

Obturasi saluran akar bertujuan mendapatkan penutupan yang

hermetis pada saluran akar, mencegah masuknya cairan dari apikal

26
atau koronal. Obturasi saluran akar yang baik dapat mematikan sisa

bakteri yang ada dengan menghilangkan ketersediaan nutrien dan

ruang untuk pertumbuhan bakteri. Penelitian menunjukkan kultur

bakteri negatif sebelum obturasi memberi keberhasilan 94%,

dibandingkan dengan kultur positif yang hanya memberi

keberhasilan sebesar 68% (Figdor dan Gulabivala, 2011).

D. Pasta Triantibiotik

Medikasi saluran akar diperlukan karena penelitian menunjukkan

sejumlah bakteri tetap bertahan pada 30%-50% kasus gigi nekrosis

dan periodontitis apikalis setelah preparasi kemomekanik (Figdor &

Gulabivala, 2011). Berbagai medikamen saluran akar telah digunakan

untuk mengoptimalkan disinfeksi saluran akar tetapi medikamen

tersebut memiliki aksi non spesifik yang membunuh bakteri dan juga

merusak jaringan pejamu, sehingga tidak efektif (Johnson & Noblett,

2002; Haapasalo & Wei Qian, 2008).

Medikamen yang mengandung antibiotik dianggap efektif pada

gigi nekrosis yang tidak lagi memiliki aliran darah. Pada tahun 1951

Grossman memperkenalkan pasta poliantibiotik PBSC; terdiri dari

campuran penisilin dengan target membunuh organisme gram +,

basitrasin untuk membunuh strain bakteri yang resisten terhadap

penisilin, streptomisin untuk membunuh bakteri gram -, dan caprylate

sodium untuk mematikan jamur. Pada tahun 1975, badan pengawas

27
makanan dan obat-obatan Amerika (FDA) melarang penggunaan

PBSC untuk menghindari resiko terjadinya reaksi alergi

(Athanassiadis dkk, 2007).

Pada tahun 1994, pasta triantibiotik dikembangkan oleh unit

penelitian karies Universitas Niigata Jepang sebagai perawatan baru

pada pulpa dengan konsep “lesion sterilization and tissue repair

LSTR“ therapy. Pasta triantibiotik terdiri dari 3 jenis antibiotik karena

infeksi saluran akar bersifat polimikrobial sehingga penggunaan

antibiotik tunggal tidak cukup efektif. Disamping itu kombinasi

beberapa antibiotik dapat mengurangi kemungkinan terjadinya

resistensi terhadap bakteri (Mohammadi & Abbott, 2009,

Parasuraman dkk, 2012).

Pasta triantibiotik ini terdiri dari ciprofloxacin, metronidazole dan

minosiklin, dan dilaporkan mampu secara konsisten menghambat

semua bakteri dari lesi karies dan saluran akar terinfeksi (Sato dkk,

1996; Hoshino dkk, 1996). Penelitian lain yang dilakukan oleh Windley

dkk, 2005 pada gigi permanen muda anjing dengan periodontitis

apikal, juga menunjukkan penurunan jumlah bakteri secara bermakna

setelah dimedikasi dengan pasta triantibiotik (Windley dkk, 2005).

Evaluasi klinis pada gigi susu dengan lesi periapikal menunjukkan

pasta trantibiotik yang diaplikasi mampu menghilangkan gejala klinis

yang ada; pembengkakan gusi, sinus tract dan nyeri pada hampir

semua kasus (Takushige dkk, 2004). Penelitian klinis lainnya pada

28
gigi permanen muda juga memberikan hasil memuaskan, dan

dilaporkan terjadi revaskularisasi setelah aplikasi pasta triantibiotik

(Nakornchai dkk, 2010; Takushige dkk, 2008).

Laporan kasus pada penderita dengan riwayat trauma gigi depan

atas dan kemudian menyebabkan infeksi saluran akar disertai

kelainan periapikal pada foramen apikal tebuka, melaporkan

keberhasilan perawatan saluran akar setelah medikasi pasta

triantibiotik. Hasil ini ditandai dengan hilangnya fistel, dan pengamatan

radiologis setelah 7 bulan menunjukkan kemajuan progresif, ditandai

dengan mengecilnya lesi periapikal bahkan pada satu kasus lesi

periapikal hilang, tampak terbentuk trabekula tulang dan penutupan

apikal berlanjut (Kim dkk, 2010; Sahwny dkk, 2013; Thomas 2014).

Laporan kasus lainnya menggambarkan keberhasilan

perawatan saluran akar pada penderita setelah medikasi dengan

pasta triantibiotik pada kasus infeksi saluran akar dengan gambaran

radiologis terdapat radiolusensi besar pada periapikal. Pada kasus-

kasus ini, medikasi berulang dengan kalsium hidroksid tidak berhasil

meredakan gejala klinis yang ada; nyeri dan fistel tetap ada. Empat

minggu setelah medikasi dengan pasta triantibiotik gejala klinis

hilang. Pada pemeriksaan lanjutan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan,

tampak proses kesembuhan yang berlangsung progresif pada

gambaran radiologis (Taneja dkk, 2010; Manuel dkk, 2010). Hal ini

29
mendukung konsep LSTR, terjadi perbaikan dan kesembuhan bila

patogen salurna akar dieradikasi.

Penelitian klinis yang dilakukan pada gigi permanen dengan

kasus abses apikal juga menunjukkan keberhasilan setelah perawatan

saluran akar dengan aplikasi berulang pasta triantibiotik, akan tetapi

terjadi dampak samping perubahan warna gigi (Manuel dkk, 2010,

Sahwny dkk, 2013). Perubahan warna kecoklatan pada gigi tersebut

disebabkan kandungan minosiklin dan penempatan antibiotik pada

muara saluran akar, dan juga di sepanjang saluran akar gigi (Kim dkk,

2010; Manuel dkk,2010, Sahwny dkk, 2013, Thomas 2014). Upaya-

upaya terus dikembangkan antara lain menggantikan minosiklin

dengan cefaclor (Thibodeau & Trope, 2007), aplikasi dentin bonding

(Reynolds dkk, 2009), atau bisa dengan penempatan pasta

triantibiotik pada bagian apikal seperti yang akan diuji dalam penelitian

ini. Uji in vitro menunjukkan pasta triantibiotik memiliki dosis efektif

0.08 mg-2.5 mg sebagai anti bakteri terhadap bakteri aerob dan

bakteri anerob tanpa menimbulkan efek toksik terhadap fibroblas

(Wirawan S, dkk, 2011).

30
Komposisi pasta triantibiotik

Menurut Hoshino dkk (1996) :

 Antibiotik (3Mix: Ciprofloxacin, Metronidazole, Minocycline) –

rasio 1:1:1.

 Carrier (Macrogol, Propylene glycol)- ratio 1:1

 3mix disatukan dengan MP dengan perbandingan 1MP:5(3mix)

atau 1MP:7 (standar mix)

1. Ciprofloxacin

Ciprofloxacin merupakan antibiotik fluorokuinolon generasi

kedua yang memiliki spektrum luas dengan efek samping yang relatif

kurang, bersifat bakterisid dan efektif terhadap bakteri-bakteri gram

positif dan gram negatif. Antibiotik golongan ini bekerja memasuki sel

dengan cara difusi pasif melalui kanal protein terisi air pada

membran sel bakteri. Secara intraseluler, obat ini menghambat

replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja DNA girase

(topoisomerase II) selama pertumbuhan dan reproduksi bakteri.

Ikatan kuinolon pada enzim dan DNA membentuk suatu kompleks

yang dapat menyebabkan kematian sel dengan menimbulkan

keretakan DNA. Ciprofloxacin efektif digunakan untuk infeksi saluran

kemih, uretritis, demam tifoid dan paratifoid, infeksi saluran napas,

infeksi jaringan lunak serta osteomyelitis. Resistensi bakteri terhadap

31
ciprofloxacin telah dilaporkan terjadi pada Pseudomonas,

Staphylococcus dan beberapa patogen lainnya (Brooks dkk, 2001).

2. Metronidazole

Metronidazole merupakan senyawa nitroimidazole yang

memiiki aktifitas spektrum luas terhadap protozoa dan kokus bakteri

anaerob, basil gram + dan gram -. Metronidazole cepat menyusup ke

dalam membran sel bakteri, mengikat DNA dan merusak struktur

helix yang dengan cepat menyebabkan kematian sel (Windley dkk,

2005). Penelitian in vitro menunjukkan metronidazole memiliki

aktifitas antibakteri yang sangat baik terhadap bakteri anaerob dari

isolat klinik abses odontogenik, tetapi tidak efektif terhadap bakteri

aerob. Demikian juga tes difusi agar menunjukkan metronidazole

mampu menghambat pertumbuhan semua bakteri anaerob obligat

yang diuji dibandingkan dengan kalsium hidroksid (Mohammadi dan

Aboott, 2009).

3. Minosiklin

Minosiklin merupakan tetrasiklin semi sintetik generasi kedua,

telah digunakan selama kurang lebih dari 40 tahun sejak tahun 1972,

bersifat bakteriostatik dan efektif terhadap bakteri gram positif dan

negatif, ditoleransi dengan baik dan aman (Sapadin dkk, 2006, Griffin

dkk, 2011). Minosiklin disetujui oleh Food and Drug Administration

32
Amerika Serikat (FDA) untuk digunakan sebagai obat dalam

penanganan acne vulgaris, beberapa penyakit transmisi seksual, dan

rheumatoid arthritis (Griffin dkk, 2011).

Minosiklin memiliki farmakokinetik lebih baik dari senyawa

induk tetrasiklin bila diberikan secara oral, diabsorbsi dengan cepat

dan hampir sempurna, memiliki waktu paruh lebih panjang dan

penetrasi ke dalam jaringan hampir mencapai 100%. Minosiklin

merupakan molekul sangat lipofilik dan mudah melewati sawar darah

otak sehingga dapat digunakan dalam perawatan berbagai penyakit

yang mengenai sistem saraf pusat. Sebaliknya minosiklin kurang

cocok terhadap patogen saluran kencing karena memiliki kelarutan

rendah dalam air (Griffin dkk, 2011).

Mekanisme aksi anti bakteri minosiklin dapat dibagi menjadi

bakteriostatik jika beraksi tipikal, mengikat secara spesifik pada sub

unit ribosom bakteri, dan bakterisid bila beraksi atipikal, tidak

menjadikan ribosom sebagai target utama. Aksi atipikal sangat toksik

pada sel eukariot dan sel prokariot. Minosiklin dan semua derivat

tetrasiklin bersifat broad-spectrum dan kini dikembangkan jenis

tetrasiklin narrow-spectrum untuk mengatasi penyakit-penyakit

infeksi tertentu (Nelson & Levy, 2011).

Aksi anti bakteri minosiklin terjadi melalui hambatan pada

sintesis protein bakteri gram positif dan gram negatif, dengan

mencegah perlekatan aminoacyl-tRNA dengan akseptor (A) ribosom

33
(Cornell dkk, 2003). Minosiklin sangat dinamis, memiliki kemampuan

berinteraksi dengan berbagai target seluler dan reseptor sel.

Minosiklin memiliki sedikit efek samping meliputi kelasi dengan

kalsium sehingga mempengaruhi warna tulang dan gigi menjadi

keabuan, efek fototoksik terhadap keratinosit dan fibroblas,

menyebabkan pigmentasi pada kuku, kulit, sklera dan konjungtiva

pada orang dewasa (Good & Hussey, 2003).

Diskolorasi gigi akibat minosiklin terjadi pada 3-6% pasien yang

mengkonsumsi minosiklin >100 mg per hari dalam jangka panjang,

dapat terjadi 1 bulan sampai bertahun-tahun setelah awal perawatan

melalui beberapa mekanisme. Minosiklin diduga melekat pada

glikoprotein dalam acquired pellicle, mengetsa enamel dan terjadi

siklus demineralisasi/remineralisasi. Minosiklin mengalami oksidasi

bila terpapar udara atau akibat aktifitas bakteri, menyebabkan

degradasi cincin aromatik membentuk cincin quinon yang merupakan

komponen pigmen pewarna. Mekanisme lain melibatkan ikatan

minosiklin pada plasma protein, dideposit dalam jaringan kaya

kolagen seperti gigi. Kompleks ini mengalami oksidasi secara

perlahan akibat paparan cahaya (Good & Hussey, 2003). Kelasi

minosiklin dengan hemosiderin; produk uraian besi, membentuk

kompleks tidak larut, yang merupakan mekanisme lain diskolorasi

gigi yang hanya mengenai matriks dentin. Upaya mengurangi efek

tersebut dapat dilakukan dengan mengkonsumsi minosiklin dibawah

34
100 mg untuk terapi jangka panjang, dan konsumsi anti oksidan

vitamin C untuk mencegah pembentukan cincin quinon (Good dan

Hussey, 2003).

Minosiklin juga memiliki sifat non antibakteri, meliputi aktifitas

anti inflamasi, anti apoptotik, inhibisi proteolisis, supresi angiogenesis

dan metastasis tumor sehingga mendukung penggunaannya dalam

perawatan kelainan autoimun, seperti rheumatoid arthritis, penyakit

peradangan usus besar, scleroderma, aortic aneurysms, metastasis

kanker (Sapadin dkk 2006; Griffin dkk 2011).

4. Carrier/Vehicle

Idealnya suatu carrier/vehicle untuk membawa antibiotik dalam

saluran akar harus memiliki kemampuan untuk menfasilitasi difusi

medikamen lebih baik ke dalam tubulus dentinalis dan variasi

anatomis saluran akar seperti fin, ismus, demikian juga difusi ke

dalam sementum dan jaringan periradikuler (Parasuraman dkk,

2012).

Propylene glycol dan makrogol dilaporkan memiliki kemampuan

penetrasi yang baik ke dalam dentin akar. Kehadiran smear layer

dapat menghambat penetrasi tersebut dan saluran akar yang

dipreparasi disertai irigasi dapat meningkatkan penetrasi medikamen

saluran akar (Cruz EV dkk, 2002).

35
E. Kalsium Hidroksid

Medikamen saluran akar yang efektif menghambat bakteri dalam

saluran akar adalah kalsium hidroksid (Ca(OH) 2), dan merupakan

medikamen anti bakteri standar yang telah lama digunakan sejak

diperkenalkan pada tahun 1920 (Sathorn dkk, 2007). Kalsium

hidroksid merupakan substansi alkalis kuat dengan pH lebih kurang

12,5. Dalam larutan, kalsium hidroksid berdisosiasi menjadi ion

kalsium dan hidroksil, yang merupakan radikal bebas sangat reaktif,

bersifat letal terhadap sel bakteri dengan merusak membran

sitoplasmik bakteri, mendenaturasi protein melalui aktifitas enzimnya,

dan merusak DNA. Disamping itu juga mampu menghambat resorpsi

gigi dan menginduksi perbaikan jaringan keras gigi (Al Ansary dkk,

2009). Aktivitas antibakteri Ca(OH)2 tergantung dari ketersediaan ion

hidroksil dalam larutan, dan lebih tinggi dalam bentuk pasta.

Efektivitas ini berkurang jika pH menurun akibat aksi sistem buffer

dentin. Beberapa bakteri seperti Enterococcus dapat hidup pada pH

yang sangat tinggi dari 9 hingga 11. Toleransi bakteri pada perubahan

pH dapat disebabkan oleh aktivitas dari pompa proton dan sistem

enzim yang spesifik, dan/atau sistem buffer yang membuat pH

konstan. Ramifikasi saluran akar, isthmus, dan fin juga

menghindarkan bakteri dari aksi Ca(OH)2 karena terjadi netralisasi pH

(Nair, 2006). Pemeriksaan bakteri dengan tehnik molekuler

menunjukkan reduksi bakteri berkurang sampai 60% setelah preparasi

36
saluran akar, irigasi dengan sodium hipoklorit dan medikasi kalsium

hidroksid (Roqas & Siqueira, 2011).

Beberapa penelitian dengan tes difusi agar melaporkan bahwa

Ca(OH)2 tidak cukup efektif menghambat pertumbuhan bakteri obligat

dan falkutatif anaerob, bisa karena bakteri resisten terhadap

medikamen, sel bakteri berada dalam keadaan anatomis yang tidak

terjangkau oleh medikamen, medikamen dinetralisasi oleh komponen

jaringan dan sel-sel atau produk bakteri, atau medikamen tidak cukup

lama dalam saluran akar untuk membunuh sel bakteri, bakteri

mengubah pola ekspresi gen setelah perubahan lingkungan (Nair

2006). Dengan demikian strategi perawatan perlu diarahkan untuk

eliminasi bakteri dalam tubulus termasuk medikamen yang mampu

penetrasi ke dalam tubulus dentinalis dan membunuh bakteri.

Beberapa upaya untuk meningkatkan efektivitas antibakteri

adalah dengan menggunakan kendaraan yang membawa Ca(OH) 2

tanpa mengubah pH Ca(OH)2. Kendaraan ini antara lain air, larutan

saline, gliserin, dan substansi lain (Camforated Paramonochlorfenol

dan Metacresil Asetate). Upaya menggabungkan Ca(OH) 2 dan CMCP

dalam membunuh bakteri hanya menunjukkan efektifitas yang

terbatas. Waktu yang dibutuhkan Ca(OH) 2 untuk mendisinfeksi sistem

saluran akar belum jelas. Berbagai penelitian klinis menunjukkan hasil

berbeda dengan efektifitas 70%-90%, berkisar antara 1 minggu

hingga 3 bulan (Figdor & Sundqvist, 2007).

37
Pada gigi permanen muda yang nekrosis, pemberian kalsium

hidroksid tidak dianjurkan karena kalsium hidroksid dapat merusak

sisa jaringan pulpa dan ‘stem cells apical papilla’ (SCAP) yang dapat

menghambat diferensiasi dan kelangsungan pertumbuhan akar

(Banchs & Trope, 2004).

F. Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9)

Matriks metalloproteinase (MMPs) disebut juga matrixin,

merupakan keluarga endopeptidase yang tergantung zink dan

berperan penting dalam menyebabkan degradasi hampir semua

komponen matirks ekstra seluler pada proses pertumbuhan,

penyembuhan luka, dan remodelling jaringan, termasuk mengfasilitasi

migrasi sel-sel.

Matriks metalloproteinase menunjukkan ekspresi sangat rendah

dalam kondisi normal, dan disregulasinya mengakibatkan berbagai

proses patologis seperti pada periodontitis, arthritis, dan metastasis

tumor sehingga MMPs menarik untuk dijadikan sebagai penanda

berlanjutnya proses inflamasi dan keganasan (Bode dkk, 2003;

Nagase dkk, 2006; Tjaderhane dkk, 2007). Ekspresi MMPs dikontrol

secara transkripsi oleh sitokin-sitokin pro inflamasi, growth factors,

hormon, sedang aktifitasnya diregulasi oleh aktifasi zimogen prekursor

dan dihambat oleh inhibitor endogen; tissue inhibitor of

metalloproteinases (TIMPs) (Nagase dkk, 2006).

38
Matriks metalloproteinase 9 (MMP-9) atau gelatinase B,

merupakan anggota keluarga MMPs yang memiliki struktur dan

regulasi aktifitas paling kompleks dan berperan dalam banyak

penyakit (Opdenakker dkk, 2001; van den Steen dkk 2002). MMP-9

adalah enzim multidomain yang berperan pada inflamasi akut dan

kronis, dan penyakit-penyakit neoplastik lainnya. MMP-9 berperan

pada inflamasi akut pulpa dan juga pada jaringan periapikal. MMP-9

memulai proses resorpsi dengan mengeluarkan lapisan kolagenosa

dari permukaan tulang sebelum demineralisasi dimulai (Ahmed dkk,

2013).

MMP-9 dilaporkan terdeteksi dalam cairan krevikuler gingiva

pada kelainan periapikal dan menunjukkan aktifitas lebih tinggi pada

granuloma periapikal dibandingkan dengan kista apikal (Belmar dkk,

2008). Beberapa mediator inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, PG, dan

MMPs terlibat dalam ekspresi MMP-9 (Paula-Silva dkk, 2010).

MMP-9 dihasilkan oleh sel-sel tertentu seperti keratinosit,

monosit, makrofag, leukosit PMN dan berbagai sel kanker. Produksi

MMP-9 distimulasi sebagai respons terhadap berbagai inducers

seperti promoter tumor, growth factor, sitokin, bakteri, produk

onkogen, dan subtansi fisiologis seperti ion-ion logam, reactive

oxygen species atau hormon. Pola ekspresi MMP-9 pada leukosit

PMN sedikit berbeda dengan sel lainnya. MMP-9 disintesis pada saat

maturasi PMN dan tersimpan dalam granula tersier sehingga stimulasi

39
pada PMN menginduksi pelepasan enzim melalui degranulasi.

Respons terhadap inducers berbeda antara MMP-9 dan MMP-2

karena adanya perbedaan promoter sekuens gen. Ekspresi basal

MMP-9 rendah pada hampir semua growth factor dan sitokin, dan

meningkat lebih dari 100 kali pada saat terinduksi bila dibandingkan

dengan MMP-2 yang meningkat empat kali (Sternlicht 2001).

Mekanisme regulasi yang dimediasi growth factors (EGF, PDGF,

bFGF, TGF-α, TGF-β) dan sitokin-sitokin (TNF-α, IL-1, IFN), terjadi

terutama pada tahap transkripsi, diinisiasi oleh ikatan pada reseptor

permukaan sel, kemudian ditransmisi ke inti melalui berbagai jalur

MAPK. Sitokin pro inflamasi seperti TNF-α , IL-1 dan berbagai stres

lingkungan menginduksi ekspresi MMP-9 melalui jalur JNK/SAPK, dan

p38 MPK. Inducers utama yang melipat gandakan produksi MMP-9

dibandingkan dengan MMP-2 adalah phorbol ester, growth factor

seperti EGF, TGF-β dan sitokin proinflamasi TNF-α, dan IL-1β, juga

LPS (van den Steen dkk, 2002).

Penurunan regulasi produksi MMP-9 oleh monosit dan makrofag

umumnya diinduksi oleh IFN-β, IFN-γ, IL-4, IL-10 pada tahap

pretranslasi, dan pada beberapa sel oleh IFN-α, IL-13, EGF, PMA dan

TGF-β. Efek ini tergantung pada jenis sel dan terutama akibat dari

inhibisi sintesis prostaglandin E2 (PGE2), karena supresi pada

membrane-bound prostaglandin H synthase (PGHS)-2.

40
Kombinasi antara sitokin dan atau growth factors merupakan

mekanisme yang lebih efisien dalam menstimulasi atau menginhibisi

ekspresi MMP-9 karena memberi efek aditif atau sinergis melalui

transduksi sinyal intrasel yang berbeda atau sama. IL-1α atau TNF-α

berinteraksi secara sinergis dengan PDGF atau bFGF menstimulasi

sekresi MMP-9 pada kelinci dan fibroblas dermal manusia melalui jalur

ERK1/2 MAPK yang kemudian mengaktifasi jalur AP-1, sedang IL-1α

dan TNF-α mengaktifasi jalur RTK-independen, yang dengan cepat

mengaktifasi jalur NF-kB. Bila jalur AP-1 dan NF-kB bersinergi, maka

terjadi peningkatan regulasi MMP-9, dibandingkan bila faktor

transkripsi terjadi secara individu (van den Steen dkk, 2002).

Beberapa protease lain juga dapat mengaktifasi MMP-9 yaitu

serin protease trypsin, kallikrein jaringan, catepsin G, kimase sel mast,

neutrofil elastase yang terdapat dalam granula azurofilik. MMPs yang

berbeda juga dapat mengaktifasi satu sama lain membentuk jejaring

aktifasi. Dua protease utama yaitu plasminogen activator, sistem

plasmin dan MT-MMPs menjadi aktifator berbagai MMPs.

Plasminogen dikonversi oleh tissue-type plasminogen activator (t-PA)

atau urokinase (u-PA) menjadi plasmin, mengaktifasi berbagai MMPs,

kemudian mengaktifasi satu sama lain dan berakhir pada aktifasi

MMP-9.

Aktifasi MMP-9 dapat juga dilakukan oleh zat-zat kimia seperti

asam hipoklorus, APMA (4-aminophenylmercuric acetate) yang

41
menyebabkan fragmentasi propeptida, menghasilkan Met 75 sebagai

amino terminal enzim, dan kehilangan domain carboxyterminal

hemopexin pada kehadiran Ca2+. Urea dan deterjen juga mengaktifasi

MMP-9 dengan mengacaukan interaksi cysteine pada prodomain

dengan daerah katalitik Zn2+ (van den Steen dkk, 2002).

MMP-9 disintesa dan disekresi sebagai zimogen atau proenzim

dalam keadaan tidak aktif dan menjadi aktif melalui pengeluaran

propeptida pada prodomain NH 2 terminal. Pemotongan koordinasi

melalui proteolisis pada propeptida menyebabkan perubahan

konformasi dan Zn2+ menjadi terpapar pada molekul air hidrolitik dan

substrat sehingga enzim menjadi aktif. Mekanisme ini disebut juga

cysteine-switch mechanism.

Proteolitik penguraian propeptida dari MMP-9 terjadi dalam 2

tahap. Penguraian tahap pertama terjadi pada Gln 40-Met41 yang

diaktifasi oleh MMP-1, MMP-2, MMP-3 dan MMP-13. Aktifasi MMP-9

oleh MMP-3 lebih lanjut mendegradasi MMP-9 secara lambat dengan

mengurai Pro428-Glu429. MMP-3 mengaktifasi MMP-2 pada konsentrasi

yang lebih tinggi dari TIMP-1. Kehadiran Ca 2+ penting untuk aktifasi

MMP-9 dengan trypsin, dan degradasi MMP-9 terjadi tanpa Ca 2+.

MMP-9 dan MMP-2 juga terikat pada elastin tidak larut, dan Pro MMP-

9 terikat elastin tidak dapat diaktifasi secara enzimatis.

MMP-9 juga diaktifasi melalui degranulasi leukosit PMN yang

terjadi sangat cepat dengan rangsangan faktor kemotaktik IL-8

42
dibandingkan dengan aktifasi MMP-9 oleh monosit, karena PMN

merupakan sel imun yang memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi

sehingga dapat mensintesis dan menyimpan MMP-8 dan MMP-9

dalam granula. MMP-9 berperan penting dalam mendegradasi

membrana basalis untuk migrasi leukosit dari sirkulasi untuk mencapai

fokus inflamasi. Mekanisme positif antara MMP-9 dan IL-8 terjadi

melalui kliping dari MMP-9 pada molekul IL-8 yang intak membuat IL-8

menjadi 10 kali jauh lebih aktif dimediasi terutama oleh CXCR1.

Aktifitas amplifikasi MMP-9 dihubungkan dengan degranulasi PMN

melalui stimulasi N- acethyl prolin- glisin- prolin (Ac-PGP) lewat jalur

ERK1/2 MAPK (Xu dkk, 2011). Semua faktor kemotaktik untuk aktifasi

PMN melalui jalur serpentine G-protein-coupled receptor molecules.

Berbeda dengan monosit, limfosit T, limfosit B, sel dendrit, dan sel NK,

PMN tidak menghasilkan MMP-2 dan TIMP-1 (van den Steen dkk,

2002).

Berbagai rangsang eksogen dan endogen dapat memicu

degranulasi PMN seperti PMA, fMLP dan LPS bakteri. Regulator

neutrofil untuk degranulasi endogen fisiologis adalah faktor kemotaktik

leukotrin B4 (LTB4), faktor komplemen C3a dan C5a, sitokin dan

kemokin.

43
MMP-9

Gambar 4. Positive feedback antara sitokin dan MMP-9


(Opdenakker, 2001)

Mekanisme aktifasi MMP-9 lainnya melalui interaksi antar sel

dimediasi oleh molekul adhesi. Aksi proteolitik MMP-9 dan MMP-2

menyebabkan degradasi kolagen tipe IV, membuat sel-sel bermigrasi

membentuk kontak baru dengan matriks ekstra sel. Kontak antara sel

endotel dan monosit, juga sel-T meningkatkan ekspresi MMP-9

melalui interaksi ICAM-1/LFA-1. Interaksi antara CD40 pada monosit

dengan CD40 ligand (gp 39) pada sel T juga menstimulasi produksi

MMP-9. Regulasi MMP-9 yang terjadi melalui kontak antara sel dan

matriks ekstra sel dimediasi reseptor αβ integrin pada permukaan sel,

mengenal motif yang menggambarkan urutan spesifik matriks protein

seperti Arg-Gly-Asp (RGD) pada fibronektin. Induksi MMPs juga terjadi

setelah kontak berbagai sel jaringan dengan komponen matriks ekstra

sel berbeda, dan memberikan efek berbeda pada ekspresi MMP-9

atau MMP-2 (van den Steen dkk, 2002).

44
MMP-9 juga mengurai protein βig-H3, suatu protein yang

diinduksi TGF-β menjadi fragmen, melekat pada permukaan sel

makrofag, berperan sebagai peptida kemoatraktan dan menginduksi

migrasi makrofag melalui aktifasi sinyal yang dimediasi FAK-Src (Kim

dkk, 2012).

Akifitas MMP-9 diregulasi melalui degradasi atau inhibisi. MMP-9

dihambat oleh inhibitor protease universal; α 2-macroglobulin yang

terdapat dalam serum manusia, dan juga oleh inhibitor yang lebih

spesifik yaitu tissue inhibitor of metalloproteinases (TIMPs)

(Verstappen & Von den Hoff, 2006)..

G. Tissue Inhibitor of Metalloproteinases-1 (TIMP-1)

Tissue Inhibitor of Metalloproteinase pertama ditemukan pada

tahun 1975 sebagai suatu protein dalam medium kultur fibroblas dan

serum manusia, yang memiliki kemampuan menghambat aktifitas

kolagenase. Kemudian tiga TIMP lain ditemukan lagi pada berbagai

spesies, dikenal sebagai TIMP-2, -3, -4. TIMPs diproduksi dalam

berbagai jaringan walaupun tidak setiap jaringan mengekspresikan

keempat TIMPs. Secara umum, hampir semua sel mesenkimal dan

epidermal mampu menghasilkan TIMPs dan TIMP-1,-2,-3 juga

dihasilkan oleh sel-sel darah putih (Oelmann dkk, 2002). TIMPs bisa

diekspresikan bersama dengan MMPs tetapi beberapa penelitian

menunjukkan adanya regulasi resiprokal, bisa tergantung dari

45
ekspresi growth factors dan sitokin-sitokin. Keseimbangan antara

MMPs dan TIMPs bervariasi, baik pada proses fisiologis seperti

pertumbuhan dan perkembangan, dan pada kondisi patologis seperti

kanker dan periodontitis. TIMPs membentuk kompleks stoikiometri

dengan MMPs secara non-kovalen dengan perbandingan 1:1, dapat

menghambat hampir semua MMPs dengan afinitas ikatan yang

bebeda-beda (Verstappen dan Von den Hoff, 2006).

Tissue inhibitor of metalloproteinase-1 merupakan inhibitor alami

yang menginaktifasi protein MMP, telah diidentifikasi sebagai growth

factor yang potensial pada banyak sel, dan dijadikan sebagai penanda

pada kanker payudara (Würtz dkk, 2005). Disamping itu, TIMP-1

ditemukan pada nuklei gingival fibroblas yang kadarnya tergantung

pada siklus sel. Efek mitogenik ini juga ditemukan pada sel otot polos

aorta dan keratinosit, yang sinyalnya ditransduksi melalui fosforilasi

tirosin, Ras effector, jalur ERK2 dan MAPK (Akahane dkk, 2004).

TIMP-1 juga berperan dalam regulasi apoptosis. TIMP-1 mengurangi

apoptosis pada limfosit-B dan sel kanker epitel, tergantung dari

macam sel. Dalam sistem imun, TIMP-1 terutama diproduksi oleh sel

B, monosit, neutrofil dan sel dendrit. Keseimbangan antara MMPs dan

TIMPs menentukan kemampuan migrasi sel-sel tersebut (Verstappen

& Von den Hoff, 2006).

Beberapa sitokin mampu berinteraksi dalam transkripsi gen-gen

MMP dan TIMP atau mengubah ekspresinya sehingga membuat efek

46
sitokin pada MMPs dan TIMPs sangat kompleks. Tergantung dari

jenis sel, sitokin yang sama dapat menstimulasi atau menghambat

ekspresi MMP atau TIMP (Verstappen & Von den Hoff, 2006). Secara

umum, perubahan ekspresi sitokin mempengaruhi keseimbangan

MMP/TIMP. Pada jaringan periodontal yang sehat, kadar TIMP

umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan periodontal yang

mengalami peradangan. Kadar MMP yang melampaui kadar TIMP

akan makin meningkat sejalan dengan keparahan penyakit. Pada

penyakit periodontal, MMP-1,-2,-3, dan -9 meningkat secara

bermakna dalam cairan krevikuler gingiva dan gingiva manusia,

sebaliknya TIMP-1, dan TIMP -2 berkurang secara bermakna

dibandingkan dengan kontrol yang sehat (Soell dkk, 2002).

Peningkatan TIMP-1 terjadi dua bulan setelah perawatan ‘scaling dan

root planing’, dan dihubungkan dngan penurunan MMPs yang teerikat

pada TIMP-1 (Valenzuela dkk, 2005).

H. Hubungan antara MMP-9 dan TIMP-1

Pada subyek sehat, MMP-9 dikosekresi bersama TIMP-1, dan

TIMP-1 memiliki afinitas besar dalam mengikat MMP-9 dibandingkan

dengan TIMP lainnya. TIMP-1 merupakan protein induksi, dan

hambatan pada MMPs mengikuti kinetika ikatan yang berlangsung

lambat dan sangat kompleks pada sisi ikatan berbeda untuk MMP-9

dan MMP-2. MMP-9 dapat diikat berbagai TIMP sedang proenzim

47
MMP-9 diikat oleh TIMP-1 dan TIMP-3. Interaksi antara proMMP-9

dan TIMP-1 terutama terjadi pada domain C-terminal dari masing-

masing molekul, dan kompleks ini dapat menghambat MMPs dengan

pembentukan MMP-9/TIMP-1/kompleks MMP. Ini mengindikasikan

inhibisi dari TIMP-1 pada domain N-terminal memungkinkan interaksi

kompleks proMMP-9/TIMP-1 (van den Steen dkk, 2002).

Inhibisi terhadap MMP-9 aktif terjadi melalui interaksi antara

domain N-terminal dari TIMP-1 dengan sisi aktif enzim. Domain N-

terminal dari sistein akan mengkelasi sisi aktif zink dan membuang

molekul air, meniadakan protein MMP aktif. Domain C-terminal MMP-9

memiliki afinitas interaksi yang tinggi dengan TIMP-1 dibandingkan

dengan domain N-terminal MMP-9 (van den Steen dkk, 2002).

Pada kondisi patologis, aktifitas MMP-9 dan TIMP-1 tidak

seimbang. Perubahan kadar TIMP-1 berperan penting karena

berdampak langsung terhadap aktifitas MMP-9. Pasien-pasien yang

mengalami jejas besar, TIMP-1 diproduksi berlebihan dibandingkan

dengan MMP-9. Hal ini mengakibatkan penurunan regulasi aktifitas

MMP-9 dan juga penurunan kemampuan remodelling. MMPs dikaitkan

dengan kerusakan membran basalis dan matriks ekstrasel dalam

konteks remodelling jaringan dan angiogenesis, sedang TIPMs

berperan mempertahankan keseimbangan antara deposisi dan

degradasi matriks ekstrasel melalui regulasi aktifitas MMPs (Brumann

dkk, 2011).

48
MMP-9 dan TIMP-1 merupakan dua dari sekian gen yang

terdeteksi memberikan ekspresi berbeda sesuai dengan parameter

klinis. Kinetika kadar MMP-9 dan TIMP-1 dalam serum telah dijadikan

sebagai penanda dini pasien-pasien yang memiliki resiko

berkembangnya komplikasi pasca trauma yang parah sebagai

respons terhadap disfungsi imun pasca trauma (Brumann dkk, 2011).

Penelitian lain pada anak-anak penderita asma menunjukkan rasio

MMP-9/TIMP-1 lebih tinggi selama eksaserbasi dibandingkan dengan

remisi setelah pemberian kortikosteroid oral sehingga MMP-9 dan

TIMP-1 dijadikan sebagai target penting untuk aplikasi terapeutik

pasien asma (Hegazy dan El Hana, 2006).

I. Epidermal Growth Factor

Growth factors merupakan polipeptida aktif secara biologik yang

mempengaruhi fungsi imun seperti proliferasi, kemotaksis dan

diferensiasi sel dari epitel, tulang dan jaringan ikat. Growth factors

mengikat tirosin kinase, reseptor spesifik pada permukaan sel yang

terdapat pada berbagai sel target termasuk osteoblas, sementoblas,

fibroblas, dan ligamentum periodontal (Dereka dkk, 2006).

Epidermal growth factor (EGF) merupakan mitogen potensial

yang disekresi oleh banyak jaringan antara lain paru-paru, ginjal,

saluran pencernaan, glandula submandibularis, juga terdeteksi dalam

plasma, plasenta, dan epitel junctional gingiva (Chang KM, dkk 1996).

49
EGF dapat menimbulkan berbagai aksi biologik seperti stimulasi

proliferasi sel, diferensiasi dan migrasi sel, produksi proteinase, dan

inhibisi sekresi asam lambung. EGF dan growth factor lainnya

berperan penting pada proses kesembuhan, karena memiliki sifat

proinflamasi seperti efek kemotaktik dan stimulasi produksi PGE 2.

Menurut Matsuda et al (1993), fibroblas ligamentum periodontal

mengekspresikan berbagai reseptor EGF. Pada konsentrasi antara 1-

10 ng/ml, EGF yang dikombinasikan dengan IGF-1 atau PDGF

mampu menstimulasi proliferasi fibroblas ligamentum periodontal, juga

pada fibroblas gingiva manusia sehingga EGF dipandang penting

pada regenerasi jaringan periodontal (Matsuda dkk 1993). EGF juga

merupakan regulator penting untuk degradasi matriks ekstraseluler

karena dapat menstimulasi sekresi kolagenase, gelatinase, dan

plasminogen activator dari berbagai jenis sel. Dengan menggunakan

tehnik immunohistokimia, ekspresi EGF dan EGF reseptor dilaporkan

meningkat selama inflamasi jaringan gingiva sehingga EGF berperan

sebagai mediator penting pada penyakit periodontal (Matsuda, dkk

1993).

EGF-EGF reseptor merupakan protein transmembran yang juga

terdapat pada dental follicle, tulang alveolar dan ameloblas, memiliki

peran penting selama erupsi gigi. EGF membatasi diferensiasi sel dan

meningkatkan regulasi ekspresi EGF-R, kemudian menurunkan

regulasi tersebut pada proses diferensiasi. EGF reseptor menurun bila

50
sel berdiferensiasi ke jenis sel yang mampu membentuk jaringan-

jaringan mineral sehingga EGF-R diduga berpartisipasi dalam

stabilisasi fenotip sel-sel ligamentum periodontal. Interaksi antara

stres mekanik dan sistem EGF/EGF-R berperan pada diferensiasi dan

regulasi osteoblastik sel-sel ligamentum periodontal pada manusia,

yang merupakan sumber sementoblas dan osteoblas. EGF-R

ditemukan dalam jumlah sangat kecil dalam jaringan ikat dan epitel

gingiva normal, dan peningkatan EGF-R ditemukan pada sel-sel

jaringan regenerasi.(Parker dkk, 2001).

Respons mitogenik sel-sel ligamentum periodontal manusia pada

EGF dihubungkan dengan aktifasi cepat dan selektif jalur ERK 1/2 dan

dapat mendukung proliferasi sel-sel osteoblas (Winter dkk, 2005). Di

lain pihak sel-sel ligamentum periodontal dan fibroblas gingiva

menunjukkan migrasi bergantung pada dosis, sebagai respons

terhadap EGF. Kemampuan mengikat EGF pada jaringan gingiva

manusia meningkat tiga kali selama inflamasi dibandingkan dengan

gingiva tanpa inflamasi. Observasi ini dihubungkan dengan

konsentrasi EGF yang rendah dalam CKG. Peningkatan kadar EGF

saliva secara transien terdeteksi pada bedah periodontal

dibandingkan dengan sampel saliva sebelum dan setelah bedah

periodontal (Dereka dkk, 2006).

51
J. Kesembuhan PAK setelah Perawatan Saluran Akar

Periodontitis apikalis kronis merupakan penyakit keradangan

yang disebabkan oleh bakteri menginfeksi saluran akar gigi sehingga

kesembuhan PAK harus diawali dengan mengeliminasi bakteri dalam

saluran akar melalui perawatan saluran akar, membuat saluran akar

tetap steril dengan obturasi, diikuti pergantian jaringan rusak oleh

jaringan baru. Observasi jangka panjang pada penelitian klinis

menunjukkan keberhasilan perawatan PAK dalam 3- 4 tahun berkisar

85%-90%. Gejala menetap dihubungkan dengan perawatan disinfeksi

yang tidak memadai (Marton & Kiss, 2000; Figdor & Gulabivala 2011).

Proses kesembuhan merupakan suatu proses biologik yang

kompleks, meliputi inflamasi, kemotaksis sel-sel, mitosis sel-sel

vaskuler dan tulang alveolar, neovaskularisasi, sintesis protein matriks

ekstrasel dan remodelling jaringan. Sitokin-sitokin, growth factors,

protease dan hormon meregulasi berbagai aspek dalam proses

tersebut. Proses kesembuhan kronis umumnya terjadi dalam tiga

tahapan yang saling berkaitan dalam ruang dan waktu yaitu inflamasi,

proliferasi dan repair, dan remodelling (Schultz & Mast, 1998, Eming

dkk, 2007).

1. Inflamasi

Respons inflamasi merupakan rangkaian pertama dari

serangkaian proses yang overlap dalam proses kesembuhan.

52
Leukosit infiltrat merupakan komponen seluler utama pada respons

inflamasi, yang tidak hanya berperan sebagai sel efektor dalam

melawan patogen, tetapi juga terlibat dalam degradasi dan

pembentukan jaringan. Influks atau aktifasi leukosit infiltrat yang

berlebihan atau kurang, akan berdampak pada migrasi, proliferasi

dan diferensiasi sel, dan kualitas dari respons kesembuhan.

Respons inflamasi merupakan cara menyediakan growth factors dan

sinyal-sinyal sitokin yang mengatur gerakan sel dan jaringan. Dalam

berbagai model eksperimental luka pada kulit manusia, respons

inflamasi selama kesembuhan normal ditandai dengan perubahan

spasial dan temporal dari berbagai subset leukosit (Eming dkk,

2007).

Makrofag dan neutrofil merupakan sumber dan target utama

sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, dan berbagai

protease MMPs. Makrofag dan neutrofil dalam jaringan menfagosit

dan menghancurkan bakteri, dan melepaskan protease. Sitokin-

sitokin proinflamasi merupakan inducer ekspresi MMP yang potensial

dalam luka kronis dan menurunkan regulasi ekspresi tissue inhibitor

of metalloproteinase, menciptakan lingkungan dengan aktifitas MMP

yang tinggi. (Eming dkk, 2007).

Protease berperan penting dalam proses kesembuhan untuk

mengeluarkan komponen-komponen matriks ekstra sel yang rusak,

digantikan dengan matriks ekstrasel intak bila penyembuhan luka

53
berlangsung lancar. Sejalan dengan penurunan konsentrasi sitokin

inflamatori dan growth factors, neutrofil, makrofag, fibroblas aktifasi

dan sel epidermal mulai mensintesa molekul-molekul baru. Makrofag

teraktifasi mensekresi TNF-α dan IL-1β, yang kemudian

menstimulasi sel-sel endotel kapiler untuk ekspresi molekul adhesi

sel. Sebagai respons, sel-sel endotel memproduksi IL-8, yang

kemudian menginduksi ekspresi molekul adhesi pada permukaan

sel-sel radang. Hal ini memungkinkan sel-sel radang mengikat sel-

sel endotel, melintasi membran basalis kapiler dan memasuki daerah

sekitarnya. TNF-α juga menginduksi makrofag menghasilkan IL-1β,

yang bersifat mitogenik untuk fibroblas dan meningkatkan regulasi

ekspresi MMPs. TNF-α dan IL-1β secara langsung mempengaruhi

deposisi kolagen. Interferon gamma (IFN-γ) yang diproduksi limfosit

menghambat migrasi fibroblas dan menurunkan regulasi sintesis

kolagen (Schultz & Mast, 1998).

54
Gambar 5. Mediator dan mekanisme inflamasi dan resolusi
inflamasi dan repair (Eming, 2007)

2. Proliferasi dan repair

Sel-sel inflamatori juga mengsekresi growth factors termasuk

heparin-binding epidermal growth factor (HB-EGF) dan basic

fibrobalst growth factor (bFGF). Growth factors yang disekresi

makrofag berlanjut menstimulasi migrasi fibroblas, sel-sel epitel, dan

sel-sel endotel vaskuler pada daerah luka, mulai berproliferasi dan

meningkatkan selularitasnya. Keberhasilan repair membutuhkan

resolusi respons inflamasi yang menurunkan regulasi ekspresi

kemokin oleh sitokin antiinflamasi seperti IL-10 dan TGF-β, atau

peningkatan regulasi molekul antiinflamasi seperti IL-Ra atau

sTNFR. Resolusi respons inflamasi dimediasi oleh reseptor

permukaan sel untuk hyaluronan CD44, apoptosis, receptor

55
unresponsiveness, penurunan regulasi pada konsentrasi ligan yang

tinggi. Pada penelitian terbaru, Nrf-2 diidentifikasi sebagai faktor

transkripsi yang meregulasi respons inflamasi selama repair (Eming

dkk, 2007). Tahap proliferasi dan repair biasanya berlangsung

beberapa minggu dan bila tidak terinfeksi, jumlah sel-sel inflamatori

mulai menurun setelah beberapa hari. Sel-sel lain dalam luka seperti

fibroblas, sel-sel endotel dan keratinosit mulai mensintesa growth

factors. Fibroblas mengsekresi IGF-1, bFGF, TGF-β, PDGF dan

KGF, sedang sel-sel endotel menghasilkan VEGF, bFGF dan PDGF,

dan keratinosit mensintesa TGF-β, TGF-α, dan IL-1β, yang kemudian

menstimulasi proliferasi sel, sintesis protein matriks ekstrasel dan

pembentukan kapiler (Schultz & Mast, 1998).

3. Remodelling

Fase remodelling dimulai setelah proliferasi dan

neovaskularisasi berhenti, dan bisa berakhir berbulan-bulan

kemudian. Dalam tahapan akhir, keseimbangan tercapai antara

sintesis komponen-komponen matriks yang baru dan degradasinya

oleh metalloproteinase seperti kolagenase, gelatinase dan

stromelisin. Fibroblas merupakan sel utama yang mensintesa

komponen matriks ekstrasel kolagen, elastin, proteoglikan, MMPs

dan TIMPs (Schultz & Mast, 1998).

56
Kesembuhan luka pada kelainan periodontitis apikalis setelah

perawatan saluran akar mengikuti prinsip umum proses kesembuhan

jaringan ikat dalam tubuh dengan pembentukan jaringan granulasi

fibrovaskuler, menghilangkan jaringan nekrotik dan bakteri mati oleh

makrofag teraktivasi dan kemudian terjadi perbaikan dan/atau

regenerasi dari jaringan terluka. Kesembuhan pada periodontitis

apikalis terutama terjadi pada regenerasi dan pada beberapa kasus

terjadi fibrosis. Sel-sel residen lokal dalam jaringan yang terlibat

dalam kesembuhan periapikal adalah osteoblast dan sel stromal

sumsum tulang dalam tulang alveolar dan multipotent stem cell

dalam ligamentum periodontal. Selama proses kesembuhan

periapikal banyak sel hiperplastik yang tidak diinginkan (seperti sel

endotel, fibroblast, sel epitel) disingkirkan melalui apoptosis dan

matriks ekstrasel dibentuk kembali oleh MMPs. Relasi temporal dan

spasial antara tulang alveolar, sementum, dan ligamentum

periodontal selama proses kesembuhan periapikal belum bisa

sepenuhnya dijelaskan (Lin & Huang, 2011). Proses kesembuhan

luka periapikal setelah perawatan saluran akar terdiri dari regenerasi

ligamentum periodontal yang baru, sementum baru, dan tulang

alveolar yang baru. Perawatan saluran akar non bedah mampu

menghilangkan iritan dan memberikan lingkungan yang kondusif

untuk regenerasi jaringan periodontal yang rusak. Selama

kesembuhan periapikal sel-sel ligamentum periodontal dari sekitar

57
permukaan akar berproliferasi menutupi permukaan akar. Protein

yang berasal dari Hertwig epithelial root sheath seperti protein

matriks email diperlukan untuk diferensiasi sementoblas dari

ectomesenchymal stem cell.

Matriks ekstrasel dan growth factors sementum (IGF-1, FGFs,

EGF, BMP, TGF-β, PDGF) terpisah setelah resorpsi semental, dapat

menginduksi proliferasi, migrasi, perlekatan, dan diferensiasi

multipotent stem cell dalam ligamentum periodontal menjadi

cementoblast-like cells dan menghasilkan jaringan sementoid pada

permukaan akar (Lin & Huang, 2011).

Tulang mampu beregenerasi sebagai respon terhadap jejas

selama kesembuhan periapikal. Osteoblas atau sel-sel mesenkimal

yang meliputi permukaan endosteum, distimulasi oleh TGF-β, IGF,

PDGF, VEGF, BMPs dan sitokin-sitokin yang dilepaskan sel stromal,

trombosit, dan matriks tulang setelah resorpsi tulang, mengalami

proliferasi dan diferensiasi menjadi osteoblas dan menghasilkan

matriks tulang. Bila salah satu cortical bone plate (bukal atau

lingual/palatal) rusak, sel-sel mesenkimal pada lapisan dalam

periosteum di bawah mukosa, distimulasi oleh TGF-β, IGF, PDGF,

VEGF, dan BMPs, mampu berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi

osteoblas dan dapat menghasilkan matriks tulang (Al Aql dkk, 2008).

Jika cortical plate bukal dan lingual/palatal rusak akibat lesi besar

58
periodontitis apikalis, lesi dapat diperbaiki oleh jaringan parut fibrosa

karena destruksi periosteum yang luas di bawah mukosa.

Ligamentum periodontal yang baru regenerasi akan mengalami

remodelling menjadi ligamentum periodontal yang matur dengan

sekelompok serabut kolagen yang masuk dalam sementum yang

baru terbentuk, dan sekelompok serabut kolagen lain masuk ke

dalam tulang alveolus yang baru terbentuk. Dengan demikian

regenerasi jaringan periapikal, sementum, ligamentum periodontal,

dan tulang alveolar yang rusak, menjadi sempurna (Lin & Huang,

2011).

59
BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS


PENELITIAN

A. Landasan Teori

Berdasarkan teori dan berbagai hasil penelitian yang mendukung

penelitian ini maka landasan teori disusun sebagai berikut :

1. Kebutuhan perawatan saluran akar gigi yang makin meningkat perlu

diiringi dengan perawatan yang makin baik.

2. Perawatan saluran akar gigi yang baik meningkatkan ketahanan

fungsional gigi yang dirawat.

3. Kesembuhan perawatan saluran akar gigi berlangsung lama, 3-4

tahun dan dinilai berdasarkan gejala klinis dan gambaran radiologis,

tetapi proses kesembuhan jarang diamati.

4. Kegagalan perawatan saluran akar gigi disebabkan oleh menetapnya

bakteri terutama pada apikal akar gigi dan memicu kelanjutan proses

inflamasi pada daerah periapikal.

5. Kalsium hidroksid merupakan medikamen standar yang

direkomendasikan untuk medikasi dan eliminasi bakteri saluran akar,

akan tetapi kurang efektif terhadap bakteri-bakteri tertentu.

6. Pasta triantibiotik merupakan medikamen saluran akar yang terdiri

dari kombinasi tiga jenis antibiotik, dan dilaporkan efektif mengatasi

60
bakteri saluran akar pada gigi susu dan gigi permanen muda, tetapi

belum banyak dilakukan pada gigi ‘mature’.

7. Proses kesembuhan setelah perawatan saluran akar menyebabkan

berbagai perubahan pada jaringan periapikal gigi, melibatkan aspek

seluler dan biokimiawi, melibatkan interaksi antar sel, mediator-

mediator radang, growth factor dan matriks ekstarseluler dalam

proses sintesis, degradasi dan remodelling, tetapi belum diteliti

proses enzimatiknya dengan penggunaan pasta triantibiotik.

8. MMP-9 merupakan enzim yang mengurai kolagen tipe IV, banyak

dijumpai pada membrana basalis sel endotel, diperlukan untuk

ekstravasasi leukosit, yang produksinya juga diregulasi oleh growth

factors, dan aktifitasnya dimodulasi oleh tissue inhibitor matrix

metalloproteinase-1

9. TIMP-1 adalah inhibitor endogen dari MMP-9, berperan mencegah

degradasi berlebihan dari matriks ekstrasel dan beberapa MMPs.

10. Rasio MMP-9/TIMP-1 telah banyak digunakan untuk

menggambarkan kinetika kesembuhan jaringan lain tetapi belum

diamati pada proses kesembuhan jaringan periapikal terutama dalam

penggunaan pasta triantibiotik.

11. Epidermal Growth Factor (EGF) merupakan polipeptida kecil yang

terlibat dalam kontrol pertumbuhan epitel dan diferensiasi jaringan

periodontal, tetapi belum diketahui aktifitasnya pada proses

kesembuhan jaringan periapikal..

61
B. Kerangka Teori
Karies

Bakteri rongga mulut

Nekrosis
Sterilisasi

Perawatan Saluran Akar


Preparasi Kemomekanik

Bakteri
Jenis Bakteri
Jumlah Bakteri
Interaksi bakteri
Virulensi bakteri
  
Kalsium Hidroksid

Periodontitis
Apikalis Periodontitis
Apikalis Akut
Kronis

Proses Inflamasi
Proinflamasi Anti-inflamasi
IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-17, IFN-γ
IL-4, IL-6, IL-10
IL-8, MCP-1 IL-1Ra
MMPs (MMP-9) sTNFR
IgG, IgM, IgA TIMP-1
IL-3, GM-CSF, F-CSF

Growth Factors
TGF-β, EGF

Sembuh
Abses
Proses Kesembuhan Periapikal
Inflamasi
Repair
Remodelling
Gambaran Klinis
Gambaran Radiologi
Histologis 62
C. Kerangka Konsep

Usia
Gigi akar
Subjek tunggal dan
matur
OH baik

Perawatan
Saluran Akar • Jumlah
bakteri Virulensi bakteri
• Jenis Bakteri Interaksi bakteri
Preparasi
Kemomekanik bakteri
 
Kalsium
Hidroksid Periodontitis
Sterilisasi Periodontitis
Apikalis
Pasta Apikalis Akut
Triantibiotik
Kronis

Proses
Inflamasi

Proinflamasi Anti-inflamasi
MMP-9 TIMP-1

Growth
Factors
EGF

Keterangan
Variabel dependen
Variabel independen Proses
Perbaikan
Variabel antara
Variabel kendali
Variabel moderator
Variabel random
63
D. Hipotesis

1. Terdapat penurunan profil bakteri pada tahap perawatan saluran

akar gigi dengan aplikasi pasta triantibiotik pada kasus PAK.

2. Terdapat penurunan kadar MMP-9 karena perbedaan profil bakteri

pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus PAK.

3. Terdapat penurunan kadar TIMP-1 karena perbedaan profil bakteri

pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus PAK.

4. Terdapat penurunan rasio kadar MMP-9/TIMP-1 karena perbedaan

profil bakteri pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus

PAK.

5. Terdapat penurunan kadar EGF karena perbedaan profil bakteri

pada tahap perawatan saluran akar gigi pada kasus PAK.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : pasta triantibiotik

2. Variabel tergantung : jumlah bakteri, jenis bakteri, kadar MMP-9,

TIMP-1, rasio MMP-9/TIMP-1 dan EGF

3. Variabel antara : eradikasi bakteri

4. Variabel moderator : jumlah dan jenis bakteri

5. Variabel kendali : aplikasi pasta triantibiotik, usia, kesehatan


umum, kesehatan jaringan periodontal,
kebiasaan dan OH, metode perawatan
saluran akar
6. Variabel random : virulensi dan interaksi bakteri

64
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah uji coba klinik experimental (experimental

clinical trial) pada pasien dengan penyakit periodontitis apikalis

kronis, dengan melakukan perawatan saluran akar sampai selesai.

Uji coba klinik ini dilakukan secara terencana pada pasien yang

berkunjung pada Bagian Endodontik RSGM FKG Unhas, meliputi

pembuatan ronsen foto, perawatan saluran akar, sterilisasi saluran

akar, obturasi dan restorasi permanen.

2. Desain penelitian

Desain penelitian adalah pre test and post test control group

design.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan, mulai Mei 2014 –

September 2014.

65
2. Lokasi Penelitian

Perawatan saluran akar gigi dilakukan di bagian endodontik

RSGM Halimah Dg Sikati FKG UNHAS, pemeriksaan kultur bakteri

dilakukan di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNHAS, dan

pemeriksaan kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF

menggunakan uji ELISA dilakukan di Lantai 6 Pusat Penelitian

Fakultas Kedokteran UNHAS.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua

pasien yang berkunjung ke bagian endodontik RSGMP FKG Unhas

selama periode penelitian, yang didiagnosa dengan periodontitis

apikalis kronis sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi

1. Usia 16-30 tahun dan bersedia menjalani perawatan dengan

menanda tangani informed consent

2. Gigi permanen akar tunggal yang mature dengan radiolusensi

apikal dan berdiameter <5 mm

3. Kebersihan mulut baik

4. Gigi dengan diagnosa periodontitis apikalis kronis akibat karies

66
Kriteria Eksklusi

1. Pernah dirawat saluran akar sebelumnya

2. Gigi tidak bisa direstorasi

3. Pernah mengkonsumsi antibiotik sistemik dan NSAIDs dalam

tiga bulan terakhir

4. Memiliki riwayat alergi terhadap salah satu jenis antibiotik dan

derivatnya, yang digunakan pada penelitian ini

5. Memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi, DM, RA.

6. Menderita penyakit periodontitis marginalis dengan

kedalaman pocket > 2 mm

7. Bila pasien wanita, tidak sedang hamil atau menyusui

Kriteria Objektif

1. Periodontitis apikalis kronis (PAK) merupakan peradangan kronis

tanpa gejala pada gigi nekrose, tidak memberi respons pada uji

vitalitas pulpa dan perkusi; dan tampak radiolusensi pada daerah

apikal gigi.

2. Perawatan saluran akar gigi adalah perawatan dengan melakukan

preparasi dan irigasi saluran akar, medikasi intra kanal, dan

obturasi saluran akar. Perawatan saluran akar dilakukan pada

pasien meliputi preparasi saluran akar dengan metode

konvensional menggunakan K-file dari nomor 15-55, diikuti

dengan irigasi saluran akar menggunakan sodium hipoklorit 6%

sebanyak 3 ml, dibilas dengan air suling, dikeringkan dengan

67
paper point, irigasi kembali saluran akar menggunakan larutan

EDTA 17 % sebanyak 3 ml dan diamkan selama 3 menit, bilas

dengan air suling, keringkan dan irigasi kembali saluran akar

menggunakan larutan klorheksidin diglukonat 2% sebanyak 3 ml,

keringkan. Kemudian saluran akar dimedikasi dengan sediaan

kalsium hidroksid yang dinjeksikan ke dalam sepanjang saluran

akar sampai mencapai muara saluran akar, dan ditutup dengan

tumpatan sementara, Cavit-G. Seminggu kemudian saluran akar

dibuka dan kalsium hidroksid dikeluarkan menggunakan K-file.

Paper point dimasukkan ke dalam saluran akar untuk

pengambilan sampel bakteri dan mediator radang. Saluran akar

dibilas kembali seperti prosedur di atas dan dikeringkan.

2. Sampel penelitian

a. Unit observasi.

Unit observasi adalah gigi dengan diagnosa PAK pada pasien

yang sesuai kriteria penilaian.

b. Unit analisis.

Unit analisis merupakan perubahan jumlah CFU bakteri,

perubahan jenis bakteri, perubahan kadar MMP-9, kadar TIMP-1,

dan kadar EGF, yang diobervasi dalam kurun waktu 1 minggu pada

tahap perawatan saluran akar dan medikasi dengan kalsium

hidroksid.

68
c. Perhitungan besar sampel.

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

(Zα + Zβ)2 SD 2
n1=n2 = ( x −x )2
1 2

Keterangan :

n1 = besar sampel kelompok A

n2 = besar sampel kelompok B

X1 = rerata jumlah kuman pada awal sebelum perlakuan

X2 = rerata jumlah kuman pada awalakhir setelah perlakuan

SD = Simpang baku penurunan jumlah kuman pada kelompok A

atau kelompok B (simpang baku terbesar diantara kedua

kelompok)

Zα = 1.645 (α = 5%)

Zβ = 1.282 (β = 10%)

Oleh karena tidak ada nilai baku dari penelitian sebelumnya,

maka digunakan asumsi sebagai berikut:

Bila X1–X2 sebesar 1SD, maka

n1=n2=(Zα+Zβ)2=(1.645+1.282)2= (2.927)2=8.567

Jadi besar sampel minimal adalah 9 orang.

Dalam penelitian ini jumlah sampel 12 orang untuk masing-masing

kelompok.

69
D. Definisi operasional variabel

1. Pasta triantibiotik adalah pasta yang terdiri dari campuran 3 antibiotik

murni (metronidazole, ciprofloxacin, dan minosiklin) dalam bentuk

bubuk, ditimbang dengan berat masing-masing 500 mikron gram,

diaduk dengan makrogol+propilen glikol, membentuk konsistensi

pasta padat.

2. Aplikasi pasta triantibiotik adalah pasta dengan diameter 1mm, diulas

pada ujung gutta percha, dimasukkan bersama gutta percha dalam

saluran akar sesuai dengan panjang kerja.

3. Proses kesembuhan adalah tahapan dalam kesembuhan yang

meliputi inflamasi, perbaikan dan remodelling. Pada penelitian ini

proses kesembuhan diamati hanya pada tahapan inflamasi dengan

menilai kadar MMP-9, kadar TIMP-1 dan kadar EGF.

4. Matrix metalloproteinase 9 (MMP-9) adalah endopeptidase yang

kadarnya diukur dengan metode ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay), dinyatakan dalam skala ng.

5. Tissue Inhibitor of Matrix metalloproteinase-1 (TIMP-1) adalah

inhibitor MMP-9 yang kadarnya diukur dengan metode ELISA

(Enzym Linked Immunosorbent Assay), dinyatakan dalam skala pg.

6. Rasio kadar MMP-9/TIMP-1 adalah perbandingan antara kadar

MMP-9 dengan kadar TIMP-1.

70
7. Epidermal Growth Factor adalah penanda faktor pertumbuhan yang

kadarnya diukur dengan metode ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay), dinyatakan dalam skala pg.

8. Tahap perawatan saluran akar gigi adalah tahapan yang dilakukan

pada perawatan saluran akar gigi yang meliputi preparasi

kemomekanik dan medikasi saluran akar gigi tanpa pengisian.

9. Profil bakteri adalah jumlah koloni bakteri yang tampak pada petri

dish dan dihitung secara manual kemudian dipangkatkan 3 karena

dilakukan pengenceran 3 kali

10. Profil bakteri adalah jenis bakteri menurut bentuk atau morfologi

bakteri yang tampak melalui pewarnaan Gram dan diamati di bawah

mikroskop.

E. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Set diagnostik ; kaca mulut, ekskavator, pinset, sonde, plastis

instrument

b. Alat endodontik, K-file ukuran 10-60,

c. Pengukur alat endodontik

d. Spuit dan jarum irigasi sekali pakai

e. Pengisap air liur (saliva ejector) dan pengisap irigan (suction tip)

f. Kapas gulung

g. Film foto periapikal

h. Plat kaca + semen spatel untuk mengaduk bahan

71
2. Bahan

a. antibiotik ciprofloxacin, metronidazole (IFARS, Pharm Labs, Solo,

Indonesia) dan minosiklin (Sigma Aldrich, St Louis, USA)

b. makrogol dan propilen glikol (MP, dibeli dari PT.Intraco, distributor

bahan-bahan kimia di Makasar, Indonesia)

c. larutan irigasi NaOCl 6%, salin, klorheksidin digluconat 2% dan

EDTA 17% (dibeli dari PT.Intraco, distributor bahan-bahan kimia di

Makasar, Indonesia)

d. tambalan sementara Cavit-G (3M, ESPE)

e. dental komposit resin (3M, ESPE)

f. ELISA kit untuk memeriksa kadar MMP-9 (Human MMP-9 Platinum

ELISA BMS2016/2 & BMS2016/2TEN), kadar TIMP-1 (Human

TIMP-1 Platinum ELISA BMS2018 & BMS2018TEN) dan kadar

EGF (Human EGF Instant ELISA BMS2070INST (eBioscience,

Vienna, Austria)

F. Tata Laksana Penelitian

1. Cara penarikan sampel

Penarikan sampel dari populasi penelitian dilakukan secara

sistematis sesuai dengan prosedur kerja sebagai berikut:

1) Pasien yang berkunjung ke bagian endodontik diberi tahu tentang

maksud dan tujuan penelitian, dilanjutkan dengan wawancara untuk

mengetahui usia dan hal lainnya berkaitan dengan kriteria sampel.

72
Pasien yang memenuhi kriteria dan bersedia berpartisipasi dalam

penelitian diminta menandatangani informed consent.

2) Dilakukan pemeriksaan intra oral dan selanjutnya pengambilan

ronsen foto periapikal pada gigi yang akan dirawat sebagai ronsen

foto pendahuluan (ronsen foto sebelum perawatan).

3) Pengambilan cairan dari dalam saluran akar gigi dilakukan untuk

pemeriksaan jumlah CFU bakteri dan jenis bakteri, dan mediator

radang, kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF sebelum

perawatan.

4) Perawatan saluran akar dilakukan pada pasien dan dimedikasi

dengan kalsium hidroksid. Setelah 1 minggu, kavitas dibuka dan

pengambilan cairan saluran akar dilakukan pada gigi yang telah

dirawat untuk diperiksa jumlah CFU bakteri dan jenis bakteri, kadar

MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF.

5) Seminggu kemudian, subyek dialokasikan melalui undian

(systematic random sampling). Urutan angka gasal sebanyak 12

orang adalah kelompok yang menerima medikasi pasta triantibiotik,

dan urutan angka genap sebanyak 12 orang adalah kelompok

kontrol positif yang menerima remedikasi kalsium hidroksid. Kavitas

kembali dibuka dan pengambilan cairan saluran akar gigi dilakukan

lagi pada gigi yang telah dirawat untuk diperiksa jumlah CFU

bakteri dan jenis bakteri, kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar

EGF.

73
Kavitas ditutup dengan tumpatan sementara dengan Cavit-G.

6) Perawatan saluran akar diselesaikan dengan obturasi dan restorasi

permanen.

2. Pembuatan pasta triantibiotik

Masing-masing antibiotik; ciprofloxacin, metronidazole (IFARS

Pharm Labs, Solo, Indonesia) dan minosiklin (Sigma Aldrich, St

Louis, USA) ditimbang menggunakan neraca analitik dengan berat

masing-masing 500 mikron, kemudian disimpan dalam kertas

parafilm. Bila akan digunakan, 1 tetes propilene glikol dicampur

dengan makrogol dengan perbandingan yang sama. Hasil ini

disatukan dengan bubuk antibiotik yang telah ditimbang, dibuat

menjadi adonan seperti pasta. Dari pasta ini, dibentuk bulatan

dengan diameter ± 1mm.

1) Pilih dan cocokkan gutta percha sesuai dengan nomor alat K-file

terakhir. Setelah cocok, ulaskan pasta triantibiotik dengan diameter

± 1mm pada ujung gutta percha dan masukkan ke dalam saluran

akar.

2) Kavitas ditutup dengan tumpatan sementara Cavit-G, seminggu

kemudian pengambilan cairan saluran akar dilakukan pada gigi

yang dirawat untuk diperiksa kadar MMP-9, kadar TIMP-1 dan

kadar EGF.

74
3. Pengumpulan cairan saluran akar gigi

Pertama cairan saluran akar gigi diambil sebelum dilakukan

perawatan pada gigi yang akan dirawat dan selanjutnya pada tahap

perawatan saluran akar, diambil pada waktu-waktu berikut :

1) Cairan saluran akar gigi diambil setelah1 minggu dilakukan

perawatan saluran akar dan medikasi dengan kalsium hidroksid.

2) Cairan saluran akar gigi diambil setelah 1 minggu berikutnya pada

kelompok medikasi dengan pasta triantibiotik (kelompok perlakuan)

dan remedikas dengan kalsium hidroksid (kelompok kontrol positif)

Gambar 6. Tahapan perawatan saluran akar


(1) Kasus PAK; (2) preparasi akses masuk dalam saluran akar; (3)
preparasi saluran akar, (4) penempatan medikamen kalsium hidroksida,
(5)penempatan medikamen pasta triantibiotik (6) obturasi dan restorasi
permanen

Cara pengambilan cairan saluran akar gigi

Gigi diisolasi dengan gulungan kapas (cotton roll), dan dijaga

tetap kering (Belmar dkk, 2008). Masukkan paper point ke dalam

saluran akar dan dibiarkan selama 1 menit. Setelah dikeluarkan,

75
ditempatkan dalam Eppendorf dan disimpan pada suhu -20° C.

Pemeriksaan kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF dilakukan

setelah semua sampel terkumpul. Prosedur yang sama dilakukan

untuk pemeriksaan bakteri. Paper point dimasukkkan ke dalam

screw-cap tube yang berisi media transpor Stuart untuk selanjutnya

langsung dibawa ke laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran

UNHAS untuk kultur bakteri.

4. Pemeriksaan ELISA dengan tehnik sandwich enzyme

immunoassay

1) Ekstraksi cairan saluran akar gigi

Cairan saluran akar gigi diekstraksi melalui sentrifugasi pada

9000g selama 6 menit dalam 50μL buffer yang mengandung 50 mM

Tris HCl, pH 7,5, 0,2 M NaCl, 5 mM CaCl 2 dan 0,08% Triton X-100.

Prosedur diulangi 2x dan sampel disimpan pada suhu -20°C

sampai analisis selanjutnya.

2) Prinsip Assay

Antibodi monoklonal spesifik terhadap MMP-9 telah terlapis

pada microplate. Sampel dan standar dimasukkan dengan pipet ke

dalam well. MMP-9 akan diikat oleh immobilized antibody.

Komponen-komponen yang tidak terikat dibilas, kemudian antibodi

poliklonal terikat dengan enzim spesifik, dibilas lagi untuk

76
mengeluarkan reagen antibodi-enzym yang tidak terikat.

Tambahkan larutan substrat ke dalam well dan terbentuk warna

sebanding dengan jumlah MMP-9 yang terikat pada tahap awal.

Intensitas warna diukur dengan ELIZA Reader pada panjang

gelombang 450 nm. Prosedur yang sama dilakukan terhadap TIMP-

1 dan EGF.

5. Kultur Bakteri

Paper point dikeluarkan dari tabung dan masukkan langsung ke

dalam BHIB (Brain Heart Infusion Broth), kemudian divortex selama

60 detik untuk mengeluarkan bakteri yang ada dalam paper point

sehingga bakteri menyebar dalam medium BHIB. Kemudian 0.5 ml

BHIB dimasukkan dalam NaCl volume 4.5 ml untuk membuat

pengenceran 10-1 dilanjutkan sampai pengenceran 10-3. Ambil lagi

0.05 ml dengan menggunakan sengkelit/ose untuk digores di atas

permukaan blood agar (BA), diinkubasi dengan gas vac anaerob

selama 14 hari dengan pengamatan setiap 24 jam untuk melihat

pertumbuhan bakteri. Bakteri yang tumbuh diidentifikasi

menggunakan mikroskop untuk melihat morfologi sel melalui

pewarnaan (Gram staining). Warna merah menunjukkan bakteri

gram -, sedang warna ungu menunjukkan bakteri gram +.

Pengambilan 0.05 ml dilakukan juga untuk digores di atas medium

77
NA (nutrient agar) untuk deteksi bakteri fakultatif anaerob gram +

dan gram -, dan medium Mc Conky untuk deteksi bakteri gram -.

G. Alur Penelitian

Pasien memenuhi kriteria


inklusi dan eksklusi

Informed
consent

Subyek penelitian
anamnesis
pembuatan foto ronsen

Preparasi
kemomekanik

Medikasi Ca(OH)2

1 minggu

Pengambilan cairan
saluran akar gigi
Kultur bakteri

Kelompok perlakuan
Kelompok kontrol
(aplikasi pasta
(kalsium hidroksid) Analisis data
triantibiotik)

1 minggu Uji ELISA


MMP-9
TIMP-1
Pengambilan cairan EGF
saluran akar gigi

78
H. Pengumpulan dan Analisis Data

1. Jenis data : data primer

2. Pengolahan data : SPSS versi 17

3. Penyajian data : Tabel dan grafik

4. Analisa data :

a. Masing-masing untuk kelompok pasta triantibiotik atau

kelompok kontrol kalsium hidroksid:

Sebaran data tidak normal dan data numerik : uji Wilcoxon

b. Antara kelompok A dan kelompok B :

Sebaran data tidak normal dan data kategorial : uji McNemar

dan uji Fisher

c. Antara kelompok yang ada temuan bakteri dan kelompok yang

tidak ada temuan bakteri : uji Mann-whitney U

d. Menilai hubungan antara kadar dengan sebaran data tidak

normal : uji korelasi Spearman

I. Aspek Etik Penelitian

Pertimbangan etis dalam penelitian dilakukan berdasarkan pada

penuntun dari The Council for International of Medical Sciences

(CIOMS) Genewa 1991.

1. Sebelum penelitian dilakukan, semua subyek terpilih, terlebih dahulu

mendapat penjelasan tertulis tentang penelitian ini.

79
2. Pernyataan kesediaan secara suka rela dituangkan dalam bentuk

tertulis dengan mengisi formulir informed consent.

3. Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan (ethical

clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedik pada manusia dari

Fakultas Kedokteran UNHAS, tanggal 14 Mei 2014 dengan nomor

registrasi UH14040139 dan SK No. 0892/H4.8.4.5.31/PP36-

KOMETIK/2014

4. Tehnik pengambilan sampel dijamin tidak menimbulkan dampak

negatif terhadap sampel.

5. Kerahasiaan data setiap subyek penelitian akan dijaga dengan baik.

6. Setiap subyek yang mendapat perawatan endodontik pada penelitian

ini dilanjutkan perawatannya sampai restorasi permanen.

80
BAB V

HASIL

A. Gambaran Umum Sampel

Penelitian ini dilakukan di bagian endodontik Rumah Sakit Gigi

dan Mulut Halimah Dg Sikati RSGM-FKG Universitas Hasanuddin,

pada periode Mei 2014 sampai dengan September 2014. Penelitian

dilakukan dengan disain eksperimental dengan pendekatan

randomized pre test-post test control group pada penderita

periodontitis apikalis kronis yang berobat di bagian endodontik FKG-

UH dengan tindakan perawatan saluran akar gigi depan.

Dua puluh empat orang penderita diperoleh melalui seleksi yang

sesuai kriteria sampel dan skrining penderita yang akan dirawat

saluran akar gigi dilakukan melalui pemeriksaan awal kebersihan

mulut yang baik, gigi depan yang akan dirawat tidak memberi respons

pada uji vitalitas, dan terdapat radiolusensi pada gambaran ronsen

foto pada apikal gigi. Dua puluh empat orang tersebut menyatakan

kesediaannya untuk mengikuti penelitian dengan mengisi dan

menandatangani lembar informed consent yang telah disahkan oleh

Komite Etik Universitas Hasanuddin tanggal 14 Mei 2014 dengan

nomor registrasi UH14040139 dan SK No. 0892?h4.8.4.5.31/PP36-

KOMETIK/2014 setelah mendapat penjelasan tentang keuntungan

dan kerugian yang mungkin terjadi selama penderita mengikuti

81
prosedur penelitian. Perawatan dilakukan di bagian endodontik, uji

kultur bakteri dilakukan di bagian mikrobiologi Fakultas Kedokteran

UNHAS, dan pengukuran kadar MMP-9, kadar TIMP-1 dan kadar EGF

dillakukan di lantai 6 Pusat Penelitian Fakultas Kedokteran UNHAS.

Latar belakang sampel umumnya berpendidikan mahasiswa dan

sarjana strata satu. Perawatan dilakukan oleh operator tunggal yakni

peneliti sendiri dan semua penderita kecuali satu penderita, menjalani

perawatan dari awal hingga selesai dilakukan restorasi permanen.

Pada penelitian ini, perawatan saluran akar dilakukan dan

medikasi pasta triantibiotik diberikan setelah perawatan saluran akar

kunjungan pertama dengan kalsium hidroksid sebagai medikasi

standar. Demikian juga pada kelompok kontrol positif saluran akar

diremedikasi dengan kalsium hidroksid untuk mencegah

rekontaminasi bakteri. Satu minggu setelah perawatan saluran akar

gigi dengan medikasi kalsium hidroksid, penderita dikelompokkan

secara acak (systematic random sampling) menurut nomor urut

kedatangan pasien. Nomor urut angka gasal dikelompokkan sebagai

kelompok perlakuan yang menerima medikasi pasta triantibiotik, dan

nomor urut angka genap dikelompokkan sebagai kelompok kontrol

yang mendapatkan remedikasi dengan kalsium hidroksid.

82
B. Karakteristik Subyek Penelitian

Sampel terdiri dari 7 laki-laki dan 17 perempuan dengan rentang

usia 16 tahun sampai dengan usia 38 tahun. Kisaran usia tersebut

dipilih untuk menghindari kemungkinan adanya penyakit sistemik yang

dapat merancu hasil penelitian (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik sampel pasien

N Kelompok
(24 orang) Perlakuan Kontrol
Jenis Kelamin Laki-laki 7 5 2
Perempuan 17 7 10
Usia (tahun) 16-38 16-38

C. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian pada Masing-masing

Kelompok

Hasil analisis deskriptif variabel jumlah bakteri hasil kultur, kadar

MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF dari cairan saluran akar gigi

sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok

dapat dilihat pada tabel 2.

83
Tabel 2. Deskripsi variabel penelitian sebelum dan sesudah perlakuan
pada masing-masing kelompok

Perlakuan (n=12) Kontrol (n=12)


Variabel Pengamatan
Median Range Median Range
3
Jumlah Bakteri Sebelum 3,0 x 10 0-10x103 1,5x10 3
0-40x103
3
Sesudah 1,0 x 10 0-7 x103 3,0x10 3
0-11x103
(CFU)
Kadar MMP-9 Sebelum 867,93 86,9-4437,8 571,65 282,5-8444,0
Sesudah 1234,10 438,8-20081,0 851,39 394,7-4437,8
(ng/mL)
Kadar TIMP-1 Sebelum 168,89 37,1-988,3 134,01 66,5-996,8
Sesudah 205,36 101,6-436,7 206,68 90,1-1002,3
(pg/mL)
Kadar EGF Sebelum 12,56 1,8-75,9 9,27 5,1-73,3
Sesudah 14,00 4,8-75,8 13,4 7,2-80,8
(pg/mL)
-

Tabel 2 di atas menjelaskan tentang deskripsi jumlah colony

forming unit (CFU) bakteri, kadar MMP-9 (ng/ml), kadar TIMP-1

(pg/ml) dan kadar EGF (pg/ml) sebelum dan sesudah perlakuan pada

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa median jumlah colony forming

unit (CFU) bakteri pada kelompok perlakuan menurun setelah

medikasi pasta triantibiotik dari 3,0 x 103 CFU menjadi 1,0 x 103 CFU,

sedang pada kelompok kontrol jumlah CFU meningkat dari 1,5 x 103

CFU menjadi 3,0 x 103 CFU. Kadar MMP-9 (ng) meningkat pada

kelompok perlakuan dari 867,93 ng/ml menjadi 1234,10 ng/ml, dan

pada kelompok kontrol dari 571,65 ng/ml menjadi 851,39 ng/ml. Kadar

TIMP-1 meningkat dari 168,89 pg/ml menjadi 205,36 pg/ml pada

kelompok perlakuan dan dari 134,01 pg/ml menjadi 206,68 pg/ml pada

kelompok kontrol. Kadar EGF meningkat dari 12,56 pg/ml menjadi

84
14,00 pg/ml pada kelompok perlakuan dan dari 9,27 pg/ml menjadi

13,4 pg/ml pada kelompok kontrol.

D. Profil Eradikasi Jenis Bakteri setelah perlakuan pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Hasil dari kultur bakteri pada 12 pasien dari kelompok perlakuan

dan 12 pasien dari kelompok kontrol setelah dilakukan perawatan

saluran akar gigi terangkum dalam gambar 7.

Gambar 7. Distribusi jumlah penderita berdasarkan jenis bakteri yang


ditemukan sebelum dan setelah perlakuan pada kedua
kelompok berdasarkan temuan jenis bakteri

Dari gambar 7 dapat terlihat bahwa setelah perlakuan, jumlah

penderita pada kelompok perlakuan dengan temuan bakteri

Fusobacterium spp berkurang dibandingkan kelompok kontrol, sama

85
efektif dalam mengurangi jumlah penderita dengan spesies bakteri

Propionibacterium spp dan mengeradikasi total bakteri Pseudomonas

spp. Setelah perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol, tidak efektif mengeradikasi bakteri Staphylococcus spp. Pada

kelompok perlakuan setelah medikasi dengan pasta triantibiotik,

jumlah penderita dengan spesies bakteri Actinomyces spp tidak

bertambah, demikian juga spesies bakteri Peptostreptococcus spp

tidak tumbuh lagi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ini

menunjukkan bahwa medikasi dengan pasta triantibiotik tidak saja

mencegah tumbuhnya bakteri Peptostreptococcus spp tetapi juga

mencegah bertambahnya penderita dengan spesies bakteri

Actinomyces spp, kecuali bakteri Porphyromonas spp.

86
E. Profil Eradikasi Bakteri Setelah Perlakuan pada Kedua Kelompok

Menurut Pengelompokan Jenis Bakteri

Gambar 8. Distribusi jumlah penderita dengan temuan bakteri obligat


gram-, obligat gram+ dan fakultatif gram + pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol setelah perlakuan

Dari gambar 8 terlihat bahwa jumlah penderita yang ditemukan

bakteri obligat gram negatif dan obligat gram positif berbeda antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah perlakuan. Jumlah

penderita pada kelompok perlakuan yang ditemukan bakteri obligat

gram negatif dan obligat gram positif lebih sedikit bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol, sedang jumlah penderita yang ditemukan

bakteri fakultatif gram positif pada kelompok perlakuan sama dengan

jumlah penderita pada kelompok kontrol.

87
F. Perubahan Jumlah Bakteri CFU Hasil Kultur pada Masing-masing

Kelompok Sesudah Perlakuan

Untuk mengetahui perubahan jumlah bakteri hasil kultur bakteri

dan setiap penderita pada masing-masing kelompok setelah

perlakuan diuji dengan uji Wilcoxon antara jumlah bakteri (CFU)

sebelum dan sesudah perlakuan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Perubahan jumlah bakteri setelah perlakuan pada masing-


masing kelompok

Sebelum Sesudah Perubahan


Kelompok (Mean±SD) / (Mean±SD) / (Mean±SD) / p
3
Medianx10 CFU 3
Medianx10 CFU Medianx103 CFU
Perlakuan (3.9±3.4) / 3.0 (1.9±2.6) / 1,0 (2,0±2,8) / 1,5 0,024
Kontrol (7.2±12.3) / 1.5 (3.7±3.6) / 3,0 (3,5±11,9) / 0,5 0,441
*Uji Wilcoxon, p<0.05 = signifikan

Dari tabel 3 terlihat bahwa pada kelompok perlakuan, terjadi

penurunan jumlah CFU bakteri secara bermakna (p<0.05) dengan

median perubahan sebesar 1.50 x 10 3 CFU dari median 3.0 x 10 3 CFU

menjadi 1.0 x 103 CFU setelah perlakuan sedang pada kelompok

kontrol terjadi peningkatan jumlah CFU bakteri dengan median

perubahan sebesar 0.50 x 10 3 CFU dari median 1.5 x 10 3 CFU

menjadi 3.0 x 103 CFU tetapi tidak bermakna secara statistik (p>0.05).

G. Perubahan Jumlah Penderita Dengan Eradikasi Bakteri Sesudah

Perlakuan antara Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

88
Untuk menilai perbedaan efek eradikasi bakteri antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol sesudah perlakuan maka pada

masing-masing subyek penelitian dihitung subyek yang bebas bakteri

(tanpa bakteri) dan yang masih ditemukan bakteri sesudah perlakuan.

Tabel 4. Perbedaan distribusi penderita berdasarkan eradikasi


bakteri sesudah perlakuan antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol

n Sesudah
Kelompok Sebelum p
(orang) Tidak ada Ada
Perlakuan Tidak ada 2 2 0
Ada 10 3 7 0,250
(n=12) Total 12 5 7
Kontrol Tidak ada 2 0 2
Ada 10 2 8 1,000
(n=12) Total 12 2 10
*Uji Mc Nemar, p>0.05 = tidak signifikan

Dari tabel 4 terlihat adanya eradikasi bakteri pada penderita dari

kelompok perlakuan; dari 10 orang yang ditemukan bakteri sebelum

perlakuan, 3 orang diantaranya sudah tidak ditemukan bakteri setelah

perlakuan, dan 7 orang sisanya masih ditemukan bakteri. Dari 2 orang

yang tidak ditemukan bakteri sebelumnya, tetap tidak ditemukan

bakteri setelah perlakuan. Pada kelompok kontrol juga terjadi

perubahan; dari 10 orang yang ditemukan bakteri sebelum perlakuan,

2 orang diantaranya tidak ditemukan lagi bakteri, 8 orang lainnya

masih ditemukan bakteri, akan tetapi dari 2 orang yang tidak lagi

ditemukan bakteri sebelum perlakuan, justru ditemukan bakteri baru

89
setelah perlakuan. Ini berarti perlakuan dengan pemberian pasta

triantibiotik mencegah tumbuhnya bakteri baru dan mempunyai

kemampuan eradikasi bakteri yang lebih baik daripada kalsium

hidroksid.

Bila eradikasi bakteri dan perubahan jumlah CFU bakteri

digabungkan, maka diperoleh distribusi penderita yang tereradikasi

bakteri atau menurun jumlah CFU bakteri ada 16 orang dan 8 orang

sisanya tidak menurun jumlah CFU bakteri (tetap atau meningkat).

Hasil analisis Fisher’s exact test dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan distribusi jumlah penderita berdasarkan


perubahan keberadaan bakteri sesudah perlakuan antara
kedua kelompok
n Perubahan keberadaan Bakteri
Negatif/menurun Tetap/Meningkat
Kelompok (orang p
)
Perlakuan 12 10 (83.3%) 2 (16.7%) 0,097
Kontrol 12 6 (50.0%) 6 (50.0%)
Total 24 16 (66.7%) 8 (33.3%)

*Uji Fisher’s Exact, p>0.05 = tidak signifikan

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 12 orang penderita pada

kelompok perlakuan, ada 10 orang (83.3%) tereradikasi atau menurun

jumlah CFU bakteri, sedangkan pada kelompok kontrol ada 6 orang

dari 12 orang (50.0%). Hasil uji Fisher’s exact menunjukkan p=0,097

dan tidak bermakna secara statistik.

90
H. Perubahan kadar biomarker setelah perlakuan pada masing-

masing kelompok

Untuk menilai perubahan biomarker kadar MMP-9, kadar TIMP-

1, dan kadar EGF, dilakukan uji Wilcoxon pada masing-masing

kelompok karena data tidak berdistribusi normal. Hasilnya dapat

dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Perubahan kadar biomarker inflamasi sebelum dan sesudah


perlakuan pada masing-masing kelompok

Mediator Median kadar biomarker inflamasi


Perlakuan Kontrol
Inflamasi Sebelum Sesudah p Sebelum Sesudah p
MMP-9 (ng/mL) 867,93 1234,10 0,480 571,65 851,39 0,347
TIMP-1 (pg/mL) 168,89 205,36 0,530 134,01 206,68 0,209
EGF (pg/mL) 12,56 14,00 0,754 9,27 13,40 0,209
*Uji Wilcoxon, p>0,05 = tidak signifikan

Tabel 6 menunjukkan bahwa biomarker inflamasi yang diteliti

(kadar MMP-9, kadar TIMP-1 dan kadar EGF) menunjukkan

peningkatan baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok

kontrol tetapi tidak menunjukkan perubahan yang bermakna (p>0,05).

I. Hubungan perubahan keberadaan bakteri dengan biomarker

Inflamasi

Untuk menilai hubungan antara perubahan pertumbuhan bakteri

dengan biomarker inflamasi, dilakukan uji perbedaan kadar biomarker

91
inflamasi (MMP-9, TIMP-1, EGF dan rasio MMP-9/TIP-1) antara

penderita yang telah mengalami penurunan pertumbuhan bakteri atau

telah mengalami eradikasi, dan penderita yang tidak mengalami

penurunan pertumbuhan (Tabel 6). Analisis yang sama dilakukan

untuk menilai perubahan kadar biomarker (Tabel 7).

Tabel 7. Hubungan antara perubahan keberadaan bakteri dengan


kadar rata-rata biomarker inflamasi sesudah perlakuan

Negatif / Menurun Tetap / Meningkat


Perubahan p
Mean ± SD Mean ± SD
MMP-9 (ng/mL) 1622,58 ± 1704,82 3818,77 ± 6700,18 0,490
TIMP-1 (pg/mL) 196,49 ± 95,61 382,93 ± 279,75 0,070
Rasio MMP-9/TIMP-1 8,08 ± 8,23 9,12 ± 14,29 0,528
EGF (pg/mL) 17,46 ± 16,93 26,64 ± 23,92 0,214
*Uji Mann Whitney; p>0,05= tidak signifikan

Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa kadar biomarker inflamasi lebih

rendah pada penderita yang sudah mengalami penurunan

pertumbuhan atau telah mengalami eradikasi bakteri dibandingkan

dengan kadar biomarker penderita yang tidak mengalami eradikasi

bakteri dan pertumbuhan bakteri menetap atau meningkat, tetapi

penurunan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

Tabel 8. Perbedaan perubahan kadar rata-rata biomarker inflamasi


sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan perubahan
keberadaan bakteri

Perubahan Bakteri
Perubahan Kadar Negatif / Menurun Tetap / Meningkat p
Mean ± SD Mean ± SD
MMP-9 (ng/mL) 3149,37 ± 6184,82 - (2798,73 ± 6960,52) 0,044
TIMP-1 (pg/mL) 63,5828 ± 241,90 - (198,75 ± 147,13) 0,010
Rasio MMP-9/TIMP-1 8,39 ± 19,62 -(0,56 ± 20,93) 0,134

92
EGF (pg/mL) - (5,74 ± 14,12) - (18,45 ± 22,05) 0,099
*Uji Mann-Whitney, p>0,05 = tidak signifikan

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa ada perbedaan perubahan kadar

biomarker antara penderita yang sudah mengalami penurunan

pertumbuhan bakteri atau telah mengalami eradikasi bakteri

dibandingkan dengan kadar biomarker penderita yang tidak

mengalami eradikasi bakteri dan pertumbuhan bakteri menetap atau

meningkat. Kadar MMP-9 pada umumnya menurun pada penderita

yang telah mengalami penurunan pertumbuhan bakteri, dan hal

sebaliknya terjadi, kadar MMP-9 pada umumnya meningkat pada

penderita yang tidak mengalami penurunan pertumbuhan bakteri. Hal

yang sama terjadi pada biomarker kadar TIMP-1 dan perubahan

tersebut berbeda bermakna (p<0.05). Sedang hasil analisis

perubahan rasio MMP-9/TIMP-1 tidak bermakna (p>0,05) antara

penderita yang sudah mengalami penurunan pertumbuhan bakteri

atau telah mengalami eradikasi bakteri dibandingkan dengan kadar

biomarker penderita yang tidak mengalami eradikasi bakteri dan

pertumbuhan bakteri menetap atau meningkat, Untuk biomarker kadar

EGF pada kedua kelompok umumnya meningkat, tetapi

peningkatannya lebih besar pada penderita yang tidak mengalami

penurunan pertumbuhan bakteri tetapi tidak bermakna (p>0,05).

Tabel 9. Korelasi perubahan pertumbuhan bakteri dengan biomarker


inflamasi

93
Korelasi antara Variabel r p

MMP-9 0,337 0,054


TIMP-1 0,225 0,145
Perubahan
Rasio MMP-9/TIMP-1 0,228 0,142
Pertumbuhan Bakteri
EGF 0,275 0,097

TIMP-1 0,519 0,005


Rasio MMP-9/TIMP-1 0,853 0,000
MMP-9
EGF 0,464 0,011

Rasio MMP-9/TIMP-1 0,177 0,203


TIMP-1 EGF 0,672 0,000

Rasio MMP-9/TIMP-1 EGF 0,133 0,268


*Uji Spearman, p<0,05 = korelasi signifikan

Tabel 9 menunjukkan bahwa ada korelasi yang bermakna

(p<0,05) antara biomarker inflamasi.

Makin besar perubahan penurunan pertumbuhan bakteri maka

makin menurun kadar MMP-9. Nilai korelasi Spearman sebesar 0.337

menunjukkan arah korelasi positif (nilai signifikansi 0.054) dengan

kekuatan korelasi yang lemah (33.7%).

Demikian juga peningkatan/penurunan kadar MMP-9 berkorelasi

dengan peningkatan/penurunan kadar TIMP-1. Nilai korelasi

Spearman sebesar 0.519 menunjukkan arah korelasi positif (nilai

signifikansi 0.005) dengan kekuatan korelasi sedang (51.9%).

Peningkatan/penurunan kadar MMP-9 juga berkorelasi dengan

peningkatan/penurunan rasio kadar MMP-9/kadar TIMP-1. Nilai

korelasi Spearman sebesar 0.853 menunjukkan arah korelasi positif

94
(nilai signifikansi 0.000) dengan kekuatan korelasi sangat kuat

(85.3%).

Peningkatan/penurunan kadar MMP-9 juga berkorelasi dengan

peningkatan/penurunan kadar EGF. Nilai korelasi Spearman sebesar

0.464 menunjukkan arah korelasi positif (nilai signifikansi 0.011)

dengan kekuatan korelasi sedang (46.4%).

Peningkatan/penurunan kadar TIMP-1 berkorelasi dengan

peningkatan/penurunan kadar EGF. Nilai korelasi Spearman sebesar

0.672 menunjukkan arah korelasi positif (nilai signifikansi 0.000)

dengan kekuatan korelasi kuat (67.2%).

95
BAB VI

PEMBAHASAN

Keberhasilan perawatan saluran akar gigi sangat ditentukan oleh

kehadiran bakteri dalam sistem saluran akar, dan setiap tahapan dalam

perawatan saluran akar diarahkan untuk mengeradikasi bakteri-bakteri

tersebut. Triad endodontik merupakan tiga tahapan utama dalam

perawatan saluran akar untuk menunjang saluran akar yang aseptik,

meliputi preparasi kemomekanik, sterilisasi dan obturasi saluran akar.

Keberhasilan eradikasi bakteri dapat dievaluasi melalui pemeriksaan

kultur atau tehnik molekuler seperti PCR. Dalam penelitian ini, tehnik

kultur dipilih karena tehnik ini cukup efektif dalam menilai efektifitas

medikasi terhadap perawatan melalui pembiakan bakteri.

Penelitian-penelitian klinis menunjukkan preparasi biomekanik yang

disertai irigasi saluran akar belum mampu mengeliminasi seluruh bakteri

dalam sistem saluran akar sehingga medikasi antar kunjungan diperlukan

untuk mengoptimalkan eradikasi bakteri pada kasus gigi dengan

peradangan jaringan periapikal (Martinho & Gomes, 2008; Siqueira dkk,

2007). Pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan medikasi antar

kunjungan dilakukan berulang-ulang setelah perawatan saluran akar gigi

yang infeksi sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk

penyelesaiannya. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya kooperasi

pasien dan dapat juga menyebabkan kegagalan perawatan.

96
A. Profil Eradikasi Jenis Bakteri pada Kelompok Perlakuan dan

Kelompok Kontrol

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan kehadiran

bakteri pada kedua kelompok setelah medikasi dengan kalsium

hidroksid selama satu minggu walaupun beberapa bakteri fakultatif

anaerob gram + (Streptococcus spp, Pseudomonas spp) dan obligat

gram + (Lactobacllus spp) menunjukkan kultur negatif (Gambar 5).

Bakteri-bakteri prevalen yang ditemukan pada kedua kelompok

tersebut adalah Fusobacterium spp, Staphylococcus spp, dan

Propionibacterium spp. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai

hasil penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya. Penelitian klinis

yang dilakukan Roqas & Siqueira (2011) menggunakan tehnik

mikrobiologi molekuler PCR menunjukkan kehadiran bakteri dalam

40% sampel pasien setelah satu minggu medikasi antar kunjungan

dengan pasta kalsium hidroksid, baik dalam gliserin atau dalam

camphorated paramonocholorophenol glycerin.

Temuan jenis bakteri dalam penelitian ini sesuai dengan yang

dilaporkan oleh Matsuo dkk 2003, tetapi berbeda dengan hasil temuan

Roqas & Siqueira (Roqas & Siqueira, 2011). Prevalensi bakteri yang

ditemukan pada penelitian Roqas & Siqueira, (2011) adalah

Propionibacterium spp dan Streptococcus spp. Perbedaan ini bisa

disebabkan karena perbedaan medikamen yang digunakan sehingga

meningkatkan eradikasi bakteri tertentu (Roqas & Siqueira, 2011).

97
Disamping itu terdapat perbedaan ragam bakteri pada setiap pasien,

dan perbedaan faktor virulensi bakteri sehingga menyulitkan

identifikasi bakteri spesifik yang berperan pada setiap infeksi saluran

akar gigi (Matsuo dkk, 2003). Perbedaan lokasi geografis dan tehnik

pemeriksaan bakteri juga dilaporkan memberi pengaruh terhadap

kehadiran jenis bakteri tertentu pada infeksi saluran akar. Analisis

molekuler dengan tehnik nested PCR yang dilakukan di Brasilia

menunjukkan spesies bakteri prevalen dalam saluran akar gigi adalah

Porphyromonas spp, Treponema spp, Dialister spp, sedang bakteri

prevalen dalam saluran akar gigi subyek pasien di Korea Selatan

adalah Fusobacterium spp, Tannarella spp dan Treponema spp,

(Siqueira dkk, 2005).

Tehnik pemeriksaan bakteri juga berpengaruh terhadap ragam

bakteri. Tehnik molekuler mendeteksi kehadiran seluruh bakteri lewat

DNA baik yang hidup maupun yang tidak hidup, sedang tehnik kultur

memeriksa bakteri hidup yang diperoleh dari saluran akar utama dan

dapat dibiakkan. Walaupun sederhana, tehnik kultur masih relevan

digunakan untuk mengetahui efektifitas dan resistensi bakteri

terhadap medikasi (Figdor & Gulabivala, 2011).

Bagian apikal saluran akar gigi merupakan daerah yang kirits

bagi para klinisi karena komunitas bakteri berada pada posisi strategis

dan ketidak teraturan anatomis sistem saluran akar seperti isthmus,

fin, delta dan tubulus dentinalis sehingga menyulitkan pembersihan

98
kemomekanik yang optimal. Bakteri–bakteri tersebut tidak mudah

terjangkau oleh instrumentasi dan irigasi saluran akar sehingga

medikasi antar kunjungan diperlukan pada kasus infeksi tertentu.

Selain itu bakteri tersebut memperoleh nutrien dari eksudat periapikal

yang kaya protein dan glikoprotein sehingga dapat tetap berkembang,

menyebabkan peradangan dan resorpsi tulang di apikal (Nair, 2006;

Siqueira dkk, 2009). Oleh sebab itu pada penelitian ini, medikasi

dengan pasta triantibiotik diaplikasikan pada bagian apikal gigi.

Pasta triantibiotik dengan carrier makrogol propilen glikol yang

digunakan pada penelitian ini ditempatkan pada bagian apikal akar

gigi, ternyata mampu mengeliminasi bakteri lebih baik dibandingkan

dengan kelompok kontrol dengan terjadinya perubahan temuan

bakteri dan perubahan jumlah CFU secara bermakna seperti terlihat

pada gambar 6 dan Tabel 2. Makrogol dan propilen glikol memiliki

kemampuan membawa antibiotik dalam saluran akar untuk berdifusi

lebih baik ke dalam tubulus dentinalis sehingga dapat meningkatkan

aksi antibakterinya (Cruz dkk, 2002. Nakornchai dkk, 2010). Hasil

penelitian klinis ini mendukung berbagai penelitian in vitro dan in vivo

sebelumnya yang menunjukkan tingginya efektifitas pasta triantibiotik

dalam membunuh patogen-patogen saluran akar nekrotik.

Pada penelitian ini pada kelompok perlakuan, pasta triantibiotik

dan juga kalsium hidroksid pada kelompok kontrol, sama efektif

mengeradikasi total jenis bakteri Pseudomonas spp dan menurunkan

99
jumlah penderita pada jenis bakteri Propionibacterium spp. Sebaliknya

pasta triantibiotik dapat menurunkan jumlah penderita dengan jenis

bakteri Fusobacterium spp mencegah bertambahnya jumlah

penderita dengan jenis bakteri Actinomyces spp, mencegah

tumbuhnya jenis bakteri Peptostreptococcus spp lebih baik

dibandingkan dengan kelompok kontrol, kecuali pada jenis bakteri

Porphyromonas spp. (Gambar 7). Pasta triantibiotik dan kalsium

hidroksid tidak berefek menurunkan jumlah penderita pada jenis

bakteri Staphylococcus spp, yang tidak mengalami perubahan pada

kedua kelompok.

Fusobacterium spp merupakan bakteri predominan pada kedua

kelompok (Gambar 7). Bakteri ini merupakan bakteri yang banyak

terdeteksi pada lesi periapikal resisten dari gigi dengan saluran akar

gigi yang telah terisi sebelumnya (Handal dkk, 2009). Fusobacterium

spp adalah bakteri anaerob gram negatif yang mampu membentuk

sinergi dengan banyak bakteri lainnya. Dengan menggunakan tehnik

imunohistologis, bakteri ini paling banyak ditemukan menginvasi

tubulus dentinalis akar gigi yang infeksi, dan juga salah satu dari

sedikit bakteri yang dapat menahan prosedur perawatan saluran akar

dan efek biosid (Matsuo dkk, 2003).

Fusobacterium spp dapat menghambat respons sel T terhadap

mitogen dan antigen, menekan fase G 1 sel T melalui Fusobacterium

inhibitory protein (FIP) dan menginduksi apoptosis peripheral blood

100
mononuclear cells (PBMNC) dan Jurkat T cells lewat outer membrane

protein Fap2 dan RadD (Huynh dkk, 2011). Selain itu, Fusobacterium

spp juga memiliki kemampuan mengagregasi sel-sel imun,

mendekatkan sel-sel bakteri untuk sinyal reseptor dan ekspresi

molekul adhesi, berakibat pada kematian sel. Koeksistensi dan

agregasi antara bakteri Fusobacterium spp dan Porphyromonas spp

telah dilaporkan dan saling mendukung dalam menyediakan metabolit

yang penting (Avila Campos & Nakano, 2005; Handal dkk, 2009;

Martinho dkk, 2010). Kedua bakteri tersebut tetap eksis pada kedua

kelompok di atas.

Dalam penelitian ini, aplikasi pasta triantibiotik mencegah

bertambahnya jumlah penderita pada jenis bakteri Actinomyces spp

lebih baik daripada kalsium hidroksid, tetapi jumlah penderita sama

pada jenis bakteri Propionibacterium spp (Gambar 7). Actinomyces

spp bersama Propionibacterium spp merupakan penyebab infeksi

kronis granulomatosa pada manusia dan binatang tetapi mekanisme

patogenitas kedua bakteri tersebut belum bisa dijelaskan. Kedua

bakteri tersebut secara konsisten ditemukan pada jaringan periapikal

gigi dan tidak memberi respons terhadap perawatan endodontik non-

bedah. Actinomyces spp memiliki permukaan sel yang hidrofobik

dengan struktur seperti fimbria dan membantu sel-sel tersebut

membentuk agregat menjadi koloni kohesif yang menghindarkan

mereka dari sistem pertahanan tubuh (Nair, 2006). Strategi perawatan

101
perlu dipikirkan yang diarahkan pada target agregasi sel bakteri yang

dapat mematikan bakteri, mencegah kematian sel imun, dan

menurunkan reaksi inflamasi sehingga bermanfaat meningkatkan

fungsi sel-sel imun (Huynh dkk, 2011).

Kalsium hidroksid merupakan medikamen yang paling banyak

digunakan dalam perawatan endodontik. Aktifitas antibakteri kalsium

hidroksid berasal dari pelepasan dan difusi ion hidroksil, membuat

suasana alkalis yang tinggi dan tidak kondusif untuk kelangsungan

hidup bakteri. Akan tetapi kelarutan dan kemampuan difusi kalsium

hidroksid rendah karena adanya kapasitas buffering dari protein

dentin, menyulitkan pencapaian pH tinggi yang diperlukan untuk

eradikasi bakteri dalam tubulus dentinalis. Disamping itu biofilm

bakteri yang padat mendiami bagian dalam tubulus, ramifikasi dan

isthmus, tidak terjangkau oleh aksi kalsium hidroksid. Bagian apikal

juga memiliki diameter tubulus yang lebih kecil dan lebih sedikit

sehingga menyulitkan penetrasi ion hidroksil ke dalam tubulus

(Athanassiadis dkk, 2007). Hasil dalam penelitian ini mendukung

penelitian klinis sebelumnya (Taneja dkk, 2010; Manuel dkk, 2010)

dan menjelaskan keterbatasan aksi kalsium hidroksid dalam

mengeradikasi bakteri saluran akar.

Infeksi saluran akar bersifat polimikrobial dan bakteri-bakteri

tersebut tidak berada dalam koloni-koloni yang terpisah, tetapi tumbuh

bersama dalam matriks ekstraseluler polisakarid dalam komunitas

102
yang saling terhubung, disebut sebagai biofilm. Pertumbuhan populasi

bakteri tersebut tergantung dari rantai makanan dimana metabolisme

dari satu spesies menyediakan nutrien yang penting untuk menunjang

pertumbuhan anggota bakteri lainnya dalam populasi. Biofilm memiliki

makna klinis yang penting karena pola pertumbuhan biofilm

membentuk komunitas koagregat, membuat bakteri relatif terlindung

dari berbagai upaya eradikasi dengan implikasi patogenik terutama

kasus infeksi kronis. Menurut data National Health Institute USA, lebih

dari 80% infeksi persisten melibatkan biofilm (Figdor & Sundqvist,

2007). Bakteri-bakteri ini dilaporkan resisten terhadap perawatan

saluran akar karena memiliki kemampuan beradaptasi terhadap

lingkungan saluran akar yang memiliki keterbatasan nutrien melalui

quorum sensing (Siqueira & Roqas, 2002). Quorum sensing

merupakan mekanisme penting dari banyak bakteri yang

mengkoordinasi dan meregulasi ekspresi gen yang berkaitan dengan

densitas populasi melalui sinyal molekul, dikenal sebagai

autoinducers (Moghaddam dkk, 2014).

Sejumlah penelitian dilakukan dengan konsep quorum sensing

inhibitor (QSI) yang dikembangkan sebagai perawatan antimikroba

yang relevan dengan menghambat komunikasi quorum sensing dan

memungkinkan aktifitas antimikroba PMN berjalan baik tanpa

menimbulkan destruksi jaringan secara berlebihan dan mendorong

terjadinya kesembuhan. Penelitian lebih lanjut masih terus

103
dikembangkan untuk dapat diaplikasikan dalam klinik (Bjarnsholt dkk,

2008).

Secara umum, medikasi intrakanal dengan pasta triantibiotik

pada kelompok perlakuan menunjukkan kemampuan eliminasi bakteri

yang lebih baik terhadap jenis bakteri obligat gram +, bakteri obligat

gram – dibandingkan dengan kalsium hidroksid pada kelompok

kontrol, seperti terlihat pada Gambar 8. Sedang baik pasta triantibiotik

maupun kalsium hidroksid, ditemukan jumlah penderita yang sama

pada jenis bakteri fakultatif anaerob +, kususnya bakteri

Staphylococcus spp.

Bakteri Staphylococcus spp merupakan bakteri oportunis dalam

rongga mulut dan dilaporkan mudah resisten terhadap antibiotik

(Humpreys, 2002), karena memiliki kemampuan komunikasi antar sel

bakteri lewat sinyal molekul autoinducer N-acyl-homoserine lactones

(AHLs) yang mengontrol ekspresi berbagai gen virulensi bersama

dengan populasi sel bakteri lainnya (Siqueira & Roqas, 2002).

Pada infeksi saluran akar bakteri obligat anaerob selalu disertai

bakteri fakultatif anaerob. Daya infeksi bakteri obligat anaerob

ditunjang oleh koeksistensi bakteri fakultatif anaerob yang

mengfasilitasi faktor pertumbuhannya dengan menurunkan potensi

oksidasi-reduksi lingkungan atau mengganggu pertahanan lokal.

Sebaliknya bakteri obligat anaerob menunjang pertumbuhan bakteri

fakultatif anaerob dengan melindunginya dari fagositosis atau

104
antibiotik β-laktam dengan menghasilkan β-lactamase (Figdor &

Gulabivala, 2011).

Selain bakteri yang berhasil diidentifikasi dalam infeksi saluran

akar, terdapat juga bakteri yang belum teridentifikasi. Sakamoto dkk,

(2007) melakukan analisa bakteri menggunakan 16S rRNA gene

clone library setelah prosedur endodontik. Hasilnya menunjukkan 42%

taxa bakteri yang ditemukan pada sampel adalah bakteri yang belum

dapat dibiakkan. Pada beberapa kasus, bakteri-bakteri tersebut yang

mendominasi sampel dan dapat ikut berpartisipasi pada infeksi

endodontik yang persisten.

Bakteri-bakteri yang terdeteksi dalam penelitian ini setelah

medikasi intrakanal merupakan bakteri yang juga menginisiasi infeksi,

dapat bertahan terhadap prosedur disinfeksi dan beradaptasi sangat

cepat dengan lingkungan baru melalui regulasi ekspresi gen yang

memberi kemampuan bakteri bertahan dalam keterbatasan nutrien.

Sebagai contoh, dalam keterbatasan nitrogen, aktifasi sistem gen Ntr

memberi kemampuan pada bakteri untuk dapat menangkap sekecil

apapun amonia, bakteri lain juga mengaktifkan sistem represor

katabolit melalui kontrol gen cya (adenilate cyclase) dan crp

(catabolite repressor protein) pada kondisi konsentrasi glukosa yang

rendah untuk menginduksi sintesis enzim-enzim untuk penggunaan

berbagai sumber karbon organik lainnya. Demikian juga pada kondisi

kekurangan fosfat, sel-sel bakteri mengaktifkan gen untuk

105
penggunaan senyawa fosfat organik dan menangkap sejumlah kecil

fosfat inorganik. Bakteri dapat juga menginduksi atau mempercepat

sintesis protein spesifik termasuk heat shock protein yang

memungkinkan bakteri bertahan dalam kondisi stres, dan beberapa

fungsi patologis dikaitkan dengan protein ini (Siqueira & Roqas, 2008).

Kehadiran beberapa spesies bakteri setelah perawatan saluran

akar memberi dampak berkurangnya kesembuhan lesi periapikal

(Fabricius dkk, 2006), akan tetapi bakteri yang ditemukan setelah

preparasi kemomekanik dan medikasi intrakanal tidak selalu

menyebabkan proses infeksi karena kesembuhan periapikal juga

terjadi dengan kehadiran bakteri dalam saluran akar pada saat

pengisian. Bakteri-bakteri tersebut mati akibat efek toksik dari bahan

pengisi, tidak ada akses ke nutrien, atau terjadi kerusakan ekologi

bakteri. Kehadiran spesies bakteri tertentu dalam saluran akar setelah

preparasi dan atau medikasi intrakanal merupakan seleksi lingkungan

(Figdor & Sundqvist, 2007; Siqueira & Roqas, 2008).

B. Profil Eradikasi Jumlah Koloni (CFU) Bakteri pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Aplikasi lokal pasta triantibiotik mampu secara bermakna

menurunkan jumlah bakteri (CFU) dibandingkan dengan kelompok

kontrol yang menunjukkan peningkatan jumlah CFU bakteri setelah

remedikasi dengan kalsium hidroksid (Tabel 3). Selain itu, medikasi

106
intrakanal dengan pasta triantibiotik mampu mencegah tumbuh

kembali bakteri seperti yang terlihat pada Tabel.4. Kombinasi

antibiotik yang terdiri dari metronidazole, ciprofloxacin dan minosiklin

dianggap mampu mengatasi infeksi polimikrobial saluran akar dan

mencegah timbulnya resistensi bakteri (Mohammadi & Abbott, 2009).

Metronidazole memiliki spektrum bakterisidal yang luas terhadap

banyak bakteri anaerob, gram + atau gram - dengan merusak struktur

helix yang dengan cepat menyebabkan kematian sel (Windley dkk,

2005). Ciprofloxacin memiliki potensi sangat baik mengatasi bakteri

gram – melalui hambatan pada gyrase DNA bakteri (Khodursky &

Cozzarelli, 1998). Minosiklin efektif mengatasi banyak bakteri gram +

dan gram - dengan mencegah perlekatan aminoacyl-tRNA dengan

akseptor (A) ribosom sehingga sintesis protein terhambat (Cornell dkk,

2003). Antibiotik-antibiotik tersebut bekerja efektif menghambat

sintesis protein bakteri. Hal ini bisa menjelaskan keberhasilan klinis

medikasi pasta triantibiotik mengatasi infeksi saluran akar pada kasus

abses apikalis akut.

Pada penelitian ini dengan kasus periodontitis apikalis kronis,

medikasi dengan pasta triantibiotik juga mampu mengurangi jumlah

CFU bakteri secara bermakna (Tabel 3), dan mengurangi ragam

bakteri yang ada dibandingkan dengan kalsium hidroksid (Gambar 7

dan 8). Disampng itu jumlah penderita yang mengalami penurunan

bakteri juga lebih besar yaitu 10 dari 12 penderita terjadi penurunan

107
bakteri atau temuan bakteri negatif pada kelompok dengan medikasi

pasta triantibiotik dibandingkan dengan 6 penderita dari 12 penderita

pada kelompok kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan pada anjing dengan kasus periodontits apikalis yang

menunjukkan reduksi jumlah CFU bakteri mencapai 70% (Windley

dkk, 2005).Hal ini menegaskan efek eradikasi bakteri dengan

medikasi pasta triantibiotik yang lebih baik dari kalsium hidroksid.

Pada penelitian ini, jumlah CFU bakteri pada kelompok kontrol

yang meningkat setelah remedikasi dengan kalsium hidroksid dapat

dihubungkan dengan kemampuan kalsium hidroksid meningkatkan

adhesi bakteri pada kolagen sehingga meningkatkan invasi bakteri ke

dalam tubulus dan menimbulkan resistensi terhadap disinfeksi.

Disamping itu efek buffer dentin protein dapat menghambat ion

hidroksil mencapai sepertiga apikal gigi dan mempengaruhi aksi

antibakteri. Bakteri-bakteri juga membentuk koloni yang padat dalam

tubulus dentinalis sehingga menghindarkan bakteri dari aksi kalsium

hidroksid (Athanassiadis dkk, 2007; Manuel ST dkk, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Endo dkk, 2013 juga menemukan

peningkatan jumlah CFU bakteri dalam 7 dari 15 saluran akar

(46,67%) setelah medikasi saluran akar dengan kalsium hidroksid. Hal

ini disebabkan oleh sejumlah kecil bakteri yang masih berdiam dalam

tubulus dentinalis dan sistem anastomosis yang tidak terjangkau oleh

preparasi kemomekanik dan medikasi. Bakteri tersebut berkembang

108
dengan cepat setelah 2 minggu dan memungkinkan terdeteksi

kemudian (Endo dkk, 2013). Lama terjadinya infeksi juga berperan

terhadap penbentukan biofilm berlapis yang dapat mengurangi

efektifitas medikasi (Figdor & Gulabivala, 2011).

C. Perubahan Kadar Biomarker setelah Perlakuan pada Masing-

masing Kelompok

Tahap kesembuhan dapat dinilai dari berbagai regulator

molekuler penting yang berperan dalam suatu luka dengan

pendekatan molekuler melalui analisa cairan luka atau homogenat

biopsi untuk protein, menggunakan antibodi selektif seperti ELISA

atau substrat fluorogenik untuk aktifitas enzimnya. Pada penelitian-

penelitian sebelumnya lingkungan molekuler luka kronis menunjukkan

aktifitas sitokin pro inflamasi tinggi, demikian juga aktifitas

proteasenya, tetapi memiliki aktifitas mitogenk yang rendah (Schultz &

Mast, 1998).

Pada penelitian ini pengamatan dilakukan terhadap aktifitas

protease pada periodontitis apikalis kronis. Seperti pada inflamasi

kronis lainnya, ada ketidak seimbangan antara deposisi dan degradasi

komponen-komponen matriks ekstrasel oleh protease terutama

matriks metalloproteinase (McCarty & Percival, 2012). Perawatan

saluran akar gigi dengan medikasi pasta triantibiotik diharapkan dapat

menciptakan keseimbangan ini dan mendorong terjadinya

109
kesembuhan. Cairan diambil dari saluran akar gigi, digunakan untuk

mendeteksi perubahan-perubahan molekuler yang terjadi

menggunakan ELISA untuk mendeteksi enzim aktif MMP-9, TIMP-1

dan EGF.

Efek medikasi pasta triantibiotik pada penderita PAK setelah

perawatan saluran akar terhadap mediator inflamasi yang diuji dalam

penelitian ini hanya menunjukkan sedikit peningkatan dan tidak

bermakna antara sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan terhadap

median kadar MMP-9, TIMP-1, dan EGF. Demikian juga pada

kelompok kontrol terjadi sedikit peningkatan pada median kadar MMP-

9, TIMP-1, dan EGF setelah remedikasi dan tidak bermakna secara

statistik seperti terlihat pada Tabel 6. Secara teoritis antibiotik tidak

memiliki efek langsung terhadap mediator inflamasi karena fungsi

antibiotik adalah untuk mematikan bakteri. Dalam berbagai literatur,

respons inflamasi dipicu oleh bakteri dan berbagai produk

metaboliknya yang berperan sebagai antigen. Konsep yang dibangun

dalam penelitian ini juga untuk menilai bagaimana pengaruh eradikasi

bakteri tersebut terhadap mediator inflamasinya terutama setelah

dimedikasi dengan pasta triantibiotik.

110
D. Efek Eradikasi Bakteri terhadap Kadar MMP-9, Kadar TIMP-1,
Rasio MMP-9/TIMP-1 dan Kadar EGF pada Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol (Temuan Bakteri tetap/meningkat dan
Temuan Bakteri Negatif/menurun).

Gambaran yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan

kadar rata-rata dari semua mediator inflamasi yang diperiksa pada

penderita dengan temuan bakteri negatif atau menurun, lebih rendah

dibandingkan dengan rata-rata kadar mediator MMP-9, TIMP-1 dan

EGF pada penderita yang masih ditemukan bakteri positif, yang

meningkat atau tetap (Tabel 7). Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya keterkaitan antara

kehadiran bakteri dengan ekspresi enzim-enzim protease, khususnya

matriks metalloproteinase. Demikian juga penelitian yang dilakukan

oleh Ahmed dkk (2013) menggambarkan ada korelasi antara ekpresi

MMP-9 dengan hadirnya bakteri gram- pada kelainan periapikal

simptomatis (Ahmed dkk, 2013). Penelitian lainnya menunjukkan

aktifitas MMP-9 dan MMP-13 terdeteksi tinggi pada kelainan periapikal

dan diekspresikan terutama oleh sel PMN (de Paula Silva dkk, 2009).

Seperti diketahui, sel PMN berperan penting dalam eradikasi bakteri

melalui fungsi fagositosis.

Penelitian lainnya yang dilakukan pada gigi anjing dengan lesi

periapikal juga menunjukkan adanya hubungan antara degradasi

jaringan ikat periapikal dengan persistensi bakteri setelah perawatan

saluran akar. Pada perawatan sekali kunjungan, tampak banyak sel-

111
sel inflamatori yang positif mengekspresikan MMPs (MMP-1,-2,-8,-9)

setelah seratus delapan puluh hari, dan pengamatan dengan

mikroskop optik menunjukkan tingginya frekuensi bakteri pada akar

yang terinfeksi. Sebaliknya perawatan saluran akar dengan medikasi

kalsium hidroksid menggambarkan prevalensi bakteri yang rendah

dan MMPs terutama diekspresikan sel-sel fibroblas dan sel monosit.

Pada perawatan saluran akar tanpa periodontits apikalis, tidak terjadi

induksi MMPs (Paula-Silva dkk, 2010).

Pada kondisi patologis MMP-9 mengdegradasi kolagen tipe IV

pada membran basalis untuk migrasi subset leukosit terutama leukosit

PMN ke daerah infeksi untuk fungsi fagositosis. Umpan balik positif

juga terjadi antara MMP-9 dan IL-8, membuat IL-8 menjadi 10 kali

lebih aktif sebagai kemoatraktan melalui jalur serpentine G-protein-

coupled receptor (Xu dkk, 2011). MMP-9 juga mengdegradasi protein

βig-H3 menjadi fragmen yang kemudian melekat pada permukaan sel

makrofag sebagai kemoatraktan untuk menginduksi migrasi makrofag

(Kim dkk, 2012). Hal ini membantu menjelaskan tingginya rata-rata

kadar MMP-9 pada penderita dengan temuan bakteri positif

(meningkat atau tetap) yang diperoleh pada penelitian ini setelah

perawatan saluran akar dibandingkan dengan rata-rata kadar MMP-9

temuan bakteri negatif atau menurun. Hal ini dipertegas dengan

terjadinya perubahan positif penurunan rata-rata kadar MMP-9

(3149.37 ± 6184.82 ng/mL) secara bermakna pada temuan bakteri

112
negatif atau menurun dibandingkan dengan terjadinya perubahan arah

negatif yaitu menngkatnya rata-rata kadar MMP-9 (-2798.73 ± 6960.52

ng/mL) pada temuan bakteri positif atau tetap (Tabel 8). Pada temuan

bakteri tetap/meningkat, hasil analisa korelasi juga menggambarkan

adanya hubungan dengan korelasi positif antara penurunan

perubahan pertumbuhan bakteri dengan penurunan kadar MMP-9 (r=

0.337 dan p=0.054). Hasil temuan ini mendukung hasil yang diperoleh

Paula-Silva dkk (2010) dan Dezerega dkk, 2012).

Peningkatan kadar MMP-9 pada penelitian ini dihubungkan

dengan adanya bakteri dan terjadi sebagai respons terhadap

peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α yang disekresikan dari sejumlah

macam sel seperti makrofag teraktivasi. Predominan bakteri yang

ditemukan setelah perawatan saluran akar dalam penelitian ini adalah

bakteri gram - obligat anaerob (Gambar 7). Bakteri gram – memiliki

beberapa faktor virulensi dan membran luar bakteri gram - adalah

lipopolisakarida (LPS), salah satu endotoksin yang poten menginduksi

berbagai respons proinflamatori lewat aktivasi TLR-4 receptor dan

CD14, menginduksi jalur intrasel dan aktifasi NF-kB melalui degradasi

protein inhibitor kappa Beta (IkB) lewat sejumlah jalur transduksi

sinyal, terjadi translokasi NF-kB dan mengaktifasi transkripsi gen-gen

proinflamatori. LPS menstimulasi IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-12, IFN-γ,

sitokin kemotaktik seperti IL-8, monocyte chemotactic protein (MCP-

5), monocyte inflammatory protein (MIPs), prostaglandin E2 (PGE2).

113
LPS juga menginduksi sel endotel untuk produksi E-selectin yang

dapat meningkatkan diapedesis leukosit sirkulatori ke daerah

inflamasi. LPS juga dapat menginduksi sel fibroblas, sel mast untuk

ekspresi sitokin-sitokin proinflamatori. Penelitian menunjukkan bahwa

LPS tidak saja berperan penting dalam mengorganisasi tahap-tahap

awal respons inflamasi tetapi juga berpartisipasi dalam transisi

respons imun adaptif yang efisien dengan meningkatkan ekspresi

molekul co-stimulatory CD80/CD86 dan MHC klas II yang penting

untuk aktifasi sel T. Molekul LPS juga berinteraksi dan mengaktifasi

sistem komplemen yang dapat menginisiasi pelepasan kemoatraktan

leukosit dan meningkatkan fagositosis (Madianos dkk, 2005).

Kombinasi bakteri berpengaruh terhadap terjadinya inflamasi

atau infeksi bakteri. Penelitian pada tikus yang dilakukan oleh Hong

dkk (2004) menunjukkan adanya efek adiktif antara Fusobacterium

nucleatum dan Porphyromonas endodontalis dalam menginduksi

sitokin-sitokin proinflamatori terutama IL-1α dan TNF-α, yang

kemudian menstimulasi ekspresi MMPs (Hong dkk, 2004). Efek sinergi

juga terjadi antara bakteri gram – dan bakteri gram +. LPS dan

peptidoglikan mampu memicu ekspresi berbagai sitokin proinflamatori,

menginduksi diferensiasi makrofag lebih banyak dan menjadi sel

seperti osteoklas dan kemudian meresorpsi tulang (Martinho dkk,

2008). Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana

114
kombinasi bakteri ini berpengaruh terhadap terjadinya proses

kesembuhan pada penelitian ini.

Makrofag juga memediasi transisi dari fase inflamatori ke fase

proliferatif proses kesembuhan, melepaskan berbagai growth factors

dan sitokin termasuk TNF-α, IL-1β, IL-6, IGF, FGF, EGF dan lainnya

untuk merekrut dan mengaktivasi fibroblas, mengsintesa, deposit dan

mengorganisasi matriks jaringan baru, sedang yang lainnya

meningkatkan angiogenesis. IL-1β bersifat mitogenik untuk fibroblas,

dan bersama TNF-α meningkatkan regulasi ekspresi MMPs,

mempengaruhi deposisi kolagen secara langsung dengan

menginduksi sintesis kolagen oleh fibroblas. Sebaliknya IL-1β dan

TNF-α menurunkan regulasi ekspresi TIMPs. Limfosit yang berada

dalam jaringan memproduksi IFN-γ dan menghambat migrasi

fibroblast dan menurunkan regulasi sintesis kolagen (Schultz &

Mast,1999).

Growth factors yang disekresi makrofag berlanjut menstimulasi

migrasi fibroblast dan sel-sel endotel ke daerah yang rusak. Arah

gerakan fibroblas ditentukan oleh konsentrasi gradien faktor

kemotaktik dalam matriks ekstrasel, yang diawali dengan mengikat

pada komponen matriks seperti kolagen, fibronektin, vitronektin

melalui integrin sebagai reseptor permukaan sel. Pada saat ujung

fibroblas tetap terikat pada komponen matriks, sel fibroblas

memanjangkan proyeksi sitoplasmik untuk mendapatkan sisi ikatan

115
berikutnya. Pada saat ikatan ini diperoleh, perlekatan sebelumnya

dilepaskan melalui MMPs yang disekresi fibroblas. MMPs berperan

penting untuk migrasi sel melalui matriks ekstrasel. MMPs yang

berperan penting antara lain kolagenase (MMP-1) yang memutus

kolagen intak pada sisi tunggalnya, gelatinase (MMP-2 dan MMP-9)

yang mengdegradasi kolagen yang terdenaturasi sebagian dan

stromelisin (MMP-3). Molekul kolagen yang terdegradasi tidak dapat

berinteraksi baik dengan molekul kolagen baru yang berakibat pada

terbentuknya matriks ekstrasel yang tidak terorganisasi sehingga

harus dikeluarkan oleh aksi MMPs dan terkontrol dengan baik oleh

TIMPs untuk mencegah MMPs mendegradasi matriks fungsional yang

intak (Schultz dkk, 2005). Hal ini bisa menjelaskan adanya korelasi

yang kuat dan bermakna antara EGF dan MMP-9, dan antara MMP-9

dan TIMP-1. dalam penelitian ini (Tabel 9).

Fibroblas dan sel-sel yang bermigrasi ke daerah luka mulai

proliferasi dan selularitas luka meningkat, bisa berlangsung

berminggu-minggu. Pada penderita yang sudah terjadi eradikasi

bakteri atau bakteri menurun, MMP-9 lebih rendah tetapi rasio MMP-9

cenderung tinggi sehingga bisa diasumsikan bahwa kadar MMP-9

masih jauh lebih tinggi dari kadar TIMP-1. Hal ini menandakan terjadi

juga inflamasi tetapi suatu proses inflamatori proliferatif, dan memiliki

tahapan yang sama dengan tahapan dalam inflamasi akibat induksi

bakteri. Sel-sel inflamatori mulai berkurang karena bakteri tidak

116
ada/kurang, dan sel-sel residen dalam jaringan mulai mensintesa

growth factors. Respons inflamasi selama kesembuhan normal

ditandai dengan perubahan spasial dan temporal dari berbagai subset

leukosit (Eming dkk, 2007).

Protease berperan penting dalam proses kesembuhan untuk

mengeluarkan komponen-komponen matriks ekstra sel yang rusak,

digantikan dengan matriks ekstrasel intak bila penyembuhan luka

berlangsung lancar. Sejalan dengan penurunan konsentrasi sitokin

inflamatori dan growth factors, neutrofil, makrofag, fibroblas aktifasi

dan sel epidermal mulai mensintesa molekul-molekul baru (Schultz &

Mast, 1999).

Aktifitas MMP-9 dalam lingkungan luka ditentukan oleh beberapa

parameter antara lain kecepatan sintesis, aktifasi MMP-9 laten dan

kadar protein inhibitor spesifik TIMP-1 (Schultz & Mast,1998). Aksi

TIMP-1 berpengaruh terhadap kinetika aksi MMP-9. Pada kondisi

patologis kenaikan kadar TIMP-1 dikaitkan dengan upaya tubuh untuk

mempertahankan homeostasis dengan mencegah kerusakan jaringan

berlebihan atau memperlambat aktifitas MMP-9. Analisa korelasi

menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan kadar MMP-9 dan

kenaikan kadar TIMP-1 (r=0.519 dan p=0.005). Sedang pada proses

perbaikan, bisa terjadi ekspresi berlebihan TIMP-1 untuk

meningkatkan deposisi matriks ekstrasel (Hegazy LMAG & El Hana

SA, 2006; Brumann dkk, 2012).

117
Tinggi atau rendahnya rata-rata kadar MMP-9 selaras dengan

tinggi atau rendahnya rata-rata kadar TIMP-1, berikut perubahannya

yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 7 dan Tabel 8). Rata-rata

kadar TIMP-1 lebih rendah (196.49 pg/mL) pada temuan bakteri

negatif atau menurun dibandingkan dengan rata-rata kadar TIMP-1

(382.93 pg/mL) pada temuan bakteri positif (tetap atau meningkat).

Perbedaan perubahan rata-rata kadar TIMP-1 menjadi sangat

bermakna antara temuan bakteri negatif atau menurun dengan

temuan bakteri tetap/meningkat (Tabel 8), akan tetapi tidak ditemukan

adanya korelasi antara perubahan pertumbuhan bakteri dengan TIMP-

1 ( r= 0.225 dan p= 0.145), seperti terlihat pada Tabel 9. Hal ini

mungkin bisa dijelaskan oleh adanya induksi bakteri pada leukosit

PMN. Menurut Paula-Silva dkk, (2010) dari imunostaining, tampak sel-

sel yang terutama mengekspresikan MMP-9 adalah sel PMN pada

kondisi terdapat persistensi bakteri. Sel leukosit PMN akan bermigrasi

ke daerah infeksi , melintasi membrana basalis dengan mengsekresi

MMP-9 yang terdapat dalam granula tersiernya, sedang TIMP-1 tidak

disekresi oleh sel PMN.

Keseimbangan antara MMPs dan TIMPs berperan penting dalam

mempertahankan integritas jaringan yang sehat. Gangguan

keseimbangan tersebut dapat dijumpai pada kondisi patologis seperti

kanker dan periodontitis (Verstappen dan Von den Hoff, 2006). Oleh

sebab itu pendekatan melalui rasio antara kadar MMP-9 dan TIMP-1

118
dapat menggambarkan lingkungan proteolitik dari luka dan telah

digunakan sebagai prediktor kecepatan proses kesembuhan pada

luka diabetik (Yu Liu dkk, 2009) dan anak-anak penderita asma

dengan eksaserbasi (Hegazy LMAG & El Hana SA, 2006). Rasio

MMP-9/TIMP-1 rendah pada anak-anak yang diberi kortikosteroid dan

mengalami remisi dibandingkan dengan kondisi ekaserbasi.

Sebaliknya tingginya rasio pada luka diabetik merupakan tanda

proses kesembuhan yang buruk dan analisa korelasi membuktikan

adanya hubungan kuat antara kadar MMP-9 dan rasio MMP-9/TIMP-1

(Tabel 9).

Rasio antara kadar MMP-9 dan TIMP-1 juga menurun pada

temuan bakteri negatif/menurun dibandingkan dengan temuan bakteri

tetap/meningkat. Walaupun perbedaan ini tidak bermakna secara

statistik, dapat disimpulkan sementara bahwa penurunan rasio MMP-

9/TIMP-1 pada temuan bakteri negatif/menurun menandakan

terjadinya peningkatan pada TIMP-1 yang lebih besar dibandingkan

dengan temuan bakteri tetap/meningkat dan bisa mengfasilitasi

proses kesembuhan (Hegazy LMAG & El Hana SA, 2006).

Sintesis MMPs dan TIMPs diregulasi secara ekstensif oleh

berbagai growth factors dan sitokin-sitokin, dan terdapat koordinasi

dengan protein matriks ekstrasel. EGF dapat meningkatkan regulasi

TIMP-1 (Schultz & Mast, 1999), tetapi juga menginduksi ekspresi

MMP-9 lewat aktivasi reseptor oleh EGF dan meningkatkan motilitas

119
sel. Hasil pada pengamatan ini memang menunjukkan adanya

korelasi kuat dan bermakna antara EGF dan TIMP-1, dan juga dengan

MMP-9 (Tabel 9).

Median rata-rata kadar EGF dalam penelitian ini juga

menggambarkan penurunan pada temuan bakteri negatif/menurun

dibandingkan dengan rata-rata median kadar EGF pada temuan

bakteri tetap/meningkat walaupun tidak bermakna secara statistik

(Tabel 7). Akan tetapi pada Tabel 8, tampak perubahan ke arah

negatif dari rata-rata kadar EGF (-5.74 pg/mL). Ini menandakan kadar

EGF lebih tinggi sesudah perlakuan dengan pasta triantibiotik pada

penderita yang telah mengalami penurunan pertumbuhan atau

eradikasi bakteri. Kadar ini masih lebih rendah (± 30%) dibandingkan

dengan kadar EGF (-18.45 pg/mL) pada penderita dengan

pertumbuhan bakteri menetap/meningkat. Hal yang menarik bahwa

EGF memiliki korelasi bermakna bukan dengan MMP-9 saja tetapi

juga dengan TIMP-1 (Tabel 9).

Pada proses inflamasi EGF juga berperan penting dalam

degradasi matriks ekstrasel karena EGF dapat mernstimulasi sekresi

kolagenase, gelatinase dan plasminogen activator dari berbagai jenis

sel (Dereka dkk, 2006). Hal ini bisa menjelaskan hubungan positif

antara EGF dan MMP-9 seperti terlihat pada Tabel 9. Sebaliknya pada

proses kesembuhan, EGF berperan meningkatkan regulasi TIMP-1

oleh sel fibroblas untuk mengsekresi berbagai komponen matriks

120
ekstrasel, meningkatkan sintesis fibronektin sehingga EGF juga

berperan sebagai regulator proliferasi selama masa perbaikan

(Dereka dkk, 2006). TIMP-1 juga memiliki potensi mitogenik dan

beberapa penelitian in vitro menggambarkan sinyal mitogenik tersebut

ditransduksi melalui jalur tyrosine-phosphorylation, Ras effector, ERK2

dan MAPK tetapi fungsinya secara in vivo belum banyak diketahui

(Verstappen & Von den Hoff, 2006). Selama kesembuhan normal,

respons inflamasi ditandai dengan perubahan spasial dan temporal

dari berbagai subset leukosit dan terjadi interaksi timbal balik yang

dinamis diantara matriks ekstrasel, growth factors dan sel-sel (Schultz

& Mast, 1999; Eming dkk, 2007).

Berbagai hasil dalam penelitian ini menunjukkan pasta

triantibiotik mampu dengan baik mengeradikasi bakteri saluran akar

infeksi dan mengurangi inflamasi berlebihan, dengan demikian dapat

meningkatkan proses kesembuhan pada tahap perawatan saluran

akar gigi pada periodontitis apikalis kronis.

121
BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan :

1. Pasta triantibiotik yang diaplikasikan pada bagian apikal saluran akar

gigi merupakan medikamen efektif untuk medikasi antar kunjungan

pada tahap perawatan saluran akar gigi kasus PAK.

2. Pasta triantibiotik dapat mencegah inflamasi berlebihan dengan

terjadinya penurunan kadar MMP-9, kadar TIMP-1, dan kadar EGF

pada penderita yang sudah terjadi eradikasi bakteri atau penurunan

jumlah CFU bakteri pada tahap perawatan saluran akar gigi kasus

PAK.

3. Medikasi dengan pasta triantibiotik yang diaplikasikan pada bagian

apikal saluran akar gigi dapat meningkatkan proses kesembuhan

pada tahap perawatan saluran akar gigi kasus PAK.

122
B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjut efek aplikasi pasta triantibiotik

terhadap profil bakteri pada tahap perawatan saluran akar gigi pada

kasus periodontitis apikalis akut atau simptomatis dan abses apikalis

akut atau kronis.

2. Perlu dilakukan penelitian kombinasi antibiotik lainnya yang juga

mengeradikasi bakteri-bakteri yang tidak bisa dieradikasi oleh pasta

triantibiotik.

3. Perlu waktu pengamatan yang lebih lama untuk menilai keberhasilan

perawatan saluran akar gigi setelah aplikasi pasta triantibiotik pada

tahap perawatan saluran akar gigi kasus PAK.

123
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2012. Cellular and mollecular
immunology. 7th edition. Saunders, USA.
Abbott P.V,2002. The periapical space-a dynamic interface. Austr
Endod J 28:96-107.
Adl A, Shojaee N & Motamedifar M,2012. A comparison between the
antimicrobial effects of triple antibiotic paste and calcium
hydroxide against Enterococcus faecalis. Iran Endod J 7(3) : 149-
55.
Ahmed GM, El-Baz AA, Hashem AAR, Shalaan AK, 2013. Expression
levels of matrix metalloproteinase-9 and gram-negative bacteria in
symptomatic and asymptomatic periapical lesions. J Endod 39:
444-448.
Akahane T, Akahane M, Shah A, Thorgeirsson UP, 2004. TIMP-1
stimulate proliferation of human aortic smooth musclecells and
Ras effector pathways. Biochem Biophys Res Commun 324:440-
445.
Al Ansary MAD, Day PF, Duggal MS, Brunton PA. 2009. Interventions
for treating traumatized necrotic immature permanent anterior
teeth: inducing a calcific barrier dan root strengthening. Dent
Traumatol; 25(4):367-379.
Al-Aql ZS, Alag AS, Graves DT, Gerstenfeld LC, Einhorn TA. 2008.
Molecular mechanisms controlling bone formation during fracture
healing and distraction osteogenesis. J Dent Res; 87(2): 107-118.
Armstrong DG & Jude EB. 2002. The role of matrix metalloproteinases
in wound healing. Am Podiatric Med Assoc ; 92(1):12-18.
Ataoglu T, Ungor M, Serpek B, Haliloglu S, Ataoglu H, Ari H. 2002.
Interleukin-1β and tumour necrosis factor-α levels in periapical
exudates. Inter Endod J; 35: 181-185.
Athanassiadis B, Abbott PV & Walsh LJ, 2007. The use of calcium
hydroxide, antibiotics, and biocides as antimicrobial medicaments
in endodontics. Aust Dent J 52 (1 Suppl) S64-S82.)
Avila-Campos MJ & Nakano V,2006. Pathogenicity of Fusobacterium
nucleatum: General aspects of its virulence. Inter J Probiotics and
Prebiotics, Vol.1 (2): 105-112.

124
Banchs F & Trope M, 2004. Revascularization of immature permanent
teeth with apical periodontitis : new treatment protocol? J Endod
30: 196-200.
Baumgartner JC, Siqueira JF, Sedgley CM, Kishen A, 2008.
Microbiology of endodontic disease. In:Ingle’s Endodontic 6. 6 thEd,
BC Decker Inc, p.241.
Belmar MJ, Pabst C, martinez B, Hernandez M. 2008. Gelatinolytic
activity in gingival crevicular fluid from teeth with periapical
lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
105;801-6.
Bjarnsholt T,Kirketerp-Moller K, Jensen PO,Madsen KG et al, 2008.
Why chronic wounds will not heal: a novel hypothesis. Wound Rep
Reg 16:2-10.
Bode W & Maskos K. 2003. Structural basis of the
matrixmetalloproteinases and their physiological inhibitors, the
tissue inhibitors of metalloproteinases, Review. Biol Chem; 384,
863-872.
Brooks GF, Butel SJ, & Morse SA, 2001. Mikrobiologi kedokteran.
Penerjemah dan Editor, Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Salemba, Medika Jakarta.
Brumann M, Kusmenkov T, Ney L, Kanz K-G, Leidel BA et al. 2012.
Concentration kinetics of serum MMP-9 and TIMP-1 after blunt
multiple injuries in the early posttraumatic period. Mediator
Inflammation 1: 1-8.
Chang Kuang-Min, Lehrhaupt N, Lin LM, Feng J, Chi-Ying et al, 1996.
Epidermal growth factor in gingival crevicular fluid and its binding
capacity in inflamed and non-inflamed human gingiva. Archs Oral
Biol Vol.41,No.7:719-724.
Colic M, Gazivoda D, Vucevic V, Vasilijic S, Rudolf R, Lukic A. 2009.
Proinflammatory and immunoregulatory mechanisms in periapical
lesions. Molecular Immunology; 47: 101-113.
Cornell SR, Tracz DM, Nierhaus KH, Taylor DE. 2003. Ribosomal
protection proteins and their mechanism of tetracycline resistance.
Antimicrob Agents Chemother; 47(12): 3675-3681.
Cruz EV, Kota K, Huque J, Iwaku M, Hoshino E. 2002. Penetration of
propylene glycol into dentine. Inter Endod J; 35(4): 330-336.

125
de Paula Silva FWG, D’Silva NJ, da Silva LAB, Kapila YL. 2009. High
matirix metallopoteinase activity is a hallmark of periapical
granulomas. J Endod; 35(9):1234-1242.
Dereka XE, Markopoulou E, Vrotsos IA. 2006. Role of growth factors
on periodontal repair. Growth Factors, December 24(4): 260-267.
Dezerega A, Madrid S, Mundi V, Valenzuela MA, Garrido M et al.
2012. Pro-oxidant status and matrix metalloproteinases in apical
lesions and gingival crevicular fluid as potential biomarkers for
asymptomatic apical periodontitis and endodontic treatment
response. J Inflam; 9:8-14.
Eming SA, Krieg T, Davidson JM. 2007. Inflammation in wound repair:
molecular and cellular mechanisms. J Invest Dermatol; 127; 514-
527.
Endo MS, Ferraz CCR, Zaia AA, Almeida JFA, Gomes BPFA, 2013.
Quantitative and qualitative analysis of microorganisms in root-
filled teeth with persistent infection: Monitoring of the endodontic
retreatment. Europ J Dent, Vol 7 (3):302-309.
Fabricius L, Dahlen G, Sundqvist G, Happonen RP, Moller A.J.R,
2006. Influence of residual bacteria on periapical tissue healing
after chemomechanical treatment and root filling of experimentally
infected monkey teeth. Eur J Oral Sci 114:278-285.
Figdor D & Gulabivala K. 2011. Survival against the odds: microbiology
of root canals associated with post-treatment disease. Endod
Topics; 18(1): 62-77.
Figdor D & Sundqvist G. 2007. A big role for the very small –
understanding the endodontic microbial flora. Aust Dent J; 52(1):
S38-S42.
Fouad AF & Acosta AW. 2001. Periapical lesion progression and
cytokine expression in an LPS hyporesponsive model. Inter Endod
J; 34:506-13.
Friedman S, 2002. Prognosis of initial endodontic therapy. Endodontic
Topics; 2:59-88.
Garlet GP, Horwat R, Ray Jr HI, Garlet TP, Silveira EM, et al, 2012.
Expression analysis of wound healing genes in human
granulomas of progressive and stable nature. J Endod,38: 185-
190.

126
Garrido-Mesa N, Zarzuelo A, Galvez J, 2003. What is behind the non-
antibiotic properties of minocycline? Pharmacol Res 67: 18-30.
Good ML & Hussey DL, 2003. Minocycline stain devil. Br J Dermatol
149:237-9.
Griffin MO, Ceballos G, Villareal F. 2011. Tetracyclines compounds
with non-antimicrobial organ protective properties: possible
mechanism. Pharmacol Res;63(2):102-107.
Grzesik WJ & Narayanan AS, 2002. Cementum and periodontal wound
healing and regeneration. Crit Rev Oral Biol Med 13 (6):474-484.
Haapasalo M & Wei Qian, 2008. Irrigants and intracanal medicaments.
In: Ingle’s Endodontics 6. 6th Ed, Ingle JI, Bakland LK &
Baumgartner JC. BC Decker Inc, Hamilton. P.1009.
Handal T, Caugant DA, Olsen I, Sunde PT, 2009. Bacterial diversity in
persistent periapical lesions on root-filled teeth. J Oral Microbiol
DOI: 103402 /jom. v110. 1946.
Hegazy L.M.A.G. & El Hana SA, 2006. Circulating MMP-9 and TIMP-1
in acute exacerbations and after remisson induced by oral
corticosteroids in ashmatic children. Egypt J Pediatr Allergy
Immmunol 4(1):23-29.
Hoelscher AA, Bahcall JK, Maki JS,2006. In vitro evaluation of teh
antimicrobial effects of a root canal sealer-antibiotic combination
against Enterococcus faecalis. J Endod 31:145-7.
Hong CY, Lin SK, Kok HS, Cheng SJ et al, 2004. The role of
lipopolysaccharide in infectious bone resorption of periapical
lesion. J Oral Pathol Med 33 :162-9.
Hoshino E, Kurihara-Ando N, Sato I, Uematsu H, Sato M, Kota K,
Iwaku M. 1996. In-vitro antibacterial susceptibility of bacteria taken
from infected root dentine to a mixture of ciprofloxacin,
metronidazole and minocycline. Inter Endod J; 29(2): 125-130.
Hou L, Sasakj H, Stashenko P. 2000. B-cell deficiency predisposes
mice to disseminating anaerobic infections: protection by passive
antibody transfer. Infect Immun;68:5645-5651.
Howard C, Murray P.E, Namerow K.N 2010. Dental pulp stem cell
migration. J Endod; 36 (12): 1963-1966.
Humpreys, 2002. Staphylococcus in medical microbiology. 16 th Ed,
Churchill Livingstone, Edinburgh, London. P.168.

127
Huumonen S & Ørstavik D, 2002. Radiological aspects of apical
periodontitis. Endod Topics 1: 3-25.
Huynh Tri, Kapur R.V., Kaplan C.W., Cacalano N, Haake S.K. et al,
2011. The role of aggregation in Fusobacterium nucleatum
induced immune cell death. J Endod, 37: 1531-1535.
Johnson WT & Noblett WC, 2002. Cleaning and Shaping. In:
Endodontics Principles and practice. 4 thEd. Saunders Elsevier.
Torabinejad M & Walton RE. p.279.
Kaneko T, Okiji T, Kan L, Takagi M, Suda H. 2001. Ultrastructural
analysis of MHC class II mollecule-expressing cells in
experimentally induced periapical lesions in the rat. J Endod; 27:
337-342.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Kesehatan
Gigi dan Mulut di Indonesia 2010.
Khodursky AB & Cozzarelli NR, 1998. The mechanism of inhbition of
topoisomerase IV by quinolone antibacterials. J Biol Chem
Vol.273: 42: 27668-27677.
Kim JH, Kim Y, Shin SJ, Park JW, Jung IY. 2010. Tooth discoloration
of immature permanent incisor associated with triple antibiotic
therapy: A case report. J Endod;36 :1086-1091.
Kim YH, Kwon HJ, Kim DS. 2012. Matrix metalloproteinase 9 (MMP-9)
–dependent processing of Betaig-h3 regulates cell migration,
invasion, and adhesion. Available at
http://www.jcb.org/cgi/doi/10.1074/jbc.M112.357863 Accessed on
30th October 2012.
Kusgoz A, Ozcan E, Arslan I, Inci M, 2013. Antibacterial activity of
calcium hydroxide combined with triple antibiotic paste against
Enterococcus faecalis; an in vitro study. Cumhuriyet Dent J 16(1):
25-30.
Lazarski MP, Walker III WA, Flores CM, Schindler WG, Hargreaves
KM. 2001. Epidemiological evaluation of the outcomes of
nonsurgical root canal treatment in a large cohort of insured dental
patients. J Endod; 27(12): 791-796.
Lin L & Huang GT. 2011. Pathobiology of the periapex. In: Cohen’s
Pathways of the Pulp. 10 th edition. Mosby Elsevier, USA. p. 529-
555.

128
Lipatas S, Nakou M, Rontagainni D. 2003. Inflammatory infiltrate of
chronic periradicular lesions: an immunohistochemical study. Inter
Endod J; 36: 464-470.
Lukic A, Vasilijic S, Majstorovic I et al. 2006. Characterization of
antigen-presenting cells in human apical periodontitis lesions by
flow cytometry and immunocytochemistry. Inter Endod J; 39: 262-
266.
Madianos PN, Bobetsis YA & Kinane DF, 2005. Generation of
inflammatory stimuli: how bacteria set up inflammatory responses
in the gingiva. J Clin Periodontol 32 (Suppl 6): 57-71.
Manuel ST, Abhishek P, Kundabala M, Mannu V. 2010. Non-surgical
endodontic theraphy using tripe-antibiotic paste. Kerala Dent J; 33:
88-90.
Martinho FC & Gomes BP. 2008. Quantification of endotoxins and
cultivable bacteria in root canal infection before and after
chemomechanical preparation with 2.5% sodium hypochlorite. J
Endod; 34(3): 268-272.
Martinho FC, Chiesa WMM, Leite FRM, Cirelli JA & Gomes PFA. 2010.
Antigenic activity of bacterial endodontic contents from primary
root canal infection with periapical lesions against macrophage in
the release of interleukin-1β and tumor necrosis factor-α. J Endod
36:1467-1474.
Marton IJ & Kiss C. 2000. Protective and destructive immune reactions
in apical periodontitis. Oral Microbol Immunol; 15: 139-150.
Matsuda N, Kumar N,M, Ramakrishnan PR, Lin WL, Genco RJ, Cho
MI, 1993. Evidence for up-regulation of epidermal growth factor
receptors on rat periodontal ligament fibroblast cells associated
with stabilization of phenotype in vitro. Archs Oral Biol 38 : 559-
569.
Matsuo T, Shirakami T, Ozaki K, Nakanishi T, Yumoto H, Ebisu S.
2003. An immunohistological study of the localization of bacteria
invading root pulpal walls of teeth with periapical lesions. J Endod,
29:194-200.
Mc Carty SM & Percival SL, 2013. Proteases and delayed wound
healing. Wound care. Vol 2; (8): 438-447.

129
Metzger Z dan Abramovitz I. 2008. Periapical lesions of endodontic
origin. In: Ingle’s Endodontic. 6th edition. BC Decker Inc, USA. p.
494-519
Moghaddam MM, Khodi S, Mirhosseini A, 2014. Quorum sensing in
bacteria and a glance on Pseodomonas aeruginosa. Clin
Microbiol: Open Access 3:4
Mohammadi Z & Abbott PV, 2009. On the local applications of
antibiotics and antibiotic-based agents in endodontics and dental
traumatology. Inter Endod J 42: 555-567.
Nagase H, Visse R, & Murphy G. 2006. Structure and function of
matrix metalloproteinases and TIMPs. Card Vas Res; 69 (3): 562-
573.
Nair PNR. 2004. Pathogenesis of apical periodontitis and the causes of
endodontic failures. Crit Rev Oral Biol Med; 15(6): 348-381.
Nair PNR. 2006. On the causes of persistent apical periodontitis: a
review. Inter Endodod J; 39(4): 249-281.
Nakornchai S, Banditsing P, Visetratana N. 2010. Clinical evaluation of
3Mix and Vitapex® as treatment options for pulpally involved
primary molars. Inter J Paediatric Dent; 20(3): 214-221.
Nelson ML dan Levy SB. 2011. The history of the tetracyclines. Annals
N Y Acad Sci; 1241(1): 17-32
Oelmann E, Herbst H, Zuhlsdorf M, Albrecht O, Nolte A, Schmitmann
C, et al, 2002. Tissue inhibitor of metalloproteinase 1 is an
autocrine and paracrine survival factor, with additional immune-
regulatory functions, expressed by Hodgin/Reed-steenberg cells.
Blood 99:258-267.
Opdenakker G, Van den Steen PE, Dubois B, Nelissen I, Van Collie et
al. 2001. Gelatinase B functions as regulator and effector in
leukocyte biology. J Leuc Biol; 69: 851-859.

Ordinola-Zapata R, Bramante CM, Minotti PG, Cavenago BC, Garcia


RB et al, 2013. Antimicrobial activity of triantibiotic paste, 2%
chlorhexidine gel, and calcium hydroxide on an intraoral-infected
dentin biofilm model. J Endod 39: 115-118.
Parasuraman VR & Muljibhai BS. 2012. 3Mix-MP in Endodontics – An
overview. IOSR JDMS; 3(1): 36-45.

130
Parker MH, Kuru L, Fgiouzeli M, Olsen I. 2001. Expression of growth
factor receptors in normal and regenerative human periodontal
cells. Arch Oral Biol; 46: 679-688.
Paula-Silva PWG, da Silva LAB, & Kapila YL. 2010. Matrix
metalloproteinase expression in teeth with apical periodontitis is
differentially modulated by the modality of root canal treatment. J
Endod;36:231-237.
Penesis VA, Fitzgerald PI, Fayad MI, Wenckus CS, BeGole EA,
Johnson BR, 2008. Outcome of one-visit and two-visit endodontic
treatment of necrotic teeth with apical periodontitis: A randomized
controlled trial with one-year evaluation.J Endod 34:251-7.
Pyrc K, Millewska A, Kantyka T, Sroka A, Maresz K et al, 2013.
Inactivation of epidermal growth factor by Porhyromonas gingivalis
as a potential mechanism for periodontal tissue damage. Infec
and Immun; Vol 81 No.1:55-64.
Reynolds K, Johnson J, Cohenca N, 2009. Pulp revascularization of
necrotic bilateral bicuspids using a modified novel technique to
eliminate potential coronal discolouration: a case report. Int Endod
J 42:84-92.
Roqas IN & Siguera JF Jr. 2008. Root canal microbiota of teeth with
chronic apical periodontitis. J Clin Microbiol; 46(11): 3599-3606.
Roqas IN & Siqueira JF Jr. 2011. Comparison of the in vivo
antimicrobial effectiveness of sodium hypochlorite and
chlorhexidine used as root canal irrigants: a molecular
microbiology study. J Endod; 37(2): 143-150.
Sakamoto M, Siqueira JF, Roqas IN, Benno Y, 2007. Bacterial
reduction and persistence after endodontic disinfection
procedures. Oral Microbiol Immunol 22(1): 19-23.
Sapadin AN & Fleischmajer R. 2006. Tetracyclines: nonantibiotic
properties and their clinical implications. J Am Acad of Dermatol;
54(2):258–265.
Sathorn C, Parashos P, Messer H. 2007. Antibacterial efficacy of
calcium hydroxide intracanal dressing: a systematic review and
meta-analysis. Int Endod J 40:2-10.
Sato I, Ando-Kurihara N, Kota K, Iwaku M, Hoshino E, 1996.
Sterilization of infected root-canal dentine by topical application of

131
a mixture of ciprofloxacin, metronidazole and minocycline in situ.
Inter Endod J 29:118-24.
Sawhny A, Arunagiri D, Pushpa S, Khursheed I, Singh A. 2013. Non
surgical endodontic management of immature root with a large
periapical lesion using tri-antibiotic paste and MTA: a case series.
Available at jrdindia.org/ver2/app/upload/Case%20Report19.pdf
Accessed on 30 October 2012.
Schlutz GS & Mast BA. 1999. Molecular analysis and the environments
of healing and chronic wounds: cytokines, proteases and growth
factors. Wounds;10 (suppl.F):1F-9F: correlation with inhibition of
cytokine secretion. Infec Immun 64:825-8.
Schultz GS, Ladwig G & Wysocki A, 2005. Extracellular matrix: review
of its roles in acute and chronic wounds. Available at
www.worldwidewounds.com/2005/august/Schultz/Extrace-Matrix
Accessed on 19 July 2012.
Siqueira JF & Roqas, IN, 2002. Microbiology and treatment of
endodontic infections. In: Cohen’s Pathways of the Pulp. 10 th
edition. Mosby Elsevier, USA. p. 567.
Siqueira JF Jr & Roqas, IN. 2008. Clinical implications and
microbiology of bacterial persistence after treatment procedures. J
Endod 34:1291-1301.
Siqueira JF Jr & Roqas, IN. 2009. Community as the unit of
pathogenicity: an emerging concept as to the microbial
pathogenesis of apical periodontitis. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod; 107(6): 870-878.
Siqueira JF Jr, Alves FR, Roqas IN. 2011. Pyrosequencing analysis of
the apical root canal microbiota. J Endod; 37(11): 1499-1503.
Siqueira JF Jr, Magalhaes KM, & Roqas IN, 2007. Bacterial reduction
in infected root canals treated with 2.5% NaOCl as an irrigant and
calcium hydroxide/camphorated para-monocholorophenol paste
as an intracanal dressing. J Endod 33:667-672.
Siqueira JF, Jung IY, Rôças, IN, Lee CY, 2005. Differences in
prevalence of selected bacterial species in primary endodontic
infections from two distinct geographic locations. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod; 99 (5):641-7.
Soell M, Elkaim R, Tenenbaum H, 2002. Cathepsin C, matrix
metalloproteinases, and their tissue-inhibitors in gingiva and

132
gingival crevicular fluid from periodontitis- affected patients. J Dent
Res 81: 174-178.
Stamenkovic I, 2003. Extracellular matrix remodelling : the role of
matrix metalloproteinases. J Pathol 200:448-464.
Sternlicht MD & Werb Z. 2001. How matrix metalloproteinases regulate
cell behavior. Annu Rev Cell Dev Biol; 17: 463-516.
Takushige T, Cruz EV, M Asgor M, Hoshino E. 2004. Endodontic
treatment of primary teeth using a combination of antibacterial
drugs. Inter Endod J; 37: 132-138.
Takushige T, Cruz EV, Moral MAA, Hoshino, E. 2008. Non-surgical
treatment of pulpitis, including those with history of spontaneous
pain, using a combination of antibacterial drugs. Journal of LSTR
Therapy (International WEB version); 7: 1-5.
Taneja S, Kumari M, Parkash H, 2010. Nonsurgical healing of large
periradicular lesions using a triple antibiotic paste: A case series.
Contem Clin Dent; 1(1): 31-35.
Thibodeau B & Trope M, 2007. Pulp revascularization of a necrotic
infected immature permanent tooth : case report and review of the
literature. Pediatr Dent 29:47-50.
Thomas MS. 2014. Crown discoloration due to the use of triple
antibiotic paste as an endodontic intra-canal medicament. Saudi
Endod J; 4(1): 32-35.
Tjäderhane L, Hannas AR, Pereira JC, Granjeiro JM. 2007. The role of
matrix metalloproteinases in the oral environment. Acta
Odontologica; 65(1): 1-13.
Valenzuela PP, Melej C, Zaldivar M, Puente J, Martinez B, Gamonal J,
2005. Longitudinal analysis of metalloproteinases, tissues
inhibitors of metalloproteinases and clinical parameters in gingival
crevicular fluid from periodontitis-affected patients. J Periodont
Res 40: 199-207.
van den Steen PE,Dubois B, Nelissen I, Rudd PM, Dwek RA,
Opdenakker G. 2002. Biochemistry and molecular biology of
gelatinase B or matrix metalloproteinase-9 (MMP-9). Crit Rev
Biochem Mol Biol; 37 (6): 356-375.
Verstappen J & Von den Hoff JW, 2006. Tissue inhibitors of
metalloproteinases (TIMPs): their biological functions and
involvement in oral disease.J Dent Res 85 (12): 1074-1084.

133
Windley W, Teixeira F, Levin I, Sigurdsson A, Trope M, 2005.
Disinfection of immature teeth with a triple antibiotic paste. J
Endod 31;439-443.
Winter S, Kohl A, Hoppertz A, et al. 2005. Expression of mRNA
encoding for growth factors, ECM molecules and MMP-13
molecules in mono-cultures and co-cultures of human periodontal
ligament fibroblast and alveolar bone cells. Cell Tissue Res; 319:
467-478.
Wirawan S, Rulianto M, & Soetojo A, 2011. Dosis efektif 3mix-MP
terhadap daya antibakteri pada bakteri aerob, anaerob dengan
derajat toksisitas (penelitian eksperimental laboratoris). Tesis
PPDGS Konservasi Fakultas Kedokteran Gigi. Surabaya.
Universitas Airlangga.
Würtz SØ, Schrohl AS, Sørensen NM, Lademann U, Christensen IJ,
Mouridsen H et al. 2005. Tissue inhibitor of metalloproteinases-1 in
breast cancer. Endoc Relat Cancer 12: 215-227.
Xu X, Jackson PL, Tanner S, Hardison MT, Roda MA et al. 2011. A
self propagating matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) dependent
cycle of chronic neutrophilic inflammation. Plos ONE; 6(1);
e15781.
Yu Liu, Min D, Bolton T, Nube V, Twigg SM et al, 2009. Increased
matrix metalloproteinase-9 predicts poor wound healing in diabetic
foot ulcers. Diabetes care, 32(1): 117-119.

134
LAMPIRAN

135
LAMPIRAN 1

Data Jenis dan Jumlah Bakteri

CFU
No
Pasien Perlakuan
Sebelum Sesudah
3 x 103 1 x 103
1
Propionibacterium (obligat +) Propionibacterium (obligat +)
3 x 103 3 x 103
2 Pseudomonas (fakultatif +) Staphylococcus (fakultatif +)
Fusobacterium (obligat -)
5 x 103 7 x 103
3
Actinomyces (obligat +) Actinomyces (obligat +)
6 x 103 3 x 103
4
Fusobacterium (obligat -) Fusobacterium (obligat -)
1 x 103 0
5
Staphylococcus (fakultatif +)
5 x 103 1 x 103
6
Propionibacterium (obligat +) Fusobacterium (obligat -)
3 x 103
7 0
Fusobacterium (obligat -)
10 x 103 1 x 103
8
Fusobacterium (obligat -) Fusobacterium (obligat -)
21 x 103
0
9 Fusobacterium (obligat -)
Pseudomonas (fakultatif +)
0 0
10
11 x 103 7 x 103
11 Pseudomonas (fakultatif +) Porphyromonas (obligat -)
Staphylococcus (fakultatif +) Staphylococcus (fakultatif +)
0
12 0

136
CFU
No
Pasien Kontrol
Sebelum Sesudah
6 x 103 4 x 103
1 Fusobacterium (obligat -) Staphylococcus (fakultatif +)
Fusobacterium (obligat -)
1 x 103 1 x 103
2 Fusobacterium (obligat -) Fusobacterium (obligat -)
Pseudomonas (fakultatif +)
40 x 103 6 x 103
3
Fusobacterium (obligat -) Fusobacterium (obligat -)
24 x 103
5 x 103
4 Propionibacterium (obligat +)
Actinomyces (obligat +)
2 x 103 11 x 103
5
Porphyromonas (obligat -) Porphyromonas (obligat -)
5 x 103 4 x 103
6 Fusobacterium (obligat -) Fusobacterium (obligat -)
Staphylococcus (fakultatif +)
2 x 103 1 x 103
7
Porphyromonas (obligat -) Porphyromonas (obligat -)
1x 103 2 x 103
8 Peptostreptococcus (obligat +) Peptostreptococcus (obligat +)
Fusobacterium (obligat -) Actinomyces (obligat +)
18 x 103
9 Staphylococcus (fakultatif +) 0

1 x 103
10 0
Fusobacterium (obligat
7 x 103
11 0
Propionibacterium (obligat +)
9 x 103
0
12 Peptostreptococcus (obligat +)

137
LAMPIRAN 2

Data Kadar MMP-9, TIMP-1, dan EGF pada Masing-masing Kelompok


Sebelum dan Sesudah Perlakuan

MMP-9
Pasta Triantibiotik (pg/mL) Kontrol positif (pg/mL)
Sampel Sampel
Pre Post Pre Post
1 2757,72 1795,12 1 897,56 394,7
2 86,9 20081,12 2 8.444,03 1.815,09
3 1124,18 715,67 3 585,03 1.714,99
4 216,88 5390,76 4 299,19 927,48
5 1775,12 4690,41 5 282,48 405.37
6 4437,81 618,32 6 877,55 531,35
7 551,54 591,71 7 1.694,90 4.437,81
8 1775,12 4637,39 8 468,71 1.755,10
9 1467,17 633,47 9 558,26 423,72
10 611,68 438,78 10 448,78 564,97
11 423,72 1752,5 11 423,72 937,43
12 598,37 483,6 12 738,26 775,32

TIMP-1
Pasta Triantibiotik (pg/mL) Kontrol positif (pg/mL)
Sampel Sampel
Pre Post Pre Post
1 677,4 406,44 1 201,02 132,9
2 37,11 436,67 2 996,77 396,46
3 208,58 277,99 3 135,12 403,15
4 50,81 232,83 4 66,45 210,68
5 398,71 270,32 5 67,56 90,12
6 988,32 135,12 6 201,58 150,8
7 136,2 134,02 7 404,25 1002,34
8 201,58 150,8 8 101,61 398,71
9 326,35 202,67 9 132,9 100,23
10 132,9 101,61 10 100,79 136,57
11 101,61 208,05 11 102,15 202,67
12 135,84 101,61 12 204,26 324,62

138
EGF
Pasta Triantibiotik (pg/mL) Kontrol positif (pg/mL)
Sampel Sampel
Pre Post Pre Post
1 43,84 27,82 1 14,41 9,61
2 1,77 27,82 2 73,33 29,84
3 14,16 13,91 3 8,94 28,83
4 3,54 4,8 4 5,06 15,42
5 28,32 14,16 5 5,31 7.23
6 75,85 9,27 6 14,41 9,78
7 10,62 10,11 7 30,85 80,89
8 29,33 75,85 8 8,22 31,85
9 15,42 16,18 9 9,78 8,59
10 10,45 8,72 10 8,72 10,45
11 8,59 15,42 11 9,6 16,93

139
LAMPIRAN 3

Hasil Pemeriksaan kadar MMP-9, TIMP-1, dan EGF dengan metode


ELISA

MMP-9
X Y
Kode OD ng/mL Koreksi
Std 1 1,926 15 15  
Std 2 1,315 7,5 7,5  
Std 3 0,824 3,75 3,78  
Std 4 0,407 1,875 1,818  
Std 5 0,202 0,9375 0,9483  
Std 6 0,101 0,46875 0,47368  
Std 7 0,070 0,234375 0,316736  
Blank 0 0 0  

S = 0.07119833
Kurva Standar r =0.99995982
Y Axis (units)

ng/mL

0.0 0.4 0.7 1.1 1.4 1.8 2.1

X AxisOD
(units)

X Y
Volume ul
Volume uL
Sampel
Kode Sampel OD ng/mL Sampel + ng/ml
paperpoint
PBS
yang basah
1a 0,129 0,61 0,30 200 406,94
1d 0,089 0,41 0,03 200 2.757,72
1e 0,096 0,45 0,05 200 1.795,12

140
2a 0,105 0,49 0,30 200 328,99
2d 0,096 0,45 0,10 200 897,56
2e 0,066 0,30 0,15 200 394,70
3a 0,092 0,43 0,30 200 285,83
3d 0,076 0,35 0,80 200 86,90
3e 1,019 5,02 0,05 200 20.081,12
3e' 0,095 0,44 0,05 200 1.775,12
4a 0,121 0,57 0,20 200 571,80
4d 0,179 0,84 0,02 200 8.444,03
4e 0,097 0,45 0,05 200 1.815,09
5a 0,096 0,45 0,30 200 299,19
5d 0,119 0,56 0,10 200 1.124,18
5e 0,078 0,36 0,10 200 715,67
6a 0,541 2,38 0,30 200 1.589,57
6d 0,094 0,44 0,15 200 585,03
6e 0,092 0,43 0,05 200 1.714,99
7a 0,268 1,24 0,30 200 824,32
7d 0,093 0,43 0,40 200 216,88
7e 1,375 8,09 0,30 200 5.390,76
8a 1,089 5,54 0,10 200 11.072,89
8d 0,096 0,45 0,30 200 299,19
8e 0,099 0,46 0,10 200 927,48
8e' 2,368 21,86 0,15 200 29.142,68
9a 0,186 0,88 0,05 200 3.505,00
9d 0,095 0,44 0,05 200 1.775,12
9e 0,532 2,35 0,10 200 4.690,41
10a 0,086 0,40 0,30 200 265,67
10d 0,091 0,42 0,30 200 282,48
10e 0,086 0,40 0,20 200 405,37
11a 0,094 0,44 0,10 200 877,55
11d 0,095 0,44 0,02 200 4.437,81
11e 0,099 0,46 0,15 200 618,32
12a 1,211 6,54 0,10 200 13.070,40
12d 0,094 0,44 0,10 200 877,55
12e 0,086 0,40 0,15 200 531,35
13a 0,090 0,42 0,30 200 279,13
13d 0,089 0,41 0,15 200 551,54
13e 0,095 0,44 0,15 200 591,71
14a 0,079 0,36 0,05 200 1.451,77
14d 0,095 0,44 0,05 200 1.775,12
14e 0,099 0,46 0,02 200 4.637,39
15a 0,228 1,06 0,10 200 2.126,83
15d 0,091 0,42 0,05 200 1.694,90
15e 0,095 0,44 0,02 200 4.437,81
16a 1,024 5,06 0,30 200 3.370,55
16d 0,100 0,47 0,20 200 468,71
16e 0,094 0,44 0,05 200 1.755,10
17a 1,142 5,95 0,30 200 3.969,67

141
17d 0,155 0,73 0,10 200 1.467,17
17e 0,070 0,32 0,10 200 633,47
18a 1,287 7,22 0,15 200 9.631,63
18d 0,090 0,42 0,15 200 558,26
18e 0,091 0,42 0,20 200 423,72
19a 0,080 0,37 0,30 200 245,36
19d 0,098 0,46 0,15 200 611,68
19e 0,094 0,44 0,20 200 438,78
20a 0,094 0,44 0,10 200 877,55
20d 0,096 0,45 0,20 200 448,78
20e 0,091 0,42 0,15 200 564,97
21a 0,083 0,38 0,10 200 766,61
21d 0,091 0,42 0,20 200 423,72
21e 0,100 0,47 0,10 200 937,43
22a 0,079 0,36 0,20 200 362,94
22d 0,156 0,74 0,20 200 738,26
22e 0,123 0,58 0,15 200 775,32
23a 1,262 6,99 0,10 200 13.983,03
23d 0,091 0,42 0,20 200 423,72
23e 0,186 0,88 0,10 200 1.752,50
24a 2,347 21,52 0,30 200 14.348,47
24d 0,096 0,45 0,15 200 598,37
24e 0,103 0,48 0,20 200 483,60
25a 0,316 1,44 0,30 200 959,60
25d 1,169 6,18 0,20 200 6.176,77
25e 0,656 2,91 0,15 200 3.876,76

4th Degree Polynomial Fit: y=a+bx+cx^2+dx^3...


Coefficient Data:
a= -0,063
b= 5,703
c= -4,295
d= 4,341
e= -0,800

Keterangan:
a = sebelum perawatan
d = sebelum perlakuan
e = sesudah perlakuan

142
TIMP-1
X Y
Kode OD pg/mL Koreksi
Std 1 2,421 2500 2490 0,077
Std 2 2,161 1250 1302 0,119
Std 3 1,490 625 511 0,160
Std 4 0,955 312,5 298 0,240
Std 5 0,547 156,25 198 0,404
Std 6 0,318 78,125 149 0,667
Std 7 0,153 39,0625 113 1,129
Blank 0,000 0 13 2,061

S = 75.34124300
Kurva Standar r =0.99729667
Y Axis (units)

pg/mL

0.0 0.4 0.9 1.3 1.8 2.2 2.7

OD(units)
X Axis

X Y
Volume ul
Volume uL
Sampel
Kode Sampel OD pg/mL Sampel + pg/ml
paperpoint
PBS
yang basah
1a 0,377 161,73 0,30 200 107,82
1d 0,107 101,61 0,03 200 677,40
1e 0,107 101,61 0,05 200 406,44
2a 0,112 102,96 0,30 200 68,64
2d 0,103 100,51 0,10 200 201,02
2e 0,100 99,68 0,15 200 132,90
3a 0,167 116,67 0,30 200 77,78
3d 0,313 148,45 0,80 200 37,11
3e 0,136 109,17 0,05 200 436,67

143
3e' 0,100 99,68 0,05 200 398,71
4a 0,103 100,51 0,20 200 100,51
4d 0,100 99,68 0,02 200 996,77
4e 0,098 99,11 0,05 200 396,46
5a 0,108 101,88 0,30 200 67,92
5d 0,117 104,29 0,10 200 208,58
5e 0,268 139,00 0,10 200 277,99
6a 0,362 158,62 0,30 200 105,75
6d 0,106 101,34 0,15 200 135,12
6e 0,104 100,79 0,05 200 403,15
7a 0,288 143,22 0,30 200 95,48
7d 0,107 101,61 0,40 200 50,81
7e 1,117 349,24 0,30 200 232,83
8a 0,447 176,27 0,10 200 352,55
8d 0,100 99,68 0,30 200 66,45
8e 0,121 105,34 0,10 200 210,68
8e' 0,596 208,23 0,15 200 277,64
9a 0,125 106,38 0,05 200 425,50
9d 0,100 99,68 0,05 200 398,71
9e 0,250 135,16 0,10 200 270,32
10a 0,099 99,40 0,30 200 66,26
10d 0,106 101,34 0,30 200 67,56
10e 0,102 100,23 0,20 200 100,23
11a 0,104 100,79 0,10 200 201,58
11d 0,097 98,83 0,02 200 988,32
11e 0,106 101,34 0,15 200 135,12
12a 1,069 333,26 0,10 200 666,52
12d 0,104 100,79 0,10 200 201,58
12e 0,152 113,10 0,15 200 150,80
13a 0,113 103,23 0,30 200 68,82
13d 0,109 102,15 0,15 200 136,20
13e 0,103 100,51 0,15 200 134,02
14a 0,091 97,11 0,05 200 388,44
14d 0,105 101,06 0,05 200 404,25
14e 0,105 101,06 0,02 200 1.010,63
15a 1,221 386,96 0,10 200 773,93
15d 0,105 101,06 0,05 200 404,25
15e 0,102 100,23 0,02 200 1.002,34
16a 0,209 126,23 0,30 200 84,16
16d 0,107 101,61 0,20 200 101,61
16e 0,100 99,68 0,05 200 398,71
17a 0,279 141,32 0,30 200 94,22
17d 0,384 163,18 0,10 200 326,35
17e 0,106 101,34 0,10 200 202,67
18a 0,559 200,11 0,15 200 266,81
18d 0,100 99,68 0,15 200 132,90
18e 0,102 100,23 0,20 200 100,23
19a 0,105 101,06 0,30 200 67,38

144
19d 0,100 99,68 0,15 200 132,90
19e 0,107 101,61 0,20 200 101,61
20a 0,108 101,88 0,10 200 203,76
20d 0,104 100,79 0,20 200 100,79
20e 0,110 102,42 0,15 200 136,57
21a 0,077 92,90 0,10 200 185,79
21d 0,109 102,15 0,20 200 102,15
21e 0,106 101,34 0,10 200 202,67
22a 0,098 99,11 0,20 200 99,11
22d 0,578 204,26 0,20 200 204,26
22e 0,748 243,47 0,15 200 324,62
23a 0,726 238,15 0,10 200 476,30
23d 0,107 101,61 0,20 200 101,61
23e 0,116 104,03 0,10 200 208,05
24a 1,406 467,36 0,30 200 311,58
24d 0,108 101,88 0,15 200 135,84
24e 0,107 101,61 0,20 200 101,61
25a 0,310 147,82 0,30 200 98,55
25d 0,585 205,80 0,20 200 205,80
25e 0,187 121,29 0,15 200 161,72

Harris Model: y=1/(a+bx^c)


Coefficient Data:
a= 0,075
b= -0,072
c= 0,043

Keterangan:
a = sebelum perawatan
d = sebelum perlakuan
e = sesudah perlakuan

145
EGF
X Y
Kode OD pg/mL Koreksi
Std 1 2,063 250 250  
Std 2 1,082 125 125  
Std 3 0,527 62,5 62,8  
Std 4 0,248 31,25 30,30  
Std 5 0,136 15,625 16,688  
Std 6 0,064 7,8125 7,7113  
Std 7 0,032 3,90625 3,65880  
Blank 0 0 0  

S = 0.85243658
Kurva Standar r =0.99997737
Y Axis (units)

pg/mL

0.0 0.4 0.8 1.1 1.5 1.9 2.3

OD
X Axis (units)

X Y
Volume ul
Volume uL
Sampel
Kode Sampel OD pg/mL Sampel + pg/ml
paperpoint
PBS
yang basah
1a 0,061 7,33 0,30 200 4,89
1d 0,055 6,58 0,03 200 43,84
1e 0,058 6,95 0,05 200 27,82
2a 0,061 7,33 0,30 200 4,89
2d 0,060 7,21 0,10 200 14,41
2e 0,060 7,21 0,15 200 9,61
3a 0,061 7,33 0,30 200 4,89
3d 0,059 7,08 0,80 200 1,77
3e 0,058 6,95 0,05 200 27,82

146
3e' 0,055 6,58 0,05 200 26,30
4a 0,058 6,95 0,20 200 6,95
4d 0,061 7,33 0,02 200 73,33
4e 0,062 7,46 0,05 200 29,84
5a 0,060 7,21 0,30 200 4,80
5d 0,059 7,08 0,10 200 14,16
5e 0,058 6,95 0,10 200 13,91
6a 0,066 7,96 0,30 200 5,31
6d 0,056 6,70 0,15 200 8,94
6e 0,060 7,21 0,05 200 28,83
7a 0,060 7,21 0,30 200 4,80
7d 0,059 7,08 0,40 200 3,54
7e 0,060 7,21 0,30 200 4,80
8a 0,061 7,33 0,10 200 14,67
8d 0,063 7,59 0,30 200 5,06
8e 0,064 7,71 0,10 200 15,42
8e' 0,056 6,70 0,15 200 8,94
9a 0,056 6,70 0,05 200 26,81
9d 0,059 7,08 0,05 200 28,32
9e 0,059 7,08 0,10 200 14,16
10a 0,058 6,95 0,30 200 4,64
10d 0,066 7,96 0,30 200 5,31
10e 0,060 7,21 0,20 200 7,21
11a 0,064 7,71 0,10 200 15,42
11d 0,063 7,59 0,02 200 75,85
11e 0,058 6,95 0,15 200 9,27
12a 0,066 7,96 0,10 200 15,93
12d 0,060 7,21 0,10 200 14,41
12e 0,061 7,33 0,15 200 9,78
13a 0,069 8,34 0,30 200 5,56
13d 0,066 7,96 0,15 200 10,62
13e 0,063 7,59 0,15 200 10,11
14a 0,064 7,71 0,05 200 30,85
14d 0,061 7,33 0,05 200 29,33
14e 0,063 7,59 0,02 200 75,85
15a 0,065 7,84 0,10 200 15,67
15d 0,064 7,71 0,05 200 30,85
15e 0,067 8,09 0,02 200 80,89
16a 0,063 7,59 0,30 200 5,06
16d 0,068 8,22 0,20 200 8,22
16e 0,066 7,96 0,05 200 31,85
17a 0,063 7,59 0,30 200 5,06
17d 0,064 7,71 0,10 200 15,42
17e 0,067 8,09 0,10 200 16,18
18a 0,060 7,21 0,15 200 9,61
18d 0,061 7,33 0,15 200 9,78
18e 0,071 8,59 0,20 200 8,59
19a 0,072 8,72 0,30 200 5,81

147
19d 0,065 7,84 0,15 200 10,45
19e 0,072 8,72 0,20 200 8,72
20a 0,064 7,71 0,10 200 15,42
20d 0,072 8,72 0,20 200 8,72
20e 0,065 7,84 0,15 200 10,45
21a 0,064 7,71 0,10 200 15,42
21d 0,079 9,60 0,20 200 9,60
21e 0,070 8,47 0,10 200 16,93
22a 0,067 8,09 0,20 200 8,09
22d 0,066 7,96 0,20 200 7,96
22e 0,071 8,59 0,15 200 11,46
23a 0,069 8,34 0,10 200 16,68
23d 0,071 8,59 0,20 200 8,59
23e 0,064 7,71 0,10 200 15,42
24a 0,073 8,84 0,30 200 5,90
24d 0,068 8,22 0,15 200 10,95
24e 0,069 8,34 0,20 200 8,34
25a 0,071 8,59 0,30 200 5,73
25d 0,066 7,96 0,20 200 7,96
25e 0,071 8,59 0,15 200 11,46
 
3rd degree Polynomial Fit: y=a+bx+cx^2+dx^3...
Coefficient Data:
a= -0,435
b= 128,578
c= -20,818
d= 8,404

Keterangan:
a = sebelum perawatan
d = sebelum perlakuan
e = sesudah perlakuan

148
LAMPIRAN 4

Uji Statistik

Npar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

CFU sesudah - CFU Negative Ranks 8a 5.19 41.50


sebelum
Positive Ranks 1b 3.50 3.50

Ties 3c

Total 12

a. CFU sesudah < CFU sebelum

b. CFU sesudah > CFU sebelum

c. CFU sesudah = CFU sebelum

Test Statisticsb

CFU sesudah -
CFU sebelum

Z -2.263a

Asymp. Sig. (2-tailed) .024

a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

149
NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

CFU sesudah - CFU Negative Ranks 6a 5.83 35.00


sebelum
Positive Ranks 4b 5.00 20.00

Ties 2c

Total 12

a. CFU sesudah < CFU sebelum

b. CFU sesudah > CFU sebelum

c. CFU sesudah = CFU sebelum

Test Statisticsb

CFU sesudah -
CFU sebelum

Z -.770a

Asymp. Sig. (2-tailed) .441

a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Crosstabs

150
Sebelum * Sesudah * KELOMPOK PERLAKUAN Crosstabulation

Sesudah

KELOMPOK PERLAKUAN NEGATIF POSITIF Total

TRIMIX Sebelum NEGATIF Count 2 0 2

% within Sebelum 100.0% .0% 100.0%

POSITIF Count 3 7 10

% within Sebelum 30.0% 70.0% 100.0%

Total Count 5 7 12

% within Sebelum 41.7% 58.3% 100.0%

KONTROL Sebelum NEGATIF Count 0 2 2

% within Sebelum .0% 100.0% 100.0%

POSITIF Count 2 8 10

% within Sebelum 20.0% 80.0% 100.0%

Total Count 2 10 12

% within Sebelum 16.7% 83.3% 100.0%

151
Chi-Square Tests

Exact Sig. (2-


KELOMPOK PERLAKUAN Value sided)

TRIMIX McNemar Test .250a

N of Valid Cases 12

KONTROL McNemar Test 1.000a

N of Valid Cases 12

a. Binomial distribution used.

Crosstabs

152
KELOMPOK PERLAKUAN * PerKuman Crosstabulation

PerKuman

Negatif/Menurun Tetap/Meningkat

KELOMPOK PERLAKUAN TRIMIX Count 10 2

% within KELOMPOK 83.3% 16.7%


PERLAKUAN

KONTROL Count 6 6

% within KELOMPOK 50.0% 50.0%


PERLAKUAN

Total Count 16 8

% within KELOMPOK 66.7% 33.3%


PERLAKUAN

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 3.000a 1 .083

Continuity Correctionb 1.688 1 .194

Likelihood Ratio 3.104 1 .078

Fisher's Exact Test .193 .097

Linear-by-Linear Association 2.875 1 .090

N of Valid Cases 24

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.

b. Computed only for a 2x2 table

153
NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

MMP93 - MMP92 Negative Ranks 4a 6.75 27.00

Positive Ranks 8b 6.38 51.00

Ties 0c

Total 12

TIMP3 - TIMP2 Negative Ranks 4d 5.75 23.00

Positive Ranks 8e 6.88 55.00

Ties 0f

Total 12

EGF3 - EGF2 Negative Ranks 4g 5.75 23.00

Positive Ranks 8h 6.88 55.00

154
Ties 0i

Total 12

a. MMP93 < MMP92

b. MMP93 > MMP92

c. MMP93 = MMP92

d. TIMP3 < TIMP2

e. TIMP3 > TIMP2

f. TIMP3 = TIMP2

g. EGF3 < EGF2

h. EGF3 > EGF2

i. EGF3 = EGF2

Test Statisticsb

MMP93 -
MMP92 TIMP3 - TIMP2 EGF3 - EGF2

Z -.941a -1.255a -1.255a

Asymp. Sig. (2-tailed) .347 .209 .209

a. Based on negative ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

155
NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

PerKuman N Mean Rank Sum of Ranks

MMP93 Negatif/Menurun 16 11.75 188.00

Tetap/Meningkat 8 14.00 112.00

Total 24

TIMP3 Negatif/Menurun 16 10.63 170.00

Tetap/Meningkat 8 16.25 130.00

Total 24

EGF3 Negatif/Menurun 16 11.22 179.50

Tetap/Meningkat 8 15.06 120.50

Total 24

rMMPTIMP3 Negatif/Menurun 16 13.19 211.00

Tetap/Meningkat 8 11.13 89.00

Total 24

156
Test Statisticsb

MMP93 TIMP3 EGF3 rMMPTIMP3

Mann-Whitney U 52.000 34.000 43.500 53.000

Wilcoxon W 188.000 170.000 179.500 89.000

Z -.735 -1.838 -1.256 -.674

Asymp. Sig. (2-tailed) .462 .066 .209 .501

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .490a .070a .214a .528a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: PerKuman

157
PerBakteri N Mean Std. Deviation Sig

Perubahan Negatif/Menurun 16 3149.3731 6184.82332 .044


MMP-9
Tetap/Meningkat 8 -2798.7300 6960.52243

Perubahan Negatif/Menurun 16 63.5828 241.90308 .010


TIMP-1
Tetap/Meningkat 8 -198.7549 147.13604

Perubahan Negatif/Menurun 16 -5.7427 14.12286 .099


EGF
Tetap/Meningkat 8 -18.4504 22.05735

Perubahan Negatif/Menurun 16 8.3871 19.62056 .134


RasioMMP9/
TIMP1 Tetap/Meningkat 8 -.5558 20.93516

Nonparametric Correlations

Correlations

MMP13 TIMP13 EGF13

Spearman's rho MMP13 Correlation Coefficient 1.000 .519** .464*

Sig. (1-tailed) . .005 .011

N 24 24 24

TIMP13 Correlation Coefficient .519** 1.000 .672**

Sig. (1-tailed) .005 . .000

N 24 24 24

158
EGF13 Correlation Coefficient .464* .672** 1.000

Sig. (1-tailed) .011 .000 .

N 24 24 24

rasio13 Correlation Coefficient .853** .177 .133

Sig. (1-tailed) .000 .203 .268

N 24 24 24

pJK13 Correlation Coefficient .337 .225 .275

Sig. (1-tailed) .054 .145 .097

N 24 24 24

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

159
160
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH
MENDAPAT PENJELASAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Setelah mendengar/membaca dan mengerti penjelasan yang diberikan


oleh //// baik mengenai tujuan, manfaat apa yang akan diperoleh pada
penelitian ini, serta resiko yang mungkin terjadi, maka dengan ini saya
menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian ini secara sukarela tanpa
paksaan.

Saya mengerti bahwa pengambilan cairan periapikal dalam saluran akar


perlu dilakukan, karena itu saya percaya hal ini akan dilakukan dengan tata
cara yang benar dan dilakukan oleh petugas yang terlatih.

Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya bersifat sukarela tanpa paksaan,


sehingga saya bisa menolak ikut atau mengundurkan diri dari penelitian ini
tanpa kehilangan hak saya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Juga
saya berhak bertanya atau meminta penjelasan bila masih ada hal yang
belum jelas atau amsih ada hal alin yang ingin saya ketahui tentang penelitian
ini.

Saya juga mengerti bahwa semua biaya yang dikeluarkan sehubungan


dengan penelitian ini, dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan, menjadi beban peneliti. Apabila terjadi perselisihan akan
diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Makassar, 2014

Nama, Tanda tangan,


Tgl/bln/thn

Saksi 1........................... .............................................

Saksi 2............................ .............................................

Identitas peneliti
Nama : drg Maria tanumihardja MDSc

161
No HP : 08124212957
DISETUJUI OLEH KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS

TGL:...................

162

Anda mungkin juga menyukai