Anda di halaman 1dari 2

Tenun Troso Nimbrung, Nimbrung motif Sumba?

Laina Rafianti1

Dua siswi SMK asal Kudus mengharumkan nama Indonesia di Paris dalam salah satu ajang
fashion “La Mode” Sur La Seine à Paris, Desember 2018 lalu. Diakui oleh mereka bahwa bahan
yang digunakan adalah kain tenun Troso Nimbrung dari Jepara. Namun di sisi lain terdapat
komunitas tenun ikat di Sumba yang terganggu karena mereka menggunakan motif asal
Sumba dalam desain tersebut tanpa menyebutkannya.

Setiap warga negara Indonesia harus memajukan budaya Indonesia, hal ini sudah sangat
dipahami oleh siapapun yang akan membawa citra Indonesia di luar negeri khususnya.
Indonesia adalah satu, akan tetapi budaya Indonesia beragam sehingga motif kain tenun pun
dapat dibedakan berdasarkan daerah. Semangat pemajuan kebudayaan adalah semangat
pelaksanaan dari sila ketiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”. Semangatnya adalah
menyatukan Indonesia yang memiliki keragaman motif tenun, bukan memecah belah
Indonesia dengan segala perbedaannya. Sehingga dalam penggunaan motif yang identik
dengan komunitas tertentu, desain yang dibuat sangat sah mengatasnamakan Indonesia tapi
juga harus jujur mengakui daerah asal motif.

Perlu diperhatikan bahwa desain busana berbeda dengan motif. Hak Cipta atas desain
ataupun Hak Desain Industri apabila desain tersebut dibuat secara masal ada pada pendesain.
Akan tetapi untuk asal usul motif, lihat satu per satu motif mana yang menggunakan motif
tertentu daerah di Indonesia. Dalam keterangannya desainer harus mampu menyebutkan
motif mana berasal dari daerah mana, termasuk motif tertentu yang sangat terlihat jelas
merupakan motif Sumba.

Hal ini bukan tanpa alasan, komunitas pemegang motif dilindungi berdasarkan Ekspresi
Budaya Tradisional yang diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta. Pasal 38 ayat (1) menyebutkan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas
Ekspresi Budaya Tradisional. Tenun ikat dan motifnya termasuk dalam kategori seni rupa, baik
dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan
seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau
kombinasinya (Penjelasan Pasal 38 ayat (1)). Selanjutnya di dalam Pasal 38 ayat (2) diatur
bahwa Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya. Dalam hal ini
masyarakat pengemban kain tenun ikat dengan motif Sumba adalah masyarakat Sumba yang
itupun terbagi lagi menjadi Sumba Barat dan Sumba Timur.

Hak yang dimiliki oleh komunitas pengampu dikembalikan kepada mereka. Apa yang
dikehendaki oleh masyarakat pengampu tenun, hak moral (untuk disebutkan daerah asalnya)
atau hak ekonomi (hak untuk memperoleh keuntungan finansial), atau keduanya? Apabila
pengampu menghendaki hak moral, mereka harus mengejar supaya dalam setiap
penggunaan motifnya, selalu disebutkan asal-usul daerahnya. Apabila mereka menghendaki
hak ekonomi, mereka harus menjaga keaslian dengan membuat sertifikat keaslian tenun yang
mereka produksi. Di era ekonomi kreatif ini, dengan banyaknya mesin pembuat tenun yang
prosesnya lebih mudah namun bisa menghasilkan motif yang sama, pengampu tenun ikat asal

1
S.H., M.H. Pusat Studi Regulasi dan Aplikasi Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum Teknologi Informasi
Komunikasi dan Kekayaan Intelektual, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Sumba harus melebarkan sayap dengan bekerja sama dengan penenun daerah lain yang bisa
menghasilkan nilai ekonomi lebih tinggi yang diwujudkan dalam dalam suatu kontrak.

Sebelum hak moral dan hak ekonomi dapat diperoleh oleh para pengampu, terlebih dahulu
mereka harus memiliki bukti bahwa karya tersebut telah menjadi tradisi Sumba. Terdapat dua
cara dalam pencatatan karya tradisi, pertama dalam koridor Warisan Budaya Tak Benda dan
kedua dalam koridor Kekayaan Intelektual Komunal yaitu Ekspresi Budaya Tradisional
sebagaimana dijelaskan di atas.

Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) adalah pencatatan tradisi yang bersumber
dari Konvensi UNESCO tentang Warisan Budaya Tak Benda. Saat ini di Indonesia
pencatatannya dilakukan di tiap-tiap provinsi di bawah koordinasi Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata. Di dalamnya terdapat kategori warisan budaya; kondisi warisan budaya; daerah
persebaran; uraian atau deskripsi singkat yang mencakup sejarah, nilai, makna dan fungsinya
di masyarakat; maestro; serta komunitasnya. Di dalam deskripsi harus dijelaskan bahwa
budaya ini telah hidup di masyarakat sekurang-kurangnya dua generasi (50 tahun). Setelah
ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda, suatu motif dapat menjadi bukti bahwa
daerah tersebut adalah daerah asal suatu motif.

Melalui pencatatan WBTB pelindungan belum selesai, karena baru berupa pencatatan dari
sudut pandang kebudayaan, namun penting untuk suatu langkah awal. Selanjutnya, dapat
dilakukan pencatatan Kekayaan Intelektual Komunal khususnya Ekspresi Budaya Tradisional.
Motif tradisi seperti ini tidak dapat disamakan dengan Hak Cipta pada umumnya, karena ini
adalah bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional. Komunitas pengampu dapat mencatatkannya
di Pusat Data Kekayaan Intelektual Nasional di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
(DJKI). Kepanjangan tangan DJKI di tiap daerah yaitu Kantor Wilayah Hukum dan HAM,
komunitas pengampu dapat melakukan kordinasi dengan kantor ini.

Terdapat cara lain untuk pelindungan motif tenun ikat Sumba yaitu melalui pelindungan
indikasi asal dan indikasi geografis. Adapun dasar hukum pelindungannya yaitu melalui
Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Pelindungan
melalui cara indikasi geografis ini memerlukan penelitian dan perumusan yang spesifik oleh
komunitasnya.

Cara lainnya adalah kerjasama antara komunitas pengampu motif Sumba dengan penenun
Jepara. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak karena nilai-nilai yang terkandung
dalam motif Sumba akan terjaga. Misalnya motif mana yang boleh digunakan atau tidak, arti
motif untuk kegiatan tradisi tertentu, hingga makna penggunaan warna yang dibubuhkan
pada suatu kain. Penenun Jepara pun akan semakin mendapatkan keuntungan dengan
bekerja sama dengan pengampu Sumba, mereka akan aman dari tuduhan mengambil motif
daerah lain, mereka akan paham makna dan fungsi dari motif. Dengan cara ini tujuan
pemajuan kebudayaan Indonesia akan berjalan sebagaimana mestinya.

Mohon dengan sangat, jangan pernah ada pemikiran untuk mendaftarkan Paten atas motif-
motif tenun ikat Sumba karena ini akan ditolak karena “salah kamar”. Paten adalah
pelindungan atas proses atau produk yang berkaitan dengan teknologi. Misalnya paten untuk
mesin pembuat tenun atau paten untuk proses pewarnaan tenun. Jangka waktu pelindungan
untuk paten adalah 20 tahun dan setelah itu menjadi milik umum. Bijaksanalah dalam
bertindak untuk melindungi budaya Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai