Anda di halaman 1dari 30

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................... 2

Daftar Isi ...................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 5

2.1 Definisi….............................................................................. 5

2.2 Epidemilogi........................................................................... 5

2.3 Etiologi….............................................................................. 5

2.4 Patofisiologi.......................................................................... 5

2.5 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 5

2.6 Pemeriksaan Penunjang........................................................ 5

2.7 Tata Laksana ........................................................................ 5

2.8 Komplikasi dan Prognosis.................................................... 5

2.9 Pencegahan........................................................................... 5

BAB 3 KESIMPULAN …................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 18
BAB 1

PENDAHULUAN

Masalah kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi

biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang pernah

mengalaminya. Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks

memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan

yang terjadi. 1

Masa postpartum merupakan situasi penting bagi ibu, pasangan, dan

keluarga akibat terjadinya berbagai perubahan yang terjadi baik secara fisik,

psikologis, maupun struktur keluarga yang memerlukan proses adaptasi atau

penyesuaian. Adaptasi secara fisik dimulai sejak bayi dilahirkan sampai

kembalinya kondisi tubuh ibu pada kondisi seperti sebelum hamil, yaitu kurun

waktu 6 sampai 8 minggu. Kehamilan dan persalinan merupakan peristiwa yang

normal terjadi dalam hidup, namun banyak ibu yang mengalami stres yang

signifikan. 1

Kehamilan dan masa nifas cukup menimbulkan stress yang cukup besar

sehingga memicu penyakit kejiwaan. Penyakit golongan ini dapat mencerminkan


kekambuhan atau eksaserbasi gangguan psikiatrik yang sudah ada, atau

menandakan tirnbulnya penyakit baru. Gangguan mood pada ibu setelah

melahirkan terjadi pada 85% kasus. Terdapat 10-15% diantaranya yang

mengalami gejala semakin berat dan menyebabkan depresi. 1-3

Postpartum adalah masa yang berat bagi ibu. Setelah persalinan, ibu akan

mengalami perubahan fisik dan psikis. Walaupun perubahan menjadi seorang ibu

merupakan hal yang positif, namun perubahan ini memerlukan fisik, psikologika,

dan adaptasi sosial yang tidak mudah. Gangguan psikis setelah melahirkan yang

ringan disebut dengan baby blues. Jika terjadi dengan cepat dan tidak dapat diatasi

oleh ibu dapat menjadi depresi postpartum. Pada beberapa kasus dapat menjadi

psikosis. 2-4

Menurut Rubin (1977 dalam Pilliteri, 2003) ada tiga fase yang terjadi pada

ibu postpartum yang disebut “Rubin Maternal Phases” yaitu : 5

1. Taking-in (fase ketergantungan) dimulai segera setelah persalinan, pada

fase ini ibu masih berfokus dengan dirinya sendiri, bersikap pasif dan

masih sangat tergantung pada orang lain disekitarnya.

2. Taking-hold (fase transisi antara ketergantungan dan kemandirian) terjadi

antara hari kedua dan ketiga postpartum, ibu mulai menunjukkan perhatian

pada bayinya dan berminat untuk belajar memenuhi kebutuhan bayinya.


Dalam fase ini tenaga ibu pulih kembali secara bertahap, ibu merasa lebih

nyaman, fokus perhatian mulai beralih pada bayi, ibu sangat antusias

dalam merawat bayinya, ibu mulai mandiri dalam perawatan diri dan

terbuka pada pengajaran perawatan. Saat ini merupakan saat yang tepat

untuk memberi informasi tentang perawatan bayi dan diri sendiri. Pada

fase ini juga terdapat kemungkinan terjadinya postpartum blues.

3. Letting-go (fase mandiri). Fase ini berlangsung antara dua sampai empat

minggu setelah persalinan ketika ibu mulai menerima peran barunya. Ibu

melepas bayangan persalinan dengan harapan yang tidak terpenuhi serta

mampu menerima kenyataan. Pada fase ini tidak semua ibu postpartum

mampu beradaptasi secara psikologis sehingga muncul gangguan mood

yang berkepanjangan ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung,

cemas, panik, mudah marah, kelelahan, disertai gejala depresi seperti

gangguan tidur dan selera makan, sulit berkonsentrasi, perasaan tidak

berharga, menyalahkan diri dan tidak mempunyai harapan untuk masa

depan. Hal ini juga merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai

dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat.

Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya,

keadaan ini disebut postpartum blues atau baby blues. Postpartum blues
merupakan gangguan perasaan akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi,

muncul pada hari pertama sampai ke empat belas setelah proses persalinan,

dengan gejala memuncak pada hari ke lima. Postpartum blues menunjukkan

gejala-gejala depresi ringan yang dialami oleh ibu seperti mudah menangis,

perasaan kehilangan dan dipenuhi dengan tanggung jawab, kelelahan, perubahan

suasana hati yang tidak stabil, dan lemahnya konsentrasi. Selain itu ibu menjadi

mudah tersinggung, dapat mengalami gangguan pola makan dan tidur.

Postpartum blues dapat berkembang menjadi gejala depresi mayor. Lebih dari

20% kasus postpartum blues akan berkembang menjadi depresi mayor dalam satu

tahun setelah melahirkan. Apabila postpartum blues tidak ditangani dengan serius,

maka akan berkembang menjadi depresi postpartum dan hingga postpartum

psychosis. 6

Ibu cenderung diliputi perasaan sedih sehingga kurang peka untuk

memberikan afek positif pada bayinya. Akibatnya, bayi juga tidak belajar

mengembangkan afek positif dan menimbulkan rasa kurang aman pada diri bayi

dalam proses perkembangan mereka kelak. Kondisi dapat menimbulkan masalah

dalam hubungan ibu dan bayi, gangguan psikopatologis pada bayi dan

keterlambatan perkembangan bayi. Bayi cenderung mengalami gangguan

orientasi, afek depresi, gangguan tidur (irregular sleep), dan beberapa jenis
gangguan fisik lain di samping hambatan perkembangan verbal, gangguan

perilaku dan keterlambatan perkembangan skolastik. 5


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Postpartum blues merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat

penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul pada hari pertama sampai hari

ke empat belas setelah proses persalinan, dengan gejala memuncak pada hari ke

lima. Postpartum blues/baby blues adalah keadaan di mana seorang ibu

mengalami perasaan tidak nyaman setelah persalinan, yang berkaitan dengan

hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan dirinya sendiri. 6

Depresi postpartum merupakan salah satu gangguan psikologis yang

sering dialami oleh sebagian ibu nifas. Seringkali tidak ada alasan kenapa para ibu

yang telah melahirkan mengalami depresi. Gangguan ini ditandai dengan perasaan

sedih, menangis, cemas, takut, merasa kesepian, curiga, penurunan nafsu makan,

gangguan tidur, susah berkonsentrasi, perasaan tidak berharga, kehilangan

harapan, kurangnya minat terhadap bayi, dan perasaan tidak mampu menjadi ibu,

bahkan pada beberapa kasus adanya halusinasi sehingga ada upaya ibu
mencerderai bayi, diri sendiri atau orang lain. Biasanya, gejala tersebut muncul

setelah minggu ke-2 postpartum dan sebagian penelitian melaporkan bahwa

depresi ini bahkan dapat berlanjut sampai 2 tahun atau sepanjang kehidupan

wanita tersebut. 7,8

3.2 Epidemiologi

Kejadian depresi di dunia sangat tinggi yaitu mencapai 18%, dari tahun

2005-2015 terdapat 300 juta dari total penduduk dunia mengalami depresi dalam

kehidupannya. Depresi pasca melahirkan atau postpartum depression pada wanita

umum terjadi dan berkembang di sekitar 13% bahkan lebih tinggi di belahan

dunia yang lain. 7,8

Total ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan sejumlah 322 juta

kasus. Setengah kasus ini bersal dari Southeast Asia dan Western Pacific Region.

Prevalensi depresi di Southeast Asia sebesar 27%, sementara prevalensi di

Indonesia adalah 3,7%, urutan kedua setelah India (4,5%). 2

Di Indonesia, prevalensi atau angka kejadian depresi juga masih cukup

tinggi. Berdasarkan data di Kementerian Kesehatan, bahwa dari populasi orang

dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4

juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa

berupa gangguan kecemasan dan depresi. 9


Dari beberapa hasil penelitian ditemukan kasus ibu yang mendapat Baby

Blues dan Postnatal Depression cukup tinggi. Satu dari dua ibu yang melahirkan

(50%) pernah mengalami Baby Blues, dan sekitar 10% akan berlanjut menjadi

Postnatal Depression. Sekitar 70% dari semua ibu yang melahirkan pernah

mengalami Baby Blues, dan sekitar 10%-20% dari ibu yang baru melahirkan

mengalami Postpartum Depression. Sekitar 10%-22% ibu-ibu yang baru pertama

melahirkan menderita Postpartum Psychosis. Satu dari dua ibu yang melahirkan,

dalam beberapa menit atau beberapa jam pertama setelah melahirkan, merasa

bahagia, kemudian secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas dia menangis seharian

tanpa bisa dihentikan. Postpartum depression atau depresi pasca melahirkan

didapati 70% pada wanita yang setelah melahirkan gejalanya biasanya transient

dan nonpatologis. 7,10

3.3 Etiologi

Baby blues disebabkan oleh banyak hal, di antaranya bisa dari faktor

biologi, dan bisa dari faktor emosional.Pada saat bayi lahir, akan terjadi

perubahan kadar hormon secara tiba-tiba dalam tubuh ibu. Di mana kadar hormon

itu ada yang turun dengan cepat, dan ada pula yang naik dengan pesatnya.

Perubahan kadar hormor dalam waktu singkat dan tiba-tiba inilah salah satu
pemicu timbulnya Baby Blues. 10

Ketika plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan

hormon yang melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh ibu,

yang dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosional ibu. Penyebab dari

postpartum blues belum diketahui secara pasti, tapi diduga disebabkan oleh

berbagai faktor, antara lain perubahan biologis, stress dan penyebab sosial atau

lingkungan. Perubahan kadar hormon estrogen, progesterone, kortikotropin dan

endorphin serta prolaktin diduga menjadi faktor pendukung terjadinya postpartum

blues. 6,11

Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah

melahirkan dikatakan dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan

depresi postpartum. Penurunan hormon progesteron signifikan berhubungan

dengan perubahan suasana hati dengan sebuah pengaruh tambahan pada pola

makan. Pada studi lainnya, didapatkan peningkatan serum Cu yang sejalan dengan

terjadinya inflamasi atau disregulasi auto-imun. Ketika tingkat inflamasi tinggi,

penderita akan mengalami gejala depresi seperti lemas, dan lesu. Kedua, inflamasi

akan meningkatkan level kortisol, dan akhirnya akan menurunkan serotonin

dengan menurunkan prekursornya, yaitu trypthopan. 4,12

Penyebab postpartum blues pada ibu menurut Mansur (2009) adalah


pertama, faktor hormonal, berupa perubahan kadar estrogen, progesteron,

prolaktin, dan estrol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun

secara bermakna setelah melahirkan. Ternyata estrogen memiliki efek supresi

terhadap aktivasi enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja

menginaktivasi, baik noradrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana

hati dan kejadian depresi. Kedua, faktor demografik, yaitu umur dan paritas.

Ketiga, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan, kesulitan-kesulitan

yang dialami ibu selama kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pasca

melahirkan. 13

Walaupun penyebab depresi cenderung pada tingkat penurunan hormon,

beberapa faktor lain mungkin menjadi penyebab terjadinya depresi post partum.

Produksi hormon estrogen dan progesterone selama kehamilan akan menurun

tajam dalam waktu 72 jam setelah melahirkan, dan perubahan tersebut dapat

menimbulkan Baby Blues Syndrome. Wanita secara nyata terpapar depresi setelah

melahirkan ketika sampai pada batas kemampuan seorang ibu terikat secara pasti

pada bayinya. 4,5

Kejadian stress dalam hidup, riwayat depresi sebelumnya, dan riwayat

keluarga yang mengalami gangguan mood, semua dikenal sebagai prediktor

depresi mayor pada wanita. Selain itu juga ditemui penyebab Baby Blues ini
adalah karena kecemasan, kekhawatiran ibu untuk tidak siap, tidak bisa, tidak

10,12
mau, dan lain-lain untuk merawat bayinya sendiri.

Ibu yang melahirkan bayi menghadapi berbagai perubahan. Perubahan

yang dialami menjadi stressor yang mau tidak mau harus dihadapi. Perubahan

hormonal, fisik, psikis terjadi pada ibu yang baru melahirkan sehingga membuat

membuat tugas ibu menjadi semakin berat. Hal ini mempengaruhi kejiwaan

seorang ibu sehingga mudah stress dan cenderung mengalami depresi pasca

persalinan. 7

3.4 Faktor Risiko

Perempuan memiliki tingkat depresi, gangguan stres dan masalah

kecemasan yang lebih tinggi dibanding laki-laki disebabkan karena kejiwaan

perempuan dikendalikan oleh hormon. Hormon yang membantu mengontrol

reaksi tubuh terhadap stres adalah corticotropin releasing hormone (CRH). Dalam

sebuah penelitian disebutkan jika tingkat signaling CRH pada wanita lebih tinggi

dibanding pria itu yang mendasari kerentanan perempuan teradap stress dan

gangguan kejiwaan. CRH menstimulus pelepasan hormon adrenokortikotropik

(ACTH). ACTH ini mengalir dalam korteks adrenal dan menstimulus pelepasan

kortisol. Kortisol ini memiliki peran penting selama terjadi stres dan meningkat

selama mengalami stress. 9


Banyak ibu hamil tidak tahu, dan tidak mempersiapkan diri untuk

menghadapi kelelahan pada saat melahirkan. Rasa lelah yang berlebihan yang

dialami ibu pada saat melahirkan juga merupakan salah satu faktor penyebab

timbulnya Baby Blues. Dari beberapa kasus juga ditemui ada ibu-ibu ini

sebetulnya dia tidak suka atau tidak mau lagi untuk melahirkan. Dari banyak hasil

pemeriksaan fisik memang banyak ditemui penyebab Baby Blues ini adalah

karena kelelahan, keletihan yang dialami ibu pada saat proses persalinan. 10

Usia ibu kurang dari 20 tahun mempunyai peluang 3,41 kali untuk

mengalami postpartum blues dibandingkan dengan ibu postpartum dengan usia

lebih dari 20 tahun. Faktor usia perempuan saat kehamilan dan persalinan

seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi

seorang ibu. Pada usia yang lebih awal (kehamilan remaja) atau lebih lanjut, telah

diyakini akan meningkatkan risiko biomedik, mengakibatkan pola tingkah laku

yang tidak optimal, baik pada ibu yang melahirkan maupun bayi atau anak yang

dilahirkan dan dibesarkannya. 6

Ibu primipara mempunyai peluang 1,94 kali untuk mengalami postpartum

blues dibandingkan dengan ibu multipara. Wanita primipara baru memasuki

perannya sebagai seorang ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada ibu

yang pernah melahirkan, yaitu jika ibu mempunyai riwayat postpartum blues
sebelumnya. Wanita primipara belum mempunyai pengalaman dalam merawat

anak sehingga timbul rasa takut dan khawatir melakukan kesalahan dalam

merawat bayi. Begitu pula dalam melakukan tugas sebagai seorang ibu, wanita

primipara merasa bingung dan terbebani oleh seorang anak. 6

Depresi postpartum terjadi pada 13% primipara dalam 4 minggu hingga 1

tahun postpartum. Social support yang rendah menjadi predictor yang kuat

terjadinya depresi postpartum. Social support dalam hal ini adalah informasi,

materi, emosi, dan peran suami. 2,3

Riwayat depresi, masalah perkawinan, kurangnya dukungan keluarga,

stress, sosioekonomi yang rendah menjadi predictor utama terjadinya depresi

postpartum. Riwayat penyakit dahulu, pendidikan yang rendah, kehamilan yang

tidak diingankan, obesitas, riwayat depresi postpartum sebelumnya dapat memicu


terjadinya depresi postpartum. 2,3

Tingkat stress ibu pasca melahirkan dipengaruhi oleh dua faktor utama

yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain, fluktuasi hormonal,

faktor psikologis dan kepribadian, adanya riwayat depresi sebelumnya, riwayat

kehamilan dan persalinan dengan komplikasi, persalinan section caesarea,

kesulitan menyusui, dan minimnya pengetahuan ibu akan perawatan bayi.

Sedangkan faktor eksternal meliputi dukungan sosial, kondisi dan kualitas bayi,

dan status mental suami. 14

3.4 Klasifikasi

Menurut Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder (American

Psychiatric Association, 2000) tentang petunjuk resmi untuk pengkajian dan

diagnosis penyakit psikiatri, bahwa gangguan yang dikenali selama periode

postpartum adalah : 11

1. Postpartum blues

Terjadi pada hari pertama sampai sepuluh hari setelah melahirkan dan hanya

bersifat sementara dengan gejala gangguan mood, rasa marah, mudah menangis

(tearfulness), sedih (sadness) nafsu makan menurun (appetite), sulit tidur.

Keadaan ini akan terjadi beberapa hari saja setelah melahirkan dan biasanya akan

berangsur-angsur menghilang dalam beberapa hari dan masih dianggap sebagai


suatu kondisi yang normal terkait dengan adaptasi psikologis postpartum.

Apabila memiliki faktor predisposisi dan pemicu lainnya maka dapat berlanjut

menjadi depresi postpartum.

2. Depresi postpartum

Gejala yang ditimbulkan antara lain kehilangan harapan, kesedihan, mudah

menangis, tersinggung, mudah marah, menyalahkan diri sendiri, kehilangan

energi, nafsu makan menurun (appetite), berat badan menurun, insomnia, selalu

dalam keadaan cemas, sulit berkonsentrasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan

minat untuk melakukan hubungan seksual dan ada ide bunuh diri.

3. Postpartum psikosis

Mengalami depresi berat seperti gangguan yang dialami penderita postpartum

depresi ditambah adanya gejala proses pikir (delusion, hallucinations and

incoherence of association) yang dapat mengancam dan membahayakan

keselamatan jiwa ibu dan bayinya sehingga sangat memerlukan pertolongan dari

tenaga professional, yaitu psikiater dan pemberian obat.

Tabel. Jenis masalah psikologi post partum


3.5 Diagnosis

Depresi postpartum merupakan gangguan yang lebih serius daripada

simptom baby blues. Jika setelah masa 2 minggu Baby blues Syndrome tidak

hilang, maka kemungkinan ibu mengalami depresi postpartum. Depresi

postpartum bisa berlangsung selama 2 tahun. Beberapa gejala dari depresi pasca

melahirkan antara lain: mood yang rendah atau tidak ada gairah, merasa tidak

mampu untuk mengatasi permasalahan, kesulitan tidur. 4,7

Wanita dengan depresi pasca melahirkan bermasalah dengan deppresive

mood, insomnia, intensitas menangis, kehilangan gairah dan motivasi, kelelahan

dan kehabisan tenaga, juga mengalami berbagai gejala somatic, ketidakmampuan

untuk mengatasi permasalahan, harga diri yang rendah hingga ada keinginan

untuk bunuh diri. 7

Menurut American Psychiatric Association, gejala postpartum blues

diantaranya adalah: a) perasaan cemas, khawatir berlebihan, sedih, murung, dan

sering menangis tanpa sebab yang jelas; b) seringkali merasa kelelahan dan sakit

kepala/ migren; c) perasaan tidak mampu, dan d) adanya perasaan putus asa. 4,14

Penilaian baby blues syndrome menggunakan Edinburgh Postnatal

Depresion Scale (EPDS) yang berisi 10 soal yang dirasakan ibu selama 7 hari ke

belakang. Dikatakan tidak mengalami baby blues syndrome jika mempunyai nilai
1-10 dan mengalami baby blues syndrome jika mempunyai nilai > 10. 15

Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada

riwayat dan gejala-gejala mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of

Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV. Sebagai penunjang untuk

menegakkan diagnosis, secara luas menggunakan uji Edinburgh Postnatal

Depression Scale (EPDS). 12


Tabel. Gejala postpartum berdasarkan Clevland Clinic dan National Mental

Health Associassion

3.6 Tata Laksana

Postpartum blues dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang

ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan

tidak ada tatalaksana sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah

yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan dapat membuat perasaan tidak

nyaman bagi wanita yang mengalaminya. Bahkan kadang-kadang gangguan ini

dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi dan psikosis

pasca persalinan, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam masalah

hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya.6

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) terbukti sudah sangat

berguna untuk menangani depresi sehingga menjadi pilihan untuk ibu hamil,

mencakup fluoksetin dan sertralint. Obat ini menjadi pilihan karena obat tersebut

lebih sedikit memiliki efek antikolinergik yang merugikan, toksisitas jantung, dan

bereaksi lebih cepat daripada antidepresan trisiklik dan inhibitor oksidase

monoamin (MOA) serta tidak menyebabkan hipotensi ortostatik, konstipasi dan


sedasi. 1

Secara umum, dalam penatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum

diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, hormonal therapy, dan prophylactic

treatment.

1. Farmakologis 12

Pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan depresi postpartum,

diberikan pengobatan dengan antidepressant. Pemberian selective serotonin

reuptake inhibitor (SSRIs) seharusnya diberikan karena golongan obat tersebut

mempunyai resiko efek toksik yang rendah. SSRis bisa membantu pasien yang

tidak mempunyai respon bagus terhadap tricyclic antidepressant, golongan

antidepressant lainnya dan cenderung ditoleransi lebih baik dengan dosis yang

rendah. Bagaimanapun, jika pasien sebelumnya mempunyai respon baik terhadap

obat antidepressant jenis lainnya, obat tersebut secara kuat dipertimbangkan untuk

diberikan kembali.

Golongan obat lainnya yang digunakan pada pasien depresi postpartum

adalah tricyclic antidepressant (TCAs). Cara kerja obat golongan untuk

menurunkan gejala depresi tidak diketahui tetapi jenis obat ini dapat menghalangi

re-uptake berbagi neurotransmiter termasuk serotonin dan norepinephrine pada


membran neuronal.

Pada pasien multipara, sensitif terhadap efek samping dari pengobatan,

pengobatan semestinya dimulai setengah dosis awal selama empat hari, dan

selanjutnya akan ditingkatkan dosisnya secara perlahan sampai dosis yang

direkomendasi tercapai. Peningkatan dosis secara perlahan sangat menolong

dalam mengatasi adanya efek samping dari obat. Jika pasien merespon terhadap

percobaan awal selama enam sampai delapan minggu, dosis yang sama harus

diberikan selama minimal enam bulan setelah toleransi penuh tercapai, dalam hal

untuk mencegah kambuhnya efek samping. Jika tidak ada perkembangan setelah

enam bulan terapi pengobatan atau jika pasien merespon namun gejalanya timbul

lagi, dirujuk ke psikiater dapat dipertimbangkan.

2. Psikoterapi 12

Pada studi yang melibatkan 120 ibu melahirkan, interpersonal psikoterapi,

dengan pengobatan 12 sesi yang terfokus pada perubahan peran dan pentingnya

suatu hubungan sangat efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan

fungsi psikososial. Sebuah grup berdasarkan intervensi pada psikotherapi

interpersonal diberikan selama kehamilan mencegah terjadinya depresi

postpartum. Bagaimanapun, psikoterapi sebagai tambahan dikombinasikan


dengan fluoxetine, meningkatkan pengobatan daripada dengan fluoxetine saja.

3. Hormonal Replacement Therapy 12,16,17

Estradiol telah dievaluasi sebagai pengobatan untuk depresi postpartum.

Pada studi yang membandingkan transdermal estradiol dengan plasebo, grup yang

diobati dengan estradiol mempunyai penurunan skor depresi yang signifikan

selama bulan pertama. Pada masa postpartum terjadi perubahan hormonal pada

ibu, penurunan kadar estrogen yang mempengaruhi mood ibu. Berdasarkan

penelitian randomized clinical trial, didapatkan bahwa pemberian monoterapi

estradiol dapat mengurangi keluhan baby blues syndrome.

Pemberian terapi antidepresan lebih dahulu dilakukan pada pasien baby

blues syndrome, namun memungkinkan terjadinya remisi sebesar 30-50% pada

depresi post partum dan major depressive disorder (MDD). Pemberian terapi

estradiol dinilai lebih menjanjikan. Pemberian estradiol dapat langsung mengatasi

penyebab perubahan hormonal pada pasien dan lebih natural dibandingkan dengan

terapi konvensional. Estradiol dapat meningkatkan neuron di hipotalamus,

amigdala, hipokampus, dan neuron dopaminergic serta korteks prefrontal.

Estradiol juga dapat mengurangi stress oksidatif, eksitoksik glutamate dan

toksisitas beta amyloid. Estradiol memodulasi regulasi aksis Hipotalamus-


Pituitari-Adrenal (HPA).

Rerata konsentrasi estradiol yang dibutuhkan adalah 680pmol/L. Hal ini

didapatkan dalam 6 bulan terapi pemberian 17beta-estradiol transdermal

(200mcg/hari). Pemberian estradiol oral dikaitkan dengan terjadinya onset baru

penyakit liver. Efek samping yang sering ditemukan adalah mual, muntah, rasa

kembung, kram perut, sakit kepala, perubahan sekresi vagina, dan rambut rontok.

Efek samping lainnya adalah peningkatan tekanan darah, edema, infeksi jamur

pada vagina. Pemberian estrogen secara oral dikaitkan dengan terjadinya

hipertensi dan infeksi jamur vaginal.

4. Profilaksis Treatment 12

Pasien yang mengalami riwayat depresi setelah kehamilannya dapat

beresiko menjadi depresi postparrtum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah

melahirkan harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi

sebelumnya. Obat yang direspon pasien sebelumnya dengan selective-serotonin-

reuptake (SSRIs) inhibitor adalah pilihan rasional, tricyclic antidepressant (TCAs)

tidak dapat melindungi sebagaimana dibandingkan dengan plasebo. Minimal,

penanganan depresi postpartum termasuk pengawasan untuk terjadinya

kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi cepat jika ada indikasi. Menyusui
juga merupakan salah satu treatment yang bersifat profilaksis. Menyusui tidak

hanya untuk mengurangi stress untuk ibu, namun juga menguragi tingkat stress

pada bayi ketika ibunya mengalami depresi. Pada akhirnya disimpulkan bahwa,

menyusui melindungi suasana hati ibu dengan mengurangi tingkat stress. Ketika

tingkat stress rendah, respon inflamasi ibu tidak aktif dan akan mengurangi resiko

depresi.

Disamping itu, psikoterapi atau metode support group secara rutin harus

dilakukan bila ada konflik intrapsikis yang berpengaruh pada kehamilan. Terapi

perilaku kognitif sangat menolong pasien depresi dan disertai antidepresan. Terapi

elektrokompulsif (ECT) digunakan pada pasien depresi psikotik untuk

mendapatkan respon yang lebih cepat, bila kehidupan ibu dan anak terancam,

misalnya pada depresi hebat dan pasien yang ingin bunuh diri atau jika tidak

berespon terhadap pengobatan antidepresan. Dalam menghadapi klien penderita

depresi, harus dilakukan dengan sikap serius dan mengerti keadaan penderita. Kita

harus memberi pengertian kepada mereka dan mensupport atau memberikan

motivasi yang dapat menenangkan jiwanya. Hendaknya jangan menghibur,

memberi harapan palsu, bersikap optimis dan bergurau karena akan memperbesar

rasa tidak mampu dan rendah diri. 1

3.7 Prognosis
Postpartum blues dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang

ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan

tidak ada tatalaksana sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah

yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan dapat membuat perasaan tidak

nyaman bagi wanita yang mengalaminya. Bahkan kadang-kadang gangguan ini

dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi dan psikosis

pasca persalinan. 6

Berdasarkan penelitian didapatkan pasien dengan psikosis postpartum

dapat berlanjut menjadi bipolar. Setelah 1 episode psikosis postpartum, 75-86%

gejala akan menghilang. Pasien post partum dengan skizofrenia, 50% orang

gejalanya akan hilang pada episode pertama, dan 33% orang akan mengalami

kekambuhan. Perempuan yang berobat untuk gejala kelainan jiwa post partum

dalam waktu kurang dari 1 bulan post partum akan menghasilkan prognosis yang

18
lebih baik.

Prognosis baby blues syndrome secara umum baik jika didiagnosa cepat

dan langsung diberikan terapi yang adekuat. Kemungkinan kejadian kronik akan

menghasilkan manifestasi menyerupai skizofrenia. Pada kasus seperti ini, angka

kekambuhannya menjadi lebih tinggi. Kemungkinan kekambuhan pada kehamilan

berikutnya adalah 25-40%. 19


Meskipun sebagain besar depresi pasca melahirkan secara spontan akan

membaik pada bulan pertama setelah melahirkan, namun lebih dari setengah

wanita yang mengalami depresi pasca melahirkan berlanjut ke episode

pengalaman depresi yang lebih lanjut. 7


BAB 3

KESIMPULAN

Depresi postpartum merupakan salah satu gangguan psikologis yang

sering dialami oleh sebagian ibu nifas. Seringkali tidak ada alasan kenapa para ibu

yang telah melahirkan mengalami depresi. Gangguan ini ditandai dengan perasaan

sedih, menangis, cemas, takut, merasa kesepian, curiga, penurunan nafsu makan,

gangguan tidur, susah berkonsentrasi, perasaan tidak berharga, kehilangan

harapan, kurangnya minat terhadap bayi, dan perasaan tidak mampu menjadi ibu,

bahkan pada beberapa kasus adanya halusinasi sehingga ada upaya ibu

mencerderai bayi, diri sendiri atau orang lain.

Walaupun penyebab depresi cenderung pada tingkat penurunan hormon,

beberapa faktor lain mungkin menjadi penyebab terjadinya depresi post partum.

Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada riwayat


dan gejala-gejala mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of Mental

Disorders, edisi keempat (DSM-IV). Sebagai penunjang untuk menegakkan

diagnosis, secara luas menggunakan uji Edinburgh Postnatal Depression Scale

(EPDS). Secara umum, dalam penatalaksanaan ibu dengan depresi postpartum

diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, hormonal therapy, dan prophylactic

treatment.

DAFTAR PUSTAKA

1. Desmiwarti, 2017. Kehamilan dengan Gangguan Jiwa. Andalas Obstetrics and

Gynecology Journal. Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2017: 78-83.

2. Putriasih, R., Budhiastuti, U.R., Murti, B., 2018. Prevalence and Determinants

of Postpartum Depression in Sukoharjo District, Central Java. Journal of

Maternal and Child Health (2018), 3(1): 11-24.

3. Ria, M.B., Budhiastuti, U.R., Sudiyanto, A., 2018. Risk Factors of Postpartum

Depression at Dr. Moewardi Hospital, Surakarta. Journal of Maternal and

Child Health (2018), 3(1): 81-90.

4. Roswiyani, 2010. Postpartum Depression. Temu Ilmiah Nasional II – Jakarta,

5-6 Agustus 2010.


5. Hutagol, E.T., 2010. Efektivitas Intervensi Edukasi Pada Depresi Postpatum.

Tesis. Universitas Indoneia, 2015.

6. Fatmawati, D.A., 2015. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian

Postpartum Blues. Jurnal Edu Health, Vo. 5, No. 2 September 2015: 82-93.

7. Dewi, N.N.A.I., Waruwu, D., 2018. Pengaruh Cognitive Behavior Therapy

terhadap Postpartum Depression. Jurnal Psikologi Mandala. Vol.2, No.1: 45-

52.

8. Kusuma, R., 2019. Karakteristik Ibu yang Mengalami Depresi Postpartum.

Jurnal Ilmu Universitas Batanghari Jambi. Vol. 19, No. 1, Februari 2019: 99-

103.

9. Palupi, P.D., Novembrina, M., 2017. Evaluasi Terapi Antidepresan pad Pasien

dengan Gejala Depresi di RSJD Amino Gondohutomo Semarang. Media

Farmasi Indonesia. Vol. 12, No. 2: 1218-1223.

10. Suryati, 2008. The Baby Blues and Postnatal Depression. Jurnal Kesehatan

Masyarakat, Maret-September 2008, II (2).

11. Machmudah, 2015. Gangguan Psikologis pada Ibu Postpartum; Postpartum

Blues. Jurnal Keperawatan Maternitas. Volume 3, No.2, November 2015; 118-

125.
12. Pradnyana, E., Westa, W., Ratep, N., 2015. Diagnosis dan Tata Laksana

Depresi Postpartum pada Primipara. Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

13. Jayasima, A.M., Deliana, S.M., Mabruri, M.I., 2014. Postpartum Blue

Syndrome pada Kelahiran Anak Petama. Development and Clinical

Psychology, 3(1) 2014.

14. Ningrum, S.P., 2017. Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi

Postpartum Blues. Junal Ilmu Psikologi, Vol. 4, No.2, 2017:205-218.

15. Susanti, L.W., Sulistiyanti, A., 2017. Analisis Faktor-Faktor Penyebab

Terjadinya Baby blues Syndrom Pada Ibu Nifas. Infokes, Vol. 7, No.2,

September 2017. ISSN: 2086-2628.

16. Moses-Kolko, et al, 2010. Transdermal Estradiol for Postpartum Depression:

A Promising Treatment Option. Clin Obatet Gynecol. 2009; 52(3):516-529.

17. Moses-Kolko, etl al, 2009. Transdermal Estradiol for Postpartum Depression:

A Promising Treatment Option. Clin Obstet Gynecol; 52(3):516-529.

18. Isik, M., 2018. Postpartum Psychosis. Eastern Journal of Medicine. Vol.23

(1):60-63, 2018.

19. Rai, S., Pathak, A., Sharma, I., 2015. Postpartum Psychiatric Diorders: Early

Diagnosis and Management. Indian J Psychiatry; 57(Suppl 2):S216-S221.

Anda mungkin juga menyukai