2. Trismus : spasme pada otot rahang. Mulut susah dibuka 3. Abdominal boards : perutnya keras 4. Dim throughout grounds abdomen :
STEP 2
1. Diagnosis kasus? DDx kasus?
2. Manajemen kasus? 3. Patofisiologi kasus? 4. Faktor risiko penyakit pada kasus dan DDx-nya? Pencegahan penyakit pada kasus? 5. Interpretasi hasil lab? 6. Apakah penanganan yang sudah dilakukan mantri benar? Beserta alasannya. 7. Bagaimana transmisi tetanus?
STEP 3
1. Diagnosis kasus: tetanus
DDx: osteomyelitis , rabies , cedera spinal , fraktur 2. Manajemen kasus: Tetanus o Jika ada kejang diberi antikonvulsan (diazepam atau vankuronium) o Untuk menghilang tetanusnya bisa menggunakan anti tetanus serum. Tetapi dicek dulu apakah ada hipersensitivitas. o Bisa dikombinasikan dengan antibiotik – biasanya penicillin o Jika sensitif / alergi thd penicillin, bisa diberikan tetracyclin o Diberikan tetanus toxoid ( bersamaan dengan anti toksin. Tetapi harus diberikan pada sisi yang berbeda o Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur o Diberikan vaksin tetanus jika blm pernah diberikan. Diberikan 4 kali ( saat pengobatan pertama, kemudian 8 minggu setelahnya, 6-12 bulan setelahnya diberikan booster , subsekuen booster 5 tahun setelahnya) o Terapi non-medikamentosa: Luka dibersihkan Makanan melalui NGT dengan diet kalori tinggi (3500-4500 kal / hari, disertai 100-150gr protein) 3. Patofisiologi : Bakteri C. Tetanii (anaerob, gram +) berkembang pada kondisi anaerob, misal pada bekas luka Pada daerah luka, akan mengeluarkan 2 toksin (tetanolisin , tetanospasmin) Tetanolisin yang pertama kali disintesis akan terikat dengan protein mengikat tetanospasmin tetanospasmin akan bekerja ke presinaptik motorneuron dan ke sitosol akan berjalan retrograde aksonal ke spinal cord dalam 2-14 hari setelah infeksi memasuki central inhibitory neuron (terdapat GABA dan glisin sbg inhibitor) toksin akan menghambat sintesis GABA dan glisin shg menyebabkan spasme otot. (STEP 4) spasme otot bisa lokal (mengganggu sekitar luka), cephal (mengenai otot kranial) atau umum(mengenai otot kranial dan alat gerak). Manifestasi klinis bisa berbeda-beda, diklasifikasikan : o Lokal : kekakuan atau spasme menetap di otot sekitar luka atau proksimal luka bisa menjadi cephal atau umum o Cephalic : trismus , dysphagia , disfungi n. cranial o Umum: trismus, kekakuan leher , susah menelan , episthotonus, kejang umum. 4. Faktor risiko Tetanus: o Pekerjaan: beternak o Kurang imunisasi tetanus, atau sudah imunisasi tetapi pemberian bosster tidak tepat waktu o Cedera atau luka yang menyebabkan bakteri masuk o Pasien berisiko: korban kebakaran, orang2 setelah injeksi IM atau membuat tattoo, infeksi gigi, DM, drug abuse parenteral, dan pasca operasi o Neonatal: ibu yang tidak divaksinasi, melahirkan di rumah, pemotongan umbilical cord yang tidak higienis Osteomyelitis: o Bekas luka, bekas operasi, trauma o Beda bakteri penyebab (S. Aureus) , paling sering terjadi pada metafisis tulang panjang dan vertebra
Pencegahan tetanus: vaksin tetanus
5. Interpretasi hasil lab:
Diff count: o Neutrofil meningkat o Limfosit turun o Monosit sedikit meningkat o Eosinofil normal o Basofil normal Gula darah normal HCT normal Leukosit meningkat Platelet normal Hb normal Kesimpulan infeksi bakteri 6. Tindakan mantri : salah Karena mantri tidak membersihkan luka pasien. Obat yang diberikan tidak sesuai dengan manajemen tetanus 7. Transimisi: paling sering melalui luka mayor atau minor. Luka tersebut bisa karena: bekas operasi, terbakar, suntikan jarum, otitis media, infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi, pregnancy
LO:
1. Titik tangkap tetanus toxoid dan anti tetanus serum
a. Tetanus toxoid : memicu pembentukan antigen titik tangkap di APC b. Anti tetanus serum: serum yang terdapat imunoglobulin yang biasanya bukan berasal dari manusia. Cara kerja menetralisir toksin dari tetanus mencegah exotoxin berikatan dgn susunan saraf pusat i. Bovin anti tetanus serum dari lembu ii. Equina anti tetanus serum dari kuda iii. HTIG dari manusia 2. Osteomyelitis (etiologi, patfis, manajemen) a. Etiologi i. Penyebab terbesar: post trauma (47%) ii. Insufisiensi vaskular (34%) : DM iii. Penyebaran secara hematogen (19%) b. Patofisiologi i. Infeksi bisa didapatkan dari trauma bakteri langsung masuk melalui luka atau penyebaran secara hematogen ii. Post trauma bakteri masuk melalui daerah luka , biasanya S. Aureus – ketika ada trauma, vaskularisasi area tsb bagus utk perbaikan jaringan memudahkan bakteri utk berkembang. Infeksi biasanya pada metafisis tulang – terdapat hairpin loop (vaskularisasi) terdapat fokus infeksi pada metafisis terbentuk sequestrum dan involucrum pada fokus infeksi ketika sudah parah, cairan tsb keluar tulang draining sinus iii. Pada pasien DM / imunodefisiensi risiko terjadinya infeksi meningkat (hematogenous) c. Manajemen i. Px : basic loco examination ii. DD jika di sendi : septic arthritis , jika tidak DD : keganasan tulang iii. Cek kondisi umum 1. Pada keganasan, kondisi umum buruk 2. Osteomyelitis parah , kondisi umum buruk iv. Px penunjang : 1. Lab: CBC (leukositosis) , ESR(meningkat) , CRP(meningkat) 2. Kultur 3. Imaging : MRI , X-Ray v. Sambil menunggu hasil kultur, pasien diberikan antibiotik empiris 3. Cari arti: Dim throughout grounds abdomen = terdengar redup pada perkusi abdomen bagian bawah 4. cara membersihkan luka pada kasus tetanus a. prinsip: i. jangan menutup luka infeksi ii. jangan menutup luka terkontaminasi atau luka bersih yang lebih dari 6 jam iii. untuk mencegah infeksi luka, setelah injury kembalikan sirkulasi darah iv. hangatkan tubuh pasien v. berikan nutrisi dan pereda nyeri vi. segera bersihkan dan debridement luka dalam 8 jam vii. untuk luka dalam, berikan antibiotik profilaksis viii. untuk penggunaan antibiotik topikal atau mencuci luka dengan larutan antibiotik tidak direkomendasikan b. sebelum debridement , bersihkan dulu dengan sabun dan air hangat selama 10 menit. Lalu diirigasi dengan saline. Jika butuh anestesi , berikan lidocaine 1%. Lalu luka di-debridement irigasi lagi dengan saline biarkan luka terbuka atau diberi kassa bersih. c. Jika luka dianggap rentan tetanus, bisa diberikan anti tetanus serum atau huma tetanus imunoglobulin i. Luka yang lebih dari 6-8 jam ii. Kedalam luka >1cm iii. Luka terkontaminasi / kotor iv. Bentuk irreguler v. Luka iskemik vi. Terlihat ada jaringan nekrotik dan pus pada luka 5. penegakan diagnosis tetanus Tetanus hanya bisa didiagnosis dari gejala klinis dan kultur (butuh waktu lama) Px penunjang tidak spesific untuk tetanus o EKG hanya dibutuhkan jika ada manifestasi yg berhubungan dgn jantung o Lab: leukositosis ringan o Electromyography : menunjukkan aktivitas otot pada tetanus: adanya pemendekan sub unit otot tsb secara terus menerus dan akan menunjukkan ketiadaan dari interval (otot tidak relaksasi) 6. prognosis tetanus bergantung pada derajat penyakit o ringan: tidak ada gangguan pernapasan o sedang: pernapasan 30x/menit , ada gangguan menelan o berat: pernapasan 40x/menit, nadi 120x/menit o sangat berat: gangguan otonom bergantung pada masa inkubasi o semakin cepat prognosis makin buruk apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik 7. cedera spinal cord dan vertebra (etiologi, patfis, manajemen) a. etiologi: trauma vertebra (frakturcedera spinal cord bagian cervical) , inflamasi spinal cord , HNP lumbal 1 , blow injury b. patofisiologi i. HNP : ada gaya pada nukleus pulposus hernia posterolateral menekan spinal cord injury ii. Syringomyelia : neurosyphilis perbesaran canalis centralis dari spinal cord akan menekan aliran saraf sensoris atau motoris c. Manajemen i. Fraktur: tx supporting ii. Fraktur dengan penekanan spinal cord pecahan diambil dgn tindakan operasi iii. HNP mengurangi tekanan pada spinal cord 1. Discectomy 2. Laminectomy 3. Menekan rasa sakit dgn corticosteroid atau analgesik. Jika tidak parah, berikan treatment suportif (bedrest, mengurangi aktivitas, fisioterapi, olahraga: renang) 8. bell’s palsy (etiologi, patfis, manajemen) a. parese n. VII LMN perifer idiopatik b. etiologi: belum diketahui – virus Herpes simplex I , Herpes zoster c. patofisiologi: belum diketahui i. infeksi herpes virus latent teraktivasi di ganglion nervus cranialis membuat inflamasi pada nervus neuropraxia d. manajemen i. utama: eye care tetes mata supaya tidak kering ii. corticosteroid selama 7 hari iii. acyclovir atau valacyclovir