Anda di halaman 1dari 5

TUTORIAL C.

SKENARIO 5

STEP 1

1. Episthotonus : kontraksi otot punggung


2. Trismus : spasme pada otot rahang. Mulut susah dibuka
3. Abdominal boards : perutnya keras
4. Dim throughout grounds abdomen :

STEP 2

1. Diagnosis kasus? DDx kasus?


2. Manajemen kasus?
3. Patofisiologi kasus?
4. Faktor risiko penyakit pada kasus dan DDx-nya? Pencegahan penyakit pada kasus?
5. Interpretasi hasil lab?
6. Apakah penanganan yang sudah dilakukan mantri benar? Beserta alasannya.
7. Bagaimana transmisi tetanus?

STEP 3

1. Diagnosis kasus: tetanus


DDx: osteomyelitis , rabies , cedera spinal , fraktur
2. Manajemen kasus:
 Tetanus
o Jika ada kejang diberi antikonvulsan (diazepam atau vankuronium)
o Untuk menghilang tetanusnya bisa menggunakan anti tetanus serum. Tetapi
dicek dulu apakah ada hipersensitivitas.
o Bisa dikombinasikan dengan antibiotik – biasanya penicillin
o Jika sensitif / alergi thd penicillin, bisa diberikan tetracyclin
o Diberikan tetanus toxoid ( bersamaan dengan anti toksin. Tetapi harus
diberikan pada sisi yang berbeda
o Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur
o Diberikan vaksin tetanus jika blm pernah diberikan. Diberikan 4 kali ( saat
pengobatan pertama, kemudian 8 minggu setelahnya, 6-12 bulan setelahnya
diberikan booster , subsekuen booster 5 tahun setelahnya)
o Terapi non-medikamentosa:
 Luka dibersihkan
 Makanan melalui NGT dengan diet kalori tinggi (3500-4500 kal /
hari, disertai 100-150gr protein)
3. Patofisiologi :
 Bakteri C. Tetanii (anaerob, gram +)  berkembang pada kondisi anaerob, misal
pada bekas luka
 Pada daerah luka, akan mengeluarkan 2 toksin (tetanolisin , tetanospasmin)
 Tetanolisin yang pertama kali disintesis akan terikat dengan protein  mengikat
tetanospasmin  tetanospasmin akan bekerja ke presinaptik motorneuron dan ke
sitosol  akan berjalan retrograde aksonal ke spinal cord dalam 2-14 hari setelah
infeksi  memasuki central inhibitory neuron (terdapat GABA dan glisin sbg
inhibitor)  toksin akan menghambat sintesis GABA dan glisin shg menyebabkan
spasme otot.
 (STEP 4) spasme otot bisa lokal (mengganggu sekitar luka), cephal (mengenai otot
kranial) atau umum(mengenai otot kranial dan alat gerak).
 Manifestasi klinis bisa berbeda-beda, diklasifikasikan :
o Lokal : kekakuan atau spasme menetap di otot sekitar luka atau proksimal
luka  bisa menjadi cephal atau umum
o Cephalic : trismus , dysphagia , disfungi n. cranial
o Umum: trismus, kekakuan leher , susah menelan , episthotonus, kejang
umum.
4. Faktor risiko
 Tetanus:
o Pekerjaan: beternak
o Kurang imunisasi tetanus, atau sudah imunisasi tetapi pemberian bosster
tidak tepat waktu
o Cedera atau luka yang menyebabkan bakteri masuk
o Pasien berisiko: korban kebakaran, orang2 setelah injeksi IM atau membuat
tattoo, infeksi gigi, DM, drug abuse parenteral, dan pasca operasi
o Neonatal: ibu yang tidak divaksinasi, melahirkan di rumah, pemotongan
umbilical cord yang tidak higienis
 Osteomyelitis:
o Bekas luka, bekas operasi, trauma
o Beda bakteri penyebab (S. Aureus) , paling sering terjadi pada metafisis
tulang panjang dan vertebra

Pencegahan tetanus: vaksin tetanus

5. Interpretasi hasil lab:


 Diff count:
o Neutrofil meningkat
o Limfosit turun
o Monosit sedikit meningkat
o Eosinofil normal
o Basofil normal
 Gula darah normal
 HCT normal
 Leukosit meningkat
 Platelet normal
 Hb normal
Kesimpulan  infeksi bakteri
6. Tindakan mantri : salah
 Karena mantri tidak membersihkan luka pasien.
 Obat yang diberikan tidak sesuai dengan manajemen tetanus
7. Transimisi: paling sering melalui luka mayor atau minor.
Luka tersebut bisa karena: bekas operasi, terbakar, suntikan jarum, otitis media, infeksi gigi,
gigitan binatang, aborsi, pregnancy

LO:

1. Titik tangkap tetanus toxoid dan anti tetanus serum


a. Tetanus toxoid : memicu pembentukan antigen  titik tangkap di APC
b. Anti tetanus serum: serum yang terdapat imunoglobulin yang biasanya bukan
berasal dari manusia.
Cara kerja menetralisir toksin dari tetanus mencegah exotoxin berikatan dgn
susunan saraf pusat
i. Bovin anti tetanus serum  dari lembu
ii. Equina anti tetanus serum  dari kuda
iii. HTIG  dari manusia
2. Osteomyelitis (etiologi, patfis, manajemen)
a. Etiologi
i. Penyebab terbesar: post trauma (47%)
ii. Insufisiensi vaskular (34%) : DM
iii. Penyebaran secara hematogen (19%)
b. Patofisiologi
i. Infeksi bisa didapatkan dari trauma  bakteri langsung masuk melalui luka
atau penyebaran secara hematogen
ii. Post trauma  bakteri masuk melalui daerah luka , biasanya S. Aureus –
ketika ada trauma, vaskularisasi area tsb bagus utk perbaikan jaringan 
memudahkan bakteri utk berkembang. Infeksi biasanya pada metafisis
tulang – terdapat hairpin loop (vaskularisasi)  terdapat fokus infeksi pada
metafisis  terbentuk sequestrum dan involucrum pada fokus infeksi 
ketika sudah parah, cairan tsb keluar tulang  draining sinus
iii. Pada pasien DM / imunodefisiensi  risiko terjadinya infeksi meningkat
(hematogenous)
c. Manajemen
i. Px : basic loco examination
ii. DD jika di sendi : septic arthritis , jika tidak DD : keganasan tulang
iii. Cek kondisi umum
1. Pada keganasan, kondisi umum buruk
2. Osteomyelitis parah , kondisi umum buruk
iv. Px penunjang :
1. Lab: CBC (leukositosis) , ESR(meningkat) , CRP(meningkat)
2. Kultur
3. Imaging : MRI , X-Ray
v. Sambil menunggu hasil kultur, pasien diberikan antibiotik empiris
3. Cari arti: Dim throughout grounds abdomen = terdengar redup pada perkusi abdomen
bagian bawah
4. cara membersihkan luka pada kasus tetanus
a. prinsip:
i. jangan menutup luka infeksi
ii. jangan menutup luka terkontaminasi atau luka bersih yang lebih dari 6 jam
iii. untuk mencegah infeksi luka, setelah injury kembalikan sirkulasi darah
iv. hangatkan tubuh pasien
v. berikan nutrisi dan pereda nyeri
vi. segera bersihkan dan debridement luka dalam 8 jam
vii. untuk luka dalam, berikan antibiotik profilaksis
viii. untuk penggunaan antibiotik topikal atau mencuci luka dengan larutan
antibiotik tidak direkomendasikan
b. sebelum debridement , bersihkan dulu dengan sabun dan air hangat selama 10
menit. Lalu diirigasi dengan saline. Jika butuh anestesi , berikan lidocaine 1%. Lalu
luka di-debridement  irigasi lagi dengan saline  biarkan luka terbuka atau diberi
kassa bersih.
c. Jika luka dianggap rentan tetanus, bisa diberikan anti tetanus serum atau huma
tetanus imunoglobulin
i. Luka yang lebih dari 6-8 jam
ii. Kedalam luka >1cm
iii. Luka terkontaminasi / kotor
iv. Bentuk irreguler
v. Luka iskemik
vi. Terlihat ada jaringan nekrotik dan pus pada luka
5. penegakan diagnosis tetanus
 Tetanus hanya bisa didiagnosis dari gejala klinis dan kultur (butuh waktu lama)
 Px penunjang tidak spesific untuk tetanus
o EKG hanya dibutuhkan jika ada manifestasi yg berhubungan dgn jantung
o Lab: leukositosis ringan
o Electromyography : menunjukkan aktivitas otot  pada tetanus: adanya
pemendekan sub unit otot tsb secara terus menerus dan akan menunjukkan
ketiadaan dari interval (otot tidak relaksasi)
6. prognosis tetanus
 bergantung pada derajat penyakit
o ringan: tidak ada gangguan pernapasan
o sedang: pernapasan 30x/menit , ada gangguan menelan
o berat: pernapasan 40x/menit, nadi 120x/menit
o sangat berat: gangguan otonom
 bergantung pada masa inkubasi
o semakin cepat  prognosis makin buruk
 apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik
7. cedera spinal cord dan vertebra (etiologi, patfis, manajemen)
a. etiologi: trauma vertebra (frakturcedera spinal cord bagian cervical) , inflamasi
spinal cord , HNP  lumbal 1 , blow injury
b. patofisiologi
i. HNP : ada gaya pada nukleus pulposus  hernia posterolateral  menekan
spinal cord  injury
ii. Syringomyelia : neurosyphilis  perbesaran canalis centralis dari spinal cord
 akan menekan aliran saraf sensoris atau motoris
c. Manajemen
i. Fraktur: tx supporting
ii. Fraktur dengan penekanan spinal cord  pecahan diambil dgn tindakan
operasi
iii. HNP  mengurangi tekanan pada spinal cord
1. Discectomy
2. Laminectomy
3. Menekan rasa sakit dgn corticosteroid atau analgesik. Jika tidak
parah, berikan treatment suportif (bedrest, mengurangi aktivitas,
fisioterapi, olahraga: renang)
8. bell’s palsy (etiologi, patfis, manajemen)
a. parese n. VII LMN perifer idiopatik
b. etiologi: belum diketahui – virus Herpes simplex I , Herpes zoster
c. patofisiologi: belum diketahui
i. infeksi herpes virus  latent  teraktivasi di ganglion nervus cranialis 
membuat inflamasi pada nervus  neuropraxia
d. manajemen
i. utama: eye care tetes mata supaya tidak kering
ii. corticosteroid selama 7 hari
iii. acyclovir atau valacyclovir

Anda mungkin juga menyukai