TUTORIAL 2
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
Tutor :
Winawati Eka Putri, dr., Sp.KK
STEP 2
Identifikasi Masalah
1. Apa diagnosa dan diagnosa banding dari skenario?
2. Apa etiologi dari diagnosa?
3. Apa manifestasi klinis dari diagnosa?
4. Bagaimana patofisiologi dari diagnosa?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari diagnosa?
6. Bagaimana komplikasi dan prognosis dari diagnosa?
7. Apa saja pemeriksaan meningeal sign?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan?
STEP 3
Jawaban Rumusan Masalah
1. Diagnosa Banding: - Tetanus
- Rabies
- Meningitis
- Epilepsi
- Kejang Hipokalsemi
Diagnosa: Tetanus
2. Etiologi: C. tetani
3. Manifestasi klinis: hipertonus dan spasme otot, trismus, rissus sardonikus,
otot leher kaku dan nyeri, kejang tonik, retensi urin.
4. Patofisiologi:
Toksin tetanospasmin → menghambat acethyl-choline, synaptik,
meningkatkan toksin serebral ganglion → gangguan Autonomic Nerve System
→ spasme tetanus
5. Penatalaksanaan: - Antibiotik
- Antitoksin
- Tetanus toxoid
- Anti konvulsan
6. Komplikasi: - saluran nafas
- kardiovaskuler
- tulang dan otot
Prognosis, ada beberapa faktor: masa inkubasi (makin pendek makin jelek);
umur dan onset (makin muda makin jelek)
7. Meningeal Sign: - kaku kuduk
- kerning
- brudzinsky 1 dan 2
- laseque
8. Pemeriksaan penunjang: - kultur: didapatkan Clostridium tetani
- SGOT
- CPK meninggi
- ada myoglobinuria
STEP 4
PETA KONSEP
Tn. X
ICU RSIJS
→ Epilepsi
Kejang Hipokalsemia ←
DD → Meningitis
Tetanus ←
→ Distonia
Dx: Tetanus
Penatalaksanaan
Prognosis
Hipotesis
Pasien diduga menderita Tetanus.
STEP 5
Learning Objective
1. Memahami diagnosis banding dan diagnosa dari kasus tersebut
2. Memahami etiologi dan faktor resiko dari diagnosa kasus tersebut
3. Memahami patofisiologi dari diagnosa kasus tersebut
4. Memahami manifestasi klinis dari diagnosa kasus tersebut
5. Memahami penatalaksanaan dari diagnosa pada kasus tersebut
6. Memahami komplikasi dan mengetahui prognosis dari diagnosa kasus tersebut
7. Memahami pemeriksaan meningeal sign dari diagnosa kasus tersebut
8. Memahami pemeriksaan lanjutan dari diagnosa kasus tersebut
STEP 6
Belajar Mandiri
1. Diagnosa dan Diagnosa Banding
Penyakit Gambaran Klinis
3. Patofisiologi Tetanus
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua
jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk,
luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan
dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port d’entre terdapat didaerah
kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium
tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan
kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang
diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk
perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman
tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman.
Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel
darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri.
Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.
Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan
melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap
toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap (Hendarwanto,
2001).
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu
setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka
(masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting
yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat
yang tidak steril (Hendarwanto, 2001).
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi
sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin
tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf
termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis
yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat
tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga
terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme.
Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron,
yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin,
neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,
menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap
rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang
terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut
dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme
tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis.
Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang
berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan
punggung serta kekakuan dari otot leher (Hendawanto, 2001).
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum
gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan di kelola dengan teliti (Hendawanto, 2001).
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord. Kejang pada tetanus,
mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine
(Hendawanto, 2001).
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas (Hendawanto, 2001).
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu
silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi (Hendawanto, 2001).
5. Penatalaksanaan Tetanus
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata
laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Samuels, 2009).
B. Obat-obatan
B.1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-
40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan (Samuels, 2009).
B.2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan
dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar (Samuels, 2009).
B.3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus
dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini, tabel
4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
(Samuels, 2009).
Tabel 4. : PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA
KEADAAN LUKA.
B.4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi (Samuels, 2009).
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
Kesimpulan
Dari hasil diskusi tutorial kami, dapat mengambil kesimpulan bahwa pasien
tersebut di diagnosis Tetanus dengan melihat gejala dan hasil pemeriksaan pada
pasien tersebut. Sehingga harus dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah ke keadaan yang semakin memburuk.
Daftar Pustaka