Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

ILMU PENYAKIT SARAF

TUTORIAL 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

Tutor :
Winawati Eka Putri, dr., Sp.KK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2017- 2018
KELOMPOK PENYUSUN

RIZKY PUTRI SABILLA YAHYA 6130014005

DEVI AVIANA PUTRI 6130014010

ELSA KUSUMAWATI 6130014015

AANISAH IKBAAR SAYYIDAH 6130014020

AISYAH IMAS SETIAWATI 6130014025

DANA MADYA PUSPITA 6130014030

ANASTASTIASTUTI ANISSA 6130014035

FITHROTUN NISAK 6130014040

ALDANIA FAJRIN 6130014045

NURLIDYA RIZKY 6130014050


HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial berjudul “Tetanus” telah melalui konsultasi dan disetujui


oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 9 November 2017


Pembimbing

Winawati Eka Putri, dr., Sp.KK


NPP. 16 011 1421
SKENARIO
Tn. X sudah 3 hari ini di rawat di ICU RSIJS karena kejang seluruh tubuh.
Tn. X harus diintubasi dan diinjeksi obat-obatan anti kejang. Kejang ini timbul jika
ada suara berisik. Istrinya memberitahu bahwa 2 minggu sebelumnya, Tn. X
terkena paku saat bekerja bakti dan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan untuk
mengobati luka. Luka tak kunjung sembuh, malah ditambah kejang-kejang disertai
kesulitan bernafas. Mulut menjadi kaku, sulit dibuka dan sulit untuk makan,
meskipun Tn. X masih tetap sadar.
Kata kunci
1. Kejang seluruh tubuh
2. Kejang timbul suara berisik
3. 2 minggu lalu terkena paku
4. Mengkonsumsi obat herbal
5. Kesulitan bernafas
6. Trismus
7. Sadar
Data tambahan
 Keadaan umum tampak toksik
 Kejang general
 GCS: 2X4 awal datang dan 4X6 sekarang
 Tekanan darah 140/90
 Nadi 90x/menit
 RR 28x/menit terintubasi
 Thorax Normal
 Pemeriksaan neurologjs: tanda meningeal +
 Terinkubasi
 Visus abdomen opistotonus
 Kesulitan menelan dan trismus
 Ada riwayat luka (diperban post cross insisi di telapak kaki kanan)
STEP 1
Kata kunci
1. Kejang seluruh tubuh
2. Kejang timbul suara berisik
3. 2 minggu lalu timbul suara berisik
4. Obat herbal
5. Kesulitan bernafas
6. Trismus
7. Sadar

STEP 2
Identifikasi Masalah
1. Apa diagnosa dan diagnosa banding dari skenario?
2. Apa etiologi dari diagnosa?
3. Apa manifestasi klinis dari diagnosa?
4. Bagaimana patofisiologi dari diagnosa?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari diagnosa?
6. Bagaimana komplikasi dan prognosis dari diagnosa?
7. Apa saja pemeriksaan meningeal sign?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan?

STEP 3
Jawaban Rumusan Masalah
1. Diagnosa Banding: - Tetanus
- Rabies
- Meningitis
- Epilepsi
- Kejang Hipokalsemi
Diagnosa: Tetanus
2. Etiologi: C. tetani
3. Manifestasi klinis: hipertonus dan spasme otot, trismus, rissus sardonikus,
otot leher kaku dan nyeri, kejang tonik, retensi urin.
4. Patofisiologi:
Toksin tetanospasmin → menghambat acethyl-choline, synaptik,
meningkatkan toksin serebral ganglion → gangguan Autonomic Nerve System
→ spasme tetanus
5. Penatalaksanaan: - Antibiotik
- Antitoksin
- Tetanus toxoid
- Anti konvulsan
6. Komplikasi: - saluran nafas
- kardiovaskuler
- tulang dan otot
Prognosis, ada beberapa faktor: masa inkubasi (makin pendek makin jelek);
umur dan onset (makin muda makin jelek)
7. Meningeal Sign: - kaku kuduk
- kerning
- brudzinsky 1 dan 2
- laseque
8. Pemeriksaan penunjang: - kultur: didapatkan Clostridium tetani
- SGOT
- CPK meninggi
- ada myoglobinuria
STEP 4
PETA KONSEP

Tn. X

ICU RSIJS

RPS → tampak toksisk RPD → R. terkena palu


→ tetanus → luka cross insisi
→ trismus telapak kaki kanan

→ Epilepsi
Kejang Hipokalsemia ←
DD → Meningitis
Tetanus ←
→ Distonia

Opistotonus Pemeriksaan Lanjutan Meningeal Sign +

Dx: Tetanus

Penatalaksanaan

Prognosis

Hipotesis
Pasien diduga menderita Tetanus.

STEP 5
Learning Objective
1. Memahami diagnosis banding dan diagnosa dari kasus tersebut
2. Memahami etiologi dan faktor resiko dari diagnosa kasus tersebut
3. Memahami patofisiologi dari diagnosa kasus tersebut
4. Memahami manifestasi klinis dari diagnosa kasus tersebut
5. Memahami penatalaksanaan dari diagnosa pada kasus tersebut
6. Memahami komplikasi dan mengetahui prognosis dari diagnosa kasus tersebut
7. Memahami pemeriksaan meningeal sign dari diagnosa kasus tersebut
8. Memahami pemeriksaan lanjutan dari diagnosa kasus tersebut

STEP 6
Belajar Mandiri
1. Diagnosa dan Diagnosa Banding
Penyakit Gambaran Klinis

Tetanus Kejang Tetanic, trismus, Dysfagia, Risus


Sardonicus, Adanya riwayat luka yang
dilupakan

Meningoencephalitis Demam, Trismus tidak ada, Sensorium


depresi, abnormal CSF

Rabies Ada riwayat gigitan binatang, trismus


tidak ada, hanya oropharyngeal spasme

Polio Trismus tidak ada, Paralise tipe flaccid,


abnormal CSF

Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak


ada

Status Epilepticus Sensorium Depresi

Hemorrhage satu tumor Trismus tidak ada, sensorium depresi


2. Etologi dan Faktor Resiko Tetanus
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada
manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang
tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri
lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin (Hamid,1985).
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,
bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini
dikenal dengan nama tetanus neonatorum (Hamid,1985).

3. Patofisiologi Tetanus
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua
jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk,
luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan
dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port d’entre terdapat didaerah
kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi melalui uterus
sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium
tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan
kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap
sebagai port d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang
diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan
berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk
perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman
tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman.
Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel
darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri.
Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.
Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan
melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap
toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap (Hendarwanto,
2001).
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu
setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka
(masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting
yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat
yang tidak steril (Hendarwanto, 2001).
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi
sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke
seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin
tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf
termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis
yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat
tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga
terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme.
Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron,
yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin,
neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,
menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap
rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang
terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut
dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme
tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis.
Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang
berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan
punggung serta kekakuan dari otot leher (Hendawanto, 2001).
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum
gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali
dan di kelola dengan teliti (Hendawanto, 2001).
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
 Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot
 Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord. Kejang pada tetanus,
mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine
(Hendawanto, 2001).
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas (Hendawanto, 2001).
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu
silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi (Hendawanto, 2001).

4. Manifestasi Klinis Tetanus


Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau
beberapa minggu ). Karateristik dari tetanus : (Adams et.al, 2007)
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7
hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity)
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
8. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

5. Penatalaksanaan Tetanus
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata
laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Samuels, 2009).
B. Obat-obatan
B.1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-
40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan (Samuels, 2009).
B.2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan
dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar (Samuels, 2009).
B.3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus
dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini, tabel
4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka
(Samuels, 2009).
Tabel 4. : PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA
KEADAAN LUKA.
B.4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi (Samuels, 2009).
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN

Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol)


adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan
tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih
terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai
kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis
maintenance ) (Samuels, 2009).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan
ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak
dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara
bertahap, yaitu 10-15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis
diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat
sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum
tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi (Samuels, 2009).
Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan (Samuels, 2009).
 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja.
 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika
alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
 Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
 Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus
dilakukan untuk mencegah cyanosis dan apnoe.
 Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
 Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg
setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan
dengan respirator.
Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturate secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat :
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team)
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus
dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan
yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan
dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah conjuntivitis
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8. Rontgen foto thorax
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy
dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka
dirawat dengan baik (Samuels, 2009).

6. Komplikasi dan Prognosis Tetanus


Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi
saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga
sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.
Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain
berupa takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.
3. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat
kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
4. Komplikasi yang lain:
a. Laserasi lidah akibat kejang;
b. Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
c. Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:
Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
Prognosis
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin jelek.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya
trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4. Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka
prognosanya jelek.
5. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6. Ada tidaknya komplikasi
Frekuensi kejang Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.

7. Pemeriksaan Meningeal Sign


a. RANGSANG SELAPUT OTAK
Saat terdapat peradangan pada selaput otak (meningitis) atau terdapat
benda asing (darah, pada perdarahan sub arahnoid) maka akan terjadi iritasi
meningeal dan menimbulkan rangsang selaput otak. Manifestasi subyektif dari
keadaan ini adalah berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku, fotofobia, dan
hiperakusis.Gejala lain dapat berupa tungkai cenderung fleksi, opistotonus
(kepala dikedikkan ke belakang dan punggung melengkung ke belakang
sehingga pasien berada dalam kondisi ekstensi). Cara melakukan
pemeriksaanya, yaitu pasien dalam posisi supine, masukkanlah lengan anda di
bawah punggung pasien, bila lengan dapat masuk, opistotonus (+). Keadaan
opistotonus ini sering kita dapatkan pada pada bayi dan anak dengan meningitis
atau menigitis tuberkulosa. Opistotonus adalah bentuk hiperekstensi tubuh
yang hebat kepala dan tumit melungkung kebelakang. Risus sardonicus karena
spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
Pemeriksaan: (Lumbantobing, 2014)
1. KAKU KUDUK
Cara:
Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat
kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku
kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada pasien dengan penurunan
kesadaran maka pemeriksaan sebaiknya dilakukan saat ekspirasi. Selain karena
rangsang selaput otak, kaku kuduk didapatkan pula pada miositis otot kuduk,
abses retrofaringeal, artritis cervical (Lumbantobing, 2014).
2. KERNIG
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari
135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau
kurang dari sudut 135 derajat , maka dikatakan kernig sign positif
(Lumbantobing, 2014).
3. BRUDZINSKY 1 = tanda leher, pemeriksaan ini dapat dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan kaku kuduk
CARA: (Lumbantobing, 2014)
 Tangan ditempatkan dibawah kepala pasien yg sedang berbaring,
kemudian tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada
 Tangan yang satu SEBAIKNYA ditempatkan di dada px utk mencegah
diangkatnya badan, + jika fleksi kedua kaki. Lihat ada kelumpuhan/ tdk
karena akan dapat memberikan gejala - palsu
4. BRUDZINSKY 2 = tanda tungkai kontra lateral (Lumbantobing, 2014)
Px baring telentang kemudian tungkai yg akan dirangsang difleksikan pd
sendi lutut, tungkai atas difleksikan pd sendi panggul.
+ : Gerakan reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pd sendi lutut &
panggul
b. LASEGUE
Paisen berbaring, ekstensikan kedua kaki kemudian Fleksikan sendi
panggul salah satu kaki dan kaki lain tetap ekstensi (Lumbantobing, 2014)
N : mencapai 70 derajad sblm timbul rasa sakit, pd or tua hanya 60 derajat
+ Pd Px rangsangan selaput otak, iscialgia, iritasi plexus lumbosakral (HNP
lumbalis)
8. Pemeriksaan Lanjutan
1. Pemeriksaan fisik
a. Uji spatula dapat dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes
positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan
hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji
spatula memiliki spesifi sitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan
sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif)
(Mahadewa & Maliawan, 2009).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus
digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan
jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang lebih spesifik
(Mahadewa & Maliawan, 2009).
a. Pemeriksaan darah biasanya normal maupun meningkat. Pemeriksaan
darah rutin kurang menunjang dalam diagnosis karena tidak
menunjukan nilai spesifik , kadar leukosit dapat normal maupun
meningkat.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya normal maupun meningkat.
Cairan serebrospinalis dalam batas normal walaupun kadang-kadang
meningkat akibat kontraksi otot (Mahadewa & Maliawan, 2009).
3. Pemeriksaan mikrobiologi
a. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil
kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. Spesimen
kultur diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotik . tetapi hanya
30% dari seluruh kasus tetanus yang dalam pemeriksaan mikrobiologi
terdapat clostridium tetani (Mahadewa & Maliawan, 2009).
4. Pemeriksaan radiologi
a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk
mencari adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular.
Perdarahan subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan
pemeriksaan ini.
b. CT-scan cranium merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail
mengenai adanya penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu
dalam menentukan bukti-bukti adanya infark, perdarahan, kalsifikasi
dan malformasi serebral. Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini
memberikan hasil yang penting pada kasus kejang neonatus, terutama
bila kejang terjadi asimetris.
c. MRI merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya
malformasi subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan
cranium (Ramantani, 2010).
5. Pemeriksaan lain
a. EEG (electroencephalography) yang dilakukan selama kejang akan
memperlihatkan tanda abnormal. EEG interiktal mungkin
memperlihatkan tanda normal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih
bernilai apabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk
mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk
menentukan prognosis di pada bayi. EEG sangat signifikan dalam
menentukan prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang
yang jelas. EEG sangat penting untuk memeastikan adanya kejang di
saat manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan
penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk menginterpretasikan
hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status
klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.
The International League Against Epilepsy mempertimbangkan
kriteria sebagai non epileptikus (berdasarkan gejala klinis kejang
semata) dan epileptikus (berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG).
Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG
masih mengalami kejang (Ramantani, 2010; Mahadewa & Maliawan,
2009).

Kesimpulan
Dari hasil diskusi tutorial kami, dapat mengambil kesimpulan bahwa pasien
tersebut di diagnosis Tetanus dengan melihat gejala dan hasil pemeriksaan pada
pasien tersebut. Sehingga harus dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah ke keadaan yang semakin memburuk.
Daftar Pustaka

Adams. R.D,et al : Tetanus in Principles of Neurology. McGraw-Hill,ed 2007,


1205- 1207.
Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans
Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986; 292:
40–43
Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25,
Paeditrica Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School
University of lndonesia, Sept-Okt 1985.
Hendarwanto. 2001. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta:
49- 51.
Lumbantobing, S.M. 2014. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : badan penerbit FK UI
Mahadewa, T. & Maliawan, S., 2009. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat
Daruratan Tulang Belakang. Jakarta: CV Sagung Seto.
Peter. G. Red Book, Report of the committee on infectious diseases, ed.24 th,
American Academy of Pediatrics, 1997, 518-519.
Ramantani, G., 2010. Levetiracetam: Safety and Efficacy in neonatal seizures.
European Journal of Paediatric Neurology.
Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle Brown,
and Company, Boston, 2009, 387-390.

Anda mungkin juga menyukai