Anda di halaman 1dari 235

BAB I

PERUMUSAN TEORI AKUNTANSI

PENDAHULUAN

Teori Akuntansi dalam uraian ini adalah khusus berkaitan dengan akuntansi
keuangan. Bahwa teori akuntansi konvensional, tersebut berkaitan erat dengan akuntansi
secara normatif. Karena itu, teori akuntansi akan bermanfaat bila rumusan teori tersebut
dapat dijadikan sebagai alat untuk memperdiksi suatu kejadian maupun harapan untuk
masa mendatang. Secara umum teori dapat diartikan sebagai kumpulan konsep (hipotesis)
yang dihasilkan dari suatu kegiatan atau penelitian baik secara terstruktur maupun
insidentil. Karena itu teori tersebut bersifat umum dan berlaku sama di setiap waktu dan
tempat. Teori umumnya berkenaan dengan suatu ketentuan yang telah teruji namun
bersifat dinamis. Sehingga kebenaran teori adakalanya tidak kekal karena setelah adanya
teori hasil penemuan yang baru dengan sendirinya teori dengan konsep lama akan gugur.

Demikan pula halnya dalam praktik akuntansi, bahwa fungsi dan peran teori sangat
penting terutama dalam merumuskan konsep, dalil dan postulat maupun hipotesis lainnya
agar tercipta konsistensi internal. Yang dimaksudkan adalah adanya konsep yang
mendasari suatu praktik akuntansi. Sebab teori tanpa adanya praktik maka akan cenderung
tidak konsisten. Demikian pula praktik (akuntansi) tanpa didasari konsep teori yang jelas
maka akan menyulitkan dalam penerapannya. Oleh karena itu, pada pembahasan awal ini,
fokus uraian adalah bagaimana kita mampu memahami konsep teori yang jelas dan sesuai
dengan praktik yang ada, terutama dalam entitas bisnis. Hal ini merupakan hasil kajian
dari pakar di bidangnya, khususnya yang dipraktikkan dalam dunia bisnis.

A. SEKILAS PERKEMBANGAN ILMU AKUNTANSI

Perkembangan ilmu Akuntansi diawali dengan revolusi industri tahun 1776 yang
terjadi di benua Eropa. Terutama di Inggris, akibat revolusi ini menjalar ke benua
Amerika, sehingga mampu mengubah persepsi terhadap pentingnya peranan laporan
keuangan. Yaitu melalui ilmu akuntansi, dimana manajemen dapat melakukan rekayasa
untuk membuat laporan keuangan sesuai dengan kepentingan perusahaannya. Hal ini
sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan
dan teknologi akhirnya berpengaruh juga terhadap perkembangan ilmu akuntansi.
Perkembangan ini (dimulai sejak sekitar tahun 1930-an, saat Amerika mengalami krisis
berat). Setelah melalui berbagai upaya untuk mengatasi krisis tersebut, terutama dalam
memberikan pedoman praktik akuntansi bagi entitas bisnis. Akhirnya USA membentuk
SEC (Security Exchange Commission) yang banyak membantu mendorong terciptanya
suatu prinsip akuntansi.

Setelah dunia bisnis berkembang demikian pesatnya, karena semakin besarnya


perusahaan dan ekspansi, serta pengelolaan yang memerlukan manajemen ilmiah yang
melibatkan banyak karyawan dan pihak terkait. Akhirnya pihak berkepentingan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 1


Banjarmasin)
(seperti, pegawai, banker, pemerintah, organisasi asosiasi) merasa perlu untuk
membuat suatu model pelaporan keuangan yang dapat dipercaya dan akurat, sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pada mulanya, pencatatan dalam
akuntansi hanya untuk kepentingan tertentu saja, akhirnya berkembangan sedemikian
rupa sebagaimana diuraikan pada tabel di bawah ini.
TABEL 1.1
PERKEMBANGAN ILMU AKUNTANSI DAN PRAKTIKNYA DI USA
Tahun Perkembangan Ilmu Akuntansi
1775 Mulai dikembangkan sistem pembukuan, yaitu tata buku tunggal (single entry) dan tata buku
berpasangan (double entry bookepping).
1800-an Laporan posisi keuangan (neraca) mulai dibuat dan dirasakan sebagai suatu hal yang penting sebagai
informasi bagi para pemakai terkait.
1825 Pemeriksaan keuangan (audit keuangan) mulai dikenal dan dipraktikkan
1850 Laporan Laba Rugi dianggap yang paling penting, dan menggantikan posisi Neraca.
Demikian pula ilmu penguaditan berkembang pesat hingga sekarang.
1900 Di USA mulai dikenalkan Sertifikasi Profesi, dengan sistem ujian nasional. Akuntansi harus memuat
informasi berkaitan dengan pajak, akuntansi biaya (cost accounting) dan elemennya.
1925 Terjadi perkembangan ilmu akuntansi semakin pesat, antara lain:
 Akuntansi pemerintahan dan pengawasan dana pemerintah.
 Teknik-teknik analisis biaya.
 Penyeragaman laporan keuangan.
 Perumusan Norma-norma Pemeriksaan Akuntan (NPA).
 Sistem akuntansi mulai beralih dari konvensional ke sistem EDP, yaitu dengan dikenalkannya
sistem punch card record.
 Adanya Akuntansi khusus untuk Perpajakan.
1950-1975 Periode ini, merupakan periode yang paling pesat perkembangannya, yaitu:
 Penggunaan komputer untuk pengolahan data.
 Perumusaan PABU di Indonesia/GAAP di USA.
 Penggunaan analisis Cost Revenue.
 Jasa-jasa Perpajakan, Konsultan Pajak dan Perencanaan Pajak.
 Akuntansi Manajemen, sebagai bagian dari bidang khusus akuntan manajemen.
 Munculnya jasa-jasa manajemen; sistem perencanaan dan pengawasan, serta perencanaan
manajemen, berkembang pesat.
1975-1990 Akuntansi sebagai ilmu, dan akuntan sebagai pelaksana semakin berkembang, hal ini ditandai
dengan perkembangan berikut.
 Timbulnya ilmu manajemen, yang lebih komplit, mencakup proses dan upaya-upaya untuk
mengatasi kekurangannya.
 Semakin canggihnya sistem informasi, meliputi hal:
- Model-model organisasi.
- Perencanaan organisasi.
- Teori pengambilan keputusan.
- Analisis cost benefit.
- Manajemen perubahan.
 Metoda pengwasan menggunakan teknologi komputer dan cybernatics.
 Total System Review mulai dikenal dan dipakai.
 Berkembanganya akuntansi sosial, sumber daya manusia, keprilakuan, dan akuntansi
lingkungan yang non profit.
 Muncul kajian, berkaitan dengan prilaku manusia, perencanaan menyeluruh, hubungan
antarlembaga dan person menjadi penting dan tim kerja.
1990-sekarang  Elemen laporan keuangan semakin banyak dan variasi (isu lingkungan, mutu dan
penjaminan).
 Teknologi informasi semakin penting dan mengikat (internet, sistem informasi dan on line
system).
 Berkembangnya sistem akuntansi konvensional dan sistem syariah.
 Sistem sertifikasi menjadi hal yang mutlak bagi akuntan.
 Setiap akuntan yang terregister harus meng-update kemampuannya sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan profesi.
Sumber: adaptasi dari Leo Herbert, Fall, 1972, p. 31

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 2


Banjarmasin)
Sedangkan di Indonesia, perkembangan ilmu akuntansi dan praktiknya dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu, masa kolonial dan masa kemerdekaan. Kedua
masa tersebut diikhtisarkan sebagai berikut.
TABEL 1.2
PERKEMBANGAN ILMU DAN PRAKTIK AKUNTANSI DI INDONESIA
Tahun Masa Perkembangan Ilmu Akuntansi
1602-1799 Kolonial-VOC Pembukuan sudah dipakai, dibuktikan dengan Instruksi Gubernur Jenderal
VOC tahun 1642 yang mengharuskan pengurusan pembukuan untuk semua
unit pemerintah Belanda.
1800-1942 Penjajahan Belanda  VOC dibubarkan tahun 1799.
 Banyak perusahaan Belanda berdiri, dengan system pencatatan
debit/kredit. Misalnya Perusahaan Amphion Socyteit di Batavia.
 Segmen usaha besar dikuasai oleh Belanda menggunakan sistem
pembukuan debit/kredit Belanda.
 Segmen usaha menengah dan kecil, dikuasai oleh etnis keturunan Cina,
India, dan Arab. Dengan sistem pembukuan:
- Cina; Sistem Hokkian (Amoy), Kanton, Hokka, Tio Tjoe atau Sistem
Swatow, dan Sistem Gaya Baru (new system).
- India; Sistem pembukuan Bombay.
- Arab; Sistem pembukuan Hadramaut.
 Pada masa ini, lahir akuntan pertama asli orang Indonesia, yaitu Dr.
Butari, Ak. yang meraih gelar di Negeri Belanda.
1942-1945 Penjajahan Jepang  Diadakan kursus pembukuan pola Belanda oleh Jepang, dengan
pengajarnya al. J.E.de I’duse, Ak., Dr. Butari, Ak., J.D. Masie, dan R.S.
Koesoemo Poetro.
 Jepang mengajarkan dengan huruf Kanji, namun tidak mengalami
perubahan yang berarti.
1945-sekarang Masa Kemerdekaan  Sistem tata buku berlaku adalah tata buku (sistem Belanda), yang
diajarkan di SMEP, SMEA dan SMA, hingga tahun 1950-1980-an.
 Tahun 1980-an Pemerintah RI, atas bantuan dari Bank Dunia, mengakhiri
dualisme sistem ini. Yaitu, upaya harmonisasi sistem akuntansi dari
Amerika, dengan didirikannya PPA (Pusat Pengembangan Akuntansi) di
beberapa universitas negeri, seperti UI, UGM, UNPAD dan USU.
 Didirikannya IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), tanggal 23 Desember 1957.
Berhasil menerbitkan PAI (Prinsip Akuntansi Indonesia) tahun 1973, yang
disahkan pada Kongres III tanggal 2 Desember 1973.
 Tahun 1984, PAI disempurnakan dengan membatasi pada akuntansi
keuangan.
 Komite PAI menerbitkan serangkaian Pernyataan PAI dan Interpretasinya,
tahun 1986.
 Komite PAI mengganti PAI 1984 menjadi SAK (Standar Akuntansi
Keuangan) tahun 1994, yang mengadopsi pernyataan IASC (International
Accounting Standard Committee) , terdiri dari 35 PSAK, (pertama kali
Indonesia mempunyai PSAK yang bersifat wajib dilaksanakan hingga
sekarang).
 Perolehan gelar Akuntan, semula secara otomatis pada tujuh universitas
terkemuka tersebut , seperti; UI, UGM, UNPAD, USU, UNAIR, STAN,
dan UNHAS telah dihapuskan dan harus menempuh jalur UNA (Ujian
Nasional Akuntan), tingkat dasar, terampil, dan mahir, sebagai pengganti
kursus ujian tata buku (bond A dan bond B pola Belanda). Tertuang dalam
UU No. 34/1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan.
 September 1997, dilakukan pertamakali USAP bagi mereka yang bergelar
akuntan, dan akan membuka KAP (kantor akuntan publik). Dan
diterbitkannya Kode Etik IAI.
 Selajutnya, ketentuan UNA dihapuskan dan perolehan gelar akuntan, harus
melalui PPAk (Pendidikan Profesi Akuntan) pada PTN/PTS yang
memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. PPAk
ini ditempuh untuk masa minimal satu tahun (dua semester), dan hanya
untuk lulusan S1 Prodi/Jurusan Akuntansi.
 CPA, gelar akuntan yang besifat regional/internasional (2009-sekarang).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 3


Banjarmasin)
 CA (Chartered Accountant), Akuntan berregister, gelar akuntan yang
bersifat regional, terutama untuk kawasan Asia Tenggara (2013-sekarang).
Sumber: adaptasi Harahap, 1993, p. 46-80

B. APA YANG DIMAKSUD DENGAN TEORI?

Pengertian teori sering digunakan secara berbeda. Teori dapat juga dinamakan
dengan hipotesis atau proposisi. Proposisi adalah kalimat indikatif (pernyataan tentang
konsep) yang memiliki nilai kebenaran jika dikaitkan dengan fenomena (misalnya,
benar, salah, mungkin benar). Jika proposisi dikaitkan dengan pengujian empiris,
maka proposisi tersebut disebut hipotesis. Proposisi merurut jenisnya terdiri dari dua
macam yaitu proposisi a priori dan proposisi a posteriori. Proposisi a priori adalah
pernyataan yang nilai kebenarannya dapat ditentukan dengan penalaran murni atau
dengan mengalisis dari kata-kata yang digunakan (misalnya 2+2=4; segitiga memiliki
3 sisi ). Proposisi a posteriori adalah pernyataan yang nilai kebenarannya hanya dapat
ditentukan setelah diketahui adanya realitas di dunia nyata. Misalnya: lampu lalu lintas
menyala merah berarti berhenti. Bentuk yang paling sederhana dari teori adalah
pernyataan terhadap suatu keyakinan dalam bahasa.

Braithwaite (1968, 22) menyatakan: “Teori ilmiah merupakan sistem deduktif


dimana konsekuensi yang diobservasi secara logis mengikuti hubungan antara fakta
yang diobservasi dengan seperangkat hipotesis dari sistem tersebut. Oleh karena itu,
studi mengenai scientific theory merupakan studi tentang sistem deduktif yang
digunakan dalam teori tersebut”.

Popper (1968, 21) yang lebih menekankan pada sifat empiris dari teori; Yaitu teori
adalah area yang digunakan untuk menangkap apa yang kita namakan “dunia”, untuk
merasionalkan, dan menjelaskan. Atas dasar definisi tersebut, teori dapat dikatakan
sebagai argumen logis, sedang pernyataan terhadap keyakinan baik berupa penjelasan,
prediksi atau preskripsi, merupakan suatu hipotesis. Teori semacam itu terdiri dari
seperangkat premis atau pernyataan yang dihubungkan secara logis untuk
menghasilkan suatu hipotesis.

B. PENGERTIAN TEORI AKUNTANSI

Teori Akuntansi terdiri dari dua kata, Teori dan Akuntansi. Teori tersebut
berkaitan dengan seperangkat konsep ideal yang dinamis dan berlaku umum.
Sedangkan akuntansi merupakan alat atau media untuk mencatat dan menghasilkan
suatu infomasi bagi pemakai. Baik pemakai internal maupun eksternal. Oleh karena
itu, dalam praktik bisnis, kedua unsur tersebut sangat diperlukan. Teori sebagai
landasan dalam operasional sedangkan akuntansi sebagai penerapan konsep teori
sesuai dengan kondisi dimana akuntansi tersebut dipraktikkan.
Di sisi lain, akuntansi sangat diperlukan sebagai alat atau media untuk penyedia
informasi bagi manajemen dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun dalam
konsep teoritis terkadang masih banyak pihak yang belum memahami apa akuntansi
itu? Bagaimana kedudukannya dalam teori akuntansi? Apakah akuntansi tersebut
memang didukung oleh dasar atau konsep teoritis yang jelas dan ilmiah. Namun,
secara umum para peneliti, praktisi, dan akademisi telah sepakat bahwa akuntansi
tersebut cukup kuat bukti dan didukung oleh berbagai hasil penelitian dan kajian yang
dapat digunakan sebagai dasar ilmu yang ilmiah.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 4


Banjarmasin)
Selain itu, akuntansi tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan apa yang
dilakukan oleh para akuntan, dunia usaha maupun dunia pendidikan. Karena pada
mulanya dinyatakan bahwa akuntansi adalah seni (art) mencatat, mengklasifikasikan
dan meringkas atas peristiwa atau kejadian yang dilakukan sedemikian rupa dalam
bentuk uang, atau paling tidak sifat keuangan dan menginterprestasikan hasilnya
dalam laporan keuangan. Dalam pendekatan lain, untuk dapat mengidentifikasikan
akuntansi sebagai pendekatan komunikasi, seperti yang diungkapkan oleh American
Accounting Association (AAA, 1960), menyatakan bahwa, “Akuntansi adalah proses
mengidentifikasi, mengukur, dan mengkomunikasikan informasi untuk membantu
pemakai dalam membuat keputusan atau pertimbangan yang benar”. Sementara itu,
menurut APB opinion No. 4 tahun 1970, menyatakan bahwa, “Akuntansi adalah
kegiatan jasa. Fungsinya adalah untuk memberikan informasi kuantitatif, terutama
yang bersifat keuangan, tentang entitas ekonomi yang diharapkan bermanfaat bagi
pengambil keputusan ekonomi”. Namun dalam perkembangan selanjutnya, bahwa
akuntansi tersebut tidak hanya berkaitan dengan pencatatan dan penyajian laporan
keuangan saja, tetapi bagaimana informasi yang disajikan tersebut, dapat digunakan
bagi pemakai dan mempunyai nilai kepercayaan yang tinggi. Hal ini, hanya dapat
tercipta bila dalam informasi tersebut melibatkan akuntan, terutama dalam proses
pengauditan atas laporan keuangan yang dihasilkan untuk kepentingan para pemakai
laporan keuangan.

Menurut Hendriksen, (1999) teori adalah sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang


saling terkait (coherent), yang bersifat hipotetis, konseptual dan pragmatis, yang
membentuk Kerangka referensi umum untuk bidang pengetahuan tertentu (a field of
inquiry). Sehingga atas dasar tersebut Hendriksen (1999), mendefinisikan teori
akuntansi adalah sebagai penalaran logis dalam bentuk sperangkat prinsip-prinsip yang
luas (a set of broad principles) yang memberikan Kerangka referensi umum untuk
mengevaluasi praktik akuntansi dan memberikan pedoman dalam mengembangkan
praktik dan prosedur akuntansi yang baru. Sehingga dengan demikian teori akuntansi
tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut.

a) Memiliki bentuk (body of knowledge).


b) Konsisten secara internal.
c) Menjelaskan dan atau memprediksi fenomena.
d) Menyajikan hal-hal yang ideal.
e) Sebagai referensi yang ideal untuk mengarahkan praktik akuntansi.
f) Membahas masalah-masalah dan dapat memberikan solusi.

Praktisi dan akuntan sering juga dihadapkan pada berbagai masalah yang
menyangkut transaksi yang memerlukan interpretasi atau analisis khusus seperti
analisis ekonomi, sosial, hukum, statistika, dan politik. Misalnya dalam akuntansi
terdapat karakteristik kualitatif dari informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
harus secara objektif. Namun demikian, tidak ada ukuran yang pasti terhadap kualitas
tersebut, karena akuntansi bukan bersifat matematis yang memiliki objektif mutlak.
Ditambah lagi dalam akuntansi banyak ditemukan konsep yang diajukan oleh para
teoritis yang bersifat kontradiktif bahkan tidak saling menguntungkan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 5


Banjarmasin)
Harahap (1993, 2), menyatakan bahwa teori akuntansi adalah susunan konsep,
definisi, dalil yang menyajikan secara sistematis gambaran fenomena akuntansi yang
menjelaskan hubungan antarvariabel dengan variabel lainnya dalam struktur akuntansi
dengan maksud dapat menjelaskan dan meramalkan fenomena yang mungkin akan
muncul.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sampai sekarang banyak terdapat
interpretasi yang berbeda terhadap teori dan praktik akuntansi. Godzali dan Chariri,
(2003), beberapa interpretasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Akuntansi sebagai catatan historis


Teori ini menganggap akuntansi sebagai kegiatan pencatatan transaksi suatu
perusahaan. Hal ini didasarkan pada anggapan konservatisme, objektivitas, konsistensi
dan observasi tindakan akuntan masa lalu. Catatan ini merupakan gambaran terhadap
kegiatan manajemen dalam mengelola kekayaannya secara teratur sesuai dengan
ketentuan atau prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Akuntansi sebagai bahasa


Akuntansi sering dianggap sebagai media atau sarana bahasa untuk menyampaikan
informasi karena manajemen harus mengkomunikasikan informasi yang diperoleh dan
diolahnya kepada pihak lain, seperti pemegang saham, investor, pelanggan maupun
pemerintah. Sehingga akuntansi tersebut memiliki simbol dan tata aturan tertentu
secara sistematis.

3. Akuntansi sebagai politik antar perusahaan


Teori menyatakan bahwa sistem akuntansi merefleksikan dan mendukung nilai-
nilai dan kebutuhan kelompok tertentu dan informasi akuntansi dirancang dan
digunakan sebagai sumber untuk membuat kebijakan perusahaan, khususnya dalam
proses pengambilan keputusan. Misalnya perusahaan menggunakan anggaran dalam
laporan eksternal sebagai dasar kebijakan perusahaan.

4. Penentuan standar akuntansi adalah proses politik


Atas dasar teori ini seringkali pemerintah melobi pembuat standar (standard
setting body) dengan maksud agar standar akuntansi yang dirancang dan dihasilkan
dapat melayani dan menguntungkan kebutuhannya.

5. Akuntansi sebagai mitologi


Teori ini menganggap sistem akuntansi sebagai sumber-sumber yang bersifat
sosial untuk mempertahankan mitos rasionalisasi. Dengan demikian, akuntansi akan
digunakan sebagai alat untuk kepentingan justifikasi, rasionalisasi dan legitimasi
keputusan yang akhirnya melayani kepentingan individu lainnya.

6. Akuntansi sebagai sistem informasi komunikasi dan keputusan


Teori ini memandang akuntansi sebagai sesuatu yang berorientasi tindakan seperti
mengkomunikasikan pengaruh inflasi terhadap kebutuhan para pemakai dan pengaruh
inflasi terhadap perilaku manajer dan investor dalam mengambil keputusan ekonomi.

7. Akuntansi sebagai barang ekonomi


Teori ini menganggap akuntansi sebagai seperangkat informasi yang memiliki
unsur biaya dan manfaat. Yaitu sebagai barang ekonomi yang bersifat konsisten dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 6


Banjarmasin)
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi. Komoditas ini
akan selalu digunakan sepanjang pemakai memandang perlu dan memang dibutuhkan
untuk kelancaran aktivitas bisnisnya.

8. Akuntansi sebagai komoditas sosial


Atas dasar teori ini akuntansi dipandang memengaruhi kesejahteraan atau
kemakmuran kelompok tertentu dalam masyarakat. Sehingga produk yang dihasilkan
dari akuntansi dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk semua pemakai, secara
akurat, wajar dan transparan.

9. Akuntansi sebagai ideologi dan eksploitasi


Akuntansi merupakan ideologi dari masyarakat kapitalis yang menjembatani
pemakaian teknik-teknik tertentu untuk mengeksploitasi kekayaan demi kepentingan
kelompok elit tertentu, atas beban kerugian pada masyarakat luas dan karyawan.

10. Akuntansi sebagai klub sosial.


Teori ini menganggap prinsip-prinsip, standar, dan masyarakat akuntansi muncul
untuk mempromosikan kepentingan kelompok tertentu dan sesuai dengan tujuan
akuntansi. Oleh karena itu, akuntansi dapat digunakan sebagai media untuk melakukan
komunikasi tanpa memandang kelompok sosial tertentu.

Di sisi lain, dalam praktik akuntansi umumnya bersifat dinamis dan berkaitan
dengan masalah praktik, terutama bagi kalangan profesional. Misalnya terhadap selisih
kurs valuta asing, apakah dijadikan biaya ataukah dikapitalisasi? Bagaimanakah kriteria
kapitalisasi sewaguna usaha yang seharusnya di Indonesia? Kemudian, apakah isitilah
yang tepat untuk expenses: beban, biaya ataukah kos?

Untuk menjawab permasalahan di atas dan berbagai masalah lainnya dalam praktik
akuntansi, hendaknya tidak saja didasarkan atas penalaran yang makul/masuk akal
(sound theory) tetapi juga harus didasarkan taktik cerdik (shrew tact). Dengan
demikian, penalaran yang makul dalam teori akuntansi dapat dijadikan sebagai
landasan untuk memecahkan masalah akuntansi secara beralasan atau bernalar sesuai
dengan metoda ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara taktik cerdik
sangat memadai untuk menangani masalah yang luas dan lengkap (lukap) dan
berimplikasi luas, yang tergantung pada kearifan (wisdoms) dan tilikan (insights).

Sebab pemecahan masalah akuntansi dengan taktik yang cerdik berdasarkan


pengalaman saja dapat menghambat kemajuan profesi akuntansi. Apalagi kalau praktisi
tersebut mempunyai kekuasaan untuk memutuskan sesuatu (misalnya: dalam proses
menetapkan standar akuntansi). Oleh karena itu, praktik akuntansi yang baik dan maju
hanya dapat dilandasi oleh adanya landasan teori akuntansi yang baik pula disertai
dengan penalaran yang makul (logis).

Selanjutnya dalam pengembangan dan perumusan teori akuntansi yang


berhubungan dengan praktiknya, tidak dapat lepas dari teknologi. Sebab teknologi
tersebut diperlukan dalam menentukan cara yang terbaik untuk mengerjakan atau
mencapai suatu tujuan. Untuk itulah diperlukan perekayasaan (engineering), yaitu
proses terencana dan sistematis yang melibatkan pemikiran, penalaran, dan
pertimbangan untuk memilih dan menentukan teori, pengetahuan, konsep, metoda, dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 7


Banjarmasin)
pendekatan untuk menghasilkan suatu produk secara konkrit. Demikian pula,
perekayasaan dalam akuntansi adalah berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan
umum yang melibatkan kebijakan akuntansi dan penerapan standar akuntansi yang
konsisten dan berterima umum.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 8


Banjarmasin)
GAMBAR 1.1.
STRUKTUR PEREKAYASAAN AKUNTANSI

Nilai dan
Ilmu Murni Ilmu Terapan
Tata Sosial
Teori Ekonomi, Manajemen Nilai sosial,
Sosisologi, Akuntansi, Tujuan sosial,
Psikologi dan Matematika, Sistem politik,
Matematika. Komputer, Sistem hukum,
Komunikasi, Sistem ekonomi,
Ekonomi, dan dan lain-lain
lain-lain
↓ ↓ ↓
PEREKAYASAAN AKUNTANSI
Sumber: diadaptasi dari Sudibyo, 1987, 13

Dalam perekayasaan pelaporan keuangan, akuntansi akan memanfaatkan


pengetahuan dan ilmu berbagai disiplin. Karena akuntansi dapat menjadi sebagai salah
satu pengarah untuk merekayasa pelaporan agar mempunyai kebermanfaatan dan
keefektifan produk yang dihasilkan. Pada tingkat makro produk perekayasaan berupa
‘konstitusi akuntansi’ yang sering disebut kerangka konseptual (conceptual
framework).

Bagaimanakah proses perekayasaan akuntansi tersebut dapat dilakukan berkaitan


dengan praktik akuntansi? Yaitu, proses ini dimulai dari adanya konsep pemikiran
makul dan objektif dalam membangun suatu struktur dan mekanisme pelaporan
keuangan dalam suatu entitas bisnis. Dalam upaya untuk menunjang tercapainya tujuan
entitas tersebut. Kemudian berdasarkan kebijakan yang diambil maka ditentukanlah
sistem dan media penyampaian informasi tentang segala kondisi dan kinerja keuangan
perusahaan.

Dalam lingkup makro, perekayasaan akuntansi ditemukan dalam sistem pelaporan


keuangan nasional (pusat dan daerah). Karena untuk menghasilkan suatu pelaporan
keuangan harus dibuat ketentuan dan peraturan agar dalam pelaksanaan
pertanggungjawaban dapat dilakukan sesuai dengan standar yang ada. Seperti
perlakuan terhadap aset yang dimiliki oleh pemerintah, akankah mesti berbeda dengan
aset yang dimiliki oleh non pemerintah (perusahaan/swasta).

Pemerintah dalam pengadaan atau pembelian aset berdasarkan atas anggaran


(DIPA/Proyek) yang ditentukan lebih dulu sesuai tahun anggarannya. Sehingga aset
tersebut untuk saat ini dianggap sebagai bagian dari beban pada tahun pengadaan. Dan
belum ada alokasi untuk penyusutan atau beban tertentu dalam laporan yang dibuat
oleh instansi pemerintah. Hal ini, akan berbeda dengan sektor non pemerintah
(perusahaan/swasta). Dimana setiap aset yang mempunyai masa manfaat umur
ekonomis yang lebih dari satu periode akuntansi (misalnya mobil, inventaris, dll) akan
dilakukan pencatatan dan pengalokasian secara sistematis dan diperhitungkan beban
operasional (beban penyusutan) dalam media laporan keuangan, sesuai dengan metoda
penyusutan yang dipilih oleh manajemen (entitas yang bersangkutan).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 9


Banjarmasin)
GAMBAR 1.2.
PROSES PEREKAYASAAN PELAPORAN KEUANGAN

Tujuan ekonomik dan sosial negara (entitas bisnis)


Tujuan pelaporan keuangan:


Menyediakan informasi keuangan untuk dasar
pengambilan keputusan ekonomi dan sosial

Konsep-konsep dasar apa yang relevan?


Siapa subjek pelaporan (entitas pelapor)?
Siapa yang dituju oleh informasi itu?
Informasi apa saja yang dilaporkan?
Simbol atau elemen apa yang digunakan untuk melaporkan?
Dasar pengukuran apa untuk mengkuantifikasi?
Apa saja kriteria pengakuan hasil pengukuran?
Media apa yang digunakan untuk melaporkan?
Bagaiman informasi disajikan dalam media tersebut?

Kerangka konseptual
Dijabarkan dalam standar akuntansi dan acuan lainnya sehingga membentuk PABU

Media pelaporan (bentuk, isi, dan jenis)


Informasi akuntansi (kuantitatif dan kualitatif)


Sumber: diadaptasi dari Suwarjono, 2005, 102

Berdasarkan uraian di atas, bahwa proses perekayasaan terhadap pelaporan


keuangan adalah sebagai upaya untuk menghasilkan informasi akuntansi, baik yang
bersifat kuantitatif maupun kualitatif, untuk dasar pengambilan keputusan ekonomi.
Proses tersebut akan menggunakan segala sumber daya yang ada, seperti kerangka
konseptual, PABU dan media pelaporan lainnya. Sehingga pada dasarnya teori
akuntansi, dapat disimpulkan sebagai seperangkat konsep yang logis dan dinamis
sebagai acuan dalam menjelaskan dan menyajikan hal-hal ideal berkaitan perumusan
kerangka konseptual (untuk menyusun standar akuntansi) yang berhubungan dengan
praktik akuntansi.

C. SIFAT DAN STRUKTUR TEORI AKUNTANSI

Teori akuntansi bersifat umum, komprehensif, terbuka, dan dinamis terhadap


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, teori akuntansi dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan nilai (judgment value) dalam praktik akuntansi.
Sehingga sebagai dasar pertimbangan nilai dalam praktik maka teori akuntansi dapat
digunakan sebagai acuan atau pedoman bila dalam praktik belum dirumuskan
masalahnya dalam pernyataan standar akuntansi.

Adanya fenomena baru dalam perkembangan akuntansi, seperti masalah kekayaan


intelektual dan perdagangan dunia maya (internet). Meskipun, pernyataan standar
akuntansi keuangan (PSAK) adalah bersifat wajib untuk dilaksanakan dalam
praktiknya, namun tidak jarang belum adanya pernyataan secara khusus berkaitan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 10


Banjarmasin)
dengan praktik akuntansinya. Sehingga upaya untuk mengatasi masalah ini adalah
dengan menggali kerangka konseptual, ataupun konsep teori yang relevan dan dapat
diterapkan secara langsung dalam penyajian dan penyusunan laporan keuangan.
Karena pada dasarnya teori akuntansi tersebut, berkembang secara dinamis, dan
mempunyai elemen tingkatan sesuai dengan tujuan pelaporan yang akan disajikan
kepada pemakai.

Dilihat dari strukturnya maka Teori Akuntansi tersebut terdiri dari 4 (empat)
tingkatan, yaitu:

1. Tujuan Laporan Keuangan; sebagai struktur paling atas dan merupakan tujuan
akhir yang akan dicapai dalam praktik akuntansi. Adalah menyajikan informasi
baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif, terhadap
data/informasi yang wajib maupun data pendukung yang bersifat sukarela. Baik
untuk informasi umum dan khusus dalam laporan keuangan (financial statement)
untuk kepentingan pemakai. Bahwa laporan keuangan merupakan hasil akhir
(output) dari serangkaian kegiatan pencatatan, pengklasifikasian, penyajian dan
pengungkapan atas aktivtas bisnis manajemen.
Oleh karena itu, laporan keuangan ini harus mengacu pada standar
akuntansi berterima umum. Sebab elemen yang ada dalam laporan keuangan
tersebut bersifat standard baku. Hal ini berbeda dengan pelaporan keuangan
(financial report), karena pelaporan keuangan ini merupakan laporan keuangan
plus laporan lainnya yang bersifat opsional atau pelengkap informasi, seperti
laporan segmen usaha, laporan kontijensi, dan laporan lainnya.

2. Dalil dan Konsep Teoritis Akuntansi; hal ini berkaitan dengan anggapan-
anggapan lingkungan dan sifat satuan akuntansi. Dalil dan konsep ini teoritis ini
diperolah dari tujuan yang telah dinyatakan dalam laporan keuangan di atas.
Merupakan pernyatan yang sudah diakui kebenarannya, dan bersifat umum sebagai
pedoman dasar dalam menjelaskan suatu kejadian atau fenomena.

3. Prinsip Akuntansi; menjelaskan tentang prinsip dasar akuntansi sebagai pedoman


umum yang didasarkan pada dalil dan konsep teoritis. Prinsip ini merupakan
landasan yang harus dijalankan dalam praktik akuntansi secara konsisten.

4. Teknik Akuntansi: merupakan kumpulan pelaksanaan dan kegiatan yang


merupakan aturan khusus dan berasal dari prinsip akuntansi untuk mengakui
transaksi dan kejadian khusus yang dihadapi dalam kesatuan akuntansi (entitas
bisnis). Teknik ini tergantung dari situasi dan kebijakan akuntansi yang ditempuh
oleh manajemen dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.

Jadi, keempat tingkatan tersebut merupakan rangkaian yang membentuk Teori


Akuntansi, dari hirarki dasar hingga hirarki tertinggi. Oleh karena itu, Teori Akuntansi
tersebut dalam perumusannnya harus didasarkan atas metoda ilmiah. Karena tanpa
adanya metoda ilmiah tersebut maka Teori Akuntansi akan sulit untuk dikembangkan,
terutama berkaitan dengan masalah praktik akuntansi dalam bisnis. Sehingga segala
hal yang berkaitan dengan praktik akuntansi harus dapat dideskripsikan secara jelas
dan objektif.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 11


Banjarmasin)
Hirarki sruktur Teori Akuntansi dapat digambarkan sebagai berikut.

GAMBAR 1.3.
HIRARKI STRUKTUR TEORI AKUNTANSI

TUJUAN LAPORAN KEUANGAN

DALIL AKUNTANSI KONSEP TEORITIS


AKUNTANSI

PRINSIP AKUNTANSI

TEKNIK AKUNTANSI

Dari gambar tersebut, jelas terlihat bahwa teori akuntansi mempunyai struktur yang baku
dan berfokus pada penyediaan informasi. Terutama bagi pemakai yang berkepentingan
terhadap laporan keuangan. Sedangkan konsep teoritis, terutama pada tingkatan 2 dan 3
masing-masing sebagai berikut.

Tabel 1.3.
DALIL, KONSEP TEORITIS DAN PRINSIP AKUNTANSI

DALIL AKUNTANSI KONSEP TEORITIS PRINSIP AKUNTANSI


AKUNTANSI
Entitas Bisnis Teori Kepemilikan Prinsip harga pokok
(bussines entity) (proprietory theory): Prinsip penghasilan
Assets – Liabilities = Modal Prinsip mempertemukan
pemilik
Going Concern atau Teori Kesatuan (entity theory): Prinsip objektivitas
Continuity Assets = Equaities Prinsip konsistensi
Satuan Moneter Pengungkapan selengkapnya
(unity of measure) Teori Dana (fund theory) Prinsip konservatisme
Periode Akuntansi Assets = Pembatasan Aset Prinsip materialitas
(accounting period) Keseragaman dan dapat
diperbandingkan

a. Dalil Akuntansi:
Apakah dalil tersebut? Menurut Webster Third International Dictionary, dalil adalah
suatu alasan awal yang diakui kebenarannya atau dijadikan aksiomatis berupa hipotesis

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 12


Banjarmasin)
atau asumsi pokok dalam lingkupan praktik akuntansi. Dalil disebut pula sebagai
pernyataan atau aksioma yang terbukti dengan sendirinya dan berterima umum sesuai
dengan laporan keuangan yang menggambarkan lingkungan ekonomi, sosial, dan hukum.
Menurut KBBI (2008), dalil adalah keterangan yang dijadikan bukti atau alasan untuk
kebenaran (terutama berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an). Jadi dapat disimpulkan bila dalam
kerangka ilmu pengetahuan (ilmiah) maka dalil ini merupakat postulat atau pernyataan
yang dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga dalam Teori Akuntansi dalil atau postulat
tersebut dapat dirumuskan dalam beberapa pernyataan berikut.

Dalil tersebut meliputi:


1) Entitas bisnis, dalil ini menyatakan bahwa perusahaan dianggap sebagai suatu
kesatuan usaha atau badan usaha ekonomis yang berdiri sendiri, kedudukannya terpisah
dari pemilik dan pihak lainnya yang menanamkan modalnya dalam perusahaan.
2) Keajekan, bahwa perusahaan akan berlangsung terus sampai batas waktu yang tidak
terbatas. Dalil ini menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan laporan
keuangan.
3) Satuan moneter, adalah merupakan penghargaan yang tepat (paling objektif) dalam
mengakui, mencatat, mengukur, dan melaporkan setiap transaksi maupun kegiatan
pertukaran, baik terhadap pendapatan maupun biaya atau beban. Karena fungsi
akuntansi adalah menyediakan informasi yang umumnya bersifat kuantitatif
berdasarkan realitas (objektivitas) transaksi di suatu perusahaan.
4) Periode akuntansi, berkaitan dengan periode (jangka waktu) dalam pembuatan
laporan. Umumnya periode (siklus) akuntansi berlangsung dalam satu tahun, dengan
perbandingan informasi tahun sebelumnya. Kadangkala untuk menilai kinerja internal
dibuat laporan keuangan interim (bulanan, triwulan, caturwulan maupun semesteran).

b. Konsep Teori Akuntansi


Merupakan konsep kesatuan akuntansi yang berlaku umum dalam suatu perekonomian
yang bebas (free economic liberalisme) dengan bercirikan pada kepemilikan swasta
atau pihak lainnya yang memiliki equitas.

1) Teori Kepemilikan, terdapat pemisahan kepemilikan antara pemilik dengan


pemegang saham atau investor. Dengan tujuan untuk memberikan informasi
seberapa besar kekayaan berish yang dimiliki pemilik. Dikenal dengan persamaan:
Aset-Laibilitas = Hak Pemilik. Berdasarkan persamaan ini maka pendapatan bersih
adalah kenaikan kekayaan pemilik yang ditambahkan pada modal.
2) Teori Kesatuan, sebagai suatu yang terpisah dan berbeda investor dan hak pemilik
maupun kreditur. Teori ini lebih tepat diterapkan pada perusahaan yang berbentuk
perseroan. Dan berbeda dari pemiliknya. Persamaan akuntansi yang dipakai dalam
teori ini adalah: Aset = Hak milik atau Aset = Laibilitas + Hak Pemegang Saham
(Modal).
3) Teori Dana, ini bermanfaat bagi organisasi yang bertujuan tidak mencari laba.
Dasar akuntansinya adalah adalah sekelompok aset atau pun kewajiban yang
bersangkutan berdasarkan batasan-batasan tertentu, yang disebut Dana. Teori ini
memandang satuan usaha sebagai satuan yang terdiri dari sumber ekonomi dan
kewajiban yang disertai batasan. Ada delapan jenis dana yang dikenal dalam teori
ini, yaitu:
1) the general fund, atau general fund dalam akuntansi dana adalah dana yang paling
penting dalam suatu entitas dalam akuntansi dana. Tidak seperti dana lain

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 13


Banjarmasin)
(contoh: Capital Project Fund atau Debt Service Fund), General Fund merupakan
dana yang going-conceren, apabila dana ini dibubarkan berarti suatu entitas ini
bubar.
2) special revenue fund, dana pendapatan khusus untuk menghitung keuntungan dari
sumber pendapatan khusus (kecuali kepercayaan perbelanjaan atau untuk
perencanaan modal) yang resmi atau sah dibatasi pada pengeluaran-pengeluaran
untuk tujuan tertentu.
3) debt service fund, Dana-dana jasa hutang untuk menghitung penjumlahan atau
akumulasi untuk sumber-sumber, dan pembiayaan, prinsip umum hutang jangka
panjang dan bunga.
4) capital project fund,
5) enterprise fund, Dana-dana perusahan untuk menghitung penyediaan barang-
barang dan jasa-jasa kepada khalayak yang dibiayai oleh pengguna beban.
6) trust and agency funds, Dana-dana orang kepercayaan atau agen untuk harta-harta
yang diselenggarakan oleh unit-unit pemerintah sebagai orang kepercayaan atau
agen.
7) intragovermental service funds, dan
8) special assessment funds (Belkaoui, 1985, 143-144).

c. Prinsip Akuntansi
Merupakan aturan umum yang diperoleh dari tujuan dan konsep teori akuntansi.
Prinsip akuntansi ini merupakan dasar dalam teknik akuntansi yang diterapkan untuk
penyusunan suatu laporan bisnis (laporan keuangan perusahaan).
1) Prinsip harga pokok, menggambarkan informasi yang biaya yang dikeluarkan
dapat diverifikasi berdasarkan nilai tukar barang atau jasa pada saat diperoleh oleh
perusahaan. Sehingga informasi yang disajikan mempunyai daya banding yang
lebih baik. Namun dalam prinsip ini seringkali tidak memebrikan informasi yang
relevan bagi pemakai eksternal laporan keuangan, karena pada dasarnya biaya atau
beban diukur dengan nilai sekarang untuk pelaporan keuangan. Apalagi dalam
kondisi tertentu, misalnya inflasi, deflasi, likuidasi ataupun hal lainnya yang
memerlukan penilaian.

2) Prinsip penghasilan, meliputi pengakuan dan pengukran seluruh hasil kegiatan


usaha baik bersifat utama maupun sampingan. Penghasilan ini diukur dengan nilai
barang atau jasa yang dipertukarkan dalam suatu perdagangan yang bebas.
Pengakuan penghasilan dilaporkan berdasarkan prinsip realisasi dari kejadian kritis
yang telah dilakukan, melalui kegiatan transaksi yang sah. Kejadian kritis ini
berdasarkan siklus operasional perusahaan, dapat berupa: 1) saat penjualan, 2) saat
selesainya produksi, bila harga dan kondisi stabil. dan 3) penerimaan pembayaran
setelah penjualan (dasar tunai).

3) Prinsip mempertemukan, adalah proses penandingan antara pendapatan dan


beban/biaya dalam periode yang sama, agar dapat ditentukan besarnya laba/rugi.
Ada tiga dasar penandingan yang digunakan yaitu, 1) Hubungan sebab akibat,
adalah proses penandingan antara pendapatan dan beban/biaya secara langsung
berdasarkan hubungan fisik. 2) Alokasi sistematis dan rasional, adalah proses
penandingan tidak langsung antara pendapatan dengan beban/biaya berdasarkan
ukuran periode, dan 3) Pembebanan segera, dasar ini dipakai bila dasar yang
pertama dan kedua tidak dapat dipakai.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 14


Banjarmasin)
4) Prinsip objektivitas, berkaitan dengan penyajian informasi yang dapat dipercaya
dan relevan bagi pemakai laporan keuangan. Artinya pengukuran tersebut
didasarkan pada bukti-bukti yang dapat dipercaya (dapat diuji kebenarannya). Dan
didasarkan atas kejadian ekonomi (transaksi) yang sebenarnya terjadi.

5) Prinsip keajekan (kontinyuitas), adalah berhubungan dengan penerapan suatu


prinsip yang sama dan konsisten dari satu periode ke periode berikutnya.
Penyimpangan dari prinsip ini dapat dibenarkan bila terdapat dua atau lebih
prosedur atau metoda yang serupa dan sah untuk diterapkan. Dan bila terjadi
perubahan tersebut maka harus diungkapkan dalam laporan keuangan sesuai
dengan tujuan perubahan tersebut.

6) Prinsip pengungkapan sepenuhnya, menghendaki pengungkapan yang wajar


(fair), lengkap (full) dan cukup atau memadai (adequate). Wajar berarti adanya
batas yang etis yang mengatur perlaksanaan secara layak. Lengkap berarti
penyajian informasi yang menyeluruh dan komplit. Sedangkan pengertian memadai
adalah informasi minimal yang harus dilaporkan. Pengungkapan ini menghendaki
konsep yang lukap sehingga tidak menimbulkan pernafsiran yang beraneka.

7) Prinsip konservatisme, merupakan konsep yang baik dipakai namun juga sangat
lemah terutama dalam memperlakukan eksistensi ketidakpastian dalam penilaian
pendapatan. Oleh karena itu, informasi yang disajikan dengan menggunakan
konsep ini tidak dapat dijadikan pokok interpretasi yang tepat. Karena konsep ini
cenderung ke arah mengurangi daya banding sebab tidak ada standar yang seragam
dalam pelaksanaannya.

8) Prinsip materialitas, adalah berhubungan dengan penyajian informasi tertentu yang


harus disajikan dalam laporan keuangan. Karena berkaitan dengan signifikansi
terhadap pengambilan keputusan yang akan diambil. Namun permasalahan yang
muncul adalah, bagaimana suatu informasi dikatakan materialitas dan atau tidak.
Oleh karena itu, dalam penyajian informasi dalam laporan keuangan akhirnya hanya
didasarkan pada pertimbangan profesional.

9) Prinsip keseragaman dan dapat diperbandingkan, sebagai bentuk keseragaman


dalam penyajian laporan keuangan, meliputi; konsep pengukuran, klasifikasi,
metoda dan bentuk laporan. Sehingga memudahakan bagi pemakai dalam
melakukan estimasi dan pengambilan keutusan yang tepat dalam melakukan
perbandingan terhadap kinerja manajemen.

A. KLASIFIKASI PERUMUSAN TEORI AKUNTANSI

Pembentukan suatu teori umumnya berawal dari fenomena yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Fenomena tersebut menimbulkan suatu pernyataan yang
membutuhkan jawaban. Jawaban tersebut terletak pada suatu bidang dan sering
disebut dengan epistemology, atau studi tentang penciptaan suatu pengetahuan.
Akuntansi mungkin dapat dipandang sebagai “social science“, yaitu proses
pengukuran dan masalah teknis. Oleh karena itu, dalam mereview suatu teori ilmiah

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 15


Banjarmasin)
(scientific theory), kita perlu menguji asumsi yang dibuat dengan menggunakan
metoda ilmiah dan sudut pandang yang lain.

Masalah utamanya terletak pada metoda yang digunakan apakah metoda ilmiah
(scientific) atau metoda alamiah (naturalistic). Pendekatan ilmiah lebih bersifat
terstruktur dan terencana dalam hal perancangan risetnya, dimana masalah, hipotesis
dan teknik penelitiannya dinyatakan secara jelas. Dan dapat ditelusuri dasar teori yang
mendasarinya, baik secara empirik maupun dari konsep teori yang sudah ada.

Sebaliknya metoda alamiah menolak penggunaan prosedur yang terstuktur. Secara


garis besar teori akuntasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu:
berdasarkan metoda penalaran, sistem bahasa dan tujuan perumusan, sebagai
berikut.

1. Klasifikasi menurut Metoda Penalaran.


Atas dasar metoda ini maka teori akuntansi dapat dirumuskan dari berbagai
pendekatan yang berbeda yaitu:
a. Pendekatan Deduktif (deduktive approach)
Pendekatan ini dimulai dari proposisi akuntansi dasar sampai dihasilkan prinsip
akuntansi yang rasional sebagai pedoman dan dasar untuk mengembangkan
teknik-teknik akuntansi. Secara umum langkah yang digunakan dalam
merumuskan teori akuntansi adalah sebagai berikut.
1. menentukan tujuan laporan keuangan;
2. memilih postulat akuntansi yang sesuai dengan kondisi
ekonomi, politik, dan sosiologi;
3. menentukan prinsip akuntansi; dan
4. mengembangkan teknik akuntansi (Belkoui, 1993).

Keuntungan lain dari pendekatan ini adalah kemampuan untuk merumuskan


struktur teori akuntansi yang konsisten, terkoordinasi, lengkap, dan setiap
tahapan dapat berjalan secara logis.

b. Pendekatan Induktif (induktive approach)


Bahwa dalam akuntansi, proses induktif melibatkan kegiatan observasi
mengenai data keuangan dengan berbagai unit usaha. Dari hasil observasi
tersebut, kemudian dilakukan generalisasi dan dirumuskan dalam prinsip-
prinsip akuntansi sesuai dengan hubungan yang ada. Pendekatan ini
menggunakan pola dari khusus ke umum.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah:
1. mencatat semua observasi;
2. menganalisi dan mengklasifikasikan hasil observasi,
sehingga dapat dirumuskan berbagai kesamaan dan ketidaksamaan;
3. hasil observasi kemudian digeneralisasi; dan
4. pengujian terhadap generalisasi, (Belkoui, 1993).

Tujuan yang melandasi pendekatan ini adalah untuk merumuskan konklusi


teoritis dan bersifat abstrak dan rasionalisasi dalam praktik akuntansi.
Keuntungan yang dapat diperoleh bila menggunakan pendekatan ini adalah
dalam penggunaaannya pendekatan ini berdasarkan pada kebebasan dimana

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 16


Banjarmasin)
dalam perumusan teori akuntansi tidak dibatasi oleh struktur atau model yang
telah diyakini atau disiapkan sebelumnya. Namun pendekatan ini paling tidak
memiliki dua kelemahan, yaitu:
1. Seringkali pengamat (observer) dipengaruhi oleh ide-ide yang tidak
disadari tentang jenis hubungan yang diamati dan jenis data yang
dikumpulkan.
2. Data yang digunakan dalam pengamatan cenderung berbeda antara satu
perusahan dengan perusahaan yang lain.

c.Pendekatan Etika (ethics approach)


Dalam pendekatan ini sebagai dasar utama adalah pad konsep kebenaran
(truth), keadilan (justice), kewajaran atau kejujuran (fairness). Hal ini lebih
pada penekanan moral karena dalam merumuskan teori akuntansi harus benar-
benar memperhatikan unsur tersebut bukan semata-mata pada kepentingan
praktik akuntansi (bisnis) semata. Namun harus memperhatikan faktor etika,
baik dalam bisnis, masyarkat maupun dengan lingkungan (alam sekitarnya).

d. Pendekatan Sosiologi (sosiology approach)


Pendekatan ini menekankan pada pengaruh sosial yang timbul akibat dari
teknik-teknik akuntansi terhadap kesejahteraan sosial di lingkngan tempat
akuntansi digunakan. Akuntansi sosial yang dilandasi oleh kepentingan
ekonomi yang dikembangkan, bertujuan untuk mendorong perusahaan agar
dapat manajemen dapat mempertanggungjawabkan kegiatan usahanya pada
lingkungan sosial yang dinamis. Yaitu melalui pengukuran, internalisasi dan
pengungkapan dampak sosial dari kegiatan perusahaan dalam laporan
keuangan tersebut. Pengungkapan ini lebih bersifat moral dan bertujuan untuk
menjamin kelangsungan entitas dalam jangka panjang.

e. Pendekatan Ekonomi (economic approach)


Pemilihan terhadap teknik akuntansi tergantung pada pengaruhnya terhadap
ekonomi nasional secara umum, dan lokal secara khusus. Dalam pendekatan
ini kriteria yang digunakan adalah:
1. Kebijakan dan teknik akuntansi hendaknya dapat
merefleksikan pada realitas ekonomi yang terjadi.
2. Pemilihan teknik akuntansi sangat tergantumg pada
konsekuensi ekonomi yang timbul dari penerapan teknik akuntansi
tersebut.

f. Pendekatan Eklektik (eclectical approach)


Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan akuntansi dengan cara
menggabungkan berbagai pendekatan yang selama ini digunakan. Pendekatan ini
digunakan terutama untuk menyusun atau menggali suatu informasi secara empiris
yang melibatkan semua disiplin ilmu yang terkait. Sehingga dalam pendekatan ini
memerlukan ahli atau orang yang kompeten di bidangnya.

2. Klasifikasi menurut Sistem Bahasa

Teori harus diekspresikan dalam bentuk bahasa baik yang bersifat verbal atau
matematis. Pengembangan teori itu sendiri biasanya berasal dari abstraksi dunia

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 17


Banjarmasin)
tidak nyata (imaginative), yaitu yang terdapat dalam alam pikiran manusia. Agar
abstraksi itu bermanfaat, teori akhirnya harus dihubungkan atau diwujudkan dalam
dunia nyata.

Selain itu, teori dapat pula dinyatakan dalam bentuk kata atau tanda (simbol).
Studi tentang simbol, dalam filsafat pengetahuan dikenal dengan istilah semiology.
Secara garis besar semiologi terdiri dari tiga bagian, yang dapat dikatakan sebagai
unsur teori, yaitu: Pendekatan Sintaktik, Semantik dan Pragmatik.

a. Pendekatan Sintaktik.
Sintaktik adalah studi tentang tata bahasa atau hubungan antara simbol dengan
simbol. Pertanyaan utama dalam unsur ini ada apakah kata-kata atau simbol
digunakan sacara konsisten dan logis? Sintaktik atau hubungan logis
menghubungkan konsep-konsep dasar (diwujudkan dengan simbol
lingkungan). Hubungan kelogisan dalam sintaktik berkaitan dengan aturan
bahasa yang digunakan. Unsur sintaktik dapat dianalisis dengan menggunakan
metodologi analitik yang didasarkan pada silogisme, yang memiliki
seperangkat pernyataan dan konklusi. Misalnya:
Penyataan 1 : Semua anak laki-laki adalah berjenis kelamin pria
Pernyataan 2 : Boy adalah berjenis kelamin pria
Konklusi : Susi bukan berjenis kelamin pria.

Silogisme tersebut membentuk proposisi analitik. Dalam hubungan ini


untuk membuktikan kebenaran proposisi tersebut, arti sebenarnya dari “jenis
kelamin” tidak perlu diketahui. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa
sintaktik berhubungan dengan aliran logika, bukan keakuratan proposisi
argumen dari dunia nyata. Oleh sebab itu, evaluasi sintaktik terhadap suatu
teori melibatkan evaluasi validitas (logika) suatu argumen yang membentuk
teori tersebut. Jika suatu argumen adalah valid, maka pernyataannya adalah
benar dan konklusinya pasti benar. Sebaliknya logika akan tetap valid
meskipun pernyataannya atau konklusinya tidak benar. Misalnya:

Pernyataan 1 : Semua rekening laibilitas bersaldo kredit.


Pernyataan 2 : Akumulasi depresiasi berkaitan dengan aset.
Konklusi : Akumulasi depresiasi memiliki saldo kredit.

Dari contoh di atas logikanya (hubungan sintaktik) adalah valid karena jika
kedua pernyataan tersebut benar, otomatis konklusinya juga akan benar.

b. Pendekatan Semantik
Semantik menunjukkan makna atau hubungan antara kata, tanda atau
simbuk dengan obyek yang ada didunia nyata. Pernyataan yang berkaitan
dengan unsur semantik adalah, Apakah arti dari setiap kata atau simbol yang
digunakan dalam teori? Persamaan akuntansi Aset = Laibilitas + Ekuitas pada
awalnya abstrak. Namun demikian apabila kita mengkaitkannya dengan obyek
dunia nyata, persamaan tersebut menjadi realistis. Kebenaran nilai atau
keakuratan semantik suatu pernyataan ditentukan oleh keakuratan deskriptif
yang ada di dunia nyata. Kebenaran tersebut didasarkan pada pernyataan atau
konklusi individual, bukan pada aliran logika (argument). Misalnya:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 18


Banjarmasin)
Pernyataan 1 : Semua aset dan rekening kontranya bersaldo kredit.
Pernyataan 2 : Laibilitas bukan rekening aset.
Konklusi : Laibilitas usaha bersaldo kredit.

Pernyataan pertama adalah salah dan aliran logika yang berawal dari
pernyataan ke-konklusinya adalah tidak valid. Oleh karena itu, tidak ada
pernyataan yang jelas apakah rekening non aset bersaldo debit atau kredit,
maka secara sintaktik konklusi juga akan akan mengikuti pernyataan
sebelumnya. Meskipun demikian dari hubungan semantik (dunia nyata),
konklusinya adalah benar bahwa laibilitas dagang bersaldo kredit. Atas dasar
hubungan semantik hipotesis atau teori mengandung dua unsur empiris dan
sintaktis.

c. Pendekatan Pragmatik
Hubungan pragmatis menunjukkan pengaruh kata-kata atau simbol
terhadap seseorang. Aspek pragmatis berkaitan dengan bagaimana konsep dan
praktik akuntansi memengaruhi prilaku seseorang. Hal ini beralasan karena
salah satu tujuan dari pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan untuk membantu pengambilan
keputusan ekonomi. Pendekatan populer yang digunakan untuk merumuskan
teori ini adalah model keputusan (decision model). Dasar pemikiran utama dari
model keputusan adalah didasarkan pada asumsi bahwa akuntansi harus
memenuhi kebutuhan informasi para pemakai. Pendekatan pragmatis yang lain
adalah dengan cara mengamati reaksi seseorang terhadap pesan yang sama
dengan menggunakan cara yang berbeda.

3. Klasifikasi menurut Perumusan Tujuan

Atas dasar tujuannya, teori akuntansi dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Teori Akuntansi Normatif yang memberikan rumusan terhadap praktik
akuntansi, dan Teori Akuntansi Positif yang berusaha menjelaskan dan
memprediksi fenomena yang berkaitan dengan akuntansi.

a. Teori Akuntansi Normatif (normative accounting theory).


Teori ini berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya akuntansi dipraktikkan,
dan berusaha membenarkan tentang apa yang seharusnya dipraktikkan. Teori
Akuntansi Normatif bukan dihasilkan dari penelitian empiris tetapi dihasilkan
dari kegiatan “semi penelitian”. Teori ini hanya menyenbutkan hipotesis
bagaimana akuntansi seharusnya dipraktikkan tanpa harus menguji hipotesis
tersebut. Beberapa teori akuntansi normatif ini antara lain: True Income dan
Decision-Usefulness.

True income berkonsentrasi pada penciptaan pengukur tunggal yang unik


dan benar untuk aset dan laba. Sedangkan Decision-Usefulness mempunyai
tujuan dasar agar dalam praktik akuntansi mampu untuk membantu proses
pengambilan keputusan dengan cara menyediakan data akuntansi yang relevan
dan bermanfaat. Teori ini pada dasarnya merupakan teori pengukuran

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 19


Banjarmasin)
akuntansi. Terori tersebut bersifat normatif karena didasarkan pada anggapan
berikut.
1) Akuntansi seharusnya merupakan sistem pengukuran.
2) Laba dan nilai dapat diukur secara akurat.
3) Akuntansi keuangan bermanfaat untuk pengambilan
keputusan ekonomi.
4) Pasar tidak efisien (dalam pengertian ekonomi).
5) Ada beberapa pengukuran laba yang unik.

b. Teori Akuntansi Positif (positive accounting theory)


Aliran ini pada awalnya dikenalkan oleh akademisi di University of Chicago
USA dan meluas ke berbagai universitas seperti Rochester, California,
Barkley, Stanford, dan New York. Aliran positif didasarkan pada anggapan
bahwa kekuasaan dan politik merupakan sesuatu yang tetap dan sistem sosial
dalam organisasi merupakan fenomena empiris konkrit dan bebas nilai atau
tidak tergantung pada manajer dan karyawan yang bekerja dalam entitas
tersebut.

Watts dan Zimmerman (1986) berpendapat bahwa perumusan teori harus


betul-betul memperhatikan pertimbangan nilai dan menekankan pada
kebutuhan akan pendekatan baru. Diungkapkan bahwa, tujuan dari PAT
adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktik
akuntansi. Menjelaskan berarti memberikan alasan terhadap praktik akuntansi
yang diamati. Misalnya teori akuntansi nilai historis dan mengapa perusahaan
tertentu mengubah teknik akuntansinya. Prediksi berarti teori akuntansi dapat
memberikan prakiraan atau prediksi terhadap fenomena yang diamati.
Fenomena ini tertutama berkaitan dengan paradigma baru dalam
perkembangan bisnis (meliputi teknologi dan ilmu pengetahuan), sehingga
perlu adanya konsep atau hipotesis baru yang harus mampu dirumuskan untuk
memberikan solusi pada permasalahan yang dihadapi.
Dalam PAT dikenal tiga hipotesis sebagai berikut.
1) Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypotehsis), dimana manajer
perusahaan dengan rencana bonus tertentu cenderung lebih menyukai
metoda meningkatkan laba periode berjalan.
2) Hipotesis utang (debt/equity hypothesis), bahwa makin tinggi rasio utang
ekuitas perusahaan maka makin besar kemungkinan bagi manajer untuk
menggunakan metoda akuntansi yang dapat menaikkan laba.
3) Hipotesis biaya politik (political cost hypothesis), bahwa perusahaan besar
cenderung menggunakan metoda akuntansi yang dapat mengurangi laba
periodik dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Ketiga hipotesis di atas menunjukkan bahwa PAT mengakui adanya 3 (tiga)


hubungan keagenan yaitu:

a. antara manajer dengan pemilik;


b. antara manajemen dengan kreditur; dan
c. antara manajemen dengan pemerintah.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 20


Banjarmasin)
Selanjutnya dalam PAT yang dikembangkan melalui penelitian dan dapat
dikelompokkan menjadi dua tahap yaitu:
1) Penelitian akuntansi dan perilaku dalam pasar modal. Tahap ini
menjelaskan hubungan antara pengumuman antara laba dengan reaksi
pasar terhadap harga saham. Penelitian ini dikembangkan berdasarkan
hipotesis pasar efisien dan Capital Aset Pricing Model (CAPM).
2) Penelitian dalam tahap ini dilakukan dengan maksud menjelaskan dan
memprediksi praktik akuntansi antar perusahaan yang difokuskan pada dua
alasan. Yaitu, pertama adalah alasan oportunistik yang digunakan
perusahaan dalam memilih metoda akuntansi tertentu. Alasan ini disebut
juga ex-post yaitu pemilihan metoda akuntansi dilakukan sesudah diketahui
adanya fakta. Alasan kedua alasan efisiensi berkaitan dengan metoda
akuntansi yang dipilih guna mengurangi biaya kontrak antara perusahaan
dengan pemiliknya (stakeholder). Alasan efisiensi disebut juga dengan ex-
ante karena dalam pemilihan metoda akuntansi dilakukan sebelum fakta
diketahui. Secara teoritis maka PAT telah memberikan kontribusi dalam
pengembangan akuntansi misalnya:
a. Menghasilkan pola sistematik dalam pilihan
akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik terhadap pola tersebut.
b. Memberikan Kerangka yang jelas dalam
memahami akuntansi.
c. Menunjukkan peran utama biaya kontrak dalam
teori akuntansi.
d. Menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan
memberikan Kerangka dalam memprediksi pilihan-pilihan akuntansi.
e. Mendorong penelitian yang relevan dengan
akuntansi dan menekankan pada prediksi dan penjelasan terhadap
fenomena akuntansi.

PELATIHAN

1. Apa yang dimaksud teori, jelaskan!


2. Uraikan secara ringkas perkembangan ilmu
akuntansi, di USA dan di Indonesia.
3. Apa yang dimaksud teori akuntansi, jelaskan!
4. Jelaskan beberapa interpretasi tentang akuntansi!
Termasuk dalam interpretasi manakah bila akuntansi dipandang sebagai alat penyedia
informasi?
5. Bagaimana sebenarnya konsep akuntansi
(konvensional) jika dipandang dari prinsip syariah, jelaskan.
6. Dalam merumuskan teori akuntansi akuntansi
dikenal ada tiga klasifikasi, yaitu metoda penalaran, sistem bahasa, dan tujuan
perumusan, jelaskan!
7. Mengapa struktur dalam teori akuntasi dibagi
dalam empat tingkatan, jelaskan disertai dengan contohnya masing-masing!
8. Apakah yang dimaksud dengan PAT? Jelaskan
9. Seberapa besar PAT mampu memberikan
kontribusi dalam pengembangan akuntansi, jelaskan!

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 21


Banjarmasin)
10. Bila dalam suatu perusahaan terjadi transaksi
penjualan barang dagangan secara kredit, kepada pelanggan tetap. Sedangkan
pembayaran dilakukan secara bertahap selama tiga kali angsuran, maka bagaimana
seharusnya pencatatan yang dibuat atas transaksi tersebut. Apakah dalam praktik
seperti ini termasuk dalam interpretasi akuntansi sebagai catatan historis? Jelaskan
jawaban Saudara.
11. Jelaskan struktur perekayasaan akuntansi.
12. Jelaskan perbedaan antara pelaporan keuangan
dengan laporan keuangan.
13. Mengapa untuk merumuskan suatu teori
diperlukan pendekatan yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah (alamiah), jelaskan!

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 22


Banjarmasin)
BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL
DALAM PERUMUSAN STANDAR AKUNTANSI

A. PENGERTIAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pada tingkatan teori yang tinggi, kerangka konseptual menyatakan ruang lingkup
dan tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan selanjutnya, kerangka konseptual
mengidentifikasikan dan mendefinisikan karakteristik dari informasi keuangan dan
elemen laporan keuangan. Pada tingkatan operasional yang lebih rendah, kerangka
konseptual berkaitan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan (rules) tentang
pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan dan tipe informasi yang perlu
disajikan. Agar dapat dijadikan legitimasi, maka kerangka konseptual harus didukung
oleh metodologi “ilmiah” (scientific). Hal ini berarti, bahwa prinsip-prinsip dan
aturan-aturan pengukuran tersebut harus dihasilkan dari tujuan dan konsep-konsep
yang telah didefinisikan sebelumnya. FASB (1978) mendefinisikan kerangka
konseptual sebagai suatu sistem yang saling berkaitan sebagai berikut.
“Suatu sistem yang koheren tentang tujuan (objectives) dan konsep dasar yang saling
berkaitan, yang diharapkan dapat menghasilkan standar-standar yang konsisten dan
memberi pedoman tentang jenis, fungsi dan keterbatasan akuntansi keuangan dan
pelaporan keuangan”.

Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa kata-kata seperti “sistem yang koheren”
(coherent system) dan “konsisten” (consistent) menunjukkan bahwa FASB
menggunakan Kerangka teoritis dan non-arbiter. Sedang kata “memberi pedoman“
(precribes) mendukung pemakaian pendekatan normatif. Yang berarti segala yang
tercantum dalam Kerangka konseptual tersebut, harus dipatuhi dan dilaksanakan
secara konsisten.
Ada beberapa pihak yang memandang kerangka konseptual sebagai “konstitusi”
(undang-undang), yang merupakan landasan dalam proses penentuan standar
akuntansi. Tujuannya adalah untuk memberi pedoman bagi badan yang berwenang
dalam memecahkan masalah yang muncul selama proses penentuan standar tertentu
sesuai dengan kerangka konseptual. Namun demikian tidak ada cara yang dapat
digunakan untuk membuktikan bahwa pertimbangan nilai yang dibuat oleh individu
atau kelompok yang lain. Dengan demikian keberadaan teori yang berkaitan secara
logis (koheren) untuk menyusun standar akuntansi merupakan argumen yang bersifat
konseptual.

Lebih lanjut Solomon (1983, 115) menyatakan, jika badan pembuat standar tidak
dapat menunjukkan bahwa standar yang dibuat dapat menghasilkan informasi yang
memiliki kualitas atau karakteristik yang diperlukan untuk mencapai tujuan akuntansi
yang ada, badan tersebut tidak akan mampu mempertahankan diri dari unsur
kepentingan tertentu yang dilihat standar sebagai sesuatu yang merugikan
kemakmuran. Jika suatu standar tidak dihasilkan dari kerangka konseptual, bagaimana

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 23


Banjarmasin)
mungkin kita menunjukkan bahwa standar tertentu dipandang lebih baik dari pada
yang lainnya.

B. KERANGKA KONSEPTUAL DALAM PERUMUSAN STANDAR AKUNTANSI

Secara historis bahwa hakikat kerangka konseptual


“Laporan Trueblood” menetapkan 12 tujuan dan 7 karakteristik kualitatif dari
pelaporan keuangan. Sejak dibentuknya, FASB telah menyadari akan pentingnya tujuan
laporan keuangan dalam penggunaan standar keuangan. FASB juga menyadari bahwa
keseluruhan masalah dalam penetapan standar tidak hanya bergantung pada tujuan,
namun juga pada pembukuan isi dari konsep dan tujuan. Bahkan FASB juga,
mengakui adanya penurunan kredibilitas dari pelaporan keuangan di beberapa tahun
belakangan dan memberikan kritiknya atas terjadinya situasi berikut:

1. Dua atau lebih metoda akuntansi yang diterima untuk fakta-fakta yang sama.
2. Digunakannya metoda akuntansi yang kurang konservatif daripada metoda awal
yang lebih konservatif.
3. Digunakannya pencadangan untuk meretakan fluktuasi pendapatan secara artifisial.
4. Laporan keuangan yang tidak mampu memberikan peringatan akan masalah
likuiditas yang segera terjadi.
5. Adanya optimism yang elum mendapat penyesuaian dalam estimasi jumlah yang
akan diperoleh kembali.
6. Umumnya pendanaan yang tidak tercatat di laporan posisi keuangan.
7. Digunakannya penilaian imaterialitas yang tidak benar untuk menjustifikasi tidak
diungkapkannya informasi yang kurang menguntungkan atau penyimpangan dari
standar.
8. Bentuk menjadi lebih relevan daripada substansi.

Secara umum, dalam praktik terdapat beberapa masalah dalam kerangka konseptual,
antara lain:
1. Pandangan mengenai laba atau penghasilan mana yang harus digunakan.
2. Masalah pendefinisian.
3. Konsep pemeliharaan modal atau penembangan biaya mana yang harus digunakan.
4. Metoda pengukuran mana yang harus digunakan.

Ringkasan perkembangan dari sebuah kerangka konseptual:


1. SFAC No. 1 yang menyajikan sasaran dan maksud dari akuntansi.
2. SFAC No. 2 yang melihat kararteristik-karakteristik yang membuat informasi
akuntansi berguna.
3. SFAC No. 3 yang memberikan definisi mengenai elemen-elemen dalam laporan
keuangan, seperti aktiva, kewajiban, pendapatan dan beban.
4. SFAC No. 5 yang menetapkan pengakuan dan kriteria pengukuran fundamental serta
pedoman mengenai bagaimana informasi sebaiknya secara formal dicantumkan
dalam laporan keuangan.
5. SFAC No. 6 yang menggantikan SFAC No. 3 dan memperluas ruang lingkupnya
untuk ikut mencakup organisasi-organisasi nirlaba.
6. SFAC No. 7 yang memberikan sebuah kerangka untuk menggunakan arus kas dan
menyajikan nilai-nilai sebagai basis pengukuran.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 24


Banjarmasin)
Dalam membahas kerangka konseptual, ada beberapa masalah berikut yang perlu
diatasi, yaitu:
a) Mengapa mempersoalkan perumusan “teori” akuntansi umum melalui pendekatan
kerangka konseptual?
b) Karena pada masa lalu belum memiliki standar akuntansi, maka mengapa teori
tersebut diperlukan pada masa sekarang?

Ada argumen yang menyatakan bahwa munculnya berbagai masalah dalam praktik
akuntansi sering disebabkan oleh tidak adanya teori umum. Sekalipun badan akuntansi
(standard setting body) di negara maju seperti Amerika, Australia, Inggris dan
Selandia Baru maupun di negara lainnya telah mengeluarkan berbagai standar dan
melakukan pembatasan terhadap pemilihan metoda akuntansi. Namun, praktik
akuntansi yang masih dilakukan masih terlalu terlalu premisif. Hal ini disebabkan
adanya kelonggaran terhadap pemakai prosedur akuntansi yang sesuai dengan
keinginan penyusun laporan keuangan. Kenyataan ini dapat dilihat dari laporan khusus
yang dibuat oleh salah satu komite dari New York Stock Exchange tahun 1934 sebagai
berikut (AICPA, 1934), semakin banyak alternatif praktik akuntansi, akan
menyebabkan perusahaan memiliki kebebasan untuk memilih metoda akuntansi
mereka sendiri dalam batas yang sangat luas sesuai dengan referensi yang dibuat.

Bahwa terdapat kebebasan yang mengijinkan setiap perusahaan untuk memilih


metoda akuntansi yang disukai dalam lingkup generally accepted accounting
principles (GAAP), dan tetap dipandang sebagai doktrin yang dianut banyak pihak
terutama perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Meskipun demikian, kebebasan
tersebut pada akhirnya akan mengarah pada sesuatu yang membingungkan. Atas dasar
hal itu, Badan Akuntansi Amerika Serikat (FASB/Financial Accounting Standard
Board Board) telah berupaya mengatasi hal tersebut dengan mengeluarkan berbagai
resolusi dan standar akuntansi yang didasarkan pada praktik berjalan dengan didukung
oleh alasan tertentu yang bersifat khusus (ad hoc). Namun demikian, badan tersebut
tidak mengeluarkan kesepakatan prinsip yang konsisten. Hal ini, dapat dilihat dari
kenyataan bahwa masih banyak praktik yang dipengaruhi oleh hukum, peraturan
pemerintah, tekanan dari manajer dan kepentingan politik tertentu. Accounting
Principles Board (APB), badan yang dibentuk sebelum diganti oleh Financial
Accounting Standard Board (FASB), mengakui hal tersebut ketika badan ini
mendefinisikan makna GAAP. APB (1970) menyatakan bahwa GAAP merupakan
Konvensi. Konvensi adalah prinsip-prinsip tersebut diterima secara umum
berdasarkan kesepakatan (aggrement), bukannya dihasilkan secara formal dari
seperangkat postulat atau konsep dasar. Prinsip-prnisip tersebut berkembang
berdasarkan pengalaman, alasan, kebiasaan, pemakaian dan juga kebutuhan praktik.

Sumber-sumber kekuatan yang berwenang dalam akuntansi sangat banyak


jumlahnya. Contohnya, di Amerika, Internal Revenue Service (badan yang mengurusi
pajak) menerima pemakaian Metoda Last In First Out (LIFO) untuk menilai
persediaan, dan metoda penyusutan dipercepat untuk menentukan besarnya
penyusutan aset tetap. Sikap untuk menerima metoda tersebut pada akhirnya diterima
oleh profesi akuntansi. Di samping itu, manajer perusahaan seringkali memengaruhi
akuntan untuk merancang metoda akuntansi yang dapat diterima (acceptable) untuk

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 25


Banjarmasin)
tujuan memperkecil beban pajak atau menaikkan laba yang dilaporkan. Dewan SAK di
Indonesia, Badan yang berwenang untuk menyusun dan menetapkan standar akuntansi
keuangan yang berterima umum untuk dunia bisnis dan non bisnis.

Ketidakkonsistenan dalam praktik tersebut menimbulkan suatu masalah. Gellein,


(1980) mantan anggota APB dan FASB, berkomentar bahwa tidak adanya Kerangka
konseptual yang jelas, telah menyebabkan berlakunya Hukum Gresham dalam
akuntansi: ”praktik yang jelek akan memikirkan atau mengganti praktik yang baik”
(Gellein, 1980).

Sebelum perdebatan terjadi mengenai kerangka konseptual muncul, baik FASB


maupun Australian Accounting Research Foundation (AARF) mengikuti cara-cara
yang digunakan badan profesional sebelumnya untuk mengatasi masalah akuntansi
tertentu. Karena tidak ada teori akuntansi yang dapat diterima secara umum,
rekomendasi dari badan berwenang dipandang sebagai solusi ad hoc (khusus) untuk
menekan masalah-masalah yang muncul pada waktu itu.

Dalam mereview sejarah untuk perumusan teori akuntansi, Storey (1964, 52)
menyimpulkan bahwa: “Penyelesaian yang bersifat ad hoc (khusus) yang dihasilkan
dari pendekatan play-it-by-ear jarang menghasilkan penyelesaian akhir yang
memuaskan (sekalipun mempertimbangkan dinamika akuntansi)”. Pendekatan “play-
it-by-ear” adalah pendekatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang berubah-
ubah, bukannya pendekatan yang dilakukan dengan membuat rencana yang tetap,
yang telah ditentukan sebelumnya.

Solomon, (1983, 109) berpendapat bahwa seseorang harus membuat pertimbangan


tertentu tentang jenis akuntansi yang diinginkan. Salomon menolak pemakaian standar
akuntansi yang ditetapkan dari pengamatan induktif karena hasil proses tersebut
menunjukkan kondisi sebagai berikut.

Suatu prinsip atau praktik akan dinyatakan sebagai sesuatu yang “benar” karena hal
tersebut diterima secara umum, prinsip atau praktik tersebut tidak akan diterima secara
umum karena prinsip tersebut dikatakan “benar”. Selanjutnya dinyatakan, bahwa
kerangka konseptual dapat digunakan untuk mengatasi campur tangan politik dalam
menyusun laporan keuangan yang netral. Hal ini tidak mengherankan karena kebijakan
akuntansi hanya dapat diimplementasikan dengan melakukan pertimbangan nilai
(value judgment).

C. PERUMUSAN KERANGKA KONSEPTUAL

Proses perumusan kerangka konseptual pada dasarnya merupakan proses evaluasi


yang dihasilkan dari pekerjaan atau kegiatan sebelumnya. Ada berbagai publikasi dari
kegiatan dalam perumusan kerangka konseptual, seperti tabel berikut.

Tabel 2
PERUMUSAN KERANGKA KONSEPTUAL
TAHUN 1966 S.D. 1977

JUDUL PENERBIT TAHUN

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 26


Banjarmasin)
A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT) AAA 1966
Basic Concept and Accounting Princiles Underlying Financial APB 1970
Statement of Business Enterprises (APB Opinion No. 4)
Objectives of Financial Statement (Trueblood Committee Report) AICPA 1973
Statement of Accounting Theory and Theory Acceptance (SATTA) AAA 1977

Adanya publikasi kerangka konseptual di atas sehingga akhirnya membuat FASB


melakukan evaluasi dan mempelajari kembali berbagai hasil publikasi tersebut. Sehingga
pada tahun 1976 FASB mengeluarkan “Conceptual Framework for Financial
Accounting and Reporting: Element of Financial Statement and Their Measurement” yang
dituangkan dalam “Discussion Memorandum” Kemudian setelah itu, dalam periode 1978-
1985 FASB dengan “DM” nya telah mengeluarkan 6 (enam) komponen kerangka
konseptual yang diberi nama Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) sebagai
berikut.

Tabel 3
KOMPONEN KERANGKA KONSEPTUAL

SFAC JUDUL ISI TAHUN


Objectives of Financial Reporting by Tujuan yang akan dicapai
1
Business Enterprises. dalam pelaporan keuangan 1978
Kualitas informasi yang harus
Qualitative characteristcs of Accounting
2 dipenuhi dalam pelaporan 1980
Information
keuangan agar bermanfaat
Elements of Financial Statement of Definisi dan karakteristik
3 1980
Busiiness Enterprises elemen laporan keuangan
Tujuan yang akan dicapai
Objectives of Financial Reporting by
4 dalam pelaporan keuangan 1980
Nonbusiness Oranizations
organisasi non laba
Recognition and Measurement in Kriteria pengakuan dan atribut
5 Financial Statement of Business pengukuran elemen laporan 1984
Enterprises keuangan
Element of Financial Statement a
Pengganti SFAC No. 3 dan
Replecement of FASB Concepts Statement 1985
6 berlaku juga bagi organisasi
No. 3
non laba

Ruang lingkup dan komponen kerangka konseptual menurut FASB:

1. Tujuan kerangka konseptual mengindentifikasikan pelaporan keuangan.


2. Konsep dasar (basic concept) mencakup karakteristik kualitatif dari informasi yang
dihasilkan dan definisi elemen laporan keuangan.
3. Kerangka konseptual berisi pedoman operasional yang akan digunakan akuntan
dalam menentukan dan menerapkan standar akuntansi. Secara grafis dapat dilihat pada
gambar 4 berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 27


Banjarmasin)
Gambar 4
LEVEL INFORMASI LAPORAN KEUANGAN

TUJUAN LAPORAN KEUANGAN


FIRST LEVEL
Provide information

Karakteristik Elemen
SECOND LEVEL
Kualitatif (Akun)

ASSUMPTIONS PRINCIPLES

THIRD LEVEL

Pada level pertama, berisi tujuan laporan keuangan yang menjelaskan tentang
tujuan dan dimensi laporan untuk menyediakan informasi. Hendaknya, pada level ini tidak
hanya menjelaskan isi laporan keuangan saja tetapi juga berisi: useful in investment and
credit decisions, useful in assesing future cash flows and about enterprise resources and
change in them. (SFAC No, 1).

Pada level kedua berisi karakteristik kualitatif dan elemen laporan keuangan
(akun), dimana kerangkan konseptual pada level ini terdiri dari conceptual building block
yang menjelaskan karakteristik informasi laporan keuangan tersebut dan mendefinisikan
elemen pelaporan keuangan. Building block ini membentuk jembatan yang
menghubungkan mengapa akuntansi diperlukan? Dalam karakteristik kualitatif ini
dijelaskan sebagai berikut.

a. Primary Qualitaties terdiri dari:


Relevansi (meliputi predictive value, dan timeliness), Reliabilitas (meliputi
verifiability, representational faithfulness, dan neutrallity). Selanjutnya informasi
dikatakan Relevan bila informasi tersebut memiliki manfaat, sesuai dengan
tindakan yang akan dilakukan oleh pemakai laporan keuangan. Selain itu relevansi
memilik tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut akan berbeda diantara para pemakai
dan sangat tergantung pada kebutuhan akan informasi dan kondisi tertentu yang
dihadapi para pengambil keputusan. Keandalan, merupakan kualitas informasi
yang menyebabkan pemakai informasi akuntansi sangat tergantung pada kelayakan
informasi yang diperoleh atau disajikan. Selain itu, keandalan informasi sangat
tergantung pada kemampuan suatu informasi untuk menggambarkan secara wajar
keadaan atau peristiwa yang sebenarnya terjadi (transaksi) secara objektif.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 28


Banjarmasin)
Dalam konsep Cost and Benefit Ratio, informasi dikatakan mempunyai
kendala bila dikaitkan dengan pertimbangan kos dan manfaat, karena dalam
penyajian laporan keuangan sangatlah sulit untuk dapat melakukan penilaian dan
pengukuran secara wajar terhadap manfaat dari informasi tersebut. Sedangkan
dalam konsep lain, Materialitas, adalah penyajian informasi tertentu akankah
mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap keputusan informasi, bila
informasi itu diasajikan atau ditiadakan sama sekali.

b. Secondary Qualitlities terdiri dari Comparability; (daya banding), informasi


mempunyai manfaat kalau informasi tersebut mempunyai daya banding baik antar
periode maupun antar perusahaan sedangkan Consistency (konsistensi) atau
keajegan, adalah berkaitan denganpenggunakan suatu metoda taukebijakan
akuntansi secara konsisten dan tidak dapat dilakukan perubahan tertentu setiap
periode, kecuali hal lain yang mengharuskan perusahaan untuk melakukan
perubahan atau penggantian metoda akuntansi yang digunakan. Sedangkan elemen
(akun) pelaporan terdiri dari; Assets, Liabilities, Equity, Investment by Owners,
Distribution to Owners, Comprehensive Income, Rrevenues, Expenses, Gains, and
Losses.

SFAC dalam pernyataan no. 5 menyatakan bahwa kriteria pengakuan


umumnya konsisten dengan praktik akuntansi berjalan dan tidak ada perubahan
yang mendasar. Selanjutnya SFAC tersebut melalui discussion memorandum,
mengakui ada lima (5) dasar pengukuran yang dapat digunakan untuk menentukan
nilai aset dan laibilitas sebagai berikut.
1. Biaya historis (historical cost), yaitu jumlah kas atau setara kas yang
dikeluarkan untuk memperoleh aset sampai aset tersebut siap dipakai.
2. Biaya Pengganti (replacement cost), yaitu jumlah kas atau setara kas yang
harus dibayar jika aset sejenis atau sama diperoleh pada saat sekarang (harga
wajar).
3. Biaya pasar terkini (current cost), yaitu jumlah kas atau setara kas yang
diperoleh dengan menjual aset pada saat kegiatan normal perusahaan (harga
pasar).
4. Nilai bersih yang dapat direalisasi (net reliazible cost), yaitu jumlah kas atau
setara kas yang diperoleh jika aset diharapkan akan dijual setelah dikurangi
dengan biaya langsung (harga bersih realisasi).
5. Nilai sekarang aliran kas mendatang (present value future cost), yaitu nilai
sekarang aliran kas masa mendatang yang akan diperoleh seandainya aset
dijual pada masa yang akan datang.

Pada level ketiga berisi postulat (dalil), prinsip dan keterbatasan. Level ini
merupakan pedoman operasional yang harus digunakan dalam mengukur dan
mengakui elemen laporan keuangan dan menyajikan informasi tersebut secara
wajar (fair), lengkap (full), dan cukup (adequate), sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima umum (PABU).

D. RUMUSAN KERANGKA KONSEPTUAL DI USA

Di Amerika Serikat, berbagai kritik ditujukan pada proyek konseptual. Meskipun


proyek kerangka konseptual tersebut gagal, namun paling tidak kerangka konseptual

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 29


Banjarmasin)
tersebut berjalan atau berkembang agak lambat. Analisis terhadap kritik tersebut akan
memungkinkan dalam membantu memahami alasan mengapa kerangka konseptual
tersebut berkembang lambat. Dan membantu kemungkinan pengembangannya di
Indonesia atau memperbaiki bagian-bagian yang masih memiliki kelemahan tersebut
secara terencana dan kontinyu.

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis tersebut. Pertama adalah
dengan menganggap bahwa kerangka konseptual seharusnya merupakan Pendekatan
“Ilmiah” (scientific), yang didasarkan pada metoda-metoda yang umumnya digunakan
dalam penelitian ilmiah dan Pendekatan Profesional (Godzali, 2001,147). Kedua
pendekatan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Pendekatan Ilmiah

a) Deskriptif dan Non operasional


Apabila kita memperhatikan berbagai isu dan perdebatan dalam akuntansi,
maka sering dihadapkan pada pertanyaan mendasar seperti: apakah yang
dimaksud dengan nilai (value)? Bagaimana kita menilai elemen laporan
keuangan seperti aset dan laibilitas? Salah satu tujuan dari kerangka konseptual
adalah untuk mejawab pertanyaan tersebut sehingga dapat menghindari argumen
repetative terhadap arti dari istilah elemen laporan keuangan. Seringkali yang
menjadi masalah adalah apakah kesepakatan yang dicapai dalam mendefinisikan
elemen laporan keuangan merupakan hal yang penting, seperti halnya dalam
ilmu pengetahuan murni? Gerboth (1987) berpendapat bahwa pengetahuan
substantif berasal bukan dari investigasi tetapi didasarkan pada kesepakatan
terhadap definisi atau maknanya.

b) Asumsi Ontologi dan Epistemologi


Beberapa filosofis pengetahuan, antara lain Feyerabend (1987) berpendapat
bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat absolut. Suatu pernyataan atau keyakinan
dapat diterima setelah terbukti kebenarannya sesuai dengan aturan yang
disepakati dalam metodologi ilmiah. Sedangkan, Hines (1988) berpendapat
bahwa masalah dalam realisme ekonomi atau pendekatan pengukuran yang
diadopsi oleh kerangka konseptual di USA adalah masalah yang sering dijumpai
dalam masyarakat ilmiah.

Tujuan utama pendekatan tersebut dalam ilmu pengetahuan adalah untuk


mendapatkan pemahaman tentang lingkungan sehingga memungkinkan untuk
beroperasi lebih efektif dalam lingkungan tersebut. Asumsi juga dibuat terhadap
karakteristik perilaku (maksimasi kemakmuran, kebutuhan informasi pemakai
seperti aliran kas masa mendatang dan nilai terkini, cara-cara bagaimana orang
berhubungan dengan orang lain dan masyarakat).

c) Perputaran Logika
Salah satu jujuan dari kerangka konseptual adalah memberikan pedoman
untuk praktik akuntansi di dunia bisnis. Apabila diperhatikan, kerangka
konseptual FASB kelihatan seperti mengikuti alur ilmiah, yaitu menghasilkan
prinsip-prinsip dan praktik akuntansi dari suatu teori yang digeneralisasikan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 30


Banjarmasin)
Namun kenyataannya, kerangka konseptual tersebut gagal memenuhi kriteria
pengujian.

Kerangka konseptual tersebut lebih didasarkan pada “perputaran logika”


(circularity of reasoning) yang tidak berujung pangkal dalam kerangka itu
sendiri. Kerangka konseptual berusaha untuk memecahkan perputaran logika
tersebut dengan mengacu pada pernyataan bahwa pemakai laporan keuangan
memiliki pengetahuan yang cukup dan sesuai untuk menentukan dan
menginterprestasikan laporan keuangan. Akan tetapi, kerangka konseptual tidak
memberikan pedoman khusus tentang bagaimana hal tersebut dapat dicapai.

d) Disiplin yang Tidak Ilmiah


Apakah akuntansi dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan murni (pure
science)? Kerangka konseptual mungkin mengadopsi pendekatan ilmiah.
Elemen-elemen empiris dan teoritis, dalam akuntansi didefinisikan secara bebas
(loossely). Oleh karena itu, faktor ini seringkali menjadi salah satu pertimbangan
dalam perumusan suatu teori, konsep ataupun dalil.

2) Nilai Profesional

a. Kerangka Konseptual sebagai Dokumen Kebijakan


Sebagai seperangkat pengetahuan yang digeneralisasikan, kerangka
konseptual gagal memenuhi pengujian ilmialh . Sekalipun kita beragumen bahwa
realitas hanya merupakan hasil dari konstruksi sosial, namun tidak ada proses
deduktif yang melekat dalam kerangka konseptual. Tidak dapat dipungkiri proses
tersebut sebenarnya diperlukan untuk menerapkan kerangka konseptual pada
fenomena empiris yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah realitas ke arah
tatanan yang lebih disukai sesuai dengan tujuan yang diasumsikan. Kenyataan
yang menunjukan apakah kerangka konseptual dapat dipandang sebagai model
normatif untuk praktik akuntansi, juga merupakan masalah.

Alternatif untuk memandang kerangka konseptual sebagai model normatif


yang diturunkan dari pendekatan deduktif atau ilmiah adalah dengan melihatnya
sebagai model kebijakan. Perbedaan antara teori dan kebijakan merupakan hal
yang penting karena isu kebijakan dapat dipecahkan dengan alat politik. Kerangka
konseptual FASB dapat dipandang sebagai pendekatan konstitusional yang
sebagian besar mendukung prinsip-prinsip yang telah ada.

b. Nilai Profesional dan Perlindungan Diri (self preservation)


Perlindungan diri memiliki arti pencarian terhadap kepentingan sendiri,
sementara nilai profesional mengarah pada idealisme dan ketidakegoisan
(altruism). Greenwood (1978) mengatakan bahwa organisasi profesional muncul
sebagai perwujudannn dari kesadaran terhadap pentingnya profesi dan
mempromosikan kepentingan dan tujuan kelompok tertentu.
Gerboth (1973) menegaskan bahwa keberadaan tanggung jawab
profesional menyebabkan keputusan yang diambil oleh akuntan dianggap objektif.
Gerboth menambahkan bahwa segala sesuatu yang menyangkut pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh akuntan didasarkan pada pertimbangan profesional

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 31


Banjarmasin)
yang dilandasi tanggung jawab profesional, dan bukan didasarkan pada keputusan
yang bersifat arbiter.

Agrawal (1987) menemukan bahwa berbagai isu yang menyangkut daya


banding (comparabilility) dan efektivitas biaya tidak dapat dipecahkan dengan
kerangka konseptual. Isu tersebut hanya dapat dipecahkan dengan menggunakan
pertimbangan (judgment) yang bersifat subjektif. Sementara, pertimbangan
sebagian besar juga didasarkan pada nilai-nilai profesional. Adanya
ketidaksepakatan terhadap standar akuntansi normatif juga didukung oleh Demski
(1973). Dia mengatakan bahwa atas dasar bukti yang ada, secara umum tidak ada
standar yang mampu mengindentifikasikan alternatif akuntansi yang paling disukai
tanpa mengaitkannya dengan keyakinan dan preferensi pribadi (individu)
keyakinan dan preferensi semacam itu merupakan campuran antara nilai pribadi
dan nilai profesional. Oleh karena itu, Bromwich (1980) yakin bahwa pendekatan
yang optimal dalam menentukan standar akuntansi adalah dengan mengeluarkan
seperangkat standar sepotong-potong (parsial) yang membahas masalah akuntansi
secara terpisah.

Konsep yang kurang idealis dari nilai-nilai profesional adalah konsep


otoritas dan monopoli profesional. Konsep ini sesuai dengan pendekatan konstitusi
(constitusional approach ) yang diajukan oleh Buckley (1980) dan argumen yang
dilakukan oleh profesi akuntan. Sedangkan Hines (1989) berpendapat bahwa
kemampuan profesi akuntansin untuk mempertahankan legitimasi sebagai suatu
profesi pada akhirnya akan dinilai oleh masyarakat. Hal inilah yang mendorong
munculnya kebutuhan akan kerangka konseptual. Hines juga berpendapat bahwa
apabila masyarakat memandang praktik akuntansi tidak lebih dari sekumpul
metoda akuntansi yang tidak berkaitan dan bersifat arbiter maka legitimasi sosial
terhadap profesi akuntansi akan berkurang atau bahkan bisa hilang.

E. PERUMUSAN KERANGKA KONSEPTUAL DI INDONESIA

Secara umum dapat dikatakan bahwa proyek kerangka konseptual FASB


merupakan proyek yang dianggap paling maju dalam menciptakan “konstitusi
akuntansi”. Agar efektif, kerangka tersebut harus mampu diterima secara umum,
menggambarkan perilaku kolektif, dan melindungi kepentingan publik di bidang
kegiatan yang dipengaruhi oleh pelapor keuangan. Kerangka konseptual harus dapat
dipraktikkan dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Salah satu
cara yang dapat digunakan untuk menentukan keberterimaan kerangka konseptual
adalah dengan memastikan kelayakan (soundness) penalaran yang melandasi kerangka
konseptual (Belkaoui, 1993, 213). Sementara itu, Hongren (1981) menyatakan bahwa,
Peranan utama kerangka konseptual pada akhirnya ditujukan pada usaha untuk
meningkatkan kemungkinan keberterimaan dari pernyataan tertentu yang diusulkan
atau telah ada. Semakin baik asumsi yang digunakan akan semakin lengkap analisis
yang dilakukan terhadap fakta, maka semakin besar kesempatan untuk mendapatkan
dukungan dari pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda dan mempertahankan
serta meningkatkan kekuatan FASB.

Pengujian akhir terhadap kerangka konseptual, terletak pada implementasi dan


kelangsungan hidupnya. Kasus di Amerika yang dikemukakan oleh Dopuch dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 32


Banjarmasin)
Sunder (1980). Menunjukkan bahwa kerangkan konseptual kelihatannya tidak mampu
memecahkan isu akuntansi utama atau dalam menentukan suatu standar akuntansi.
Apalagi yang berkaitan dengan perkembangan baru (fenomena) yang terjadi dalam
praktik akuntansi, sehingga harus dikaitkan pula dengan dunia usaha yang selalu
berkembang dan dinamis. Fenomena baru tersebut tentu akan memerlukan kerangka
konseptual dan akhirnya merumuskan standar akuntansi sebagai landasan untuk dapat
digunakan dan diimplementasikan apakah sebagai judgment of accounting atau acuan
(standar akuntansi) dalam pembuatan laporan keuangan perusahaan. Sejalan dengan
perkembangan dan fenomena yang terjadi, bagaimana dengan virtual market,
intellectual capital, dan masalah lainnya? Sejalan dengan semakin derasnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka hal ini harus segera dicarikan
jalan keluarnya agar tidak terjadi kerancuan, terutama dalam praktik akuntansi.
Sehingga ada kepastian acuan atau pedoman bagi kalangan dunia usaha (bisnis) untuk
kondisi di USA (dunia internasional) dalam konteks praktik dunia usaha internasional.
Secara khusus berkaitan dengan praktik bisnis di Indonesia, perumusan kerangka
konseptual ini sangat diperlukan sebagai langkah awal dalam upaya untuk
mewujudkan perumusan teori akuntansi yang betul-betul sesuai dengan kondisi dan
lingkungan bisnis di Indonesia.

Di Indonesia kerangka konseptual mulai dikenalkan sejak bulan September 1994


oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yang telah mengambil kebijakan untuk
mengadopsi kerangka konseptual yang disusun oleh International Accounting
Standard Committee (IASC) sebagai dasar dalam Kerangka dan Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK). Kebijakan ini telah disetujui oleh
Komite Prinsip Akuntansi Indonesai (PAI) Pusat pada tanggal 24 Agustus 1994 dan
disahkan oleh Pengurus Pusat IAI tanggal 7 September 1994. Kemudian IAI
memberikan nama Kerangka konseptual Indonesia dengan istilah: “Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan”. Selanjutnya kerangka ini dapat
digunakan oleh semua pihak sebagai acuan dalam menjalankan berbagai kegiatan
(perusahaan) antara lain:

a) Komite penyusun standar dalam pelaksanaan tugasnya.


b) Penyusunan laporan keuangan, untuk mengurangi masalah-masalah akuntansi
yang belum diatur dalam pernyataan standar akuntansi keungaan (PSAK).
c) Dasar auditor dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan
disusun telah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (PABU).
d) Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan.
Secara garis besar kerangka konseptual ini berisi hal-hal berikut.
1) Tujuan laporan keuangan.
2) Karakteristik kualitatif yang menetukan manfaat inforasi yang disajikan
dalam laporan keuangan.
3) Definisi, pengakuan dan pengukuran elemen-elemen yang membentuk
laporan keuangan, dan
4) Kosep modal dan pemeliharaannya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 33


Banjarmasin)
PELATIHAN

1. Apa yang disebut kerangka konseptual, jelaskan!


2. Mengapa kerangka konseptual diperlukan dalam perumusan teori
akuntansi, jelaskan!
3. Bagaimana perumusan kerangka konseptual di USA, sebut dan jelaskan
beberapa publikasi berkaitan dengan perumusan kerangka konseptual tersebut.
4. Jelaskan peranan kerangka konseptual dalam proses perumusan dan
penetapan standar akuntansi.
5. Mengapa dalam pelaporan keuangan diperlukan perekayasaan
akuntansi, jelaskan!
6. Apa yang Saudara ketahui tentang kerangka konseptual, dan bagiamana
hubungannnya dengan praktik akuntansi, jelaskan!
7. Bagaimana perumusan kerangka konseptual di Indonesia, dapatkah
menyelesaikan masalah yang dihadapi berkaitan dengan penentuan standar akuntansi,
jelaskan!
8. Secara umum kerangka konseptual tidak dapat menyelesaikan semua
masalah. Setujukah Saudara dengan pernyataan ini? Jelaskan!
9. Bilamana suatu kerangka konseptual dinyatakan mampu menyelesaikan
suatu masalah? Apakah perbedaan yang mendasar antara kerangka konseptual dengan
‘konstitusi’ dalam akuntansi.
10. Sebut dan jelaskan beberapa lembaga penyusun standar akuntansi baik untuk di USA
maupun di Indonesia.
11. Dapatkah suatu konsep virtual market dan intellectual capital dikategorikan sebagai
kerangka konseptual, jelaskan!

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 34


Banjarmasin)
BAB III

STANDAR AKUNTANSI BERTERIMA UMUM

PENDAHULUAN

Dalam praktik bisnis sering dijumpai bahwa laporan keuangan harus disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum (PABU) di Indonesia atau Generally Accepted
Accounting Principles (GAAP) di USA. Prinsip tersebut pada dasarnya akan menentukan
kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Meskipun GAAP sering
dipakai dalam praktik akuntansi, namun istilah GAAP atau PABU ini hendaknya dapat
didefinisikan secara jelas.

Ketidakjelasan definisi tersebut dapat dilihat dari berbagai pendapat. Misalnya, Grady
(1965) dalam Godzali dan Chariri (2003, 82) menunjukkan bahwa berbagai metoda
akuntansi banyak digunakan pada laporan keuangan yang dipublikasikan. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan bebas menggunakan metoda akuntansi selama metoda
tersebut dapat diterima dalam praktik bisnis. Namun demikian, melihat substansi dari
perdebatan yang selama ini muncul, GAAP didefinisikan sebagai sekumpulan konsep,
standar, prosedur, metoda, konvensi, kebiasaan dan praktik yang dipilih dan dianggap
dapat diterima secara umum dalam menyusun, menyajikan dan mengiterpretasikan
laporan keuangan dalam lingkungan tertentu.

Sumber-sumber GAAP tersebut dipandang sebagai suatu hirarki yang sering


dinamakan ‘The House of GAAP”. Otoritas dari pedoman akuntansi terletak pada berbagai
posisi resmi dari profesi dan komisi pasar modal. Tingkat pertama merupakan sumber
utama acuan sebagai dasar dalam memecahkan berbagai masalah dalam praktik akuntansi.
Apabila pada tingkat pertama tidak ditemui dan atau belum mampu digunakan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi maka dapat dicapai pada tingkat kedua dan
seterusnya.

A. PENGERTIAN STANDAR AKUNTANSI


Menurut Paul Grady (1965), menyatakan bahwa berbagai metoda akuntansi banyak
digunakan pada laporan keuangan yang dipublikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan bebas menggunakan metoda akuntansi selama metoda tersebut dapat diterima
dan disahkan dalam praktik bisnis. Namun demikian, sebagai acuan GAAP telah
merumuskan bahwa standar akuntansi merupakan sekumpulan konsep, standar, prosedur,
metoda, konvensi, kebiasaan dan praktik yang dipilih dan dianggap dapat berterima umum
dalam menyusun, menyajikan dan menginterpretasikan laporan keuangan dalam
lingkungan tertentu, (Godzali, 2003, 120).

Untuk dapat mendefiniskan istilah berterima umum adalah dengan menggambarkan


kondisi yang mendasari praktik akuntansi keuangan sehingga dapat berterima umum
(generally accepted). Misalnya suatu standar tidak lagi dipermasalahkan bila pengguna

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 35


Banjarmasin)
telah mengimplementasikan standar tersebut dalam penyajian laporan keuangannya.
Kecuali standar tersebut dinilai tidak mampu untuk mengakomodasi perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi dan bisnis, maka perlu evaluasi dan penyesuaian sesuai
dengan perkembangan tersebut. Menurut Skinner (1972), bahwa untuk memilih dan
menentukan metoda akuntansi mana yang harus dipakai atau dipilih maka sebaiknya harus
memenuhi kondisi berikut.

1) Metoda tersebut dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lingkungan.


2) Metoda tersebut dibuat dalam bentuk pengumuman (pronouncement) dari
komunitas akuntansi profesional.
3) Metoda tersebut didukung oleh para pemikir dan akademisi di bidang
akuntansi dalam bentuk tertulis.

Sejarah perkembangan akuntansi menunjukkan bahwa berbagai referensi yang berkaitan


dengan GAAP makin berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan,
opini, dan pengumuman resmi yang dikeluarkan oleh badan berwenang. Misalnya FASB
mengeluarkan Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) dan interpretasinya.
Selain itu terdapat juga opini dari APB Opinion dan penelitian akuntansi yang dikeluarkan
AICPA (American Institute Certified Public Accountant). Sedangkan sumber lainnya dari
GAAP seperti:

1) Pedoman akuntansi dan audit industri serta interpretasi akuntansi yang dikeluarkan
oleh AICPA.
2) Publikasi FASB lainnya seperti buletin teknis dan pernyataan yang dikeluarkan
(misalnya: APB Opinion No. 4).
3) Publikasi-publikasi komisi pasar modal seperti Accounting Series Release (ASR).
4) Praktik-praktik yang diakui seperti yang ditunjukkan dalam publikasi AICPA
tahunan yang dinamakan Accounting Trends and Techniques (ATT).
5) Makalah atau tulisan yang membahas isu-isu tertentu yang dikeluarkan oleh
AICPA, pernyataan konsep-konsep FASB, buku ajar (text book) atau artikel ilmiah
lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa standar akuntansi adalah sebagai pedoman umum dalam
penyusunan dan penyajian laporan keuangan secara wajar dan merupakan pernyataan
resmi berkaitan dengan masalah akuntansi tertentu. Standar ini dikeluarkan oleh badan
berwenang pembuat standar (standard setting body) dan berlaku mengikat untuk
lingkungan entitas tertentu. Standar akuntansi umumnya berisi tentang, definisi,
pengukuran atau penilaian, pengakuan, dan pengungkapan elemen laporan keuangan. Oleh
karena itu, standar akuntansi merupakan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh badan
berwenang yang mengikat maka ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip
akuntansi berterima umum. Sebab standar akuntansi akan memberikan aturan-aturan
umum dan sebagai pedoman yang bersifat praktis untuk membantu pekerjaan akuntan dan
manajemen perusahaan dalam merumuskan dan melaporkan kinerjanya dan sebagai
bagian dari:

1. Pemerian tentang masalah yang dihadapi.


2. Diskusi makul (kemungkinan menghasilkan teori mendasar) atau cara-cara
memecahkan masalah.
3. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan atau teori maka diajukan suatu

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 36


Banjarmasin)
simpulan.

Edey (1977), menyatakan berkaitan dengan subyek standar, membagi standar ke dalam
empat tipe utama, yaitu:

 Tipe 1 menyatakan bahwa akuntan harus memberitahukan kepada pemakai (users)


tentang apa yang mereka kerjakan, dengan cara apa mengungkapkan metoda dan
asumsi yang dipakai.
 Tipe 2 membantu pencapaian beberapa keseragaman penyajian tentang pernyataan
akuntansi tertentu.
 Tipe 3 menghendaki pengungkapan hal-hal khusus yang mungkin akan dapat
berpengaruh pada pertimbangan (judgment) pemakai.
 Tipe 4 menghendaki keputusan implisit atau eksplisit yang harus dibuat tentang
penilaian aset dan penentuan laba yang disetujui.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terdapat tiga istilah atau
konsep penting yang sangat berbeda maknanya, yaitu prinsip akuntansi (accounting
principles), standar akuntansi (accounting standard), dan PABU (GAAP). Prinsip
akuntansi adalah segala ideologi, gagasan, asumsi, konsep, postulat, kaidah, prosedur,
metoda, dan teknik akuntansi yang tersedia baik secara teoritis maupun praktis yang
berfungsi sebagai pengetahuan. Prinsip tersebut masih dalam bentuk gagasan yang
mungkin belum dipraktikkan, (Suwarjono, 2005; 121-122).

Standar akuntansi merupakan prinsip, metoda dan teknik akuntansi yang dipakai
sebagai acuan atas dasar Kerangka konseptual dan disusun oleh badan penyusun standar,
yang dituangkan dalam dokumen resmi di dalam suatu negara atau lingkungan tertentu.
Standar akuntansi ini dipakai sebagai pdemon utama dalam memperlakukan laporan
keuangan secara wajar. Misalnya: PSAK No.1-59 di Indonesia untuk sektor bisnis
konvensional, PSAK 100-109 untuk entitas bisnis syariah, PSAP No. 1-11 untuk
organsasi pemerintahan. Sedangkan PABU adalah sebagai bingkai pedoman yang terdiri
atas standar akuntansi dan sumber lain yang berlaku secara resmi. PABU tidak sama
dengan standar akutansi dan berbeda pula pula dengan prinsip akuntansi. Namun ketiga
hal tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat yang membentuk bingkai PABU sebagai
suatu acuan. Hubungan ketiga hal itu digambarkan sebagai berikut:

GAMBAR 5
HUBUNGAN ANTAR PRINSIP AKUNTANSI, STANDAR AKUNTANSI DAN PABU

Prinsip Akuntansi, Ketentuan yang diatur


(semua konsep, ketentuan, dalam standar akuntansi,
prosedur, metoda, dan termasuk peraturan
teknik yang tersedia badan otoratif dan
secara teoritis dan praktis) konvensi

Standar Akuntansi Praktik Sehat


(sound practices)

PABU (GAAP)
Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 37
Banjarmasin)
Sumber: diadaptasi dari Suwarjono, 2005, 123
B. STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (SAK)

Standar akuntansi keuangan merupakan pedoman umum dalam penyusunan dan


penyajian laporan keuangan. Karena standar akuntansi merupakan pernyataan resmi
berkaitan dengan masalah akuntansi tertentu, yang dikeluarkan oleh badan berwenang
(standard setting body). Standar akuntansi ini berisi tentang pernyataan-pernyataan yang
mengatur tentang perlakukan akuntansi (penyajian dan pengungkapan)
kejadian/event/transaksi ekonomi tertentu secara konsisten dan wajar. SAK ini berlaku
mengikat untuk lingkungan entitas tertentu. Standar akuntansi umumnya berisi tentang,
definisi, pengukuran atau penilaian, pengakuan, dan pengungkapan elemen laporan
keuangan.
Oleh karena itu, standar akuntansi keuangan merupakan pernyataan resmi yang
dikeluarkan oleh badan berwenang yang mengikat dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari prinsip akuntansi berterima umum. Karena dalam pernyataan standar
akuntansi keuangan tersebut berisi aturan-aturan umum dan mendasar sebagai pedoman
yang bersifat praktis untuk membantu pekerjaan akuntan dan manajemen perusahaan
dalam merumuskan dan melaporkan kinerjanya melalui laporan keuangan yang dibuat
dan sebagai bagian dari:

1. Deskrispi tentang masalah yang dihadapi.


2. Diskusi logis (kemungkinan menghasilkan teori mendasar) atau cara-
cara memecahkan masalah.
3. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan atau teori maka
diajukan suatu solusi.

C. PERANAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN

Ada beberapa alasan yang menyebabkan penentuan standar akuntansi keuangan


memiliki peranan yang penting dalam penyajian laporan keuangan. Alasan tersebut ialah:

1. Memberi informasi akuntansi kepada pemakai tentang posisi keuangan, hasil usaha
(laba), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Informasi
tersebut diasumsikan jelas, konsisten, dan dapat dipercaya (andal), dan mempunyai
daya banding (comparability).
2. Memberi pedoman dan aturan bagi akuntan publik (khususnya) untuk
melaksanakan kegiatan audit dan menguji validitas laporan keuangan.
3. Memberi data dasar bagi pemerintah tentang berbagai variabel yang dipandang
penting untuk mendukung pengenaan pajak, pembuatan regulasi (aturan),
perencanaan ekonomi, dan peningkatan efisiensi dan tujuan sosial lainnya.
4. Menghasilkan prinsip-prinsip dan teori bagi mereka yang tertarik dengan disiplin
akuntansi, (Gadzali, 2003).

Jadi, standar akuntansi keuangan diharapkan dapat menjadi pedoman bagi entitas bisnis
atau pihak lain dalam penyusunan laporan keuangan (bagi manajer), pemakai laporan
keuangan dan auditor dalam memahami dan menverifikasi informasi yang tersaji dalam
laporan keuangan tersebut. Dengan mengunakan standar akuntansi yang seragam dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 38


Banjarmasin)
konsisten, diharapkan berbagai phak yang berkepentingan tersebut dapat memahami
laporan keuangan dari sudut pandang yang sama. Sehingga tujuan laporan keuangan dapat
tercapai dan sesuai dengan keinginan para pemakai. Terutama untuk pengambilan
keputusan ekonomi. Secara umum pemakai laporan keuangan dapat dikelompokkan
sebagai berikut.

 Pemakai langsung: pemilik perusahaan (stackholder), kreditur atau pemasok,


manajemen (pengelola), pemerintah (kantor pajak), karyawan perusahaan, dan
pelanggan (customer).
 Pemakai tidak langsung: analisis dan konsultan keuangan, pasar modal,
pengacara, badan pembuat peraturan/undang-undang, agen pelaporan, asosiasi
perdagangan dan profesi, serikat pekerja, pesaing, masyarakat umum,
departemen dalam pemerintah terkait, dan organisasi non pemerintahan (LSM,
organisasi keagamaan, yayasan, maupun organisasi sektor publik lainnya).

Para pemakai laporan keuangan memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda-beda
dan bahkan bertentangan. Sehingga sebagai konsekunesinya, kedua kelompok pemakai
laporan keuangan tersebut layaknya memerlukan informasi yang berbeda pula sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan informasi relevan yang dibutuhkannya. Namun demikian,
standar akuntansi yang selama ini dibuat umumnya ditujukan untuk menyusun laporan
keuangan yang bertujuan umum (general purpose financial statement). Oleh karena
adanya perbedaan kebutuhan informasi. Belkoui (1998), menyebutkan bahwa
kemungkinan ada tiga jenis laporan keuangan, yaitu:

1. Laporan keuangan bertujuan umum (general purpose financial statement) yang


digunakan untuk memenuhi kebutuhan umum pamakai laporan keuangan.
2. Laporan keuangan bertujuan khusus (specific purpose financial statement), untuk
memenuhi pemakai laporan keuangan tertentu.
3. Pengungkapan berbeda untuk tujuan yang berbeda pula dalam menyajikan angka-
angka atau gambaran yang berbeda agar menungkinkan pemakai memiliki
informasi yang relevan.

Apapun bentuk laporan keuangan yang digunakan, beberapa pemakai laporan keuangan
bertindak sebagai kelompok yang dominan. Para pemakai berusaha untuk memengaruhi
badan penyusun standar agar mengembangkan standar akuntansi yang memenuhi tujuan
atau kepentingan mereka. Kondisi ini dipandang logis karena penentuan standar akuntansi
merupakan proses politik yang melibatkan arena, pelaku, dan bargaining power. Seperti
halnya dalam penetapan standar akuntansi sektor publik (SAKSP) menjalani proses yang
cukup panjang, dan terjadi “perebutan” standard setting body misalnya, antara organisasi
profesi (IAI) dan pemerintah (BAKUN; akhirnya dibubarkan, BPK).
Sehingga konsensus akhirnya menjadi pilihan dalam menentukan standar akuntansi
yang akan dipublikasikan. Misalnya dalam merumuskan standar akuntansi pemerintahan
(SAP), pemerintah telah membentuk Tim Pokja Evaluasi Pembiayaan dan Informasi
Keuangan Daerah (Depkeu, BPKP dan Depdagri) berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan (KMK. No. 355/KMK.07/2001). Tim ini telah berhasil dalam menyusun 11
SAP yang berlaku untuk seluruh instansi pemerintah dari pusat dan daerah dan berlaku
efektif sejak tahun 2003, khusus untuk DKI Jakarta. Sedangkan untuk seluruh Indonesia
(Pemerintah Propinsi dan Kabupaten) diberlakukan mulai tahun 2004 (melalui INPRES

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 39


Banjarmasin)
dan Kepmendagri No. 13 tahun 2006 diganti dengan No. 59 tahun 2007), sehingga dalam
laporan pertanggungjawaban pemerintahan daerah harus membuat dan melampirkan:

1. Laporan Perhitungan APBD (provinsi/kabupaten/kota/instansi/SKPD) atau


Laporan Surplus/Defisit.
2. Laporan Neraca.
3. Laporan Arus Kas.
4. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK).

D. TINJAUAN PROSES PENENTUAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN

a) Di Amerika Serikat:
1. Penentuan standar akuntansi biasanya dilakukan melalui proses yang bersifat
terbuka (due process). FASB, misalnya, dalam menentukan standar akuntansi
mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
2. Identifikasi masalah dan masalah yang muncul dicatat dalam agenda FASB.
3. Penunjukkan grup yang anggotanya terdiri dari masyarakat akuntansi dan bisnis.
Staf FASB bersama-sama dengan grup tersebut menyiapkan “Discussion
Memorandum” (DM) sesuai dengan masalah yang dihadapi. DM menyosoti
masalah utama dan alternatif yang diajukan badan.
4. DM disebarkan ke publik untuk dievakuasi selama satu periode paling lambat 60
hari.
5. Dengan pendapat dilakukan untuk membahas keunggulan dan kelemahan
berbagai alternatif/pendapat yang diajukan ke FASB.
6. Atas dasar berbagai komentar yang diterima, FASB mengeluarkan “Exposure
Draft” (ED) tentang standar akuntansi yang diajukan ke FASB. Tidak seperti
DM, ED menentukan posisi yang pasti dari FASB tentang masalah yang dibahas.
7. ED disebarluaskan ke masyarakat untuk dievaluasi paling lambat 30 hari.
8. Dengar pendapat dilakukan untuk membahas kebaikan dan kelemahan berbagai
alternatif/pendapat yang diajukan ke FASB.
9. Atas dasar berbagai komentar yang diterima, setelah pengeluaran Exposure Draft,
FASB mengambil langkah sebagai berikut.
a) Mengadopsi standar tersebut sebagai pernyataan resmi.
b) Mengajukan revisi terhadap standar yang yang diusulkan melalui prosedur
”due-process”. Menunda pengeluaran standar dan menyimpan masalah
dalam agenda.
c) Tidak mengeluarkan standar dan menghapus isu dari agenda. Biaya akan
dikeluarkan dari adanya kegiatan

Proses penentuan standar di atas didasarkan pada Misi dan Fungsi FASB yaitu: Misi
FASB: Membuat dan memperbaiki standar akuntansi dan pelaporan keuangan.

Fungsi FASB:
1. Meningkatkan manfaat pelaporan keuangan dengan fokus pada kualitas:
relevansi, reliabilitas, daya banding, dan konsistensi.
2. Menyesuaikan standar sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan
keuangan.
3. Mengevaluasi kelemahan berkaitan dengan pelaporan keuangan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 40


Banjarmasin)
4. Mempromosikan daya banding standar akuntansi internasional sejalan
dengan perbaikan kualitas pelaporan keuangan.
5. Memperbaiki pemahaman tentang sifat dan tujuan informasi yang terdapat
dalam laporan keuangan (Gadzali, 2003).

b) Di Indonesia:

Bahwa di negara kita, proses penyusunan standar keuangan mengacu pada pola yang
dikembagkan di Amerika Serikat (USA). Hal ini, diawali sejak tahun 1957, dimana
para akuntan berhasil menetapkan suatu kesepakatan yang merumuskan tentang peran
dan pentingnya profesi akuntan untuk suatu entitas. Dalam proses penyusunannya,
terjadi beberapa perubahan dan penyempurnaan Komite/Dewan SAK. Komite ini
bertugas untuk merumuskan suatu standar akuntansi sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing.

Saat ini di Indonesia, ada 3 (tiga) kelompok standar akuntansi keuangan yang telah
dihasilkan, yaitu PSAK sektor bisnis, PSAK untuk LKS (lembaga keuangan syariah)
dan SAP (standar akuntansi pemerintahan) untuk instansi pemerintah baik pusat
maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Secara rinci akan diuraikan pada
bagian akhir dari bab ini.

E. PENDEKATAN DALAM PENENTUAN STANDAR AKUNTANSI

Isu tentang pendekatan yang harus dianut dalam penentuan standar telah menjadi
fokus penelitian dan perdebatan. Kebutuhan terhadap standar akuntansi itu sendiri
sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat kontroversial. Misalnya, beberapa peneliti
berpendapat bahwa dalam mekanisme pasar, telah terdapat media yang efisien dalam
menyediakan informasi keuangan yang diperlukan pemakai. Akibatnya, standar akuntansi
tidak diperlukan lagi guna memperbaiki kualitas informasi dalam proses pengambilan
keputusan. Pendukung regulasi menggunakan argumen kepentingan publik (public
interest). Pada dasarnya, kegagalan pasar atau kebutuhan untuk mencapai tujuan sosial,
akan memaksa dilakukannya regulasi akuntansi. Kegagalan pasar dapat terjadi karena
faktor berikut.

1. Keengganan perusahaan untuk mengungkapkan informasi karena perusahaan


tersebut merupakan pemasok yang memonopoli informasi.
2. Adanya kesalahan/kecurangan yang disengaja (fraud).
3. Informasi akuntansi tidak dihasilkan dengan jumlah yang cukup sebagai barang
milik publik.

Adanya kegagalan pasar tersebut pada akhirnya menimbulkan asimetri informasi,


dimana ada pihak yang banyak memiliki informasi, sementara pihak lain tidak memiliki
informasi tertentu. Kebutuhan untuk mencapai tujuan sosial juga mendukung perlunya
regulasi akuntansi. Tujuan tersebut mencakup kewajaran pelaporan, simetri informasi dan
perlindungan terhadap investor.

Sementara perdebatan mengenai manfaat dan keterbatasan regulasi terus berlangsung,


penentuan standar merupakan kenyataan dalam lingkungan akuntansi yang tidak dapat
dihindari. Kebaikan dan kelemahan berbagai bentuk penentuan standar, baik pendekatan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 41


Banjarmasin)
pasar bebas maupun regulasi, mungkin dapat dipandang sebagai cara untuk memperbaiki
proses penentuan standar. Berikut ini dibahas dua perdekatan yang dapat digunakan dalam
penentuan standar akuntansi, yaitu:

1. Pendekatan Pasar Bebas.


Pendekatan pasar bebas dilandasi asumsi dasar bahwa informasi akuntansi
merupakan komoditas ekonomi serupa dengan barang atau jasa yang lain. Atas
dasar asumsi tersebut, jumlah informasi akuntansi yang disajikan akan dipengaruhi
oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Permintaan muncul dari pemakai yang
berkepentingan dengan informasi, sedang penawaran dilakukan oleh perusahaan
dalam bentuk laporan keuangan. Melalui interaksi antara kekuatan pasar tersebut,
akan dicapai suatu keseimbangan (equilibrium) dimana jumlah informasi yang
optimal diungkapkan pada harga yang optimal. Pada saat informasi tertentu
diminta, pasar akan menghasilkan informasi tersebut apabila harga yang
ditawarkan tepat. Konsekuensinya, pasar dipandang sebagai mekanisme yang ideal
untuk menentukan jenis informasi yang harus diungkapkan dan kelompok
penerima informasi. Dengan demikian standar akuntansi akan menentukan
informasi yang dihasilkan dan siapa yang akan menerima informasi tersebut (Kam,
1990, 549-550). Pendukung pendapat ini juga berpendapat bahwa standar
“mandatory” merupakan sesuatu yang tidak diinginkan karena standar tersebut
cenderung menghasilkan informasi yang berlebihan, sementara biaya untuk
menghasilkan informasi tersebut tidak tergantung oleh pemakai.

2. Pendekatan Regulasi.
Pendukung pendekatan regulasi berpendapat bahwa kegagalan pasar atau asimetri
informasi berkaitan dengan penyajian informasi keuangan bagi pihak
berkepentingan, dapat menurunkan kepercayaan investor. Masalah ini
kemungkinan dapat diatasi melalui regulasi. Penelitian juga menunjukkan bahwa
regulasi khususnya melalui standar akuntansi, bermanfaat bagi penyaji, auditor,
dan agen regulasi. Hal ini disebabkan regulasi memberikan pedoman yang jelas
tentang model pelaporan, verifikasi dan evaluasi tujuan (Rahman, 1992). Para
pendukung regulasi beranggapan bahwa kegagalan pasar dapat terjadi karena
berbagai faktor. Faktor tersebut tersebut terjadi karena:

a. Pengendalian monopoli terhadap informasi oleh manajemen.


Hipotesis ini menyatakan bahwa akuntan memiliki pengaruh monopoli terhadap
data yang disajikan dan digunakan oleh pasar. Akibatnya, pasar tidak dapat
membedakan antara pengaruh riil dengan pengaruh akuntansi, dan mungkin akan
disesuaikan oleh perubahan-perubahan akuntansi yang ada (Ball, 1972, 4).
b. Hipotesis Investor Naif. Hipotesis ini menyatakan bahwa investor yang tidak
mengetahui beberapa teknik dan transformasi akuntansi yang komplek, mungkin
akan “dibodohi” oleh pemakai teknik tertentu yang digunakan perusahaan.
Akibatnya mereka tidak mampu menyesuaikan proses pengambilan keputusan
sesuai dengan berbagai prosedur akuntansi yang berbeda.
c. Fiksasi Fungsional (functional fixation). Pada kondisi tertentu, investor mungkin
tidak mampu mengubah keputusan mereka dalam merespon perubahan proses
akuntansi, sesuai dengan data baru yang ada. Kegagalan tersebut sering dinamakan
functional fixation.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 42


Banjarmasin)
d. Angka-angka yang menyesatkan. Karena akuntansi didasarkan sepenuhnya pada
penilaian aset dan berbagai prosedur alokasi yang arbitrer dan incorrigible (tidak
dapat diperbaiki), output akuntansi mungkin tidak bermakna dan menyesatkan
dalam proses pengambilan keputusan.
e. Keragaman Prosedur. Adanya fleksibilitas dalam pemilikan teknik akuntansi dan
keinginan manajemen untuk menyajikan gambaran “yang diinginkan”,
menyebabkan output akuntansi antara satu perusahaan dengan perusahaan yang
lain kurang dapat dibandingkan dan kurang bermanfaat.
f. Kurangnya Objektivitas. Tidak ada kriteria objektif yang dapat digunakan
manajemen dalam memilih teknik akuntansi menyebabkan output akuntansi tidak
dapat diperbandingkan (Leftwich, 1980 :p.200).

Atas dasar berbagai faktor tersebut, terlihat bahwa mekanisme pasar cenderung gagal
menyajikan informasi yang optimal. Oleh karena itu, beberapa pihak mendukung perlunya
regulasi dalam akuntansi.

Teori Regulasi.
Atas dasar kelemahan yang melekat pada pendekatan pasar bebas (teori agensi)
tersebut maka fokus perhatian dalam penentuan standar akuntansi diarahkan pada
alternatif lain. Adanya berbagai krisis dalam penentuan standar mendorong munculnya
kebijakan regulasi akuntansi. Oleh karena permintaan terhadap kebijakan atau standar
macam itu didorong oleh adanya krisis yang muncul. Pihak penentu standar akuntansi
menanggapi dengan cara menyediakan kebijakan tersebut. Hubungan antara permintaan
dan penawaran tersebut mengarah pada terciptanya suatu keseimbangan. Dalam proses
regulasi yang dinamis ini, terdapat proses penyesuaian yang berlangsung terus menerus
terhadap kebijakan dan atau standar sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran.

1. Bentuk Teori Regulasi


Belkaoui (1985: 48) menyatakan bahwa regulasi umumnya diasumsikan untuk
dirancang dan dioperasikan demi kepentingan industri yang ada. Sementara itu,
menurut Stiger (1971) dan Posner (1974), ada dua kategori teori regulasi dalam
industri tersebut, yaitu:
a) Teori Kepentingan Publik (public interest theories) dan
b) Teori Kepentingan Kelompok (interest group atau capture theories).

Teori kepentingan publik berpandangan bahwa regulasi diperlukan sebagai tanggapan


atas permintaan publik terhadap perbaikan praktik pasar yang tidak efisien dan tidak
adil. Teori tersebut pada dasarnya dibentuk untuk melindungi dan memberi manfaat
kepada publik. Sebaiknya, menurut teori kepentingan kelompok, regulasi disediakan
sebagai tanggapan atas permintaan kelompok tertentu untuk memeksimumkan
kemakmuran mereka. Teori ini memiliki dua versi yaitu teori elit politik (political-
ruling elite theory of regulation) yang diajukan oleh Posne (1974) dan teori ekonomi
regulasi (the economic theory of regulation) yang diajukan oleh Peltman (1976). Versi
pertama menggunakan kekuatan politik untuk mendapatkan kendali terhadap regulasi.

Sementara versi kedua didasarkan pada kekuatan ekonomi. Meskipun teori


regulasi banyak dibicarakan, teori ini masih dalam tahap pengembangan. Masalah
mendasar tentang mengapa perlu melakukan regulasi, apakah regulasi efisien dan
apakah regulasi memang betul-betul diinginkan merupakan isu yang masih

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 43


Banjarmasin)
diperdebatkan. Isi regulasi untuk kompetisi makin memainkan peranan yang penting
pada saat sekarang ini. Isu lain yang relevan adalah, Apa yang dimaksud dengan
alokasi sumber ekonomi yang efisien? Apakah yang dimaksud dengan kepentingan
publik? Pemecahan terhadap isu tersebut akan memberikan kontribusi yang besar
dalam mengembangkan teori regulasi.

2. Siapa Yang Harus Mengatur?


Pertanyaan tenteng siapa yang harus menentukan standar akuntansi menjadi topik
diskusi di berbagai Negara. Beberapa pendapat tentang siapa yang mengatur atau
menentukan standar akuntansi dapat dilihat pada uraian berikut. Yaitu ada beberapa
argumen yang mendukung regulasi sektor swasta sebagai berikut.
a) Regulasi sektor swasta berkaitan erat dengan profesi akuntansi. Kondisi ini
secara otomatis akan mendorong ketertiban pihak-pihak yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman luas dalam proses penentuan standar.
b) Suatu badan yang dibentuk oleh sektor swasta memiliki “prestise/kebanggaan”
tersendiri dan dapat diterima oleh masyarakat bisnis. Jika badan tersebut
dibentuk oleh pemerintah, ada kecenderunganm akan mendapat tekanan dari
pemerintah untuk mencapai tujuan sosial ekonomi pemerintah.
c) Oleh karena badan pemerintah beranggotakan birokrat, ada kecenderungan
efektivitas persyaratan pengungkapan tambahan menjadi tidak sensitif. Biaya
untuk memenuhi regulasi pemerintah cenderung lebih tinggi dari pada regulasi
swasta.
d) Ada kecenderungan bahwa pihak pemerintah yang terlibat dalam badan tersebut
bertindak untuk melindungi kepentingan atau melakukan tindakan yang
merugikan profesi akuntansi.
e) Proses legislatif dan otoritas pemerintah mudah dipengaruhi oleh lobi dan
tekanan politik dari pihak tertentu.
f) Standar yang dihasilkan pemerintah kemungkinan saling tumpang tindih,
dan dapat menimbulkan kebijakan atau pertimbangan (judgment) yang beragam
dari para pemakainya.

Sedangkan argumen yang mendukung regulasi sektor publik, adalah:


a) Badan regulasi sektor publik memiliki legitimasi dan kekuatan yang lebih kuat
dalam hal pemaksaan standar.
b) Badan pemerintah cenderung susah untuk dipengaruhi oleh manajemen
perusahaan dan kantor akuntan publik besar sehingga dapat bekerja untuk
menghasilkan pengungkapan yang lebih baik bagi konsumen.
c) Badan pemerintah dapat menjadi katalisator bagi perubahan.
d) Regulasi sektor publik muncul karena adanya motivasi untuk melindungi
kepentingan publik. Regulasi tersebut memberikan mekanisme untuk mengatasi
kemungkinan munculnya bias dari penyaji dan keterbatasan ekonomi investor
yang membutuhkan informasi cukup.
e) Sektor swasta harus selalu diawasi dan dikendalikan karena tujuannya
seringkali bertentangan dengan kepentingan publik.
f) Standar akuntansi memiliki pengaruh hukum dan melibatkan konflik
kepentingan dari berbagai pihak, sehingga harus ditetapkan sesuai dengan
aturan dan prosedur umum. Hal ini kelihatannya sulit untuk dilakukan oleh
pihak swasta.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 44


Banjarmasin)
Atas dasar argumen yang saling bertentangan tersebut, Willmott, Puxty, Cooper
dan Lowe (1987) mengajukan model regulasi yang berbeda. Mereka
mengidentifikasikan tiga kasus yang ideal, yaitu: regulasi melalui pasar, pemerintah
dan masyarakat. Atas dasar tiga pihak tersebut, empat model regulasi diajukan yaitu
Liberalism, Legalism, Corporatism dan Associationism.

Pada model Liberalism, regulasi dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar.


Pada model Legalism, regulasi didasarkan pada pendekatan pemerintah (negara).
Associationism dan Corporatism terletak diantara ketiga pendekatan (masyarakat,
negara dan pasar). Praktik legalism dan associationism ditemui dalam penyusunan
standar akuntansi terutama di Amerika (USA), Australia, Kanada, dan Indonesia.
Sementara New Zealand menggunakan pendekatan atau model Associationism.

F. MASALAH BERTINDIH (OVERLOAD) STANDAR AKUNTANSI

Standar akuntansi pada dasarnya merupakan standar yang mengatur penyajian


informasi, pengukuran transaksi dalam laporan keuangan dan pengungkapan laporan
keuangan. Perkembangan dunia usaha sangat berpengaruh terhadap perkembangan
standar akuntansi. Semakin komplek kegiatan usaha menjadikan standar akuntansi
yang dikeluarkan menjadi lebih kompleks, yang mencerminkan kompleksitas transaksi
dan peristiwa yang berkaitan dengan akuntansi. Akibatnya timbul keluhan bahwa
standar akuntansi mendorong bertambahnya beban dalam penyajian laporan keuangan,
terutama bagi perusahaan kecil. Kondisi inilah yang mendorong munculnya overload
standar akuntansi. Kondisi yang mencerminkan adanya overload standar akuntansi
menurut Belkaoui, (1993), adalah:

1. Telalu banyak standar.


2. Standar yang terlalu rinci.
3. Tidak ada standar yang berjenjang (rigid) sehingga pilihan sulit dilakukan.
4. Standar akuntansi bertujuan umum gagal membedakan kebutuhan penyusunan,
pemakai dan akuntan publik (pemeriksa).
5. Standar akuntansi berterima umum gagal membedakan antara:
 entitas publik dan non publik;
 laporan keuangan tahunan dan interim;
 perusahaan besar dan kecil; dan
 laporan keuangan auditan dan non auditan.
6. Pengungkapan yang berlebihan, pengukuran yang rumit atau keduanya.

Sementara itu, ada berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya overload standar
akuntansi, yaitu:

Pertama, dengan munculnya berbagai pertanyaan tentang apa yang harus


diungkapkan. Bahkan akuntan mulai mengeluarkan begitu banyak standar yang
cenderung mengabaikan kebijakan (judgment) dan mengurangi permasalahan yang
melibatkan prinsip akuntansi.
Kedua, alasan untuk melindungi kepentingan publik dan membantu investor
menghasilkan berbagai regulasi dan pengungkapan profesional bagi pemerintah, dan
Ketiga, keinginan untuk memuaskan kebutuhan pamakai yang memerlukan standar
yang lebih terinci.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 45


Banjarmasin)
Makin banyaknya standar menyebabkan situasi yang tidak praktis dan komplek.
Standar-standar yang ada mendorong makin meningkatnya kompleksitas sehingga
memengaruhi biaya penyusunan dan penyajian laporan keuangan baik bagi perusahaan
besar maupun kecil. Di satu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa GAAP menjadi
tidak dapat ditoleransi bagi perusahaan, pemakai dan auditor. Pihak lain mengatakan
bahwa persyaratan standar yang baru dan terinci dimaksudkan untuk melanyani
kebutuhan informasi yang diinginkan investor dan kreditor dengan biaya yang
ditanggung oleh pemakai laporan keuangan dari perusahaan kecil atau perusahaan
tertutup.

1) Pengaruh “Overload”Standar Akuntansi


Standar akuntansi yang begitu banyak, sempit dan rigid dapat memengaruhi
pekerjaan yang dilakukan akuntan, nilai informasi keuangan bagi pemakai dan
keputusan bisnis yang dibuat oleh manajemen. Akuntan mungkin kehilangan
pandangan tentang pekerjaan riilnya karena data yang begitu banyak diperlukan untuk
menyesuaikan dengan standar akuntansi yang ada. Kegagalan audit mungkin
disebabkan kondisi dimana akuntan kehilangan fokus audit dan melupakan prosedur
audit yang baku. Kondisi ini menyebabkan ketidakpuasan klien perusahaan-
perusahaan kecil yang terbebani dengan standar tersebut. Akibatnya, kemungkinan
terjadi erosi etika profesi, hilangnya kepercayaan publik dan ketidakcocokan dalam
profesi akuntansi. Dari sini, pemakai mungkin juga bingung menghadapi jumlah dan
kompleksitas catatan (note) yang diperlukan untuk menjelaskan persyaratan seperti
yang dikehendaki oleh standar yang berlaku.

Di Amerika Serikat, pemakai laporan keuangan perusahaan kecil umumnya


dihadapkan pada kompleksitas ketentuan atau pengumuman resmi (pronouncements)
yang dikeluarkan oleh Financial Accounting Standard Board (FASB). Istilah-istilah
tertentu (jargon) dalam catatan atas laporan keuangan hanya dapat dipahami oleh
akuntan dan analis keuangan.

Disamping itu, manajer mungkin juga mengalami masalah berkaitan dengan


jumlah dan kompleksitas standar yang ada. Manajer mungkin tergoda untuk meninjau
kembali kontrak dan mengubah praktik bisnis sedemikian rupa sehingga menyimpang
dari beberapa standar akuntansi. Contoh, dalam kasus standar akuntansi untuk sewa
beli (leasing) di Amerika (SFAS No. 13), ada kemungkinan bagi manajer untuk
merancang kembali terminologi teknik dari kontrak sewa beli (leasing) dengan tujuan
untuk menghindari kapitalisasi dan persyaratan standar yang berbelit-belit. Alasan
utama manajer melakukan hal tersebut tidak hanya untuk menghindari persyaratan
standar yang terlalu rinci, tetapi juga untuk menghindari biaya penyajian dan verifikasi
informasi yang disajikan. Di samping manfaat penyajian yang tidak sepadan dengan
biaya penyajiannya, pemakai laporan keuangan perusahaan kecil mungkin lebih
tertarik pada proyeksi aliran kas dari pada informasi lain yang disajikan dalam laporan
keuangan.

2) Solusi terhadap masalah “Overload” Standar


Berbagai pihak telah berusaha membahasa overload standar akuntansi dan
mencari pemecahannya. Komite khusus yang dibentuk oleh the American Institute

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 46


Banjarmasin)
of Certified Public Accountants (AICPA) melakukan evaluasi terhadap berbagai
pendekatan tersebut berkaitan dengan overload standar:

a. Tidak ada perubahan (mempertahankan status quo)


b. Melakukan perubahan terhadap konsep GAAP khusus untuk perusahaan
besar.
c. Melakukan perubahan GAAP untuk menyederhanakan penerapannya bagi
semua perusahaan.
d. Menentukan pengungkapan (disclosure) dan pengukuran yang berbeda.
e. Melakukan perubahan terhadap standar akuntan publik untuk pelaporan
informasi keuangan.
f. Melakukan alternatif bagi GAAP sebagai basis pilihan (optimal) dalam
penyajian laporan keuangan.

Dari berbagai alternatif tersebut komite menyarankan pemecahan overload


standar dengan menggunakan pendekatan ke-empat atau ke-enam. Artinya aspek
pengungkapan dan pengukuran diserahkan kepada penyaji laporan keuangan
sesuai dengan kebijakan (judgment) masing-masing pihak berdasarkan kondisi
perusahaan.

B. PROSES PENYUSUNAN STANDAR AKUNTANSI DI INDONESIA


Penyusunan standar akuntansi di Indonesia pada dasarnya mengacu pada model
Amerika Serikat (Anglo Saxon) dengan melakukan proses adaptasi (modifikasi). Sejak
didirikan pada tanggal 23 Desember 1957, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah
menyelenggarakan sebanyak 8 (delapan) kali kongres. Kongres ini merupakan
pemegang kadaulatan tertinggi, karena kongres memiliki kewenangan sebagai berikut.

a) Menetapkan anggaran dasar/rumah tangga, pedoman pokok garis besar haluan dan
program kerja IAI.
b) Memberikan penilaian atas setuju tidaknya pertanggungjawaban pengurus pusat,
dewan pertimbangan profesi dan dewan penasehat tentang amanat yang diberikan
oleh kongres sebelumnya.
c) Menetapkan kebijakan maupun metoda akuntansi yang dipakai.

Secara umum dapat dipahami bahwa standar akuntansi selama ini mendominasi
pekerjaan akuntan. Standar tersebut akan terus berkembang secara dinamis, terus
berubah, dihapus (write off), maupun ditambah atau disempurnakan. Dalam praktik,
standar akuntansi dapat diterima secara umum sebagai aturan pokok bagi perusahaan
dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. Karena standar akuntansi tersebut
bersifat mengikat dan didukung oleh adanya sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi
atau melaksanakan pernyataan standar akuntansi keuangan tersebut.

Baxter (1979), standar akuntansi umumnya terdiri dari tiga proses, yaitu:
a. Memilih dan mengangkat ketua umum pengurus pusat.
b. Mengangkat seluruh anggota dewan pertimbangan profesi dan dewan penasehat.
c. Menetapkan auditor independen untuk mengaudit laporan keuangan kepengurusan
periode berikutnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 47


Banjarmasin)
IAI selama ini sudah menjalin hubungan kejasama dengan organisasi dunia,
misalnya menjadi anggota Asean Federation of Accountants (AFA), Confederation
Asian Pasific of Accountants (CAPA), International Federation of Accountant (IFA)
dan International Accountants Standard Committee (IASC). Namun, kerjasama ini
hanya terbatas untuk masalah tertentu saja, bersifat insidentil, sehingga tidak dapat
memberikan kontribusi optimal terhadap pengembangan standar akuntansi di
Indonesia.

Penyusunan standar akuntansi keuangan di Indonesia dapat dikategorikan ke


dalam dua periode, yaitu periode sebelum kongres VIII IAI (September 1998) dan
periode sesudah kongres diputuskan perubahan mendasar dalam proses penyusunan
standar akuntansi sebagai berikut.

1. Periode Sebelum Kongres VIII IAI

a) Organisasi dan Dana


Anggota Komite Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terdiri dari 17 orang
yang dipimpin oleh Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris. Komite SAK
bertanggungjawab kepada pengurus pusat IAI. Dalam proses penyusunan SAK
diperoleh masukan dari berbagai sumber dan proses, meliputi sumbangan,
kerjasama dengan instansi pemrintahan, perusahaan, dan proyek bantuan luar
negeri (Wolrd Bank), maupun proyek dari Departemen Keuangan. Sebagian
besar dana digunakan untuk akomodasi, tempat rapat dan biaya pertemuan,
seminar, lokakarya, serta public hearing dalam upaya sosilisasi draft standar
akuntansi yang telah dibuat.

b) Due Procedures Process


Penyusunan SAK dimulai dari penyusunan agenda dan topik bahasan SAK.
Beberapa topik berasal dari usaha anggota, biasanya berkaitan dengan
kebutuhan pelaporan keuangan karena transaksi tertentu. Namun secara lebih
luas topik yang didiskusikan bisa juga berasal dari hasil kerjasama atau
masukan dari organisasi atau instansi pemerintahan (Depertemen Keuangan)
maupun pihak sponsor (misalnya bank dunia). Selanjutnya topik yang telah
disepakati dimasukkan ke dalam agenda dan dibahas untuk menjadi exposure
draft. Dalam pembahasan ini akan melibatkan para pakar yang berasal dari luar
komite (dari perguruan tinggi, organisasi profesi, pemerintahan terkait).
Kemudian “ED” yang telah disetujui oleh qorum anggota diperbanyak untuk
disebarkan ke-masyarakat minimal sebulan sebelum diadakannya public
hearing. Public hearing diselenggarakan dengan maksud untuk memperoleh
masukan atau tanggapan baik secara lisan maupun tertulis, untuk
penyempurnaan “ED” tersebut. Setelah itu diadakan beberapa kali
pembahasan dan penyempurnaan. Dalam pembahasan kadang-kadang
melakukan limited hearing untuk mendengarkan pendapat atau konstituen
tertentu. Draft yang sudah disempurnakan dan dilakukan finalisasi maka
dikirim ke IAI pusat untuk disahkan. Pengurus IAI pusat kemudian
mengadakan rapat pengesahan SAK. Hasil komite SAK periode 1994-1998
adalah dengan diterbitkannya 22 PSAK baru, 3 PSAK revisi, dan 4 interpretasi
PSAK dan melakukan reviu terhadap 35 SAK dalam Bahasa Inggris.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 48


Banjarmasin)
2. Periode Sesudah Kongres VIII

a) Organisasi dan Dana


Hasil kongres lainnya adalah dibentuknya Cosultative Body atau Advisory
Council yang mewakili konstituen dengan anggota sebanyak 25-30 orang.
Adviosry Council merupakan perwakilan konstituan yang mempunyai fungsi
untuk memberikan arahan dan prioritas penyusunan standar. Fungsi lain adalah
memberikan pendapat pada posisi yang diambil oleh komite untuk masalah
penting dalam standar akuntansi. Dewan ini juga mempunyai fungsi membantu
pengurus pusat IAI dalam pendanaan. Selanjutnya Komite SAK tidak lagi
dipilih atau diganti setiap kali kongres, tetapi sesuai dengan masa jabatan yang
telah ditetapkan (4 tahun).

Ketua dan anggota Komite SAK harus dibebaskan dari mencari dan
penyusunan standar akuntansi keuangan. Oleh karena itulah, tim teknislah yang
membuat anggaran biaya komite setiap tahun. Pengurus pusat dibantu oleh
Dewan Pensehat (Adviosry Council) secara bersama telah menetapkan
anggaran dan menyediakan dana berdasarkan kesepakatan antara pengurus
pusat, dewan penasehat dan komite/dewan SAK.

Di samping itu, juga dibentuk tim teknis yang bekerja penuh waktu dengan
kompensasi memadai, dipimpin oleh direktur penelitian dengan jumlah tim
yang disesuaikan dengan jumlah alokasi dana yang tersedia dari IAI.
Kompensasi anggota harus mencerminkan konstituen, yaitu pembuat laporan,
auditor, pemakai laporan, pemerintah dan akademisi. Untuk dapat menjadi
anggota Komite/Dewan SAK maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut.

1) Pengetahuan memadai mengenai akuntansi dan pelaporan


2) Tingkat intelektual, integritas dan disiplin yang tinggi.
3) Temperamen judisial.
4) Kemampuan untuk bekerjsama dalam suasana kolegial (keakraban).
5) Kemampuan komunikasi yang baik.
6) Pemahaman lingkungan bisnis dan pelaporan keuangan.
7) Komitmen pada Komite SAK Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
8) Komitmen untuk mencurahkan waktu pada pekerjaan Komite SAK
secara sukarela (voluntary).

b) Due Procedures Process


Meskipun dipilh dan bertanggungjawab kepada pengurus Pusat IAI. Komite
SAK merupakan lembaga otonomi yang mempunyai kewenangan tertinggi
dalam menentukan standar akuntansi keuangan. Akhir-akhir ini, ada beberapa
perubahan yang telah dilakukan IAI, seperti SAK dikembangkan dan disahkan
oleh komite dan perlunya perbaikan dalam due procedures process. Masa
komentar terhadap “ED” diperpanjang dari minimal satu bulan menjadi paling
tidak enam (6) bulan. Publik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan tanggapan atau komentar secara tertulis.

Kesempatan untuk memberikan testimoni pada public hearing secara


bertahap harus diubah menjadi hanya untuk publik yang telah memberikan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 49


Banjarmasin)
komentar tertulis. Selanjutnya pembahasan “ED” harus ditingkatkan sehingga
publik akan memberikan komentar tertulis lebih banyak sesuai dengan isu
pokok standar akuntansi keuangan. Rapat Komite SAK harus dpat dirancang
menjadi terbuka untuk publik dan bagi pengamat. Penyebaran hasil tertulis
baik hasil antara maupun final diperbanyak dan diperluas dengan
menggunakan media yang tersedia dan lebih beragam.

Secara kronologis PSAK yang telah dihasilkan oleh IAI adalah sebagai
berikut.

 Tahun 1984 telah dikeluarkan Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) berisi


konsep dasap laporan keuangan dan karakteristik kualitatif informasi.
 September 1994 telah ditetapkan disahkan 35 PSAK yang berlaku untuk
seluruh perusahaan yang berorientasi laba (swasta).
 Oktober 1996, telah ditetapkan 37 PSAK.
 April 1999, telah ditetapkan 55 jenis PSAK dan 4 ISAK.
 April 2002 telah ditetapkan dan disahkan sejumlah 58 PSAK/2002.
 Maret 2003 telah disahkan PSAK No. 59/2003 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah, yang dilengkapi dengan PAPSI (Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia) dan Fatwa MUI dalam bentuk 25 Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN).
 Sedangkan khusus untuk Organisasi Sektor Publik (OSP) telah ditetapkan
dan disahkan pula 3 PSAK (berlaku untuk organisasi pemerintah, yayasan,
rumah sakit, LSM, lembaga pendidikan, maupun lembaga non profit
lainnya).
 Juli 2002 telah ditetapkan dan diterbitkan 11 Pernyataan untuk Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) berlaku efektif mulai tahun 2014, untuk
yang bebasis akrual.
 Tanggal 01 September 2007 telah ditetapkan dan diterbitkan kembali
PSAK, terdiri dari 59 PSAK. Yaitu 58 PSAK untuk entitas bisnis
konvensional dan satu PSAK (No. 59) tentang Bank Syariah diganti
dengan PSAK No. 100 tentang KDPPLKS; dilengkapi dengan 9 (sembilan)
pernyataan khusus:

1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
(KDPPLKS).
2. PSAK No. 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah
3. PSAK No. 102 Akuntansi Murabahah
4. PSAK No. 103 Akuntansi Salam
5. PSAK No. 104 Akuntansi Istishna’
6. PSAK No. 105 Akuntansi Mudharabah
7. PSAK No. 106 Akuntansi Musyarakah
8. PSAK No. 107 Akuntansi Ijarah
9. PSAK No. 108 Asuransi Syariah (9 Juli 2009)
10. PSAK No. 109 Zakat, Infaq dan Shadaqah

Selain itu, dalam edisi September 2007 ini dilengkapi pula dengan 7
(tujuh) Interpretasi atas Standar Akuntansi (ISAK), yaitu:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 50


Banjarmasin)
ISAK No. 01 Interpretasi atas paragraf 23 Nomor 21 tentang
Penentuan Harga Pasar Dividen Pasar
ISAK No. 02 Interpretasi atas PSAK No. 21; Pasal 25 tentang
Penyajian Modal dalam Neraca dan Pasal 31
tentang Piutang pada Pemesan Saham tentang Penentuan
Harga Pasar Dividen Pasar.
ISAK No. 03 Interpretasi tentang Perlakuan Akuntansi atas Pemberian
Sumbangan atau Bantuan (reformat 2007).
ISAK No. 04 Interpretasi atas paragraf 20 PSAK 10 (reformat 2007)
tentang Alternatif Perlakuan yang Diizinkan atas Selisih
Kurs (reformat 2007).
ISAK No. 05 Interpretasi atas paragraf 14 PSAK 50 (1998) tentang
Pelaporan Perubahan Nilai Wajar Investasi Efek dalam
Kelompok Tersedia untuk Dijual.
ISAK No. 06 Interpretasi tentang Instrumen Derivatif Melekat pada
Kontrak Dalam Mata Uang Asing
ISAK No. 07 Interpretasi atas paragraf 5 dan 19 PSAK 4 (reformat
2007) tentang Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus.

Jadi secara keseluruhan sekarang terdapat 2 Kerangka Dasar


Penyajian dan Penyusunan Laporan Keuangan (konvensional dan syariah)
65 PSAK (58 PSAK untuk entitas bisnis konvensional dan 9 PSAK untuk
entitas bisnis syariah) dan 7 ISAK.

PELATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan GAAP dan PABU, jelaskan! Apa


perbedaannya.
2. Mengapa diperlukan standar akuntansi keuangan, jelaskan!
3. Bagaimana makna yang terkandung dalam pernyataan Kerangka dasar
penmyajian dan penyusunan laporan keuangan di Indonesia?
4. PABU merupakan prinsip akuntansi berterima umum, samakah dengan
prisip akuntansi yang lazim. Jelaskan dan berikan contohnya. Mengapa dalam
pelaporan keuangan.
5. Jelaskan proses perumusan dan penyusunan standar akuntansi di Amerika
Serikat dan Indonesia.
6. Apa yang Saudara ketahui tentang FASB dan Dewan SAK, bagaimana
perbedaanya, jelaskan.
7. Mengapa dalam menyajikan dan menyusun laporan keuangan harus
menerapkan pernyataan yang ada dalam SAK tersebut? Bisakah suatu laporan
keuangan (untuk perusahaan yang go publik) tidak mengikuti pernyaataan yang ada
dalam PSAK, jelaskan jawaban Saudara.
8. Dari sekian banyak PSAK yang ada, jelaskan PSAK yang mengatur tentang
praktik bisnis yang berbasis syariah. Lembaga apa saja sekarang yang sudah
menerapkan prinsip bisnis berbasis syariah tersebut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 51


Banjarmasin)
9. Mengapa diperlukan PSAK khusus, misalnya untuk praktiik bisnis syariah,
Jelaskan!
10. Apakah yang disebut ISAK? Bagaimana fungsinya, jelaskan!
11. Apa yang saudara ketahui tentang SAP, jelaskan! Apakah setiap entitas di
pemerintah (pusat dan daerah) wajib menyusun laporan keuangan, jelaskan!
12. Elemen laporan keuangan apa saja minimal yang harus dibuat dan disajikan
dalam laporan keuangan pemerintah tersebut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 52


Banjarmasin)
BAB IV

KONSEP ASET

PENDAHULUAN

Bahwa aktiva tersebut secara prinsip berbeda dengan aset. Mengapa? Sebab aktiva
adalah harta kekayaan perusahaan yang dapat saja bersaldo minus. Karena aktiva tersebut
menjadi jaminan untuk laibilitas atau kegiatan tertentu. Sedangkan aset seyogyanya tidak
boleh bersaldo minus karena aset merupakan harta kekayaan perusahaan yang bebas dan
secara murni memang milik perusahaan yang bebas dari penjaminan tertentu.

Oleh karena itu, hendaknya kita memahami secara benar makna dari kedua kata
tersebut. Meskipun secara karakteristik bahwa antara aktiva dan aset mempunyai sifat
yang sama, yaitu keduanya berkaitan dengan kriteria yang digunakan untuk menentukan
apakah transaksi tertentu diakui sebagai elemen aset dalam laporan keuangan. Dalam
pembahasan selanjutnya istilah yang digunakan adalah aset.

Karakteristik aset tersebut adalah:


1. Manfaat di masa mendatang (pemakaian dapat berbeda-beda seperti
potensi jasa dan sumber-sumber ekonomi).
2. Adanya pengorbanan ekonomi untuk memperoleh aset.
3. Berkaitan dengan entitas tertentu.
4. Menunjukan proses akuntansi.
5. Berkaitan dengan dimensi waktu.
6. Berkaitan dengan karakteristik keterukuran.

A. PENGERTIAN ASET

APB (1970) dalam pernyataan No. 4, bahwa aset adalah sumber-sumber ekonomi
perusahan yang diakui dan diukur sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum,
termasuk beban tangguhan tertentu yang tidak berbentuk sumber ekonomi. Sedangkan
FASB (1980), aset adalah manfaat ekonomi yang mungkin terjadi dimasa mendatang yang
diperoleh atau dikendalikan oleh suatu entitas tertentu sebagai akibat transaksi atau
peristiwa masa lalu. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa aset memiliki tiga
karakteristik utama sebagai berikut.
1. memiliki manfaat ekonomi dimasa mendatang;
2. diperoleh dan dikuasai oleh unit usaha tertentu; dan
3. hasil dari transaksi masa lalu.

Ketiga hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.


1) Memiliki manfaat ekonomi masa mendatang
Sesuatu dikategorikan sebagai aset bila memiliki manfaat atau potensi jasa yang
cukup pasti dimasa mendatang. Artinya sesuatu (aset) tersebut memiliki kemampuan
baik secara individu atau bersama-sama dengan aset lain untuk menghasilkan arus kas
kas masuk dimasa mendatang, baik secara langsung maupun tidak langsung. SFAC
No. 6 menyebutkan bahwa manfaat ekonomi merupakan esensi sebenarnya dari aset.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 53


Banjarmasin)
Artinya aset harus memiliki kemampuan bagi suatu entitas untuk ditukar dengan
sesuatu yang lain yang memiliki nilai, atau digunakan untuk menghasilkan sesuatu
yang bernilai atau digunakan untuk melunasi laibilitas. Praktisnya, manfaat ekonomi
tersebut dapat mengalir ke perusahaan dengan berbagai cara, seperti (IAI, 1994):

a. dapat digunakan baik sendiri maupun bersama aset lain dalam produksi
barang dan jasa yang dijual oleh unit usaha;
b. dapat diperputarkan dengan aset lain;
c. dapat digunakan untuk melunasi laibilitas; dan
d. dapat dibagikan kepada pemilik perusahaan.

Menurut Paton (1962), aset merupakan kekayaan (property) berbentuk fisik atau
bentuk lainnya yang memiliki nilai bagi suatu unit usaha. Sedangkan menurut Spague
(1970), aset adalah persediaan atau potensi yang akan diterima atau dimiliki oleh suatu
unit usaha. Vatter (1947), mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi masa yang akan
datang dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, diukur, atau disimpan. APB (1970)
dalam pernyataan nomor 4 memberikan contoh sumber ekonomi perusahaan sebagai
berikut.

1. Sumber-sumber ekonomi yang produktif.


a. Bahan baku, tanah, peralatan, paten, dan sumber-sumber
lain yang digunakan dalam produksi.
b. Hak kontrak untuk menggunakan sumber-sumber
ekonomi milik unit usaha lain seperti hak guna bangunan dan sebagainya.
2. Produk, yaitu barang yang siap untuk dijual atau barang yang masih dalam proses
produksi.
3. Uang.
4. Klaim untuk menerima uang.
5. Hak kepemilikan pada perusahaan lain.

2) Diperoleh dan dikuasai oleh unit usaha tertentu


Sesuatu dapat dikatakan sebagai aset bila unit usaha tertentu dapat menggunakan
manfaat aset tersebut dan menguasainya sehingga dapat mengendalikan akses pihak
lain terhadap aset tersebut. Jadi penguasaan terhadap suatu manfaat merupakan faktor
yang penting agar suatu unit usaha dapat menghadapi akses pihak lain terhadap
pemakaian suatu aset.

3) Hasil transaksi masa lalu


Suatu unit usaha dapat mengakui suatu aset apabila telah terjadi transaksi atau
peristiwa lain yang mnyebabkan suatu entitas memiliki hak atau pengendalian
terhadap manfaat dari aset tersebut. Jadi aset tersebut muncul karena adanya transaksi
masa lalu (historis). Dengan kata lain, aset tersebut dapat diakui apabila terdapat
transaksi yang benar-benar terjadi bukan berasal dari transaksi yang bersifat hipotetis.

B. KONSEP PENILAIAN ASET

Penilaian aset dalam akuntansi adalah proses penentuan jumlah rupiah untuk
menentukan makna ekonomi dari suatu aset yang akan disajikan dalam Neraca.
Konsep penilaian berkaitan dengan masalah penentuan makna yang ingin disampaikan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 54


Banjarmasin)
pada pemakai laporan terhadap aset yang bersangkutan. Makna ekonomi yang akan
disampaikan tersebut harus relevan dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu,
konsep penilaian harus didasarkan pada nilai tukar atau konversi.

a) Tujuan Penilaian
Tujuan pengukuran/penilaian aset adalah sebagai berikut.
1. Untuk pengukuran laba.
2. Untuk pengungkapan dan penyajian dalam laporan posisi keuangan.
3. Memenuhi kebutuhan informasi yang ingin dicapai dalam pelaporan
keuangan.
4. Memenuhi kebutuhan informasi khusus yang memerlukan penilaian untuk
kepentingan manajemen.

b) Dasar Penilaian
Penilaian aset berkaitan dengan penentuan nilai tukar dari aset tersebut.
Hendriksen (1982) menyebutkan bahwa ada dua jenis nilai tukar yang dapat
digunakan yaitu nilai keluaran (output values) dan nilai masukan (input values).
Nilai Keluaran (output values) menunjukan arus dana (kas) yang diperkirakan akan
diterima perusahaan dimasa mendatang sesuai dengan harga pertukaran produk
yang dihasilkan perusahaan. Sedang nilai masukan (input values) menunjukan
jumlah rupiah yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memperoleh aset (input)
yang akan digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan.

1. Nilai Keluaran
Nilai keluaran didasarkan pada jumlah kas atau penghargaan lain (non kas)
yang diterima suatu unit usaha bila suatu aset/potensi jasa akhirnya keluar dari
unit usaha tersebut karena suatu pertukaran. Dasar lain yang dapat digunakan
yaitu:

a. Discounted Future Cash Receipts or Service


Potential.
Nilai sekarang kas masa mendatang yang akan diterima perusahaan
seandainya aset dijual. Konsep penilaian tersebut adanya taksiran terhadap
jumlah yang diterima, faktor diskonto, dan periode waktu penerimaan.
Hubungan ketiga tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

U
P = -----------------
(1+i)n
P = Nilai sekarang (present value) dari aset
U = Kas/setaranya yang akan diterima
i = Faktor diskonto
n = Periode penerimaan kas (waktu)

Meskipun dasar penilaian ini memiliki validitas dalam penilaian bagi


investor, namun penerapannya memiliki beberapa kelemahan, terutama bila
diterapkan untuk aset individual.
Alasannya adalah sebagai berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 55


Banjarmasin)
1. Penerimaaan kas yang diharapkan umumnya tergantung pada distribusi
probalitas yang bersifat subyektif dan tidak dapat diuji kebenarannya.
2. Meskipun tingkat diskonto dapat diperoleh, tetapi penyesuaian terhadap
preferensi risiko, memerlukan evaluasi khusus bagi manajmen dan
mungkin sulit diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Apabila dua faktor atau lebih termasuk sumber daya manusia (yang
dianggap sebagai aset fisik) memberikan kontribusi pada produk
perusahaan yang pada akhirnya menghasilkan aliran kas, namun alokasi
yang logis untuk memisahkan faktor potensi jasa secara individu sulit
dilakukan. Penerimaan bersih marginal yang dihubungkan terhadap aset
mungkin dapat digunakan tetapi jumlah penerimaan bersih dari produksi
yang bersangkutan.
4. Nilai diskontoan dari arus kas yang berbeda untuk masing-masing aset
tidak dapat ditambahkan bersama untuk memperoleh nilai perusahaan
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan kontribusi yang ada merupakan
hasil kontribusi bersama masing-masing aset dan kenyataan menunjukan
bahwa beberapa aset seperti aset tak berwujud (intangible assets) tidak
dapat diindentifikasikan secara terpisah.

b. Harga Keluaran Sekarang (current output price)


Dasar penilaian ini dapat digunakan untuk menilai surat berharga, dan
beberapa jenis persediaan. Apabila tambahan biaya untuk penjualan tersebut,
maka harga jual sekarang harus dikurangi dengan biaya tersebut sehingga
dihasilkan nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value)

Kelemahan yang melekat pada dasar penilaian ini:

Pertama, dasar penilaian tersebut hanya dapat diterapkan untuk aset yang
pemiliknya dimaksudkan untuk dijual seperti persediaan, surat berharga,
peralatan dan tanah yang tidak memiliki manfaat lagi untuk kegiatan operasi
perusahaan.
Kedua, dasar penilaian ini merupakan pengganti harga jual masa mendatang
sehingga relevansi pemakaian menimbulkan masalah.
Ketiga, semua aset tidak dapat dinilai atas dasar harga jual sekarang, sehingga
metoda penilaian yang berada harus digunakan untuk menilai aset yang
berbeda pula.

2. Nilai Setara Kas Sekarang (current cash equivalent)


Nilai ini dapat diukur dari kutipan harga pasar barang sejenis yang kondisinya
sama. Nilai setara kas sekarang dianggap relevan karena menunjukan kondisi
perusahaan dalam hubungannya dengan penyusuaian keadaan lingkungan.
Kesulitan utama dari konsep ini adalah perlunya penyesuaian untuk
memisahkan pos yang tidak memiliki harga pasar sekarang. Kelemahan kedua
adalah nilai setara kas sekarang tidak memiliki sifat yang dapat ditambahkan.

3. Nilai Likuidasi (liquidation value)


Nilai likuidasi hanya digunakan dalam kondisi berut ini :
a) Bila produk/aset lainnya kehilangan
manfaat normal sehingga menjadi usang atau tidak laku dijual.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 56


Banjarmasin)
b) Bila unit usaha merencanakan untuk membubarkan usahanya dalam waktu
dekat sehingga tidak dapat menjual seluruh aset dipasar yang normal.

2. Nilai Masukan
Dalam menilai aset, nilai masukan sering dianggap lebih tepat dari pada nilai
keluaran karena nilai keluaran tersebut lebih dapat diuji kebenarannya. Untuk nilai
masukan tersebut tidak memungkinkan dilakukannya pelaporan pendapatan sebelum
pendapatan benar-benar terealisasi. Dalam penilaian yang dapat digunakan untuk nilai
masukan adalah sebagai berikut.
a. Biaya Historis (cost historis); prinsip yang menghendaki digunakannya harga
perolehan dalam mencatat aktiva. utang, modal, dan biaya. Yang dimaksud
dengan-harga perolehan adalah harga pertukaran yang disetuiui oleh kedua belah
pihak vang tersangkut dalam transaksi. Harga perolehan ini harus terjadi dalam
transaksi di antara dua belah pihak yang bebas. Harga pertukaran ini dapat terjadi
pada seluruh transaksi dengan pihak ekstern, baik yang menyangkut aktiva, utang,
modal atau transaksi lainnya.
Kelemahan historical cost menurut Muljono yang dikutip dari Kodrat
(http://www.petra.ac.id/~puslit/journals) antara lain: 
1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal
tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai
uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan
terjadinya biaya tersebut. 
2. Nilai aset yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah
apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di
samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aset dan pasiva
dalam valuta asing yang dikuasai persahaan sehingga mengalami kesulitan dalam
perhitungan selisih kurs yang tepat.
3.  Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan
mengakibatkan laba dihitung terlalu besar. 
4. Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan
pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur
dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung. 
5. Perusahaan tidak akan memperahankan real-capital-nya dan ada kecenderungan
terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak
perseroan dan pembagian laba yang lebih besar daripada semestinya. 
6. Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama
dijumlahkan menjadi satu. 
7. Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen
perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas
dasar asumsi adanya stable monetary unit.

Kelebihan Historical cost: 


1. Historical cost relevan dalam membuat keputusan ekonomi. 
2. Historical cost berdasarkan pada transaksi yang sesungguhnya, tidak pada
kemungkinan.
3. Selama sejarah, laporan keuangan yang menggunakan historical cost sangat
berguna. 
4. Pengertian terbaik mengenai konsep keuntungan adalah kelebihan dari harga jual
dari historical cost.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 57


Banjarmasin)
5.   Akuntan harus menjaga integritas datanya dari modifikasi internal. 
6. Seberapa bergunanya laporan keuangan tergantung dari current cost atau exit
price. 
7. Perubahan dalam harga pasar dapat diungkapkan sebagai data tambahan.Terjadi
ketidakcukupan data dalam membenarkan penolakan historical cost accounting.

Sedangkan Fair Value adalah Berdasarkan FASB Concept Statement No.7 dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan
aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara
partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011). IAI dalam buletin teknis
no.3, Paragraf PA 84 manyatakan bahwa: Dasar dari definisi fair value adalah asumsi
bahwa entitas merupakan unit yang akan beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau
keinginan untuk melikuidasi, untuk membatasi secara material skala operasinya atau
transaksi dengan persyaratan yang merugikan. Dengandemikian, fair value bukanlah
nilai yang akan diterima atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang
dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai
adalah nilai yang wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.

Kelemahan Fair Value


Menurut Krumwiede (2008;38) terdapat berapa kritik penting terhadap fair value: 
1.  Meskipun bermaksud baik namun perkiraan manajemen tentang fair value bisa
menjadi salah pada luas berbagai prediksi dan asumsi yang salah. 
2. Oportunistik dan ketidakjujuran manajemen dapat mengambil keuntungan dari
penilaian dan estimasi yang digunakan dalam proses manipulasi dan mengurutkan
angka pada hasil dalam angka pendapatan yang diinginkan.

Kelebihan Fair Value


Penman (2007;33) mengemukakan argument mengenai kelebihan dari Fair Value:
1. Investor-investor berkaitan dengan nilai, bukan biaya, maka melaporkan fair value 
2. Dengan berlalunya waktu, harga historis jadinya tidak relevan di dalam menaksir
posisi keuangan suatu entitas. Harga menyediakan informasi terbaru sekitar nilai
dari aset-aset. 
3. Akuntansi fair value melaporkan aset dan kewajiban dalam cara yang ekonomis
akan memperhatikan mereka; fair value mencerminkan unsur pokok ekonomi yang
benar. 
4. Akuntansi fair value melaporkan economic income: seturut diterima secara luas
defenisi Hicksian dari pendapatan sebagai perubahan dalam kekayaan, perubahan
dalam fair value dari aset bersih pada neraca menghasilkan pendapatan. Akuntansi
fair value adalah solusi kepada permasalahan akuntan dalam pengukuran
pendapatan, dan lebih disukai dibanding ratusan peraturan yang mendasari
pendapatan historical cost. 
5. Fair value adalah penukuran berbasis pasar yang tidak dipengaruhi oleh faktor-
faktor khusus untuk entitas tertentu; secara setimpal itu menunjukkan satu
pengukuran yang tidak bisa yang konsisten dari periode ke periode dan lintas
entitas.

b. Biaya Masukan Terkini (current input cost);

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 58


Banjarmasin)
Alasan menggunakan Current Cost Accounting, mengapa menggunakan current
cost? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu mempertimbangkan
kebijakan-kebijakan manajer yang dihadapkan untuk menjalankan bisnis. Satu asumsi
yang dapat dibuat adalah manajer perusahaan ingin mengetahui bagaimana
seharusnya mengalokasikan sumber daya perusahaan untuk memaksimalkan laba.
Terdapat masalah mendasar yang terbagi dalam 3 pertanyaan:
a.     Berapa jumlah aset yang harus ada pada waktu tertentu? Ini adalah masalah
ekspansi.
b.    Apa seharusnya bentuk aset ini? Ini adalah masalah komposisi.
c.    Bagaimana seharusnya aset dibiayai? Ini adalah masalah pembiayaan.

Manajer membuat kebijakan-kebijakan dari pertanyaan tersebut yang diperlukan


untuk merumuskan ekspektasi di masa depan. Ekspektasi didasarkan pada harapan
masa lalu. Oleh karena itu, untuk membuat kebijakan yang melibatkan perumusan
ekspektasi yang relatif akurat, manajer perlu mengevaluasi kebijakan pada masa yang
lalu. Daya guna data akuntansi untuk tujuan ini didasarkan pada perbandingan data
dengan ekspektasi semula yang ditentukan untuk periode tertentu. Jika kesalahan
yang terungkap adalah ekspektasi yang primer, harapan atau ekspektasi harus diubah.
Sebagai contoh, jika harga bahan baku lebih tinggi dari yang diharapkan, maka
perusahaan perlu mengubah ekspektasi atas harga di masa depan. Dengan demikian,
informasi akuntansi menjadi berguna, kebijakan harus mengukur peristiwa aktual dari
periode tertentu seakurat mungkin. Jika informasi yang termasuk peristiwa periode
sebelumnya dicampur dengan peristiwa periode berjalan, maka proses evaluasi
menjadi membingungkan. Juga, jika beberapa peristiwa periode berjalan dihilangkan,
akan mengakibatkan kebingungan dalam proses evaluasi

Berdasarkan teori ini, informasi akuntansi menyajikan tujuan:


a.   Evaluasi oleh manajer dari kebijakan masa lalu mereka dalam rangka untuk
membuat kebijakan yang terbaik untuk masa depan.
b.  Evaluasi manajer oleh pemegang saham, kreditur, dan lain-lain. Evaluasi oleh
kedua sisi yaitu orang dalam dan orang luar juga menyediakan sarana untuk
keberhasilan fungsi ekonomi karena, secara teoritis sumber daya kemudian akan
dialokasikan lebih efisien.
c.   Tujuan lainnya dari informasi akuntansi adalah untuk menyediakan dasar yang
kuat dan merata untuk perpajakan.

Business Profit Concept


Manajemen sering menghadapi 2 kebijakan: Apakah akan ‘menahan’ aset
dan kewajiban atau membuangnya (misalnya melalui penjualan aset atau
pembayaran utang) dan bagaimana menggunakan dan membiayai operasional
entitas. Dalam rangka untuk mengevaluasi kedua induk dan kebijakan operasi dari
manajer, ditawarkan konsep pendapatan yang disebut ‘busines profit’. Dua
komponen utama business profit adalah current operating profit dan realisable
cost savings.

Current operating profit (current operating profit) adalah ekses dari nilai
saat ini dari output yang terjual lebih dari current cost dari masukan yang terkait.
Realisable cost savings adalah peningkatan current cost pada aset yang dimiliki
oleh perusahaan pada periode berjalan. Keduanya mencakup perubahan biaya yang

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 59


Banjarmasin)
direalisasi dan yang belum direalisasi. Busines profit dihitung secara real basis –
yaitu, elemen fiksi akibat perubahan tingkat harga umum dihilangkan. Istilah yang
kita gunakan untuk realisable cost savings adalah ‘holding gains/losses’, yang
dapat direalisasikan atau belum direalisasi.
Penganut sistem akuntansi current-cost memiliki kesamaan dalam memandang
konsep valuasi/penilaian menggunakan current market buying price/current cost (yakni
aset dinilai dari nilai terkini/harga pasar). Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai
bagaimana mendefinisikan capital (modal), dan bagaimana mengukur profit/loss
(keuntungan/kerugian) dari perubahan (kenaikan/penurunan) atas capital tersebut. Dua
pandangan dalam pokok ini adalah: konsep modal keuangan (financial capital) dan
konsep modal fisik (physical capital).

Perbedaan Financial dan Physical Capital


Perbedaan pandangan ini dari segi praktis terlihat pada pencantuman holding gain/loss
pada profit.
a. Pencantuman holding gain/loss sebagai bagian dari profit.
Financial capital view memasukkan holding gain/loss apabila terjadi perubahan harga
pada aset, sedangkan physical capital view tidak mencantumkannya.

Contoh: Perusahaan dengan modal kas $1000 pada 1 Januari, membeli 100 unit barang
dengan harga $10/unit, dari supplier untuk dijual kembali. Pada 31 Januari, semua unit
barang tersebut terjual dengan harga masing-masing $18. Pada tanggal tersebut, harga
unit barang dari supplier telah naik menjadi $12/unit. Diasumsikan bahwa profit
dibagikan semua menjadi dividen.

Sales revenue ($18 x 100) $1800


Cost of sales ($12 x 100) 1200
Current operating profit 600
Holding gain ($2 x 100) 200
Profit 800
Paid as dividends 800

Kenaikan $2 dari harga barang yang dibeli tanggal 1 Januari dan 31 Januari ($10
menjadi $12 per unit) menjadi holding gain, karena telah terjadi cost saving yakni
penghematan arus uang keluar. Pembelian barang dilakukan pada saat barang lebih
murah daripada pembelian dilakukan terkemudian.
Profit menurut pandangan ini adalah $800, karena perusahaan telah mampu
mempertahankan modal keuangannya (financial capital) yakni jumlah cash at hand,
bila ditilik dari keadaan awal dan akhir periode:

Beginning amount of capital $1000


Less Purchase of 100 units at $10 each (1000)
Add Sale of 100 units at $18 each 1800
Ending Balance of Capital 1800
Less Profit/paid as dividend (800)
Financial capital to be maintained 1000

b. Pencantuman mantain capital item.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 60


Banjarmasin)
Mantain capital item dicantumkan pada physical capital view, sedangkan pada
financial capital view tidak. Physical capital view melihat kemampuan operasional
perusahaan tercermin pada modalnya yang tak lain adalah unit fisik yang dihasilkan.
Pada contoh di atas, profit yang dihasilkan dihitung dengan menghitung selisih lebih
dari kemampuan perusahaan mempertahankan kemampuan operasionalnya untuk
menghasilkan jumlah fisik unit.
Beginning capital $1000
Purchase of 100 units (outflow of cash) - 1000
Sale of 100 units (outflow of cash) +1800
Needed at end to mantain capital
(100 units x $12) - 1200
Profit for January 600
Paid as dividend 600

Jumlah kemampuan menghasilkan unit fisik awal dan akhir harus sama, yakni 100 unit.
Jika $200 (total kenaikan harga input dari $10 ke $12) menurut financial capital view
adalah holding gain, menurut physical capital view ini adalah capital maintenance
adjustment: jumlah yang diperlukan untuk menjaga kemampuan operasional perusahaan
menghasilkan unit fisik yang sama pada awal dan akhir periode (100 unit) dengan
perubahan harga terkini/current price ($10/unit ke $12/unit). Jika yang diakui sebagai
profit dan dibagikan sebagai dividen $800, maka modal yang tersisa adalah $1000 (1800-
800). Modal ini hanya akan menghasilkan 83 unit (1000/12), sehingga keberlangsungan
operasional modal takkan terjaga, dikutip dari: http://bdwinurcahyo.blogspot.com/
2013/07/ current-cost-accounting. html).

c. Biaya Penilaian Mendatang (discounted future cost);

d. Biaya Standar (standard cost);

C. KONSEP PENGUKURAN DAN PENGAKUAN ASET

Dalam bisnis, pengukuran terhadap aset seringkali jadi masalah. Hal ini disebabkan
adanya berbagai konsep atau prosedur yang ditawarkan, sehingga memungkinkan
memakai lebih dari satu konsep. Terutama berkaitan dengan pengukuran dan pengakuan
serta penyajian dalam laporan keuangan, misalnya untuk menghitung laba atau
menyajikan informasi lainnya bagi kreditur, investor, maupun pemakai lainnya maka
harus didasarkan atas konsep yang jelas dan konsisten.

Di sisi lain, dalam bisnis untuk pengukuran aset tidak ada satu konsep pun yang ideal
dapat dipakai, misalnya pengukuran dengan harga perolehan historis, sementara dianggap
sebagai dasar pengukuran yang ideal karena memenuhi asas daya banding dan keajekan.
Namun dalam kondisi lain, bisa jadi dasar pengukuran kini (current) yang lebih baik
karena dapat menujukkan informasi yang wajar (terutama untuk nilai aset yang disajikan)
berkaitan dengan tingkat inflasi yang terjadi.

Bila ditinjau dari sudut pandang interpretasional, pengukuran aset dimaksudkan untuk
menghasilkan sumber daya penerimaan kas atau aset lainnya untuk masa yang akan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 61


Banjarmasin)
datang. Sebab nilai bersih yang direalisasi atau setara kas akan dapat menjadi satu-satu
ukuran yang tepat dalam menilai masukan atau keluaran dari suatu arus sumber daya.

Namun, jika ditinjau dari sudut pandang normatif, bahwa tujuan pengukuran aset
adalah untuk menyediakan informasi yang memungkinkan terjadinya estimasi kas yang
akan diterima pada periode yang akan datang. Dalam konteks ini maka konsep keluaran-
lah yang paling tepat digunakan karena lebih unggul daripada konsep masukan. Jadi nilai
bersih yang dapat direalisasikan dan nilai setara kas berlaku relevan untuk berbagai
estimasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:

TABEL 4
KONSEP PENGUKURAN DAN KONDISI PENERAPAN

NO. KONSEP PENGUKURAN KONDISI PENERAPAN


NILAI KELUARAN Bukti transaksi akurat tersedia
1 Diskonto penerimaan kas atau potensi jasa masa Penerimaan kas atau setranya ditandai
yang akan datang dengan tingkat kepastian yang tinggi.
2 Harga Keluaran Sekarang Bila harga jual sekarang menggambarkan
harga keluaran yang akan datang
3 Nilai Setara Kas Sekarang Alternatif terbaik adalah likuidasi teratur.
4 Nilai Likuidasi Bila perusahaan tidak mampu menerapkan
harga dalam kondisi normal
Bukti Transaksi akurat tersedia sebagai
NILAI MASUKAN
indikasi kebutuhan kas
1 Biaya Historis (cost historis) Nilai masukan tanggal transaksi
2 Biaya Masukan Sekarang (current input cost) Nilai masukan berlaku sekarang
3 Biaya Penilaian Mendatang (discounted future cost) Nilai masukan perdiksi sekarang
4 Biaya Standar (standard cost) Nilai masukan kondisi normal pada
kapasitas efisien.
Sumber: diadaptasi dari Hendriksen, 1982: 258
Sedangkan pengakuan pos (akun) aset didasarkan pada beberapa kriteria berikut.
a. Pengertian, pos aset akan masuk dalam struktur akuntansi dan pelaporan bila telah
memenuhi dalam elemen definisi laporan keuangan, dan memenuh azas
kebermanfaat (utility).
b. Keterukuran (measurability), diakui sebagai pos aset bila memiliki makna yang
relevan, bermanfaat, dan dapat diukur jumlahnya dengan sumber reliabilitas yang
akurat dan dapat ditelusuri.
c. Relevansi, bila pos tersebut dapat dilaporkan dan berimplikasi pada kemungkinan
perbedaan terhadap keputusan yang diambil.
d. Reliabilitas, pos yang disajikan harus dapat dipresentasikan dan dapt diuji
kebenarannya, netral, dan mememnuhi aturan tertentu, (menurut SFAC No. 5
dalam FASB).

D. MASALAH KHUSUS DALAM ASET

Ada beberapa masalah khusus yang berkaitan dengan aset ini, yaitu:
1) , sebuah perusahaan asuransi biaya
premium secara bulanan sejak layanan yang menyediakan dan cakupan adalah bulanan.
Premi yang dibayarkan untuk bulan yang mencakup seluruh bulan jasa oleh perusahaan.
Perusahaan memungkinkan pelanggan untuk membayar untuk keseluruhan tahun di muka

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 62


Banjarmasin)
sebagai kenyamanan. Dalam hal pelanggan membayar di muka untuk satu tahun seluruh
cakupan, pelaporan jumlah keseluruhan dalam bulan pertama tidak akan mencerminkan
secara akurat dalam Laporan keuangan. Gagasan bahwa uang yang diperoleh dari anggota
adalah untuk sepanjang tahun dan meningkatkan rekening kas aset untuk seluruh jumlah
akurat karena uang belum diterima. Para matching principle memberikan solusi yang
diterima secara umum untuk masalah ini.
Menyatakan bahwa prinsip penandingan Biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan
pendapatan harus dikurangi dari pendapatan yang diperoleh selama periode yang hasilnya
dilaporkan.

Konsep ini adalah dasar dari akuntansi akrual dan konsep yang mengakui
pendapatan pada titik penjualan dan mengakui biaya sebagai terjadinya, meskipun
penerimaan kas atau pembayaran terjadi di lain waktu atau lain periode akuntansi.
Jadi menerapkan prinsip pencocokan uang itu akan didistribusikan secara merata selama
periode pelayanan juga memperhitungkan peristiwa account lain yang dapat terjadi
seperti, anggota menjatuhkan cakupan dalam periode tersebut. Ini akan berarti bahwa jika
anggota tetes cakupan setelah 6 bulan perusahaan akan tidak melaporkan jumlah
keseluruhan dalam aset lancar s selama laporan sebelumnya. Pelaporan premi lengkap
seperti uang yang diperoleh memberikan ilusi dari saldo kas yang lebih tinggi dalam
laporan laba rugi. Sebuah cara untuk mencegah hal ini adalah jika perusahaan ditangani
dengan piutang dan hutang secara bulanan, tapi itu tidak praktis. Perusahaan biasanya
menyediakan kredit untuk menarik pelanggan atau pilihan untuk membayar depan untuk
kenyamanan pelanggan.

Ada 2 jenis cara semacam ini masalah akan perlu dilacak dalam proses
pembukuan, yaitu:

- Uang dibayar di muka untuk mendapatkan perusahaan jasa selama periode waktu.
- Uang yang diterima di muka untuk layanan perusahaan perlu untuk menyediakan lebih
dari periode waktu.

Perusahaan perlu untuk membayar tagihan utilitas dan katakanlah mereka membayar
triwulanan utilitas perusahaan, ini berarti bahwa perusahaan meskipun harus membayar
tagihan utilitas sekali dalam 3 bulan masih menggunakan layanan yang disediakan oleh
memanfaatkan setiap bulan. Perusahaan memiliki kewajiban membayar tagihan utilitas
dan yang perlu dicatat sebagai beban pada neraca, sehingga aset lancar perusahaan
mendapatkan dilaporkan secara akurat. Tanpa ini neraca akan menunjukkan keseimbangan
yang lebih tinggi termasuk jumlah perusahaan wajib membayar. Perusahaan kemudian
memiliki akrual biaya yang telah untuk merekam untuk mencerminkan dalam neraca.
Sebuah bank yang menyediakan layanan pinjaman kepada perusahaan mungkin mengirim
tagihan ke perusahaan untuk kepentingan pinjaman setiap 6 bulan. Meskipun bank
mendapat bunga hanya sekali setiap 6 bulan bunga pinjaman yang masih harus dibayar
setiap bulan dan perusahaan wajib membayar bunga. Bank perlu untuk merekam ini akrual
pendapatan secara bulanan sehingga rekening laporan keuangan untuk ini. Tanpa
akuntansi untuk ini dengan periode akuntansi laporan akan menunjukkan lebih sedikit aset
untuk bank dari apa bank telah benar-benar masih harus dibayar.

Perusahaan biasanya membayar premi Asuransi untuk satu tahun di muka. Dalam
kasus itu mencakup premi lebih dari 2 periode pelaporan, menempatkan seluruh jumlah

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 63


Banjarmasin)
premi pada periode pelaporan pertama akan menghasilkan laporan yang tidak akurat
karena hanya sebagian dari premi asuransi sudah habis. Bagian yang belum digunakan
sampai harus mencerminkan sebagai aset perusahaan. Hal ini biasanya dilaporkan dalam
akun beban prabayar sampai semua premi yang digunakan. Perusahaan memiliki beban
tangguhan kemudian untuk diterapkan di kemudian hari pada saat jasa telah dikonsumsi.
Kasus dari premi asuransi yang dibayar oleh pelanggan dibahas di awal adalah kasus
Penangguhan pendapatan, bahwa perusahaan telah menggunakan jasa tersebut dan secara
akurat memiliki aset lancer tersebut. Jumlah tersebut dicatat sebagai akun kewajiban
sampai layanan sepenuhnya disediakan. Proses pelaporan biaya dan pendapatan seperti ini
adalah praktik akuntansi umum dan diterima secara umum dan didasarkan sepenuhnya
pada prinsip pencocokan. (Sumber:http://id.hicow.com/biaya/penangguhan/asuransi-
813912.ht, diakses tanggal 25 Januari 2012)

2) Kapitalisasi Bunga, kapitalisasi biaya bunga merupakan suatu topik yang banyak
menimbulkan polemik di kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan kaum profesi. Pada tahun
1994, Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan suatu standar yang mengatur mengenai
perlakuan akuntansi, yang dianggap sesuai, terhadap biaya bunga. Sejauh ini Indonesia
banyak mengadaptasi standar luar seperti misalnya IAS dan FASB. Khusus mengenai
PSAK no. 26 yang berjudul "Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi" diadaptasi dari
SFAS no. 34 dan bukan dari IAS no. 23.

Dalam perkembangannya terkemudian, penerapan kapitalisasi atas biaya bunga disinyalir


justru mendatangkan banyak permasalahan di dunia bisnis dan dianggap tidak mampu
memberikan kontribusi positif terhadap para pengguna laporan keuangan. Hal yang
banyak disorot, terutama terkait dengan keputusan calon investor dalam memilih investasi
yang menguntungkan apabila metoda NPV dipakai. Dari segi karakteristik kualitatif
laporan keuangan, terjadi permasalahan serius dimana laporan keuangan produk
penerapan kapitalisasi biaya bunga, cenderung menyalahi beberapa karakteristik utama.
Sehingga laporan keuangan tersebut dipandang tidak akurat untuk dijadikan dasar penting
dalam pengambilan keputusan. Penyebab utama permasalahan tersebut adalah karena
[1] laporan keuangan yang menerapkan kapitalisasi cenderung menjadi tidak relevan,
akibat tidak adanya rincian mengenai penyebab timbulnya biaya bunga yang
dikapitalisir. Akibatnya pengguna laporan keuangan tidak mengetahui bagian biaya
bunga mana yang boleh dikapitalisasi dan mana yang tidak boleh.
[2] laporan keuangan menjadi tidak andal, akibat terkontaminasi oleh praktik semacam
earnings management dan window dressing. Walaupun penerapan kapitalisasi atas
biaya bunga membuka banyak peluang terjadinya manipulasi atas laporan keuangan,
akan tetapi di lain pihak, karena kurang ketatnya standar yang ada, secara de jure
perusahaan-perusahaan yang disinyalir melakukan manipulasi temyata tidak cacat
secara hukum.

Terkait dengan perusahaan properti yang pada masa booming (sebelum krisis) sempat
menjadi primadona, ternyata penerapan kapitalisasi biaya bunga dijadikan fasilitas yang
sangat menguntungkan untuk praktik penggelembungan nilai aset, nilai modal, bahkan
untuk mendongkrak nilai laba bersih secara signifikan. Dari pengamatan 15 perusahaan
properti yang listing di BEI, yang menggunakan kapitalisasi, ternyata semuanya
melaporkan laba bersih yang cukup tinggi dan rasio keuangan yang bagus. Tentu saja, hal
tersebut tidak berlaku apabila perlakuan expense atas biaya bunga dipilih.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 64


Banjarmasin)
Dengan diijinkannya pengungkapan penerapan kapitalisasi biaya bunga yang minim
seperti sekarang ini, maka banyak perusahaan properti yang menjadi cepat berkembang
karena mudahnya kucuran kredit dari perbankan. Dengan tibanya masa krisis, dimana
daya beli masyarakat menurun, kegiatan sektor properti kontan menjadi sektor pertama
yang tersendat. Perbankan sendiri akhirnya menderita banyak kerugian akibat kredit macet
dan lebih rendahnya nilai aset yang diagunkan dibandingkan yang tertera. Tentu saja ini
diakibatkan praktik mark-up atas aset, yang dalam pencatatannya menyertakan biaya
bunga di dalamnya.

Sampai saat ini, kritik mengenai topik ini masih banyak dilontarkan baik dari kalangan
FASB sendiri maupun dari IASC yang tegas-tegas menolak perlakuan kapitalisasi atas
biaya bunga. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, melalui IAI, memilih
untuk merevisi PSAK no. 26 tahun 1999. Edisi revisi tersebut, ternyata justru ditambahkan
suatu item baru yang dapat dikapitalisir yaitu rugi selisih kurs. Tentu saja hal ini kemudian
dipandang sebagai suatu kemunduran, dibandingkan praktik akuntansi negara-negara
tetangga yang tidak menerapkan hal tersebut. Kontribusi solusi yang sejauh ini dipandang
berarti ialah mengenai aspek pengungkapan penuh. Untuk mempertahankan konsep
kapitalisasi, PSAK no. 26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah
ada sekarang. Walaupun ini bukan solusi yang paling akurat, tetapi setidaknya cukup
mampu untuk membendung terjadinya asimetri informasi, antara penyaji dan pengguna
laporan keuangan.

Pendekatan teoretis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang
lebar antara teori dan praktik di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi
standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS no.23 merupakan
suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikanm, (Sumber Aruna Wirjolukito,
2011: http://lontar.ui.ac.id/opac themes/libri2/detail.jsp?id= 75912&lokasi=lokal, diakses
tanggal 26 Januari 2012).

Kapitalisasi Bunga Pinjaman menurut PSAK No. 16/2007 tercantum pada paragraf 16,
sebagai berikut.

Biaya administrasi dan overhead umum lainnya bukan merupakan suatu komponen biaya
aset tetap sepanjang biaya tersebut tidak dapat diatribusikan secara langsung pada biaya
perolehan aset atau membawa aset ke kondisi kerjanya. Demikian pula biaya permulaan
(start-up costs) dan pra produksi serupa tidak merupakan bagian biaya suatu
aset kecuali biaya tersebut perlu untuk membawa aset ke kondisi kerjanya. Rugi
operasi awal yang terjadi sebelum suatu aset mencapai kinerja yang direncanakan diakui
sebagai suatu beban. Berdasarkan paragraf 16 di atas pada point "sepanjang biaya
tersebut tidak dapat diatribusikan secara langsung pada biaya perolehan", maka apabila
pinjaman tersebut hanya dikhususkan untuk membeli aset tetap tersebut, bukan untuk
kepentingan yang lain maka bunga tersebut dapat diatribusikan secara langsung pada aset,
sehingga biaya bunga tersebut seharusnya dikapitalisasi pada aset tersebut.

Dilihat lagi dari prinsip matching cost again revenue, apabila pembebanan bunga ini
dilakukan dalam satu tahun sekaligus, maka akan terjadi pembebanan bunga yang terlalu
tinggi pada tahun tersebut sedangkan bunga tersebut merupakan bunga pinjaman atas
pembelian aset yang masa manfaatnya untuk menghasilkan revenue/pendapatan bukan
hanya di tahun tersebut. Berdasarkan pasal Pasal 9 ayat 2 UU PPh: Pengeluaran untuk

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 65


Banjarmasin)
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
atau Pasal 11A. Dalam penjelasan pasal tersebut, sesuai dengan kelaziman usaha,
pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun,
pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut
berperan terhadap penghasilan. Di sini berlaku prinsip penandingan untuk mengakui
beban dan pendapatan yang akan dilaporkan dalam Laporan Laba Rugi dan Posisi
Keuangan perusahaan.

Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam


ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya
perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui
penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11
dan Pasal 11A. Jadi bunga tersebut dikapitalisasi pada harga perolehan mesin (baik secara
akuntansi maupun pajak). Sehingga pencatatan akuntansi pada saat perolehan dengan
sesuai dengan perlakuan di atas, adalah:

Pada saat perolehan mesin:


Mesin (Debit)
Utang (Kredit
Beban Bunga Ditangguhkan (Kredit)
(masuk di sisi utang dan modal di dalam laporan posisi keuangan)

Jurnal Penyesuaian pada akhir tahun:


Beban Penyusutan Mesin (Debit)
Akumulasi Penyusutan Mesin (Kredit)

Pada saat pembayaran bunga:


Beban Bunga Ditangguhkan (Debit)
Kas (Kredit)

Apabila masa ekonomis aset secara akuntansi berbeda dengan masa penyusutan fiskal
(secara fiskal penyusutan dikelompokan dalam kelompok 2), maka akan terdapat koreksi
fiskal (positif atau negatif) beda waktu yang menimbulkan aset atau kewajiban pajak
tangguhan.

3. Pengeluaran kapital (capital expenditure), berkaitan dengan kapitalisasi


pengeluaran.
Apakah diakui sebagai pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) atau
pengeluaran kapital (capital expenditure). Sebab hal ini akan berimplikasi pada penyajian
pengeluaran tersebut dan pendapatan (laba) yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Bila
diakui sebagai pengeluaran penghasilan maka langsung diakui dan dicatat sebagai beban
pada periode tersebut. Sehingga seluruh pengeluaran tersebut akan dilaporan hanya pada
laporan laba rugi saja. Namun, sebaliknya bila dicatat sebagai pengeluaran kapital maka
perlakuan akuntansinya menjadi dua, yaitu diakui sebagai kapital dan dilaporkan pada
laporan posisi keuangan (neraca) dan kedua diakui sebagai beban operasional dan
dilaporkan pada laporan laba rugi.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 66


Banjarmasin)
Misalnya pengeluaran untuk memeroleh hak paten (franchise) suatu merek dagang. Pada
saat pengeluaran, diperlukan dana tunai yang cukup besar dan manfaat ekonomi lebih dari
satu periode akuntansi.

Transaksi ini akan dicatat, (D) Beban hak paten; (K) Kas
Hal ini kurang lazim diperlakukan sebagai pengeluaran revenue (beban) bila manfaat
ekonomis dari pengeluaran tersebut melebihi dari satu periode akuntansi. Seharusnya
adalah dicatat sebagai (D) Hak Paten; (K) Kas. Kemudian akhir periode akuntansi
diamortisasi, yaitu dicatat (D) beban operasional (hak paten); (K) Hak Paten.

Sehingga diperlukan pengakuan pengeluaran kapital pada saat pembayaran (disajikan pada
laporan posisi keuangan dalam kelompok aset tidak berwujud) dan pada akhir periode
dilakukan amortisasi sesuai masa manfaat ekonomis, disajikan pada laporan laba rugi.

4. Modal donasi (aset sumbangan), berkaitan dengan sumbangan/donasi dari pihak luar
yang tidak mengikat. Sumber modal ini bisa berasal dari pemerintah maupun pihak
lainnya. Misalnya tanah (hibah) dari pemerintah untuk pembangunan terminal induk,
maka hal ini akan dicatat dengan mendebit Tanah dan mengkredit ‘Modal Donasi”. Modal
donasi ini, terpisah dari modal perusahaan (modal saham, agio/disagio saham, atau laba
ditahan). Namun tetap dilaporkan dalam kelompok modal (equitas), sementara di debit
(dalam kelompok aset) disajikan sebagai bagian dari aset tetap (Tanah*).

5. Transaksi aset non-moneter, merupakan peristiwa atau kejadian yang tidak berimplikasi
pada pengeluaran atau pendapatan. Hal ini terjadi akan karena adanya:
a) pertukaran aset;
b) penerimaan hibah (donasi); dan
c) penghapusan nilai aset yang sudah off balance sheet atau write off.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 67


Banjarmasin)
PELATIHAN
Kerjakan secara kelompok, sesuai dengan kelompok yang ada.
1. Apa yang disebut aset, jelaskan!
2. Mengapa konsep aset diperlukan dalam proses penyajian dan penyusunan
suatu laporan keuangan, jelaskan!
3. Bagaimana konsep pengukuran aset yang Saudara ketahui? jelaskan
sertakan contoh penerapannya.
4. Kapankah suatu konsep atau prosedur pengakuan aset dapat dikatakan
sebagai hal yang ideal? Mengapa dalam konsep tersebut harus memperhatikan kondisi
ekonomi yang terjadi, jelaskan.
5. Jelaskan masalah khusus yang terjadi dalam konsep aset, dan berikan
contohnya masing-masing untuk masalah tersebut.
6. Bilakah suatu aset harus dicatat dan diakui dalam laporan keuangan?
Konsep atau prosedur apa yang harus dipilih, sehingga pelaporan informasi yang
relevan dan objektif bagi pemakai laporan keuangan dapat dicapai. Namun, kondisi
yang terjadi kadangkala berkaitan dengan kebijakan akuntansi yang diambil oleh
entitas bisnis. Mengapa demikian, jelaskan!
7. Aset adalah aset milik entitas bisnis dan mempunyai manfaat ekonomis
yang terbatas, jelaskan maksud pernyataan tersebut.
8. Bilamana suatu aset dinyatakan milik entitas bisnis maka dasar atau
dokumen apa yang dapat dipakai agar aset tersebut dapat dicatat dan dilaporkan
sebagai aset yang telah dicatat dan diakui secara objektif. Jelaskan! Apakah dokumen
tersebut dapat dikategorikan sebagai data akuntansi.
9. Jelaskan apa yang Saudara ketahui tentang modal kekayaan intelektual
(intellectual capital) dan bagaimana cara untuk mengakui dan melaporkannya dalam
laporan keuangan.
10. Kapankah suatu modal dikategorikan sebagai modal donasi? Berikan
contoh ilustrasinya.
11. Suatu entitas bisnis (perusahaan) menerima aset donasi dari lembaga atau
instansi pemerintah, yaitu sebidang tanah seluas 2 hektar. Tanah tersebut ditaksir
mempunyai nilai wajar sebesar Rp2.250.000.000,00, biaya administrasi dan sertifikasi
yang harus dikeluarkan untuk kepemilikan tanah tersebut sebesar Rp17.500.000,00.
Sebagai tindak lanjut perusahaan akan memanfaatkan tanah tersebut untuk
kepentingan bisnis dan sosial.
Pertanyaan:
a) Bagaimana pencatatan dan pengakuan terhadap tanah tersebut.
b) Uraikan penyajian dan pengungkapannnya dalam laporan keuangan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 68


Banjarmasin)
BAB V

KONSEP PENDAPATAN

PENDAHULUAN
Banyak pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan konsep pendapatan. Dari
sekian banyak konsep tersebut, antara lain yang memandang dari sisi arus aset, produk
perusahaan, pemasaran produk, dan lain-lain. Secara lebih jelas berikut ini akan diuraikan
beberapa konsep pendapatan.

A. PENGERTIAN PENDAPATAN

Pendapatan dapat dianggap sebagai produk perusahaan, artinya sesuatu yang


dihasilkan oleh potensi jasa (cost) yang dimilik oleh perusahaan. Menurut Paton dan
Littleton (1940), pengertian pendapatan dapat ditinjau dari aspek moneter. Dilihat dari
aspek fisik, pendapatan merupakan hasil akhir dari suatu arus fisik dalam proses
menghasilkan laba.

Dari aspek moneter, Paton dan Littleton (1976) menghubungkan arus pendapatan dengan
arus masuk aset yang berasal dari seluruh kegiatan operasi perusahaan. Atas dasar ini
konsep pendapatan, seperti yang diungkapkan Belkaoui (1993) dapat digambarkan sebagai
berikut:

Gambar 6
ALIRAN PENDAPATAN

Pendekatan Aset-Laibilitas

 Arus masuk aset


Konserp Arus Masuk  Kenaikan aset
(In flow)
PENDAPATAN
 Arus keluar
Konsep Arus Keluar
barang dan jasa
(Out flow)
 Penjualan barang
dan pemnyerahan jasa
Pendekatan Biaya-Pendapatan

Sumber: Godzali, 2001, 254 (diolah kembali)

Arus Fisik melibatkan kegiatan berikut.


a) Kegiatan menghasilkan dan menjual produk (ouput)
b) Obyek kegiatan yang berupa produk yang dihasilkan/dijual.
Arus Moneter melibatkan kegiatan:
a) Peristiwa naiknya nilai perusahaan karena kegiatan produksi atau penjualan
produk, dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 69


Banjarmasin)
b) Obyek yang berupa jumlah rupiah aset yang dihasilkan atau dijual.

Dalam APB (1970) pernyataan No. 4 diejlaskan bahwa, pendapatan adalah kenaikan
kotor aset atau penurunan kotor laibilitas yang diakui dan diukur sesuai dengan prinsip
akuntansi berterima umum yang berasal dari kegiatan perusahaan berorientasi laba yang
dapat mengubah ekuitas pemilik. Sedangkan, FASB (1980) dalam SFAC No. 6
mendefinisikan bahwa, pendapatan adalah arus masuk atau kenaikan aset suatu entitas
atau penurunan laibilitas (atau kombinasi keduanya) dari penyerahan atau produksi
barang, penyerahan jasa, atau kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama yang
berlangsung terus menerus dari entitas tersebut.
Sedangkan IAI sendiri memiliki pengertian pendapatan yang tidak jauh berbeda.
Seperti termaktub dalam PSAK No. 23/2009 tentang pendapatan, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pendapatan adalah:
“Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aset normal perusahaan
selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak
berasal dari kontribusi penanam modal”.

B. PENDAPATAN DAN UNTUNG (GAINS)

Kenaikan jumlah rupiah aset dapat berasal dari:


1. Transaksi modal atau pendanaan (financing) yang mengakibatkan adanya
tambahan dana yang ditanamkan oleh pemegang saham dan kreditur (pemegang
saham dan atau obligasi).
2. Untung dari penjualan aset yang bukan berupa dari produk perusahaan
seperti aset tetap, surat berharga, atau penjualan anak perusahaan.
3. Hadiah (donasi), sumbangan, dan temuan.
4. Penyerahan produk perusahaan berupa hasil penjualan produk atau
penyerahan jasa (sumber utama pendapatan), (Suwardjono, 1989, 147).

FASB (1980) mendefinisikan untung (gains) sebagai kenaikan aset yang sekaligus
menaikkan modal yang berasal dari transaksi sampingan atau insidentil atau
transaksi/peristiwa lain yang bukan berasal dari pendapatan atau investasi oleh
pemilik. Dalam pengertian tersebut bahwa FASB memisahkan untung dari
pendapatan. Meskipun demikian, dalam penyajian laporan keuangan, untung tersebut
tetap dilaporkan dalam laporan rugi laba dalam kelompok tersendiri (extra ordinairy
item) yaitu dalam pos laba diluar usaha, sebagai bagian dari laba secara keseluruhan
(comprehensive income).

Sementara IAI, mendefinisikan untung sebagai bagian yang terpisah dari


pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari PSAK No. 23/2009 yang menyebutkan bahwa
penghasilan (income) meliputi pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains).
Secara singkat diurumuskan, sebagai berikut.

I = R+G

Sehingga dengan cara ini, para pemakai laporan keuangan akan dapat mengetahui
dengan jelas kenaikan nilai aset perusahaan, apakah yang berasal dari kegiatan utama
perusahaan atau kegiatan sampingan (insidentil)?

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 70


Banjarmasin)
A. PENGUKURAN PENDAPATAN

Pendapatan diukur dalam satuan nilai tukar produk atau jasa dalam suatu transaksi
yang bebas (arm’s length transaction). Nilkai tukar tersebut menunjukkan ekuivalen
kas atau nilai diskonto tunai dari uang yang diterima atau akan diterima dari transaksi
penjualan. IAI juga menganut prinsip yang sama yaitu mengukur pendapatan
berdasarkan nilai wajar imbalan yang diterima atau dapat diterima.

Apabila periode pengumpulan kas relatif pendek maka potongan tersebut dapat
dihiraukan. Ada tiga alasan yang mendukung perlakuan ini, yaitu:
1) Pada tingkat potongan yang rendah, jumlah yang relatif kecil tidak akan
memengaruhi pengukuran pendapatan. Contohnya bila terjadi transaksi penjualan
secara kredit, dengan potongan 15% dan masa jatuh tempo selama 60 hari, maka
akan menghasilkan potongan kurang dari 3% dari total pendapatan (3/12x15%).
2) Karena potongan dapat diklasifikasikan sebagai bagain dari total pendapatan, maka
pengaruh utama ada pada masalah pengakuan pendapatan tersebut. Potongan harus
segera dicatat setelah pendapatan diakui. Akan tetapi bila jumlah potongan tidak
material (jumlahnya cukup besar) maka pengaruhnya terhadap lapa periode juga
tidak akan besar.
3) Penggolongan pendapatan yang timbul dari penjualan yang disertai potongan dapat
diakui dan dicatat sebagai rugi dan hal ini akan mengurangi jumlah pendapatan
(revenue), (Godzali dan Chariri, 2001, 259).

Dalam pengukuran, pendapatan di atas menunjukkan bahwa nilai uang sekarang


atau setara kas akhirnya kan diterima sebagai hasil dari proses produksi dan transaksi
penjualan. Sehingga jumlah jumlah rupiah bersih dapat diakui sebagai dasar yang
paling wajar dan layak dibandingkan dengan jumlah pendapatan kotor (belum
dikurangkan potongan). Dengan demikian potongan penjualan, retur penjualan dan
biaya lainnya akan diperlakukan sebagai kontra rekening pendapatan secara langsung.
Misalnya penjualan kredit senilai Rp.10.000.000,- potongan tunai 1% dari nilai
penjualan kredit dan biaya angkut penjualan Rp.100.000,- maka pendapatan yang
diakui dan dicatat adalah sebesar Rp.9.800.000,-.

B. PEMBENTUKAN DAN REALISASI PENDAPATAN

Pembentukan pendapatan disebut pula earning process, sedangkan realisasi


pendapatan adalah konsep lain yang berbeda namun saling berkaitan erat dan dapat
digunakan untuk menjelaskan dan mengakui pendapatan. Kedua konsep ini dalam
masuk struktur teori akuntansi sehingga akan dapat memengaruhi dalam penyusunan
dan penyajian laporan keuangan secara wajar dan konsisten.

1). Pembentukan Pendapatan (earning process).


Eaning process adalah konsep yang menjelaskan bagaimana proses terjadinya
pendapatan secara kronologis sesuai dengan kebijakan dan ketentuan yang diambil
oleh perusahaan. Dalam konsep ini, pendapatan diakui dan terbentuk secara bersamaan
dari seluruh proses berlangsungnya kegiatan perusahaan. Sehingga proses
pembentukan pendapatan ini terjadi dari sejak dimulainya kegiatan produksi,

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 71


Banjarmasin)
pemasaran, penjualan hingga saat pengumpulan pilaibilitas usaha, yang memerlukan
waktu tertentu (siklus waktu) dengan didahului pengorbanan ekonomis berupa
pengeluaran biaya atau pun beban. Jadi pada dasarnya pendapatan tidak akan terjadi
bila perusahaan belum atau tidak melakukan kegiatan produksi (industri) dan
penjualan produk atau jasa (dagang dan jasa). Secara lebih jelas proses pembentukan
pendapatan dapat dijelaskan pada gambar berikut.

Gambar 7
PROSES PEMBENTUKAN PENDAPATAN

Cash in flow of revenue

Produksi selesai Pemasaran Penjualan Penagihan


Awal
dan penyimpanan (collection periods)
kegiatan/produksi

Cash out flow o f expenses

Gambar 7: Earning Process

2.) REALISASI PENDAPATAN.

Realisasi pendapatan merupakan teknik akuntansi yang dapat dijadikan sebagai


dasar untuk menandai adanya proses pengukuran dan pengakuan pendapatan secara
wajar. Ada dua hal pokok dalam proses realisasi pendapatan yaitu:

Adanya kepastian perubahan produk menjadi bentuk aset lain (potensi jasa)
melalui kegiatan penjualan yang sah. Diperolehnya aset lain (bentuk aset lancar)
sebagai bentuk pengesahan terhadap transaksi penjualan tersebut, (Godzali dan Chariri,
2001, 262). Berdasarkan peristiwa atau kejadian kedua hal pokok di atas maka dalam
proses realisasi pada dasarnya merupakan penegasan dari proses pembentukan
pendapatan. Sehingga pendapatan tersebut dapat diakui sesuai dengan waktu
kejadiannya dan akan diakui secara proporsional sesuai dengan waktu untuk
mewujudkan pendapatan tersebut.

A. KONSEP PENGAKUAN PENDAPATAN

Secara umum dalam pengakuan pendapatan, perusahaan dan para akuntan


menggunakan konsep realisasi dengan menentukan peristiwa kritis (critical event)
yang akan dijadikan sebagai dasar dalam penentuan waktu pengukuran dan pengakuan
pendapatan tersebut.

1) Kriteria Pengakuan Pendapatan

Menurut FASB (1980) yang dimuat dalam pernyataan SFAC No. 5, ada dua
kriteria yang dapat dijadikan dasar untuk mengakui pendapatan, yaitu:
Telah terealisasi (realized), yaitu bila terjadi transaksi pertukaran antara barang yang
dihasilkan perusahaan dengan kas atau klaim untuk menerima kas. Syarat agar barang
mudah dikonversi adalah:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 72


Banjarmasin)
 Memiliki harga per unit yang pasti dan barang tersebut tidak boleh perubahan
bentuk dan ukuran barang (interchangeable). Misalnya logam mulia, perak
atau perhiasan lainnya.
 Mudah dijual tanpa memerlukan yang yang relatif besar.
 Pendapatan telah terbentuk (earned), yaitu bila kegiatan menghasilkan barang
dan jasa telah berjalan dan secara substansial telah selesai.

Menurut Kam (1990), ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengakui
pendapatan, yaitu:

a) Keterukuran Nilai Aset


Oleh karena pendapatan menyebabkan kenaikan total aset perusahaan yang
sekaligus akan meningkatkan modal perusahaan, kriteria ini merupakan salah satu
kriteria yang dapat diterima secara umum. Kriteria yang umum digunakan, bahwa
aset dianggap sebagai penukar dapat segera dikonversi menjadi kas atau setaranya
(tidak mesti kas dan piutang saja). Diterimanya aset penukar baik likuid maupun
tidak sebagai kriteria pengakuan pendapatan masih tergantung pada kondisi yang
mendasari pertukaran tersebut. Paton dan Littleton (1940, 49) mengemukakan,
“Ditinjau dari pandangan yang dominan bahwa pendapatan dapat direalisasi bila
terbukti ada penerimaan kas atau piutang atau aset lainnya yang likuid.”

Cara lain untuk mencerminkan keterukuran nilai aset adalah adanya kepastian
pengumpulan kas. Masalah pengumpulan kas berkaitan erat dengan perimbangan
(judgment) yang umumnya didasarkan pada pengalaman perusahaan sebelumnya.
Makin lama periode pengumpulan makin besar tingkat ketidakpastian
pengumpulan kas. Hal ini berakibat pada pendapatan tidak dapat segera untuk
diakui.

b) Terjadinya transaksi
Pendapatan diakui apabila terjadi pertukaran antara barang yang dihasilkan
perusahaan dengan aset baru yang diterima perusahaan. Adanya keterlibatan pihak
luar dalam transaksi menunjukkan adanya bukti yang objektif yang berimplikasi
pada naiknya nilai perusahaan. Transaksi pertukaran merupakan nilai dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam menentukan waktu pengakuan pendapatan
dan jumlah pendapatan yang harus dicatat dan diakui, (Godzali dan Chariri, 2001,
265).

c) Proses pembentukan pendapatan telah


selesai
Pendapatan terbentuk apabila ada kegiatan yang menghasilkan pendapatan dan
telah berjalan serta secara substansial telah selesai. Kegiatan menghasilkan
pendapatan secara konseptual terdiri dari tahap produksi, pemasaran, penjualan,
dan pengumpulan kas. Oleh karena itu, setiap kali biaya yang dikeluarkan pada
tahap-tahap tersebut, berarti sejumlah pendapatan telah terbentuk, meskipun
terkadang belum dapat diakui pada periode yang bersangkutan.

PSAK No. 23/2009 telah menentukan kriteria untuk mengakui pendapatan


yang lebih bersifat teknis. Pendapatan diakui apabila besar kemungkinan manfaat

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 73


Banjarmasin)
ekonomi masa depan akan mengalir ke-perusahaan dan manfaat tersebut dapat
diukur dengan andal (reliabel). Selanjutnya dalam PSAK tersebut dinyatakan
bahwa pendapatan dari penjualan barang harus diakui apabila seluruh kondisi
berikut terpenuhi, yaitu:

 Perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan telah


memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli.
 Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas
barang yang dijual.
 Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal. Besar kemungkinan
manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada
perusahaan tersebut.
 Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi
penjualan dapat diukur dengan andal.

2) Saat Pengakuan Pendapatan

2.1. Pendapatan diakui selama kegiatan produksi


Pendapatan diakui selama kegiatan produksi, meskipun produk yang
dihasilkan perusahaan masih dalam proses produksi. Prosedur yang digunakan
adalah persentase penyelesaian. Cara ini umumnya dijumpai pada peusahaan
kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek dan memerlukan waktu lebih dari
satu periode akuntansi. Seperti perusahaan pembuatan kapal, lokomotif,
pembuatan gedung, jalan raya, dan sebagainya. Pengakuan pendapatan dengan
cara ini dapat dilakukan bila harga kontrak sudah pasti dan taksiran biaya untuk
menyelesaikan proyek serta tingkat penyelesaian kontrak dapat ditaksir dan
dipertanggungjawabkan secara wajar. Taksiran tersebut umumnya dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu:

a) Berdasarkan persentase biaya, di mana tahap penyelesaian


ditentukan dengan membandingkan biaya yang telah dikeluarkan dengan
taksiran total biaya untuk menyelesaikan proyek.
b) Berdasarkan persentase penyelesaian fisik, dimana tingkat
persentase penyelesaian fisik didasarkan pada tahap kemajuan proyek
(penyelesain pekerjaan di lapangan).

2.2. Pendapatan diakui pada saat produk selesai.


Pengakuan pendapatan atas dasar produk selesai biasanya dianggap tepat
untuk industri pertambangan dan pertanian, seperti; emas, timah, gandum, dan
sebagainya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mengakui pendapatan
saat produksi selesai, yaitu:

 Harga jual dapat ditentukan dengan cukup tepat.


 Tidak diperlukan kegiatan pemasaran yang cukup material untuk menjual
produk tersebut.
 Biaya produk sulit untuk ditentukan.
 Satuan-satuan persediaan dapatsaling dipertukarkan (barang tidak terpengaruh
oleh perubahan bentuk dan ukuran).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 74


Banjarmasin)
2.3. Pengakuan pendapatan pada saat penjualan.
Pada banyak perusahaan cara ini merupakan dasar yang paling jelas dan
objektif. Paton dan Littleton (1940) mengemukakan sebagai berikut:
Pendapatan merupakan jumlah nominal yang merupakan hasil akhir dari operasi
perusahaan. Oleh kartena itu, harus diakui dan diukur pada tingkat atau titik
kegiatan yang menentukan dalam kegiatan aliran operasi perusahaan. Pendapatan
harus benar-benar terjadi dan didukung oleh adanya aset baru yang sah (sebaiknya
berupa kas dan piutang).

Namun timbul masalah yang terjadi apabila pendapatan diakui pada saat
penjualan adalah yang berkaitan dengan biaya yang terjadi setelah penjualan
(after sales costs) misalnya biaya penagihan piutang usaha, biaya klaim, dan lain-
lain. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi hal
ini,yaitu:

Biaya setelah penjualan, dalam praktik biaya ini terjadi seringkali muncul
setelah terjadinya penjualan, maka sebagai solusinya bila biaya ini muncul adalah
dengan melakukan pendebitan pada jumlah rupiah taksiran biaya dan mengkredit
jumlah rupiah yang sama ke rekening cadangan biaya.

Hak pengembalian barang, khusus kasus ini FASB (1981) yang termuat
dalam SFAS No. 48 menyatakan bahwa bila pembeli mengembalikan barang,
maka pendapatan baru dapat diakui bila beberapa syarat berikut dapat terpenuhi:
Harga jual pasti dan dapat ditentukan pada saat pejualan. Pembeli sudah
membayar kepada penjual atau pembeli diwajibkan untuk membayar penjualan.
Kewajiban untuk membayar tersebut tidak tergantung pada kondisi apakah produk
yang dibeli laku dijual atu tidak. Kewajiban membayar kepada penjual tidak
berubah apabila produk dicuri, nilai produk berkurang atau produk mengalami
kerusakan (aus atau susut).

Pembeli benar-benar ada atau dengan kata lain pembeli merupakan suatu
badan yang secara ekonomi disebut perusahaan Penjual secara signifikan tidak
memiliki kewajiban atau bertanggungjawab terhadap hasil penjualan kembali
produk yang dilakukan pembeli. Jumlah nominal pengambilan dapat ditaksir
secara cukup pasti. Penjualan jasa, ada beberapa pedoman yang dapat digunakan
untuk mengakui pendapatan jasa sebagai berikut.

Apabila kinerja (performance) jasa terdiri dari pengerjaan satu macam tindakan,
pendapatan diakui pada saat pekerjkaan tersebut terlaksana. Misalnya, biro jual
beli rumah, biro jasa, maka pendapat akan diakui pada komisi dari kegiatan
tersebut telah terjadi transaksi. Bila pelaksanan jasa terdiri dari pengerjaan lebih
dari satu macam kegiatan atau tahapan, maka pendapatan diakui selama periode
pelaksanan pekerjaan atau secara proporsional sesuai dengan jangka waktu
penyelesaian jasa tersebut.

Bila jasa dilaksanakan lebih dari satu macam kegiatan, maka pendapatan harus
diakui pada saat pelaksanaan pekerjaan seluruhnya selesai bedasarkan kondisi
berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 75


Banjarmasin)
a) Proporsi jasa yang dihasilkan sebagai
pekerjaan akhir merupakan tindakan yang sangat penting dari keseluruhan jasa
yang dikerjakan.
b) Bila jasa yang diberikan terdiri dari
pekerjaan yang tidak dapat ditentukan dan dilaksanakan pada periode waktu
yang tidak dapat ditentukan maka tidak ada cara untuk menentukan tingkat
penyelesaian pekerjaan. Oleh karena itu, pendapatan harus diakui pada saat
waktu pekerjaan selesai.
c) Bila terdapat tingkat ketidakpastiaan yang
cukup tinggi (significant) dalam pengumpulan pendapatan jasa (kas) maka
pendapatan harus diakui pada saat kas telah diterima.

3. Pendapatan pada saat kas diterima


Dalam hal terdapat ketidakpastian yang besar mengenai pengumpulan piutang usaha
yang timbul dari penjualan barang atau jasa, maka pengakuan pendapatan dapat
ditunda sampai saat kas betul-betul telah diterima. Alasan yang mendukung
penggunaan dasar penerimaan kas untuk pengakuan pendapatan yang berasal dari
penjualan angsuran didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.

a) Seluruh atau sebagian piutang usaha yang timbul bukan merupakan


aset yang mempunyai daya beli murni.
b) Semakin lama jangka waktu angsuran akan semakin besar
kemungkinan piutang usaha yang tidak tertagih.
c) Biasanya sesudah penjualan, terutama biaya penagihan dan
pengumpulan pilaibilitas lebih tinggi dibandingkan dengan biaya sesudah
penjualan untuk jenis penjualan kredit.

Dari beberapa pendekatan dalam pengakuan pendapatan di atas maka dapat diringkas
pelaporan pendapatan harus memenuhi kriteria berikut.

1. Nilai ekonomis harus sudah


ditambahkan perusahaan pada produksinya,
2. Jumlah pendapatan harus dapat
diukur,
3. Pengukuran harus dilakukan dan
secara relatif bebas dari bias, dan
4. Adanya penandingan beban dengan
pendapatan dengan dasar yang layak.

Tabel berikut ini mengikhtisarkan beberapa periode dan kondisi pelaporan pendapatan
dalam laporan keuangan, yaitu:
TABEL 5
IKHTISAR PELAPORAN PENDAPATAN

SAAT PELAPORAN KRITERIA KETERANGAN


Selama kegiatan produksi Penetapan harga berdasarkan Akrual: kontrak jangka panjang
kontrak atau persyaratan dilihat dari tingkat pertumbuhan
tertentu menggunakan harga (accretion)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 76


Banjarmasin)
pasar yang ada pada tingkatan
produksi tertentu.
Saat penyelesaiaan produk Harga jual didasarkan pada Logam mulia, produk pertanian
harga pasar atau nilai wajar dan jasa tertentu.
Pada saat penjualan Harga yang telah ditetapkan Misalnya; barang dagangan
pada produk itu.
Saat penerimaan kas Harga wajar pada saat transaksi Misalnya: penjualan angsuran,
atau akad ditambah beban pertukaran aset, dll
tambahan (bunga maupun
marjin) yang disepakati.

PELATIHAN

1. Apa yang disebut pendapatan, jelaskan!


2. Mengapa konsep pendapatan diperlukan dalam proses penyajian dan
penyusunan laporan keuangan, jelaskan!
3. Bagaimana konsep pengukuran pendapatan yang Saudara ketahui? Jelaskan
sertakan contoh penerapannya.
4. Kapan suatu pendapatan harus diakui dan diukur?
5. Kapankah suatu konsep atau prosedur pengakuan pendapatan sebagai hal
yang ideal? Mengapa dalam pengakuan pendapatan tersebut harus memperhatikan
kondisi ekonomi yang terjadi, jelaskan.
6. Jelaskan bagaimana mengakui dan mengukur pendapatan di luar usaha,
media apa untuk mengungkapkannya? Jelaskan.
7. Pendapatan atau penghasilan dalam suatu kegiatan usaha diakui untuk
tujuan tertentu pada waktu transaksi dicatat (critical event). Dalam beberapa kondisi
tertentu pendapatan diakui bersamaan pada waktu penghasilan tersebut diperoleh.
Tetapi pada kondisi lainnya penghasilan bisa juga diakui pada saat terjadinya
penjualan.
c) Jelaskan dan berikan alasan mengapa pendapatan diakui pada saat
penjualan.
d) Pada saat kondisi apa yang tepat mengakui pendapatan untuk
kegiatan yang bersifat produktif.
e) Kapan suatu pendapatan diakui secara umum, tentukan titik
kritisnya (kejadian penting).
8. Untuk dapat digolongkan sebagai akun luar biasa dalam laporan laba rugi, suatu
kejadian atau transaksi harus bersifat tidak biasa atau tidak kerap terjadi. Jelaskan
bagaimana suatu kejadian tersebut bersifat tidak biasa dan bagaimana harus
diungkapkan dalam laporan keuangan.
9. Mengapa pendapatan perlu diakui dan dilaporkan dalam laporan keuangan, jelaskan!
10. Jika perusahaan memperoleh laba pada tahun buku, tahun ini sebesar
Rp.1.000.000.000,- dan penghasilan laba di luar usaha sebesar Rp.250.000.000,-
sedangkan pembagian dividen berjumlah Rp.250.000.000,- (250.000 lbr saham).
Jelaskan bagaimana menyajikan dan mengungkapkan hal ini dalam laporan keuangan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 77


Banjarmasin)
BAB VI

KONSEP BIAYA

PENDAHULUAN

Biaya merupakan salah satu pengorbanan yang harus dilakukan oleh suatu entitas
bisnis, agar tujuannya dapat tercapai. Ada beberapa konsep biaya yang ditemukan dalam
praktik bisnis. Salah satu konsep tersebut adalah, konsep dasar yang melandasi
pembebanan dan pelaporan biaya menurut Paton dan Littleton (1970), yaitu Konsep
Upaya dan Hasil (efforts and accomplishment concepts) yang terbagi dalam dua bagian,
yaitu:
a) Expenses yang masih melekat diakui dan dicatat sebagai biaya.
b) Expenses yang sudah habis dipakai, diakui, dan dicatat sebagai beban.

A. PENGERTIAN

Ada beberapa pengertian biaya dilihat dari sudut pandang peristiwa moneter dan fisik.
Menurut FASB (1980), “Biaya adalah arus kas keluar (cash out flows) atau pemakaian
aset atau timbulnya laibilitas atau kombinasi keduanya selama satu periode yang berasal
dari penjualan atau produksi keduanya selama satu periode yang berasal dari penjualan
atau produksi barang atau penyerahan jasa atau pelaksanaan kegiatan lainnya yang
merupakan kegiatan utama perusahaan (entitas)”. Sedangkan IAI (2009) dalam paragraf
70, “Biaya (beban) adalah penurunan manfaat ekonomis selama satu periode akuntansi
dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang
mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal”.

Menurut Kam (1990), biaya sebagai penurunan nilai aset atau kenaikan laibilitas atau
kenaikan ekuitas pemegang saham (stockholder’s equity) sebagai akibat pemakaian barang
atau jasa oleh suatu unit usaha untuk menghasilkan pendapatan periode berjalan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, biaya tersebut memiliki karakter
sebagai berikut.

1. Biaya dapat dipandang dari sudut peristiwa fisik dan moneter.


2. Biaya menunujukkan adanya perubahan nilai, yang menunujukkan
pengorbanan ekonomis yang telah dan akan dilakukan.
3. Biaya akan dikeluarkan dari adanya kegiatan pemakaian aset untuk tujuan
menghasilkan pendapatan.

Secara lebih jelas, perbedaan antara biaya dan beban dapat dilihat pada tabel berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 78


Banjarmasin)
Tabel 6
PERBEDAAN BIAYA DAN BEBAN

FOKUS BIAYA BEBAN


Biaya tidak habis pakai Habis pakai dalam periode
Tujuan pengeluaran untuk menghasilkan bersangkutan untuk menghasilkan
pendapatan pendapatan
Masa (periode) manfaat Lebih dari satu periode
Maksimal satu periode akuntansi
ekonomis akuntansi
Dicatat dalam rekening Dicatat sebagai beban (beban
Pencatatan dan pelaporan Biaya (sebagai aset lancar) operasional) dan dilaporkan
dan dilaporkan di Neraca dalam laporan laba rugi
Alokasi /pembebanan Secara sistematis Tidak ada alokasi (segera)

B. PENGUKURAN DAN PENGAKUAN BIAYA

Pengukuran dan pengakuan biaya memainkan peranan penting dalam penyusunan


laporan keuangan. Kecermatan mengukur besarnya biaya akan memengaruhi
keakuratan informasi laporan keuangan yang dihasilkan. Ketepatan saat mengakui
biaya juga akan berpengaruh dalam penentuan besarnya tingkat laba/rugi perusahaan.
Sejalan dengan hal tersebut maka ada tiga konsep dasar dalam pengukuran biaya yang
dapat digunakan sebagai berikut.

1. Konsep Biaya Historis (historical cost), yaitu jumlah rupiah atau setara kas yang
dikorbankan untuk memperoleh aset berdasarkan periode pengeluarannya, seperti
gedung, peralatan, dan asuransi dibayar dimuka.
2. Konsep Biaya Pengganti (replacement cost), yaitu jumlah atau harga aset
pertukaran sekarang sebagai dasar pencatatan. Misalnya, penilaian untuk sediaan,
aset, gedung, dan tanah.
3. Konsep Biaya Setara Kas (cash equivalent), yaitu jumlah rupiah atau kas yang
dapat direalisasi dalam kondisi perusahaan normal.

Dalam konsep untuk mengakui biaya ada dua konsep yang mempunyai kedudukan
penting yaitu:
a) sebagai aset (potensi jasa) dan
b) sebagai beban pendapatan (biaya).

Atas dasar konsep kontinyuitas usaha (going concern), biaya pertamakali dapat
diperlakukan sebagai pengurang pendapatan, namun hal ini berakibat munculnya dua
masalah yaitu:

1) Kriteria yang digunakan untuk menentukan biaya tertentu yang harus dibebankan
pada pendapatan periode berjalan.
2) Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa biaya tertentu ditangguhkan
pembebanannya.

Berdasarkan hal tersebut maka biaya dapat ditangguhkan pembebanannya bila:


a) Memenuhi definisi aset (memiliki manfaat ekonomis masa mendatang, dapat
dikendalikan perusahaan, atau berasal dari transaksi masa lalu).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 79


Banjarmasin)
b) Ada kemungkinan yang cukup bahwa manfaat ekonomis masa mendatang yang
melekat pada aset dapat dinikmati oleh entitas yang menguasainya.
c) Besarnya manfaat eknonomis dapat diukur secara andal (reliable).

Di lain pihak beban dalam laporan rugi laba dapat diakui bila terdapat penurunan
manfaat ekonomis masa mendatang yang berkaitan dengan penurunan aset atau
kenaikan kewajiban yang telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Beban juga akan
dapat diakui, dicatat dan dilaporkan dalam laporan laba rugi pada saat timbul
kewajiban meskipun tanpa harus adanya pengakuan aset, misalnya saat timbulnya
laibilitas garansi.

C. PRINSIP PENANDINGAN (MATCHING PRINCIPLES)

Konsep ini dimaksudkan adalah untuk mencarai dan menemukan dasar hubungan yang
tepat dan rasional anatara pendapatan dan biaya. Pendapatan merupakan hasil yang akan
dituju oleh perusahaan, sementara biaya yang dikeluarkan adalah dalam upaya untuk
memperoleh pendapatan tersebut sesuai dengan konsep upaya dan hasil. Namun terkadang
muncul masalah berkaitan dengan upaya penandingan ini. Masalah utama tersebut adalah
menandingkan antara pendapatan dan biaya, yuaitu untuk menentukan dasar yang paling
tepat, antara biaya dan pendapatan yang berhubungan langsung.

Hubungan fisik yang dapat dilihat sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk
dapat melacak dan dasar pembebanannya. Meskipun demikian harus diakui bahwa dengan
melihat kondisi yang ada, seharusnya dasar penandingan yang paling penting adalah
alasan kelayakan (reasonableness) bukan pada alasan hubungan fisiknya. Gambar konsep
penandingan hubungan biaya dengan pendapatan sebagai berikut.

GAMBAR 8
KONSEP PENANDINGAN

GOODS
BUSSINES UNIT
INCOME
UNITUNITS
EXPENSES
CGM/CGS BTU
D Revenue dan
csT Gains
Cost of Assets
Basic of matching:
-Hubungan sebab akibat
-Alokasi sistematis
-Pembebanan segera

Ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan sebagai dasar untuk mencari
hubungan antara biaya dan pendapatan dalam satu periode tertentu, (Kam, 1990)
mengemukakan sebagai berikut:
1. Hubungan sebab akibat (association of causes and effects)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 80


Banjarmasin)
2. Alokasi sistematik dan rasional (systematic and rational allocation)
3. Pembebanan segera (immediate recognition)

Tiga konsep dasar penandingan tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Hubungan sebab akibat, dalam dasar ini biaya akan ditandingkan secara langsung
(direct matching principles) seperti beban komisi penjualan, gaji dan upah, dan
beban barang yang terjual (cost of goods sold). Oleh karena itu, biaya harus
dihubungkan dengan pendapatan yang direalisasi selama periode tertentu atas
dasar korelai rasional yang dapat dilihat secara langsung. Sehingga dalam
mengalokasikasikan secara rasional biaya tersebut dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) biaya yang melekat pada produk yang terjual yang akan diakui sebagai beban;
dan
b) biaya yang melekat pada produk yang belum terjual (dilaporkan sebadai elemen
persediaan) dan akan dicatat sebagai aset sampai produk atau jasa tersebut
terjual.

Dalam perusahaan industri biaya dikelompokkan dalam biaya produksi


langsung dan biaya produksi tidak langsung. Biaya produksi langsung adalah biaya
yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa tertentu yang secara
langsung dapat diidentifikasi atau ditelususri ke produk yang dihasilkan tersebut.
Seperti biaya bahan baku dan tenaga kerja, karena terjadinya pengeluaran biaya
tersebut terjadi atau manfaat ekonomisnya dapat diidentifikasi langsung pada
produk yang dihasilkan itu, maka akan lebih tepat menggunakan beban bahan baku
dan beban gaji dan upah. Sedangkan biaya produksi tidak langusng adalah biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan barang atau jasa dan digunakan dalam
proses produksi, sehingga dalam pembebanannya perlu dilakukan identifikasi atau
penelusuran secara sistematis, proporsional, dan akurat. Biaya tersebut adalah
biaya overhead pabrik (lebih tepat digunakan beban overhead pabrik).

Untuk biaya langsung yang berhubungan dengan pendapatan masa


mendatang, tetapi tidak masuk dalam biaya produksi, maka pembebanan biaya
harus dilakukan pada saat terjadinya atau dikeluarkannya biaya tersebut. Oleh
karena itu, biaya tersebut diakui dan dilaporkan pada periode terjadinya, kecuali
masa manfaat yang akan diperoleh dari pengorbanan biaya tersebut dapat diukur
secara andal maka biaya tersebut harus dialokasikan pada periode berikutnya
secara proporsional, yaitu dengan melakukan penandingan antara pendapatan dan
biaya yang telah dikeluarkan.
Bila biaya yang berhubungan dengan pendapatan yang terjadi setelah
pendapatan diakui, maka hal ini akan berkaitan dengan penentuan besarnya biaya
yang akan timbul, misalnya setelah transaksi, atau setelah penjualan. Apabila biaya
tersebut dapat ditaksir dan diukur secara layak dan andal maka biaya ini dapat
diakui sebagai biaya pada periode pengakuan pendapatan tersebut. Jadi hubungan
sebab akibat dapat digunakan bila dapat didentifikasi untuk menentukan bahwa
pendapatan tersebut terjadi akibat adanya biaya yang dikeluarkan atau sebaliknya.
Misalnya untuk biaya penagihan piutang usaha, yang timbul akibat keterlambatan
pembayaran atau karena pelanggan yang pindah ke lokasi lain.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 81


Banjarmasin)
Untuk biaya garansi, yang timbul sebagai biaya pada saat pemasaran produk
atau penjualan dan harus dicatat dan diakui sebagai laibilitas garansi. Meskipun
sebenarnya biaya ini belum terjadi tetapi pembenannya harus dilakukan sebagai
wujud tanggung jawab dan penjaminan kepercayaan masyarakat. Hal ini sejalan
dengan prinsip dalam pengakuan pendapatan bahwa biaya tidak akan terjadi bila
tidak ada pendapatan. Seperti dalam kontrak jangka panjang yang menggunakan
metoda kontrak selesai, maka biaya tidak akan diakui atau dibebankan selama
belum adanya pendapatan yang diakui. Pada penjualan angsuran (installment
sales), total penjualan angusuran dan beban pokok barang terjual (cost of goods
sold) dicatat secara bersamaan. Selisih penjualan dan beban pokok barang terjual
dicatat dalam rekening laibilitas dengan nama “Laba Kotor yang Belum
Direalisasi” (LKBD). Laba ini akan dialokasikasikan secara proporsional sesuai
dengan arus kas masuk atau angsuran yang telah diterima. Dengan demikian,
beban barang yang terjual dianggap memiliki hubungan dengan pendapatan atas
dasar kas yang diterima.

2. Alokasi sistematis dan rasional, atau dikenal dengan dasar penandingan periodik
(period matching) atau penandingan tidak langsung (indirect matching principles).
Alokasi ini dapat digunakan sebagai dasar penandingan bila dasar penandingan
sebab akibat tidak dapat digunakan. Ada beberapa alasan yang mendukung
pemakaian alokasi ini, yaitu:

1. Banyak biaya periodik yang berhubungan secara tidak langsung dengan periode
berjalan.
2. Sulitnya mencari dasar hubungan langsung yang layak dan rasional.
3. Manfaat ekonomis masa mendatang yang sulit diukur dengan layak dan andal.
4. Biaya yang terjadi bersifat rutin dan terjadi berulang-ulang, dan
5. Biaya tersebut merupakan biaya bersama.

3. Pembebanan segera (immediate recognition), pembebanan dengan cara ini


dilakukan bila tidak ada alasan yang kuat untuk membebankan biaya atau beban
atas dasar hubungan sebab akibat dan alokasi sistematis dan rasional, maka biaya
harus dibebankan segera pada periode terjadinya. Alasan yang melandasi
pembebanan dengan cara ini adalah kepraktisan. Seperti biaya yang dikeluarkan
untuk iklan, akan sangat sulit dihubungkan dengan pendapatan atas dasar
hubungan sebab akibat, karena biaya tersebut kemungkinan memiliki masa
manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi. Demikian juga manfaat
ekonomis tersebut sulit untuk diukur secara andal dalam cara pembebanan atas
dasar alokasi sistematis dan rasional sehingga sebagian besar entitas menggunakan
cara pembebanan segera. Dengan asumsi bahwa biaya tersebut tidak sangat besar
dan terjadi secara rutin.

D. KELEMAHAN KONSEP PENANDINGAN

Konsep penandingan merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam


kerangka akuntansi konvesional. Menandingkan biaya dengan pendapatan (Paton dan
Littleton, 1970) sama halnya dengan menandingkan upaya dan hasil (efforts and
accomplishment). Beberapa kelemahan konsep ini adalah:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 82


Banjarmasin)
1. Bukti yang objektif.
Dalam pengakuan pendapatan, bukti objektif merupakan syarat utama yang harus
dipenuhi. Namun demikian bukti objektif tersebut kurang begitu diperhatikan dalam
pengakuan biaya. Pengakuan biaya lebih didasarkan pada masalah rasional dan
kelayakan dari pada bukti objektif. Salah satu alasan tidak diperhatikannya bukti
objektif dalam pengakuan biaya adalah adanya penerapan konsep konservatisme.
Konsep ini menyatakan bahwa biaya, rugi dan laibilitas harus segera diakui meskipun
tidak ada bukti yang andal dan objektif. Sementara pendapatan, untung (gains) dan
aset tidak dapat diakui apabila tidak ada bukti yang objektif.

2. Suatu kondisi atau situasi yang melibatkan ketidakpastian (uncertainty).


Hal ini memungkinkan timbulnya suatu kerugian (losses) bagi entitas dimana
timbulnya rugi tersebut sangat tergantung pada terjadinya atau tidaknya suatu
peristiwa sekarang atau masa yang akan datang. Dalam rugi kontijensi hendaknya
dimasukkan sebagai unsur biaya. Seperti kemungkinan tidak terkumpulnya piutang
usaha, gugatan terhadap aset, sengketa di pengadilan, dan lain-lain. Terhadap hal
tersebut maka taksiran kerugian harus diakui berdasarkan kondisi berikut.

a. Sebelum laporan keuangan disajikan maka terhadap informasi yang


menunjukkan kemungkinan timbulnya rugi yang cukup pasti, harus diungkapkan.
b. Bila jumlah kerugian dapat ditaksir dengan layak dan andal (akurat), maka
dapat ditentukan besarnya kerugian berdasarkan tingkat persentase tertentu.

E. EVALUASI TERHADAP KONSEP PENANDINGAN


Dari ketiga konsep penandingan yang diuraikan sebelmunya, maka hubungan
sebab akibat merupakan konsep paling ideal untuk menandingan antara biaya
dengan pendapatan. Karena pembebanan sebab akibat mempunyai alasan rasional.
Selain itu, terjadinya suatu biaya atau pun pendapatan disebabkan karena adanya suatu
kegiatan. Misalnya biaya/beban penjualan, muncul karena adanya transaksi penjualan,
biaya gaji karyawan, karena adanya karyawan yang bekerja, dan seterusnya. Namun
hubungan ini sebenarnya akan sulit untuk diterapkan karena terkait dengan konsep
biaya melekat (cost attach) dan tidak memiliki alasan atau argumentasi yang kuat.
Oleh karena itu, dalam menetapkan konsep penandingan yang dipakai harus
memperhatikan beberapa kriteria berikut.

1. Kejelasan (Additivity)
Aloklasi harus melibatkan keseluruhan jumlah yang ada, sehingga jumlah bagian-
bagiannya sama dengan jumlah keseluruhannya dan tidak kurang atau tidak lebih.
Dengan kata lain, jika jumlah yang dilokasikan ditambahkan bersama-sama maka
totalnya harus sama dengan jumlah sebelum alokasi.
2. Ketegasan (Unambiguity)
Metoda alokasi harus menhasilkan alokasi yang unik dengan menggunakan satu
dasar alokasi yang jelas (scarcity) dan tepat, dan sistematis.
3. Defensibilitas (Defensibility)
Metoda alokasi yang dipilih harus lebih baik dibanding dengan metoda alokasi
lainnya. Dan metoda tersebut harus didukung oleh alasan yang kuat agar dapat
dipertahankan dari kemungkinan pemakaian metoda lainnya. (Godzali dan Chariri,
2003).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 83


Banjarmasin)
PELATIHAN

1. Apa yang disebut biaya dan beban, jelaskan!


2. Bagaimana konsep biaya dalam proses penyajian dan penyusunan laporan
keuangan, jelaskan!
3. Uraikan manfaat pengukuran biaya yang Saudara ketahui? Jelaskan sertakan
contoh penerapannya.
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan upaya dan hasil (efforts and
accomplishment).
5. Jelaskan tiga konsep basic of matching dalam biaya.
6. Untuk dapat digolongkan sebagai akun luar biasa dalam laporan laba rugi, suatu
kejadian atau transaksi harus bersifat tidak biasa atau tidak kerap terjadi. Jelaskan
bagaimana suatu kejadian tersebut bersifat tidak biasa dan bagaimana harus
diungkapkan dalam laporan keuangan.
7. Mengapa biaya harus diukur dan disajikan dalam laporan keuangan, jelaskan!
8. Jika perusahaan mengeluarkan biaya asuransi tanggal 2 Januari 1991 sebesar
Rp18.000.000,- untuk periode 3 tahun. Pada akhir tahun buku 1991 (Desember)
dilakuan penyesuaian terhadap biaya asuransi tersebut. Bagaimana pencatatan dan
penyajiannya transaksi tersebut dalam laporan keuangan. Berapa beban yang
diatribusikan untuk tahun berjalan, dan berapa biaya yang masih melekat, jelaskan
jawaban Saudara.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 84


Banjarmasin)
BAB VII

KONSEP LABA

PENDAHULUAN

Laba adalah sisa lebih yang diperoleh oleh entitas bisnis, yaitu sisa lebih antara
pendapatan dan biaya atau beban. Jadi laba merupakan kenaikan harga aset yang dimiliki
selama satu periode akuntansi, atau kenaikan daya beli yang diinvestasikan. Sehingga
konsep laba ini harus dipahami secara baik agar kenaikan ekuitas tersebut dapat digunakan
sebagai informasi yang optimal bagi semua pihak dalam mengambil keputusan ekonomi.
Dalam praktik, kita harus dapat memisahkan konsep laba menurut pandangan barbagai
pihak. Tergantung pada tujuan terhadap penyajian laba tersebut. Sebab laba tersebut
merupakan akumulasi dari seluruh kegiatan baik yang bersifat rutin maupun non rutin.

A. PENGERTIAN LABA (INCOME)

Pengertian laba yang dianut dalam struktur akuntansi sekarang adalah laba akuntansi
yang merupakan selisih dari pengukuran pendapatan dan biaya. Dalam Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, (IAI, 2009) menyatakan, Penghasilan
(income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal). Dalam paragraf lain (07)
selanjutnya disebutkan bahwa: penghasilan (income) meliputi pendapatan (revenue)
maupun keuntungan (gains). Jadi pendapatan merupakan kenaikan asset, yang dihasilkan
dari pendapatan setelah dikurangi dengan beban atau biaya.

Menurut Fisher (1912) dan Bedford (1965) menyatakan bahwa pada dasarnya ada tiga
konsep laba yang umum digunakan sebagai berikut:

1. Phsycal income, yang menunjukan konsumsi barang/jasa yang dapat


memenuhi kepuasan dan keinginan individu.
2. Real income, yang menunjukkan kenaikan dalam kemakmuran ekonomi
yang ditunjukkan oleh adanya kenaikan cost of living.
3. Money income, yang menunjukkan kenaikan nilai moneter sumber-sumber
ekonomi yang digunakan untuk konsumsi sesuai dengan biaya hidup (cost of
living).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 85


Banjarmasin)
4.
Menurut Mitchel dalam Bedford (1965), perbedaan antara laba ekonomi
dan laba akuntansi disebabkan oleh perbedaan konsep yang melandasinya. Hick
(1946) secara spesifik menyebutkan bahwa laba ekonomi (economic income)
adalah jumlah maksimum yang dapat dikonsumsi selama satu minggu tanpa harus
mengurangi jumlah kemakmuran pada awal periode. Laba akuntansi memiliki
karakteristik sebagai berikut.
1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual terutama yang berasal dari
penjualan barang/jasa.
2. Laba akuntansi didasarkan pada postulat periodisasi dan mengacu pada kinerja
perusahaan selama satu periode.
3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pedapatan yang memerlukan
pemahaman khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan.
4. Laba akuntansi memerlukan pengukuran tentang biaya (expenses) dalam
bentuk biaya historis.
5. Laba akuntansi menghendaki adanya penandingan (matching) antara
pendapatan dengan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan
tersebut.

B. LABA AKUNTANSI.

Laba akuntansi ini, meskipun banyak dipakai dalam praktiknya, namun kita harus
memperhatikan beberapa keunggulan dan kelemahan pada konsep ini. Masing-masing hal
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

 Keunggulan laba akuntansi dapat dirumuskan sebagai berikut.


1) Laba akuntansi teruji dalam sejarah di mana pemakai
laporan keuangan masih mempercayai bahwa laba akuntansi masih bemanfaat
untuk membantu pengambilan keputusan ekonomi.
2) Laba akuntansi diukur dan dilaporkan secara objektif
dan dapat diuji kebenarannya (verifiable).
3) Laba akuntansi dipandang bermanfaat untuk tujuan
pengendalian terutama pertanggungjawaban manajemen.

 Kelemahan laba akuntansi dapat dirumuskan sebagai berikut.


a) Laba akuntansi gagal mengakui kenaikan
nilai aset yang belum direalisasi dalam satu periode karena prinsip biaya historis
dan realisasi.
b) Laba akuntansi yang didasarkan pada
prinsip biaya historis mempersulit perbandingan laporan keuangan karena
kemungkinan terjadinya perbedaan metoda perhitungan biaya dan metoda alokasi.
c) Laba akuntansi yang didasarkan pada
prinsip realisasi, biaya historis, dan koservatisme dapat menghasilkan data yang
menyesatkan dan tidak relevan (Belkauoi, 1993).

Di pihak lain kelemahan laba akuntansi tersebut di atas menurut Hendriksen


(1989) menyebutkan beberapa kelemahan laba akuntansi yang diukur dengan
Kerangka akuntansi konvensional. Oleh karena itu, secara lebih jelas Hendriksen
(1989) mengungkapkan pula beberapa kelemahan sebagai berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 86


Banjarmasin)
a. Konsep laba belum dirumuskan secara jelas.
b. Belum ada dasar pengukuran dan penyajian yang secara
teroritis mantap.
c. Praktik akuntansi yang diterima umum memungkinkan
timbulnya ketidakkonsistenan dalam pengukuran laba periodik dari perusahaan
yang berbeda atau periode akuntansi yang sama.
d. Perubahan tingkat harga (daya beli uang) belum
tercermin dalam laba akuntansi yang dihitung atas dasar nilai nominal uang.
e. Informasi lain mungkin terbukti lebih bermanfaat bagi
investor dan pemegang saham dalam pengambilan keputusan investasi.

C. TUJUAN PELAPORAN LABA

Tujuan pelaporan laba adalah memberikan informasi keuangan yang dapat


menunjukkan kinerja/prestasi perusahaan (earning management) dalam menghasilkan laba
(earning per share). Tujuan pelaporan laba adalah untuk menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Oleh
karena itu, informasi tentang laba perusahaan sangat penting bagi investor dan pembuat
keputusan (decision maker) yang dapat digunakan sebagai berikut, yaitu:

1. indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang


diwujudkan dalam tingkat kembalian (rate of return on invested capital);
2. pengukur prestasi manajemen;
3. alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomi suatu negara;
4. dasar kompensasi dan pembagian bonus;
5. alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan;
6. dasar untuk kenaikkan kemakmuran; dan
7. dasar pembagian dividen.

D. KONSEP PENGUKURAN DAN PENGAKUAN LABA

Pengukuran laba sangat tergantung pada besarnya pendapatan dan biaya. Oleh
karena laba adalah bagian dari pendapatan, maka konsep penghimpunan dan realisasi
pendapatan juga berlaku untuk laba. Sehingga dalam pengukuran dan pengakuan laba
tersebut akan serupa dan konsisten dengan pengukuran dan pengakuan pendapatan. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya basic concept yang sama. Dalam Konsep Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, IAI (2009) dinyatakan bahwa,
“Penghasilan (income) akan diakui apabila kenaikan manfaat ekonomi di masa
mendatang yang berkaitan dengan peningkatan aset atau penurunan kewajiban yang
telah terjadi dan jumlahnya dapat diukur dengan andal.” (paragraf 06)

Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang akan
diterima (paragraf 08). Imbalan tersebut umumnya berupa kas atau nilai setara kas yang
diterima atau yang akan diterima. Sehingga dalam bentuk fisik pendapatan tersebut,
seyogyanya harus benar-benar taerjadi, dan telah diterima secara nyata oleh manajemen.
Bukan berdasarkan estimasi maupun pendapatan yang akan diterima, atau belum
direalisasikan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 87


Banjarmasin)
Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur laba:

1. Pendekatan Transaksi (transaction concept)


Pendekatan transaksi menganggap bahwa perubahan aset atau laibilitas (laba)
terjadi hanya karena adanya transaksi, baik internal maupaun eksternal. Transaksi
eksternal timbul karena adanya transaksi yang melibatkan perubahan
aset/laibilitas dengan pihak luar perusahaan. Pada saat transaksi eksternal terjadi,
nilai pasar dapat dijadikan dasar untuk mengakui pendapatan.
Bahwa pendapatan dari hasil transaksi harus diakui bila seluruh kondisi di bawah
ini terpenuhi, yaitu:

a. perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan memindahkan


manfaat kepemilikan barang atau jasa kepada pembeli,
b. perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas
barang atau jasa yang dijual,
c. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur secara andal,
d. besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan
mengalir kepada perusahaan tersebut, dan
e. biaya yang terjadi atau akan terus terjadi sehubungan transaksi penjualan dapat
diukur secara andai (PSAK, 23/2009, 13).

2. Pendekatan Kegiatan (event concept)


Pendekatan ini merupakan perluasan dari pendekatan transaksi. Hal ini disebabkan
pendekatan kegiatan dimulai dengan transaksi sebagai dasar pengukuran.
Perbedaannya adalah bahwa pendekatan transaksi didasarkan pada proses
pelaporan yang mengukur transaksi dengan pihak luar.

3. Pendekatan Pemeliharaan Modal (capital maintenance concept)


Dalam konsep pemeliharaan modal, kapital disini dimaksudkan sebagai kapital
dalam arti kekayaan bersih dalam artian luas dan dalam berbagai bentuknya. Jadi
kapital diartikan sebagai kelompok kekayaan tanpa memperhatikan siapa yang
memiliki kekayaan tersebut.
Pengukuran terhadap kapital sangat dipengaruhi oleh nilai (unit pengukur),
jenis kapital dan skala pengukuran. Perbedaan terhadap ketiga faktor tersebut
akan mengakibatkan perbedaan besarnya laba yang akan diperoleh.

1) Nilai atau satuan unit pengukur


Nilai menunjukan preferensi seseorang terhadap barang tertentu karena
adanya manfaat yang diharapkan dari barang tersebut. Nilai bersifat subyektif
dan sulit diukur, maka harga pasar dianggap sebagai nilai yang objektif untuk
mengukur suatu barang (obyek) tersebut. Secara umum nilai kapital dapat
diukur dengan menggunakan biaya historis, current cost maupun
replacement cost.
2) Jenis Kapital
Kapital secara umum diartikan sebagai aset bersih (netto) yaitu selisih antara
jumlah laibilitas. Laba dapat dihitung dari selisih antara kapital awal dan
kapital akhir. Pada dasarnya pengertian kapital dapat ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu finansial dan fisik.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 88


Banjarmasin)
3) Skala Pengukuran
Skala menunjukan seberapa besar informasi yang dihasilkan oleh sejumlah
angka tertentu. Skala pengukuran dalam akuntansi dapat dibagi menjadi dua
yaitu skala nominal dan skala daya beli konstan:

a. Skala Nominal
Skala pengukuran nominal adalah sejumlah rupiah (nominal) yang telah
terjadi dan dicatat dalam akuntansi tanpa memperhatikan perubahan daya
beli.
b. Skala Daya Beli Konstan
Untuk memperoleh nilai atas dasar skala daya beli konstan, unit moneter
diubah dengan menggunakan indeks tertentu (misalnya indeks harga
konsumen). Metoda yang dapat digunakan untuk menilai aset bersih
(Hendriksen, 1989):
2. Kapitalisasi aliran kas harapan (capital of expected cash flows).
3. Penilaian harga pasar perusahaan (market valuation of the firm).
4. Jumlah setara kas (market cash equivalent).
5. Harga input historis (historical input prices).
6. Harga input terkini (current input prices).
7. Daya beli konstan (constant purchasing power).

E. UNSUR LABA
Ada dua konsep yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan. Dua konsep
yang sering digunakan untuk menentukan unsur laba perusahaan tersebut, yaitu
current operating concept (earnings) dan all inclusive concept of income (laba
komprehensif).

a. Konsep Laba Periodik (earning periodic)


Konsep laba periodik dimaksudkan untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan.
Ukuran efisiensi umumnya dilakukan dengan membandingkan laba periodik
berjalan dengan laba periodik sebelumnya atau dengan laba perusahaan lain pada
industri yang sama. Yang termasuk unsur laba adalah peristiwa atau perubahan
nilai yang dapat dikendalikan manajemen dan berasal dari keputusan-keputusan
periodik berjalan.

b. Laba Komprehensif
FASB dalam SFAC No. 3 dan 6 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan laba
komprehensif adalah, “Total perubahan aset bersih (ekuitas) perusahaan selama
satu periode berasal dari semua transaksi dan kegiatan lain dari sumber selain
sumber yang berasal dari pemilik”.
Pengertian laba komperhensif adalah hampir sama dengan pengertian laba bersih
(net income) yang penyusunannya menggunakan konsep atau pendekatan all
inclusive. Laba periodik dan laba komprehensif mempunyai komponen utama yang
sama yaitu pendapatan, biaya, untung, dan rugi.

F. UNSUR NON OPERASIONAL


Unsur non-operasional adalah pos luar biasa (extraordinary item), kegiatan yang
dihentikan (discontinued operation), dan perubahan akuntansi (accounting changes).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 89


Banjarmasin)
a. Pos Luar Biasa (extraordinairy items)
Extraordinary items adalah peristiwa atau transaksi yang memiliki pengaruh
material, dan diharapkan jarang terjadi serta tidak berasal dari faktor yang sifatnya
berulang-ulang dalam kegiatan usaha normal perusahaan (APB Opinion No. 9,
1966, 21).
Definisi tersebut banyak dikritik karena bersifat ambiguous. Akhirnya dikeluarkan
APB Opinion No. 30 “Reporting the Results of Operation” pada tahun 1973 yang
menyebutkan bahwa unsur laporan keuangan dikatakan sebagai extraordinary
items jika memenuhi dua syarat berikut ini.

1. Tidak umum (unusual).


2. Jarang terjadi (infrequency of occurrence).

b. Penghentian Segmen Bisnis


Segmen bisnis merupakan komponen dari entitas yang kegiatannya menunjukkan
bisnis yang terpisah atau berdasarkan kelas konsumen. Penghentian segmen bisnis
berarti kegiatan operasional bisnis tersebut dihentikan atau dijual. Apabila
penghentian segmen bisnis dilakukan maka harus ada pengakuan untung atau rugi
penghentian tersebut pada tanggal pengukuran.
Laba atau rugi yang akan diakui termasuk yang terjadi akibat dua faktor berikut:
1) Laba atau rugi kegiatan segmen mulai tanggal pengukuran sampai tanggal
penghentian.
2) Untung atau rugi penghentian segmen.

APB No. 30 menyebutkan bahwa hasil penghentian segmen dilaporkan


bersih setelah pajak dan disajikan dalam laporan laba rugi setelah pos laba usaha
(laba dari kegiatan normal) tetapi sebelum pos luar biasa.

c. Perubahan Kebijakan Akuntansi (judgment of accounting)


Perubahan akuntansi dapat dikelompokan ke dalam tiga jenis,yaitu:
1. Perubahan prinsip akuntansi, yaitu perubahan yang terjadi dimana perusahaan
memilih metoda akuntansi yang berbeda dengan metoda yang digunakan
sebelumnya. Metoda akuntansi yang dipilih tersebut masih berada dalam
lingkup generally accepted accounting principles, (misalnya dari FIFO ke
LIFO untuk persediaan, atau dari metoda penyusutan garis lurus ke metoda
penyusutan dipercepat).
2. Perubahan estimasi akuntansi, yaitu perubahan taksiran jumlah tertentu atas
jumlah taksiran yang telah ditentukan pada periode sebelumnya (misalnya
taksiran umur ekonomi aset tetap atau taksiran piutang usaha tidak tertagih).
3. Perubahan entitas pelapor, yaitu perubahan yang berkaitan dengan status
entitas pelapor sebagai akibat konsolidasi, perubahan anak perusahaan tertentu
atau jumlah perusahaan yang dikonsolidasikan.

d. Penyesuaian Periode Sebelumnya.


Jumlah akuntansi untuk penyesuaian periode sebelumnya dibebankan atau dikredit
ke saldo laba ditahan awal periode. Jumlah tersebut adalah jumlah bersih setelah
diperhitungkan pajak sehingga jumlah tersebut tidak diperhitungkan dalam
penentuan laba bersih tahun berjalan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 90


Banjarmasin)
G. PERATAAN LABA (INCOME SMOOTHING)
Ada beberapa pendapat yang mencoba membahas teknik perataan laba tersebut
sebagai berikut.

a. Beidelman (1973), perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai


usaha yang disengaja untuk meratakan laba atau memfluktuasikan tingkat laba
sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal
ini perataan laba menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk
mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diijinkan dalam praktik
akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar. Selanjutnya dia mengungkapkan
ada dua alasan yang unik untuk melakukan alasan perataan laba, yaitu:
Alasan pertama didasarkan pada pola laba periodik yang stabil dan dapat
mendukung tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan pola laba
berfluktuasi.
Alasan kedua berkaitan dengan upaya meratakan kemampuan untuk
mengantisipasi pola fluktuasi laba periodik dan kemungkinan mengurangi
korelasi kembalian yang diharapkan perusahaan (firm’s expected return)
dengan kembalian porto folio pasar (return of market portfolio).

b. Heyworth (1953), menyatakan bahwa motivasi yang mendorong dilakukannya


teknik perataan laba adalah untuk memperbaiki kinerja hubungan dengan
kreditur, investor dan karyawan, serta meratakan siklus usaha melalui proses
psikologis.

c. Barnes, et. Al (1976) yang membedakan tiga dimensi perataan laba, yaitu:
1) Perataan laba melalui terjadinya peristiwa dan akan pengakuan
peristiwa. Artinya manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi
aktual sehingga pengaruh transaksi tersebut terhadap laba yang dilaporkan
cenderung rata sepanjang waktu. Teknik ini disebut pula dengan istilah real
income.

2) Perataan melalui alokasi (classification smoothing). Jika angka-


angka dalam laporan rugi laba selain laba bersih merupakan obyek laba, maka
manajemen dapat dengan mudah mengklasifikasikan unsur-unsur dalam
laporan laba rugi sehingga mengurangi variasi laba setiap periodenya.

3) Perataan melalui alokasi sepanjang periodik. Atas dasar terjadi dan


diakuinya peristiwa tertentu, oleh manajemen yang memiliki media
pengendalian tertentu dalam penentuan laba periodik yang dapat terpengaruh
oleh adanya kualifikasi peristiwa tertentu. Teknik ini disebut pula dengan
istilah articial smoothing.

Pelatihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Laba? Jelaskan!
2. Mengapa laba dikelompokkan dalam beberapa kelompok,
jelaskan
3. Bagaimana konsep laba menurut akuntansi?
4. Bagaimana laba dilaporakan dalam laporan keuangan?
Jelaskan disertai contohnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 91


Banjarmasin)
5. Jelaskan konsep pengakuan dan pengukuran laba?
6. Apakah yang Saudara ketahui tentang Income Smoothing,
jelaskan! Bagaimana hal ini dapat terjadi.
7. Mengapa diperlukan kebijakan akuntansi? Apakah
tujuannya dilakukan kebijakan akuntansi, jelaskan secara jelas.

BAB VIII

KONSEP LAIBILITAS

A. PENGERTIAN LAIBILITAS
Konsep laibilitas ini, biasanya berkaitan dengan waktu dan kondisi yang mendasari
timbulnya laibilitas tersebut. Dari dimensi waktu, laibilitas dikategorikan dalam jangka
pendek dan jangka panjang, sedangkan dari kondisi dapat timbul karena adanya
transaksi rutin atau pun yang khusus (misalnya kewajiban kontinjensi). Ada berbagai
pengertian yang dirumuskan dalam laibilitas ini, antara lain:

SFAC No. 6, mendefinisikan laibilitas adalah pengorbanan manfaat ekonomi masa


mendatang yang mungkin timbul karena kewajiban sekarang suatu entitas untuk
menyerahkan aset atau memberikan jasa kepada entitas lain di masa mendatang
sebagai akibat transaksi masa lalu. IAI (1999), mendefinisikan laibilitas adalah
kewajiban merupakan laibilitas perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa
lalu, penyelesainnya diharapkan mengakibatkan arus ke luar dari sumber daya
perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi.

Berdasarkan kedua pengertian di atas maka dapat dirumuskan bahwa, laibilitas


adalah kewajiban perusahaan (entitas) sekarang yang berimplikasi terhadap
pengorbanan sumber daya ekonomi masa sekarang, dan berasal dari transaksi atau
peristiwa masa lalu. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan ada tiga makna pokok
dalam laibilitas tersebut, yaitu:
1. adanya kewajiban sekarang;
2. implikasi pengorbanan sumber daya ekonomi; dan
3. berasal dari transaksi masa lalu.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 92


Banjarmasin)
Kewajiban sekarang, timbul akibat adanya tanggungjawab dari perusahaan untuk
segera menunaikan kewajibannya dalam bentuk penyerahan aset atau jasa. Laibilitas
ini muncul karena adnya tuntutan dari dari pihak lain yang menghendaki penyelesaian
terhadap kewajiban tersebut sesuai dengan perjanjian, atau karena telah jatuh tempo.
Kewajiban ini pada umumnya dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu:
1) kewajiban pada pihak eksternal (investor, kreditur), dan
2) kewajiban pada pihak internal (karyawan atau pemilik).

Kewajiban pada pihak eksternal dapat berupa kewajiban rutin atau kewajiban
khusus. Kewajiban rutin adalah berkaitan dengan laibilitas kepada supplier, bank atau
pihak lainnya yang terjadi secara berulang-ulang. Sedangkan kewajiban khusus adalah
kewajiban pada pihak internal maupun eksternal. Misalnya kewajiban pembayaran
tunjangan dan kesejahteraan karyawan, dan bonus, sedangkan kewajiban khusus dapat
berupa laibilitas dividen atau laibilitas bersyarat lainnya.

Implikasi pengorbanan sumber daya ekonomi, hal ini akibat timbulnya


kewajiban yang harus segera diselesaikan atau telah jatuh tempo. Sehingga untuk
memenuhi adanya kewajiban atau tuntutan (klaim) tersebut maka perusahaan harus
mengalokasikan sejumlah dana. Berupa mengalirnya aset (sumber daya) atau jasa
kepada pihak lain yang akan menerima, sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah
disepakati.

Transaksi masa lalu, berkaitan dengan objektivitas dan kesahihan transaksi


tersebut. Sehingga untuk mengakui adanya transaksi harus dapat didukung dengan
bukti yang objektif dan sah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada perusahaan atau
entitas tersebut. Misalnya untuk kasus pembelian barang dagangan secara kredit, maka
syarat pengakuan terjadinya laibilitas harus dikaitkan pula dengan syarat penyerahan
barang. Apakah menggunakan FOB destination atau apakah menggunakan FOB
shipping point? Untuk mengakui pencatatan dan pelaporan persediaan sekaligus
mengakui timbulnya laibilitas, harus memperhatikan faktor tersebut.

B. PROSES TERJADINYA LAIBILITAS


Laibilitas dapat terjadi karena adanya proses kontrak (contractual process) dan
faktor lain yang memenuhi kriteria untuk mengakui adanya laibilitas. Proses kontrak
terjadi karena adanya kesepakatan dengan pihak lain untuk melakukan transaksi
(pembelian atau penyerahan jasa) secara objektif dan sah, sesuai dengan prosedur atau
kesepakatan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pihak. Sedangkan faktor lain,
terjadi karena adanya kejadian khusus pada perusahaan atau entitas dan hal ini
berakibat perusahaan atau entitas tersebut harus menunaikan kewajibannya. Hal ini
dapat terjadi karena peristiwa hukum atau sosial (dapat berupa transaksi keuangan atau
non keuangan). Misalnya, akibat adanya tuntutan masyarakat pengguna barang atau
jasa terhadap kualitas barang (garansi), atau karena faktor kelalaian sehingga terjadi
kecelakaan. Hal ini berimplikasi pada timbulnya kewajiban untuk melakukan
perbaikan atau penggantian terhadapa kerusakan tersebut.

Kohler (1970), menyatakan bahwa uitang adalah suatu jumlah yang harus dibayar
dalam bentuk uang, barang atau jasa khususnya laibilitas yang memiliki kriteria
sebagai berikut:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 93


Banjarmasin)
1) Telah terjadi, seperti beban gaji, beban asuransi, dan beban iklan.
2) Akan terjadi, misalnya laibilitas biaya, laibilitas pajak, dan laibilitas bank.
3) Terjadi karena tidak dilaksanakannya suatu tindakan di masa mendatang, misalnya
laibilitas bersyarat, atau beban tangguhan. (Godzali dan Chariri, 232, 2001).

Selanjutnya atas dasar rumusan di atas, maka hlaibilitas dapat terjadi karena beberapa
faktor berikut.

1. Kewajiban Legal (contractual liabilities), adalah laibilitas yang timbul karena


adanya ketentuan formal berupa peraturan hukum untuk membayar kas atau
menyerahkan barang (jasa) kepada entitas tertentu. Misalnya, laibilitas dagang dan
laibilitas bank.
2. Kewajiban Konstruktif (constructive liabilities), timbul karena kewajiban
tersebut sengaja diciptakan untuk tujuan atau kondisi tertentu, meskipun secara
formal dilakukan melalui perjanjian tertulis untuk membayar sejumlah tertentu di
masa mendatang. Misalnya, rencana bonus yang akan dikeluarkan oleh perusahaan
pada awal tahun anggaran, hal ini dipandang sebagai laibilitas bonus.
3. Kewajiban Equitabel (moral liabilities), kewajiban yang timbul karena adanya
kebijakan yang diambil oleh perusahaan karena alasan moral atau etika dan
perlakuannya dapat diterima oleh praktik secara umum. Misalnya laibilitas garansi,
kewajiban ini timbul karena adanya kebijakan perusahaan terhadap pemberian
garansi kepada konsumen, agar tidak merugikan konsumen. Meskipun tidak
berimplikasi hukum, tetapi lebih pada kewajiban moral (hazad moral). Kewajiban
ini timbul karena adnya sanski moral, sosial atau kebiasaan. Oleh karena
kewajiban equitabel tidak didasarkan pada ketentuan hukum, maka ada
kecenderungan ketidakkonsistenan dalam praktik. Untuk mengatasi masalah ini,
sebaiknya kewajiban equitabel ini harus disertai pula dengan ketentuan hukum,
agar dapat mengikat perusahaan untuk selalu menepati kebijakan yang telah
diambilnya.

Secara umum laibilitas harus diakui dan dilaporkan dalam laporan


keuangan (neraca) bila memenuhi persyaratan berikut.
1) Pengorbanan ekonomis barang atau jasa untuk masa mendatang.
2) Jumlah laibilitas dapat diukur secara anda, dan
3) Secara substansi transaksi laibilitas telah terjadi.

C. PENGUKURAN DAN PENGKLASIFIKASIAN LAIBILITAS DALAM LAPORAN KEUANGAN

Dasar pengukuran laibilitas adalah jumlah rupiah yang telah atau akan
dikorbankan
pada saat pelunasan atau jatuh tempo. Sebagai dasar penilaian dapat digunakan nilai
sekarang (current value) atu berdasarkan nilai diskonto yang akan terjadi. Misalnya
menggunakan nilai kas masa mendatrang: Nilai kas sekarang adalah nilai kas masa
mendatang pada periode tertentu ditambah dengan tingkat bunga yang telah disepakati.

Dalam pendiskontoan, umumnya tidak dilakukan karena adanya selisih antara nilai
sekarang dengan nilai jatuh tempo (maturity value), tetapi perlu memperhatikan pula
faktor ketidakpastian (contingencies) nilai pembayarannya. Hal ini akan berpengaruh
terhadap nilai kewajiban tersebut. Secara umum dalam pelaporan keuangan, laibilitas

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 94


Banjarmasin)
atau kewajiban ini diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu pada bagain laibilitas
jangka pendek dan laibilitas jangka panjang (long term liabilities). Laibilitas jangka
pendek, biasanya didasarkan pada tanggal pembayaran (periode) yang kurang dari satu
tahun atau telah jatuh tempo pada tahun yang bersangkutan, meskipun berasal dari
laibilitas jangka panjang, misalnya laibilitas dagang, laibilitas gaji, laibilitas bonus,
dan laibilitas dividen. Sedangkan laibilitas jangka panjang masa pembayaran (jatuh
tempo), lebih dari satu periode akuntansi, misalnya laibilitas bank, dan laibilitas
modal.

Khusus untuk laibilitas yang bersyarat, maka harus diungkapkan secara khusus
dalam neraca, meskipun kemungkinan pembayarannya belum dapat ditentukan secara
andal. Misalnya laibilitas garansi, dan laibilitas pelayanan (servis) purna jual.
Sedangkan laibilitas tangguhan (deffered liabilities), dapat pula disajikan sebagi
kewajiban, meskipun laibilitas tangguhan ini bukan merupakan kewajiban ekonomi,
tetapi dapat diakui dan diukur sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Misalnya: dana pensiun, laibilitas pajak, laba kotor belum direalisasi (dalam kasus
penjualan angsuran).

D. PELUNASAN LAIBILITAS
Kewajiban dapat dikatakan lunas bila perusahaan telah melakukan penyerahan
barang atau jasa kepada pihak lain. IAI (2009), dalam PSAK menyatakan bahwa
penyelesaian kewajiban masa kini biasanya berkaitan dengan kepentingan perusahaan
untuk mengorbankan sumber daya yang dimiliki, untuk memenuhi tuntutan pihak lain.
Dalam proses penyelesaian laibilitas ini dapat dilakukan beberapa cara sebagai berikut.

a. Pembayaran kas.
b. Penyerahan aset (misalnya, penyerahan persediaan).
c. Penyerahan jasa.
d. Konversi kewajiban dengan kewajiban lain.
e. Konversi kewajiban menjadi modal.
f. Pembebasan atau pembatalan kewajiban.
g. In-Substance Defeseance, yaitu pelunasan laibilitas dengan cara melakukan
perjanjian antara debitur dengan badan perwalian (trust) untuk menempatkan
sejumlah dana dan bebas risiko sebagai dana pembayaran laibilitas untuk masa
sekarang dan mendatang. Namun pada kondisi tertentu, bila ternyata aset atau dana
yang diserahkan tersebut tidak memenuhi syarat (adanya tuntutan dari pihak lain)
maka laibilitas tersebut harus segera diselesaikan (dilunasi) atau kalau tidak harus
dicantumkan dalam neraca.

Pelatihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Laibilitas? Jelaskan!
2. Jelaskan bagaimana proses terjadinya laibilitas?
Berikan contohnya.
3. Apakah yang dimaksud dengan kewajiban equitabel?
Jelaskan contohnya.
4. Bagaimana liabilities ini disajikan dan dilaporkan
dalam laporan keuangan? Jelaskan disertai contohnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 95


Banjarmasin)
5. Apakah yang Saudara ketahui tentang kewajiban
konstruktif, jelaskan! Bagaimana hal ini dapat terjadi.
6. Bagaimana proses pelunasan laibilitas, jelaskan dan
berikan contohnya.
7. Apakah utang jangka panjang yang telah jatuh tempo
(masa akhir pelunasan) dapat dikelompokkan dalam utang jangka pendek, jelaskan
dan berikan contohnya.
8. Bila suatu liabilities disajikan dalam kelompok
laibilitas lancar. Apakah dasar atau ketetuan yang dapat menjelaskan fenomena ini
dalam konsep teori Akuntansi. Jelaskan.

BAB IX

PENGUNGKAPAN DALAM LAPORAN KEUANGAN

PENDAHULUAN

Siklus akhir dari suatu kegiatan pencatan, pengukuran, dan pengklasifikasian adalah
membuat suatu laporan. Yaitu laporan keuangan sesuai dengan, kebutuhan pemakai
laporan keuangan. Agar seluruh informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut
bermanfaat dan mempunyai relevansi yang optimal, maka harus disertai dengan
penjelasan (catatan atas laporan keuangan) berupa pengungkapan informasi tambahan
yang signifkan. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terhadap informasi yang bersifat
wajib maupun sukarela dapat diuraikan sebagai berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 96


Banjarmasin)
A. PENGERTIAN DAN JENIS PENGUNGKAPAN
Secara umum dalam menerbitkan laporan keuangan adalah untuk menyediakan
informasi keuangan yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan ekonomi,
terutama pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut. Sehingga dalam
laporan keuangan diperlukan pengungkapan yang komprehensif dan memadai, agar
para pemakai laporan keuangan dapat menggunakan informasi tersebut secara
optimal, relevan dan akurat. Hal ini berarti, dalam laporan keuangan memerlukan
pengungkapan (disclosure); artinya tidak menutupi atau tidak menyembunyikan.
Berkaitan dengan penerbitan laporan keuangan, disclosure yang mengandung arti
bahwa laporan keuangan harus mampu memberikan informasi dan penjelasan yang
cukup, lengkap, jelas dan dapat menggambarkan secara akurat kejadian-kejadian
ekonomi yang terjadi dan berpengaruh terhadap hasil usaha pada periode tertentu
secara konsisten dan wajar.

Tiga konsep pengungkapan yang sering diusulkan untuk digunakan dalam penerbitan
laporan keuangan adalah:
1. Pengungkapan yang cukup (adequate), yaitu pengungkapan informasi minimal
yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan.
2. Wajar (fair), merupakan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama
dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan.
3. Lengkap (full), yaitu penyajian semua informasi yang relevan, signifikan, dan
relevan, dan mudah dipahami (informatif).

B. KEPADA SIAPA INFORMASI HARUS DIUNGKAPKAN


FASB (1980) dalam SFAC No. 1 menyatakan bahwa pelaporan keuangan harus
memberikan informasi yang berguna bagi investor potensial dan kreditur dan
pengguna lainnya dalam rangka pengambilan keputusan investasi yang rasional,
pemberian kredit dan keputusan sejenis lainnya.

Disamping ketiga pihak di atas hendaknya informasi juga diungkapkan kepada


pegawai, pelanggan/konsumen, pemerintah, dan masyarakat umum. Tetapi penekanan
pengungkapan adalah pada investor, karena keputusan investor adalah dapat diketahui
dengan jelas dan terdefinisikan dengan baik. Agar keputusan yang diambil berkaitan
dengan kegiatan membeli, menjual, dan mempertahankan saham (modal) dalam hal
pemberian kredit, investasi, perpanjangan kredit, ataupun penarikan kredit (investasi).
PSAK No.1/2009 (revisi), “Laporan keuangan menyajikan secara wajar posisi
keuangan, kinerja keuangan dan arus kas suatu entitas. Penyajian yang wajar
mensyaratkan penyajian secara jujur dampak dari transaksi, peristiwa dan kondisi
lain sesuai dengan definisi dan kriteria pengakuan aset, laibilitas, pendapatan dan
beban yang diatur dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan. Penerapan SAK, dengan pengungkapan tambahan jika diperlukan,
dianggap menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar”.
Entitas yang laporan keuangannya telah patuh terhadap SAK membuat pernyataan
secara eksplisit dan tanpa kecuali tentang kepatuhan terhadap SAK tersebut dalam
catatan atas laporan keuangan. Entitas tidak boleh menyebutkan bahwa laporan
keuangan telah patuh terhadap SAK kecuali laporan keuangan tersebut telah patuh
terhadap semua yang dipersyaratkan dalam SAK.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 97


Banjarmasin)
C. INFORMASI APA SAJA YANG HARUS DIUNGKAPKAN?
Tujuan dasar pembuatan laporan keuangan menekankan yang penting dalam
pengungkapan laporan keuangan bagi investor. Agar informasi dapat disajikan secara
memadai dan dapat diperbandingkan. Oleh karena itu, menurut prinsip akuntansi yang
berterima umum (PABU) hendaknya informasi tersebut disajikan minimal dalam dua
periode akuntansi. Perbandingan adalah untuk memberikan pengungkapan yang cukup
mengenai bagaimana angka-angka akuntansi itu diukur dan dihitung.

SFAC No. 1 menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan tidak terbatas pada isi
dari laporan keuangan saja, tetapi lebih luas. Bahwa, Pelaporan keuangan mencakup
tidak hanya laporan keuangan tetapi juga media pelaporan informasi lainnya yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan informasi yang disediakan oleh sistem
akuntansi. Informasi tersebut berisi tentang sumber-sumber ekonomi, hlaibilitas, laba
periodik, dan hal lainnya.

Tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC No. 1 dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pelaporan keuangan memberikan informasi yang bermanfaat bagi investor dan
kreditur, dan pemakai lainnya dalam mengambil keputusan investasi, kredit dan
yang serupa secara rasional. Informasi tersebut harus bersifat komprehensif bagi
mereka yang memiliki pemahaman yang rasional tentang kegiatan bisnis dan
ekonomi dana memiliki kemauan untuk mempelajari informasi dengan cara
rasional (paragraf 34).
2. Pelaporan keuangan memberikan informasi untuk membantu investor, kreditur dan
pemakai lainnya dalam menilai jumlah, pengakuan, dan ketidakpastian tentang
penerimaan kas bersih yang berkaitan dengan perusahaan (paragraf 37).
3. Pelaporan keuangan memberikan informasi tentang sumber-sumber ekonomi suatu
perusahaan, klaim terhadap sumber-sumber tersebut (kewajiban suatu perusahaan
untuk menyerahkan sunber-sumber pada entitas lain atau pemilik modal), dan
pengaruh transaksi, peristiwa, dan kondisi yang mengubah sum,ber-sumber
ekkonomi dan klaim terhadap sumber tersebut (paragraf 40).
4. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang hasil usaha (kinerja
keuangan) suatu perusahaan selama satu periode (paragraf 42).
5. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang bagaimana perusahaan
memperoleh dan membelanjakan kas, tentang pinjasman dan pembayaran kembali
pinjaman, tentang transaksi modal, termasuk dividen kas dan distribusi lainnya
terhadap sumber ekonomi perusahaan kepada pemilik, serta faktor-faktor lainnya
yang memengaruhi likuiditas dan sovabilitas perusahaan (paragraf 49).
6. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang bagaimana manajemen
perusahaan mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik (pemegang
saham) atas pemakaian sumber ekonomi yang dipercayakan kepadanya (paragraf
50).
7. Pelaporan keuangan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan
direktur sesuai kepentingan pemilik (paragraf 52).

Untuk selanjutnya laporan keuangan harus disajikan secara lengkap sesuai dengan
elemen laporan keuangan yang ada, seperti Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Rugi
Laba, Laporan Laba Ditahan, dan laporan lainnya. Oleh karena itu, untuk mengakui
dan mengungkapkan serta menyajikan transaksi atau peristiwa tertentu dalam laporan
keuangan harus memperhatikan beberapa faktor berikut:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 98


Banjarmasin)
a. Definisi (definition); suatu pos akan masuk dalam struktur akuntansi
apabila memenuhi definisi elemen laporan keuangan.
b. Keterukuran (measurability); suatu pos harus memiliki makna tertentu
yang relevan dan dapat diukur jumlahnya dengan reliabilitas yang tinggi.
c. Relevansi (relevance); informasi yang terdapat dalam pos tersebut
memiliki kemampuan untuk membuat suatu perbedaan dalam keputusan
yang diambil pemakai laporan keuangan.
d. Reliabilitas (reliability); informasi yang disajikan harus sesauai dengan
keadaan yang sebenarnya dan digambarkan atau mempresentasikan
secara objektif, dapat diuji kebenarnnya (verifiablity), konsisten dan
netral. (Godzali, 2001, 338)

D. JENIS DATA YANG HARUS DIUNGKAPKAN

Ada dua jenis data yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan, yaitu:
1) Pengungkapan data kuantitatif dan
2) Pengungkapan data kualitatif.

Dalam menyajikan informasi kepada investor dan kreditur tekanannya lebih


ditujukan pada informasi keuangan berupa dalam satuan moneter (data kuantitatif)
dan hendaknya dilengkapi dengan data pendukung lainnya agar dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan ekonomi. Disamping itu akan dilengkapi pula
informasi lainnya secara rinci seperti segmen report (misalnya diversifikasi produk,
keadaan geografis dan pertumbuhan normal), estimasi atau peramalan yang relevan
bagi para pemegang saham (data kualitatif). Informasi kualitatif ini akan dapat
bermanfaat bagi investor dan pengguna lainnya bila disajikan informasi yang relevan
dengan proses pengambilan keputusan ekonomi. Informasi dikatakan relevan bila
informasi tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added information) bagi
pemakainya.

Secara umum ada lima macam informasi kualitatif yang perlu diungkapkan
berkaitan dengan rekening dan jumlah yang tercantum dalam laporan keuangan, yaitu:
1. Ketidakpastian (uncertainty), yaitu peristiwa yang kemungkinan akan terjadi masa
mendatang dan akan berpengaruh secara material terhadap keadaan keuangan
perusahaan.
2. Dasar penilaian dan kebijakan akuntansi, pengungkapan tentang dasar atau metoda
penilaian yang digunakan perusahaan seperti: metoda penilaian persediaan perlu
diungkapkan dalam laporan keuangan.
3. Perubahan akuntansi, yaitu pengungkapan terhadap perubahan atas kebijakan yang
digunakan perusahaan, seperti perubahan metoda penilaian persediaan dan FIFO
menjadi LIFO.
4. Keterikatan dengan suatu perjanjian atau kontrak, pengungkapan tentang adanya
pembatasan-pembatasan atau keterikatan dari satu atau lebih aset, hlaibilitas
maupun kontrak.
5. Peristiwa kemudian setelah tanggal neraca (subsequent event), penjelasan tentang
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sesudah tanggal neraca tetapi sebelum
laporan keuangan dipublikasikan merupakan informasi penting yang perlu
diungkapkan, (Godzali, 2001, 341-342).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 99


Banjarmasin)
E. PENGUNGKAPAN WAJIB (MANDATORY DISCLOSURE) DAN PENGUNGKAPAN SUKARELA
(VOLUNTARY DISCLOSURE)

Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi (data) baik bersifat


kuantitatif maupun kualitatif dengan memperhatikan unsur adequate, fair, dan full. Di
USA lembaga yang mewajibkan pengungkapan adalah Security and Exchange
Commission (SEC), identik dengan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) di
Indonesia, yang menjadi otoritas pengungkapan wajib bagi perusahaan.
Pengungkapan sukarela, merupakan pengungkapan melalui informasi keuangan
berupa supplementary information, sesuai dengan kebijakan perusahaan (entitas).

Metoda pengungkapan digunakan dalam laporan keuangan harus memperhatikan


sifat informasi yang disajikan dan kepentingan relatif pengguna. Ada beberapa metoda
pengungkapan yang sering digunakan yaitu:

1) Bentuk dan susunan laporan formal,


2) Terminologi dan penyajian yang rinci,
3) Informasi sisipan,
4) Catat kaki (footnotes),
5) Ikhtisar tambahan dan skedul-skedul,
6) Komentar dalam laporan auditor, dan Pernyataan Direktur Utama atau Ketua Dewan
Komisaris, dan
7) Bentuk lainnya disesuaikan dengan kebutuhan pengungkapan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 100


Banjarmasin)
BAB X

TINJAUAN UMUM TEORI AKUNTANSI SYARIAH

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (kamu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim" (Al Maidah: 51)

PENDAHULUAN

Mayoritas ahli sejarah akuntansi, seperti Sieveking, mengira bahwa akuntansi tumbuh
karena tumbuhnya serikat-serikat dagang (partnerships) (Littleton, 1933 hal. 9). Padahal
sebenarnya tumbuhnya serikat-serikat itu sebagai salah satu fenomena luasnya
perdagangan tidaklah menjadi asas dalam perkembangan akuntansi. Sebab, tumbuhnya
serikat-serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan dengan tumbuhnya
negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, berbagai negara seperti negeri Babil, Fir`aun, dan
Cina, telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk pencatatan
transaksi keuangan. Penggunaan tersebut menyerupai apa yang sekarang dikenal dengan
nama "Maskud Dafatir" (bookkeeping), dan bertujuan mencatat pendapatan dan
pengeluaran negara.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa negara Islam telah mendahului Republik Italia
sekitar 800 tahun dalam menggunakan sistem pembukuan, selanjutnya salah satu sistem
pembukuan modern yang dikenal dengan nama sistem Al Qaidul Muzdawaj yang sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan negara dari satu sisi, dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
para pedagang muslim dari sisi yang lain. Sesungguhnya pengertian "muhasabah"
(akuntansi) di negara Islam hingga pengklasifikasiannya pada tahun 1924 dan pengertian
inilah yang harus senantiasa ada di dalam masyarakat Islam meskipun pada saat negara
Islam tidak ada lagi, berbeda dengan apa yang ada di masyarakat lain di luar Islam.
Sesungguhnya pengertian "muhasabah" di dalam masyarakat Islam tidak sekedar masalah
pencatatan data-data keuangan, tetapi lebih sempurna dari itu.

Di antara yang patut disebutkan adalah Al Qur'an tidak menunjukkan kata


"muhasabah" dengan istilah yang kita kenal sekarang, tetapi menunjukkan kandungannya
lebih dari 48 kali (Athiyyah, 1982, 44). Sesungguhnya hajat dan pengunaan negara Islam,
dengan kekuasaannya yang ada di pusat maupun di daerah, serta hajat dan pengggunaan
kaum muslimin terhadap "muhasabah" menunjukkan bahwa perkembangan muhasabah
tidak lain hanyalah hasil sistem masyarakat dan aktivitasmanusia secara bersama-sama.
Selanjutnya perkembangan muhasabah tidak terbatas pada aktivitasmanusia dalam bidang
perdagangan saja sebagaimana yang dikatakan para ahli sejarah akuntansi Barat. Sistem
masyarakat dan aktivitas manusia ini telah tumbuh, berkembang, dan menjadi sempurna di
dalam lingkup syari`at Islam. Apabila kita perhatikan perkembangan sekarang ini pada
masyarakat non-Islam dan pada pertengahan terakhir abad ke-20 secara khusus, akan kita
dapati bahwa perkembangan itu mengikuti sistem yang sama dengan sistem yang dilalui

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 101


Banjarmasin)
oleh perkembangan muhasabah pada masa negara Islam dengan perbedaan prosedur sistem
tersebut. Sebab, perkembangan akuntansi pada saat sekarang ini di negera-negara non-
Islam hanyalah terpengaruh terpengaruh dengan perkembangan baru di dalam undang-
undang umum (cammon law) dan berpengaruh terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi
dalam bidang perdagangan, hal ini berbeda sesuai dengan perbedaan kemampuannya dan
sarana pekerjaan yang digunakannya. Semuanya ini terpengaruh dengan sistem negara dan
kebutuhan-kebutuhannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sementara itu, orang-orang Barat membedakan antara akuntansi dan bookkeeping,


sedangkan negara dan masyarakat Islam menggunakan kata akuntansi dalam bentuk yang
lebih sempurna, di dalamnya meliputi pengertian bookkeeping dan juga pengertian
akuntansi dan musa'alah (pertanggungjawaban).

Syari`at Islam dan tuntutan-tuntutannya termasuk faktor yang mengantarkan kepada


perkembangan akuntansi di negara Islam. Sebenarnya, sebagian ahli sejarah non
muslim menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan akuntansi terjadi di Repbulik Itali pada abad XV, namun mereka tidak
menentukan dimana tempat pertumbuhan dan perkembangan akuntansi yang sebenarnya.
Barangkali mereka dapat dimaklumi, karena mereka tidak mengetahui hakikat Islam dan
tuntutan-tuntutannya dari satu segi, dan dari segi lain mereka tidak memiliki data dan
bukti-bukti serta tidak melakukan penelitian di dalam masyarakat Islam. Di antara para ahli
sejarah yang menyangkal pendapat tersebut adalah Have, dia berkata: "Perkembangan
akuntansi tidaklah terjadi di Italia kuno, tetapi yang terjadi adalah Itali mengetahui tentang
akuntansi dan ilmu itu sampai kepada mereka dari bangsa lain". (1976, 13).

Apabila kita perhatikan sejarah akuntansi dan yang ditulis oleh non muslim sampai
sekarang, bahwa ada penekanan pada dua masa; Pertama, masa sebelum berdirinya negara
Islam. Kedua, masa yang awalnya bersamaan dengan berakhirnya abad XV dengan
munculnya buku Pacioli yang di dalamnya terdapat satu bab khusus tentang akuntansi.
Dengan demikian, mereka mengabaikan masa sejak munculnya Islam dan hingga tahun
1494 M. yaitu tahun munculnya buku Pacioli. Masa ini merupakan mata rantai yang hilang,
karena masa ini nampaknya telah dilalaikan secara sengaja, tetapi, "Barangkali, masa ini
telah dilalaikan karena mereka tidak memiliki ilmu dan jahil tentang Islam serta tuntutan-
tuntutannya, dan dari sisi lain mereka jahil pula terhadap bahasa Arab". Oleh karena itu,
sudah seharusnya kita sebagai komunitas muslim (terutama) di negara-negara Islam mulai
memberikan dan menyampaikan informasi (ilmu) ini khususnya tentang akuntansi secara
benar kepada semua lapisan masyarakat. Agar persepsi yang sudah kaprah tidak terjadi lagi
untuk masa sekarang dan mendatang.

B. SEJARAH AKUNTANSI DI KALANGAN ORANG-ORANG ARAB SEBELUM ISLAM

Sejarah akuntansi di kalangan orang-orang Arab, adalah masa yang berakhir dengan
hijrahnya Rasulullah SAW, dari Makkah ke Madinah tahun 622 M, yang setelah itu
dimulailah sejarah Islam. Pada masa sebelum berdirinya negara Islam, bangsa Arab
terpecah-pecah, tidak disatukan oleh satu sistem politik, kecuali tradisi kekabilahan yang
dominan. Sekalipun demikian, mereka memiliki pasar-pasar dan tempat-tempat aktivitas
perdagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, yang tercermin dalam dua perjalanan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 102


Banjarmasin)
di musim dingin dan di musim panas, yaitu ke negeri Syam dan ke negeri Yaman.

Rasul Muhammad SAW pada tahun 609 M, beliau selama tiga belas tahun tinggal
di Makkah sampai berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Dengan hijrahnya Rasul
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, mulailah tahun Hijriyah menjadi kalender
Islam yang didasarkan pada peredaran bulan, sedangkan kalender Masehi berdasarkan pada
peredaran matahari.

Kehidupan bangsa Arab di negeri antara dua sungai pada masa lampau telah
mencapai tingkat kehidupan yang makmur. Hal ini berpengaruh terhadap akuntansi yang
ada di kalangan orang-orang Arab, yaitu kehidupan sosial di negeri Rafidin atau yang
dikenal dengan nama negeri antara dua sungai (Mathews dan Perera, 1991, 11) untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan mereka dalam bidang perdagangan dan industri yang maju
pada saat itu. Dalam Ensiklopedi Britanian bahwa negeri Rafidin adalah nama Jaziratul
Arabiyah. Antara tahun 4500 SM sampai tahun 500 SM. Kehidupan di negeri antara dua
sungai mencapai tingkat kehidupan yang tinggi karena tanahnya subur di satu sisi, dan di
sisi yang lain karena kemajuan dalam bidang pekerjaan dan industri, seperti industri batu
bata, pewarnaan pakaian, pertukangan, dan penukaran uang (Chatfield. 1968, 12). Negeri
antara dua sungai atau negeri Rafidin meliputi wilayah Akkad di Utara dan Sumar di
Selatan. Wilayah-wilayah tersebut memiliki berbagai peradaban seperti peradaban
Sumariyah kuno milik orang-orang Sami, kemudian peradaban Asyuriyah Babiliyah, dan
Kildaniyah. Sebagian besar negeri antara dua sungai itu menjadi wilayah Iraq, sebagian
kecil menjadi wilayah Iran, dan sebagian lagi menjadi wilayah Suriah (Chatfield, 1968,
12). Peradaban di negeri antara dua sungai ini telah sampai pada tingkat pemakaian
bahasanya ke dunia, sehingga bahasa mereka menjadi bahasa populer dalam perdagangan
dan politik di dunia, dan Babilonia menjadi pusat jalinan perdagangan di timur (Brown,
1968, 16-17).

Kemajuan dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, dan jasa sebagaimana


yang dikenal pada waktu itu menjadi sarana untuk mencatat apa yang terjadi sebagai
sesuatu yang urgen. Sarana tersebut adalah berupa tulisan. Ustadz Mahmud Syakir
menerangkan bahwa orang-orang Arab-lah yang menemukan tulisan pada tahun
3200 SM, (1991, 6). Penemuan tulisan ini berimplikasi pada terjadinya perubahan
mendasar dalam kehidupan manusia, karena telah membantu untuk mencatat dan menukil
pengetahuan serta pemikiran-pemikiran. Salah seorang peneliti Barat berkata bahwa
manusia ini berutang budi kepada penduduk antara dua sungai karena mereka telah
menemukan tulisan. (Chatfield, 1968, 16). Ustadz Mahmud Syakir tidak menentukan di
negeri Arab bagian mana tulisan itu ditemukan, tetapi Chatfield menyebutkan bahwa
tempat itu di negeri Rafidin.

Tetapi, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa tulisan telah berpindah dari Yaman ke
Iraq, karena di sana terdapat tulisan yang bernama Al Khaththul Himyari, lalu dari Iraq
berpindah ke Hirah (hal. 463). Ibnu Khaldun menambahkan, "Orang-orang Himyar
memiliki tulisan yang dinamakan Al Musnad, huruf terpisah dan mereka melarang untuk
mempelajari tulisan itu kecuali atas izin mereka. Dari Himyar, Mesir mempelajari tulisan
Arab" (Hal. 464).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 103


Banjarmasin)
Kemajuan dalam bidang perdagangan dan sosial serta keterkaitannya dengan
penemuan tulisan dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang urgen yang sangat dibutuhkan
pada saat itu. Salah seorang peneliti mengatakan bahwa orang-orang Finiqiya pernah
menggunakan huruf paku yang pernah digunakan di negeri Rafidin, namun setelah itu
mereka menemukan huruf-huruf khas mereka yang kemudian digunakan oleh orang-orang
Yunani. Huruf-huruf Finiqiya ini memiliki karakter tersendiri, menarik, ditulis dari arah
kanan ke kiri. (Britanica, vol. 9; 392). Pada hakikatnya, tulisan sejak ditemukan dan untuk
masa yang cukup lama hanya digunakan untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran
gudang. Hal ini membuat timbulnya suatu ungkapan bahwa tulisan ditemukan "not to write
book but to keep books" (American Institute of Ceritifield Public Accountants, 1970, 1).
Selanjutnya akibat perkembangan dan kemajuan bidang perdagangan dan sosial
berimplikasi pada penemuan tulisan. Dan tulisan pula berimplikasi pada peletakan batu
fondasi bagi akuntansi. Semuanya ini terjadi di wilayah tersebut yang merupakan bagian
dari dunia Arab. Dan tidak mustahil hal seperti itu terjadi pula di wilayah-wilayah yang
lain dari dunia Arab, di samping negeri antara dua sungai. Namun sampai sekarang,
berbagai ekskavasi tidak menunjukkan hal itu, atau dalam bentuk yang lebih rinci lagi tidak
ada seorang pun yang mempelajari ekskavasi-ekskavasi itu dari segi perdagangan dan
akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan Yaman dan masa-masa keemasan yang
dialaminya.

Tulisan Sumariyah termasuk bentuk tulisan yang terdahulu secara umum, karena
tulisan Mishriyah (Mesir) muncul setelah itu. Kedua bentuk tulisan itu, yaitu Sumariyah
dan Mishriyah terbentuk dari rumus-rumus sesuatu dan dikenal dengan nama pictographic
yaitu tulisan dalam bentuk gambar (Chatfield, 1968, 16). Demikian pula buku-buku
akuntansi yang digunakan di Sumar dan Babilonia, yang mengandung hitungan-hitungan
berimbang (neraca), menurut pemikiran James dan Snyder mungkin dikategorikan sebagai
sistem Sumariyah untuk sistem Al Qaidul Muzdawaj (double entry bookkeeping), (Snell,
1982, 53).

Penduduk negeri antara dua sungai telah menggunakan papan tulis tembikar yang
bertuliskan dengan huruf paku untuk mencatat hitungan-hitungan mereka. Meskipun
sederhana, itu sudah cukup dan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam bidang
perdagangan dan sosial. Babilonia telah dikenal dengan pekerjaan-pekerjaan penukaran
uang sejak masa yang tidak dikenal sampai abad V SM, (Brown, 968, 18).

Sudah tentu orang-orang Babilonia dan Asyuria tidak mengatur dan memelihara
hitungan-hitungan mereka dengan cara yang digunakan pada masa kita sekarang ini atau
cara yang mendekati hal itu. Tetapi, sistem yang mereka gunakan dalam mengatur urusan
keuangan serta mencatat dan memelihara hitungan mereka telah memberikan andil dalam
perkembangan yang terjadi pada masa berikutnya di tempat lain di dunia Arab, kemudian
di dunia Islam. Di antara yang patut disebutkan adalah papan tulis tembikar Sumariyah dan
Babiliyah yang diungkap oleh berbagai ekskavasi telah menjelaskan tujuan gudang-gudang
umum dan tempat-tempat ibadah, di samping menjelaskan tentang adanya sistem akuntansi
dalam penggajian dan pengupahan tentara Romawi, dan berbagai tingkatan gaji dan upah
tersebut.

Apabila diperhatikan tempat lain di dunia, maka akan ditemukan peradaban Mesir
yang termasuk paling baru dibandingkan dengan peradaban-peradaban yang dikenal di

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 104


Banjarmasin)
negeri antara dua sungai, karena peradaban Mesir dimulai sekitar tahun 500 SM. Sudah
pasti bahwa orang Arab baik yang ada di negeri antara dua sungai di Mesir telah
menemukan sistem akuntansi yang sesuai dengan lingkungan mereka pada saat itu, dan
berbeda dengan penduduk-penduduk lain. Di samping itu, orang-orang Arab baik yang ada
di negeri Rafidin atau Mesir, atau negeri Syam, di celah-celah perdagangan mereka, telah
memberikan pengaruh terhadap tetangga mereka di bagian utara. Orang-orang Romawi dan
Yunani telah mengambil manfaat dari sistem akuntansi yang terkenal di kalangan orang-
orang Arab yang ada di negeri antara dua sungai dan Mesir. Sebab, orang-orang Romawi
dan Yunani memperhatikan pembukuan pedagang, tempat-tempat ibadah, dan negara
sebagaimana halnya orang-orang Babilonia.

Meskipun orang-orang Yunani telah mengambil manfaat dari sistem akuntansi yang
terdahulu yang dikenal di kalangan tetangga mereka orang-orang Arab pada saat itu,
mereka pun secara bertahap memulai mengembangkan sistem akuntansi yang khusus bagi
mereka. Yang mendukung mereka dalam hal ini adalah penemuan mata uang sekitar tahun
630 SM. Namun, pengembangan mereka terhadap sistem akuntansi khusus mereka ini
memiliki karakter umum, karena perhatian mereka didasarkan pada pengungkapan
kesalahan-kesalahan tanpa adanya efektifitas dan mereka memperhatikan akuntansi sebagai
sarana untuk membantu pengambilan keputusan atau mengukur efektivitas, atau mengukur
keuntungan yang dipastikan. Pada waktu selanjutnya, orang-orang Romawi mengambil
sistem akuntansi ini dari orang-orang Yunani.

Di sisi lain, orang-orang Arab dalam penggunaan akuntansi adalah untuk mengukur
keuntungan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai munculnya negara Islam pada
tahun 1 H/622 M. Adapun akuntansi sebagai sarana pembantu dalam pengambilan
keputusan belumlah difungsikan sampai munculnya negara Islam. Bagi orang-orang Arab
pra Islam, perhitungan keuntungan dilakukan dengan cara mengetahui kelebihan pada
modal murni antara awal dan akhir (saldo akhir) masa perdagangan. Bagi orang-orang
Arab Hijaz, keuntungan dihitung dua kali: pertama, setelah perjalanan dagang ke Yaman
pada musim dingin, dan kedua setelah perjalanan dagang ke Syam pada musim panas.
Tampaknya, karena minimnya bukti-bukti yang ada yang menjelaskan tentang sejarah
akuntansi di dunia Arab seperti Babilonia. Orang-orang Arab pra Islam tidak memberikan
perhatian terhadap pencatatan penemuan-penemuan mereka dan perkembangan kehidupan
mereka. Tidak adanya perhatian terhadap pencatatan perkara-perkara tersebut kembali
kepada tabiat orang-orang Arab dalam mentransfer pengetahuan. Mereka menyebarkan
pengetahuan kepada para generasi secara lisan, dari orang ke orang. Orang-orang Arab
memiliki keistimewaan dalam hal kekuatan hafalan dan daya tangkapnya. Hal seperti ini
terus berlangsung sampai pada awal masa Islam. Namun, dengan tumbuhnya negara Islam,
hal ini mengalami perubahan yang cepat, karena pencatatan penemuan-penemuan dan ilmu
mulai mengambil perannya, yaitu berawal dari pencatatan hadits-hadits Rasulullah
Muhammad SAW.

Tahun 1202 M adalah tahun dimasukkannya angka-angka Arab dan aritmetika yang
keduanya ditemukan oleh kaum muslimin kemudian dibawa ke Eropa, yaitu melalui buku
yang ditulis oleh Leonardo of Pisa Putra Bonnaci (Fibonnaci) yang banyak melakukan
perjalanan ke dunia Arab. (Brown, 1968, 11). Tentu saja, hal ini bukan berarti akuntansi
tidak sampai ke Italia melalui para pedagang muslim, sebelum tahun 1202 M. Sebab,
sangat memungkinkan, hubungan dagang dan akibat yang ditimbulkannya seperti adanya

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 105


Banjarmasin)
hubungan cinta kasih antara kaum muslimin dan orang-orang orang Italia telah membuka
jalan bagi penggunaan angka-angka Arab dalam skala yang terbatas, sehingga buku
Leonardo of Pisa mendapatkan sambutan yang baik ketika terbit.
Dalam buku Leonardo of Pisa ini memuat bab-bab tentang aritmetika yang
menjelaskan cara penjumlahan, pengurangan, menentukan harga, barter dan persekutuan-
persekutuan terutama yang serupa dengan Syirkah Tadlamun. Buku ini mendapatkan
perhatian besar dari para pedagang, karena menyajikan cara baru penomoran dari satu
sampai sepuluh. Cara ini tidak akan disajikan kepada orang-orang Eropa di Italia kecuali
setelah berhasil penerapannya di negara Islam oleh kaum muslimin. Dengan sistem ini,
masalah-masalah akuntansi yang dihadapi oleh para pedagang pada saat itu berhasil
diselesaikan. Secara umum, bahasa Arab adalah bahasa yang populer di dunia Islam.
Sebagian wilayah Islam bahasanya bukan bahasa Arab, namun bahasa mereka ditulis
dengan huruf-huruf Arab. Sebagian studi menunjukkan bahwa huruf-huruf Arab digunakan
dalam 39 bahasa selain bahasa Arab, Asia, Afrika, dan Eropa
Di antara bahasa-bahasa Asia yang menggunakan hurup Arab adalah bahasa Turki,
Parsi, Azerbaijan, Kurdi, Afganistan, Hindustan, Kashmir, Punjab, Urdu, Tamil, India,
Usbek, Jawa, Sunda, Melayu, Sulawesi dan Indonesia. Adapun bahasa-bahasa Afrika yang
ditulis dengan huruf-huruf Arab antara lain: Qubataliyah, Syalhaniyah, Sawahiliyah,
Bumbariyah, Fulaqiyah, Susatiyah, Ghambiyah, dan Fayarijiyah. Sedangkan di Eropa,
bahasa yang menggunakan huruf Arab antara lain: Sanukan, Qazan, dan Qumnuk,
(Hawaditus Sa’ah, 1995, 52). Sebagaimana telah diketahui, bahwa orang-orang Eropa dan
orang-orang Amerika mengkaitkan peradaban Islam dengan orang-orang Arab, hal ini
karena orang-orang Arab-lah menjadi pelopor dalam penyebaran agama Islam. Di samping
menyebarkan agama Islam, mereka juga menyajikan peradaban mereka yang tumbuh dan
berkembang dari celah-celah Islam. Di antaranya adalah perdagangan, peperangan,
ketatanegaraan, dan ilmu-ilmu yang lain.

Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang datang
dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang bermacam-macam, berbagai
penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan matematika, (Woolk, 1912, 54).
Peradaban Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan syari’at
Islam yang berasaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. As Sunnah mengandung seluruh
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana yang dihafal
oleh para sahabat ridlwanullah ‘alaihim. Namun sangat disayangkan, kita temukan
sebagian penulis dari kalangan non Islam tidak berusaha memahami Islam secara benar,
dan mengulang-ulang pendapat yang tidak sesuai dengan kedudukan ilmiah mereka tanpa
memikirkan hasil dari apa yang mereka tulis. Di antaranya adalah definisi yang mereka
kemukakan tentang Rasul Muhammad SAW, yaitu seorang pemimpin yang di dalam
tulisan-tulisan sastranya memberikan banyak pengetahuan dan hikmah kepada para
pengikutnya, (Haskins, 1900, 11).

Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur'an bukan dari
sisi Allah. Salah satu penelitian moderen yang dilakukan oleh salah seorang peneliti
Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin dipetik
dari Islam dalam pengembangan akuntansi dan kerangka perdagangan uang dapat diambil
manfaatnya, setelah dilakukan penelitian yang mendalam, (Hamid et al, 1993, 132).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 106


Banjarmasin)
Hal ini menunjukkan bahwasanya sangat mendesak, kebutuhan untuk memberikan
pemahaman kepada orang-orang non muslim, terutama para pemikir mereka, tentang
hakikat Islam dan apa saja yang dapat dipersembahkan kepada manusia. Di samping apa
yang telah dipersembahkan kepada mereka melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
dijadikan asas oleh orang-orang Barat dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan mereka.

C. SEJARAH AKUNTANSI DI NEGARA-NEGARA ISLAM

Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan


pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya
manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H/1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang
penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, dan
diberi judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di
perpustakaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian manuskrip
dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara
Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang
digunakan terkadang bahasa Arab, Parsi dan bahasa Turki yang populer di Daulat
Utsmaniyah. Buku ini telah ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya buku
Pacioli. Meskipun, buku Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang sistem
pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam bentuk
manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan.

Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang


menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’
katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali
menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang
musyrik.” (Al An’am: 14)

Sesungguhnya sejarah akuntansi, sebagaimana yang ditulis oleh para ahli sejarah
Barat dan menurut apa yang dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa akuntansi
secara umum (sistem double entry) secara khusus tumbuh dan berkembang di Eropa, yaitu
di Republik Italia. Di antara referensi yang dapat dilihat, baik yang berbahasa Arab
maupun yang berbahasa Inggris, tidak didapati penyebutan apa pun tentang apa yang
terjadi di negara Islam. Boleh jadi, pengabaian peran negera Islam dalam pengembangan
akuntansi karena disengaja atau karena ketidaktahuannya. Padahal peran yang dimainkan
oleh negara Islam dalam pengembangan berbagai ilmu dan seni adalah cukup besar, seperti
dalam akuntansi keuangan.

D. PERKEMBANGAN AKUNTANSI DI DUNIA ISLAM

Vangermeersch memandang bahwa tempat tumbuhnya sistem pencatatan sisi-sisi


transaksi (double entry) masih diperdebatkan. (Berton, 1933, 1). Hal ini berarti bahwa dia
tidak menerima bahwa tempat tumbuhnya sistem tersebut di Republik Italia. Dia beralasan
bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dalam buku-buku akuntansi, yang merupakan
suatu metoda untuk memilah-milah data sesuai dengan kaidah-kaidah khusus yang telah
dikenal secara umum (Have, 1976, 5-6). Berdasarkan hal tersebut, sebagian peneliti
memandang bahwa masih diragukan, sistem pencatatan sisi-sisi transaksi yang kita kenal

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 107


Banjarmasin)
sekarang ini atau yang mendekati hal itu telah dipraktikan secara meluas pada abad XIV
(Weis and Tinuis, 1991, 54), yakni mereka meragukan adanya praktik tersebut secara
meluas di Italia pada abad XIV. Terutama Pacioli hanya menyebutkan adanya praktik
secara meluas tanpa menentukan tempatnya. Keraguan ini pada kenyataannya beralasan,
yaitu:

ALASAN PERTAMA, yaitu kosongnya masa sejarah dari sejarah akuntansi, yaitu masa yang
terjadi antara lenyapnya negeri antara dua sungai dan negeri Mesir di dunia Arab sampai
abad XV secara umum. Secara khusus, ketika Pacioli menyebarkan bukunya yang
mengandung satu bab tentang akuntansi, yaitu pada tanggal 10 Nopember 1494 M.
Kekosongan ini hampir mendekati dua ribu tahun.

ALASAN KEDUA, yaitu penggunaan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi secara luas tidak
diragukan lagi mengharuskan adanya suatu praktik kerja dan pusat-pusat pelatihan yang
mampu mencetak pribadi-pribadi yang ahli dan mampu menggunakan sistem ini secara
luas. Pada kenyataannya, pusat-pusat pelatihan semacam itu tidak ada di Italia,
kecuali pada akhir abad XVI, yaitu setelah kurang lebih dua abad dari munculnya
buku Pacioli.

Pusat pelatihan para akuntan yang pertama di Italia didirikan di kota Venice pada
tahun 1581 M, dan dikenal dengan nama College of Accountans. Setelah para peserta studi
menerima ilmu dari lembaga tersebut, mereka diharuskan untuk berlatih (praktik kerja) di
kantor-kantor akuntan yang telah teruji selama enam tahun, Setelah itu, mereka diuji
sebelum dapat mempraktikkan profesi akuntansi secara mandiri, (American Institute of
Certified Accountants, 1970, 3). Demikian pula praktik kerja belum memiliki wujud yang
diperhatikan sebelum munculnya buku Pacioli. Hal ini kembali pada keterbelakangan ilmu
yang dialami Eropa pada saat itu, yang dikenal dengan masa kegelapan.

Di antara yang patut diperhatikan adalah Pacioli menyebutkan di dalam bukunya


bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah ada sejak masa yang lama (Murray, 1930,
16), tetapi ia tidak menyebutkan sejak kapan dan di mana sistem ini telah ada sejak lama.
Apakah hal itu di dalam Republik Italia pada saat itu, ataukah di tempat lain. Demikian
juga salah seorang peneliti, De Rover, berpendapat bahwa bab yang terdapat di dalam buku
Pacioli tentang akuntansi hanyalah suatu bentuk nukilan dari apa yang ada pada saat itu
beredar di antara para murid dan guru di sekolah aritmetika dan perdagangan (Venetian
Schole) atau dalam bahasa Inggris, Schools of Commerce and Arithmetic. Dengan
demikian, Pacioli hanyalah penukil (transcriber) atau pencatat terhadap apa yang beredar
pada saat itu, (Chatfield, 1968, 45).

Sesungguhnya alasan ini tampak diterima oleh akalnya, namun terganjal oleh
adanya hubungan antara para pedagang muslim dan para pedagang Italia. Tetapi,
pertanyaan yang muncul adalah: Siapakah yang menemukan sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi? Di mana hal itu? Dan bagaimana sistem ini bisa beralih ke tangan orang-orang
Italia?
Mungkin dapat dikatakan bahwa pada saat itu Eropa hidup pada masa kegelapan, kaum
muslimin telah menggunakan akuntansi dan ikut andil dalam mengembangkannya.
Sementara itu, peradaban Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, berdiri di atas

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 108


Banjarmasin)
asas kebahagiaan manusia melalui hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam. Dan hal-hal
yang dapat merealisasikan bagi manusia integrasi antara tuntutan-tuntutan spiritual dan
tuntutan-tuntutan material. Hal ini dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 77).

Orang-orang Arab, terutama di Mekah, kemudian kaum muslimin setelah itu,


menggunakan akuntansi untuk menentukan keuntungan dengan mengukur kelebihan yang
ada pada aset mereka. Peradaban Islam selamanya telah disifati sebagai peradaban Arab.
Tampaknya, hal ini dikarenakan kaum muslimin menggunakan bahasa Arab, yang
merupakan bahasa AlQur’an. Di samping itu, karena orang-orang Arab adalah para
pedagang yang tangguh di Eropa, Afrika, dan Asia. Pada hakikatnya, peradaban yang
dikenal oleh masa Islam adalah bersumber dari Islam, dan pembangunnya adalah kaum
muslimin.

Peradaban Islam ini, dengan segala karakter, arah pandang, dan sumbernya,
berbeda dengan seluruh peradaban sebelumnya dan yang sesudahnya. Oleh karena itu,
merupakan suatu kesalahan, mengatakan bahwa ia adalah peradaban Arab. Ia adalah
peradaban Islam yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan
sesudahnya. Di samping itu, Islam menolak fanatisme golongan, maka orang-orang yang
ikut andil dalam membangun peradaban Islam bukan saja orang-rang Arab. Bahkan,
banyak dari ilmu yang ditemukan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin non-Arab.
Dengan demikian tidak boleh menyandarkan peradaban Islam kepada orang-orang Arab
saja atau kepada kelompok tertentu selain mereka. Kaum muslimin memiliki pengaruh
yang besar terhadap orang-orang yang dijumpainya dari berbagai macam bangsa, melalui
perjalanan dagang mereka. Sebagai contoh pengaruh para pedagang Yaman terhadap orang
Indonesia dan Malaysia, yakni mereka itu berpindah agama, dari Budha dan Hindu ke
agama Islam.

Demikian pula, banyak orang-orang Eropa yang mengunjungi dunia Islam


terpengaruh dengan apa yang mereka rasakan di negeri Islam. Banyak di antara mereka
yang masuk Islam ketika mereka merasakan kekuatan pendorong yang merubah orang-
orang badui yang memeluk Islam menjadi ulama’ dan pemimpin. Sebagian peneliti telah
merasakan pengaruh peradaban Islam dan kaum muslimin terhadap dunia, yakni salah
seorang dari mereka mengatakan bahwa para pedagang Itali telah menggunakan huruf-
huruf Arab (Have, 1976, 33), di samping angka-angka Arab juga.

Di samping itu, sebagian penulis memandang bahwa sistem pencatatan sisi-sisi


transaksi yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) telah dikenal oleh
penduduk dahulu, dan sistem ini tersebar di Italia melalui perdagangan. Demikian pula
bahwa di sana terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa orang-orang
terdahulu telah mencatat pemasukan dan pengeluaran tunai pada lembaran-lembaran yang
berhadapan dengan sistem debet dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19-20). Tidak diragukan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 109


Banjarmasin)
lagi, mereka itu adalah orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam, di Babilonia, Mesir,
lalu di Hijaz, setelah itu diikuti oleh kaum muslimin. Demikian pula ditegaskan bahwa
sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah tersebar di Italia melalui perdagangan, yang
dimaksudkan adalah melalui kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin pernah menjalin
hubungan dagang yang kuat dengan orang-orang Italia dan tidak ada seorang pun yang
mendahului mereka dalam melakukan hal itu, sejak Eropa keluar dari masa kegelapan.

Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan


pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya
manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H/1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang
penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, dan diberi
judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan
Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756,
dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang
digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang digunakan terkadang
bahasa Arab, terkadang bahasa Parsi dan terkadang pula bahasa Turki yang populer di
Daulat Utsmaniyah,. Buku ini telah ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya
buku Pacioli. Memang, buku Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang
sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam
bentuk manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan.

Al Mazindarani berkata bahwa ada buku-buku yang dimaksudkan adalah


manuskrip-manuskrip yang menjelaskan aplikasi-aplikasi akuntansi yang populer pada saat
itu, sebelum dia menulis bukunya yang dikenal dengan judul "Risalah Falakiyah Kitab As
Sayaqat". Dia juga mengatakan bahwa secara pribadi, dia telah mengambil manfaat dari
buku-buku itu dan kemudian dalam menulis buku "Risalah Falakiyah" tersebut.

Dalam bukunya yang masih dalam bentuk manuskrip itu, Al Mazindarani


menjelaskan hal-hal beriktu ini:

1) Sistem akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus
bagi setiap sistem akuntansi.
2) Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi
keuangan, dan
3) Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntasni yang populer pada saat itu, yaitu
pada tahun 765 H./1363 M. antara lain:
 Akuntansi Bangunan.
 Akuntansi Pertanian.
 Akuntansi Pergudangan
 Akuntansi Pembuatan Uang.
 Akuntansi Pemeliharaan Binatang.

Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan pembukuan yang populer pada saat


itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Di antara contoh pelaksanaan pembukuan
yang disebutkan oleh Al-Mazindarani adalah sebagai berikut:" Ketika menyiapkan laporan
atau mencatat di buku-buku akuntansi harus dimulai dengan basmalah, "Bismillahir

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 110


Banjarmasin)
Rahmanir Rahim". Jika hal ini yang dicatat oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H/1363
M, maka hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131 tahun kemudian. Pacioli
berkata, "harus dimulai dengan ungkapan "Bismillah'." (Brown and Johnson, 1963, 28).
Salah seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang
pernah digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus
diberi garis pembatas, sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan.
Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
2) Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
3) Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
4) Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam
menggunakan kata-kata.
5) Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau
menghapusnya. Apabila seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah
suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi
kepada kantor.
Demikian pula seorang akuntan, bila lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia
harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya transaksi
tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi
pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut.
Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan
antara saldo buku bandingan dengan saldo buku-buku yang lain, dan saldo-saldo
bandingannya yang ada di kantor.

1) Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci
tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara
pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
2) Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan
membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang
lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
3) Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan
karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan
mencatat pajak-pajak yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
4) Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-
sumber pemasukan-pemasukan tersebut.
5) Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-
pengeluaran tersebut.
6) Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.
7) Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-
transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang
sejenis itu saja.
8) Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 111


Banjarmasin)
sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan
buku-buku yang lain.
9) Setelah mencatat transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus
menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan.
10) Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya
serta pengalokasiannya. (Lasyin, 1973, 163-165).
Kalau diperhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum
serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya telah
disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu mencatat
pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan, dengan sistem
debi dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19-20). Sesungguhnya pelaksanaan pembukuan yang
telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin 9 dan 10, menggambarkan bentuk
tertentu yang memberikan andil dengan suatu sistem atau dengan yang lain dalam
pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi debit di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah
kanan, baik dalam satu halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan.

Di samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup


penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan
tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku akuntansi
yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara Islam adalah Al-
Khitamah dan Al Khitamatul Jami'ah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan
yang dibuat pada setiap akhir bulan. Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang
sudah dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan.
Sedangkan Al-Khitamatul Jami'ah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang
akuntansi untuk diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al-
Khitamatul Jami'ah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu
dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jami'ah tidak disetujui karena
adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al Khitamatul Jami'ah, maka ia
dinamakan Muhasabah (akuntansi) saja, (Lasyin, 1973, 138).
E. FAKTOR-FAKTOR PERKEMBANGAN AKUNTANSI DI NEGARA ISLAM

Salah seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran
yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan
hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang menentukan tanda-tanda
ilmu tersebut. (Heaps, 1985, 21).

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry),
baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu
kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya
suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun
tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini
adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini
mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan
kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam,

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 112


Banjarmasin)
yang timbul karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya
faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang
patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian
perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani bahwa itu
merupakan suatu ilmu.

Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, terdapat berbagai faktor yang ikut
andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islam. Faktor-
faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari
sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara
faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi
kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-
faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor
lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan
akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat.
Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat
yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari'at Islam, yang merupakan salah satu rukun
Islam.

Pendirian kantor-kantor pemerintahan berakitan erat dengan sistem administrasi,


sejak pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M, yaitu
pada tahun pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan
nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah diwan. Kata diwan berasal dari kata Parsi,
tetapi definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya adalah
tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan buku-buku
akuntansi (Lasyin, 1973, 26). Ibnu Khaldun berkata, "Asal penamaan ini adalah, pada
suatu hari Kisra melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah
mereka berbicara (sendiri). Lalu, Kisra berkata, "Diwanah". Arti kata tersebut adalah
"gila", lalu tempat mereka itu dikatakan "Diwanah". Karena kata tersebut sering diucapkan,
huruf ha'nya dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata "diwan".
(Lasyin, 173, 268).

Nampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-
kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu
ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan telah
dibuat sekitar tahun 14 H/634 M. (Britanica, Vol. 22, 109) yakni pada masa Khalifah Umar
Ibnul Khaththab Radliyallahhu'anhu.

Adapun spesialisasi kemampuan memepunyai signifikansi, karena adanya


pembagian fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa
kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam (Lasin, 1973, 5). Demikian pula hak dan
kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak
pendirian negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya
yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula
kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. (Hawari, 1989, 5).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 113


Banjarmasin)
Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara
Islam. Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang
berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad SAW dalam memilih
pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas
untuk menduduki jabatan. Rasulullah SAW memilih para pegawai itu dari para sahabatnya
yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan,
(Hawari, 1989, 16).

Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi
berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi
pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini
serupa dengan yang kita namakan muraja'atul hisabat (pengoreksian
pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar
riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, penamaan yang pertama sebagai
ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan
ketiga, dipandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan
kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan, (Al
Qalqasyandi, 1989, 130-139).

Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan


terhadapnya. Dia berkata, "Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan
kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa
manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-
kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi
pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur'anul
Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa
puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda
bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut.

Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam
pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah
salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal.
Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara.
Al Qur'anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya,
dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhlaibilitas, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah." (At Taubah: 60)

Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa


membutuhkan suatu cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang
harus dibayarnya. Oleh karena itu, tidak mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat
merupakan faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara
Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya,
dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya
harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 114


Banjarmasin)
modal kerja yang berputar.

Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya sebagai suatu


sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan akuntansi.
Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan
pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh
kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam. Demikian
pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M, sementara tujuan ini telah
populer di negara Islam sejak abad I hijriah atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan
tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi'i: "Barang siapa
mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus." (Syahatah, 1993, 45).

Perlu diketahaui bahwa Imam Safi'i hidup pada tahun 150-204 H/767-820 M. Hal
ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu
itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan
signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari
seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi'Ii
menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak
dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa
bantuan data-data yang tercatat dalam buku. Para fuqaha' berkata bahwa di antara
kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan
shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan
manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin
berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak
berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu Dlaruri. (Ghazali, 1400
H, Vol. 1, juz 1-3, 42-30).

Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sarana


untuk menentukan modal di akhir periode dan untuk mengukur keuntungan melalui selisih
modal pada dua priode. Hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana
untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan
penentuan tanggung jawab, pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata,
"Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah
disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya", (hal. 54). Hal ini
menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawasan intern yang
berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan
menurut syariat Islam.

Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan


penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata,
"Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan", (hal. 154).
Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem
dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku harus diyakini
kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya bukti-bukti
yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan kebenaran
pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 115


Banjarmasin)
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan
yang bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat
ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Lasyin,
1973, 37).

Hal ini, merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai
sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan tentang pengeluaran-pengeluaran
itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun
ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan tersebut, lalu
pengambilan tindakan yang pasti ketika perbedaan itu tidak dapat ditoleransi.

Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan


pengertian akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan dan
perhatian terhadap pengawasan diri, (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam
pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut
aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi
dirinya karena dia mengetahui di sana ada pengawas yang dapat melihat apa yang tidak
bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-
Nya di antara makhluk-makhluk-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah SWT:

“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al
Baqarah: 284)

Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum
dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah. Dalam hal ini, Khalifah Umar
Ibnul Khaththab Radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab;
timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian
untuk menghadapi penampakan amal”. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor pemerintahan terjadi pada masa
khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab Radliyallahu `anhu , maka patut
dikaitkan perkataannya ini dan perkembangan tersebut. Dan bagaimana beliau
menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi
keuangan secara khusus. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan
tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap
dirimu”. (Al Isra': 14)

Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil


muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah
pertanggungjawaban. Hal ini tampak jelas di dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidak akan
beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat
perkara, yaitu: tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya,
dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa;

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 116


Banjarmasin)
dan tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi).

Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa Rasul Muhammad SAW
menepuk pundaknya, kemudian berkata:“Wahai Qadim (Miqdam) beruntunglah kamu,
jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib),
dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud) Makna kata “katib” di sini adalah
pencatat pekerjaan dan penghitungnya, (Al Mundziri, 1986, juz 3, 159).

Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku


bersamaan dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah SAW sebagai akibat
bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah
pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu.
Tidak diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan
sesuai dengan cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut
berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab
Radliyallahu `anhu pada tahun 14-24 H. /636-646 M.

Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan


sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini
meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya,
serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus
disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.

Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku
dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah
Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H/706-715 M. (Muhammad Al Marisi
Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus
sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku
akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H/750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H/750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi
kepala Diwan Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid
bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan
buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.

Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”.
Dari sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan
sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak
kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli
telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan
nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal”
dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice, (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua
kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab,
yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada
masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H/749 M,
yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal
ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 117


Banjarmasin)
Republik Italia sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam.

Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah”


sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi
pemerintahan Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus.
Demikian pula Ibnu Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis
bukunya tahun 167 H/784 M. Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-
buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya
dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi
Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku. Sesungguhnya penggunaan
kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak
abad ke-2 Hijriyah. Sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang
beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.

Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan


pengeluaran-pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan
ada jaridah untuk pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal
dengan nama Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku
yang dikenal dengan nama Daftarul Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).

Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun
sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia,
dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di
samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh
transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa
dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul
Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).

Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H/1336 M atau kurang lebih
tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan
tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab, seluruh harta yang masuk atau keluar
harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap
transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya
tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai
keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan
yang lain. (An Nuwairi, 273-275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas
syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh
akuntan, yang melakukan pencatatan di buku, (Lasyin, 1973, 131-132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya
bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa
Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah.
Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang dirasakan dari apa yang
disebutkan oleh An Nuwairi.

Daulat Abbasiyyah, 132-232 H/750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 118


Banjarmasin)
yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara
khusus. Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi
khusus (Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan
berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh
buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai
berikut:

1) Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan
diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan
pengeluaran negara.
2) Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan
di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang
masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
3) Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul
Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-
pejabat senior negara pada saat itu, (Lasyin, 1973, 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al
Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin
(Debtors or Accounts Receivable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi,
kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak
atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang
dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar,
juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah
pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-
Undang Perpajakan), (Al Mazindarani 765 H/1363 M.).

Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal
pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:

1) Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk
didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah,
dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.

2) Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk
didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam
bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.

3) Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan


adalah piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Doubtful Debts, (Lasyin, 1973, 141).

Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu:

pertama, pengaruh kehidupan perdagangan terhadap akuntansi, sebagaimana yang telah


dikemukakan pada uraian sebelumnya dan kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 119


Banjarmasin)
terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya
untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam
penggambaran hak dan kewajiban. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa mereka
mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin
diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera
mengelompokkan pilaibilitas dalam tiga kelompok tersebut.

Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang
tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal
ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan
zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui
pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat.

Di sisi lain dari segi harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah musahamah
bahwa baik yang bersifat umum maupun khusus, dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan
para pemilik saham di dalam manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah, khususnya
pada syirkah musahamah yang bersifat umum, dan sekalipun sebagian para pemilik saham
menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif perusahaan, baik
yang bersifat khusus maupun umum, maka harta-harta syirkah musahamah tersebut harus
selalu jauh dari jangkauan para pemilik sahamnya, bagaimanapun keadaannya. Yakni,
tidak diperkenankan bagi setiap pemilik saham, bagaimanapun juga tingkat kepemilikan
sahamnya atau fungsi manajerialnya pada syirkah musahamah tersebut, mengambil
manfaat dari harta-harta syirkah musahamah itu untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya.

Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah musahamah itu,
baik yang bersifat umum maupun khusus, dan hubungan mereka dengan hasil-hasil
kegiatan syirkah, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah
i`tibariyyah (entitas spiritual), maka kita dapati bahwa persoalannya di sini lebih jelas
darpada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan perusahaan-
perusahan lainnya yang bukan syirkah musahamah, yang telah kita perbincangkan
sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah musahamah itu
selalu khusus dan tersendiri baginya, tidak sama dengan hak dan kewajiban para pemilik
sahamnya. Dari segi hak-hak syirkah musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan
itulah yang menuntut akan hak-haknya melalui manajemennya, atau melalui orang-orang
yang melakukan penyelesaian di saat melakukan penyelesaian, yang hal itu tidak ada
hubungannya dengan para pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan-
perusahaan individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah musahamah.

Sebagaimana juga bahwa kewajiban-kewajiban syirkah musahamah tersebut


terhadap pihak lain selalu menjadi tangung jawab syirkah musahamah itu sendiri, bukan
tanggung jawab para pemilik sahamnya. Para pemilik saham tersebut tidaklah diminta
untuk menutupi kewajiban-kewajiban perusahaan tempat mereka menanam saham, kecuali
sebatas modal yang masih masih belum disetorkan. Adapun apabila pemilik saham itu
ternyata telah melunasi seluruh modal yang tercatat baginya, maka dia tidaklah
bertanggung jawab sama sekali terhadap laibilitas perusahaan, bagaimanapun juga
karakternya dan besarnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 120


Banjarmasin)
Masih ada persoalan lain yang menuntut kejelasan, yaitu yang khusus berkaitan
dengan keuntungan perusahaan yang telah terealisasikan. Sebagai akibat dari dapat
diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah secara mutlak terhadap syirkah
musahamah, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka keuntungan-kentungan yang
telah dapat direalisasikan oleh perusahaan itu selama satu tahun keuangan. Sebagaimana
yang digambarkan dalam laporanr keuangan pada akhir tahun, menjadi milik syirkah
musahamah tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak ada hak bagi para pemilik sahamnya
terhadap keuntungan yang telah terealisasikan itu, kecuali sebatas yang telah ditetapkan
oleh dewan manajemen syirkah musahamah tersebut untuk dibagikan kepada para pemilik
sahamnya.

Apabila dewan manajemen tidak menetapkan adanya pembagian dari keuntungan-


tersebut, karena adanya kebutuhan perusahaan terhadap keuntungan itu, dan karena
keterkaitan keuntungan itu dengan aset-aset yang tidak tunai. Bila menimbulkan kesulitan
untuk merubah aset-aset tersebut menjadi uang tunai, maka para pemilik saham tersebut
tidak dapat menuntut perusahaan agar membagikan bagian tertentu dari keuntungan
tersebut. Adapun jika dewan manajemen telah menetapkan bagian tertentu dari keuntungan
itu untuk dibagikan dan telah mengumumkan hal itu dengan sarana apa pun yang bisa
dipercaya dan dipertanggungjawabkan, seperti melalui daftar keuangan, atau surat
menyurat secara langsung kepada para pemilik saham, maka para pemilik saham berhak
untuk menuntutnya, dan syirkah musahamah tersebut mempunyai kewajiban terhadap para
pemilik sahamnya. Keuntungan yang telah diputuskan pembagiannya tersebut akan tampak
pada sisi kewajiban perusahaan dalam buku catatan dan laporan keuangannya, sampai
selesai penyerahannya kepada para pemilik sahamnya.

Syakhshiyyah qanuniyyah dan wihdah muhasabiyyah yang kadangkala dinamakan


dengan nama syakhshiyyah muhasabiyyah. Namum sebenarnya bahwa yang lebih utama
adalah penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah, agar tidak rancu, maka konsep keduanya
dan hubungan keduanya dengan syakhshiyyah i`ibariyyah, diuraikan sebagai berikut.

1. Syakhshiyyah Qanuniyyah

Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity) itu adalah suatu ungkapan mengenai entitas yang
terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak lain secara langsung dalam
sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain untuk
menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila kita
perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh mana
kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut berdasarkan
definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa perbedaan yang
mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut.

Dengan memperhatikan muassasat fardiyyah (sole proprietorship/lembaga


individual), telah kami katakan sebelumnya bahwasanya tidak ada perbedaan apa pun
antara hak dan kewajiban pribadi pemilik perusahaan dari satu sisi, dan hak-hak dan
kewajiban perusahaan itu sendiri dari sisi yang lainnya. Yakni, kedua pihak membentuk
satu pribadi atau satu badan dilihat dari segi hak dan kewajibannya. Sebab, jika harta
perusahaan itu tidak mencukupi untuk menutupi hak pihak lain, maka dimungkinkan bagi

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 121


Banjarmasin)
pihak yang lain itu untuk menuntut haknya kepada pemilik perusahaan, yang hal itu pada
dasarnya merupakan kewajiban perusahaan. Demikian juga, apabila pemilik perusahaan
secara lahiriyah tersebut ternyata tidak sanggup menutupi laibilitas pribadinya, maka
dimungkinkan bagi pihak pengadilan untuk menghentikan kegiatan lembaga investasinya,
guna menutupi hak pihak lain. Sebaliknya, apabila ada pilaibilitas perusahaan pada pihak
lain, dan pihak itu tidak melunasi laibilitasnya yang telah jatuh tempo itu kepada
perusahaan tersebut, maka pemilik perusahaan tersebut, sebagai pribadi, berhak menuntut
pihak tersebut agar menunaikan apa yang menjadi tangung jawabnya terhadap perusahaan.

Bahwa syakhshiyyah qanuniyyah perusahaan yang bersifat individu ini menyatu


dengan pemiliknya, dan tidak terpisah dengannya. Demikian pula, syakhshiyyah
qanuniyyah pemilik perusahaan individual tersebut mencakup perusahaannya dan tidak
terpisah darinya. Ketercakupan perusahaan individual dan pemiliknya tersebut hanyalah
terbatas pada lingkup hak dan kewajiban masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, maka
bagi perusahan yang bersifat individual tersebut hanya terdapat satu syakhshiyyah
qanuniyyah saja. Yakni lembaga individu dan pemiliknya, keduanya mewakili satu badan
ditinjau undang-undang. Keduanya tidak mungkin dipisahkan untuk mendapatkan hak-hak
dan menunaikan kewajiban.

Adapun pada bentuk kedua dari sistem investasi, yaitu syirkah asykhash yang
dikenal oleh sistem Islam, yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah, syirkah wujuh, syirkah
abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang serupa dengannya yang
terdapat di dalam sistem non Islam, yang dikenal dengan nama syirkah tadlamun maka
permasalahan ini serupa dengan apa yang terdapat pada lembaga individual. Sebab,
syirkah-syirkah ini (partnership) berdiri atas dasar pribadi, dan inti hubungan di antara
para sekutu adalah adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak
yang berada di dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu tidak akan mau menanggung
risiko kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap
kebenaran pihak syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan pada syirkah asykhash di
sini berdiri atas dasar pribadi, para investor dan orang-orang yang mengatur lembaga
mereka tersebut. Apakah secara bersama-sama ataukah secara individu, wajib bertanggung
jawab secara bersama-sama terhadap hak dan kewajiban lembaga mereka itu. Berdasarkan
itu semua, dapatlah disimpulkan suatu pernyataan, bahwa para pemilik lembaga dan
lembaga mereka, pada syirkah asykhash, membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan
tidak diperkenankan memisahkan antara keduanya.

Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh-
sungguh, yaitu apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang memberikan
saham hanya modalnya saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya. Dan akad syirkah
tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung jawabnya hanya
sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada kondisi yang seperti ini, maka
individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap bertanggung jawab terhadap
kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas apa yang telah dia sahamkan dari modal
pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini, dipersyaratkan harus ada keterbukaan
mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di dalam publikasi, korespondensi, dan
dokumentasi perusahaan. Ini di samping pentingnya keterbukaan mengenai karakter
tanggung jawab atas nama perusahaan atau lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya
keterbukaan itu adalah memberikan terlebih dahulu kepada pihak lain bentuk tanggung

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 122


Banjarmasin)
jawab yang dipikul oleh para penyandang dana lembaga tersebut. Sesungguhnya
keterbukaan yang menyeluruh ini akan mendorong pihak lain untuk berkerja sama dengan
lembaga ini, sementara dia telah mengetahui tanggung jawab lembaga dan tanggung jawab
para pemilik lembaga tersebut didalamnya. Selanjutnya, dia akan mengetahui terlebih
dahulu antisipasinya, di saat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.

Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak berbeda dengan apa yang terdapat di


dalam keterangan yang menyatakan bahwa syirkah-syirkah syakhshiyah adalah "akad-akad
yang akan menumbuhkan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan investasi yang terus
menerus atau hampir terus menerus, yang di dalamnya beberapa pihak saling bersekutu di
dalam modalnya. Akad-akad tersebut mendirikan suatu kegiatan perdagangan yang
mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah dan tanggung jawab yang tidak terbatas".

Perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga Fatwa dan Pengkajian
tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah, dan pada saat itu
juga syakhshiyyah i`tibariyyah ini menghadapi tanggung jawab yang tidak terbatas.
Sesungguhnya, tidak mungkin tergambarkan adanya syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak
terpisah dari para penyandang dananya, secara undang-undang. Sebab, fungsi
syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap lembaga atau perusahaan, dalam
sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah dari para pemilik lahiriyahnya. Di
samping itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi para pemilik lahiriyah lembaga atau
perusahaan tersebut menuntut pihak lain dalam sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan
dari itu semua, para pemilik lembaga atau perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan
terhadap modal pokok lembaga atau perusahaan tersebut, mereka tidak dapat mengambil
darinya untuk penarikan-penarikan pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu
tindakan terhadap modal pokoknya secara pribadi.

Berdasarkan sebab-sebab ini, maka tidaklah mungkin tanggung jawab para pemilik
lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu haruslah
setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab itu. Demikian
juga, tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan. Karena kekuasaan
individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam syirkah-syirkah
i`tibariyyah, maka hak-hak individu itu juga tidak ada, sebagai akibat dari tidak adanya
kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya itu tidak ada, maka di
sana tidaklah diperkenankan adanya kewajiban yang tidak terbatas.

Sesungguhnya kewajiban-kewajiban itu, baik yang bersifat individu maupun


kolektif, haruslah diiringi dengan hak-hak yang disepakati. Di atas itu semua, tanggung
jawab itu haruslah sebanding dengan hak-haknya. Sebagai kaidah yang umum, harus tidak
ada pemaksaan kewajiban tanpa diiringi dengan hak yang sebanding dengannya, apakah
hal itu dalam bentuk keuangan, atau adab, atau yang serupa dengan itu. Hanya saja,
pandangan kami yang berbeda dengan pandangan yang kami isyaratkan pada paragraf
sebelumnya tidaklah mutlak, akan tetapi terbatas.

Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah mungkin saja
terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut
disertai tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 123


Banjarmasin)
beberapa persyaratan tertentu, yang di antaranya adalah:

Pertama, apabila karakter kegiatan syakhshiyyah i`tibariyyah itu menuntut tanggung


jawab. Kedua, hendaknya terdapat kemaslahatan umum karena tidak adanya pembatasan
tangung jawab. Ketiga, hendaknya ketiadaan pembatasan tanggung jawab itu bukannya
bersifat mutlak tanpa adanya batasan, tetapi harus tertentu dan teratur. Keempat, haruslah
ada pengetahuan terlebih dahulu, yang tegas dan jelas pada diri orang-orang yang ingin
menanamkan sahamnya pada proyek-proyek seperti ini, mengenai tanggung jawab yang
tidak terbatas bagi syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut. Apabila persyaratan-persyaratan
tersebut dapat diterapkan, kami memandang tidak ada halangan bagi tidak adanya
pembatasan tanggung jawab tersebut.

Di seputar bentuk sistem investasi yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah
musahamah, sesungguhnya hal ini tampak lebih jelas, karena undang-undang positip pun
telah menetapkan permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah dianggap telah
mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan
demikian, syirkah tersebut telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah pula
dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka syirkah
musahamah, baik yang umum (public company) maupun yang khusus (private or
proprietory company), benar-benar mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah
dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham modalnya. Sebagai akibat dari bentuk
syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah milik syirkah itu membolehkan
kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga para pemilik sahamnya, untuk menuntutnya.
Demikian juga, diperkenankan bagi syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa
memengaruhi kondisi hukum pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau
bukan perjanjian dengan syirkah.

Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf-
waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan
mencari keuntungan maupun tidak, hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang
terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni berdasarkan fiqh,
bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para
pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep
syakhshiyyah qanuniyyah.

2. Wahdah Muhasabiyyah

Wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi), sebagaimana konsep syakhshiyyah


i`tibariyyah, kemudian syakhshiyyah qanuniyyah, bahwa ternyata di sana ada interferensi
di antara konsep-konsep ini, maka pembahasan tentang wahdah muhasabiyyah ini juga
tidak terlepas dari interferensi tersebut. Kalau diperhatikan, banyak kalangan yang
mempergunakan istilah syakhshiyyah muhasabiyyah, namun yang mereka maksudkan
adalah wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Sesungguhnya istilah syakhshiyyah
muhasabiyyah itu tidaklah tepat, karena istilah itu mengandung beberapa kerancuan yang
di antaranya kadang-kadang berkaitan dengan penafsirannya, ini dari satu sisi, dan dari sisi
yang lain hubungannya dengan tempat-tempat yang lainnya. Berdasarkan gambaran
tersebut, maka kami lebih menyukai penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah
sebagaimana yang akan dibahas selanjutnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 124


Banjarmasin)
Sesungguhnya konsep mengenai wahdah muhasabiyyah itu adalah kerangka dasar
yang menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa yang harus
dimuat oleh buku-buku akuntansi, dan apa yang harus diangkat oleh laporan keuangan,
baik berbentuk data keuangan yang sudah dikenal, ataupun yang lain. Oleh karena itu,
permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah muhasabiyyah itu adalah
masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah tertentu kebutuhan
tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya. Kebutuhan terhadap
informasi keuangan itulah yang akan terealisir pada akhirnya, yang diungkapkan dalam
laporan keuangan.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka apabila wahdah muhasabiyyah itu telah


tertentu ruang lingkupnya, maka ruang lingkup tersebut tersebut akan ditetapkan oleh
kebutuhannya. Dari gambaran yang sebelumnya itu, maka wahdah muhasabiyyah itu akan
menjadi tertentu sebagai akibat dari kebutuhannya. Kebutuhan ini terbagi dua, yaitu yang
mempunyai karakter umum, dan yang mempunyai karakter khusus. Di samping itu semua,
adalah suatu hal yang mungkin bahwa di sana terdapat wahdah muhasabiyyah yang lebih
dari satu bagi suatu perusahaan itu sendiri, di samping juga merupakan sesuatu yang
mungkin adanya satu wahdah muhasabiyyah saja bagi beberapa macam perusahaan. Kami
akan menjelaskan permasalahan ini secara ringkas pada lembaran-lembaran mendatang.

Wahdah muhasabiyyah ini pada perusahaan-perusahaan, baik yang mempunyai


karakter individual, atau yang bukan individual seperti syirkah-syirkah yang ada di dalam
sistem Islam, syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem non-Islam, dan syirkah
musahamah dalam segala bentuknya, atau yang berkaitan dengan dengan hibah-hibah,
waqaf-waqaf, dan kemaslahatan umum. Berkaitan dengan perusahaan-perusahaan atau
lembaga-lembaga yang seperti ini, apakah yang bersifat mencari keuntungan maupun
tidak, maka kita dapati bahwa setiap perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau
kemaslahatan, atau masjid, pada dasarnya merupakan suatu wahdah muhasabiyyah yang
sempurna dan integral. Adapun yang dimaksud dengan kesempurnaan dan keintegralan
wahdah muhasabiyyah bagi setiap perusahaan dan lembaga yang telah kami sebutkan itu
adalah adanya keharusan memegang buku-buku akuntansi khusus bagi setiap perusahaan
atau lembaga secara tersendiri, dan buku-buku akuntansi ini mencerminkan hasil dari
kegiatan wahdah muhasabiyyah itu selama periode waktu tertentu, serta posisi keuangan
bagi wahdah muhasabiyyah itu sendiri pada akhir periode.

Dalam keadaan demikian, maka masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau
syirkah tadlamuniyyah', atau syirkah musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan,
kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri.
Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat sempurna dan integral, karena seluruh
transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup oleh buku-buku
wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah muhasabiyyah ini dinyatakan
integral karena mengungkapkan tentang seluruh perusahaan, atau lembaga, atau syirkah,
atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan dan keintegralan ini, harus sejalan, karena
pada akhirnya, keduanya akan mengungkapkan tentang kegiatan dan posisi wahdah itu
dengan cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari penggunaan
informasi keuangan yang dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah
ditentukan kerangka dasarnya, untuk dapat memenuhi tujuan ini, yaitu memenuhi
kebutuhan tertentu. Sampai sekarang, kalau diperhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 125


Banjarmasin)
itu adalah yang mempunyai karakter umum, bukan yang khusus. Hal ini adalah yang telah
kami isyaratkan sebelumnya dengan informasi keuangan yang mempunyai tujuan umum,
yaitu ketika membahas tentang para pengguna informasi keuangan.

Di samping kebutuhan yang mempunyai karakter umum ini, seringkali timbul


kebutuhan terhadap informasi keuangan yang bersifat khusus. Sesungguhnya kebutuhan
terhadap informasi yang bersifat khusus itu akan mengantarkan kepada penentuan
kerangka dasar lain yang khusus, yang akan terlaksana dengan adanya penentuan dan
pendefinisian mengenai wahdah muhasabiyyah. Informasi khusus ini kadang-kadang
berimplikasi pada penyempitan atau perluasan ruang lingkup wahdah muhasabiyyah
berdasarkan kebutuhan terhadap informasi keuangan. Ruang lingkup wahdah
muhasabiyyah akan menjadi sempit apabila kebutuhan terhadap informasi itu terbatas pada
ruang lingkup yang lebih kecil dari keadaan yang sesungguhnya dari ruang lingkup
wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri, bersifat sempurna dan integral, dan mewakili
syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri sendiri. Misalnya, adalah apabila wahdah
muhasabiyyah itu menjadi suatu bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah. Ruang lingkup
wahdah muhasabiyyah ini akan menjadi luas apabila kebutuhan terhadap informasi
keuangan itu melampaui ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri itu,
bersifat sempurna dan integral, dan mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri
sendiri, misalnya adalah apabila wahdah muhasabiyyah dalam keadaan ini menjadi
beberapa syirkah.

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah dilihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu
kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah secara keseluruhannya. Ini khusus
terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum. Hasil dari wahdah muhasabiyyah ini
menjadi laporan keuangan yang sempurna dan integral, yang mencerminkan hasil kegiatan
selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu itu. Laporan
keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang menggambarkan hasil
kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun keuangan. Demikian
juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga dinamakan dengan
Qa’imatul Markazil Mali (daftar posisi keuangan) yang akan mencerminkan kondisi
keuangan wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada akhir periode yang
dicerminkan dalam perhitungan laba rugi.

Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau
bagian-bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi
keuangan yang bertujuan khusus. Jadi informasi keuangan yang khusus bagi wahdah
muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat sempurna dan integral, karena hanya
mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah yang
sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah
muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau
manajemen pergudangan.

Bahkan, wahdah muhasabiyyah ini kadangkala sedikit demi sedikit menjadi


sempit. Misalnya, yang tadinya adalah manajemen produksi secara keseluruhannya, lalu
mulai dibatasi menjadi manajemen bagi produksi tertentu saja dari hasil-hasil produksi
keseluruhannya. Informasi keuangan yang seperti ini memang membutuhkan biaya yang
tidak sedikit, namun mempunyai signifikansi yang besar untuk pengambilan keputusan
manajemen. Biaya ini dibenarkan oleh kebutuhan manajemen dalam membuat kebijakan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 126


Banjarmasin)
yang didasarkan pada informasi keuangan yang rinci dan detail tersebut.

Seringkali, laporan yang rinci ini selalu bersifat internal dan rahasia, dan tidak
diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut untuk
mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi sedikit
apabila informasi keuangan ini diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-pribadi
tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang memang
berpengaruh, yang mempunyai signifikansi khusus dan pengaruh yang besar terhadap
syakhshiyyah i`tibariyyah.

Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu, masih ada lagi jenis
yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga mempunyai
sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah yang digambarkan
dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang lingkupnya. Sebagai
contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang yang
berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral, yang keseluruhannya didanai oleh satu
syirkah atau perusahaan, atau bagian yang tidak bisa diremehkan dari modal perusahaan-
perusahaan individu ini berasal dari satu perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan
pada keadaan-keadaan yang serupa dengannya, maka perusahaan yang memegang atau
menguasai modal perusahaan-perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im
maliyyah (daftar keuangan/neraca umum) yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan
itu, termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala
dinamakan sebagai perusahaan induk.

Wahdah muhasabiyyah itu, dalam rangka menutupi kebutuhan perusahaan induk


tersebut terhadap keuangan yang bersifat khusus, mengungkapkan hak-hak dan
kewajibannya kepada perusahaan tersebut. Apabila diperhatikan dari segi bentuk lahirnya,
makawahdah muhasabiyyah ini lebih sempurna dan integral daripada wahdah
muhasabiyyah yang khusus bagi satu syakhshiyyah i`tibariyah. Pada hakikatnya,
permasalahannya tidaklah demikian. Sebab, laporan keuangan wahdah muhasabiyyah ini,
yang mencerminkan seluruh syakhshiyyah i`tibariyyah yang ada di dalam ruang
lingkupnya, hanyalah laporan kumpulan yang bersandar pada laporan pribadi tiap
syakhshiyah i`tibariyyah. Laporan keuangan wahdah muhasabiyyah seperti ini, mencakup
beberapa syakhshiyyah i`tibariyyah, memberi manfaat di dalam pembuatan kebijakan
umum dan dapat mengeluarkan perkiraan keuangan umum.

F. Karakteristik Akuntansi Syariah


Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep akuntansi syariah
telah diimplementasikan lebih dulu oleh para pendahulu (dari negara Islam), bahwa
akuntansi yang ada sekarang berasal dari nukilan (transcriber) Lucas Pacioli dan sejarah
yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW. Dengan demikian, Akuntansi
Syariah yang menjelaskan tentang konsep pencatatan, perhitungan, pengukuran,
pengklasifikasian, penilaian, dan pelaporan terhadap kegiatan entitas ekonomi secara
periodik dan upaya untuk menandingkan antara biaya (upaya) dan hasil (prestasi), dengan
menggunakan prinsip bagi hasil berdasarkan prinsip syariah melalui kegiatan jual beli (Al
Muhasabah). Tternyata telah menjadi kebutuhan sejak zaman dulu dan hingga sekarang.
Akuntansi konvensional yang diterapkan sekarang merupakan hasil olah fikir dan rekayasa
para orientalis atau pakar akuntansi setelah menggali dan mengembangkan dari praktik

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 127


Banjarmasin)
yang sudah ada (terutama dari dunia Islam).

Bila dilihat dari praktik akuntansi syariah, maka secara khusus akan meliputi, antara
lain: muhasabah ini juga meliputi kegiatan-kegiatan jasa. Praktik tersebut hendaknya
didasarkan atas dalil atau nilai-nilai (nash) terkandung dalam Al Qur’anul Karim
(khususnya al.: Surah Al-Baqarah: 282: 2) dan hadits Rasulullah SAW. Hal ini merupakan
bagian dari praktik Al Muhasabah, sebagai dasar untuk mengambil keputusan ekonomi
berdasarkan prinsip-prinsip dan tuntunan syariah dalam upaya mencapai laba yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam praktik bisnis konsep akuntansi syariah sekarang telah
diimplementasikan oleh entitas bisnis dalam kegiatan ekonomi (bisnis) seperti; Lembaga
Keuangan Syariah (LKS); Perbankan (Bank Syariah, BPRS), Asuransi (Ta’min, Takaful
atau Tadhamun), Koperasi (kopyah/BMT), Jasa (Hotel Syariah, Bengkel Syariah, Rahn,
Obligasi Syariah, Letter of Credit Syariah, SIMA, Al Sharf) dan kegiatan lainnya. Hal
tersebut antara lain diatur dalam PSAK yang mengatur secara khusus yaitu PSAK No.
59/2003 (awalnya) dan diperberharui dengan PSAK 100-106/2007 tentang Perbankan
Syariah, Fatwa MUI (Dewan Syariah Nasional) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah (PAPSI/2003) saja. Namun kita berkeyakinan bahwa konsep dan praktik bisnis
berbasis syariah ini pada masa mendatang akan mengalami perkembangan yang cukup
pesat dan menjadi sistem ekonomi pilihan yang tepat sebagai alternatif dan dapat
diandalkan.

1) Tujuan Akuntansi Syariah


Dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulllah SAW menempatkan keadilan sebagai tujuan
utama dalam syariah Islam. Al Qur’an Surah 57 ayat 25, menciptakan keadilan merupakan
tujuan utama mengapa Allah SWT mengirimkan Rasul-Nya ke muka bumi sebagai
khalifatullah. Di mana posisi keadilan hampir menduduki posisi yang sama dengan kadar
taqwa (Al Qur’an, 5:8). Dalam sejarah Islam bahwa unsur keadilan merupakan faktor
utama yang tidak dapat dipishakan dalam muhasabah dan muamallah. Abu Yusuf dalam
salah satu riwayat meletakkan penekanan yang kuat mengenai keadilan dalam suratnya
kepada Khlalifah Harun al-Rasyid; dengan menyatakan, “Berikanlah keadilan bagi mereka
yang teraniaya dan hapuskanlah ketidakadilan, tingkatkanlah penerimaan pajak,
selaraskan pembangunan dalam negara dan terimalah rahmat Allah sebagai ganjarannya
di hari akhir nanti.”

Dalam konteks yang luas, Islam memamdang hubungan atau interaksi antar makhluk
hidup, baik manusia, hewan ataupun keluarga tidak terlepas dari hubungan sosial ekonomi
ataupun politik. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep hubungan sesama manusia.
Dalam bidang ekonomi bahwa keadilan merupakan tuntutan terhadap pengelolaan sumber
daya baik alam maupun manusia dengan cara yang baik dan berpegang pada prinsip
kemanusiaan. Karena dengan keadilan akan dapat dicapai tingkat pertumbuhan optimum,
pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta terwujudnya stabilitas ekonomi
yang mantap. Sehingga diperlukan strategi tertentu untuk mewujudkannya, salah satu
satunya adalah dengan memasukkan dimensi moral yang mengganntikan orientasi yang
bersifat materialitas dan hedonis dalam kapitalisme barat.

Oleh karena itu, salah satu dimensi tersebut adalah perwujudan rasa kebersamaan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 128


Banjarmasin)
dan pengelolaan harta (maal) yang menuju pada keridhaan Allah SWT. Hal tersebut
tercermin dalam penetapan terhadap harta yang dimilikii maupun keuntungan bisnis yang
hendaknya dapat dikelola dan dihitung secara baik, agar dapat menentukan besarnya
kewajiban yang harus ditunaikan melalui zakat atau pun pajak kepada negara.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut di atas maka pada dasarnya tujuan akuntansi syariah
adalah sebagai berikut:

 dasar dalam perhitungan besarnya zakat;


 dasar pembagian keuntungan, (berdasarkan revenue sharing dan atau profit and
loss sharing), dan distribusi kesejahteraan dan pengungkapan secara memadai; dan
 agar usaha (bisnis) berjalan secara islam sesuai dengan prinsip syariah.

2) Ciri-ciri Akuntansi Syariah

Dalam ekonomi yang berbasis syariah maka kegiatan bisnis merupakan bagian dari
muamallah yang berkaitan erat dengan aqidah dan akhlak. Al Qur’an (Ibrahim: 24-26),
yang artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke
langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya selalu ingat. Dan
perumpamaan kalimat buruk seperti pohon yang buruk, yang telh dicabut dengan akar-
akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.”

Sehingga dalam akuntansi syariah hanya dapat dipakai secara lebih sempurna bila
berjalannya ekonomi islam yang berbasis syariah. Hal ini dapat dilihat dari karakteristiknya
yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme, dan berbeda pula dengan sosialisme-
komunisme. Karena akuntansi syariah dibangunan berdasarkan konsep ekonomi islam
dengan menggunakan empat landasan filosofis pokok yaitu:
1) Tauhid (ilahiyah).
2) Keadilan.
3) Kebebasan.
4) Pertanggungjawaban.

Empat hal tersebut bila dijabarkan secara lebih luas adalah:


Tauhid; berarti mengesakan Allah SWT. Tauhid dijadikan sebagai fondasi yang
kokoh bagi muslim, bahwa semua yang ada adalah ciptaan dan milik-Nya dan hanya Dia
yang mengatur segalanya. Oleh karena itu dalam praktik bisnis yang berbasis syariah
tujuan utama hendaknya mencapai keridlaan Allah semata menuju taqwallah. Sebagai
penunjang tercapainya taqwallah tersebut adalah melalui kegiatan ekonomi yang tidak
bertentangan dengan syariat-Nya. Sehingga prisnisp etika dan nilai-nilai islam adalah
sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan sudah menjadi kebutuhan yang
mendesak agar manusia (khususnya kaum muslim) dapat ‘kembali ke jalan yang benar’
atau hijrah untuk mengelola sumber daya dalam upaya memenuhi kebvutuhan hidupnya
secara berkeadilan dan bertanggunjawab sesuai dengan tuntunan Ilaihiyah dan Sunah
Rasulullahi Shallallahu alaihiwasalam.

Keadilan; adalah kunci dan dasar dari kesejahteraan hidup masyarakat.


Keadilan merupakan srana yang tepat dan terdekat untuk mencapai taqwallah yang

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 129


Banjarmasin)
merupakan cerminan dari ketinggian akhlak seseorang (Al Maidah: 8). Kemudian Surah
Luqman: 13, bahwa tauhid sebagai fondasi ajaran islam merupakan makna dari keadilan
sebagaimana kemusyrikan adalah suatu bentuk kedzaliman. Nilai keadilan dalam Al
Qura’an dan hadits nabibahkan bukan menjadi salah satu tujuan pokok syariah (An-Nahl:
90). Kedailan dalam kegiatan ekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah
fiqih, yang bertujuan untuk membentu merealisasikan kesejahteraan dan kemaslahatan
umat. Salah satu kaidah yang dirumuskan adalah, bahwa pengorbanan atau kerugian
probadi mungkin harus dilakukan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian
masyarakat dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan
manfaat yang lebih besar (Ibnu Khaldun).

Kebebasan; bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivtas ekonomi


sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan hukum Allah. Karena itu inovasi
dan kreativitas merupakan suatu keharusan. Pilar terpenting dalam keyakinan seorang
muslim adalah kepercayaan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allahu Rabbul ‘Alamin. Ia
tidak tunduk kepada siapapun kecuali semata-mata karena Allah (Ar Ra’ad: 36). Bahwa
kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya. Oleh karena itu, masalah hak
individu dalam kaitannya dengan masyarakat, para sarjana muslim sepakat bahwa:

- Kepentingan masyarakat lebih luas dan harus didahulukan di atas kepentingan pribadi.
- Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi
manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan dalam syariah.
- Kerugian lebih kecil dibolehkan untuk menciptakan
keuntungan lebih besar sepanjang sesuai dengan prinsip syariah.

Pertanggunjawaban; bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul


tanggungjawab atas segala keputusan dan perbuatannya, meskipun hanya sekecil biji
jarah. Karena itu dalam akuntansi syariah hal ini menjadi salah stau prinsip yang harus
dilaksanakan, tanpa memandang tingkatan dan derajat manusianya. Bahwa manusia yang
terpuji dan mulia di sisi Allah adalah manusia yang bertaqwa kepada-Nya. Nilai-nilai
taqwa tersebut hanya dapat dimiliki oleh manusia yang mempunyai nilai etika moral dan
memandang semua ini hanya bersifat sementara sebagai titipan atau amanah dari Allah
SWT. Sehingga dalam ekonomi islam antara ekonomi dan islam merupakan dua hal yang
menyatu dan tidak dapat dipisahkan, sebagaimana ibadah juga merupakan hal yang tidak
dapat dihindari dan harus dilakukan oleh manusia. Ibadah dapat diwujudkan dalam bentuk
ritual keagamaan maupun dalam kegiatan atau kehidupan sehari-hari (muamallah), asalkan
mengikuti tuntutan-Nya dan Sunah Rasulullah SAW. Selain itu akhlak merupakan daging
dan urat nadi kehidupan islam, karena risalah akhlaq sehingga Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnnya tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak.”

Secara lebih tegas Yuwono, (1997, 35) dan Akram (1992); berpendapat bahwa ciri-
ciri akuntansi syariah dalam praktik bisnis (maumallah al muhasabah) adalah:
a) Menggunakan nilai etika sebagai dasar akuntansi
b) Memberikan arah dan stimulasi perilaku etis
c) Adil dalam implementasinya
d) Keseimbangan antara nilai eqoistik dan altruistik.
e) Peduli atau ramah lingkungan
f) Penentuan bagi hasil (sharing) yang tepat.
g) Pelaporan dan pertanggujawaban secara transparan, akuntabel, dan jujur.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 130


Banjarmasin)
3) Prinsip Akuntansi Syariah
Ada tiga prinsip utama dalam akuntansi syariah, yaitu:

a. Prinsip Pertanggungjawaban (responsibility principles)


Berkaitan secara langsung dengan amanah, yaitu wujud pertanggungjawaban terhadap
dana yang dikelola (mudharib) untuk dilaporkan kepada pemilik dana (shahibul maal)
dan stakeholder lainya. Laporan ini diwujudkan dalam bentuk hubungan antar manusia
dengan manusia lainnya dan antar manusia dengan Sang Pencipta Al Khaliq
(hablumminallah) sebagai perwujudan khalifah di muka bumi. Secara lebih spesifik
dalam bidang muamallah (khususnya bisnis/pencatatan/akuntansi) hal ini dapat
diwujudkan dalam bentuk pencatatan, pengklasifikasian dan pembuatan laporan
keuangan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada sesama manusia
(hablumminannas).

b. Prinsip Keadilan (equity principles)


Dasarnya adalah keadilan dalam bertransaksi; yang mengandung unsur etika sosial yang
melekat pada diri manusia sebagai manusia yang suci dan kaffah.
Pada dasarnya manusia mempunyai kapasitas dan kekuatan untuk berlaku adil, terutama
dalam bisnis untuk menuju bisnis yang berbasis syariah, sesuai dengan 3 landasan
berikut:
1. Landasan moral adalah integritas dan kejujuran (al amin).
2. Landasan fundamental adalah nilai-nilai etika dan syariah.
3. Landasan operasional adalah muamallah (muhasabah).

c. Prinsip Kebenaran (truth principles)


Berkaitan erat dengan prinsip keadilan, terutama dalam hal pengakuan, pengukuran, dan
pelaporan, yang objektif dan relevan. Tidak didasarkan pada hawa nafsu. Berorientasi
tidak mencari keuntungan (oriented profit) semata, tetapi mengakui, mengukur, dan
melaporkan sebagai wujud muamallah untuk mewujudkan taqwallah dalam setiap
langkah dan bidang kehidupan.

Menurut Omar Abdullah Zaid, (2008), terdapat empat prinsip akuntansi dalam Islam,
yaitu:

1. Prinsip Legitimasi Muaamalat (kegiatan formal).


2. Prinsip Syakhshiyyah I`tibariyyah (badan hukum).
3. Prinsip Istimrariyyah (kontinuitas).
4. Prinsip Muqabalah (penandingan).

Prinsip Pertama: Legitimasi Muamalat


Legitimasi muamalat adalah sasaran atau kegiatan itu sah menurut syariah, atas transaksi-
transaksi, tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang terkait dengan sasaran
kegiatan itu. Sebagai sarana yang digunakan untuk menyempurnakan muamalat itu, sesuai
dengan sasaran atau kegiatan itu menurut prinsip syariah. Bahwa sasaran dari suatu
kegiatan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manhaj (sistem) dan karakter kegiatan
itu sendiri. Sebab, sistem itulah yang akan menentukan legitimasi sasaran kegiatan itu.
Demikian juga, sistem itulah yang akan menentukan sarana yang harus atau mungkin

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 131


Banjarmasin)
digunakan, atau kedua-duanya. Sistem Islam itu bukanlah sistem buatan manusia, namun
merupakan sistem rabbani yang datang dari pencipta manusia, maka tidak ada perbedaan
dalam penentuan dan pembatasan tentang kegiatan-kegiatan yang tidak sah menurut
syari’at.

Prinsip Kedua: Syakhshiyyah I`tibariyyah


Prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) ini, dikenal dengan istilah
syakhshiyyah ma`nawiyyah. Prinsip ini mempunyai signifikansi dan pengaruh terhadap
kegiatan akuntansi dan hasil-hasil dari kegiatan investasi tersebut. Sebab, wajib dibedakan
antara entitas spiritual sebagai suatu konsep dan pengaruhnya terhadap hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pemilik perusahaan. Demikian pula wajib memahami makna
syakhshiyyah qanuniyyah dan makna wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Pada
akhirnya, haruslah mengetahui pengaruh dari syakhshiyyah qanuniyyah dan kesatuan
akuntansi ini terhadap entitas spiritual tersebut.

1. Entitas Spiritual, Konsep entitas spiritual ini adalah adanya pemisahan kegiatan
investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut.
Contoh; sekelompok pribadi menginvestasikan bagian tertentu dari harta mereka untuk
pendirian suatu lembaga perdagangan. Lembaga ini menjadi terpisah dari para pendirinya,
dan memiliki legalitas pribadi yang khusus baginya dan disebut syakhshiyyah i`tibariyyah
(entitas spiritual).

2. Syakhshiyyah Qanuniyyah, Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity), adalah suatu


ungkapan mengenai entitas yang terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak
lain secara langsung dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, atau seballiknya.

3. Wahdah Muhasabiyyah, Konsep wahdah muhasabiyyah ini, adalah merupakan


kerangka dasar yang menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa
yang harus dimuat dalam literatur akuntansi, dan apa yang harus disajikan dalam laporan
keuangan. Oleh karena itu, permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah
muhasabiyyah itu adalah masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah
ditentukan kebutuhan tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya.
Kebutuhan terhadap informasi keuangan itulah yang akan terealisasi pada akhirnya, yang
diungkapkan dalam laporan keuangan.

Prinsip Ketiga: Istimrariyyah


Prinsip Istimrariyyah (kontinuitas) yaitu prinsip yang memandang bahwa perusahaan itu
akan terus menjalankan kegiatannya sampai waktu yang tidak diketahui. Kecuali,
likuidasinya merupakan masalah pengecualian, kecuali jika terdapat indikasi yang
mengarah kepada kebalikannya. Berdasarkan pendefinisian kita terhadap prinsip
istimrariyyah (kontinuitas) itu, maka dapatlah kita simpulkan beberapa hal berikut ini.

1. Umur perusahaan tersebut tidaklah tergantung pada umur para pemiliknya, yakni para
pemiliknya itu tentu akan berjalan menuju ketiadaan. Ketiadaan mereka itu tidaklah
menghentikan kegiatan perusahaan, bahkan akan terus berjalan, dengan atau tanpa
adanya mereka.

2. Prinsip kontinuitas itu merupakan bagian dari fitrah manusia yang Allah Subhanahu Wa
Ta`ala ciptakan manusia atas dasar fitrah tersebut. Yakni, manusia itu akan selalu

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 132


Banjarmasin)
beramal dan berkerja keras, padahal dia mengetahui bahwa dia itu akan tiada suatu saat
nanti, dan akan menjumpai Rabbnya, cepat ataupun lambat. Akan tetapi, itu semua
tidak menghalanginya untuk terus berusaha guna memenuhi apa yang dia butuhkan
untuk hari esok dalam kehidupannya, dan juga masa depan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, sepeninggalnya.

3. Prinsip kontinuitas itu, dalam kaitannya dengan usaha investasi, merupakan suatu
kaidah yang umum. Sedangkan likuidasi adalah suatu pengecualian. Pengecualian ini
haruslah diiringi oleh petunjuk-petunjuk yang menginformasikan akan hal itu.
Biasanya, ada periode waktu tertentu antara awal munculnya petunjuk-petunjuk itu,
satu demi satu, dan terjadinya likuidasi serta tiadanya kegiatan investasi tersebut.

4. Sebagai akibat dari prinsip kontinuitas ini, maka seluruh transaksi-transaksi, dan
tindakan-tindakan manajemen, baik yang internal maupun eksternal, haruslah
menjadikan prinsip ini sebagai proses. Mulai dari penentuan asas pendanaan kegiatan
investasi sampai pengukuran hasil-hasil akhir dan pengilustrasian hasil-hasil kegiatan
dan neraca yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

5. Penerapan prinsip kontinuitas ini, harus memperhatikan faktor-faktor pasar, baik dari
segi permintaan maupun penawaran.

Prinsip Keempat: Muqabalah


Prinsip muqabalah (penandingan) adalah suatu cermin yang memantulkan hubungan sebab
akibat antara dua sisi. Dari satu segi, dan mencerminkan juga hasil atau dari hubungan
tersebut dari segi yang lainnya. Sebab, setiap sesuatu yang terjadi, pasti karena adanya
suatu tindakan yang mendahuluinya, yang didasari oleh tujuan tertentu. Dan selanjutnya,
kedua kejadian tersebut harus saling dikaitkan, guna mengetahui pengaruh-pengaruh yang
diakibatkan oleh keduanya. Sebab, tujuan dari kegiatan investasi tersebut, secara umum,
adalah menghasilkan keuntungan sesuai dengan prinsip syariah. (Sumber: Omar Abdullah
Zaid, 2008)

Bila dilihat dari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di
Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah
di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-
undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau
perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran
negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus
beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal”
(pengawas keuangan). Catatan pertama akuntansi yang ditemukan di kawasan Asia Tengah
(Arab), bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat
282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-
manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani
dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang
yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya...”

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 133


Banjarmasin)
 Dengan demikian, dapat dilihat dari bukti sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu
mengenal sistem akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni
800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
  Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mengkonversi
bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai
transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam akun (pos), perkiraan atau pos
keuangan seperti aset, laibilities, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran
disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan
dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang
berbunyi,”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan
manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat
yang dahulu.”
  Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut menyangkut masalah
pengukuran kekayaan, laibilities, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga
seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah
organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk
sebelumnya. Manajemen mungkin dapat melakukan apa saja dalam menyajikan laporan
sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan
membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan akuntan independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metoda, teknik, dan strategi
pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.
  Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan
dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus
menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca,
sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
  Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan, bahwa kaidah akuntansi dalam konsep
syariah (Islam) dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan
permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber syariah (Islam) dan dipergunakan
sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam
pembukuan/pencatatan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi
pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.  Dasar hukum dalam akuntansi
syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah SAW, Ijma (kespakatan para ulama),
Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak
bertentangan dengan syariah (Islam). Kaidah-kaidah akuntansi syariah, memiliki

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 134


Banjarmasin)
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah akuntansi konvensional. Kaidah-kaidah
akuntansi syariah tersebut sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk
disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan
akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional terdapat pada
prinsip-rinsip berikut.
1. pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan
keuangan;
3. pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. penandingan (muqabalah) dengan prinsip penandingan antara pendapatan dengan
cost (biaya/beban);
6. kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; dan
7. keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah (2007), antara lain, terdapat pada
hal-hal sebagai berikut.
1. Para ahli akuntansi moderen berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau
harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud
dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam
menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan
melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang
dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas.
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu
modal tetap (aset tetap) dan modal yang beredar (aset lancar), sedangkan di dalam
konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (kas) dan
harta berupa barang/sediaan (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang
milik dan barang dagang.
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara
untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau
nilai.
4. Konsep konvensional mempraktikan teori pencadangan dan ketelitian dari
menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba
yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu
dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku
serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan risiko.
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang,
modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam
konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari
kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan
pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta
menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 135


Banjarmasin)
dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan
pada pokok modal.
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya
jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika
adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual
maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk
menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh
(cash basis).
  Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem akuntansi syariah
(Islam) dengan akuntansi konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok,
sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis. Selain itu, kedua konsep ini
sama-sama digunakan sebagai alat bagi manejemen untuk mencapai tujuannya. Dalam
konsep akuntansi konvensional, tujuan akhirnya adalah bagaimana memperoleh laba secara
optimal. Sedangkan akuntansi syariah, laba hanya merupakan tujuan antara, bukan
merupakan tujuan akhir. Sebab laba tersebut, adalah salah satu sarana pendukung untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu taqwallah. Manusia sebagai khalifah, hanya diberikan
kekuasaan untuk mengelola dan bersifat sementara, Tuhan-lah yang memiliki segalanya
dan yang memberikan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
  Menurut Toshikabu Hayashi (2007) dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic
Accounting”, Akuntansi barat (konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum
kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam akuntansi syariah
(Islam) ada “meta rule” yang berasal di luar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu
hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan akuntansi
syariah sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar
perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada
pertanggungjawaban di akhirat. Di mana setiap orang akan mempertanggungjawab kan
tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki akuntan sendiri (Malaikat Rakib dan Atid)
yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga
masalah sosial dan pelaksanaan hukum syariah lainnya.
  Menurut Merza Zamal (2009), bahwa konsep akuntansi syariah (Islam) jauh lebih
dahulu dari konsep akuntansi konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian
kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar akuntansi konvensional. Sebagaimana
yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah
diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “… Dan Kami turunkan kepadamu
Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl: 16 ,89), (sumber:
http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah/.)

HISAB MUAMALLAH (AL MUHASABAH)

Al muhasabah, dalam akuntansi, adalah diwujudkan dalam bentuk proses


menghitung (to compute), mengukur (to measure), dan melaporkan (to report), sehingga
memerlukan seorang atau lebih juru tulis/sekretaris (muhtasib). Hal ini dilakukan dalam
kegiatan berupa hasaba; yahsaba (mencatat, menghitung, mengukur, dan melaporkan
melalui persaksian). Sehingga akan didapatkan pelaporan (akuntansi) yang sesuai dengan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 136


Banjarmasin)
nash-nash dalam Al Qur’anul Karim. Oleh karena itu, ciri-ciri pelaporan akuntansi tersebut
hendaknya memuat informasi berikut.

Tabel 7
CIRI-CIRI PELAPORAN

No MAKNA LAPORAN SURAH/AYAT AL QURAN


1 Dilaporkan secara benar QS: 10:5
2 Cepat dan tepat pelaporannya QS: 2:202; 24:39; 3:19; 38:16; 5:4; 13:41;
40:17; dan 14:51
3 Dibuat oleh ahlinya (akuntan) QS:13:21; 13:40; 23:117: dan 88:26
4 Terang, jelas, tegas, dan informatif QS: 17:21; 14:41; dan 84:48
5 Memuat informasi menyeluruh (full disclousure) QS: 6:52; dan 39:10
6 Informasi disampaikan secara vertikal dan horizontal QS: 2:212: 3:27; 3:37; 13:18; 13:40; 24:38;
38:39, dan 69:26
7 Terperinci dan teliti QS: 65:8
8 Tidak terjadi manipulasi QS: 69:20; dan 78:27
9 Dilakukan secara kontinyu (tidak lalai) QS: 21:1; dan 38:26

G. AKUNTANSI SYARIAH DALAM PERSPEKTIF ONTOLOGIS

Dasar munculnya muamallah (Al Muhasabah) diterangkan dalam Al Qur’anul Karim;


khususnya dalam Surah Al Baqarah ayat 282; 2, yang artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamallah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan apa yang
ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada laibilitasnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akal atau
keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan dengan jujur dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantara kamu. Jika tak ada dua orang laki-
laki maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu
ridhoi, supaya jika sseorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Yang demikian itu
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak menimbulkan keraguan. (tulislah muamallahmu itu) kecuali jika muamallahmu itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu
berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan yang
demikian itu, sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwallah
kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Berdasarkan uraian di atas maka muammallah di sini dapat diartikan sebagai


kegiatan jual beli (market), hlaibilitas piutang (agency relationship), dan sewa menyewa
(leasing). Secara lebih luas dalam kerangka bisnis muamallah ini dalam upaya mencari
ridha Allah (ar ridhain), melalui kegiatan dalam bentuk hablumminannas (hubungan antar
manusia secara horizontal) sebagai wujud penerapan time is opportunity (waktu adalah
kesempatan), terutama dalam kesempatan kegiatan bisnis (usaha). Salah satu bentuk bisnis
yang berkembang cukup pesat sekarang adalah praktik perbankan syariah, BPRS, BMT
(koperasi syariah), dan jasa keuangan lainnya, seperti: asuransi dan jasa.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 137


Banjarmasin)
Secara khusus menurut Harahap (1992, 4) dan Meidawati (1998, 201),
mengemukakan bahwa pencatatan dalam konteks agama (Islam) adalah:
1. Sebagai dasar untuk menjadi bukti dilakukannya transaksi.
2. Menjaga agar tidak terjadi manipulasi (rekayasa) dalam transaksi maupun
penyusunan pertanggungjawaban (keuntungan/bagi hasil).

Sedangkan dalam konsep Islam bahwa pada hakekatnya akuntansi (pencatatan)


telah ada sejak manusia ini ada dan mempunyai andil cukup besar dalam
perkembangannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan:
1. Muamallah/Muhasabah (transaksi)
2. Sebagai dasar pencatatannya adalah bukti (evidence).
3. Evidence diklasifikasikan secara teratur dan sistematis (sekarang diatur dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 59/2007, tentang Perbankan Syariah
kemudian diatur lebih lanjut dalam PAPSI 2003/Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah dan DSN (Dewan Syariah Nasional) melalui fatwanya tahun 2000/2001).
4. Bahwa untuk mendapatkan obyektivitas dan keandalan data akuntansi, maka laporan
keuangan harus diperiksa atau diaudit oleh ahlinya, yaitu pihak independen (akuntan
publik), khususnya untuk perbankan harus ada rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional (DSN), serta pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Bank
Indonesia.

H. ZAKAT DALAM PERSPEKTIF AKUNTANSI SYARIAH

Dalam Islam telah ditegaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosisal yang
diciptakan oleh Allah SWT, adalah semata-mata untuk mengabdi pada-Nya. Oleh karena
itu, setiap insan (muslim) selain mempunyai kewajiban individu (fardhu ain) juga
mempunyai kewajiban bersama (fardhu kifayah). Zakat merupakan perwujudan kewajiban
untuk kepetingan bersama dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan semua orang yang
tidak mampu (sesuai ashnaf-nya) dalam memenuhi kepentingan diri keluarga, dan
masyarakatnya. Perwujudan kepentingan bersama ini secara umum, antara lain
mengunjungi saudaranya bila tertimpa musibah, bertakziah, dan penunaian ibadah zakat.
Menunaikan ibadah zakat, telah tertuang dalam Al Qur’an Surah At Taubah ayat 103 yang
merupakan perpaduan dan perwujudan dari kepentingan individu dengan kepentingan
bersama sesuai konsep Islam. Dan hal ini hanya dapat terlaksana bila telah dilakukan
pencatatan, perhitungan, dan pembagian terhadap aset (harta) yang dimiliki, baik oleh
individu maupun entitas ekonomi (perusahaan), sesuai dengan kesepakatan (akad) yang
telah dibuat dan hokum yang berlaku.

Hal ini sejalan dengan beberapa pengertian (simpulan) tentang zakat oleh para
peneliti atau penulis di bawah ini.

o Saud (1976): zakat secara linguistik mempunyai makna ganda, yaitu pertumbuhan
(growth) dan pembersihan (purification).
o Siregar (1999, 58) dan Chapra (2000, 270): zakat mempunyai makna literal, yaitu
penyucian (thaharah), pertumbuhan (nama’), keberkatan (barokah), dan pujian (madh).
o Dalam Al Qur’an:
(Surat At-Taubat, 103); dasar pengenaan zakat adalah kekayaan: “Sesungguhnya bumi

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 138


Banjarmasin)
ini kepunyaan Allah dipusakai-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-
Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS; 7, 128).
QS; 2, 29-30 menyatakan: bahwa sesungguhnya Allah akan menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi agar berlaku amanah dan mampu mengelola sumber
daya alam secara benar dan adil sebab Manusia itu sebagai khalifatullah (god’s
vicengerent).

1. Zakat dan Pajak

Zakat merupakan ibadah penyucian harta yang bersifat wajib dalam Rukun Islam
ke-4 setelah mengucap syahadat, mendirikan shalat, dan menunaikan ibadah puasa. Tidak
ada sangsi atau hukuman, hanya sangsi moral dan di akhirat kelak akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah. Zakat tidak tunduk pada prinsip perpajakan, ciri
dan tujuannya berbeda. Sedangkan pajak adalah kewajiban individu atau badan untuk
menyetorkan uang ke kas negara berdasarkan peraturan perundangan, dan sifatnya
memaksa disertai sangsi administratif dan atau kurungan badan.

2. Empat Azas Pemungutan Zakat

Dalam pemungutan zakat harus sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam
Al Qur’an atau pun Sunah Rasulullah SAW, yakni telah sampai haul dan nisabnya.
Besarnya persentase pengenaan zakatnya disesuaikan dengan jenis harta yang dimiliki,
(misalnya harta perdagangan 2,5% dari nilainya, hasil pertanian tanpa pengairan 20% dari
hasil panen yang diperoleh, harta temuan/qarun adalah 20% dari nilai temuannya). Dalam
distribusinya, zakat ini telah ditentukan pula pihak yang berhak menerimanya (8 pihak),
dalam konteks bernegara atau bermasyarakat dibentuk badan amil amil zakat (BAZIS)
yang telah diakui dan disahkan oleh masyarakat atau negara. Sehingga zakat yang telah
dibayarkan pada BAZIS yang resmi atau terdaftar, berdasarkan Surat Edaran Menteri
Keuangan, dapat mengurangi pajak yang akan dibayar. Meskipun cara perhitungan dan
pemungutannya berbeda, namun pada dasarnya kedua hali ini adalah wujud dari penunaian
kewajiban terhadap agama dan bangsa. Sebab, dalam pengelolaan dan pemungutan zakat
berbeda dengan pemungutan terhadap pajak. Dalam pengelolaan kedua hal tersebut
hendaknya memperhatikan empat azas berikut; (Rahman, 1966, 333, dan Mannan, 1997,
275):

Tabel 8
PERBEDAAN ASAS ZAKAT DAN PAJAK

ASAS ZAKAT PAJAK


1. KESAMAAN Kewajiban setiap warga Kewajian setiap warga berdasarkan
berdasarkan harta kekayaan yang pendapatannya dengan sistem
dimiliki, untuk orang yang berhak perpajakan, untuk pembiayaan dan
menerimanya sesuai dengan pembangunan negara
tuntunan syariah.
2. KEPASTIAN Ditetapkan secara pasti dan tidak Ditetapkan secara pasti berdasarkan
dapat diubah berdasarkan ketentuan ketentuan yang berlaku (UU
syariah. perpajakan + aturan lainnya) namun
dapat diubah oleh negara.
3. KESELARASAN Dipungut pada saat terbaik sesuai Dipungut pada saat tertentu sesuai
dan KETEPATAN situasi dan kondisi atau telah dengan kondisi si wajib pajak.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 139


Banjarmasin)
memenuhi batas nisabnya.
4. EKONOMI Tidak memerlukan sistem Memerlukan sistem organisasi yang
organisasi yang lengkap dan tidak lengkap dengan menggunakan prinsip
memerlukan biaya yang besar. Cost Benefit Rratio

Standar Akuntansi Zakat sangat diperlukan. Karena standar ini yang mengatur
bagaimana mengelola Zakat tersebut. Hal ini telh dan diterbitkan oleh lembaga pembuat
standar/standard setting body (lihat PSAK 110/2012 tentang ZIS). Sehingga terdapat
kepastian hukum dengan standar yang pasti maka selayaknya ketentuan atau standar
khusus mengenai zakat ini diterbitkan untuk kepentingan umat, terutama dalam konteks
pengelolaan negara berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat (public money) untuk
pembangunan dan program pengentasan kemiskinan. Dibandingkan pajak yang cenderung
memaksa dan mungkin sumbernya non halal, maka pajak dipungut atau dikeluarkan atas
kesadaran individu bahwa dibalik harta yang kita miliki terdapat hak orang lain yang harus
dikeluarkan yakni dalam bentuk zakat. Sedangkan dalam pajak yang terindikasi adanya
ketidakjelasan dalam proses pengumpulan dan distribusinya cenderung tidak merata dan
tidak sesuai dengan konsep keadilan, kebenaran, dan pertanggungjawaban. Sesuai dengan
prinsip muamallah dalam akuntansi syariah, sehingga agak sulit untuk
dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan.

Oleh karena itu, kalau pajak sudah ada peraturan maupun ketentuan yang
mengaturnya maka seyogyanya zakat juga demikian (terutama aturan dari pemerintah dan
organisasi profesi) misalnya: kewajiban untuk melaporkan pungutan zakatnya dan standar
akuntansi Zakat. Menurut Harahap (1997, 285), bahwa dalam standar zakat hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut.

1. Dasar penilaian adalah nilai tukar sekarang (current exchange value), berdasarkan
harga pasar yang berlaku.
2. Aturan periode satu tahun, kecuali untuk zakat pertanian disesuaikan dengan musim
panen (masa produksinya).
3. Independensi aturan, zakat dihitung berdasarkan kekayaan akhir tahun, setelah sampai
haul dan nisabnya.
4. Menggunakan standar realisasi.
5. Menggunakan net total dan memerlukan net income.
6. Dasar pengenaan adalah harta kekayaan (maal).

I. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA ZAKAT DAN PAJAK

Zakat adalah proses penyucian harta dan merupakan kewajiban setiap individu muslim
sebagai sarana untuk mencapai taqwallah sedangkan Pajak adalah Iuran wajib (pungutan)
setiap warga negara (badan) yang pemungutannya dapat dipaksakan dan disertai adanya
sangsi (denda) atau kurungan badan. Selanjutnya dalam konteks kewajiban pada negara
maka pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan dan dapat dikenakan sanksi
denda atau kurungan apabila warga negara tidak menunaikan kewajibannya. Pajak diatur
dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan undang-undang (ketentuan lainnya). Yang
berfungsi sebagai pemasukan pada kas negara untuk membiayai pembangunan dan
pembiayaan negara lainnya. Sedangkan zakat adalah kewajiban individu yang bersifat
ibadah amaliah. Penunaian kewajiban diserahkan kepada kesadaran insan yang

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 140


Banjarmasin)
bersangkutan. Oleh karena itu, tidak ada sanski denda atau kurungan tetapi semata-mata
didasari atas kesadaran karena Allah SWT semata. Zakat ini ditarik dan dikumpulkan oleh
Amil (pengelola zakat/BAZ/BAZIS) untuk disalurkan kepada pihak yang berhak
menerimanya (dalam Al Qur’an, ada 8 pihak).

Secara lebih jelas unsur persamaan dan perbedaan antara Zakat dan Pajak sebagai
berikut.
Tabel 9
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK

PERBEDAAN
No.
Persamaan Perbedaan Zakat Pajak
1 Adanya unsur Pengentian/ Penyucian harta dan merupakan Iuran wajib (pungutan) setiap warga
kewajiban definisi kewajiban setiap individu muslim negara (badan) yang pemungutannya
sebagai sarana untuk mencapai dapat dipaksakan dan disertai adanya
taqwallah sangsi (denda) atau kurungan badan.
2 Harus disetorkan Sasaran Ditentukan ada delapan (ashnaf) Badan/lembaga yang telah ditunjuk
ke pihak yang orang/lembaga kelompok masyarakat (amilin, muallaf, dan atau dibentuk menurut
berwenang yang menerimanya fakir dan miskin, gharim, jihad fi ketentuan/peraturan atau
menerimanya sabilillah, dll). perundangan negara.
3 Memperoleh Pengelolaan/ Dikelola secara sederhana oleh Dikelola secara terstruktur dan
imbalan/pahala manajemen individu dan atau badan yang dibentuk sistematis oleh lembaga yang
baik secara oleh masyarakat (Amil) atau negara ditunjuk. (misalnya: Departemen
langsung ataupun (BAZIS) Keuangan, Dirjen Anggaran Pajak,
tidak KPP, dll)
4 Berfungsi untuk Manfaat/kegunaan Semata-mata untuk kesejehteraan umat Untuk membiayai negara, baik untuk
kepentingan sebagai wujud pelaksaanaan rukun kepentingan sosial, ekonomi, politik,
sosial Islam yang ke-4 agama, budaya maupun pertahanan
(kemasyarakatan), keamanan.
ekonomi, dan
keuangan.
5 Adanya masa Orientasi atau Menunaikan kewajiban dan Salah satu sumber pemasukan yang
manfaat atau tujuan mensucikan harta untuk hak orang lain potensial untuk berjalannya program
masa penggunaan pemerintahan.
6 Dibayar setahun Besarnya tarif Ditentukan berdasarkan ketentuan
sekali atau setiap (nisab) Ditentukan sesuai dengan jenis undang-undang dengan
kejadian (event) zakatnya (dalam Al Qur’an dan Sunah menggunakan tarif progresif/tetap
obyek Rasul) dan telah mencapai haul dan secara proporsional sesuai dengan
nisabnya jumlah pendapatan.
7 Berfungsi sebagai Dari prinsip yang Persamaan (equalitas) untuk semua Ada batasan tertentu (sesuai PKP/
sarana digunakan individu penghasilan kena pajak)
pengumpulan
dana masyarakat
8 Dasar/ asas yang 4 asas Kepastian, keselarasan, ketepatan, dan Kepastian, keselarasan, ketepatan,
pasti ekonomi dan ekonomi
9 Berdasarkan Ketentuan QS. At Taubah: 5, 11, 18, 58, 60, 103; UU No. 1 Tahun 1983 diubah
ketentuan/peratur (Nash/Aturan): QS. Al Baqarah: 43, 110, 177, 254, menjadi UU No. 17 tahun 2002:
an yang pasti 277; QS. As Saba: 39; QS. An Nissa: Pasal 23 Ayat 2 (khususnya)
77; QS. Maryam: 31; QS. Al UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2
Mu’minum: 4; QS. Annur: 37, 56; QS. Surat Edaran dari Menteri Keuangan
An Naml: 5; QS. Luqman: 4; QS. Al dan aturan lainnya.
Ahzab: 33
QS. Al Bayinah: 5, dll.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 141


Banjarmasin)
BAB XI

SISTEM TANPA BUNGA (FREE INTEREST SYSTEM)

A. PENDAHULUAN

Dalam sistem ekonomi Islam, dijelaskan mengenai konsep dana, bahwa dana hanya
akan tersedia karena ada biaya, dan biaya terdapat dalam bagi hasil. Tingkat keuntungan
menjadi kriteria untuk pengalokasian sumber daya sekaligus untuk membuat
keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Seluruh risiko bisnis diserahkan kepada
pengusaha dan memastikan keuntungan bagi dirinya terlepas berapapun laba yang akan
diperoleh. Sehingga dalam ekonomi islam, segala transaksi (kegiatan bisnis) harus
didasarkan pada akad (kesepakatan) antara kedua belah pihak, secara adil dan transparan,
serta saling ridha (ar ridhain). Dengan demikian, sistem bagi hasil yang islami ini, tidak

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 142


Banjarmasin)
hanya membuahkan efisiensi yang lebih besar dalam pengalokasian sumber daya, tetapi
juga mampu mengurangi pemusatan kesejahteraan dan kekuasaan pada kelompok/individu
masyarakat/golongan tertentu saja, serta dapat mendorong terciptanya keadilan sosial.

Oleh karena itu, Islam sangat mendorong praktik bagi hasil dan mengharamkan riba
(bunga). Hal ini sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan MUI pada tahun tanggal 16
Desember 2003, yang menyatakan bahwa bunga bank tersebut identik dengan riba
dan hukumnya adalah haram. Di sisi lain, syariah Islam menghendaki sharing risk and
profit secara bersama-sama, dengan mengakui modal serta peranannya dalam proses
produksi atau jasa. Dengan demikian diharapkan akan dapat memberikan beban risiko
secara merata dan adil sesuai dengan akad dan kesepakatan yang telah ditetapkan pada
saat awal transaksi.

Bila dilihat dari dua sistem ekonomi yang ada (konvensional dan syariah) maka antara
kedua sistem tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar. Yaitu sistem bunga (interest)
didasarkan pada tingkat bunga yang berlaku dan dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan
kurs (mata uang asing) dalam sistem ekonomi pasar bebas (free liberalism economic).
Sedangkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) didasarkan pada prinsip ekononi
syariah dimana besarnya bagi hasil atau rugi didasarkan pada kesepakatan pada saat akad.
Berdasarkan persentase tertentu, antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola
(mudharib). Dan tidak terpengaruh oleh berapapun tingkat suku bunga yang berlaku.
Sehingga dalam praktik bisnisnya akan selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariah, yang
selalu mengutamakan kebenaran, keadilan dan pertanggungjawaban dalam mencapai ridha
Allah menuju taqwallah.

B. PERBEDAAN RIBA, BUNGA, DAN SISTEM BAGI HASIL

1) Riba dan Bunga


Secara konseptual antara riba dan bunga seringkali tidak jelas. Namun secara bahasa
sebenarnya cukup jelas, bahwa riba adalah bermakna ziyadah (tambahan). Dari sisi
linguistik, riba berarti juga tumbuh dan membesar. Namun secara teknis dalam praktik
bisnis riba ini berarti pengambilan tambahan dari harga pokok atau modal secara batil atau
bertentangan dengan prinsip syariah. Antonio, (2001), mengungkapkan bahwa terdapat
benang merah yang jelas bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi
jual beli maupun pinjam meminjam, secara batil atau bertentangan dengan prinsip
muamallah dalam Islam. Karena adanya tambahan dan diperjanjikan terlebih dahulu.

Dalam Al Qur’an Surah An-Nissa: 29, Allah SWT, berfirman yang artinya; “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamu dengan jalan
bathil…” Dalam kaitannya dengan pengertian batil tersebut, Ibnu Al-Arabia al Maliki,
dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an berpendapat: “Pengertian riba secara bahasa adalah
tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat tersebut yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti penyeimbang yang dibenarkan syariat.”

Transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara tidak adil dan cenderung merugikan
pihak yang lemah. Seperti dalam transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena pengunaan si

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 143


Banjarmasin)
penyewa (lesse). Dalam transaksi jual beli pembeli membayar di atas harga atau imbalan
barang yang diterimanya.

Demikian pula dalam proyek, bagi hasil, para pihak berhak mendapatkan keuntungan
karena penyertaan modal dan turut menanggung risiko bisnis yang mungkin terjadi setiap
saat. Demikan pula dana, tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya karena faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya belum tentu, memperolah hasil untung. Hal ini tergantung
upaya dan usaha yang dilakukannya dan kehendak Sang Maha Pencipta Allah SWT.
Pengertian senada juga disampaikan oleh mayoritas ulama sepanjang sejarah Islam dari
berbagai Mazhab Fiqhiyyah. Badr ad-Dii al-Ayni pengarang Kitab Umdatu Qari Syarah
Shahih Bukhari mengatakan, “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut
syariah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, “Riba adalah tambahan yang
diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh atau padanan yang dibenarkan oleh
syariah atas penambahan tersebut.”

Secara garis besar riba sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terbagi dalam dua
kelompok yaitu: Riba Utang-Piutang (Riba Duyun) dan Riba Jual-Beli (Riba Buyu’).
Riba Utang-Piutang terbagi dua yaitu Riba Qardh dan Riba Jahiliyah, sedangkan Riba jual
beli terbagi dalam dua bagian pula, yaitu Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah.

2) Bunga dan Sistem Bagi Hasil

Bunga tersebut sebenarnya telah lama dinyatakan tidak objektif dan ada unsur
eksploitasi golongan kaya terhadap golongan miskin. Plato (427-347 SM), bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Bunga merupakan
alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Hal ini menunjukan bahwa
bunga tersebut hanya mendasarkan pada prinsip keuntungan semata yang cenderung
mengabaikan keadilan. Selain itu Aristoteles (384-322 SM), bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan merupakan alat untuk menghasilkan
tambahan kekayaan melalui bunga.

Bahkan bangsa Yahudi (Israel), telah pula menyatakan dalam beberapa Kitab Suci mereka
sebagai berikut:
 Kitab Eksodus (Keluaran) 22; 25, Jika engkau meminjamkan uang kepada salah
seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih utang terhadap dia, dan janganlah engkau bebankan bunga
terhadapnya.
 Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23; 19, Janganlah engkau membungkan uang
kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat
dibungakan.
 Kitab Levicitus (Imamat) 35; 7, bahwa janganlah kamu mengambil bunga uang
atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya Saudaramu
bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.

Umat Kristiani pada dasarnya dalam memandang bunga terbagi 3 bagian, yaitu:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 144


Banjarmasin)
Pandangan Pendeta Awal (Abad I-XII), bahwa larangan mengambil bunga merujuk
kepada Old Testament yang juga diimani oleh umat Kristiani (St. Basil; 329-379 M, St.
Gregory dary Nyssa; 335-395 M, St. John Chrysostom; 344-407 M, St. Ambrose, dll;
1033-1109 M). Sedangkan dalam bentuk undang-undang (Canon) misalnya dalam Council
of Elvira di Spanyol tahun 306 M, dan Council of Vienne tahun 1311. Sehingga mereka
berkesimpulan bahwa:

1) Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah
barang yang dipinjamkan diawal.
2) Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang baik dalam Kitab Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru.
3) Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah
suatu dosa.
4) Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5) Harga barang yang tinggi untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.

Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII-XV) antara lain; Robert of Courcon
(1152-1218 M), William Auxxerre (1160-1220 M), St. Raymond of Pennafore (1180-1278
M), St. Bonaventure (1221-1274 M) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274 M), mereka
menyatakan bahwa:
1) Bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
2) Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman
adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
3) Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
tergantung niat si pemberi utang.

Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI-Abad XIX) antara lain; John Calvin
(1509-1564 M), Charles du Moulin (1500-1566 M), Claude Saummaise (1588-1653 M),
Martin Luther (1483-1546 M), Melancthon (1497-1560 M) dan Zwingli (1484-1531 M)
mereka berpendapat bahwa:
1) Dosa apabila bunga memberatkan peminjam.
2) Uang dapat membiak (kontra dengan pendapat Aristoteles).
3) Tidak menjadikan bunga sebagai sebagai dasar profesi.
4) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Berdasarkan hal tersebut di atas secara jelas bahwa sebagian besar ketentuan, dan pendapat
mereka tidak membolehkan praktik bunga yang berlebih-lebihan apalagi dengan orang
miskin di dalam masyarakat. Hal ini sejalan juga dengan ayat di bawah ini diambil dari
Kitab Injil; Lukas 6: 34-35, sebagai berikut: “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu
kepada orang lain, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar
dan hakmu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.

Bagaimana dengan pandangan Agama Islam? Dalam Islam sangat jelas hukum dan
ketentuannya berkaitan dengan bunga (riba) tersebut, sebagai berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 145


Banjarmasin)
1) Pandangan Dunia Islam:
- Dewan Studi Islam Al Azhar, Cairo (Mesir), berpandangan bahwa bunga dalam
segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan (Konferensi DSI Al Azhar,
Muharrom 1385 H/Mei 1965 M).
- Rabithah Alam Islamy, bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional
adalah riba yang diharamkan, (Keputusan No. 6 Sidang ke-9, Mekkah 12-19 Rajab
1406 H).
- Majma’ Fiqih Islamy, (OKI), seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang
jatuh tempo dan nasabah tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau
bunga) atas pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang
diharamkan secara syariah, (Kep. No. 10 MMFI, Konferensi OKI ke-2, tanggal 22-28
Desember 1985, di Cairo Mesir).

2) Pandangan Ulama Indonesia:


- Nahdhatul Ulama, sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian
lain mengatakan tidak sama dan sebagian lain mengatakan hukumnya syubhat. Tetapi
dalam salah satu keputusannya, NU memberikan rekomendasi; agar PB NU
mendirikan bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga (Bahtsul Masail), (Munas
Bandar Lampung, 1992).
- Muhammadiyah, bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
“mustasyabihat”. Kemudian menyarankan kepada PP Muhamadiyah untuk
mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga
perbankan yang sesuai dengan aqidah Islam, (Lajnah Tarjih, Sidoarjo, 1968).
- Majelis Ulama Indonesia, berpendapat 1) Bunga bank sama dengan riba, 2) Bunga
bank tidak sama dengan riba, dan 3) Bunga bank humumnya sama dengan Syubhat,
tetapi MUI harus berupaya untuk mendirikan bank syariah sebagai alternatif.
- Di sisi lain menurut hukum fiqih, bahwa para ulama bersepakat bahwa hukum riba
adalah haram, namun persoalannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba?
Karen Riba itu sebenarnya terbagi dalam empat bagian, yaitu: Riba Qard, Riba
Jahiliyah, Riba Fardl, dan Riba Nasiah. Jadi bila dilihat dari ketentuan fiqih-nya bahwa
bunga bank tersebut termasuk dalam kategori Riba Nasiah (Karena pertukaran yang
sejenis dan jumlahnya dilebihkan dalam jangka waktu tertentu).

3) Dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah:


Ketentuan tentang riba termaktub dalam Al Qur’an antara lain: dalam Surah Ali Imran,
130, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwallah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keuntungan.” Dalam surah lain (Al Baqarah; 278-279), artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwallah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW, bersabda dalam beberapa hadits beliau tentang
riba antara lain: yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Riba itu
memiliki tujuh puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 146


Banjarmasin)
dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya sendiri.” Selanjutnya ayat lain
dalam Al Qur’an dan Hadits Rasululaah SAW berkaitan dengan riba ini akan diuraikan
lebih jauh pada sub bab tersendiri.

Berdasarkan beberapa pandangan dan dalil naqli maupun aqli yang diuraikan di atas
maka seyogyanya pengambilan bunga perlu dipertimbangkan lebih jauh terutama dalam
praktik perbankan konvensional. Hal ini agar tercipta rasa keadilan dan eksploitasi
golongan kaya terhadap miskin tidak terjadi, seperti kondisi sekarang. Dalam ekonomi
yang berprinsip syariah, maka bunga harus dihindarkan dan diganti dengan sistem bagi
hasil. Mengapa demikian? Karena hanya terdapat alasan-alasan lemah untuk membolehkan
bunga bank (pembenaran bunga) dan pada dasarnya pembenaran tersebut dapat ditolak;
seperti anggapan-anggapan berikut bahwa:

 Bunga untuk konsumtif dilarang, tapi untuk kegiatan produktif dibolehkan.


 Oppurtunity cost yang hilang disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain (time
value of money).
 Boleh mengambil bunga karena alasan darurat.
 Pada tingkat wajar, tidak masalah bunga dibebankan (adh’afan mudha’afah/usury).
 Uang sebagai komodoti dapat disewakan, karena itu ada harganya (hasil sewa
uang) adalah bunga.
 Uang dapat dianggap sebagai komoditas bunga sebagai upah menunggu
(abstinence concept).
 Nilai uang sekarang (net present value) lebih besar daripada nilai uang pada masa
depan (future value) karena adanya penurunan nilai uang akibat inflasi dan bunga
sebagai penyeimbang laju inflasi.
 Di zaman Rasulullah SAW belum/tidak ada bank, dan bank bukan syakhsiyyah
mukallafah.

Oleh karena alasan-alasan lemah tersebut maka pembolehan bunga dalam praktik
bisnis (perbankan) dapat ditolak atau dibantah. Sebab kalau kita mempelajari lebih jauh
lagi ketentuan atau ayat-ayat tentang riba maka akan semakin nyata dampak (kerugian) bila
riba yang identik dengan bunga tersebut dibolehkan. Apalagi bila dikaitkan dengan konsep
oppurtunity cost, siapakah yang dapat menjamin bahwa masa yang akan datang itu pasti
untung (dalam konsep Oppurtunity Cost). Kemudian apakah selama ini kondisi ekonomi
atau perbankan dalam keadaan darurat terus? Bisa pula terjadinya penurunan nilai uang
atau inflasi yang tidak mutlak terjadinya, karena dapat pula akibat adanya deflasi. Bisa
jadi bunga merupakan penyebab utama terjadinya inflasi. Demikan pula pembolehan bunga
dapat berakibat merusak moral, sebab bagi si berpiutang (kreditur) dapat menimbulkan
sifat egois, zhalim, bakhil (lebih mencintai harta), sedangkan bagi si berhutang melahirkan
benih kebencian, beban yang besar, serta rasa permusuhan. Sehingga jauh rasa
persaudaraan dan prisnip saling tolong menolong. Hubungan bisnis semata-mata
didasarkan pada prinsip ekonomi (oriented profit) yang dipakai para kaum orientalis, hal
ini sangat tidak sesuai dengan prisnip ekonomi islam. Yang mendasarkan pada prinsip
saling tolong menolong (ta’awun), dalam menjalankan amanah (titipan) dari Allah SWT.
Yaitu menuju taqwallah sehingga selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, konsep
atau prinsip Sistem Bagi Hasil menjadi satu-satunya solusi alternatif pilihan, terutama
dalam pengelolan perekonomian berbasis syariah, dalam praktik bisnis (al muhasabah wal
muamallah).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 147


Banjarmasin)
Selanjutnya dalam menciptakan sistem bagi hasil tersebut, sebagaimana yang
digunakan dalam konsep akuntansi konvensional maka dalam akuntansi syariah pun,
khususnya untuk LKS (lembaga keuangan syariah), menggunakan dua sistem pencatatan
(asumsi dasar) seperti Cash Basis dan Accrual Basis. Cash Basis; prinsip akuntansi yang
mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya. Sedangkan Accrual
Basis; prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan
didistribusikan pada beberapa periode dan masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, (Fatwa MUI, Nomor: 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Bagi
Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah). Selanjutnya kedua sistem itu dapat
digunakan dalam LKS, tetapi demi untuk kemaslahatn (al-ashlah) umat MUI menyarankan
dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem basis akrual; akan tetapi dalam distribusi
hasil usaha (profit sharing revenue) hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang
benar-benar terjadi (cash basis). Demikian pula dalam akad atau pemufakatan bisnis harus
ditentukan dan disepakati sistem mana yang dipilih.

Secara lebih jelas perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 10
PERBEDAAN BUNGA DAN BAGI HASIL

BUNGA BAGI HASIL


(INTEREST) (PROFIT AND LOSS SHARING)
PENENTUAN BUNGA DIBUAT PADA WAKTU AKAD PENENTUAN BESARNYANISBAH BAGI HASIL DIBUAT
DENGAN ASUMSI SELALU UNTUNG PADA SAAT AKAD DENGAN MEMPERHATIKAN
(OPPURTUNITY COST) KEMUNGKINAN UNTUNG ATAU RUGI.
BESARNYA PERSENTASE BERDASARKAN PADA BESARNYA NISBAH BAGI HASIL DISESUAIKAN PADA
JUMLAH UANG (MODAL) YANG DIPINJAMKAN KEUNTUNGAN/KERUGIAN YANG MUNGKIN AKAN
DIPEROLEH BERTDASARKAN PERSENTASE TERTENTU
PEMBAYARAN BUNGA TETAP SEPERTI YANG RISIKO UNTUNG ATAU RUGI AKAN DITANGGUNG
DIJANJIJKAN OLEH PIHAK NASABAH (BAIK OLEH KEDUA BELAH PIHAK.
UNTUNG ATAU RUGI)
JUMLAH PEMBAYARAN BUNGA TETAP JUMLAH PEMBAGIAN ATAU PEMBAYARAN SECARA
SEKALIPUN NASABAH UNTUNG (BOOMING) PROPORSIONAL.
KEBERADAAN BUNGA DIRAGUKAN TIDAK ADA KEABSAHAN MENGENAI BAGI HASIL
KEHALALANNYA, OLEH SYARIAH TERMASUK NAMUN DAPAT DIIMPELEMTASIKAN DALAM
ISLAM PRAKTIK BISNIS.
CENDERUNG EKSPLOITATIF DAN TIDAK ADIL DIDASARKAN AKAD DAN KESEPAKATAN KEDUA
BELAH PIHAK
TERJADI NEGATIVE SPREAD TIDAK ADA NEGATIVE SPREAD
Sumber: diadaptasi dari Triyuwono, 2001, 43

C. KONSEP KEPEMILIKAN DAN PENILAIAN ASET

Ciri utama dalam konsep kepemilikan menurut syariah adalah legitimasi kepemilikan
tergantung pada unsur moralitas. Dalam kepemilikan aset (aset) umumnya didasarkan pada
konsep historis dan dicatat sebesar harga perolehannya sesuai dengan harga pada saat
pembelian atau perpindahan hak antara penjual dengan pembeli dengan mengutamakan
pada prinsip amanah-Nya. Oleh karena Allah SWT-lah semata-mata merupakan pemilik

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 148


Banjarmasin)
mutlak terhadap aset atau harta yang kita miliki. Manusia hanya sebagai penerima titipan,
terhadap aset untuk dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntunan syariah.
Sebab Allah SWT. akan meminta pertanggungjawaban terhadap pengelolaan dan
penggunaan aset tersebut, secara adil dan benar. Sekecil apapun aset yang dimiliki tidak
akan lepas dari pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT. yang Maha Adil
tersebut (kelak di hari akhir). Dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah dijelaskan sebagai
berikut:

o Surah Ali Imran; 189, artinya: “Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan
bumi, Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.”
o Surah Al Baqarah; 29, artinya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala
yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
o Dalam Hadits Rasulullah SAW: “Orang yang menguasai tanah yang tidak
bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya ia tidak
menggarapnya dengan baik”.

Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien dan tidak
produktif harus dihindarkan agar mampu menciptakan tingkat produktivitas, dan efisiensi
dalam upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, berdasarkan
konsep dan prisnip syariah. Sehingga dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
atau asset tersebut hendaknya selalu memperhatikan hal-hal (prinsip) berikut:

1. Kekayaan atau kepemilikan harus tetap tersebar (QS. Al Hasyr: 7) secara terus menerus
diantara semua lapisan masyarakat.
2. Pembayaran zakat harus sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya.
3. Penggunaan yang berfaedah, penekanan penggunaan ‘dijalan Allah SWT’.
4. Pengunaan yang tidak merugikan, menghindari kepemilikan mutlak.
5. Kepemilikan yang sah. (QS, An-Nisa: 29)
6. Adanya keseimbangan pemanfaatan (QS, Al-isra: 29 dan An Nisa: 36-37).
7. Penggunaan yang sesuai hak, untuk kemaslahatan umat.
8. Pemanfaatan untuk kehidupan manusia dalam mencapai ridha Allah, mengedepankan
hukum waris bila yang bersangkutan telah meninggal dunia.

D. DASAR PENILAIAN HARTA (ASET)

Dalam penilaian harta (aset) adalah masa atau periode satu tahun (telah sampai
haulnya), terutama untuk dasar penilaian dan pengenaan zakat dan pajak. Sebagai dasar
utama adalah ditekankan dengan mekanisme perhitungan zakat yaitu mencapai nisab dan
haul-nya. Dalam QS, Adz-Dzaariyaat: 19, artinya: “Dan pada harta-harta mereka untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak bahagian." Demikian pula dalam
hadits Rasulullah SAW, “Tidak ada zakat yang dikenakan terhadap harta benda yang
dimiliki kurang dari satu tahun.” Berdasarkan hal tersebut maka dasar penilaian harta
dalam praktik bisnis (muhasabah) berdasarkan syariah adalah telah sampai haulnya
(periode satu tahun), dan setiap akhir periode dilakukan penilaian berdasarkan prinsip
akuntansi untuk menentukan besarnya zakat maupun pajaknya.

Hameed (2000; 20): Value at current (market price) and then pay zakah (on it). Hal

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 149


Banjarmasin)
ini menunujukkan bahwa current value akan lebih sesuai dibandingkan dengan historical
cost dalam pembayaran zakat, karena dalam konsep current value telah memperhitungkan
atau menyesuaikan dengan kondisi (inflasi maupun deflasi) ekonomi pada masa tersebut.

Jadi dasar penilaian utama yang digunakan dalam Islam adalah historical cost,
namun dengan tetap memperhatikan unsur current value dan hal berikut:
 Sistem ini didasarkan atas dasar transaksi perolehan aset.
 Menggunakan konsep kehati-hatian (prudent concept) atau konservatisme dan
pertanggungjawaban (responsibility) sebagai wujud pengelolaan terutama kepada
Allah SWT dan pemilik modal (investor).
 Dalam realisasinya dikaitkan dengan konsep penandingan (matching principles).
 Menggunakan dasar periodically sebagai dasar penilaian dan alokasi aset secara
wajar dan objektif (fair).

E. LABA DALAM KONTEKS SISTEM EKONOMI TANPA BUNGA

Riba adalah salah satu hal yang dilarang dalam Islam. Larangan riba telah jelas dimuat
dalam Al Qu’ran dan Hadits Rasulullah SAW. sebagai berikut:

 (QS; 3; 130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwallah kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
 (QS; 2; 275-279), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syetan lantaran (tekanan)
penyakit jiwa. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhan-Nya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusan
terserah kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh,
mendirikan sembayang, dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala pada sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran padanya dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwallah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak
mengerjakannya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
 (QS; 4; 161), “Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih.”
 (QS; 30; 39), “Dan sesudah riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan jika
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
meliptakangandakan pahalanya.”
 QS. An Nissa: 160-161, “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang yahudi, Kami

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 150


Banjarmasin)
haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang-orang yang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”
 QS. Al Baqarah: 278-279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.”

Selanjutnya dalam hadits Rasulullah SAW. dijelaskan antara lain sebagai berikut:

 Dari Usamah bin Zaid, Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya riba itu bisa
terjadi pada jual beli secara laibilitas (kredit). (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
 Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah SAW. bersabda: “Jangan melebih-lebihkan satu
dengan yang lainnya, jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara,
dan jangan melebih-lebihkan satu dengan yang lainnya, dan jangan menjual sesuatu
yang tidak tampak.” (HR. Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Masa’i dan Ahmad)
 Dari Ubada bin Sami, Rasulullah SAW bersabda: “Emas untu emas, perak untuk
perak gandum untuk gandum. Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih dia
telah berbuat riba. Pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa).”
 Jabir berkata bahwa Rasullah SAW. Mengutuk orang yang menerima riba, orangh
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda, “Mereka semuanya sama.” (HR. Muslim).
 Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW berkata, “Pada malam
perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti rumah,
didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada
Jibril, siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang
memakan riba.”
 Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Riba itu memiliki tujuh
puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya sendiri.”

Di sisi lain Al Qur’an juga memberikan anjuran bagi pemberi pinjaman (kreditur)
untuk memberikan keringanan jika peminjam (debitur) mengalami kesulitan dalam
membayar. Hal ini ditegaskan dalam QS; 2 ayat 280: “Jika orang berlaibilitas itu dalam
kesukaran, maka beri tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian
atau seluruh laibilitas, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahu.” (QS; 2; 280).

Sebagai mana diuraikan sebelumnya, riba dikelompokkan menjadi dua bagian,


yaitu Riba Utang Piutang (riba duyun) dan Riba Jual Beli (riba buyu’). Dalam Ilmu Fiqih
bahwa riba adalah identik dengan bunga, termasuk riba laibilitas pilaibilitas ini, yang
dikelompokkan menjadi Riba Nasi’ah adalah riba karena pertukaran yang sejenis dan
jumlahnya dilebihkan karena adanya tenggang waktu/jangka waktu, sedangkan Riba
Fadhl, yaitu bila pertukaran barang yang sejenis, tapi jumlahnya tidak seimbang (mistlan
bi mitslin) atau suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 151


Banjarmasin)
yang berhutang.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang dikeluarkan tanggal 16


Desember 2003, telah menyatakan bahwa bunga bank tersebut identik dengan riba dan
riba itu hukumnya haram. Sehingga dalam perekonomian khususnya di bidang
perbankan dan sektor riel lainnya untuk mewujudkan konsepsi sistem perekomian islam
atau sesuai dengan aqidah Islam tersebut, telah didirikan beberapa perbankan syariah dan
beberapa unit usaha syariah lainnya seperti, asuransi syariah, pembiayaan syariah,
pegadaian syraiah, reksadana syariah, dan koperasi syariah. Hal ini sesuai dengan
rekomendasi Munas NU di Bandar Lampung dan Bogor; agar PBNU mendirikan bank
Islam dengan sistem tanpa bunga (Batsul Masail, Munas Bandar Lampung, 1992).

F. KONSEP TIME VALUE OF MONEY (TVM) DALAM ISLAM

Konsep TVM (positive preference) menyebutkan bahwa nilai komoditi saat ini
lebih tinggi dibanding masa depan (Achsien, 2000, 43). Karena konsep ini merupakan pola
ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam masalah ini berkaitan
dengan tingkat bunga. Padahal dalam Islam sistem bunga dilarang, terutama dalam
penilaian investasi, diskonto, dan sebagai cost of capital.

Selanjutnya dalam Islam uang dan kekayaan harus digunakan untuk kebiasaan
baik bukan untuk eksploitasi, dalam pemanfaatannya tidak boleh berlebih-lebihan dan
tidak boleh dibiarkan sia-sia menganggur. Sehingga capital budgeting yang didasarkan
pada diskonto untuk menilai proyek atau investasi bertentangan dan tidak dibenarkan
menurut syariat Islam. Selain itu sistem bunga (interest) sebagai salah satu faktor diskonto
yang dilarang merupakan bentuk praktik riba. Sehingga sebagai alternatif penggantinya
adalah menggunakn tingkat pengembalian (rank of return), bukan rate of return. Sebagai
contoh untuk saham (investasi) dengan memperhatikan EPS (earning per share), dengan
tetap memperhatikan konsep profit and loss sharing.

G. RELEVANSI KONSEP LABA BERBASIS HISTORIS DENGAN BUSINESS INCOME

Bahwa konsep business income lebih relevan dari pada konsep laba berbasis historis,
karena nilai historis yang dijadikan dasar penilaian dan pengukuran atas aset atau transkasi
yang akan dikenakan zakat tidak bisa mengakui transaksi pada nilai wajarnya, yang
ditunjukkan dengan nilai saat ini. Historical cost juga gagal mengatasi prinsip realisasi,
karena historical cost tidak bisa mengakui kenaikan nilai yang belum direalisasi atas aset
yang dimiliki perusahaan pada periode tertentu.

Sedangkan konsep laba business income lebih relevan karena kesesuaiannnya dengan
mekanisme zakat yang mengakui dan meniali aset (harta) berdasarkan nilai sekarang
(current value) dan sistem tanpa bunga yang ada dalam Islam. Current value dalam praktik
akuntansi dapat digunakan sebagai dasar penilaian dan pengukuran dengan menggunakan
net realizable value (replacement cost). Current value ini didasarkan pada nilai masukan
dan nilai keluaran. Bila nilai masukan dinyatakan dalam satuan kini maka perhitungan laba
sama dengan historical cost, tetapi laba yang dihasilkan mencakup penahanan keuntungan
dan kerugian ini direalisasi atau tidak melalui penjualan atau pertukaran.

Lebih lanjut Hendriksen dan Van Breda (2000, 306) memberikan rumusan secara

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 152


Banjarmasin)
aljabar tentang laba dengan dasar current cash equivalent sebagai berikut:

Laba = NSUM + NSUP*)

*) NSUM = Nilai satuan usaha dalam satuan harga masukan kini


NSUP = Nilai satuan usaha dalam satuan nilai pasar dari masing-masing aset

Namun perlu diingat bahwa untuk memperolah laba tersebut harus memperhatikan
prinsip ekonomi (berkorban seefisen mungkin untuk mencapai laba yang proporsional)
sesuai dengan prinsip syariah dalam Islam yaitu:

1. Saling ridha (‘an taradhin), adanya keikhlasan antar para pihak (penjual dan
pembeli)
2. Halal-Thayib (halalan thayiban), barang yang diperjualbelikan harus bebas
dari unsur yang merugikan menurut prinsip syariah.
3. Bebas riba dan eksploitasi (dzulm), tidak mengandung unsur bunga dan
bentuk eksploitasi dari penjual (kreditur) kepada pembeli (debetur)
4. Bebas manipulasi (ghoror), tidak ada unsur penipuan atau rekayasa yang
hanya menguntungkan salah satu pihak.
5. Saling menguntungkan (ta’awun), bahwa dalam proses jual beli para pihak
memperoleh manfaat masing-masing sesuai dengan akad dan perjanjiannnya
6. Tidak membahayakan (mudharat), barang atau jasa yang
diperjualbelikan/diserahterimakan tidak membawa mudharat bagi dirinya, masyarakat
dan lingkungan.
7. Anti monopoli dan spekulasi (masyir), tidak dibenarkan adanya praktik
monopoli dan spekulasi, karena menyangkut masalah keadilan dan ketidakpastian.

BAB XII

PENILAIAN DAN PENGUKURAN DALAM AKUNTANSI SYARIAH

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 153


Banjarmasin)
A. PENDAHULUAN

Dalam pembahasan bagian ini, akan digunakan akun-akun laporan keuangan syariah
yang sesuai dengan tujuan zakat, terutama adalah aset. Sedangkan akun-akun tersebut
meliputi aset yang digunakan sebagai modal kerja, dimana aset tetap bukan merupakan
subjek zakat, sebagaimana yang dinyatakan oleh AAO-IFI (1998) dalam penjelasan atas
Statement of Financial Accounting No 9 tentang zakat.

Sedangkan S.A. Siddiqui (1962, 31) seperti yang dikutip oleh Rahman (1996, 264-
65) mengungkapkan jenis-jenis harta yang bebas zakat yaitu: rumah kediaman, pakaian
yang dikenakan, perkakas rumah, binatang tunggangan, senjata yang digunakan, makanan,
barang perhiasan emas dan perak, uang selain yang terbuat dari emas dan perak, yang
digunakan untuk berbelanja pribadi, buku-buku, alat-alat dan mesin yang digunakan untuk
proses produksi, dan binatang-binatang untuk mengolah pertanian. Dalam UU RI No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa: harta
yang dikenai zakat adalah:

a. Emas, perak dan uang;


b. Perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. Hasil pertambangan;
e. Hasil peternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa;
g. Rikaz (barang terpendam/temuan).

Aset tetap yang digunakan untuk proses produksi selanjutnya pada sebuah
perusahaan tidak menjadi bagian aset yang dikenakan pajak. Adapun kriteria harta (aset)
yang memenuhi kewajiban zakat adalah:

1) Kepemilikan atas aset tersebut tidak sedang dicadangkan (unencumbered possession).


Tidak ada kewajiban zakat bagi pemilik aset atas aset yang dicadangkan atau
dijaminkan.
2) Mengalami pertumbuhan atau dengan estimasi. Pertumbuhan dalam bentuk riil timbul
akibat adanya reproduksi atau dimaksudkan untuk diperdagangkan. Pertumbuhan
dengan estimasi timbul jika sebuah aset memiliki potensi untuk menghasilkan
keuntungan dan termasuk kas dan setara kas, juga termasuk emas dan perak
walaupun tidak diinvestasikan.
3) Mencapai Nisab. Nisab adalah batas minimum tidak dikenai kewajiban zakat. Hal ini
dimaksudkan untuk membebaskan kepemilikan harta dari ketentuan minimum
dikenakannya zakat.
4) Telah melewati haul (tahun). Kewajiban zakat atas aset harus sudah melewati tahun
kalender bulan (hijriyah), yang dimulai pada saat nisab ditentukan.

Adapun yang termasuk dalam aset yang dikenai kewajiban zakat (selain aset tetap)
adalah:

1. Kas dan setara kas, adalah:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 154


Banjarmasin)
Kas terdiri dari saldo kas (cash on hand) dan rekening giro, sedangkan setara kas
(cash equivalent) adalah investasi yang sifatnya sangat liquid, berjangka pendek dan
yang dengan cepat dapat dijadikan kas dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi
risiko perubahan nilai yang signifikan.

2. Piutang
Piutang adalah klaim terhadap pihak lain atas penyerahan barang atau jasa dalam
rangka kegiatan usaha perusahaan. Piutang di sini adalah piutang bersih setelah
dikurangi provisi untuk piutang ragu-ragu.

3. Aset yang diperoleh untuk diperdagangkan (misalnya persediaan, surat-surat


berharga, real estate dan lain-lain).
Aset yang diperoleh untuk untuk diperdagangkan harus diukur pada nilai ekuivalen
tunainya pada saat zakat sampai haul dan nisabnya.

4. Aset pembiayaan (misalnya Mudharabah, Musyarakah, Salam, dan Istisna’ dan


lain-lain)
Aset pembiayaan haruslah netto merupakan aset bersih (netto) dari semua provisi
untuk semua nilai atau non-collectibility-nya. Dana-dana yang digunakan untuk
mendapatkan aset tetap yang berhubungan dengan aset pembiayaan harus
dikurangkan.

B. KONSEP PENILAIAN DAN PENGUKURAN AKUN-AKUN (POS)

Penilaian dan pengukuran akun-akun laporan keuangan syariah berkaitan erat


dengan metoda pengukuran zakat. Adapun metoda pengukuran zakat ada dua metoda,
yaitu: metoda aset bersih (net assets) dan dana yang diinvestasikan bersih (net invested
fund). Dasar pengukuran zakat dengan metoda aset neto adalah aset yang bisa dikenakan
zakat dikurangi kewajiban yang jatuh tempo yang harus dibayar pada akhir tahun laporan
keuangan, dikurangi ekuitas rekening investasi tidak terbatas, saham minoritas, ekuitas
yang dimiliki oleh pemerintah dan dikurangi ekuitas yang dimiliki oleh dana hibah,
kemudian dikurangi ekuitas yang dimiliki badan sosial dan ekuitas yang termasuk pada
organisasi nirlaba tidak termasuk yang dimiliki individu.

Sedangkan dasar pengenaan zakat menggunakan metoda dana yang diinvestasikan


netto adalah modal disetor ditambah cadangan, ditambah provisi ditambah provisi yang
tidak dikurangkan yang jatuh tempo untuk dibayarkan selama tahun yang berakhir pada
tanggal laporan posisi keuangan, dikurangi aset tetap neto, dikurangi investasi yang tidak
dibeli untuk diperdagangkan, misalnya real estate untuk disewakan dan akumulasi
kerugian.

Tabel 11
DASAR PENILAIAN AKUN – AKUN LAPORAN KEUANGAN SYARIAH
DASAR ZAKAT DENGAN METODA BERSIH (NET ASSETS METHODS)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 155


Banjarmasin)
Nama Akun Dasar Penilaian
Aset
Kas dan setara kas Nilai setara kas (cash equivalent value)
Piutang Nilai setara kas (cash equivalent value)
Pembiayaan Mudharabah Nilai setara kas (cash equivalent value)
Pembiayaan musyarakah Nilai setara kas (cash equivalent value)
Salam Nilai setara kas (cash equivalent value)
Istisna’a Nilai setara kas (cash equivalent value)
Aset perdagangan
Persediaan Nilai setara kas (cash equivalent value)
Surat berharga Nilai setara kas (cash equivalent value)
Real estate Nilai setara kas (cash equivalent value)
Lain – lain Nilai setara kas (cash equivalent value)
Kewajiban :
Kewajiban lancar Nilai buku (book value)
Kewajiban jangka panjang Nilai buku (book value)
Kewajiban lain Nilai buku (book value)
Ekuitas rekening investasi yang tidak terbatas Nilai buku (book value)
Ekuitas yang dimiliki oleh pemerintah, ekuitas yang Nilai buku (book value)
dimiliki oleh dana hibah, ekuitas yang dimiliki lembaga Nilai buku (book value)
sosial, ekuitas yang dimiliki oleh organisasi nirlaba
tidak termasuk yang dimiliki individu
Saham minoritas (minority interest)

Sumber : AAO – IFI (1998, 288)

Dasar Penilaian Atas akun-akun Laporan Keuangan Syariah sebagai dasar pengenaan
Zakat dengan metoda Net Invested Funds Method, sebagai berikut:

Tabel 12
METODA DANA YANG DIINVESTASIKAN BERSIH
(NET INVESTED FUNDS METHOD)

Nama akun Dasar Penilaian


Aset tidak untuk diperdagangkan:
Real estate untuk disewakan Nilai buku (book value)
Lain-lain Nilai buku (book value)
Aset tetapi (netto) Nilai buku (book value)
Cadangan yang tidak dicadangkan dari aset Nilai buku (book value)
Kewajiban yang belum jatuh tempo yang harus
dibayarkan pada periode laporan keuangan yang akan
datang Nilai buku (book value)
Ekuitas pemilik:
Tambahan modal disetor Nilai buku (book value)
Cadangan Nilai buku (book value)
Laba ditahan Nilai buku (book value)
Laba bersih periode berjalan Nilai buku (book value)
Sumber: AAO–IFI (1998, 288)

Dalam metoda aset bersih perusahaan nampak bahwa aset atau aset yang dinilai adalah
aset lancar. Dimana sesuai pada pembahasan sebelumnya bahwa aset yang wajib dikenai
zakat adalah aset lancar yang akan diolah (diproses) untuk menghasilkan pendapatan.
Jadi jelaslah bahwa aset yang dikenai kewajiban zakat bagi perusahaan adalah aset dalam
kategori aset lancar (kas setara kas, pilaibilitas, barang perdagangan, dan aset pembiayaan),

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 156


Banjarmasin)
yang dinilai berdasarkan prinsip–prinsip current value dengan menggunakan metoda cash
equivalent value.

C. KONSEP LABA AKUNTANSI SYARIAH

Pembahasan konsep laba akuntansi syariah akan dilakukan dengan tiga pendekatan
dalam teori akuntansi, yaitu pendekatan sintaksis, semantis, dan pragmatis. Laba secara
sintaksis yaitu melalui aturan-aturan yang mendefinisikannya; secara semantis yaitu melalui
hubungan pada realitas ekonomi yang mendasari; dan secara pragmatis merupakan
penggunaan laba oleh para pemakainya tanpa memperhatikan bagaimana hal itu diukur atau
apakah itu artinya (Hendriksen dan Van Breda 2000, 329).

1) LABA AKUNTANSI SYARIAH PADA TINGKATAN SINTAKSIS

Konsep laba dalam tingkatan memberikan aturan–aturan yang merupakan


interpretasi dunia nyata atau dampak perlakuan laba yang didasarkan pada prinsip dan
premis yang terjadi. Ketentuan dan aturan itu dibuat logis dan konsisten dengan
mendasarkan pada premis dan konsep yang telah dikembangkan dari praktik yang telah
ada.

Akuntansi konvensional cenderung untuk menerima dan menggunakan konsep-


konsep tersebut sebagai suatu interpretasi dalam dunia nyata. Para pemakai konsep laba
pada tingkatan sintaksis harus memahami bahwa arti laba akuntansi hanya dapat
dimengerti dengan mengetahui bagaimana laba diukur yaitu bagaimana operasionalisme
atas laba yang bersangkutan, di mana pemakai harus memahami operasi yang digunakan
akuntansi untuk menghasilkan jumlah laba.

Pendekatan transaksi pada pengukuran laba adalah pendekatan lebih konvensional


yang digunakan oleh akuntansi saat ini. Dalam pendekatan ini melibatkan catatan
penilaian aset dan kewajiban hanya bila ini merupakan hasil dari transaksi. Istilah
transaksi digunakan dalam pengertian luas untuk mencakup baik transaksi internal
maupun eksternal. Transaksi eksternal berasal dari melakukan bisnis dengan pihak luar dan
transfer aset atau kewajiban ke atau dari perusahaan itu. Sedangkan transaksi internal
berasal dari penggunaan atau konversi aset di dalam perusahaan.

Sedangkan pendekatan aktivitas dalam pengukuran laba berbeda dengan pendekatan


transaksi, di mana pendekatan aktivitas lebih memuaskan pada deskripsi aktivitas sebuah
perusahaan dan bukan pada pelaporan transaksi. Laba diasumsikan timbul bila aktivitas-
aktivitas atau kejadian-kejadian tertentu terjadi, tidak hanya sebagai hasil dari transaksi
spesifik. Perbedaan utama adalah bahwa pendekatan transaksi didasarkan pada proses
pelaporan yang mengukur suatu kejadian eksternal yaitu transaksi, sedangkan pendekatan
aktivitas didasarkan pada konsep aktivitas atau dunia nyata dalam pengertian yang lebih
luas.

Untuk lebih memahami konsep laba dalam akuntansi syariah dalam tingkatan
sintaksis maka juga harus dipahami dengan mengetahui bagaimana operasionalisme
untuk mengukur laba, yaitu bagaimana proses yang dilakukan untuk menghasilkan laba.
Seperti halnya konsep laba dalam akuntansi konvensional, konsep laba akuntansi syariah
juga mengenal dua pendekatan dalam pengukuran laba yaitu pendekatan transaksi dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 157


Banjarmasin)
pendekatan aktivitas dalam proses pengukuran laba.

Kedua pendekatan digunakan dalam akuntansi syariah karena masing-masing


sebenarnya mempunyai posisi yang saling melengkapi dan berada dalam proses yang
berurutan, sehingga faktor waktu pencatatan (timing) dan penilaian (valuation) memegang
peranan penting. Dengan penggunaan kedua pendekatan dalam tingkatan sintaktis dalam
konsep akuntansi syariah, maka komponen laba dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa
cara misalnya berdasarkan produk, golongan pelanggan, supplier atau dikelompokkan
menurut segmen lain. Keuntungan yang diperoleh dengan mekanisme seperti itu adalah
laba yang berasal dari berbagai sumber seperti dari operasi dan penyebab eksternal dapat
dilaporkan secara terpisah, sehingga informasi yang dihasilkan akan sangat bermanfaat
bagi para pemakainya.

Pendekatan dalam tingkatan sintaksis akuntansi syariah tersebut dapat diturunkan


dalam realitas dunia nyata dalam memenuhi salah satu rukun Islam yaitu pelaksanaan
kewajiban zakat. Zakat merupakan realitas amanah yang ditransformasikan pada skala
yang lebih kecil dalam internal sebuah organisasi.

2) LABA AKUNTANSI SYARIAH PADA TINGKATAN SEMANTIK.

Laba akuntansi pada tingkatan semantik memusatkan perhatian kepada hubungan–


hubungan antara fenomena (objek atau peristiwa) dengan simbol yang mewakili fenomena
tersebut (Hendriksen dan Van Breda 2000, 329). Untuk memberikan makna interpretatif
pada laba, akuntansi konvensional menggunakan konsep ekonomi sebagai titik tolak, yaitu
konsep perubahan kesejahteraan dan maksimalisasi laba.

Laba dalam akuntansi syariah dalam tingkatan semantik sangat berkaitan erat dengan
tujuan akuntansi syariah itu sendiri. Adnan (1999, 4) menyatakan bahwa tujuan akuntansi
syariah jika dilihat dari idealisme syariah dapat dibagi menjadi dua tingkatan yaitu
tingkatan ideal dan tingkatan praktis.

Secara umum dapat diketahui bahwa tujuan laba dalam akuntansi syariah adalah
untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban menunaikan zakat. Oleh karena
itulah laba dalam akuntansi syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha,
apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum, untuk melakukan pertanggungjawaban
baik pertanggungjawaban kepada pemilik (pemegang saham) maupun
pertanggungjawaban kepada sang maha pemilik Allah SWT.

Oleh karena itu, laba dalam akuntansi syariah juga harus bisa digunakan untuk
menilai efisiensi atas kegiatan investasi perusahaan. Efisiensi tersebut akan tercermin
dalam tingkat pengembalian atas investasi, yang dihitung dengan laba bersih dibagi
jumlah modal yang diinvestasikan.

3) LABA AKUNTANSI SYARIAH PADA TINGKATAN PRAGMATIS.

Konsep pragmatik dari laba berkaitan dengan proses keputusan yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang menggunakan informasi laba tersebut atau peristiwa–peristiwa yang

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 158


Banjarmasin)
dipengaruhi oleh informasi atas laba tersebut. Secara singkat laba pragmatik merupakan
pengkajian mengenai hubungan antara simbol (Tuanakotta 1984, 4). Simbol-simbol yang
berbeda akan merangsang tanggapan-tanggapan yang berbeda dari pemakai tertentu
sekalipun simbol-simbol itu mempunyai makna yang sama. Pemakai yang berbeda juga
mungkin menafsirkan simbol yang sama dalam pengertian yang berbeda-beda.

Konsep laba pragmatik dalam akuntansi syariah memusatkan perhatian pada


relevansi informasi yang dikomunikaskan kepada pembuat keputusan dan prilaku dari
pribadi–pribadi atau kelompok–kelompok pribadi sebagai akibat disajikannya informasi
akuntansi. Konsep laba pragmatik dalam akuntansi syariah harus mencerminkan nilai-
nilai etika Islam, di mana pihak-pihak pemakai laporan laba harus berperilaku secara
Islam. Oleh karena itu, konsep laba pada tingkatan ini dapat dibahas dengan pendekatan
etis. Pendekatan etis dalam teori akuntansi memberikan penekanan kepada konsep
keadilan kebenaran, dan kelayakan (Tuanakotta 1984, 15). Oleh karena itu, informasi atas
laba seharusnya memperhatikan hal-hal berikut.

1. Menggunakan prosedur–prosedur akuntansi yang dapat memberikan perlakuan yang


sama kepada semua pihak.
2. Laporan laba–rugi harus menyajikan pernyataan yang benar dan akurat.
3. Data akuntansi harus layak, tidak bias, dan tidak memihak pada kepentingan–
kepentingan tertentu.

Kelayakan, keadilan, dan tidak memihak, sebenarnya merupakan pandangan bahwa


laporan keuangan syariah tidak boleh terjangkit oleh pengaruh atau bias yang tidak
seharusnya terjadi. Konsep laba pragmatis dalam akuntansi syariah dapat dibagi dalam
beberapa tujuan yaitu: laba sebagai penentu besarnya kewajiban zakat, sebagai dasar
pengambilan keputusan dan kontraktual, dan laba sebagai alat peramal.

D. LABA SEBAGAI SARANA PENGHITUNGAN ZAKAT

Zakat merupakan hal yang sangat asasi dalam Islam, dimana zakat merupakan salah
satu rukun Islam, tidak hanya wajib bagi Rasulullah tetapi juga bagi seluruh umat, dan
diwajibkannya penunaian zakat itu ditegaskan oleh ayat-ayat Qur’an yang tegas dan jelas,
dan oleh sunnah Rasulullah yang disaksikan semua orang mutawatir, dan oleh konsensus
(ijma’) seluruh umat semenjak dulu sampai sekarang (Qardawi 1991, 86).

Laba yang diperoleh dengan menggunakan akuntansi syariah sebagai dasar


penyusunan laporan keuangannya, harus dapat dipakai sebagai dasar untuk memenuhi
rukun Islam tersebut. Sehingga tujuan akuntansi syariah salah satunya adalah sebagai
dasar penghitungan zakat (Hameed 2000, 17; Triyuwono 1997a, 14).

Zakat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaktualisasikan ke-Islam-an jati diri


manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait dengan realitas sosial sebagai
khalifah Allah di muka bumi (Mas’ud, 1991, 35). Kaitannya dengan konsep laba akuntansi
syariah secara pragmatis adalah informasi laba harus dapat dijadikan dasar penghitungan
zakat. Zakat atas pendapatan harus terlebih dahulu dikurangkan biaya dan ongkos-ongkos
untuk memperoleh pedapatan tersebut, berdasarkan peng-qias-an terhadap hasil bumi dan
sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 159


Banjarmasin)
sisa (Qardawi 1991, 486).

Informasi laba secara pragmatis dalam akuntansi syariah harus bisa dijadikan dasar
penghitungan zakat, mengingat zakat merupakan sarana atau institusi yang akan
membedakan antara seorang mu’min dari seorang munafik yang dijelaskan oleh Allah
dalam Al-Qur’an 9 : 67.

E. LABA SEBAGAI DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN KONTRAK

Keluaran (output) laporan keuangan berdasrkan prinsip syariah ditujukan untuk


semua pemakai laporan keuangan tanpa membedakan latar belakang para pemakainya.
Informasi atas laba biasanya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Sama
seperti investor yang akan menggunakan informasi atas laba tersebut untuk
memprediksikan tingkat pengendalian atas modal yang akan ditanamkan, pihak
manajemen juga berkepentingan dengan rencana di masa depan. Keputusan-keputusan
hanya dapat memengaruhi kejadian masa mendatang.

Pengambilan keputusan atas dasar informasi laba juga menjadi dasar dari banyak
hubungan hukum dan kontraktual dalam masyarakat. Kekuatan dari pendekatan
kontraktual adalah bahwa hal itu tidak menuntut intepretasi semantik atas perubahan
akuntansi (Hendriksen dan Van Breda 2000, 345). Dalam sistem ekonomi Islam tidak
dikenal adanya sistem bunga, sistem ekonomi Islam dilaksanakan dengan sistem bagi hasil
(profit loss sharing). Oleh karena itu, kaitannya dengan konsep laba akuntansi syariah
adalah bahwa laba akuntansi syariah dijadikan dasar dalam melaksanakan transaksi
secara Islam, misalnya laba atau estimasi dari laba (keuntungan) dijadikan dasar dalam
beberapa produk pembiayaan syariah.

F. LABA SEBAGAI ALAT PERAMAL

Laba sebagai alat peramal biasanya digunakan sebagai dasar keputusan investasi,
misalnya laba digunakan untuk memprediksi harga perlembar saham. Nilai sebuah
perusahaan dan nilai saham dalam perusaahaan itu tergantung pada aliran distribusi masa
depan yang diharapkan kepada pemegang saham. Berdasarkan pengharapan ini, pemegang
saham saat ini dapat memutuskan untuk menjual saham itu atau terus menahannya.
Informasi laba yang diprediksikan harus mempunyai signifikasi dunia nyata, atau konsep
laba akuntansi syariah yang diproyeksikan relevan dengan proses keputusan investor.
Sebagaian besar investor menghendaki agar prediksi masa depan yang dilaporkan relevan
bagi evaluasi saham suatu perusahaan dalam keputusan jual beli, oleh karena itu prediksi
atas laba harus didasarkan pada penilaian dan pengukuran atas laba secara tepat.

Zaid dan Tibbits (1999,16) lebih jauh menytakan bahwa salah satu prinsip sebagai
dasar pertimbangan dalam akuntansi syariah adalah kebenaran dan keterbukaan laporan
kepengurusan. Prinsip keterbukaan ini berasal dari prinsip al mu’amalat´ di mana setiap
transaksi, peristiwa-peristiwa ekonomi atau keputusan yang dibuat harus halal
(diperbolehkan) dalam Islam.

Laba akuntansi syariah sebagai alat peramal banyak digunakan dalam pembuatan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 160


Banjarmasin)
kontrak kerjasama pembiayaan Islam. Mannan (1997, 168) menyatakan bahwa transaksi
pembiayaan mudharab dan musyarakah memerlukan prediksi atas keuntungan sebagai
dasar pembagian hasil atas investasi yang yang dilaksanakan. Dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep laba akuntansi syariah dapat ditinjau dari tiga tingkatan
yaitu konsep lana akuntansi syariah pada tingkatan sintaksis, simantik, dan pragmatis.
Pada tingkatan ini konsep laba akuntansi syariah menggunakan pendekatan aktivitas dan
pendekatan transaksi secara berurutan. Pendekatan aktivitas dan transaksi mempunyai
posisi yang saling melengkapi dan berada pada proses yang berurutan, sehingga faktor
waktu (timing) dan penilaian (valuation) memegang peranan penting.

Pada tingkatan semantis, laba akuntansi syariah menjelaskan bagaimana hubungan


antara fenomena (objek atau peristiwa) dengan simbol yang mewakili fenomena tersebut.
Konsep laba akuntansi syariah pada tingkatan semantis berkaitan erat dengan tujuan
akuntansi syariah itu sendiri. Pada tingkatan pragmatis konsep laba akuntansi syariah
dapat digunakan untuk menjelaskan relevansi informasi yang dikomunikasikan kepada
pembuat keputusan dan perilaku dari pribadi atau kelompok sebagai akibat disajikannya
informasi atas laba.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 161


Banjarmasin)
BAB XIII

PENILAIAN DAN PENGUKURAN DALAM ASURANSI SYARIAH

PENDAHULUAN
Rubrik PERENCANAAN KEUANGAN ini mengunjungi pembaca setiap hari Jumat. Rubrik ini diasuh oleh
Tim Indonesia School of Life (ISOL) yakni Andrias Harefa, Roy Sembel, M. Ichsan, Heru Wibawa, dan
Parpudi Lubis. Pembaca dapat mengirimkan pertanyaan atau berkonsultasi seputar masalah-masalah
perencanaan keuangan. Pertanyaan dapat dikirim lewat email: redaksi@sinarharapan.co.id, Faksimile
Redaksi Sinar Harapan (021) 3912370, surat dialamatkan ke redaksi Sinar Harapan, Jalan Fachruddin
No.6, Jakarta 10250, dan bisa membuka di http://www.pembelajar.com/ISOL.

Indonesia merupakan Negara, dimana mayoritas penduduknya adalah pemeluk


agama Islam. Namun demikian, perkembangan produk-produk dengan prinsip syariah
baru berkembangn kurang lebih 3-4 tahun yang lalu, salah satunya adalah produk asuransi
syariah yang dipelopori oleh PT Asuransi Takaful Indonesia yang berdiri pada tahun 1994.

Setelah itu, asuransi berbasis syariah mulai digarap oleh beberapa perusahaan dengan
pendirian divisi syariah. Dengan terus berkembangnya produk-produk berbasis syariah,
maka kami melihat pentingnya untuk memperkenalkan secara khusus produk asuransi
syariah. Sebelum masuk prinsip-prinsip dan mekanisme produk tersebut, banyak kalangan
muslim yang beranggapan bahwa berasuransi adalah haram. Apakah benar? Ikut
pembahasannya dibawah ini.

1. Asuransi Tidak Islami?


Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qodlo
dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa
kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak.
Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk
menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah
kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
Jelas sekali dalam ayat ini kita dipertintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita
perbuat untuk masa depan.
Dalam Al Qur’an, surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia
membentuk sistem proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk dimasa depan. Secara
ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir tetang mimpinya kepada Nabi
Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan
oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau
berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam tujuh tahun dan dari
hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 162


Banjarmasin)
yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapapi masa
sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan. Sangat jelas dalam ayat ini kita
dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi
kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat di atas menyatakan
bahwa berasuransi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya
upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang
dikenal dalam mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya adalah:
apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-
syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami? Dalam mekanisme asuransi
konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan
oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/
gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci
mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.

A. ASURANSI KONVENSIONAL DAN SYARIAH


Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan sama yaitu
pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah
cara pengelolaannya, pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari
para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah
menganut azas tolong menolong (takafuli/ta’awun) dengan membagi risiko diantara
peserta asuransi jiwa (risk sharing). Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada
perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada
asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi. Secara
rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat
pada uraian berikut:
1. Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan
menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara
peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang
dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli). Dalam kontrak ini harus memenuhi
syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus
dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau
kapan kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang
disebut gharar; ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran
harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum.
Sedangkan dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual
beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa syariah
menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru’ yang dapat diartikan sebagai
derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam
melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional. Tujuan dari
dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan
saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila
diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu
rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 163


Banjarmasin)
rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong
menolong.

2. Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan
bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan.
Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi prinsip syariah.
Yaitu, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah
pengelola dana (mudharib) yang terkumpul dari para peserta (shohibul maal). Secara
teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan seluruh modal (100 persen), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka
pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya
adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan
asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan. Dalam kaitannya dengan investasi, yang
merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana
tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional
menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga. Dengan demikian asuransi
konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah dalam
berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam
dengan sistem al-mudharabah.
3. Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo.
Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur
tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka
premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan
asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta
yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana
atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian
kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi
klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola
bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam
hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali
dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 164


Banjarmasin)
4. Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alterntif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam
yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa
menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi
mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang bersifat universal dimana dapat
dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat. Selain itu, dapat pula digunakan untuk
tabungan, untuk proteksi atau berjaga-jaga menghadapi penyakit dan persiapan hari tua,
yaitu pensiunan.
B. PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL
Uraian di bawah ini dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan perbadingan
antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional, yaitu:
1. Konsep
Syariah (S) : Sekumpulan orang yg saling membantu, saling menjamin dan bekerja
sama dengan cara masing-masing mengeluarkan dana terbarru’, berdasarkan
kerugian/klaim dari peserta.
Konvensional (K) : Perjanjian dua pihak atau lebih: pihak penanggung
meningkatkan diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian pada tertanggung, jika terjadi kerugian (klaim).
2. Misi
S : Misi aqidah, ibadah (ta’awun), misi ekonomi (iqtishodl) dan misi
pemberdayaan umat (sosial).
K : Misi ekonomi dan social.
3. Asal Usul
S : Sistem Al-Aqilah, suatu kebiasaan suku arab sebelum Islam datang yang
kemudian disahkan oleh Rasulullah SAW sebagai hukum Islam.
K : Dimulai dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan
perjanjian Hammurabi.
4. Sumber
S : Bersumber dari firman Allah, Al-Hadist dan Ijma Ulama.
K : Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif,
hukum alami dan berbagai contoh sebelumnya.
5. Maisir, Gharar, dan Riba
S : Terbebas dari praktik dan unsur Maisir, Gharar, dan Riba.
K : Tidak sesuai dengan syariah Islam karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
syariah.
6. Akad
S : Akad tabarru’ dan akad tijarat (mudharabah,wakalah, syrikah, dll).
K : Akad jual beli (akad mu’awadhah) dan akad gharar.
7. Jaminan atau risiko
S : Sharing of risk, terjadinya proses saling menanggung antara satu peserta satu

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 165


Banjarmasin)
dan peserta lainnya (ta’awun).
K : Transfer of risk; terjadi transfer risiko dari tertanggung kepada penanggung.
8. Pengelolaan Dana
S : Pada produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru (derma)
dari dana peserta, sehingga tidak mengenal adanya dana hangus untuk termin
asuransi (life) dan general insurance semua bersifat tabarru.
K : Tidak ada pemisah dana yang berakibat pada terjadinya dana hangus (produk
saving life)
9. Investasi
S : Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan
berbagai tempat investasi yang terlarang.
K : Debas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundangan-
undangan dan tidak terbatas pada halal dan haramnya investasi yang di gunakan.
10. Kepemilikan Dana
S : Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi
merupakan milik peserta (shahibul maal), sedangkan perusahaan hanya pemegang
amanah (mudharib) dan mengelola dana.
K : Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya. Perusahaan bebas
menggunakan dan menginvestasikan kemanapun dana tersebut.
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam
setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang
menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain
di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang
berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam
bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta
di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan
harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta
orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW,
"Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama
lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu
badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu
pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi
pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung.
Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik
perusahaan ausransi.Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional,
di antaranya adalah sebagai berikut:
Akad (Perjanjian)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 166


Banjarmasin)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus
jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis
tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktik muamalah menjadi dasar yang
menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut
menjadi sangat menentukan di dalam praktik asuransi syariah. Akad antara perusahaan
dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong
(takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian
jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli,
harga, dan barang yang diperjualbelikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang
diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual,
pembeli dan barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan
secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk
mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah SWT yang tahu kapan
kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan
perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas
tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung namun
apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi.
Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar)
dalam hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving)
atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya
"Majmu Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan
keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal,
kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan
akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang
jualannya kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus
dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak
tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian
(seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-
pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua
belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta
kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
Gharar (Ketidakjelasan) 
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi
dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Gharar/ketidakjelasan itu terjadi
pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi
yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa usia seseorang
berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi
ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung
secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan
tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak
mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut.
Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan
ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama
berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 167


Banjarmasin)
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-
menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini
oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam
praktik muamalah yang gharar. Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi
milik perusahaan asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang
terkumpul adalah milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah
(mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.  
Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya
sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat
bertabbaru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling
membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang
mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus.
Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening
tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat
dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan
Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi hajat
saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana
yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula
unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara
investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada
unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal.
Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan
kepada peserta secara penuh.
Maisir (Judi) 
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang
beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapatkan keberuntungan." Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam
asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar.
Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur
maisir dalam asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus
asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode
akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan
menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak mengetahui dari mana dan
bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang pertanggungannya.
Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian
mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf
mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut
judi. Yang boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya
klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh
banyak /sedikitnya klaim yang dibayarkannya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 168


Banjarmasin)
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan
bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat
perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi
asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan
pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai
dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan
No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK
dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam
dengan sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas
petunjuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron
ayat 130,"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang
riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan." Hadist, "Rasulullah SAW

mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda
kepada mereka semua sama”, (HR Muslim).
Dana Hangus 
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta
karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period.
Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang
premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus.
Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak
dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik
perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan
menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang
tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk
melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus.
Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling
menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai
tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk
karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya
dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai
dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika
selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan
membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih
dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari
hasil investasinya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 169


Banjarmasin)
Konsep Ta’awun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem
aqilah pada zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya
mendefinisikan takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat
tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota
untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada
masa yang akan dating yang menimpa anggotanya (peserta asuransi). Untuk kepentingan
itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi) kepada perusahaan asuransi.
Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat
dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola
(asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk
keuntungan untuk dirinya sendiri. Di sini sifat yang paling menonjol adalah tolong-
menolong dan bagi hasil seperti yang diajarkan dalam Islam.
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari
segi operasional perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam struktur
organisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris. Itulah beberapa hal yang
membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila dilihat dari sisi
perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka sistem
asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada. Dengan
demikian, sudah jelas perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
(Sumber: Proteksi, No.184/Mei 2006/Tahun XXVII)

C. PERUSAHAAN ASURANSI PERTAMA MURNI SYARIAH


Asuransi Takaful merupakan pelopor perusahaan asuransi murni syariah, sekaligus
salah satu perusahaan terdepan di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1994. Asuransi
Takaful menyediakan jasa asuransi dan perencanaan keuangan sesuai dengan prinsip
syariah (Islam) untuk memenuhi kebutuhan umat dan masyarakat di Indonesia.
Sejak tahun 2004, Takaful menempati kantor pusatnya yang baru, Graha Takaful
Indonesia, yang berlokasi di Mampang Prapatan Raya, Jakarta. Pada saat yang sama,
melalui serangkaian prakarsa strategis, perusahaan berhasil meningkatkan efektivitas dan
efisiensi operasionalnya yang berdampak pada peningkatan kinerja keuangan dari tahun
ke tahun.
Sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas layanan yang diberikan dan menjaga
konsistensinya, perusahaan telah memperoleh sertifikasi ISO 9001 tahun 2000 untuk
Sistem Manajemen Mutu di Asuransi Takaful Umum (anak perusahaan grup Takaful)
yang dikeluarkan oleh SGS JAS-ANZ, Selandia Baru, pada tahun 2004, sementara
Asuransi Takaful Keluarga (anak perusahaan grup Takaful) telah memperoleh sertifikasi
ISO 9001 tahun 2000 dari Det Norske Veritas (DNV), Belanda, pada tahun yang sama.
Komitmen Takaful Indonesia untuk menjadi penyedia jasa asuransi syariah
terkemuka di Indonesia dibuktikan dengan serangkaian penghargaan yang telah

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 170


Banjarmasin)
diterimanya, antara lain adalah tiga buah penghargaan dari Karim Business Consulting
sebagai The Best Risk Management Islamic Life Insurance (ATK), Best Risk Management
Islamic General Insurance (ATU), Top of Mind Asuransi Syariah (STI), serta dua buah
penghargaan dari majalah Investor untuk ATK sebagai Best Performance Syariah
Insurance dan untuk ATU sebagai Pioneer Asuransi Umum Syariah.
Selain itu, Takaful Indonesia menjadi perusahaan asuransi syariah pertama di
Indonesia yang menempatkan perwakilannya di Million Dollar Round Table (MDRT),
sebuah klub bertaraf internasional untuk para agen asuransi berprestasi dari seluruh dunia,
sekaligus sebagai pengakuan atas tingkat profesionalisme perusahaan.
Setelah lebih dari satu dasawarsa berkiprah menghadirkan jasa asuransi dan
perencanaan keuangan syariah berkualitas yang melayani kebutuhan umat dan nasabah di
Indonesia, Takaful Indonesia kini siap melangkah pada tahap pertumbuhan berikutnya,
memanfaatkan keunggulan dari citra perusahaan yang kuat, jaringan pemasaran yang luas,
serta sinergi yang kokoh dalam grup Takaful Indonesia. Dengan profil perusahaan sebagai
berikut.
PT Asuransi Takaful KeluargaPemegang Saham, PT Syarikat Takaful
Indonesia: 99,94% dan Koperasi Karyawan Takaful: 0,06%. Dewan Komisaris;
Komisaris Utama: Dato’ Mohamed Hassan Md Kamil, Komisaris Independen : H.M.U.
Suwendi FSAI, FLMI, MBA, Komisaris : Muhammad Harris, SE, dan Komisaris : Saiful
Yazan Ahmad. Dewan Pengawas Syariah (DPS); Ketua : Prof. Dr. K.H. Didin
Hafidhuddin, Anggota: Dr. H.M. Syafi’i Antonio, MSc, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil,
MA, dan Prof. Madya Dr. Shobri Salamon dan Dewan Direksi; Direktur Utama : Agus
Edi Sumanto, Direktur : Nor Effuandy Pfordten

Penghargaan yang diraih perusahaan ini sejak berdiri hingga sekarang adalah:
1. PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai Asuransi Syariah Terbaik tahun
2003 versi MUI,
2. PT Asuransi Takaful Umum Sebagai Asuransi Umum berpredikat Sangat
Bagus Kategori Kinerja Keuangan tahun 2002 versi majalah InfoBank,
3. PT Asuransi Takaful Umum sebagai Asuransi Umum berpredikat Sangat
Bagus Kategori Kinerja Keuangan tahun 2004 versi majalah InfoBank,
4. PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai Asuransi Umum berpredikat
Terbaik Kategori Manajemen Resiko versi Karim Business Consulting,
5. PT Asuransi Takaful Umum sebagai Asuransi Umum berpredikat Terbaik
ke-2 Kategori Manajemen Resiko versi Karim Business Consulting,
6. PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai Top Of Mind Asuransi Syariah
Kategori Perusahaan Asuransi versi Karim Business Consulting, dan
7. PT Asuransi Takaful Umum memperoleh Penghargaan Khusus Sebagai
Pioner Asuransi Umum Syariah versi majalah Investor.

Selain perusahaan asuransi syariah di atas, sekarang telah banyak dan


berkembang perusahaan asuransi dengan pola syariah lainnya, seperti: Asuransi
Prudential Syariah, Bumi Putera Syariah, dan asuransi lainnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 171


Banjarmasin)
ASURANSI PRUDENTIAL SYARIAH

Akhir-akhir ini, banyak sekali bermunculan produk asuransi berbasis syariah


seperti bumiputera yang mengeluarkan bumiputera syariah, prudential dengan Prulink
Syariah Assurance Account dan sebagainya. Fenomena ini ditandai dengan munculnya,
PT Asuransi Takaful Indonesia yang berdiri pada tahun 1994, sebuah perusahaan asuransi
yang berbasis syariah. Fenomena ini mengundang sebuah pertanyaan. Apa keunggulan
dari produk asuransi syariah?
Pertanyaan di atas adalah sebuah pertanyaan besar yang harus menjadi
pertimbangan bagi kita semua. Hotbonar Sinaga, direktur utama Jamsostek, mengatakan
bahwa keunggulan asuransi syariah bukan hanya berdasarkan sisi syariah seperti tidak
adanya riba dalam investasi, unsur judi ataupun tidak dipenuhi dengan faktor
ketidakpastian. Keunggulan nyata dari asuransi syariah, seperti juga produk keuangan
syariah lainnya, tak lain adalah bagi hasil atau mudharabah. Karena itulah dalam asuransi
syariah tidak dikenal adanya risk transfer tetapi lebih dikenal dengan nama risk sharing.
Keunggulan utama tersebut menciptakan keunggulan lainnya, yang membedakan
produk ini secara nyata dengan produk non syariah. Dalam mekanisme pembayaran
kontribusi dari nasabah, langsung dipisahkan menjadi dua yakni pertama masuk ke
rekening tabarru’ atau proteksi dan yang kedua masuk ke rekening tabungan bagi hasil.
Jadi sejak awal sudah dipisahkan. Kelebihannya dibandingkan asuransi konvensional
dengan adanya rekening bagi hasil menunjukan bahwa sebagian premi memang sudah
dialokasikan untuk dibagikan hasilnya berupa imbal hasil investasi kepada para pemegang
polis.
Berbeda halnya dengan asuransi konvensional, karena tidak ada pemisahan premi
maka pada tahun awal pembentukan cadangan, tidak ada sama sekali bagian yang menjadi
hak nasabah pemegang polis. Sebagai akibatnya, bila pemegang polis tidak sanggup lagi
melanjutkan melakukan penjualan polis kembali kepada perusahaan asurani untuk
mendapatkan nilai tunai yang akan diterimanya bisa nihil. Kalaupun ada, besarnya nilai
tunai pada tahun-tahun awal akan jauh berbeda dengan akumulasi premi yang pernah
dibayarkannya.
Adanya rekening bagi hasil memungkinkan perusahaan asuransi syariah
membagikan porsi hasil investasi dengan nasabah pemegang polis bila tidak terjadi klaim
dalam satu tahun periode polis. Dalam asuransi konvensional, dikenal apa yang
dinamakan no claim bonus. Yaitu, bonus yang akan diperoleh para pemegang polis
khususnya dalam asuransi kerugian jika untuk beberapa tahun penutupan polis tidak
pernah ada klaim yang diajukan. Dalam asuransi syariah, dengan adanya sistem bagi hasil
memungkinkan pemberian bonus kepada tertanggung walapun penutupan polis baru saja
berlangsung selama satu tahun. Pilihan bonus ini diberikan alternative bermacam-macam
seperti disetorkan tunai, mengurangi premi periode perpanjangan, dihibahkan ke berbagai
yayasan dalam bentuk infak dan shadaqah.
Namun, kendalanya di negara Indonesia produk asuransi syariah belum begitu
dikenal oleh masyarakat sehingga banyak pihak yang belum mengetahui keunggulan
asuransi ini. Berbeda dengan negara tetangga yakni, Malaysia, Brune,i dan Singapura.
Karena promosi gencar yang mereka lakukan menyebabkan pasar produk syariah tidak

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 172


Banjarmasin)
hanya dinikmati oleh kalangan muslim tetapi juga pihak non muslim. Tampaknya hal ini
bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. (Sumber : www.vibiznews.com)

D. PROSPEK ASURANSI SYARIAH


Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menargetkan pangsa pasar industri
asuransi syariah mencapai lima persen pada 2012. Optimisme tersebut didorong oleh akan
hadirnya sejumlah pelaku asuransi syariah baru dan bertambahnya bank syariah di
Indonesia. Ketua Umum AASI, M Shaifie Zein, mengatakan dari total pangsa pasar
asuransi syariah, asuransi jiwa syariah masih akan tetap memegang peran yang besar. Per
31 Maret 2010, pangsa pasar asuransi jiwa syariah mencapai 3,28 persen dan asuransi
kerugian dan reasuransi syariah 2,15 persen.
Secara total asuransi syariah Indonesia kini mencatat pangsa pasar 2,96 persen.
”Pesimisnya insya Allah kita bisa mencapai pangsa lima persen pada 2013, tetapi dengan
bertambahnya bank dan asuransi syariah menimbulkan optimisme pangsa bisa mencapai
lima persen pada 2012,” menurut Shaifie. Shaifie menambahkan, kenaikan rata-rata
pangsa asuransi syariah Indonesia yang sebesar 0,7 persen per tahun pun membuatnya
cukup yakin target lima persen dapat tercapai. ”Untuk mencapai pangsa lima persen
pertumbuhan pun tidak boleh kurang dari 48 persen,” tukasnya. Ia pun optimistis dengan
kehadiran sejumlah pelaku asuransi syariah yang akan turut mendorong industri asuransi
syariah. Baru-baru ini perusahaan asuransi jiwa syariah Al Amin memperoleh izin dari
Bapepam LK. Sementara, asuransi lainnya yang dalam daftar adalah Jaya Proteksi. ”Ada
juga satu asuransi jiwa dari Malaysia yang ingin masuk ke Indonesia dan dua unit asuransi
jiwa dan kerugian, tapi waktunya belum tahu kapan,” paparnya. Hingga akhir tahun ini ia
memprediksi pangsa pasar asuransi syariah mencapai 3,6-3,7 persen, (sumber:
republika.co.id)
Disisi lain, Asuransi syariah di Indonesia terbilang masih kurang berkembang
dibandingkan negara Malaysia. Namun, kedepan Insya Allah Indonesia akan menjadi
lebih baik Hal itu berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Global Islamic Financial
yang menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu pusat Takaful dunia pada
2015 Direktur Utama Asuransi Takaful Indonesia, Agus Edi mengatakan, prospek sektor
asuransi syariah di Indonesia sebenarnya dapat tumbuh lebih pesat dibandingkan periode
sebelumnya Indonesia diperkirakan dalam waktu 10 tahun mendatang, golongan
masyarakat ini merupakan kekuatan yang luar biasa baik dari sisi konsumsi maupun
produksinya.

Banyak pihak menyatakan bahwa ekonomi syariah dapat berkembang pesat di


tengah krisis ekonomi saat ini, karena sistem ekonomi kapitalis atau sosialis yang
diagung-agungkan dan diperkirakan mampu mensejahterakan masyarakat ternyata tidak
terbukti. Bahkan sebaliknya menimbulkan keserakahan, ketidakadilan, dan bersifat
merusak tatanan kehidupan manusia. Sebab, sistem ekonomi kapitalis mengandung
beberapa unsur yang bertentangan dengan syariah Islam. Dalam menghadapi kondisi saat
ini tentu masyarakat membutuhkan solusi dalam berekonomi sehingga mampu mandiri
secara ekonomi serta dapat mewujudkan kesejahteraan yang hakiki.
Peranan asuransi syariah di dalam negeri selama ini belum besar. Ini juga dialami
oleh perbankan syariah yang baru menyumbang 3 persen dari market share perbankan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 173


Banjarmasin)
nasional meskipun telah berjalan terlebih dahulu dibandingkan asuransi syariah. Melihat
hal itu, jelas asuransi syariah memiliki potensi yang besar dikemudian hari, paling tidak
dapat menguasai market share hingga 97 persen dengan cara mensyariahkan unsur-unsur
yang belum syariah. Akan tetapi sistem syariah tak luput dari hambatan. Misalnya
permodalan, secara umum permodalan yang dimiliki oleh asuransi syariah relatif kecil
dibandingkan pemain asuransi konvensional terutama yang joint venture.
Akibatnya perusahaan akan terkendala dalam melakukan promosi, sosialisasi, dan
ekspansi. Untuk menutup kendala ini perusahaan harus menambah modal agar rencana
kerja perusahaan dapat berjalan dengan baik. Kendala lainnya adalah sumber daya insani
yang mempunyai kemampuan teknis dan mempunyai komitmen memajukan ekonomi
syariah jumlahnya sangat terbatas. Selain kendala tersebut di atas, terdapat pula kendala
lain yang dapat menghambat perkembangan asuransi syariah kedepannya yaitu, belum
adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berupa UU Asuransi Syariah.
Karena sampai saat ini, teknis dan operasi lembaga asuransi syariah hanya diatur melalui
surat Keputusan Menteri Keuangan saja.
Tak lupa juga peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menjadi penting
dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan asuransi syariah. Bisa melalui
riset yang intensif sehingga fatwa-fatwa yang dikeluarkan dapat mendorong lebih cepat
pertumbuhan asuransi syariah. DSN juga diharapkan dapat berperan lebih jauh dalam
sosialisasi kepada masyarakat, terutama masyarakat muslim. Dewan Asuransi Indonesia
melaporkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini kecenderungan industri asuransi jiwa
di Indonesia adalah:
• Konsumen lebih menyukai produk yang bersifat tabungan dibanding dengan jaminan
perlindungan murni.
• Peningkatan peranan agen pemasaran menjadi seperti penasehat keuangan tidak hanya
sebagai perantara saja.
Dengan kecenderungan tersebut, tampak bahwa pasar di negara maju sudah jenuh.
Sedangkan di negara berkembang masih terbuka luas. Kemudian, peningkatan kesadaran
konsumen terhadap haknya serta ketersediaan pilihan yang paling sesuai telah memacu
perusahaan asuransi untuk senantiasa meningkatkan pelayanannya agar tetap mampu
bersaing secara sehat. Selanjutnya, perubahan pola hubungan kerja pada masa ini telah
membuat orang merasa perlu untuk menjaga kepastian adanya penghasilan ketika keaadan
tiba-tiba berubah sulit, maka produk bersifat tabungan lebih disukai. Demam globalisasi
juga mempercepat hubungan bsinis internasional dan investasi di berbagai sektor dan
aspek usaha. Terakhir, sistem informasi merupakan kunci keberhasilan bisnis masa kini,
terbukti bahwa sampai saat ini yang menguasai informasilah yang menguasai pasar.
Berdasarkan faktatersebut bahwa, ada lebih dari 180 juta Muslim di Indonesia
dan kesadaran akan keislamannya terus meningkat, merupakan peluang pasar yang lebar.
Permintaan terhadap kehadiran lembaga keuangan syariah di berbagai tempat terus
meningkat. Krisis ekonomi akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa Indonesia memerlukan
konsep lain dalam menata perekonomiannya. Lembaga ekonomi syariah adalah pilihan
yang paling sesuai. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar, di samping juga
mendidik masyarakat, diperlukan lebih banyak bank syariah, dan kini telah mulai
bermunculan asuransi syariah sebagai counterpart-nya. Kehadiran lembaga keuangan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 174


Banjarmasin)
syariah baru akan memacu persaingan yang sehat untuk pengembangan kualitas yang pada
akhirnya akan menguintungkan bangsa dan Negara.
Dari daftar perusahaan asuransi, secara abjat pada saat ini jumlah perusahaan
asuransi di Indonesia ada 51. Salah satunya adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang
merupakan satu-satunya perusahaan asuransi syariah di Indonesia yang tetap survive
sampai saat ini (2008). Yang menarik adalah bahwa PT Asuransi Takaful Keluarga
ternyata mampu menyisihkan 42 perusahaan lain yang sudah jauh lebih lama beropersi.
Apa artinya? Tentu anda lebih berkompeten dalam meredaksikan dan mengilustrasikan
apa yang anda pikirkan, (sumber: Zonaekis.com, 17 Mei 2011). Daftar perusahaan
asuransi syariah di Indonesia s.d. 10 Juli 2008, adalah sebagai berikut:
Asuransi Syariah
1. PT Asuransi Takaful Umum
2. PT Asuransi Takaful Keluarga
3. PT Asuransi Syariah Mubarakah
4. PT MAA Life Assurance
5. PT MAA General Assurance
6. PT Great Eastern Life Indonesia
7. PT Asuransi Tri Pakarta
8. PT AJB Bumiputera 1912
9. PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera
10. PT Asuransi BRIngin Sejahtera Artamakmur
11. PT Asuransi Binagriya Upakara
12. PT Asuransi Jasindo Takaful
13. PT Asuransi Central Asia
14. PT Asuransi Umum BumiPuteraMuda 1967
15. PT Asuransi Astra Buana
16. PT BNI Life Indonesia
17. PT Asuransi Adira Dinamika
18. PT Staco Jasapratama
19. PT Asuransi Sinar Mas
20. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia
21. PT Asuransi Jiwa SinarMas
22. PT Tugu Pratama Indonesia
23. PT Asuransi AIA Indonesia
24. PT Asuransi Allianz Life Indonesia
25. PT Panin Life, Tbk
26. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia
27. PT Asuransi Ramayana, Tbk
28. PT Asuransi Jiwa Mega Life
29. PT AJ Central Asia Raya
30. PT Asuransi Parolamas
31. PT Asuransi Umum Mega
32. PT Asuransi Jiwa Askrida
33. PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
34. PT Equity Financial Solution
35. PT Asuransi Kredit Indonesia
36. PT Asuransi Bintang, Tbk

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 175


Banjarmasin)
37. PT Asuransi Bangun Askrida
38. PT Prudential Life Assurance
39. PT Jasaraharja Putera
40. PT AIG Life
41. PT Asuransi Karyamas Sentralindo
42. PT Asuransi Jiwa Sequis Life
Reasuransi Syariah
1. PT Reasuransi Internasional Indonesia (ReIndo)
2. PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasre)
3. PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein)
Broker Asuransi dan Reasuransi
1. PT Fresnel Perdana Mandiri
2. PT Asiare Binajasa
3. PT Amanah Jamin Indonesia
4. PT Asrinda Re-Brokers dan AA Pialang Asuransi
5. PT Madani Karsa Mandiri
6. PT Aon Indonesia (Sumber: abuubaidah pada 27/12/2008).

SEDANGKAN PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DENGAN PREMI BRUTO RP 200 MILYAR


KE ATAS
1. Tugu Pratama Indonesia
2. Asuransi Jasa Indonesia
3. Asuransi Adira Dinamika
4. Asuransi Astra Buana
5. Zurich Insurance Indonesia
6. Asuransi Jasaraharja Putera
7. Asuransi Jaya Proteksi
8. Asuransi Mitsui Sumitomo Indonesia
9. Asuransi Wahana Tata
10. Asuransi Central Asia
11. Chartis Insurance Indonesia
12. Asuransi Allianz Utama Indonesia
13. Asuransi Tokio Marine Indonesia
14. Asuransi Ramayana
15. Asuransi Tri Pakarta
16. Asuransi Sinar Mas
17. Asuransi Raksa Pra Tikara
18. Asuransi Dayin Mitra Metallica

PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DENGAN PREMI BRUTO ANTARA RP 50 MILYAR S.D.


RP200 MILYAR, SEBAGAI BERIKUT:
1. Asuransi Bintang
2. Asuransi Samsung Tugu
3. Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia
4. Tugu Kresna Pratama
5. ACE Insurance
6. Asuransi Parolamas

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 176


Banjarmasin)
7. Asuransi Bringin Sejahtera Art Amakimur
8. Asuransi Himalaya Pelindung
9. Panin Insurance
10. MNC Life Insurance (MNC Life)
11. Sarana L1ndung Upaya
12. Asuransi Bangun Askrida
13. Asuransi Axa Indonesia
14. Asuransi Purna Artanugraha
15. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967
16. Asuransi Ramasatriawibawa
17. Asuransi Jasa Tania
18. Asuransi Multi Artha Guna
19. Citra International Underwriters
20. Sompo Japan Insurance Indonesia
21. Asuransi Kredit Indonesia
22. Asuransi Takaful Umum
23. Asuransi Qbe Pool Indonesia
24. Maa General Assurance
25. Asuransi Umum Mega
26. Lippo General Insurance
27. Asuransi Bina Dana Arta
28. Asuransi Eka Lloyd Jaya
29. Asuransi Aegis Indonesia
30. Asuransi Prudential
31. Asuransi Buana Independent
32. Asuransi Ekspor Indonesia

PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DENGAN PREMI BRUTO DI BAWAH RP 50 MILYAR:


1. Asuransi Bhakti Bhayangkara
2. Arthagraha General Insurance
3. Asuransi Aioi Indonesia
4. Asuransi Maipark Indonesia
5. Asuransi Andika Raharja Putera
6. Asuransi Karyamas Sentralindo
7. Asuransi Reliance Indonesia
8. Asuransi Asoka Mas
9. Batavia Mitratama Insurance
10. Staco Jasapratama
11. Maskapai Asuransi Sonwelis
12. Asuransi Bosowa Periskop
13. Asuransi Dharma Bangsa
14. Asuransi Mitra Maparya
15. Asuransi Fadent Mahkota Sahid
16. Pacific Int'l Indonesia Insurance
17. Asuransi Raya
18. Asuransi Harta Aman Pratama
19. Jamindo General Insurance
20. Lig Insurance Indonesia
21. China Insurance Indonesia

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 177


Banjarmasin)
22. Berdikari Insurance
23. Asuransi Wuwungan
24. Asuransi Intra Asia
25. Asuransi Sarijaya
26. Asuransi Mega Pratama
27. Asuransi Hanjin Korindo
28. Asuransi Art Arindo
29. Asuransi Recapital (Reguard)
30. Asuransi Prisma Indonesia
31. Asuransi Indrapura
32. Aviva Insurance
33. Asia Reliance General Insurance
34. Asuransi Umum Centris
35. Asuransi Puri Asih
36. Asuransi Binagriya Upakara
37. Panpacific General Insurance D/h: Asuransi Jaya Inti
38. Asuransi Wanamekar Handayani
39. Asuransi Putra Mandiri
40. Danamon Asuransi (Sumber: Wikipedia, 14:38, 15 April 2011)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 178


Banjarmasin)
BAB XIV

PENILAIAN DAN PENGUKURAN DALAM PEGADAIAN SYARIAH

 A. PENDAHULUAN
1. Sejarah Pegadaian
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang
dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian merupakan “trademark”
dari lembaga Keuangan milik pemerintah maupun lembaga swasta yang menjalankan
kegiatan usaha dengan prinsip gadai.
         Bisnis gadai melembaga pertama kali di Indonesia sejak Gubernur Jenderal VOC
Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik
gadai telah mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru
mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian,
pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai  Kepala Pegadaian Negeri
pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat  melalui
pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai.Seiring dengan perkembangan zaman,
Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan
(1901), Perusahaan di Bawah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke
Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April
1990, sampai dengan terbitnya PP 103 tahun 2000, Pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Umum (PERUM) dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan
Departemen Keuangan RI hingga sekarang.
  
2. KEGIATAN USAHA PERUM PEGADAIAN
Sesuai dengan PP 103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan
usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta
menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia,
layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan
usaha lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, pegadaian mengemban misi untuk:
1. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke
bawah; dan
2. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
Kegiatan usaha Pegadaian dijalankan oleh lebih dari 730 Kantor Cabang PERUM
Pegadaian yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Cabang tersebut dikoordinasi oleh
14 Kantor Wilayah yang membawahi 26 sampai 75 kantor Cabang. Perum Pegadaian
secara Nasional berada di bawah kepemimpinan Direksi.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 179


Banjarmasin)
3. LAHIRNYA PEGADAIAN SYARIAH
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal
kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang
harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga
terbitnya PP103/2000  yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian
sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa
MUI tanggal 16 Desember 2003  tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah
meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis
anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya
disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah  sebagai langkah awal
pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu
azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi
operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian
Syariah/Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan
Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara
struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah
pertama kali berdiri  di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang
Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di
Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga
September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh
dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. 

ULGS Batam berada dalam lingkup koordinasi Kantor Wilayah II Padang bersama
dengan 50 kantor Cabang lainya yang tersebar di provinsi Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Di Batam sendiri telah
berdiri 4 kantor Cabang Pegadaian Konvensional ( non Syariah ) yaitu di Sei Jodo,
Bengkong, Penuin dan Batu Aji. Baru kemudian, pada tanggal 10 November 2003 Kantor
Unit Layanan Gadai Syariah mulai melakukan uji coba operasi di Sungai Panas, Jl
Laksamana Bintan, Kompleks Bumi Riau makmur Blok C 8,  dan melayani permintaan
masyarakat yang ingin menggadaikan barang bergeraknya. Alhamdulilah, ULGS telah
mampu melayani  nasabah yang berasal dari 19 kelurahan di wilayah Batam. Hal ini 
mengindikasikan bahwa keberadaan ULGS telah dapat diterima di tengah masyarakat. 

4. OPERASIONALISASI PEGADAIAN SYARIAH


Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan pegadaian
konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti
identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam
waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi
pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja
dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memilki ciri
tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional. Lebih
jauh tentang  ketiga aspek tersebut,  dipaparkan dalam uraian berikut.  

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 180


Banjarmasin)
4.1.  LANDASAN KONSEP
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep
pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah: 

Al Quran Surat Al Baqarah : 283

 
 
 

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

4.2 HADIST RASULULLAH SAW


Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: Rasulullah membeli makanan dari seorang
yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim. 

 Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah. 

 Nabi SAW bersabda: Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki


dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah,
kecuali Muslim dan An Nasai. 

 Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air
susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum,
maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim
dan Nasai-Bukhari. 

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 181


Banjarmasin)
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181). Landasan ini kemudian diperkuat  dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam
bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut. 
a. Ketentuan Umum:
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang)
sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi
nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.
b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan
dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin. 

b. Ketentuan Penutup
1.   Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.   Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. 

B. TEKNIK TRANSAKSI
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di
atas dua akad transaksi Syariah yaitu. 
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad
ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya
sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukad akad rukun dari
akad transaksi tersebut meliputi:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 182


Banjarmasin)
a.    Orang yang berakad: 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang
(murtahin),
b.    Sighat (ijab qabul),
c.    Harta yang dirahnkan (marhun), dan
d.    Pinjaman (marhun bih).
  Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah
dapat digambarkan sebagai berikut. Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang
bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah
disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah
timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya
perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi
Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang
dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang
pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai
‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi: 
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan
barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta,
pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak
terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya
cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan
nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan.
Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah
ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah
sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad
dengan kesepakatan berikut.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 183


Banjarmasin)
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum
empat bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah)
dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat
melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat
pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk:
o     melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu
empat bulan,
o     mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang
sudah berjalan ditambah bea administrasi, dan
o    atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo
nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan,
maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih
antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang
kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil
uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil
Zakat sebagai ZIS. 

C. PENDANAAN
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana
yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah
dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah
melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian
juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback
up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
1. Di pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang
dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga
Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau
dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah
yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan
penarikan bea jasa simpan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 184


Banjarmasin)
Contoh Artikel Pegadaian Syariah:

TUGAS AKHIR MATA KULIAH EKONOMI SYARIAH


PEGADAIAN SYARIAH:
TEORI DAN APLIKASINYA PADA PERUM PEGADAIAN DI INDONESIA
Oleh: Dessy Natalia H. dan Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin Ma’turidi

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Adanya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku ekonomi
baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum
memerlukan dana yang besar. Seiring dengan kegiatan ekonomi tersebut, kebutuhaan akan
pendanaan pun akan semakin meningkat. Kebutuhan pendanaan tersebut sebagian besar
dapat dipenuhi melalui kegiatan pinjam meminjam.

Kegiatan pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan hokum
dengan suatu lembaga, baik lembaga informal maupun formal. Indonesia yang sebagian
masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan cenderung memilih melakukan kegiatan
pinjam meminjam kepada lembaga informal seperti misalnya rentenir. Kecenderungan ini
dilakukan karena mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi, mudah diakses dan dapat
dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun di balik kemudahan tersebut, rentenir
atau sejenisnya menekan masyarakat dengan tingginya bunga.

Jika masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat dipergunakan
untuk melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan cenderung memilih
lembaga formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan dananya. Lembaga formal tersebut
dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Saat ini, masih terdapat
kesan pada masyarakat bahwa mrminjam ke bank adalah suatu hal yang lebih
membanggakan dibandingkan dengan lembaga formal lain, padahal dalam prosesnya
memerlukan waktu yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup rumit. Padahal,
pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang
melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan akses yang lebih
mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan
mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.

Namun ternyata tidak hanya sampai di situ fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam,
maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-
prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis
dan menentramkan. Cepat karena hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya,
praktis karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan
lain, serta menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan
syariah begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud di atas
adalah produk Gadai Syariah.

Namun, pertanyaan yang kini muncul adalah sejauh mana kesinambungan antara
teori dan prinsip-prinsip syariah mengenai gadai syariah dengan aplikasi yang diterapkan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 185


Banjarmasin)
oleh Perum Pegadaian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dianalisis
dengan cara membandingkan antara teori dan aplikasi di dunia nyata.

1.2. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah:


1. Mengetahui teori dan prinsip syariah dari gadai syariah.
2. Mengetahui aplikasi gadai syariah yang diterapkan oleh Perum Pegadaian.
3. Mengetahui kesinambungan antara teori dan prinsip-prinsip syariah mengenai
gadai syariah dengan aplikasi yang diterapkan oleh Perum Pegadaian.

1.3. Manfaat

Manfaat makalah ini diharapkan dapat dinikmati oleh berbagai pihak:


1. Perusahaan sebagai masukan untuk mengembangkan atau memperbaiki usahanya.
2. Masyarakat sebagai salah satu sumber informasi mengenai alternatif sumber
pendanaan syariah.
3. Peneliti sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gadai (Rahn) dalam Islam

2.1.1. Pengertian Gadai

Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamaial- habsu (Pasaribu, 1996). Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan
lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut (Syafei, 1987).
Sedangkan menurut Sabiq (1987), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Adapun pengertian rahn menurut
Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitabal-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan
kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak
sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-
Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefinisikanrahn sebagai menjadikan benda
yang bersifat harta benda itu bila utang tidak dibayar (Sudarsono, 2003).

Sedangkan menurut UU Perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

2.1.2. Dasar Hukum Gadai


Dasar hukum gadai menurut Islam adalah Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Ayat Al-
Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat
282 dan 283 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 186


Banjarmasin)
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklahh kamu menuliskannya...” dan
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kau tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikkan amanatnya (hutangnya)…”.

Terdapat beberapa hadits Nabi yang menggambarkan bahwa Nabi melakukan


proses gadai, salah satunya adalah hadits HR Bukhari dan Muslim yang isinya: Aisyah
berkata bahwa Rasul SAW bersabda: Rasulullah membeli makan dari seorang Yahudi dan
meminjamkan kepadanya baju besi. Sedangkan menurut ijtihad, terdapat perbedaan yaitu
jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian, namun
Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan
kecuali pada waktu bepergian.

2.1.3. Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai serta Hak dan Kewajiban

Penerima dan Pemberi Gadai di dalam bukunya Fiqh Islam (1988), Mohammad
Anwar menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1. Ijab qabul (sighot), 2. Orang yang bertransaksi (Aqid), terdiri dari rahin (pemberi gadai)
dan murthahin (penerima gadai), 3.Adanya barang yang digadaikan (Marhun), dan
4.Utang (Marhun bih). Sedangkan syarat sah perjanjian gadai adalah: 1. Shigat, 2. Orang
yang berakal, 3. Barang yang dijadikan pinjaman, dan 4. Utang (marhun bih).

Hak penerima gadai adalah sebagai berikut:


1. Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin
berhak untuk menjual marhun.
2. Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian
biaya yang dikeluarkan.
3. Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum
dilunasi.

Kewajiban dari penerima gadai adalah:


1. Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian,
maka marhun harus bertanggung jawab.
2. Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi.
3. Sebelum diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin.

Hak dari pemberi gadai adalah:


1. Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada
murtahin.
2. Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin
menuntut ganti rugi ataas marhun.
3. Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa
hasil penjualan marhun.
4. Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak
untuk meminta marhunnya kembali.

Kewajiban dari pemberi gadai adalah :

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 187


Banjarmasin)
1. Melunasi penjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.
2. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi
pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya.

2.1.4. Akad Perjanjian Transaksi Gadai

a) Qard al- Hasan


Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin)
akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada
pegadaian (murtahin)

Ketentuannya:
- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang
elektronik, dan lain sebagainya.
- Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan
untuk mengenakan biaya administrsi kepada rahin.

b) Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk
pembiayaan lain yang bersifat produktif.

Ketentuannya:
- Barang gadai dapat berupa barang barang bergerak maupun barang tidak bergerak
seperti: emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain,
- Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.

c) Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti
pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat
menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh
rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin aupun murtahin.

d) Ijarah
Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu, bentuknya adalah murtahin
menyewakan tempat penyimpanan barang.

2.1.5. Pemanfaatan Barang Gadaian dan Berakhirnya Akad Rahn


Mayoritas ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang
digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pengadai harus menjamin
barang tersebut selamat dan utuh. Dari Abu Hurairah r.a bahsawanya Rasulullah saw
berkata: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang
menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada
kerugian atau biaya” (HR Syafi’i dan Daruqutni). Sedangkan sebagian ulama lainnya,
selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak boleh
mempergunakan barang rahn.

Akad rahn berakhir bila telah terjadi hal-hal seperti disebutkan di bawah ini:
1. Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 188


Banjarmasin)
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
4. Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
5. Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin.
6. Memanfaatkan barangrahn dengan barang penyewaan, hibah atau shadaqah baik dari
pihak rahin maupun murtahin.

2.1.6. Kegiatan Pelelangan


Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan
pinjamannya. Sebelum dilakukan pelelangan, harus ada pemberitahuan pada lima hari
sebelum tanggal penjualan. Ketentuan dari pelelangan ini adalah:
1. Untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2 % untuk pembeli.
2. Pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas.
3. Biaya penjualan sebesar 1 % dari hasil penjualan, biaya pinjaman empat bulan, sisanya
dikembalikan ke nasabah.
4. Sisa kelebihan yang tidak diambil selama satu tahun akan diserahkan ke baitul maal.

2.1.7. Persamaan dan Perbedaan antara Rahn dan Gadai

Terdapat beberapa persamaan antara rahn dan gadai yaitu hak gadai berlaku atas
pinjaman uang, adanya anggaran (barang jaminan) sebagai jaminan hutang, tidak boleh
mengambil manfaat barang yang digadaikan, biaya barang yang digadaikan ditanggung
oleh pemberi gadai, dan apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang
digadaikan boleh dijual atau dilelang.

Sedangkan beberapa perbedaan antara gadai dan rahn adalah:


1.Rahn dilakukan secara sukarela tanpa mencari keuntungan, gadai dilakukan dengan
prinsip tolong menolong tetapi juga menarik keuntungan dengan menarik bunga.
2.Hak rahn berlaku pada seluruh harta (benda bergerak dan benda tidak bergerak).
3.Rahn menurut hukum Islam dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, sedangkan gadai
menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga (Perum Pegadaian)

2.2. Pegadaian Syariah di Indonesia


Lembaga yang menyelenggarakan pegadaian syariah di Indonesia adalah
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Adapun sejarah dari Perum Pegadaian adalah
sebagai berikut. Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, kantor Jawatan
Pegadaian sempat pindah ke Karanganyar, Kebumen karena situasi perang yang kian
memanas. Agresi Militer Belanda II memaksa kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke
Magelang. Pasca perang kemerdekaan kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta
dan Pegadaian dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini, Pegadaian
sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari
1961, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No.7/1969 menjadi Perusahaan
Jawatan (Perjan), dan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.10/1990 (yang
diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No.103/2000) berubah lagi menjadi
Perusahaan Umum (Perum) hingga sekarang.

Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal
kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang
harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 189


Banjarmasin)
terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian
sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa adalah keuntungan dan tanggung
jawabnyalah bila ada kerugian atau biaya” (HR Syafi’i dan Daruqutni). Sedangkan
sebagian ulama lainnya, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin (penerima
gadai) tidak boleh mempergunakan barang rahn.

Untuk menjadi lembaga keuangan yang terbaik di mata masyarakat, maka Perum
Pegadaian terus meluncurkan produk-produk jasa keuangan termasuk salah satunya adalah
pegadaian pola syariah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pegadaian syariah ini mulai
dioperasikan di Indonesia mulai Januari 2003. Secara umum, perkembangan pegadaian
syariah cukup baik. Perkembangan Pegadaian Syariah sampai akhir Februari 2009, jumlah
pembiayaan mencapai 1, 6 triliun Rupiah dengan nasabah 600 ribu orang. Jumlah kantor
cabang Pegadaian Syariah ini berjumlah 120 unit yang berarti masih 4 % dari jumlah
Pegadaian Konvensional yang ada di Indonesia (Harian Republika dalam Wakhyudin,
2009).

Pegadaian Syariah sebagai lembaga yang dimiliki pemerintah tentunya memiliki


kekurangan dan kelebihan dibandingkan dengan bank. Menurut Endang (1993) dan
Muhammad (1997) kelebihan-kelebihan Pegadaian Syariah dibandingkan dengan bank
adalah:
1. Persyaratan yang sangat sederhana, sehingga memudahkan konsumen dalam
memenuhinya.
2. Prosedur yang sangat sederhana, sehingga memungkinkan konsumen memperoleh dana
dalam waktu 15 menit saja.
3. Keanekaragaman barang yang dapat dijadikan jaminan, angsuran ringan tidak
ditentukan jumlahnya dan dapat diangsur sesuai kemampuan dengan jangka waktu 120
hari.
4. Cukup dipungut biaya administrasi dan biaya ijarah.
5. Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan tujuan penggunaan uang tersebut, sehingga
konsumen dapat memanfaatkan uang tersebut untuk kepentingan apa saja.
6. Dapat dilunasi sewaktu-waktu, maupun diperpanjang dengan membayar biaya
administrasi dan biaya ijarahnya.
7. MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai operasionalisasi Pegadaian Syariah.

Sedangkan kekurangan dari Pegadaian Syariah dibandingkan dengan bank adalah


sebagai berikut:
1. Harus ada jaminan barang bergerak yang mempunyai nilai.
2. Barang bergerak yang dijadikan jaminan harus diserahkan kepada Perum Pegadaian,
sehingga konsumen tidak dapat memanfaatkan barang tersebut selama berada di Perum
Pegadaian.
3. Jumlah kredit gadai masih terbatas untuk jenis emas dan berlian pada kota- kota besar,
padahal di kota besar angka kemiskinan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di
kota kecil.
4. Belum semua masyarakat memahami mengenai sistem dari gadai syariah.
5. Belum memiliki visi misi karena masih menyatu dengan perusahaan induknya.

II PEMBAHASAN

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 190


Banjarmasin)
3.1. Implementasi Gadai Syariah di Perum Pegadaian

Gadai syariah di Perum Pegadaian Syariah diimplementasikan dengan adanya


fasilitas rahn, yaitu produk jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah,
dimana nasabah hanya akan dipungut biaya administrasi dan ijarah (biaya jasa simpan dan
pemeliharaan barang jaminan). Prinsip-prinsip syariah yang diberlakukan pada produk
gadai syariah di Perum Pegadaian adalah tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk
karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi
hasil.

Pegadaian Syariah menjawab kebutuhan transaksi gadai sesuai Syariah, untuk


solusi pendanaan yang cepat, praktis, dan menentramkan. Cepat, karena hanya 15 menit
kebutuhan dana akan terpenuhi. Praktis, karena tidak perlu membuka rekening ataupun
prosedur lain yang memberatkan. Konsumen cukup membawa barang-barang berharga
milik pribadi, saat itu juga konsumen akan mendapatkan dana yang dibutuhkan dengan
jangka waktu hingga 120 hari dan dapat dilunasi sewaktu-waktu. Jika masa jatuh tempo
tiba dan konsumen masih memerlukan dana pinjaman tersebut, maka pinjaman dapat
diperpanjang hanya dengan membayar sewa simpan dan pemeliharaan serta biaya
administrasi. Sedangkan menentramkan, karena sumber dana Pegadaian Syariah berasal
dari sumber yang sesuai dengan syariah, proses gadai berlandaskan prinsip syariah, serta
didukung oleh petugas-petugas dan outlet dengan nuansa Islami sehingga lebih syar'i dan
menetramkan.

Dalam prinsip syariah, pengoperasian gadai syariah menggunakan metoda


mudharabah atau prinsip bagi hasil. Namun, pada aplikasinya, Perum pegadaian
menggunakan metoda Fee Based Income (FBI) karena nasabah dalam mempergunakan
dana mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang
sekolah atau tambahan modal kerja, sehingga metoda mudharabah tidak layak/feasible
untuk diterapkan pada Perum Pegadaian.

Landasan dalam operasionalisasi gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah


Nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Ketentuan Umum:
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang).
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 191


Banjarmasin)
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
b. Ketentuan Penutup:
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

Dari landasan syariah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, adapun
mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: melalui
akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan
dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari
proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya
dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam
meminjam uang hanya sebagai penarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di
Pegadaian.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :


1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan
barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu
jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait
dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum danarahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka
waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan,
biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya


cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan kopi tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan
nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan.
Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah
ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah
sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan
nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 192


Banjarmasin)
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat
bulan.
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari
kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi
pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat
pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk melakukan penebusan


barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan, mengangsur
uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan
ditambah bea administrasi, atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika
pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa
simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual,
selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan
uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun
untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada
Badan Amil Zakat sebagai ZI.

Selain aspek operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi


nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam
hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan
kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank
Muamalat sebagaifundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan
lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik
transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu:
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut
sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan
jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan
barang jaminan dalam gadai bersifataces s oir, sehingga Pegadaian konvensional bisa
tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik
fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak
keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa pinjam.

IV PENUTUP

4.1. Simpulan
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan dengan mengulas mengenai teori
gadai syariah yang berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islam dengan membandingkannya
dengan operasionalisasi gadai syariah yang telah dipraktikkan pada Perum Pegadaian di
Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa operasionalisasi gadai syariah yang diterapkan,

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 193


Banjarmasin)
secara umum, telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Namun, ada beberapa hal,
seperti prinsip mudharabah yang belum dapat dipraktikkan secara sempurna karena
kebutuhan masyarakat akan dana tersebut belum dapat dikontrol oleh pihak Perum
Pegadaian, sehingga kita tidak dapat memastikan apakah dana yang berasal dari transaksi
gadai syariah tersebut digunakan untuk sesuatu yang sesuai dengan syariah atau tidak.

4.2. Saran
Walaupun sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu agama yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, dan juga dirasa lebih menguntungkan, adanya
fasilitas gadai syariah ini belum bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas karena
kurangnya publikasi dan pembelajaran kepada publik mengenai gadai syariah dari Perum
Pegadaian. Oleh karena itu, dibutuhkan publikasi, promosi dan pengenalan kepada
masyarakat luas mengenai konsep gadai syariah yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian
ini. Diharapkan ke depannya, operasionalisasi dari gadai syariah ini dapat dilakukan
berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islami dengan menyeluruh, terutama pada akad utama
gadai syariah, yaitu akad mudharabah.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.
Gadai Syariah: Konsep dan Operasionalnya diIndonesia.
http://one.indoskripsi.com/skripsi-tugas-kuliah-makalah/ekonomi-islam/gadai-syariah-
konsep-dan-operasionalnya-di-indonesia. [9 Januari 2010]
Pegadaian. http://id.wikipedia.org/wiki/Pegadaian. [9 Januari 2010]
Pegadaian Syariah.http://w w w .pegadaian. co.id/p.kc a.php?uid. [9 Januari 2010]
Perum Pegadaian.http://w w w .pegadaian. co.id. [9 Januari 2010]
Rahmawati, Rafika. 2009. Makalah Pegadaian Syariah.
http://hendrakholid.net/blog/2009/05/makalah-pegadaian-syariah/. [9 Januari 2010]
Rais, Sasli dan Wakhyudin. 2007. Pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia dengan
Analisis SWOT.
http ://docs. google. com/viewer?a=v&q=cache:772
YNKECUJ:images.nuris2007.multiply.multiplycontent.com/attachment. [9 Januari 2010]

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 194


Banjarmasin)
BAB XV

AKUNTANSI FORENSIK
ILMU PENGETAHUAN DAN SENI MENCARI BUKTI

PENDAHULUAN
Apa yang Anda dapatkan ketika menggabungkan investigasi dengan akuntansi dan
auditing? Anda mendapatkan bidang menggairahkan Akuntansi Forensik.  Kata forensik
berati ”dapat diterima oleh hakim dalam persidangan di pengadilan” dan itulah standar
tinggi yang akuntan forensik pegang. Akuntansi Forensik memberikan analisis akuntansi
yang dapat diterima dalam pengadilan atas hukum dan digunakan membantu memecahkan
kasus perdata dan pidana, baik pidana umum, maupun pidana khusus seperti korupsi,
pajak, perbankan, dll. Akuntan yang telah menyelesaikan program Akuntan Forensik
Bersertifikat dan memiliki gelar AFB adalah Akuntan Forensik, atau dapat juga mengikuti
Program Diploma Akuntansi Forensik gelar DAF adalah Akuntan Forensik.
 
A. Apakah Akuntan Forensik itu?
Akuntansi Forensik menekankan tiga area utama: dukungan litigasi, investigasi
dan penyelesaian sengketa. Dukungan litigasi menunjukkan suatu fakta presentasi
permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan litigasi yang sedang berlangsung atau
tertunda. Dalam kapasitas ini, seorang Akuntan forensik profesional menghitung kerugian
yang diakibatkan pihak yang terlibat dalam sengketa hukum dan dapat membantu dalam
menyelesaikan sengketa, bahkan sebelum mereka sampai di ruang persidangan. Jika
sengketa sampai di ruang sidang, akuntan forensik dapat memberi kesaksian sebagai saksi
ahli.
Investigasi adalah tindakan untuk menentukan apakah peristiwa kejahatan seperti
pencurian oleh pegawai, kejahatan pasar modal (termasuk pemalsuan laporan keuangan),
mengidentifikasi pencurian, kecurangan asuransi atau korupsi dapat terjadi. Sebagai
bagian dari pekerjaan akuntan forensik, dia dapat merekomendasikan tindakan yang dapat
diambil untuk mengurangi risiko kerugian di masa yang akan datang. Investigasi juga
dapat dilaksanakan dalam persoalan perdata.
Akuntan forensik sering harus memberiikan bukti ahli dalam persidangan.
Akuntan forensik menginvestigasi segala sesuatu dari korupsi, kecurangan pajak hingga
pelanggaran hak cipta hingga fakta pengecekan untuk kasus perceraian. Akuntan forensik
krusial terhadap banyak kasus hukum yang dihadapi oleh publik dan organisasi swasta
sekarang ini.
Akuntansi forensik juga melihat melewati angka dan mendapatkan substansi dari
situasi. Itu melebihi dari akuntansi biasa, dan melebihi pekerjaan detektif dasar. Karena
elemennya yang unik, itu merupakan suatu kombinasi yang akan dibutuhkan selama
manusia alamiah masih ada. Siapa yang tidak mendambakan karir yang menawarkan
stabilitas, gairah, dan imbalan keuangan?

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 195


Banjarmasin)
B. Bagaimana Menjadi Akuntan Forensik?

Langkah pertama untuk menjadi Akuntan Forensik adalah mengikuti


Pelatihan atau Pendidikan Akuntan Forensik yang diselenggarakan oleh Lembaga
Akuntan Forensik Indonesia (LAFI). Di sini Anda menyandang keahlian standar 4 tahun
kuliah reguler di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi yang reguler, ditambah dengan
Pendidikan Profesi Akuntan dan lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik.  Dan terakhir
Anda dilengkapi dengan Keahlian Khusus setelah lulus Akuntan Forensik. Total
pendidikan normal 6 - 8 tahun dapat Anda selesaikan dalam waktu 1 - 3 tahun.
Ada dua program pendidikan Akuntan Forensik yang diselenggarakan oleh LAFI:
1.  BAF = Bersertifikat Akuntan Forensik, ditempuh dalam waktu 2 sd 24 Minggu.
2.  DAF = Diploma Akuntan Forensik, ditempuh dalam waktu 1 sd 3 tahun.
Program ini dapat diikuti dengan salah satu metoda belajar mengajar:
1. Belajar jarak jauh melalui internet, online atau offline, any time. Materi dikirimkan
ke alamat email Anda setelah menyelesaikan tahapan-tahapan sebelumnya:
pendaftaran, pembayaran biaya program, belajar mandiri, menjawab soal-soal
ujian, mengerjakan tugas mandiri, mengerjakan tugas praktik, belajar mandiri, dan
membuat laporan akhir, ujian akhir dan penyerahan tanda lulus: Sertifikat atau
Diploma. Penyerahan tanda lulus dapat dilakukan pada saat atau setelah wisuda.
2. Belajar di kelas, diselenggarakan di Jakarta dan kota-kota lain setelah memenuhi
persyaratan: jumlah peserta, belajar mengajar interaktif, tugas kelompok, magang,
ujian periodik, laporan tugas akhir, ujian akhir, lulus dan wisuda. 
Menjadi Forensic Accountant Career Outlook and Salary (Ini di USA)?
Forensic Accountants work in most major accounting firms are needed for
investigating mergers and acquisitions, and in tax investigations, economic crime
investigations, all kinds of civil litigation support, specialized audits, and even in terrorist
investigations. Forensic Accountants work throughout the business world, in public
accounting, corporations, and in all branches of government. Forensic Accounting firms
are everywhere.
If you do an Internet search, you’ll find article after article worrying that the
demand for Forensic Accountants far outstrips the current supply. This translates into an
anticipated growth in this field of nearly 25% over the next ten years! You would be hard
pressed to find a more stable and in-demand career.
You will most likely start out earning between $30,000 and $40,000 a year,
according the Bureau of Labor Statistics. But after just a few years of experience in the
field, you can easily earn $70,000 to $80,000 a year. At the highest levels, particularly in
the private sector, forensic accountants can command $125,000 to $150,000 annually.
Forensic accountants are professionals who use a unique blend of education and
experience to apply accounting, auditing, and investigative skills to uncover truth, form
legal opinions, and assist in investigations. If this sounds like you, consider a career in
Forensic Accounting—you won’t regret it!

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 196


Banjarmasin)
C. Di Indonesia belum Ada Data dan Standar

Kasus swasta Anda mendapatkan operational cost sekitar 2 - 5 % dari nilai kasus
dan Success Fee antara 2% hingga 50% dari nilai kasus, tergantung kesepakatan Anda
dengan pemberi tugas. Tetapi, kalau Anda mau jadi pahlawan, Anda dapat menggunakan
ilmu pengetahuan dan seni mencari bukti ini untuk menjebloskan para koruptor dan
penilep uang negara lainnya ke dalam  penjara dan mengembalikan kekayaan negara yang
telah mereka caplok. Peraturan Pemerintah juga mengatur bahwa bagi mereka yang
berjasa oleh negara diberikan imbalan. 

 Akuntan Forensik yang Bertumbuh


Untuk Indonesia seharusnya Akuntan Forensik sangat dibutuhkan. Mengapa?
Karena Indonesia adalah selalu peringkat pertama dalam urutan negara paling korup:
apakah pejabat pemerintah, lembaga negara, dan juga swastanya ikut terlibat aktif.
Diduga, hampir semua pejabat melakukan korupsi apabila dua kondisi ini dipenuhi:
1. Ada uang rakyat atau uang publik dibelanjakan, apakah lewat mekanisme APBN
mupun APBD, atau apa saja itu program atau proyek yang mengeluarkan uang negara
atau daerah.
2. Ada sumber daya alam di suatu daerah, seperti: pertambangan, kehutanan, perikanan,
lahan untuk perkebunan atau hutan tanaman industri, dan sejenisnya.
Kedua kondisi di atas tidak hanya melibatkan pejabat pemerintah, tetapi para swasta yang
berkepentingan: baik sebagai kontraktor atau supplier, maupun Investor; kedua-duanya
seharusnya dituntut dan dijatuhi hukum yang berlaku. 
Dengan mengacu kepada kriteria korupsi yang dikembangkan dan dipublikasikan
oleh KPK berdasarkan peraturan perundangan berlaku, seandainya diterapkan penegakan
hukum, maka dipastikan tidak ada pejabat yang berkaitan dengan kedua kondisi di atas
yang tidak masuk penjara. Dan tentu, mereka juga akan ramai-ramai menyetor ke kas
negara. Yang jadi persoalan adalah: banyak para koruptor atau "pengambil uang negara
dan daerah" yang lolos dari jerat hukum semata-mata karena "bukti dia korupsi" tidak
memadai.
Akuntan Forensik di Indonesia masih relatif baru, bahkan di Amerika Serikat pun
baru menjadi perhatian setelah kasus-kasus yang menimpa keuangan publik yang
mendorong disahkannya Sarbanes Oxley Act atau SOX. Itu mulai sejak tahun 2002. Kasus
yang serupa, yaitu penipuan dan penggelapan uang para investor banyak terjadi di
Indonesia, tetapi peran Akuntan Forensik masih belum terlalu dikenal oleh masyarakat.
Oleh karena itu, diyakini profesi ini akan mengalami pertumbuhan yang cepat di masa
mendatang dan waktu dekat ini, karena "dunia semakin kacau, dan orang semakin tidak
dapat dipercaya".
Untuk dunia bisnis internasional khususnya Amerika perkembangan sebagai
berikut: Sherlock Holmes adalah barangkali praktisi forensik yang paling terkenal, juga
seorang forensik kimia. Praktisi terkenal lainnya yang praktisi ilmu pengetahuan forensik
adalah Quincy, seorang patologis televisi yang menggunakan otopsi dan patologi untuk
menemukan petunjuk pembunuh. Serial televisi masa mendatang mungkin akan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 197


Banjarmasin)
menayangkan akuntan forensik seperti yang didiskusikan dalam Dallas Times Herald:
"Accounting + Intrigue = Lenny Cramer."
Banyak orang menganggap akuntan hanyalah penghitung uang di belakang meja
yang membosankan tanpa memiliki banyak gagasan orisinal. Lagipula, setiap orang tahu
bahwa biji penghitung di belakang meja adalah berkacamata tebal, kulit pucat mengkerut
yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam ruang kecil berlubang yang redup dikitari
oleh cetakan computer yang buram dan buku-besar buku–besar yang berdebu.  Dalam
beberapa tahun belakangan, akuntan yang hebat telah bergulir dengan suatu pikiran yang
curiga. Akuntan forensic ini mencari di belakang apa yang dihadapinya dan tidak
menyetuji informasi yang disajikan begiut saja. Beberapa Firma Akuntansi telah
membangun semua praktinya sekitar akuntansi forensic. Perusahaan perekrut Eksekutif,
Robert Half Internationalmelaporkan peningkatan klien yang meminta para CPA dengan
keahlian pemeriksaan kecurangan dan pengalaman seperti FBI.
D. Apakah Akuntansi Forensi itu?
Akuntansi forensik meliputi dua bidang luas: dukungan litigasi dan investigasi
akuntansi. The AICPA menjelaskan jasa litigasi sebagai ”semua jasa profesional non-
praktisi hukum yang diberikan kepada praktisi-hukum dalam proses litigasi”. Ilmu
pengetahuan forensik dapat didefinisikan sebagai penerapan hukum-hukum alam kepada
hukum-hukum manusia. ”Ilmuwan forensik memeriksa dan menafsirkan bukti dan fakta-
fakta dalam kasus hukum dan menawarkan pendapat pakar sehubungan dengan temuan-
temuan dalam persidangan hukum”. 
David Akst dan Lee Berton mengindikasikan bahwa akuntan-akuntan yang lain
mungkin melihat kepada grafik-grafik, tetapi akuntan forensik secara nyata menggali ke
dalam tubuh. Kebutuhan akan Akuntan forensik dengan jelas ditunjukkan oleh suatu
perjalanan dari The CBS Murders: Margaret Barbera sangat hebat dengan angka-angka.
Dia dapat mengambil neraca, seperangkan buku-buku perkiraan, faktur-faktur, tagihan-
tagihan, dan lainnya, menyulap dan memanipulasi angka-angka, dan dengan cepat, dari
ribuan menjadi jutaan, rugi menjadi laba, penjualan didongkrak atau diturunkan, apa saja
yang diminta oleh majikannya, dan untuk itu dibutuhkan seorang auditor yang pakar yang
mengetahui secara pasti dimana mencari dan apa yang dicari untuk mengungkapkan apa
yang telah dia lakukan, dan bahkan demikian, itu masih mungkin tergelincir. Professor
Crramer ada di depan kelas auditingnya mengutip perjalanan dari The CBS Murders, oleh
Richard Hammer.
Kesaksian ahli dalam persidangan perdatan O.J. Simpson, akuntan forensik
bersaksi tentang kekayaan O.J. Kerugian akhir dalam keputusan telah didasarkan atas
kesaksian ini. Berdasarkan dalam suatu artikel dalam New York Times oleh Glenn
Collins, yang berjudul ”Jenis Baru dari Detektif untuk mengucapkan Selamat Tinggal
kepada yang lama”, Richard Friedman adalah seorang akuntan forensik, seorang
investigatif angka-mengerikan yang menilai harga pribadi yang dipegang korporasi dan
bisnis keluarga, dan menguber harta pasangan yang tersembunyi. Selama beberapa tahun
belakangan di New York, Friedman dan akuntan detektif serupa lainnya menjadi banyak
ditugaskan dalam pertumbuhan yang subur dar industri perceraian. Dalam kasus
perceraian baru-baru ini, Friedman telah dibayar sejumlah $274,970.87. Lebih lanjut,
menurut Hakim Saxe, yang memimpin persidangan kasus tersebut, mencatat bahwa

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 198


Banjarmasin)
pembayaran kepada akuntan-akuntan lainnya dan penilai dijamin ”fee tambahan para
pakar’ adalah $200,000.

D. Apakah Investasi Akuntan itu?


Walaupun tarif tagihan untuk dukungan litigasi cenderung melebihi tarif praktisi di
area lain, suatu are menggairahkan dari akuntansi forensik adalah investigasi akuntan atau
auditor kecurangan. The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA)
mengindikasikan bahwa orang ini mencari bukti tentang kejahatan yang terjadi dan
membantu dalam menentukan, atau menangkis dan membantah, kerugian yang diklaim.
Pertanyaan kelihatannya seputar dokumen yang kurang menentukan dan mencari
ketidakkonsistenan.
Dalam salah satu judul dari sebuah artikel di surat kabar menjelaskan suatu
investigasi akuntan: “Perburuan Detektif atas Buku-buku dimasak”. Artikel ini
menjelaskan suatu perusahaan akuntan forensik, seperti Smith, Sibley & Co, di Dallas,
Texas; Perampok tidak membutuhkan senjata. Pinsil dan kertas akan mengerjakannya.
Peluang dan keserakahan adalah kekuatan  pendorong pencurian. Tempatkan cukup angka
nol di samping angka-angka, dan dengan menakjubkan membuat moral menjadi fleksibel.
Berapa tahun di penjara akan Anda huni untuk mengakumulasi setengah miliar dolar
dalam rekening bank Anda? Dengan kejahatan kerah putih, kejahatan asuransi, kegagalan
tabungan dan pinjaman pemerintah pusat, dan kejahatan komputer mencapai US$ 3 billion
setiap tahun. Itu semua membutuhkan turunan jenis baru dari akuntan forensik seperti
James Smith and Ken , Sibley in Dallas.  Dengan kaca pembesar mereka, cetakan
komputer, dan kalkulator, profesi glamour ini akan mendapatkan peringkat di serial
televisi seperti   "Designing Accountants" atau "Fraud Busters." Mereka pasti akan
menghancurkan imej tentang mata hijau pucat.
Pekerjaan akuntansi forensik dilaksanakan oleh Penyidik dan Intelijen Dirjen Pajak
dan Penyidik Kepolisian atau Kejaksaan. Di USA, the FBI memiliki dua kali lipat akuntan
forensik banyaknya dibandingkan tahun 1992. Bahkan Badan Perpajakan USA (IRS)
mengiklankan poster dengan gambar Alphonse Capone, dengan kata-kata:
“ONLY AN ACCOUNTANT COULD CATCH AL CAPONE”
Gangster terkenal Al Capone tidak mudah ditangkap hingga agen khusus dari IRS
melangkah dan menuduhnya dengan penggelapan pajak. Karir raja kejahatan ini telah
berakhir. Ini membuktikan bahwa suatu ketika hanya akuntan yang dapat melawan
penjahat.
Robert G. Roche, seorang pensiunan dari Divisi Investigasi Kejahatan IRS,
memberikan penjelasan tentang akuntan forensik: seseorang yang dapat melihat disamping
dari yang dimuka atau di hadapannya, tidak menerima catatan dalam angka yang
kelihatan, seseorang yang memiliki pikiran curiga, bahwa dokumen-dokumen yang
kelihatan bukan seperti seharusnya dan seseorang yang memeliki keahlian untuk keluar
dan melaksanakan wawancara sangat terperinci kepada individu yang berbicara
kebenaran, terutama jika seseorang dianggap telah berbohong.
Mendeteksi Kecurangan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 199


Banjarmasin)
Joseph T. Wells adalah pendiri the National Association of Certified Fraud
Examiners (NACFE) dengan lebih dari 15,000 anggota. Mr. Wells percaya bahwa
dibutuhkan perkawinan antara auditor dengan investigator. Berbicara tentang
menginterogasi tersangka dan saksi, dia mengatakan: “Itu seperti memberi merk ternak.
Berikan mereka kurungan dimana jalan keluar hanya menuju Anda, dan Anda berdiri di
sana siap untuk menusuk mereka”. Resep sederhanya untuk menemukan pelaku
kecurangan adalah melihat pada pakaian dan perhiasan yang menyilaukan.
Kelompok lain, the National Association of Forensic Accountants (NAFA), telah
dibentuk untuk membantu anggota memasarkan jasa-jasa forensic untuk meyakinkan
perusahaan. Ralph M. Ciarlo, vice-president, menyatakan bahwa anggota mereka
menerapkan keahlian analitis untuk meluruskan kekusutan misteri klaim asuransi dan
menerapkan keahlian praktis membantu menemukan “klaim yang didongkrak”.
The American College of Forensic Examiners (ACFE) telah mengembangkan
suatu pelatihan tambahan, pengujian, dan sertifikasi untuk memberikan kualifikasi
tambahan kepada para CPA yang bekerja dalam bidang dukungan litigasi dan akuntansi
forensic. Istilah Akuntan Forensik bagi seorang Certified Public Accountant yang telah
melaksanakan analisis teratur, investigasi, bertanya, menguji, menginspeksi, atau
memeriksa dalam suatu usaha memperoleh kebenaran dan darinya membentuk suatu
pendapat ahli. Akuntansi forensic dan dukungan litigasi termasuk jasa-jasa para CPA yang
diberikan dalam permasalahan hukum.
William Dunton, Chairman of the American Board of Forensic Accounting,
mengomentari bahwa, “kekhususan dari akuntansi forensic telah bertumbuh untuk
berbagai alasan, yang paling penting darinya adalah pengakuan oleh professional lainnya
atas nilai jasa mereka. Apakah investigasi atau litigasi, peran akuntan dapat menjadi suatu
bagian yang sangat penting dari suatu proses. Beberapa alasan lain pertumbuhan
kekhususan ini akan meningkat cenderung dari masyarakat kita menyelesaikan
sengketanya melalui pengadilan hukum, peningkatan kompleksitas masyarakat kita, dan
menurunnya integritas dalam masyarakat kita.
Profesi akuntansi semakin ditantang dan menarik daripada imej yang berlaku pada
orang-orang miliki. Akuntansi forensik adalah hanya salah satu dari sekian kekhususan di
area akuntansi. Seorang akuntan forensik yang efektif haruslah cerdas, menarik, dan
secara teknik kompeten. Menjadi mata-mata akuntansi. (D. Larry Crumbley adalah
seorang  pejabat di KPMG Peat Marwick dan Professor di Louisiana State University).

E. Bukti bagi Akuntan Forensik


Akuntan Forensik adalah orang yang ahli dan trampil menerapkan seni dan ilmu
pengetahuan untuk menemukan bukti yang dapat dipergunakan oleh hakim dengan
menggunakan praktik investigasi dan akuntansi secara bersamaan. Tujuan dalam semua
kasus Akuntan Forensik adalah bukti, sehingga bukti menjadi topik yang sangat penting
dari diskusi ketika berbicara tentang Akuntan Forensik.   Adalah bukti-bukti ini yang
menarik minat dan mengikat upaya Advokat dan Pejabat Pemerintah serta Penegak
Hukum secara sungguh-sungguh percaya untuk menyatakan suatu kasus adalah sangat
penting dan memiliki profil tingkat tinggi. Pelatihan Akuntan Forensik akan mempelajari

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 200


Banjarmasin)
lebih lanjut tentang bukti yang dicari oleh Akuntan Forensik dan bagaimana mereka
menemukan dan mendapatkannya.

1. SEJARAH
Adalah pada tahun 1946 ketika istilah “akuntansi forensik” pertama sekali
diciptakan. Adalah seorang Rekan di Firma Akunting yang berbasis di New York yang
bernama Maurice E. Peloubet yang pertama sekali menulis artikel tentang topik tersebut,
walaupun seorang Pengacara dari New York yang bernama Max Lourie mengklaim telah
menggunakan prase tersebut pada tahun 1953. Akuntansi Forensik terbentuk dari banyak
menggunakan kolaborasi antara Akuntan dan sistem hukum. Pengacara menggunakan
akuntan forensik untuk menemukan bukti dalam kasus kerah putih yang tidak dapat
mereka peroleh. Bukti ini akan membantu memenangkan banyak kasus.

2. METODA
Akuntan Forensik memiliki beberapa metoda yang meraka gunakan untuk
menemukan bukti. Apa yang professional ini kerjakan adalah menemukan korelasi
statistic antara data-data angka yang ditemukan dalam kerja dan dokumen-dokumen
elektronik. Satu teknik yang telah dipergunakan, dan terbukti sangat berhasil pada masa
lampau adalah Link Discovery (LD).
Hal ini terjadi pada waktu seorang Akuntan Forensik menggunakan tugas-tugas
statistic dan praktik untuk mengembangkan bukti grapik yang menentukan. Dengan
menggunakan Bayesian probabilistic dan teknik-teknik lain, seorang investigator mampu
menemukan hubungan tersembunyi di antara banyak dokumen untuk dibentuk dan dsusun
bersama untuk membentuk suatu bukti. Suatu pendekatan yang baru telah disambut hangat
adalah the Hybrid Evidence Correlation (HEC). Teknik ini relative masih baru, teknik ini
menggunakan logika tingkat-pertama dengan inference peluang semantic untuk
menemukan pola yang dicurigai yang tidak mudah ditemukan.

3. MANFAAT
Bukti yang ditemukan oleh Akuntan Forensik adalah bermanfaat dalam
persidangan pidana dan perdata. Bukti dapat membuktikan terjadinya pelanggaran hukum
atau sebaliknya tidak terjadi pelanggaran hukum. Setelah menyisir ribuan transaksi dan
menemukan pola atau kaitan, Akuntan Forensik meletakkan temuan mereka dalam
laporan-laporan dan grafik-grafik.
Laporan-laporan dan grafik-grafik ini dilengkapi dengan dokumen pendukung
untuk menciptakan bukti yang dapat diterima di persidangan. Bukti ini dapat digunakan
untuk menyelesaikan sengketa di antara para pemegang saham, menemukan kecurangan
pegawai, membantu dalam sengketa perceraian, menetapkan kerusakan dan kerugian
dalam klaim asuransi dan membantu litigasi dalam memutuskan suatu perkara.

4. PROSES
Sewaktu melaksanakan suatu audit, seorang Akuntan Forensik hanya memiliki
satu tujuan dalam pikirannya, untuk menemukan bukti dari kecurangan yang terjadi.
Tugas mereka adalah mencari kecurangan, untuk itulah mengapa mereka dibayar.  Untuk
melaksanakan ini, mereka mengikuti prosedur-prosedur tertentu untuk merampungkan
tugas mereka. Hal pertama yang mereka harus kerjakan adalah bertemu dengan klien.
Kebanyakan orang yang menyewa Akuntan Forensik adalah pemilik perusahaan,
pengacara atau pejabat pemerintah. Setelah pertemuan, Akuntan Forensik mulai
mengumpulkan catatan-catatan, laporan kartu kredit, jurnal-jurnal, laporan bank, basis-

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 201


Banjarmasin)
basis data, surat-surat, memo-memo dan buku-buku besar, adalah semua jenis dari
catatan-catatan  yang dapat dipertimbangkan sebagai catatan-catatan. Tidak cukup hanya
dengan catatan untuk menemukan kecurangan, mereka juga mewawancarai orang-orang
seperti yang dilakukan oleh para investigator. Secara mendalam mereka menganalisa
semua informasi yang mereka miliki (catatan dan rekaman wawancara) untuk menemukan
lubang di dalamnya. Kemudian mereka menguraikan dan menafsirkan pola dan
menemukan tautan tersembunyi antara dokumentasi dengan wawancara-wawancara.
Setelah merampungkan investigasi, Akuntan Forensik mempresentasikannya dalam
bentuk laporan yang memverifikasi apakah kecurangan telah terjadi atau tidak.

Bukti yang dikumpulkan oleh Akuntan forensik adalah informasi yang berharga
dan diperlakukan dengan hati-hati. Dalam kenyataan bahwa bukti itu hanya berlaku
apabila ditemukan seperti ditemukan oleh penyidik. Oleh karena itu, Akuntan Forensik
harus mematuhi dan mengikuti hukum yang sama yang dipergunakan oleh Penyidik
Kepolisian yang menemukan bukti selama penyidikan, informasi itu sensitive dan reputasi
setiap yang terlibat dapat dalam bahaya. Akuntan Forensik harus melindungi hak-hak
setiap orang dan diperlakukan dengan bijaksana selama dan setelah investigasi. Jika bukti
itu diperoleh secara illegal (tidak sesuai hukum berlaku), atau seseorang merasa bahwa
hak-haknya telah dilanggar, maka Akuntan forensic akan menghadapi reaksi balik, yang
dapat berupa tuntutan pelanggaran hak asasi, penceramaran nama baik dan sejenisnya, dan
bukti itu dapat tidak berlaku atau diabaikan, dan menjadi tidak berguna dalam pengadilan.
 

F. Beberapa Kasus Akuntan Forensik yang Terkenal


 
Di hadapannya, lahan akuntansi kelihatannya sesuatu yang serba mewah.
Dibandingkan dengan detektif fiksi terkenal yang khusus seperti Sherlock Holmes dan
“CSI”’s Horatio Cane, pertunjukan besar akuntan kelihatannya membosankan dan tidak
menarik. Tetapi, begitu kasus-kasus profil tinggi dari kejahatan kerah putih, kecurangan
bank, pendanaan teroris dan kejahatan computer semakin dipublikasikan, maka intrik dan
aura dari akuntan forensic mendapatkan tempat di antara nama besar investigator
kejahatan, menayangkan novel buatan mereka sendiri dan serial televisi

1) Al Capone
Baku tembak dalam setiap perjalanan di jalanan Chicago, Al Capone mampu menghindari
tuntutan dan dakwaan dari detektif-detektif terbaik maupun agen-agen terbaik FBI pada
masa-masa itu. Akhirnya, hanya para akuntan yang mampu menundukkan para bandit
ngetop ini pada 1931 dengan kasus yang solid dalam penyelundupan pajak. Agen-agen
IRS dapat mengikuti jejak penghasilan-penghasilan yang dibuat oleh Capone dari semua
aktivitasnya yang tersembunyi dan haram dan memakukan dan mengharuskan dia
melunasinya karena tidak melaporkannya dalam surat pemberitahuan pajaknya.

2) O.J. Simpson
Mengikuti keputusan tidak bersalah pada kasus persidangan kriminal O.J. Simpson,
penuntut umum dalam kasus perdata melawan Simpson menyewa jasa seorang Akuntan
Forensik untuk menyapu kekayaan bersih nyatanyanya. Pada waktu itu, Simpson telah
memohon tidak memiliki harta dan menolak untuk kerjasama. Akuntan forensik
menemukan jutaan disembunyikan oleh Simpson dan Penuntut umum memenangkan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 202


Banjarmasin)
perkara sejumlah $33 million.

2) Perceraian
Advokat atau pengacara dalam kasus perceraian telah menggunakan dengan baik Akuntan
Forensik untuk mendapatkan apa yang mereka mampu peroleh untuk klien mereka.
Richard Friedman, seorang Akuntan Forensik di New York, adalah pengembang suatu
ikutan nyata ketika dia menggunakan keahliannya untuk bekerja kepada klien dalam
persidangan perceraian. Friedman dapat mengambil keuangan keluarga secara terpisah dan
menemukan harta kekayaan yang disembunyikan oleh pasangan yang menyangka telah
dilindungi dengan baik. Dalam suatu kasus, Friedman menemukan dana sejumlah $2
million yang ditransfer oleh suami kepada pacarnya hanya dengan membaca dan
menganalisa kertas kerja.

3) Pedagang Saham
Ivan Boesky telah ditaklukkan oleh investigator forensic terlatih pada the Securities and
Exchange Commission yang menemukan jejak jalan kecil atas perdagangan orang dalam
yang mengirim pedagang surat berharga dengan orang dalam ini ke penjara dan denda
sebesar $100 million. Pada gilirannya, Boesky menunjuk pada temannya Michael Milkin
pada 1990. setelah Akuntan Forensik menunjukkan bukti kepadanya, Milkin dinyatakan
bersalah atas tindak pidana pasar pasar modal dan mendekam 10 tahun penjara dan denda
sebesar $1 billion.

4) Robert Maxwell
Ketika raksasa penerbitan Eropa Robert Maxwell meninggal pada 1991, semua
perusahaannya tumbang seperti rumah kartu karena permainan keuangan yang
dipermainkan Maxwell dengan pinjaman-pinjaman bank dan dana-dana investor. Akuntan
Forensik membutuhkan 14 tahun untuk menegakkan kekusutan dan menemukan lebih dari
$1 billion yang digelapkan oleh Maxwell dari para klien dan pemegang saham.

5) Kejahatan Korporat
Mengikuti skandal besar dari Enron, Tyco dan WorldCom dimana chief executives
tertangkap tangan telah menggaruk uang investor, hukum baru telah diberlakukan untuk
memberikan lebih banyak pengawasan atas praktik akuntansi. The Sarbanes-Oxley
legislation telah memberikan jalan rata bagi pelaku tindak pidana keuangan untuk
menerima lebih tinggi denda atas kejahatan mereka Peraturan itu menciptakan prosedur
pelaporan kepada perusahaan public bahwa Akuntan Forensik telah lama menghilang dari
perusahaan besar. (Sumber: diunduh dari internet 12042011).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 203


Banjarmasin)
Lampiran: Penelitian Akuntansi Forensik

AKUNTANSI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA KORUPSI

(oleh I DEWA NYOMAN WIRATMAJA)


Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana

ABSTRACT
Corruption has become a phenomenal issue and always interesting to discuss in
Indonesia. Corruption has been considered as the root cause of national problems, such
as high cost economy, economic growth, and investment barrier.
This article focuses on the chance of implementing forensik accounting concept in
providing evidence to support court decision. The discussion aims to review the role of
forensik accounting through preventive, detective, and corrective approaches to prevent
and handle corruption in Indonesia. Cressey’s model of fraud triangle is used to map
forensik accounting roles in preventing corruption.
Keywords: fraud triangle, corruption, evidence, court.

I. PENDAHULUAN

           Menjamurnya praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia


sangat ironis dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga
pemerintahan seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti
MTI dan ICW. Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan
korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi yang sudah
menggejala.

            Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang


disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Capture Theory menyatakan bahwa segala
sesuatunya di atas kertas secara yuridis formal adalah sah dan legal. Sayangnya pada
tataran realitasnya teori ini banyak disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan
beberapa pihak. Pendekatan akuntansi forensik akan sangat membantu dalam
menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan
korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan
dukungan dokumen legal oleh para pelakunya.

Berbagai kasus memperlihatkan bahwa yang diutamakan dalam


mempertanggungjawabkan suatu pekerjaan adalah dalam rangka memenuhi persyaratan-
persyaratan formal yang akan diminta oleh pemeriksa. Misalnya keharusan adanya
kuitansi pengeluaran, daftar hadir rapat untuk pembayaran honor atau tiket pesawat
terbang dan bording pass dalam kasus-kasus pertanggungjawaban belanja. Dokumen-
dokumen formal yang disiapkan atau khusus disiapkan untuk mengesankan bahwa secara
yuridis formal sebuah belanja adalah legal padahal didalamnya ada upaya rekayasa dengan
dokumen fiktif, konspirasi pelaksanaan tender atau mark up.

            Dihadapkan pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik dan


melembaga seperti yang dijelaskan oleh capture theory membuat upaya dan strategi
pemberantasan korupsi menjadi semakin rumit. Strategi dalam pemberantasan korupsi

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 204


Banjarmasin)
setidaknya harus memuat dua persyaratan yaitu adanya komitmen politik nasional untuk
memberantas korupsi dan adanya sejumlah aktivitas yang dapat dilihat oleh masyarakat
luas sebagai entry-point atau pintu masuk pemberantasan korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah memuat komitmen


politik secara resmi. Demikian pula komitmen politik rakyat secara konkrit telah
dibuktikan dalam  banyak kegiatan unjuk rasa, demonstrasi, diskusi, pernyataan pendapat,
analisis dan saran-saran yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat yang menyatakan
agar segera dihapuskannya praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Berkaitan dengan entry-point diperlukan adanya strategi pemberantasan korupsi


nasional yang disosialisasikan kepada masyarakat luas serta adanya upaya nyata untuk
memperkuat lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk pemberantasan korupsi.
Berikutnya adalah tersedianya profesional dengan kompetensi memadai untuk melacak
dan membuktikan suatu kejadian korupsi. Kompetensi profesional yang dilindungi oleh
lembaga profesi khususnya profesi akuntan forensik belum ada dan belum digunakan
dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus korupsi di Indoensia. Artikel ini mengkaji
strategi pemberantasan korupsi serta potensi dari akuntansi forensik sebagai ilmu dan
akuntan forensik sebagai profesi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Artikel ini
memfokuskan pembahasan pada peran akuntansi forensik dalam upaya pengungkapan dan
penyelesaian kasus korupsi melalui pemutusan mata rantai model segi tiga kecurangan
fraud triangle dari Donald R. Cressy.

II. KAJIAN PUSTAKA

Konsep akuntansi forensik, korupsi, strategi pemberantasan korupsi fraud triangle


serta penelitian empiris tentang korupsi dibahas untuk mengkonstruksi pembahasan peran
akuntansi forensik dalam pemberantasan korupsi. Akuntansi forensik sebagai aplikasi
ilmu akuntansi diarahkan untuk mampu menyediakan informasi, bukti dan pembuktian
yang memadai untuk debat pada persidangan di pengadilan.

Akuntansi Forensik
Terminologi akuntansi forensik dibahas untuk referensi dalam formulasi strategi
pemberantasan korupsi. Forensic Accounting, Forensic Investigation, Forensic Audit dan
Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi
forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan
pencegahan tindak pidana korupsi. Beberapa terminologi ini dibahasa sebagai berikut.

Forensic Accounting
Forensic accounting, provides an accounting analysis that is suitable to the court which
will form the basis for discussion, debate and ultimately dispute resolution. Akuntansi
forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di
pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan
pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang
untuk menyediakan analisis dan bukti memeadai atas suatu asersi yang nantinya dapat
dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan.

Forensic Investigation

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 205


Banjarmasin)
The utilization of specialized investigative skills in carrying out an inquiry conducted in
such a manner that the outcome will have application to a court of law.   A Forensik
Investigation may be grounded in accounting, medicine, engineering or some other
discipline. Investigasi forensik pemanfaatan keterampilan khusus dalam penyelidikan
untuk menyelesaikan suatu permintaan pemeriksaan yang hasilnya akan mempunyai
aplikasi atau digunakan untuk kepentingan di pengadilan. Suatu penyelidikan forensik
mungkin didasarkan pada akuntansi, obat kedokteran, rancang-bangun atau beberapa
disiplin lain. Prinsipnya forensik investigasi merupakan penerapan tekink-teknik auditing
yang ditujukan dan dirancang khusus untuk mencari atau menemukan bukti dan
pembuktian atas suatu perngungkapan keuangan yang nantinya dapat digunakan dalam
proses persidangan di pengadilan.

Forensik Audit
An examination of evidence regarding an assertion to determine its correspondence to
established criteria carried out in a manner suitable to the court. Suatu pengujian
mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan nuntuk
menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk
kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit forensik lebih menekankan proses pencarian
buki serta penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut dengan ukuran pembuktian
yang dibutuhkan untuk proses persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari
penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan
persidangan di pengadilan.

Litigation Support
"Litigation Support", provides assistance of an accounting nature in a matter involving
existing or pending litigation.  It deals primarily with issues related to the quantification
of economic damages.  A typical litigation support assignment would be calculating the
economic loss resulting from a breach of contract. Litigation support menyediakan
bantuan dari pengetahuan akuntansi dalam hal menyatakan ada atau menunda proses
pengadilan terutama mengenai isu yang berhubugna dengan kuantifikasi dari kerusakan
ekonomi. Jenis dukungan pengadilan menyediakan dukungan menganai perhitungan
kerugian ekonomi dari dilanggarnya suatu kontrak atau tugas public yang idbebankan
kepada seseorang karena jabatannya.

Korupsi

a) Pengertian Korupsi
          
Menurut Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan barang-barang
milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai
negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan
masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya
atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.
Untuk kasus seperti ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi
memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.
            
Menurut Adji (1996) berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai
kejahatan yang memiliki konteks pembangunan pengertian korupsi tidak lagi hanya
diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan)

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 206


Banjarmasin)
dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan.
Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti
bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk
dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh
hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax
evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and
misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan
berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang
tak terlihat). Istilah invisble crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang
sulit dibuktikan maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.
            
Glendoh (1997) berpendapat bahwa korupsi direalisasi oleh aparat  birokrasi
dengan perbuatan menggunakan dana kepunyaan negara untuk kepentingan pribadi yang
seharusnya digunakan untuk kepentingan umum. Korupsi tidak selalu identik dengan
penyakit  birokrasi pada instansi pemerintah,  pada instansi swasta pun sering terjadi
korupsi yang dilakukan oleh birokrasinya, demikian juga pada instansi koperasi. Korupsi
merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak
sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korps dan tempat bekerja para birokrat. Korupsi
dalam kaitannya dengan birokrasi dapat berpenampilan dalam bentuk, kolusi, nepotisme,
uang pelancar, dan uang pelicin.
            
Masih menurut Glendoh (1997), kolusi adalah sebuah persetujuan rahasia di antara
dua  orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan melalui persekongkolan
antara beberapa pihak untuk memperoleh berbagai kemudahan untuk kepentingan mereka
yang melakukan persekongkolan. Nepotisme adalah kebijaksanaan mendahulukan
saudara, sanak famili serta teman-teman. Nepotisme dapat tumbuh subur di Indonesia
karena budaya partrimonial yang lengket sejak jaman dahulu. Sedangkan uang pelancar
sering timbul karena tata cara kerja dan kebiasaan dalam kantor-kantor pemerintah sangat
berbelit-belit dan berlambat-lambat, sehingga keinginan untuk menghindari kelambatan
ini merangsang pertumbuhan kebiasaan-kebiasaan tidak jujur. Uang pelicin merupakan
bentuk korupsi yang sudah umum terutama dalam hubungan dengan hal-hal pemberian
surat keterangan, surat ijin dan sebagainya. Biasanya orang-orang yang menyogok dalam
hal ini tidak menghendaki agar peraturan-peraturan yang ada dilanggar. Hal yang
diinginkan adalah supaya berkas-berkas surat dan komunikasi cepat berjalan, sehingga
keputusan dapat diambil dengan cepat pula.
            
Menurut Silalahi (1997) korupsi bukan hanya terjadi pada aparatur pemerintahan,
korupsi di kalangan pegawai swasta malah jauh lebih besar, seperti terjadinya kredit macet
di sejumlah bank swasta yang disebabkan oleh adanya kolusi antara direktur bank dengan
pengusaha. Di samping itu korupsi di kalangan aparatur negara tidak semata-mata
disebabkan oleh gaji yang kecil, sebab yang justru melakukan korupsi secara besar-
besaran adalah mereka yang bergaji besar akan tetapi tidak puas dengan apa yang diterima
sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan.       
 
Pendapat lain mengatakan bahwa korupsi di negara-negara berkembang biasanya
terjadi, karena ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan petugas atau
pejabat negara (Mugihardjo,1997). Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dapat
terjadi di negara-negara berkembang, sebab pengertian demokrasi lebih banyak ditafsirkan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 207


Banjarmasin)
dan ditentukan oleh penguasa daripada ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir di negara-
negara berkembang tersebut.
 
Masood Ahmed (1997), direktur pengurangan kemiskinan  dan manajemen
ekonomi Bank Dunia, mengingatkan negara-negara miskin bahwa  korupsi merupakan
perintang utama pertumbuhan ekonomi, karena korupsi membuat para investor
menyingkir. Bukti-bukti yang berkembang menunjukkan, korupsi di negara-negara sedang
berkembang menjadi penghambat utama investasi sektor swasta dan bagaimana
seharusnya jalan hidup rakyat biasa.

Sejalan dengan itu Fred Bergsten, Direktur Insttitute for International Economics
dari Amerika Serikat (Kompas,1996) berpendapat bahwa korupsi tidak hanya bisa
mengganggu perturnbuhan negara yang bersangkutan, tetapi juga bisa menjadi
penghambat upaya mewujudkan perdagangan bebas dunia. Bergsten juga menegaskan
bahwa dari hasil penelitian terhadap 78 negara maju dan berkembang diketahui adanya
korelasi langsung antara tingkat korupsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Semakin
bersih suatu negara dari korupsi, semakin tinggi pula peluang negara itu untuk bisa
menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Beberapa praktik korupsi yang disoroti
Bergsten yang cukup menonjol adalah proses tender untuk pengadaan barang-barang bagi
keperluan pemerintah (government procurement) yang tidak transparan dan suap dalam
kontrak-kontrak pemerintah.

b. Tipologi korupsi

Untuk kepentingan perumusan strategi pemberantasan korupsi dipandang perlu


untuk terlebih dahulu mengenali karakteristik dan jenis korupsi. Syed Hussain Alatas
(1987), seorang ahli sosiologi korupsi, membedakan jenis-jenis korupsi menurut
tipologinya sebagai berikut.

(1) Transactive corruption


Adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi
keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan
ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan
pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
(2) Exortive corruption
Jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan
hal-hal yang dihargainya.
(3) Investive corruption
Pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan 
tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan
datang.
(4) Nepotistic corruption
Penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang 
jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.

(5) Defensive corruption

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 208


Banjarmasin)
Perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka
mempertahankan diri.
(6) Autogenic corruption
Korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
Misalnya pembuatan laporan keuangan yang tidak benar.
(7) Supportive corruption
Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang
sudah ada. Misalnya menyewa preman untuk berbuat jahat, menghambat pejabat
yang jujur dan cakap agar tidak menduduki jabatan tertentu.

c. Tribalism (Structural and Sociological Nepotism) dalam praktik korupsi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar pejabat publik memiliki akar
keterkaitan yang mengarah kepada nepotism. Kecenderungan nepotisme ini dapat dilihat
dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling umum seperti ikatan kekeluargaan, college
tribalism, organizational tribalism, sampai institutional tribalism.

 (1) Ikatan kekeluargaan


Ikatan kekeluargaan merupakan bentuk nepotisme yang paling sederhana, karena
mudah dikenali. Hal ini terjadi karena biasanya ikatan kekeluargaan tercermin dari
kesamaan nama belakang atau kemiripan wajah. Memang lucu apabila diperhatikan di
jajaran pegawai negeri, terutama di kantor Pemda, banyak yang memiliki wajah yang
mirip serta nama belakang yang sama. Mereka memang dalam kehidupan sebagai rakyat
biasa adalah bersaudara.
             Lebih luas dari ikatan kekeluargaan ini adalah adanya fenomena pegawai suatu
instansi yang berasal dari suku atau suatu daerah tertentu. Sebagai contoh fenomena yang
terjadi di kantor Pemda DKI. Walaupun berganti-ganti gubernur, tetapi para pejabat
terasnya biasanya berasal dari suatu derah yang dikenal dengan sebutan “Babi Kuning”,
yaitu dari daerah Batak, Bima, dan Kuningan. Atau fenomena "pen-Jabar-an" di kantor
Depdagri pada waktu menterinya berasal dari Jawa Barat. Dan masih banyak contoh
lainnya.

(2) College Tribalism 


College Tribalism adalah bentuk nepotisme yang biasanya terjadi bilamana para
pelakunya alumni dari perguruan tinggi atau jurusan yang sama. Tidaklah aneh ketika
pimpinan suatu unit kerja adalah alumni suatu perguruan tinggi atau jurusan tertentu,
maka mereka akan merekrut sebagian besar stafnya dari alumni perguruan tinggi atau
jurusan yang sama. Bahkan, lebih jauh lagi, counterpart di instansi teknis, serta
rekanannya juga diatur sedemikian rupa sehingga merupakan rombongan dari perguruan
tinggi atau jurusan yang sama.

 (3) Organizational Tribalism


            Organizational Tribalism adalah bentuk nepotisme dimana para pelakunya adalah
sama-sama anggota suatu organisasi, seperti partai politik, organisasi profesi atau
organisasi pemuda. Bentuk nepotisme ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka
memiliki misi untuk memperjuangkan suatu kepentingan politik. Hal ini akan
menyebabkan pegawai negeri menjadi orang-orang partisan. Di samping itu, patut disadari
bahwa korupsi untuk membiayai kepentingan politik memerlukan biaya yang sangat besar.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 209


Banjarmasin)
 (4) Institutional Tribalism
            Institutional tribalism adalah bentuk nepotisme di mana para pelakunya adalah
berasal dari instansi yang sama di luar instansinya saat ini. Biasanya seorang pimpinan
yang berasal dari instansi lain akan membawa pegawai yang datang secara bergerombol
maupun bertahap. Bentuk nepotisme ini juga dicirikan dengan masih kentalnya ikatan
pegawai instansi tersebut dengan instansi asalnya.

Penelitian Empirik yang Berkaitan dengan Korupsi

Sampai dengan dekade 70-an, penelitian mengenai korupsi belum banyak


dilakukan. Hal ini diakui oleh Gunnar Myrdal (1968): "Although corruption is very much
issue in the public debate in all South Asian countries, ..., it is almost taboo as a research
logic and is rarely  mentioned in scholarly discussions of the problems of government
planning". Barulah pada dekade 90-an bermunculan penelitian empirik yang berkaitan
dengan korupsi.
             Mauro (1995) menganalisis satu set data terbaru yang berisi indek subjektif
korupsi, besarnya red tape, efisiensi sistem hukum, dan berbagai kategori stabilitas politik
negara-negara secara cross section. Menurut analisisnya, korupsi terbukti menurunkan
investasi. Oleh karena itu, menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah korupsi
kuat mengontrol endogenitas dengan mempergunakan index ethnolinguistic
fractionalization sebagai instrumen.
             Shleifer dan Vishny (1993) dalam tulisannya memaparkan dua proposisi
mengenai korupsi. Proposisi pertama, struktur kelembagaan pemerintah dan proses politik
adalah sangat penting dalam menentukan tingkat korupsi. Khususnya pemerintahan yang
lemah yang tidak mengontrol badan-badannya mengalami tingkat korupsi yang sangat
tinggi. Proposisi kedua, ilegalnya korupsi dan kebutuhan akan kerahasiaan membuatnya
makin menyimpang dan mahal dibanding pajak. Hasilnya dapat dijelaskan mengapa di
beberapa negara berkembang korupsi sangatlah tinggi intensitasnya, dan sangat mahal
dalam membebani pembangunan.
             Busse (1996) menganalisis asosiasi antara investasi luar negeri langsung forign
direct investement (FDI) dan persepsi korupsi yang dialami oleh investor potensial. Model
yang dikembangkan adalah "Market Discipline Corruption Model" (MDCM), dimana
didapati hubungan yang signifikan antara terbongkarnya korupsi dan FDI dari negara yang
diteliti. Peramal untuk MDCM sudah dikembangkan melalui informasi yang didapat dari
survei yang melibatkan 53 orang yang terlibat dalam bisnis internasional. Temuan survei
menegaskan ranking terakhir yang dipublikasikan mengenai tingkat korupsi di seluruh
dunia. Juga, survei ini mengungkapkan hubungan antara ukuran bisnis, area fungsional,
dan negara dimana bisnis dijalankan dan persepsi mengenai korupsi.
             Glynn, dkk; (1999) menganalisis bahwa di negara-negara yang tengah mengalami
masa transisi dari pemerintah otoriter kepada demokrasi dan ekonomi pasar, maka akibat-
akibat korupsi dapat menjadi lebih rumit. Korupsi telah didesentralisasikan, suap yang
tadinya dibayarkan di tingkat federal, kini dibayarkan kepada pejabat pemerintah negara
bagian.
             Ackerman (1991) berpendapat bahwa korupsi terjadi di perbatasan antara sektor
pemerintah dan sektor swasta. Apabila seorang pejabat pemerintah memiliki kekuasaan
penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya kepada sektor swasta, maka
terciptalah suatu insentif untuk penyuapan. Jadi korupsi tergantung besarnya  keuntungan
dan biaya yang berada di bawah pengendalian pejabat  pemerintah.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 210


Banjarmasin)
             Johnston (1999) mengatakan bahwa korupsi cenderung  menyertai perubahan
ekonomi dan politik yang cepat. Definisi korupsi  pada umumnya sebagai salah satu
penyalahgunaan  peranan atau sumber daya publik atau menggunakan bentuk-bentuk
pengaruh politik secara tidak sah oleh pihak publik atau swasta.

III PEMBAHASAN

5. Pendekatan Perumusan Strategi dalam Upaya Pembrantasan Korupsi

            Analisis atas perbuatan-perbuatan korupsi dapat didasarkan pada berbagai pilihan


pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan strategi
untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang tepat. Praktik korupsi dapat dilihat
berdasarkan aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan
korupsi terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah perbuatan
korupsi terjadi.
Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya bersifat
preventif. Pada posisi perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi
terjadinya korupsi bersifat detektif. Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi
terjadi upaya untuk meyelesaikannya secara hukum dengan sebaik-baiknya bersifat
represif.
             Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal
yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang
teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab
korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi.
Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat
diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan
korupsi dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan
menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul.
Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi  hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam praktik korupsi. Dengan demikian, proses penanganan korupsi sejak
dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dilkaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses penanganan tersebut akan
dapat dilakukan secara cepat dan tepat.
Akntansi forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik
dapat mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatan-pendektan yang efektif
dalam mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi.
Untuk kepentingan ini akuntansi forensik di indoensia belum banyak digunakan karena
profesi akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai
salah satu profesi akuntan.
Akuntansi forensik dan profesi akuntan forensik yang di negara-negara maju
mengambil peran strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di
Indonesia belum begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum
ditetapkannya standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik
dalam kurikulum perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan
akuntan forensik merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 211


Banjarmasin)
secara khusus dalam kurikulumnya memberikan dasar-dasar ilmu hukum khusus yang
berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.

6. Peran dan Tantangan Akuntansi Forensik untuk Pemberantasan


Korupsi dalam Persfektif Fraud Triangle

Fraud triangle adalah model yang menjelaskan alasan orang melakukan fraud
termasuk korupsi yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressy dalam
disertasinya. Penelitian Cressy diarahkan untuk mengetahui penyebab dari orang-orang
memutuskan untuk melakukan pelanggaran ”trust violator”. Penelitiannya menggunakan
200 orang responden yang terdiri dari orang-orang yang secara ansih telah diputuskan oleh
pengadilan sebagai pelaku fraud. Hasil penelitiannya adalah, orang melakukan fraud
didorong oleh tiga hal yang disebutnya sebagai fraud triangle yaitu pressure, perceived
oppertunity dan rationalitation.
Cressy dalam disertasinya membahas bahwa seseorang melakukan penggelapan
karena didorong oleh kebutuhan akan uang yang mendesak dan tidak mungkin diceritakan
kepada orang lain. Himpitan yang mendesak dan perasaan bahwa tidak ada orang yang
dapat membantu dalam temuan Cressy dikenal dengan perceived non-shareble need.
Situasi yang memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy
dikelompokan menjadi enam yaitu violation of ascribed obligation, problem resultig from
personal failure, business reversals, pysical isolation, status gaining dan employer-
emloyee relation. Ini berarti perceived non-shareble need tidak hanya berhubungan
dengan kebutuhan hidup yang mendesak akan tetapi lebih pada kebutuhan untuk
memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sudah ada.
General information dan technical skills adalah dua dimensi utama yang
dipandang oleh pelaku fraud sebagai peluang. Untuk melakukan fraud seseorang tidak
cukup hanya dengan dorongan tekanan kebutuhan. Informasi yang dimiliki membentuk
keyakinan bahwa karena kedudukan dan kepercayaan institusi yang melekat pada dirinya
maka fraud yang dilakukannya tidak akan diketahui. Untuk melakukan fraud atau korupsi
komponen berikutnya dari opportunity adalah kemampuan atau keahlian untuk
melakukannya. Tanpa kemampuan yang memadai menyembunyikan fraud atau korupsi
tentu tidak mungkin untuk dilakukan apalagi untuk kasus-kasus korupsi yang bersifat
sistemik.
Sisi segitiga fraud yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan
tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan yang menghimpitnya tentu terlebih
dahulu akan mencari alasan pembenar atas tindakannya. Alasan pembenar merupakan
motivator yang penting dalam pengambilan keputusan utuk melakukan tindakan ilegal.
Alasan-alasan seperti saya akan melakukan korupsi karena toh orang lain juga melakukan,
saya pantas melakukan korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas
perjuangan saya adalah bebrapa alasan yang cukup sering dilontarkan oleh koruptor.
Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan
menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud
triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan
forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa
ada peluang untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan
mampu mengungkapkannya.
Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk
transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption,
exortive corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 212


Banjarmasin)
kompeten yang akan menginvestigasi. Dalam kontek ini akuntansi forensik berperan
sebagai strategi preventif untuk mencegah tindak pidana korupsi karena ada kekawatiran
dari pelaku bahwa korupsi yang dilakukan dengan mudah akan terungkap oleh para
akuntan forensik.
Akuntansi forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan
tindak pidana korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi
dalam audit forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik yang
sejak awal memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk
kepentingan persidangan di pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih
bermanfaat dibandingkan dengan audit umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan.
Dalam kontek strategi detektif audit forensik menrapkan prosedur-prosedur investigasi
unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan
transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat
atau modus operandi dari pelakunya.
Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan
penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum
memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk
menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian
dari profesi akuntan di Indoensia khususnya dari kompartemen akuntan pendidik maupun
kompartemen lainnya. Perhatian tersebut dapat berupa sumbangan kajian empiris atau
konseptual mengenai bagaimana kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di
Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan dan kurikulum ideal untuk menghasilkan
tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk
menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle yang mendorong orang
melakukan tindakan korupsi di Indonesia.

IV. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(1) Akuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai


strategi preventif, detektif dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik
dan audit investigatif yang bersifat litigation suport untuk menghasilkan temuan dan
bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan putusan di pengadilan.
(2) Belum tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensik dan audit
forensik memerlukan upaya dari institusi penyelenggara pendidikan dalam
menyediakan kurikulum yang membekali lulusan dengan kompetensi akuntansi
forensik.
(3) Belum tersedianya lembaga dan standar profesi auditor dan akuntan forensik
merupakan tantangan bagi profesi akuntansi di Indonesia untuk mengoptimalkan
peran profesi dalam penanganan masalah nasional khususnya pengungkapan dan
penanganan kasus korupsi.

Saran
Mengacu dari pembahasan dan simpulan maka dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut.
(1) Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang
bertujuan untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik
di Indonesia.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 213


Banjarmasin)
(2) Kepada praktisi akademis dapat disarankan untuk merancang kurikulum pendidikan
yang memungkinkan untuk dihasilkannya tenaga akuntan forensik yang kompeten.
(3) Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan
relevansi model fraud triangle sebagai penyebab tindakan orang melakukan tindakan
korupsi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Achwan, Rochman. 2000. "Good Governance: Manifesto Politik Abad ke 21". Kompas,
28 Juni 2000
Ackerman, Susan Rese. 1999. "Ekonomi Politik Korupsi" dalam Elliott, Kimberly Ann,
Ed (19;X9) Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Adji, Indriyanto Seno. 1999. "Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif". Kompas
Online, http www kompas com/9709/25/OPINIl menu html.
Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
BPKP .1999. "Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional," Jakarta, Maret.
Busse, Laurence. 1996. "The Perception of Corruption: A Market Discipline Corruption
Model (MDCM)." Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia
U.S.A, http://userwww.service.emory.edu/%20tyavero/ip/project2.html.
Drake, Earl .1991. "Government and Business Relations in Indonesia". Simon Fraser
University at Harbour Center, David See-Chai Lam Center for International
Communication, Seminar, April 30, 1991.
Gatra Info Service. 1996. "Korupsi: Menurun atau Kian Canggih," http://www.
%20%20gatra.com/II/3l/l3.%20html
Glendoh, S.H. 1997. "Kejahatan Korupsi." http ://www.petra..ac.id/english/science/
social/korup.html
Glynn, Patric et.al. 1999 "Globalisasi Korupsi" dalam Elliott, Kimberly Ann, Ed (1999)
Hasibuan, Sayuti. 2000. "Ngobrol dengan Pak Sayuti 22 Agustus 2000"
Johnston, Michael. 1999. "Pejabat Pemerintah, Kepentingan Swasta, dan Demokrasi
Berkelanjutan: Ketika Politik dan Korupsi Bertemu" dalam Elliott, Kimberly Ann, Ed
(1999) Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kian Gie, Kwik. 1997. "Korupsi Akar Masalah Defisit Transaksi Berjalan." Kompas
Online, http ://www.kompas. com/9709/23/EKONOMI/koru. html
Kompas (1996) "Tingkat Korupsi Indonesia Nomor Tiga", Kompas Online, http://www
%20.kompas.com/9604/10/LN/ting.%20html
Kompas. 1996. "WTO Bahas Isu Korupsi,"
http://www.kompas.com/9604/25/%20UTAMA/wtob.html
Lubis, Mochtar dan Jarnes C. Scott ed. 1988. "Bunga Rampai Korupsi." Jakarta: LP3ES.
Mauro, Paolo (1995) "Corruption and Growth." Quarterly Journal of Economics. August,
pp 681—712.
Media Indonesia Online. 1997. "Korupsi Membuat Investor Menyingkir, Pertemuan Bank
Dunia-IMF Ditutup" http //www.rad.net.id/online/mediaind/publik/ 9709/26/MIOI
-04.26.html
Mugirahardjo. 1997. "Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberalisasi." Suara Pembaruan
Online, http:www.suarapembaruan.com/News/1997/02/250297/OpEd/opdO1/ opd01.
html1
Saefuddin, Ahmad Muflih .1997. "Korupsi Struktural." Gatra Info Service. http ://www
gatra.com/III/28/kol6-28.html

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 214


Banjarmasin)
Shleifer, Andrei and Robert. W. Vishny. 1993. "Corruption," Quarterly of Journal
Economy. Vol.CVIII, August 1993. MIT Press, Cambridge, Massachusetts, pp 598—
617.
Silalahi, T.B. 1997. "Tak  Perlu Dibentuk Badan Antikorupsi," Kompas
Online. http:.//www-kompas.com/9706/23/POLITIK/tak-html
Sukardi, Laksamana. 1997 "Kalau Korupsi Bersifat Endemik, Perizinan Menjadi
Komoditas." LPSI Online, http://www.lpsi.org/analisis/160897%20/laks.html
Singgih, Jaksa Agung (1997) "Korupsi Bisa Jadi Penyebab Tergulingnya Pemerintahan”.
Kompas 30 Oktober 1997
Solihin, Dadang. 1996. "Indonesia: Corruption and Growth." Final Paper Assignment
ECON 6770-Fall 1996, Department of Economics, University of Colorado. Denver.
Wibisono, Christianto. 1999. "Defisit Transaksi, Kolusi dan Korupsi," Suara Pembaruan
Online,http://www.suarapembaruan.com/News/1996/12/021296/Headline/hl4/hl4.html
Yakup, Bahrul Ilmi .1996. "Kualitas Pengadilan Indonesia Terburuk di Asean." Republika
Online, http://www republika. co. id./last/1608-kum. bah.html.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 215


Banjarmasin)
LAMPIRAN 1:

LAPORAN KEUANGAN PERBANKAN SYARIAH

Tujuan Laporan Keuangan: menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja


dan perubahan posisi keuangan untuk pengambilan keputusan ekonomi yang rasional dan
sesuai dengan prinsip syariah.

Elemen laporan keuangan:


1. Neraca.
2. Laporan Laba Rugi.
3. Laporan Perubahan Ekuitas.
4. Laporan Arus Kas.
5. Laporan Perubahan Investasi Terikat (Mudharabah Muqayyadah).
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS.
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh (Qardhul Hasan).
8. Catatan Atas Laporan Keuangan.

Pemakai yang berkepentingan atas laporan keuangan:


1. Pemilik dana (shahibul maal),
2. Kreditur,
3. Pembayar zakat (muzaki), infaq, dan sadaqah,
4. Pemegang saham (investor),
5. Otoritas pengawasan (Dewan Pengawas Syariah),
6. Bank Indonesia,
7. Pemerintah,
8. Lembaga penjamin pinjaman (trustee) dan
9. Masyarakat (PAPSI, 2003, 1.2).

Pedoman Penyusunan Pengungkapan Laporan Keuangan Perbankan Syariah:


1. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (PAPSI)
2. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Umum, Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Perbankan Syariah, PSAK
umum, PSAK LKS (Lembaga Keuangan Syariah) No.100-109/2009 dan
Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (ISAK).
3. Accounting, Auditing, and Governance Standards for Islamc Financial Institutions
yang diterbitkan oleh AAOIFI Bahrain tahun 2001.
4. International Accounting Standard (IAS), SFAS yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
5. Peraturan perundang-undangan yang relevan dan praktik akuntansi yang berterima
umum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, (PAPSI, 2003, 1.3).

Prinsip Dasar Penyajian Laporan Keuangan:


1. konsistensi penyajian,
2. materialitas dan agregasi,
3. saling hapus (offsetting),
4. periode pelaporan,
5. informasi komparatif, dan

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 216


Banjarmasin)
6. relevansi.

Keterbatasan Laporan Keuangan (PAPSI, 2003, 11.17):


1. bersifat historis,
2. bersifat umum,
3. bersifat konservatif,
4. bentuk formalitas,
5. menggunakan istilah bahasa teknis,
6. menggunakan pertimbangan dan estimasi
7. melaporkan informasi material saja,
8. beragammnya metoda akuntansi, hingga menimbulkan variasi pengukuran sumber
daya ekonomis, dan.
9. informasi bersifat kualitatif dan fakta tidak dapat dikuantifikasikan umumnya
diabaikan.

BANK SYARIAH MEMILIKI FUNGSI SEBAGAI BERIKUT:


1. Manajer Investasi, dapat mengelola investasi atas dana nasabah,
menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi.
2. Investor, melakukan investasi dana bank syariah atau dana nasabah,
berdasarkan prinsip bagi hasil.
3. Penyedia jasa keuangan dan lalulintas pembayaran.
4. Pengemban fungsi sosial, dalam bentuk pengelolaan dana ZIS dan pinjaman
kebajikan (qardhul hasan) sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
berlaku.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 217


Banjarmasin)
NERACA
BANK SYARIAH …………………………
Per 31 Desember 2011 dan 2012

2011 2012 2011 2012


(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
ASET: KEWAJIBAN, INVESTASI
TERIKAT, DAN EKUITAS:
1. Kas
1. Kewajiabn segera
2. Penempatan pada Bank
2. Bagi hasil yang belum
Indonesia
dibagikan
3. Giro pada bank lain
3. Simpanan:
4. Penempatan pada bank lain
a. Giro Wadiah
5. Investasi pada efek/surat
b. Tabungan Wadiah
berharga
4. Simpanan dari bank lain:
6. Piutang:
a. Giro Wadiah
a. Murabahah
b. Tabungan Wadiah
b. Salam
5. Hlaibilitas:
c. Istishna
a. Salam
7. Pembiayaan Mudharabah
b. Istishna
8. Pembiayaan Musyarakah
c. Kewajiban lain
9. Pinjaman Qard
6. Kewajiban dana investasi
10. Penyaluran Dana Investasi
terikat (Executing)
Terikat (Executing)
7. Hlaibilitas Pajak
11. Penyisihan keugian
8. Estimasi kerugian
penghapusbukuan aset produktif
komitmen dan kontijensi
12. Sediaan
9. Pinjaman yang diterima
13. Tagihan atas kewajiban
10. Pijaman Subordinasi
akseptasi
14. Ijarah
INVESTASI TIDAK TERIKAT:
15. Aset istishan dalam
1. Investasi tidak terikat dari
penyelesaian
bukan bank:
16. Penyertaan pada entitas lain
a. Tabungan
17. Aset Tetap dan Akumulasi
Mudharabah
Penyusutan
b. Deposito
18. Pilaibilitas pendapatan bagi
Mudaharabah
hasil
2. Investasi tidak terikat dari bank:
19. Pilaibilitas pendapatan Ijarah
a. Tabungan
20. Aset lainnya
Mudharabah
b. Deposito
Mudaharabah

EKUITAS:
1. Modal disetor
2. Tambahan modal disetor
3. Saldo laba/rugi

TOTAL KEWAJIBAN, INVESTASI


TOTAL ASET xxx xxx xxx xxx
TIDAK TERIKAT DAN EKUITAS

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 218


Banjarmasin)
LAPORAN LABA RUGI
BANK SYARIAH ………………………………..
Untuk periode yang berakhir s.d. 31 Desember 2012

Pendapatan Operasi Utama:


1) Pendapatan dari jual beli: xxx
a. Pendapatan margin murabahah xxx
b. Pendapatan salam paralel
c. Pendapatan istishna paralel
i) pendapatan istishna xxx
ii) harga pokok istishna (xx)
Pendapatan bersih istishna paralel xxxxx
2) Pendapatan dari sewa:
a. pendapatan sewa xxx
b. keuntungan pelepsan aset ijarah xxx
c. keuntungan lainnya xxx
TOTAL PENDAPATAN SEWA xxxx
xxx
d. Beban penyusutan aset ijarah
xxx
e. Beban pemeliharaan aset ijarah
xxx
f. Beban sewa aset ijarah
xxx
g. Rugi pelepasan aset ijarah
xxxx
TOTAL BEBAN SEWA
xxxx
Pendapatan bersih sewa
3) Pendapatan dari bagi hasil
a. Pendapatan bagi hasil murabahah xxxx
b. Pendapatan bagi hasil musyarakah xxxx
Total pendapatan dari bagi hasil xxxx
4) Pendapatan operasi utama lainnya
a. Pendapatan bonus SWBI xxx
b. Bagi hasil Sertifikat IMA xxx
c. Surat berharga syariah lainnya xxx
Total pendapatan operasi utama xxx
xxxx
Total pendapatan operasi utama
5) Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi (xxx)
tidak terikat xxxx
Pendapatan bank sebagai mudharib
6) Pendapatan operasi lainnya:
a. Pendapatan fee hiwalah xxx
b. Pendapatan fee rahn xxx
c. Pendapatan fee kafalah xxx xxx
d. Pendapatan fee wakalah xxx
e. Pendapatan fee investasi terikat xxx
f. Penerimaan kelebihan qard xxx
g. Pendapatan adminsitarsi
Total pendapatan operasi lainnya xxxx
7) Beban operasi lainnya:
a. Beban bonus wadiah xxx
b. Beban bagi hasil sertifikat IMA xxx
c. Kerugian penurunan aset xxx xxx
d. Beben penyisihan kerugian aset produktif xxx
e. Beban penyusutan aset tetap xxx
f. Beban transaksi valuta asing xxx
g. Beban premi dalam rangka penjualan xxx
h. Beban sewa xxx
i. Beban promosi xxx
j. Beban administrasi dan umum
Total beban operasi lainnya (xxx)
8) Pendapatan non-operasi xxxx
9) Beban non-operasi (xxx)
10) Zakat (xxx)
11) Pajak (xxx)
Laba bersih setelah zakat dan pajak xxxxx

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 219


Banjarmasin)
LAPORAN ARUS KAS
BANK SYARIAH …………………………………
Untuk periode yang berakhir s.d. 31 Desember 2011 dan 2012

2011 2012
Arus kas dari Aktivitas Operasi: xxxx xxxx
Laba/rugi bersih
Penyesuaian untuk merekonsiliasi laba/rugi bersih menjadi kas bersih dari
kegiatan operasi:
Penyusutan aset tetap
Penyisihan kerugian (pembalikan atas penyisihan) untuk:
Giro pada bank lain xxxx xxxx
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Efek-efek xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Sediaan xxxx xxxx
Aset xxxx xxxx
Penyertaan xxxx xxxx
Aset lain xxxx xxxx
Penyisihan atas penurunan nilai pasar surat-surat berharga xxxx xxxx
Laba penjualan aset tetap xxxx xxxx
Pendapatan dividen xxxx xxxx
Amortisasi biaya emisi saham xxxx xxxx
Amortisasi aset tidak berwujud xxxx xxxx
Selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan xxxx xxxx
Perubahan aset dan kewajiban operasi:
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Surat berharga xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Aset lain-lain xxxx xxxx
Simpanan:
Giro xxxx xxxx
Tabungan deposito berjangka xxxx xxxx
Sertifikat deposito xxxx xxxx
Kewajiban segera lainnya xxxx xxxx
Laibilitas pajak xxxx xxxx
xxxx xxxx
Kewajiban lain
Kas bersih diperoleh (digunakan untuk) kegiatan operasi xxxx xxxx

Arus kas dari Aktivitas Investasi:


Penyertaan saham xxxx xxxx
Perolehan aset tetap xxxx xxxx
Selisih kurs penjabaran lap. keuangan untuk aset tetap xxxx xxxx
Hasil penjualan aset tetap xxxx xxxx
Penerimaan dividen xxxx xxxx
Kas bersih diperoleh (digunakan untuk) kegiatan investasi xxxx xxxx

Arus kas dari Aktivitas Pendanaan:


Kenaikan (penurunan) pinjaman yang diterima xxxx xxxx
Hasil penerbitan saham xxxx xxxx
xxxx xxxx
Pembayaran dividen
Kas bersih diperoleh (dugunakan untuk) kegiatan pendanaan xxxx xxxx

Kenaikan bersih kas dan setara kas xxxx xxxx


Kas dan setara kas awal tahun xxxx xxxx
Kas dan setara kas akhir tahun xxxx xxxx

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 220


Banjarmasin)
LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS
BANK SYARIAH ……………………………………..
Untuk periode yang berakhir s.d. 31 Desember 2011 dan 2012

Cat. Modal Tamba Selis Selisih Pendap Selis Saldo laba Saldo Total
Saham han ih penilai atan kurs yang telah laba yg moda
ditemp modal penil an kompre karena ditentukan belum l
atkan disetor aian wajar hensif penjab pengunaanny ditentu bersi
dan kem efek yg lain aran a kan h
Uraian disetor bali tersedi laporan Cad. Cad. penggu
aset a untuk keuang Tuju Umu nannya
tetap dijual n an m
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

Saldo pada tanggal


xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
31 Januari 2009
Penyesuaian
sehubungan dengan
penerapan kebijakan xxx xxx
akuntansi baru atas PPh
Saldo pada tanggal 1
Jnauri 2010, disajikan xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
kembali
Pengunaan selama
(xxx) (xxx)
tahun berjalan
Ditentukan untuk
xxx xxx (xxx)
cadangan tujuan
Ditentukan untuk
(xxx)
cadangan umum
Pembagian dividen (xxx) (xxx)
Rugi bersih selama
(xxx) (xxx)
tahun berjalan
Saldo pada tanggal 31
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Desember 2009
Hasil penerbitan saham
dari penawaran umum
terbatas kepada para xxx xxx
pemegang saham
Penambahan selama
xxx
tahun berjalan
Ditentukan untuk
xxx xxx (xxx)
cadangan tujuan
Rugi bersih selama
(xxx) (xxx)
tahun berjalan
Saldo pada tanggal 31
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Desember 2010

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 221


Banjarmasin)
LAPORAN PERUBAHAN DANA INVESTASI TERIKAT
BANK SYARIAH ………………………………………..
Untuk periode yang berakhir s.d. 31 Desember 2011 dan 2012

Portofolio A Portofolio B Total


Uraian
2011 2012 2011 2012 2011 2012
Saldo awal xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx
Jumlah unit investasi awal periode unit unit unit unit unit unit
Nilai per unit investasi xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit
Penerimaan dana xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx
Penarikan dana (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx)
Keuntungan (rugi) investasi xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx
Biaya administrasi (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx)
Fee bank sebagai agen/manajer investasi (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx) (xxxx)
Saldo investasi pada akhir periode xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx
Jumlah unit investasi akhir periode unit unit unit unit unit unit
Nilai unit investasi akhir periode xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit xx/unit

LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA ZIS


BANK SYARIAH ………………………………………
Untuk Tahun 2011 dan 2012

Uraian Catatan 2011 2012


(Rp) (Rp)
Sumber dana ZIS
Zakat dari bank xxxx xxxx
Zakat dari luar bank xxxx xxxx
Infaq dan shadaqah xxxx xxxx
Total sumber dana xxxx xxxx
Pengunaan dana ZIS:
Fakir xxxx xxxx
Miskin xxxx xxxx
Amil xxxx xxxx
Orang yang baru masuk islam (muallaf) xxxx xxxx
Orang yang terlilit hlaibilitas (gharim) xxxx xxxx
Hamba sahaya (riqab) xxxx xxxx
Orang yanmg berjihad (fisabillillah) xxxx xxxx
Orang yang dalam perjalanan (ibnusabil) xxxx xxxx
Total penggunaan xxxx xxxx
Kenaikan (penurunan) sumber atas penggunaan

Sumber dana ZIS pada awal tahun xxxx xxxx


Sumber dana ZIS pada akhir tahun xxxx xxxx

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 222


Banjarmasin)
LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA QARD
BANK SYARIAH …………………………………….
Untuk Tahun 2011 dan 2012

2011 2012
Uraian Catatan
(Rp) (Rp)
Sumber dana Qard
Infaq dan shadaqah xxxx xxxx
Denda xxxx xxxx
Sumbangan/hibah xxxx xxxx
Pendapatan non halal xxxx xxxx
Total sumber dana xxxx xxxx
Pengunaan dana Qard:
Pinjaman xxxx xxxx
Sumbangan xxxx xxxx

Total penggunaan dana Qard xxxx xxxx


Kenaikan (penurunan) sumber atas penggunaan

Sumber dana Qard pada awal tahun xxxx xxxx


Sumber dana Qard pada akhir tahun xxxx xxxx

CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN


Unsur catatan atas laporan keuangan perbankan syariah, terdiri dari:

1. Gambaran Umum Bank Syariah


o pendirian bank syariah
o riwayat ringkas bank
o nomor dan tanggal akte pendirian
o bidang usaha utama sesuai anggaran dasar dan rumah tangga
o tempat kedudukan bank syariah
o tanggal mulainya operasi
o karyawan, direksi, dan dewan komisaris
o Dewan Pengawas Syariah (DPS)
o struktur kepemilikan bank syariah
o hubungan kepemilikan anak perusahaan dengan bank syariah

2. Ikhtisar kebjakan akuntansi:


o Dasar pengukuran dan penyusunan laporan keuangan
o Kebijakan akuntansi (judgment of accounting)
o Perubahan kebijakan akuntansi, estimasi, dan kesalahan mendasar

3. Penjelasan atas akun (pos-pos) laporan keuangan


4. Informasi penting lainnya (informasi material).

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 223


Banjarmasin)
Lampiran 2:
KODE ETIK
IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Pendahuluan

Pemberlakuan dan Komposisi


Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan
aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik,
bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di
lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab
profesionalnya. .

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan


standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi,
dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan terse
but terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem
informasi.

• Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat


diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di
bidang akuntansi.

• Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang


diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.

• Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa


terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh
akuntan.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip
Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika
memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur
pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika
disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan
Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat
anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika
merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh
Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-
pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan
Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai
Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan
interpretasi baru untuk menggantikannya.

Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam
masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan
tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga
ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 224


Banjarmasin)
publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan
pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap
anggota yang tidak menaatinya.
Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang
ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau
menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 225


Banjarmasin)
PRINSIP ETlKA PROFESI
IKATAN AKUNTAN INDONESIA
Mukadimah

01. Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela.


Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban
untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh
hukum clan peraturan.
02. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada
publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota
dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan
landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan
pengorbanan keuntungan pribadi.

Prinsip Pertama - Tanggung Jawab Prolesi


Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional
setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan
moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

01. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam


masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai
tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota
juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna dengan sesama
anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara
kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam
mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

Prinsip Kedua - Kepentingan Publik


Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam
kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan
publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

01. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-
jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang
penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang
terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja,
pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepacla obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan
ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan
masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.
Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan
dalam menyediakan jasanya memengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan negara.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 226


Banjarmasin)
02. Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini
hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada
tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat
dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk
membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan
dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan
persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi
tersebut.

03. Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, anggota


mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan
pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini,
anggota harus bertindak dengan penuh integritar, dengan suatu
keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada
publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-
baiknya.

04. Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan


anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas,
obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk
melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa
berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta
menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat
profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.

05. Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan


publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota
harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk
mencapai profesionalisme yang tinggi.

06. Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk


memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja. Dalam
melaksanakan tugasnya seorang akuntan harus mengikuti standar
profesi yang dititik-beratkan pada kepentingan publik, misalnya:

• auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi


dari laporan keuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan
untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang
saham untuk memperoleh modal;

• eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi


manajemen dalam organisasi dan memberikan kontribusi
terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya
organisasi;

• auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem


pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan
informasi keuangan dari pemberi kerja kepada pihak luar.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 227


Banjarmasin)
• ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta
penerapan yang adil dari sistem pajak; dan

• konsultan manajemen mempunyai tanggung-jawab terhadap


kepentingan umum dalam membantu pembuatan keputusan
manajemen yang baik.

Prinsip Ketiga – Integritas


Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan
integritas setinggi mungkin.

1. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya


pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang
melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark)
bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.

2. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain,


bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan
rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak
boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat
menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat
yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan
prinsip.

03. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal
tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam
menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji
keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota
telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan
apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas
mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa
standar teknis dan etika.

04. Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip


obyektivitas dan kehati-hatian profesional.

Prinsip Keempat – Obyektivitas


Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari
benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban
profesionalnya.

01. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa
yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota
bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau
berada di bawah pengaruh pihak lain.

02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus
menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 228


Banjarmasin)
dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta
konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan
keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal
dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di
industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan
melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun
jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas
pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

03. Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik


berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas,
pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor
berikut:

a. Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang


memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang
diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu
obyektivitasnya.
b. Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan
semua situasi di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi.
Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam
menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang
mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
c. Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau
pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
d. Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-
orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi
prinsip obyektivitas.
e. Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau
entertainmen yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang
tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau
terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka.
Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat
posisi profesional mereka ternoda.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 229


Banjarmasin)
Prinsip Kelima - Kompetensi dan Kehati-hatian
Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan
kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan
bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa
profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik,
legislasi dan teknik yang paling mutakhir.

01. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi


tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan
konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.

02. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota


seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau
pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan
dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiap anggota harus
melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan
meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi
tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip
Etika. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase
yang terpisah:

a. Pencapaian Kompetensi Profesional. Pencapaian kompetensi


profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum
yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian
profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman
kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk
anggota.
b. Pemeliharaan Kompetensi Profesional.

• Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk


belajar dan melakukan peningkatan profesional secara
berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.

• Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran


untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi,
termasuk di antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi,
auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupun
internasional yang relevan.

• Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk


memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa
profesional yang konsisten dengan standar nasional dan
internasional.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 230


Banjarmasin)
03. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan
pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang
memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan
kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional
melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib
melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain
yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung-jawab untuk
menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah
pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan
memadai untuk tanggung-jawab yang harus dipenuhinya.

04. Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada


penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan
tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-
hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang
berlaku.
05. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk
merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan
profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.

Prinsip Keenam - Kerahasiaan


Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informas iyang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh
memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau
hukum untuk mengungkapkannya

01. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan


informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui
jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut
bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi
kerja berakhir.

02. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan


khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau
profesional untuk mengungkapkan informasi.

03. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di


bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan
bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.

04. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan


informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang
memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak
menggunakan atau terlihat menggunakan informasi terse but untuk
keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.

05. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten


tang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 231


Banjarmasin)
Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak
disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak
berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi
tanggung-jawab anggota berdasarkan standar profesional.

06. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi


yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa
terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan
serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.

07. Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan


dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat
diungkapkan.

a. Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk


mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan
semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dapat
terpengaruh harus dipertimbangkan.
b. Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di
mana anggota diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan
informasi rahasia adalah:

• untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam


proses hukum; dan

• untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada


publik.

c. Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk


mengungkapkan:

• untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika;


pengungkapan seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip
etika ini;

• untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam


sidang pengadilan;

• untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI


atau badan profesionallainnya;.dan . untuk menanggapi
permintaan atau investigasi oleh IAI atau badan pengatur.

Prinsip Ketujuh - Perilaku Profesional


Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi
profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat
mendiskreditkan profesi:

01. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan


profesi hams dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung-

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 232


Banjarmasin)
jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf,
pemberi kerja dan masyarakat umum.

Prinsip Kedelapan - Standar Teknis


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai
dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan.
Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari
penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip
integritas dan obyektivitas.

01. Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota
adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia,
International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan
perundang-undangan yang relevan.

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 233


Banjarmasin)
DAFTAR PUSTAKA

APB, 1970. Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial


Statements of Business Enterprises, APB Statement No. 4, New York:
AICPA
Belkaoui, Ahmed, 1999. Accounting Theory, Terjemahan: Erwan Dukat, AK Group
Yogyakarta
Echols, John M. dan Hasan Shadily, 1996. Kamus Inggris-Indonesia, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
FASB, 1978. Statement of Financial Accounting Concept No. 1, Objectives of
Financial Reporting by Business Enterprises, Stamford, Connecticut
FASB, 1980. Statement of Financial Accounting Concept No. 2, Qualitative
Characteristics of Accounting Information, Stamford, Connecticut
FASB, 1980. Statement of Financial Accounting Concept No. 3, Element of Financial
Statement of Business Enterprises, Stamford, Connecticut
FASB, 1984. Statement of Financial Accounting Concept No. 5, Recognition and
Measurement in Financial Reporting of Business Enterprises, Stamford,
Connecticut
FASB, 1985. Statement of Financial Accounting Concept No. 6, Element of Financial
Statement: A Replacement of FASB Concepts Statement No. 3, Stamford,
Connecticut
Flamholtz, E.G., 1988. Developing Human Resources Accounting as a Human
resources Decision Support System, Accounting Horizons, September, pp.
1-9
Godzali, Imam, dan Anis Chariri, 2003. Teori Akuntansi, Penerbit BP Undip
Semarang
Harahap, Sofyan Safri, 2009, Teori Akuntansi,
Hendriksen, Eldon S., 1997, Teori Akuntansi, Terjemahan oleh Marianus Sinaga, Edisi
Keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta
IAI, 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta
Jumirin, Asyikin, 2000, Perubahan Harga dan Pengungkapannya dalam Laporan
Keuangan menurut Pendekatan Dolar Konstan dan Akuntansi Biaya
Berjalan, Artikel (tidak dipublikasikan).
Kam, V., 1990. Accounting Theory, 2nd Ed., New York: John Wiley and Sons
Kusnadi, Kertahadi, dan Lukman Samsudin, 1985.Teori Akuntansi, Penerbit Usaha
Nasional, Surabaya, Indonesia
Paton, W.A, Littleton, A.C, 1970, An Introduction to Corporate Accounting
Standards, AAA, Monograph No. 3, Michigan, USA
Salomon, D., 1978, The Politization of Accounting, Journal of Accountancy
(Novemper), Spring
Scott, William R., 1997. Financial Accounting Theory, Prentice Hall Inc., New Jersey
USA
Tuanakotta, Theodorus M, 1986. Teori Akuntansi, Penerbit FE Universitas Indonesia,
Jakarta
Wolk, Harry L., dan Tearney, Michael G., 1998. Accounting Theory, A Conceptual
and Institutional Approach, Fourth Edition, South Western Publishing Co.,
Ohio

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 234


Banjarmasin)
Zimmerman, et. all, 1970. A Statement of Basic Accounting Postulates and Principles,
University of Illinois

Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 235


Banjarmasin)

Anda mungkin juga menyukai