Bahan Ajar Teori Akuntansi
Bahan Ajar Teori Akuntansi
PENDAHULUAN
Teori Akuntansi dalam uraian ini adalah khusus berkaitan dengan akuntansi
keuangan. Bahwa teori akuntansi konvensional, tersebut berkaitan erat dengan akuntansi
secara normatif. Karena itu, teori akuntansi akan bermanfaat bila rumusan teori tersebut
dapat dijadikan sebagai alat untuk memperdiksi suatu kejadian maupun harapan untuk
masa mendatang. Secara umum teori dapat diartikan sebagai kumpulan konsep (hipotesis)
yang dihasilkan dari suatu kegiatan atau penelitian baik secara terstruktur maupun
insidentil. Karena itu teori tersebut bersifat umum dan berlaku sama di setiap waktu dan
tempat. Teori umumnya berkenaan dengan suatu ketentuan yang telah teruji namun
bersifat dinamis. Sehingga kebenaran teori adakalanya tidak kekal karena setelah adanya
teori hasil penemuan yang baru dengan sendirinya teori dengan konsep lama akan gugur.
Demikan pula halnya dalam praktik akuntansi, bahwa fungsi dan peran teori sangat
penting terutama dalam merumuskan konsep, dalil dan postulat maupun hipotesis lainnya
agar tercipta konsistensi internal. Yang dimaksudkan adalah adanya konsep yang
mendasari suatu praktik akuntansi. Sebab teori tanpa adanya praktik maka akan cenderung
tidak konsisten. Demikian pula praktik (akuntansi) tanpa didasari konsep teori yang jelas
maka akan menyulitkan dalam penerapannya. Oleh karena itu, pada pembahasan awal ini,
fokus uraian adalah bagaimana kita mampu memahami konsep teori yang jelas dan sesuai
dengan praktik yang ada, terutama dalam entitas bisnis. Hal ini merupakan hasil kajian
dari pakar di bidangnya, khususnya yang dipraktikkan dalam dunia bisnis.
Perkembangan ilmu Akuntansi diawali dengan revolusi industri tahun 1776 yang
terjadi di benua Eropa. Terutama di Inggris, akibat revolusi ini menjalar ke benua
Amerika, sehingga mampu mengubah persepsi terhadap pentingnya peranan laporan
keuangan. Yaitu melalui ilmu akuntansi, dimana manajemen dapat melakukan rekayasa
untuk membuat laporan keuangan sesuai dengan kepentingan perusahaannya. Hal ini
sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan
dan teknologi akhirnya berpengaruh juga terhadap perkembangan ilmu akuntansi.
Perkembangan ini (dimulai sejak sekitar tahun 1930-an, saat Amerika mengalami krisis
berat). Setelah melalui berbagai upaya untuk mengatasi krisis tersebut, terutama dalam
memberikan pedoman praktik akuntansi bagi entitas bisnis. Akhirnya USA membentuk
SEC (Security Exchange Commission) yang banyak membantu mendorong terciptanya
suatu prinsip akuntansi.
Pengertian teori sering digunakan secara berbeda. Teori dapat juga dinamakan
dengan hipotesis atau proposisi. Proposisi adalah kalimat indikatif (pernyataan tentang
konsep) yang memiliki nilai kebenaran jika dikaitkan dengan fenomena (misalnya,
benar, salah, mungkin benar). Jika proposisi dikaitkan dengan pengujian empiris,
maka proposisi tersebut disebut hipotesis. Proposisi merurut jenisnya terdiri dari dua
macam yaitu proposisi a priori dan proposisi a posteriori. Proposisi a priori adalah
pernyataan yang nilai kebenarannya dapat ditentukan dengan penalaran murni atau
dengan mengalisis dari kata-kata yang digunakan (misalnya 2+2=4; segitiga memiliki
3 sisi ). Proposisi a posteriori adalah pernyataan yang nilai kebenarannya hanya dapat
ditentukan setelah diketahui adanya realitas di dunia nyata. Misalnya: lampu lalu lintas
menyala merah berarti berhenti. Bentuk yang paling sederhana dari teori adalah
pernyataan terhadap suatu keyakinan dalam bahasa.
Popper (1968, 21) yang lebih menekankan pada sifat empiris dari teori; Yaitu teori
adalah area yang digunakan untuk menangkap apa yang kita namakan “dunia”, untuk
merasionalkan, dan menjelaskan. Atas dasar definisi tersebut, teori dapat dikatakan
sebagai argumen logis, sedang pernyataan terhadap keyakinan baik berupa penjelasan,
prediksi atau preskripsi, merupakan suatu hipotesis. Teori semacam itu terdiri dari
seperangkat premis atau pernyataan yang dihubungkan secara logis untuk
menghasilkan suatu hipotesis.
Teori Akuntansi terdiri dari dua kata, Teori dan Akuntansi. Teori tersebut
berkaitan dengan seperangkat konsep ideal yang dinamis dan berlaku umum.
Sedangkan akuntansi merupakan alat atau media untuk mencatat dan menghasilkan
suatu infomasi bagi pemakai. Baik pemakai internal maupun eksternal. Oleh karena
itu, dalam praktik bisnis, kedua unsur tersebut sangat diperlukan. Teori sebagai
landasan dalam operasional sedangkan akuntansi sebagai penerapan konsep teori
sesuai dengan kondisi dimana akuntansi tersebut dipraktikkan.
Di sisi lain, akuntansi sangat diperlukan sebagai alat atau media untuk penyedia
informasi bagi manajemen dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun dalam
konsep teoritis terkadang masih banyak pihak yang belum memahami apa akuntansi
itu? Bagaimana kedudukannya dalam teori akuntansi? Apakah akuntansi tersebut
memang didukung oleh dasar atau konsep teoritis yang jelas dan ilmiah. Namun,
secara umum para peneliti, praktisi, dan akademisi telah sepakat bahwa akuntansi
tersebut cukup kuat bukti dan didukung oleh berbagai hasil penelitian dan kajian yang
dapat digunakan sebagai dasar ilmu yang ilmiah.
Praktisi dan akuntan sering juga dihadapkan pada berbagai masalah yang
menyangkut transaksi yang memerlukan interpretasi atau analisis khusus seperti
analisis ekonomi, sosial, hukum, statistika, dan politik. Misalnya dalam akuntansi
terdapat karakteristik kualitatif dari informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
harus secara objektif. Namun demikian, tidak ada ukuran yang pasti terhadap kualitas
tersebut, karena akuntansi bukan bersifat matematis yang memiliki objektif mutlak.
Ditambah lagi dalam akuntansi banyak ditemukan konsep yang diajukan oleh para
teoritis yang bersifat kontradiktif bahkan tidak saling menguntungkan.
Di sisi lain, dalam praktik akuntansi umumnya bersifat dinamis dan berkaitan
dengan masalah praktik, terutama bagi kalangan profesional. Misalnya terhadap selisih
kurs valuta asing, apakah dijadikan biaya ataukah dikapitalisasi? Bagaimanakah kriteria
kapitalisasi sewaguna usaha yang seharusnya di Indonesia? Kemudian, apakah isitilah
yang tepat untuk expenses: beban, biaya ataukah kos?
Untuk menjawab permasalahan di atas dan berbagai masalah lainnya dalam praktik
akuntansi, hendaknya tidak saja didasarkan atas penalaran yang makul/masuk akal
(sound theory) tetapi juga harus didasarkan taktik cerdik (shrew tact). Dengan
demikian, penalaran yang makul dalam teori akuntansi dapat dijadikan sebagai
landasan untuk memecahkan masalah akuntansi secara beralasan atau bernalar sesuai
dengan metoda ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara taktik cerdik
sangat memadai untuk menangani masalah yang luas dan lengkap (lukap) dan
berimplikasi luas, yang tergantung pada kearifan (wisdoms) dan tilikan (insights).
Nilai dan
Ilmu Murni Ilmu Terapan
Tata Sosial
Teori Ekonomi, Manajemen Nilai sosial,
Sosisologi, Akuntansi, Tujuan sosial,
Psikologi dan Matematika, Sistem politik,
Matematika. Komputer, Sistem hukum,
Komunikasi, Sistem ekonomi,
Ekonomi, dan dan lain-lain
lain-lain
↓ ↓ ↓
PEREKAYASAAN AKUNTANSI
Sumber: diadaptasi dari Sudibyo, 1987, 13
Kerangka konseptual
Dijabarkan dalam standar akuntansi dan acuan lainnya sehingga membentuk PABU
↓
Dilihat dari strukturnya maka Teori Akuntansi tersebut terdiri dari 4 (empat)
tingkatan, yaitu:
1. Tujuan Laporan Keuangan; sebagai struktur paling atas dan merupakan tujuan
akhir yang akan dicapai dalam praktik akuntansi. Adalah menyajikan informasi
baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif, terhadap
data/informasi yang wajib maupun data pendukung yang bersifat sukarela. Baik
untuk informasi umum dan khusus dalam laporan keuangan (financial statement)
untuk kepentingan pemakai. Bahwa laporan keuangan merupakan hasil akhir
(output) dari serangkaian kegiatan pencatatan, pengklasifikasian, penyajian dan
pengungkapan atas aktivtas bisnis manajemen.
Oleh karena itu, laporan keuangan ini harus mengacu pada standar
akuntansi berterima umum. Sebab elemen yang ada dalam laporan keuangan
tersebut bersifat standard baku. Hal ini berbeda dengan pelaporan keuangan
(financial report), karena pelaporan keuangan ini merupakan laporan keuangan
plus laporan lainnya yang bersifat opsional atau pelengkap informasi, seperti
laporan segmen usaha, laporan kontijensi, dan laporan lainnya.
2. Dalil dan Konsep Teoritis Akuntansi; hal ini berkaitan dengan anggapan-
anggapan lingkungan dan sifat satuan akuntansi. Dalil dan konsep ini teoritis ini
diperolah dari tujuan yang telah dinyatakan dalam laporan keuangan di atas.
Merupakan pernyatan yang sudah diakui kebenarannya, dan bersifat umum sebagai
pedoman dasar dalam menjelaskan suatu kejadian atau fenomena.
GAMBAR 1.3.
HIRARKI STRUKTUR TEORI AKUNTANSI
PRINSIP AKUNTANSI
TEKNIK AKUNTANSI
Dari gambar tersebut, jelas terlihat bahwa teori akuntansi mempunyai struktur yang baku
dan berfokus pada penyediaan informasi. Terutama bagi pemakai yang berkepentingan
terhadap laporan keuangan. Sedangkan konsep teoritis, terutama pada tingkatan 2 dan 3
masing-masing sebagai berikut.
Tabel 1.3.
DALIL, KONSEP TEORITIS DAN PRINSIP AKUNTANSI
a. Dalil Akuntansi:
Apakah dalil tersebut? Menurut Webster Third International Dictionary, dalil adalah
suatu alasan awal yang diakui kebenarannya atau dijadikan aksiomatis berupa hipotesis
c. Prinsip Akuntansi
Merupakan aturan umum yang diperoleh dari tujuan dan konsep teori akuntansi.
Prinsip akuntansi ini merupakan dasar dalam teknik akuntansi yang diterapkan untuk
penyusunan suatu laporan bisnis (laporan keuangan perusahaan).
1) Prinsip harga pokok, menggambarkan informasi yang biaya yang dikeluarkan
dapat diverifikasi berdasarkan nilai tukar barang atau jasa pada saat diperoleh oleh
perusahaan. Sehingga informasi yang disajikan mempunyai daya banding yang
lebih baik. Namun dalam prinsip ini seringkali tidak memebrikan informasi yang
relevan bagi pemakai eksternal laporan keuangan, karena pada dasarnya biaya atau
beban diukur dengan nilai sekarang untuk pelaporan keuangan. Apalagi dalam
kondisi tertentu, misalnya inflasi, deflasi, likuidasi ataupun hal lainnya yang
memerlukan penilaian.
7) Prinsip konservatisme, merupakan konsep yang baik dipakai namun juga sangat
lemah terutama dalam memperlakukan eksistensi ketidakpastian dalam penilaian
pendapatan. Oleh karena itu, informasi yang disajikan dengan menggunakan
konsep ini tidak dapat dijadikan pokok interpretasi yang tepat. Karena konsep ini
cenderung ke arah mengurangi daya banding sebab tidak ada standar yang seragam
dalam pelaksanaannya.
Pembentukan suatu teori umumnya berawal dari fenomena yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Fenomena tersebut menimbulkan suatu pernyataan yang
membutuhkan jawaban. Jawaban tersebut terletak pada suatu bidang dan sering
disebut dengan epistemology, atau studi tentang penciptaan suatu pengetahuan.
Akuntansi mungkin dapat dipandang sebagai “social science“, yaitu proses
pengukuran dan masalah teknis. Oleh karena itu, dalam mereview suatu teori ilmiah
Masalah utamanya terletak pada metoda yang digunakan apakah metoda ilmiah
(scientific) atau metoda alamiah (naturalistic). Pendekatan ilmiah lebih bersifat
terstruktur dan terencana dalam hal perancangan risetnya, dimana masalah, hipotesis
dan teknik penelitiannya dinyatakan secara jelas. Dan dapat ditelusuri dasar teori yang
mendasarinya, baik secara empirik maupun dari konsep teori yang sudah ada.
Teori harus diekspresikan dalam bentuk bahasa baik yang bersifat verbal atau
matematis. Pengembangan teori itu sendiri biasanya berasal dari abstraksi dunia
Selain itu, teori dapat pula dinyatakan dalam bentuk kata atau tanda (simbol).
Studi tentang simbol, dalam filsafat pengetahuan dikenal dengan istilah semiology.
Secara garis besar semiologi terdiri dari tiga bagian, yang dapat dikatakan sebagai
unsur teori, yaitu: Pendekatan Sintaktik, Semantik dan Pragmatik.
a. Pendekatan Sintaktik.
Sintaktik adalah studi tentang tata bahasa atau hubungan antara simbol dengan
simbol. Pertanyaan utama dalam unsur ini ada apakah kata-kata atau simbol
digunakan sacara konsisten dan logis? Sintaktik atau hubungan logis
menghubungkan konsep-konsep dasar (diwujudkan dengan simbol
lingkungan). Hubungan kelogisan dalam sintaktik berkaitan dengan aturan
bahasa yang digunakan. Unsur sintaktik dapat dianalisis dengan menggunakan
metodologi analitik yang didasarkan pada silogisme, yang memiliki
seperangkat pernyataan dan konklusi. Misalnya:
Penyataan 1 : Semua anak laki-laki adalah berjenis kelamin pria
Pernyataan 2 : Boy adalah berjenis kelamin pria
Konklusi : Susi bukan berjenis kelamin pria.
Dari contoh di atas logikanya (hubungan sintaktik) adalah valid karena jika
kedua pernyataan tersebut benar, otomatis konklusinya juga akan benar.
b. Pendekatan Semantik
Semantik menunjukkan makna atau hubungan antara kata, tanda atau
simbuk dengan obyek yang ada didunia nyata. Pernyataan yang berkaitan
dengan unsur semantik adalah, Apakah arti dari setiap kata atau simbol yang
digunakan dalam teori? Persamaan akuntansi Aset = Laibilitas + Ekuitas pada
awalnya abstrak. Namun demikian apabila kita mengkaitkannya dengan obyek
dunia nyata, persamaan tersebut menjadi realistis. Kebenaran nilai atau
keakuratan semantik suatu pernyataan ditentukan oleh keakuratan deskriptif
yang ada di dunia nyata. Kebenaran tersebut didasarkan pada pernyataan atau
konklusi individual, bukan pada aliran logika (argument). Misalnya:
Pernyataan pertama adalah salah dan aliran logika yang berawal dari
pernyataan ke-konklusinya adalah tidak valid. Oleh karena itu, tidak ada
pernyataan yang jelas apakah rekening non aset bersaldo debit atau kredit,
maka secara sintaktik konklusi juga akan akan mengikuti pernyataan
sebelumnya. Meskipun demikian dari hubungan semantik (dunia nyata),
konklusinya adalah benar bahwa laibilitas dagang bersaldo kredit. Atas dasar
hubungan semantik hipotesis atau teori mengandung dua unsur empiris dan
sintaktis.
c. Pendekatan Pragmatik
Hubungan pragmatis menunjukkan pengaruh kata-kata atau simbol
terhadap seseorang. Aspek pragmatis berkaitan dengan bagaimana konsep dan
praktik akuntansi memengaruhi prilaku seseorang. Hal ini beralasan karena
salah satu tujuan dari pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan untuk membantu pengambilan
keputusan ekonomi. Pendekatan populer yang digunakan untuk merumuskan
teori ini adalah model keputusan (decision model). Dasar pemikiran utama dari
model keputusan adalah didasarkan pada asumsi bahwa akuntansi harus
memenuhi kebutuhan informasi para pemakai. Pendekatan pragmatis yang lain
adalah dengan cara mengamati reaksi seseorang terhadap pesan yang sama
dengan menggunakan cara yang berbeda.
Atas dasar tujuannya, teori akuntansi dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Teori Akuntansi Normatif yang memberikan rumusan terhadap praktik
akuntansi, dan Teori Akuntansi Positif yang berusaha menjelaskan dan
memprediksi fenomena yang berkaitan dengan akuntansi.
PELATIHAN
KERANGKA KONSEPTUAL
DALAM PERUMUSAN STANDAR AKUNTANSI
Pada tingkatan teori yang tinggi, kerangka konseptual menyatakan ruang lingkup
dan tujuan pelaporan keuangan. Pada tingkatan selanjutnya, kerangka konseptual
mengidentifikasikan dan mendefinisikan karakteristik dari informasi keuangan dan
elemen laporan keuangan. Pada tingkatan operasional yang lebih rendah, kerangka
konseptual berkaitan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan (rules) tentang
pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan dan tipe informasi yang perlu
disajikan. Agar dapat dijadikan legitimasi, maka kerangka konseptual harus didukung
oleh metodologi “ilmiah” (scientific). Hal ini berarti, bahwa prinsip-prinsip dan
aturan-aturan pengukuran tersebut harus dihasilkan dari tujuan dan konsep-konsep
yang telah didefinisikan sebelumnya. FASB (1978) mendefinisikan kerangka
konseptual sebagai suatu sistem yang saling berkaitan sebagai berikut.
“Suatu sistem yang koheren tentang tujuan (objectives) dan konsep dasar yang saling
berkaitan, yang diharapkan dapat menghasilkan standar-standar yang konsisten dan
memberi pedoman tentang jenis, fungsi dan keterbatasan akuntansi keuangan dan
pelaporan keuangan”.
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa kata-kata seperti “sistem yang koheren”
(coherent system) dan “konsisten” (consistent) menunjukkan bahwa FASB
menggunakan Kerangka teoritis dan non-arbiter. Sedang kata “memberi pedoman“
(precribes) mendukung pemakaian pendekatan normatif. Yang berarti segala yang
tercantum dalam Kerangka konseptual tersebut, harus dipatuhi dan dilaksanakan
secara konsisten.
Ada beberapa pihak yang memandang kerangka konseptual sebagai “konstitusi”
(undang-undang), yang merupakan landasan dalam proses penentuan standar
akuntansi. Tujuannya adalah untuk memberi pedoman bagi badan yang berwenang
dalam memecahkan masalah yang muncul selama proses penentuan standar tertentu
sesuai dengan kerangka konseptual. Namun demikian tidak ada cara yang dapat
digunakan untuk membuktikan bahwa pertimbangan nilai yang dibuat oleh individu
atau kelompok yang lain. Dengan demikian keberadaan teori yang berkaitan secara
logis (koheren) untuk menyusun standar akuntansi merupakan argumen yang bersifat
konseptual.
Lebih lanjut Solomon (1983, 115) menyatakan, jika badan pembuat standar tidak
dapat menunjukkan bahwa standar yang dibuat dapat menghasilkan informasi yang
memiliki kualitas atau karakteristik yang diperlukan untuk mencapai tujuan akuntansi
yang ada, badan tersebut tidak akan mampu mempertahankan diri dari unsur
kepentingan tertentu yang dilihat standar sebagai sesuatu yang merugikan
kemakmuran. Jika suatu standar tidak dihasilkan dari kerangka konseptual, bagaimana
1. Dua atau lebih metoda akuntansi yang diterima untuk fakta-fakta yang sama.
2. Digunakannya metoda akuntansi yang kurang konservatif daripada metoda awal
yang lebih konservatif.
3. Digunakannya pencadangan untuk meretakan fluktuasi pendapatan secara artifisial.
4. Laporan keuangan yang tidak mampu memberikan peringatan akan masalah
likuiditas yang segera terjadi.
5. Adanya optimism yang elum mendapat penyesuaian dalam estimasi jumlah yang
akan diperoleh kembali.
6. Umumnya pendanaan yang tidak tercatat di laporan posisi keuangan.
7. Digunakannya penilaian imaterialitas yang tidak benar untuk menjustifikasi tidak
diungkapkannya informasi yang kurang menguntungkan atau penyimpangan dari
standar.
8. Bentuk menjadi lebih relevan daripada substansi.
Secara umum, dalam praktik terdapat beberapa masalah dalam kerangka konseptual,
antara lain:
1. Pandangan mengenai laba atau penghasilan mana yang harus digunakan.
2. Masalah pendefinisian.
3. Konsep pemeliharaan modal atau penembangan biaya mana yang harus digunakan.
4. Metoda pengukuran mana yang harus digunakan.
Ada argumen yang menyatakan bahwa munculnya berbagai masalah dalam praktik
akuntansi sering disebabkan oleh tidak adanya teori umum. Sekalipun badan akuntansi
(standard setting body) di negara maju seperti Amerika, Australia, Inggris dan
Selandia Baru maupun di negara lainnya telah mengeluarkan berbagai standar dan
melakukan pembatasan terhadap pemilihan metoda akuntansi. Namun, praktik
akuntansi yang masih dilakukan masih terlalu terlalu premisif. Hal ini disebabkan
adanya kelonggaran terhadap pemakai prosedur akuntansi yang sesuai dengan
keinginan penyusun laporan keuangan. Kenyataan ini dapat dilihat dari laporan khusus
yang dibuat oleh salah satu komite dari New York Stock Exchange tahun 1934 sebagai
berikut (AICPA, 1934), semakin banyak alternatif praktik akuntansi, akan
menyebabkan perusahaan memiliki kebebasan untuk memilih metoda akuntansi
mereka sendiri dalam batas yang sangat luas sesuai dengan referensi yang dibuat.
Dalam mereview sejarah untuk perumusan teori akuntansi, Storey (1964, 52)
menyimpulkan bahwa: “Penyelesaian yang bersifat ad hoc (khusus) yang dihasilkan
dari pendekatan play-it-by-ear jarang menghasilkan penyelesaian akhir yang
memuaskan (sekalipun mempertimbangkan dinamika akuntansi)”. Pendekatan “play-
it-by-ear” adalah pendekatan yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang berubah-
ubah, bukannya pendekatan yang dilakukan dengan membuat rencana yang tetap,
yang telah ditentukan sebelumnya.
Suatu prinsip atau praktik akan dinyatakan sebagai sesuatu yang “benar” karena hal
tersebut diterima secara umum, prinsip atau praktik tersebut tidak akan diterima secara
umum karena prinsip tersebut dikatakan “benar”. Selanjutnya dinyatakan, bahwa
kerangka konseptual dapat digunakan untuk mengatasi campur tangan politik dalam
menyusun laporan keuangan yang netral. Hal ini tidak mengherankan karena kebijakan
akuntansi hanya dapat diimplementasikan dengan melakukan pertimbangan nilai
(value judgment).
Tabel 2
PERUMUSAN KERANGKA KONSEPTUAL
TAHUN 1966 S.D. 1977
Tabel 3
KOMPONEN KERANGKA KONSEPTUAL
Karakteristik Elemen
SECOND LEVEL
Kualitatif (Akun)
ASSUMPTIONS PRINCIPLES
THIRD LEVEL
Pada level pertama, berisi tujuan laporan keuangan yang menjelaskan tentang
tujuan dan dimensi laporan untuk menyediakan informasi. Hendaknya, pada level ini tidak
hanya menjelaskan isi laporan keuangan saja tetapi juga berisi: useful in investment and
credit decisions, useful in assesing future cash flows and about enterprise resources and
change in them. (SFAC No, 1).
Pada level kedua berisi karakteristik kualitatif dan elemen laporan keuangan
(akun), dimana kerangkan konseptual pada level ini terdiri dari conceptual building block
yang menjelaskan karakteristik informasi laporan keuangan tersebut dan mendefinisikan
elemen pelaporan keuangan. Building block ini membentuk jembatan yang
menghubungkan mengapa akuntansi diperlukan? Dalam karakteristik kualitatif ini
dijelaskan sebagai berikut.
Pada level ketiga berisi postulat (dalil), prinsip dan keterbatasan. Level ini
merupakan pedoman operasional yang harus digunakan dalam mengukur dan
mengakui elemen laporan keuangan dan menyajikan informasi tersebut secara
wajar (fair), lengkap (full), dan cukup (adequate), sesuai dengan prinsip akuntansi
berterima umum (PABU).
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis tersebut. Pertama adalah
dengan menganggap bahwa kerangka konseptual seharusnya merupakan Pendekatan
“Ilmiah” (scientific), yang didasarkan pada metoda-metoda yang umumnya digunakan
dalam penelitian ilmiah dan Pendekatan Profesional (Godzali, 2001,147). Kedua
pendekatan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Pendekatan Ilmiah
c) Perputaran Logika
Salah satu jujuan dari kerangka konseptual adalah memberikan pedoman
untuk praktik akuntansi di dunia bisnis. Apabila diperhatikan, kerangka
konseptual FASB kelihatan seperti mengikuti alur ilmiah, yaitu menghasilkan
prinsip-prinsip dan praktik akuntansi dari suatu teori yang digeneralisasikan.
2) Nilai Profesional
PENDAHULUAN
Dalam praktik bisnis sering dijumpai bahwa laporan keuangan harus disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum (PABU) di Indonesia atau Generally Accepted
Accounting Principles (GAAP) di USA. Prinsip tersebut pada dasarnya akan menentukan
kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Meskipun GAAP sering
dipakai dalam praktik akuntansi, namun istilah GAAP atau PABU ini hendaknya dapat
didefinisikan secara jelas.
Ketidakjelasan definisi tersebut dapat dilihat dari berbagai pendapat. Misalnya, Grady
(1965) dalam Godzali dan Chariri (2003, 82) menunjukkan bahwa berbagai metoda
akuntansi banyak digunakan pada laporan keuangan yang dipublikasikan. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan bebas menggunakan metoda akuntansi selama metoda
tersebut dapat diterima dalam praktik bisnis. Namun demikian, melihat substansi dari
perdebatan yang selama ini muncul, GAAP didefinisikan sebagai sekumpulan konsep,
standar, prosedur, metoda, konvensi, kebiasaan dan praktik yang dipilih dan dianggap
dapat diterima secara umum dalam menyusun, menyajikan dan mengiterpretasikan
laporan keuangan dalam lingkungan tertentu.
1) Pedoman akuntansi dan audit industri serta interpretasi akuntansi yang dikeluarkan
oleh AICPA.
2) Publikasi FASB lainnya seperti buletin teknis dan pernyataan yang dikeluarkan
(misalnya: APB Opinion No. 4).
3) Publikasi-publikasi komisi pasar modal seperti Accounting Series Release (ASR).
4) Praktik-praktik yang diakui seperti yang ditunjukkan dalam publikasi AICPA
tahunan yang dinamakan Accounting Trends and Techniques (ATT).
5) Makalah atau tulisan yang membahas isu-isu tertentu yang dikeluarkan oleh
AICPA, pernyataan konsep-konsep FASB, buku ajar (text book) atau artikel ilmiah
lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa standar akuntansi adalah sebagai pedoman umum dalam
penyusunan dan penyajian laporan keuangan secara wajar dan merupakan pernyataan
resmi berkaitan dengan masalah akuntansi tertentu. Standar ini dikeluarkan oleh badan
berwenang pembuat standar (standard setting body) dan berlaku mengikat untuk
lingkungan entitas tertentu. Standar akuntansi umumnya berisi tentang, definisi,
pengukuran atau penilaian, pengakuan, dan pengungkapan elemen laporan keuangan. Oleh
karena itu, standar akuntansi merupakan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh badan
berwenang yang mengikat maka ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip
akuntansi berterima umum. Sebab standar akuntansi akan memberikan aturan-aturan
umum dan sebagai pedoman yang bersifat praktis untuk membantu pekerjaan akuntan dan
manajemen perusahaan dalam merumuskan dan melaporkan kinerjanya dan sebagai
bagian dari:
Edey (1977), menyatakan berkaitan dengan subyek standar, membagi standar ke dalam
empat tipe utama, yaitu:
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya terdapat tiga istilah atau
konsep penting yang sangat berbeda maknanya, yaitu prinsip akuntansi (accounting
principles), standar akuntansi (accounting standard), dan PABU (GAAP). Prinsip
akuntansi adalah segala ideologi, gagasan, asumsi, konsep, postulat, kaidah, prosedur,
metoda, dan teknik akuntansi yang tersedia baik secara teoritis maupun praktis yang
berfungsi sebagai pengetahuan. Prinsip tersebut masih dalam bentuk gagasan yang
mungkin belum dipraktikkan, (Suwarjono, 2005; 121-122).
Standar akuntansi merupakan prinsip, metoda dan teknik akuntansi yang dipakai
sebagai acuan atas dasar Kerangka konseptual dan disusun oleh badan penyusun standar,
yang dituangkan dalam dokumen resmi di dalam suatu negara atau lingkungan tertentu.
Standar akuntansi ini dipakai sebagai pdemon utama dalam memperlakukan laporan
keuangan secara wajar. Misalnya: PSAK No.1-59 di Indonesia untuk sektor bisnis
konvensional, PSAK 100-109 untuk entitas bisnis syariah, PSAP No. 1-11 untuk
organsasi pemerintahan. Sedangkan PABU adalah sebagai bingkai pedoman yang terdiri
atas standar akuntansi dan sumber lain yang berlaku secara resmi. PABU tidak sama
dengan standar akutansi dan berbeda pula pula dengan prinsip akuntansi. Namun ketiga
hal tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat yang membentuk bingkai PABU sebagai
suatu acuan. Hubungan ketiga hal itu digambarkan sebagai berikut:
GAMBAR 5
HUBUNGAN ANTAR PRINSIP AKUNTANSI, STANDAR AKUNTANSI DAN PABU
PABU (GAAP)
Teori Akuntansi 2013; Jumirin Asyikin (STIE Indonesia Kayutangi 37
Banjarmasin)
Sumber: diadaptasi dari Suwarjono, 2005, 123
B. STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (SAK)
1. Memberi informasi akuntansi kepada pemakai tentang posisi keuangan, hasil usaha
(laba), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Informasi
tersebut diasumsikan jelas, konsisten, dan dapat dipercaya (andal), dan mempunyai
daya banding (comparability).
2. Memberi pedoman dan aturan bagi akuntan publik (khususnya) untuk
melaksanakan kegiatan audit dan menguji validitas laporan keuangan.
3. Memberi data dasar bagi pemerintah tentang berbagai variabel yang dipandang
penting untuk mendukung pengenaan pajak, pembuatan regulasi (aturan),
perencanaan ekonomi, dan peningkatan efisiensi dan tujuan sosial lainnya.
4. Menghasilkan prinsip-prinsip dan teori bagi mereka yang tertarik dengan disiplin
akuntansi, (Gadzali, 2003).
Jadi, standar akuntansi keuangan diharapkan dapat menjadi pedoman bagi entitas bisnis
atau pihak lain dalam penyusunan laporan keuangan (bagi manajer), pemakai laporan
keuangan dan auditor dalam memahami dan menverifikasi informasi yang tersaji dalam
laporan keuangan tersebut. Dengan mengunakan standar akuntansi yang seragam dan
Para pemakai laporan keuangan memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda-beda
dan bahkan bertentangan. Sehingga sebagai konsekunesinya, kedua kelompok pemakai
laporan keuangan tersebut layaknya memerlukan informasi yang berbeda pula sesuai
dengan tujuan dan kebutuhan informasi relevan yang dibutuhkannya. Namun demikian,
standar akuntansi yang selama ini dibuat umumnya ditujukan untuk menyusun laporan
keuangan yang bertujuan umum (general purpose financial statement). Oleh karena
adanya perbedaan kebutuhan informasi. Belkoui (1998), menyebutkan bahwa
kemungkinan ada tiga jenis laporan keuangan, yaitu:
Apapun bentuk laporan keuangan yang digunakan, beberapa pemakai laporan keuangan
bertindak sebagai kelompok yang dominan. Para pemakai berusaha untuk memengaruhi
badan penyusun standar agar mengembangkan standar akuntansi yang memenuhi tujuan
atau kepentingan mereka. Kondisi ini dipandang logis karena penentuan standar akuntansi
merupakan proses politik yang melibatkan arena, pelaku, dan bargaining power. Seperti
halnya dalam penetapan standar akuntansi sektor publik (SAKSP) menjalani proses yang
cukup panjang, dan terjadi “perebutan” standard setting body misalnya, antara organisasi
profesi (IAI) dan pemerintah (BAKUN; akhirnya dibubarkan, BPK).
Sehingga konsensus akhirnya menjadi pilihan dalam menentukan standar akuntansi
yang akan dipublikasikan. Misalnya dalam merumuskan standar akuntansi pemerintahan
(SAP), pemerintah telah membentuk Tim Pokja Evaluasi Pembiayaan dan Informasi
Keuangan Daerah (Depkeu, BPKP dan Depdagri) berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan (KMK. No. 355/KMK.07/2001). Tim ini telah berhasil dalam menyusun 11
SAP yang berlaku untuk seluruh instansi pemerintah dari pusat dan daerah dan berlaku
efektif sejak tahun 2003, khusus untuk DKI Jakarta. Sedangkan untuk seluruh Indonesia
(Pemerintah Propinsi dan Kabupaten) diberlakukan mulai tahun 2004 (melalui INPRES
a) Di Amerika Serikat:
1. Penentuan standar akuntansi biasanya dilakukan melalui proses yang bersifat
terbuka (due process). FASB, misalnya, dalam menentukan standar akuntansi
mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
2. Identifikasi masalah dan masalah yang muncul dicatat dalam agenda FASB.
3. Penunjukkan grup yang anggotanya terdiri dari masyarakat akuntansi dan bisnis.
Staf FASB bersama-sama dengan grup tersebut menyiapkan “Discussion
Memorandum” (DM) sesuai dengan masalah yang dihadapi. DM menyosoti
masalah utama dan alternatif yang diajukan badan.
4. DM disebarkan ke publik untuk dievakuasi selama satu periode paling lambat 60
hari.
5. Dengan pendapat dilakukan untuk membahas keunggulan dan kelemahan
berbagai alternatif/pendapat yang diajukan ke FASB.
6. Atas dasar berbagai komentar yang diterima, FASB mengeluarkan “Exposure
Draft” (ED) tentang standar akuntansi yang diajukan ke FASB. Tidak seperti
DM, ED menentukan posisi yang pasti dari FASB tentang masalah yang dibahas.
7. ED disebarluaskan ke masyarakat untuk dievaluasi paling lambat 30 hari.
8. Dengar pendapat dilakukan untuk membahas kebaikan dan kelemahan berbagai
alternatif/pendapat yang diajukan ke FASB.
9. Atas dasar berbagai komentar yang diterima, setelah pengeluaran Exposure Draft,
FASB mengambil langkah sebagai berikut.
a) Mengadopsi standar tersebut sebagai pernyataan resmi.
b) Mengajukan revisi terhadap standar yang yang diusulkan melalui prosedur
”due-process”. Menunda pengeluaran standar dan menyimpan masalah
dalam agenda.
c) Tidak mengeluarkan standar dan menghapus isu dari agenda. Biaya akan
dikeluarkan dari adanya kegiatan
Proses penentuan standar di atas didasarkan pada Misi dan Fungsi FASB yaitu: Misi
FASB: Membuat dan memperbaiki standar akuntansi dan pelaporan keuangan.
Fungsi FASB:
1. Meningkatkan manfaat pelaporan keuangan dengan fokus pada kualitas:
relevansi, reliabilitas, daya banding, dan konsistensi.
2. Menyesuaikan standar sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan
keuangan.
3. Mengevaluasi kelemahan berkaitan dengan pelaporan keuangan.
b) Di Indonesia:
Bahwa di negara kita, proses penyusunan standar keuangan mengacu pada pola yang
dikembagkan di Amerika Serikat (USA). Hal ini, diawali sejak tahun 1957, dimana
para akuntan berhasil menetapkan suatu kesepakatan yang merumuskan tentang peran
dan pentingnya profesi akuntan untuk suatu entitas. Dalam proses penyusunannya,
terjadi beberapa perubahan dan penyempurnaan Komite/Dewan SAK. Komite ini
bertugas untuk merumuskan suatu standar akuntansi sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing.
Saat ini di Indonesia, ada 3 (tiga) kelompok standar akuntansi keuangan yang telah
dihasilkan, yaitu PSAK sektor bisnis, PSAK untuk LKS (lembaga keuangan syariah)
dan SAP (standar akuntansi pemerintahan) untuk instansi pemerintah baik pusat
maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Secara rinci akan diuraikan pada
bagian akhir dari bab ini.
Isu tentang pendekatan yang harus dianut dalam penentuan standar telah menjadi
fokus penelitian dan perdebatan. Kebutuhan terhadap standar akuntansi itu sendiri
sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat kontroversial. Misalnya, beberapa peneliti
berpendapat bahwa dalam mekanisme pasar, telah terdapat media yang efisien dalam
menyediakan informasi keuangan yang diperlukan pemakai. Akibatnya, standar akuntansi
tidak diperlukan lagi guna memperbaiki kualitas informasi dalam proses pengambilan
keputusan. Pendukung regulasi menggunakan argumen kepentingan publik (public
interest). Pada dasarnya, kegagalan pasar atau kebutuhan untuk mencapai tujuan sosial,
akan memaksa dilakukannya regulasi akuntansi. Kegagalan pasar dapat terjadi karena
faktor berikut.
2. Pendekatan Regulasi.
Pendukung pendekatan regulasi berpendapat bahwa kegagalan pasar atau asimetri
informasi berkaitan dengan penyajian informasi keuangan bagi pihak
berkepentingan, dapat menurunkan kepercayaan investor. Masalah ini
kemungkinan dapat diatasi melalui regulasi. Penelitian juga menunjukkan bahwa
regulasi khususnya melalui standar akuntansi, bermanfaat bagi penyaji, auditor,
dan agen regulasi. Hal ini disebabkan regulasi memberikan pedoman yang jelas
tentang model pelaporan, verifikasi dan evaluasi tujuan (Rahman, 1992). Para
pendukung regulasi beranggapan bahwa kegagalan pasar dapat terjadi karena
berbagai faktor. Faktor tersebut tersebut terjadi karena:
Atas dasar berbagai faktor tersebut, terlihat bahwa mekanisme pasar cenderung gagal
menyajikan informasi yang optimal. Oleh karena itu, beberapa pihak mendukung perlunya
regulasi dalam akuntansi.
Teori Regulasi.
Atas dasar kelemahan yang melekat pada pendekatan pasar bebas (teori agensi)
tersebut maka fokus perhatian dalam penentuan standar akuntansi diarahkan pada
alternatif lain. Adanya berbagai krisis dalam penentuan standar mendorong munculnya
kebijakan regulasi akuntansi. Oleh karena permintaan terhadap kebijakan atau standar
macam itu didorong oleh adanya krisis yang muncul. Pihak penentu standar akuntansi
menanggapi dengan cara menyediakan kebijakan tersebut. Hubungan antara permintaan
dan penawaran tersebut mengarah pada terciptanya suatu keseimbangan. Dalam proses
regulasi yang dinamis ini, terdapat proses penyesuaian yang berlangsung terus menerus
terhadap kebijakan dan atau standar sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran.
Sementara itu, ada berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya overload standar
akuntansi, yaitu:
a) Menetapkan anggaran dasar/rumah tangga, pedoman pokok garis besar haluan dan
program kerja IAI.
b) Memberikan penilaian atas setuju tidaknya pertanggungjawaban pengurus pusat,
dewan pertimbangan profesi dan dewan penasehat tentang amanat yang diberikan
oleh kongres sebelumnya.
c) Menetapkan kebijakan maupun metoda akuntansi yang dipakai.
Secara umum dapat dipahami bahwa standar akuntansi selama ini mendominasi
pekerjaan akuntan. Standar tersebut akan terus berkembang secara dinamis, terus
berubah, dihapus (write off), maupun ditambah atau disempurnakan. Dalam praktik,
standar akuntansi dapat diterima secara umum sebagai aturan pokok bagi perusahaan
dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. Karena standar akuntansi tersebut
bersifat mengikat dan didukung oleh adanya sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi
atau melaksanakan pernyataan standar akuntansi keuangan tersebut.
Baxter (1979), standar akuntansi umumnya terdiri dari tiga proses, yaitu:
a. Memilih dan mengangkat ketua umum pengurus pusat.
b. Mengangkat seluruh anggota dewan pertimbangan profesi dan dewan penasehat.
c. Menetapkan auditor independen untuk mengaudit laporan keuangan kepengurusan
periode berikutnya.
Ketua dan anggota Komite SAK harus dibebaskan dari mencari dan
penyusunan standar akuntansi keuangan. Oleh karena itulah, tim teknislah yang
membuat anggaran biaya komite setiap tahun. Pengurus pusat dibantu oleh
Dewan Pensehat (Adviosry Council) secara bersama telah menetapkan
anggaran dan menyediakan dana berdasarkan kesepakatan antara pengurus
pusat, dewan penasehat dan komite/dewan SAK.
Di samping itu, juga dibentuk tim teknis yang bekerja penuh waktu dengan
kompensasi memadai, dipimpin oleh direktur penelitian dengan jumlah tim
yang disesuaikan dengan jumlah alokasi dana yang tersedia dari IAI.
Kompensasi anggota harus mencerminkan konstituen, yaitu pembuat laporan,
auditor, pemakai laporan, pemerintah dan akademisi. Untuk dapat menjadi
anggota Komite/Dewan SAK maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut.
Secara kronologis PSAK yang telah dihasilkan oleh IAI adalah sebagai
berikut.
Selain itu, dalam edisi September 2007 ini dilengkapi pula dengan 7
(tujuh) Interpretasi atas Standar Akuntansi (ISAK), yaitu:
PELATIHAN
KONSEP ASET
PENDAHULUAN
Bahwa aktiva tersebut secara prinsip berbeda dengan aset. Mengapa? Sebab aktiva
adalah harta kekayaan perusahaan yang dapat saja bersaldo minus. Karena aktiva tersebut
menjadi jaminan untuk laibilitas atau kegiatan tertentu. Sedangkan aset seyogyanya tidak
boleh bersaldo minus karena aset merupakan harta kekayaan perusahaan yang bebas dan
secara murni memang milik perusahaan yang bebas dari penjaminan tertentu.
Oleh karena itu, hendaknya kita memahami secara benar makna dari kedua kata
tersebut. Meskipun secara karakteristik bahwa antara aktiva dan aset mempunyai sifat
yang sama, yaitu keduanya berkaitan dengan kriteria yang digunakan untuk menentukan
apakah transaksi tertentu diakui sebagai elemen aset dalam laporan keuangan. Dalam
pembahasan selanjutnya istilah yang digunakan adalah aset.
A. PENGERTIAN ASET
APB (1970) dalam pernyataan No. 4, bahwa aset adalah sumber-sumber ekonomi
perusahan yang diakui dan diukur sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum,
termasuk beban tangguhan tertentu yang tidak berbentuk sumber ekonomi. Sedangkan
FASB (1980), aset adalah manfaat ekonomi yang mungkin terjadi dimasa mendatang yang
diperoleh atau dikendalikan oleh suatu entitas tertentu sebagai akibat transaksi atau
peristiwa masa lalu. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa aset memiliki tiga
karakteristik utama sebagai berikut.
1. memiliki manfaat ekonomi dimasa mendatang;
2. diperoleh dan dikuasai oleh unit usaha tertentu; dan
3. hasil dari transaksi masa lalu.
a. dapat digunakan baik sendiri maupun bersama aset lain dalam produksi
barang dan jasa yang dijual oleh unit usaha;
b. dapat diperputarkan dengan aset lain;
c. dapat digunakan untuk melunasi laibilitas; dan
d. dapat dibagikan kepada pemilik perusahaan.
Menurut Paton (1962), aset merupakan kekayaan (property) berbentuk fisik atau
bentuk lainnya yang memiliki nilai bagi suatu unit usaha. Sedangkan menurut Spague
(1970), aset adalah persediaan atau potensi yang akan diterima atau dimiliki oleh suatu
unit usaha. Vatter (1947), mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi masa yang akan
datang dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, diukur, atau disimpan. APB (1970)
dalam pernyataan nomor 4 memberikan contoh sumber ekonomi perusahaan sebagai
berikut.
Penilaian aset dalam akuntansi adalah proses penentuan jumlah rupiah untuk
menentukan makna ekonomi dari suatu aset yang akan disajikan dalam Neraca.
Konsep penilaian berkaitan dengan masalah penentuan makna yang ingin disampaikan
a) Tujuan Penilaian
Tujuan pengukuran/penilaian aset adalah sebagai berikut.
1. Untuk pengukuran laba.
2. Untuk pengungkapan dan penyajian dalam laporan posisi keuangan.
3. Memenuhi kebutuhan informasi yang ingin dicapai dalam pelaporan
keuangan.
4. Memenuhi kebutuhan informasi khusus yang memerlukan penilaian untuk
kepentingan manajemen.
b) Dasar Penilaian
Penilaian aset berkaitan dengan penentuan nilai tukar dari aset tersebut.
Hendriksen (1982) menyebutkan bahwa ada dua jenis nilai tukar yang dapat
digunakan yaitu nilai keluaran (output values) dan nilai masukan (input values).
Nilai Keluaran (output values) menunjukan arus dana (kas) yang diperkirakan akan
diterima perusahaan dimasa mendatang sesuai dengan harga pertukaran produk
yang dihasilkan perusahaan. Sedang nilai masukan (input values) menunjukan
jumlah rupiah yang harus dikeluarkan perusahaan untuk memperoleh aset (input)
yang akan digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan.
1. Nilai Keluaran
Nilai keluaran didasarkan pada jumlah kas atau penghargaan lain (non kas)
yang diterima suatu unit usaha bila suatu aset/potensi jasa akhirnya keluar dari
unit usaha tersebut karena suatu pertukaran. Dasar lain yang dapat digunakan
yaitu:
U
P = -----------------
(1+i)n
P = Nilai sekarang (present value) dari aset
U = Kas/setaranya yang akan diterima
i = Faktor diskonto
n = Periode penerimaan kas (waktu)
Pertama, dasar penilaian tersebut hanya dapat diterapkan untuk aset yang
pemiliknya dimaksudkan untuk dijual seperti persediaan, surat berharga,
peralatan dan tanah yang tidak memiliki manfaat lagi untuk kegiatan operasi
perusahaan.
Kedua, dasar penilaian ini merupakan pengganti harga jual masa mendatang
sehingga relevansi pemakaian menimbulkan masalah.
Ketiga, semua aset tidak dapat dinilai atas dasar harga jual sekarang, sehingga
metoda penilaian yang berada harus digunakan untuk menilai aset yang
berbeda pula.
2. Nilai Masukan
Dalam menilai aset, nilai masukan sering dianggap lebih tepat dari pada nilai
keluaran karena nilai keluaran tersebut lebih dapat diuji kebenarannya. Untuk nilai
masukan tersebut tidak memungkinkan dilakukannya pelaporan pendapatan sebelum
pendapatan benar-benar terealisasi. Dalam penilaian yang dapat digunakan untuk nilai
masukan adalah sebagai berikut.
a. Biaya Historis (cost historis); prinsip yang menghendaki digunakannya harga
perolehan dalam mencatat aktiva. utang, modal, dan biaya. Yang dimaksud
dengan-harga perolehan adalah harga pertukaran yang disetuiui oleh kedua belah
pihak vang tersangkut dalam transaksi. Harga perolehan ini harus terjadi dalam
transaksi di antara dua belah pihak yang bebas. Harga pertukaran ini dapat terjadi
pada seluruh transaksi dengan pihak ekstern, baik yang menyangkut aktiva, utang,
modal atau transaksi lainnya.
Kelemahan historical cost menurut Muljono yang dikutip dari Kodrat
(http://www.petra.ac.id/~puslit/journals) antara lain:
1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil karena pendapatan untuk suatu hal
tertentu pada saat tertentu akan dibebani biaya yang didasarkan pada suatu nilai
uang yang telah ditetapkan beberapa periode yang lalu pada saat pencatatan
terjadinya biaya tersebut.
2. Nilai aset yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah
apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir. Di
samping itu juga terjadi perubahan-perubahan kurs yang cepat atas aset dan pasiva
dalam valuta asing yang dikuasai persahaan sehingga mengalami kesulitan dalam
perhitungan selisih kurs yang tepat.
3. Alokasi biaya untuk depresiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan
mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
4. Laba/rugi yang terjadi yang dihasilkan oleh perhitungan laba/rugi yang didasarkan
pada asumsi adanya stable monetary unit tersebut tidaklah riil apabila diukur
dengan perkembangan daya beli uang yang sedang berlangsung.
5. Perusahaan tidak akan memperahankan real-capital-nya dan ada kecenderungan
terjadinya kanibalisme terhadap modal sehubungan dengan pembayaran pajak
perseroan dan pembagian laba yang lebih besar daripada semestinya.
6. Menyalahi mathematical principle karena berbagai himpunan yang tidak sama
dijumlahkan menjadi satu.
7. Di samping hal-hal di atas akan timbul kesulitan-kesulitan bagi manajemen
perusahaan apabila harus mendasarkan pada laporan akuntansi yang disusun atas
dasar asumsi adanya stable monetary unit.
Sedangkan Fair Value adalah Berdasarkan FASB Concept Statement No.7 dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan
aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara
partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011). IAI dalam buletin teknis
no.3, Paragraf PA 84 manyatakan bahwa: Dasar dari definisi fair value adalah asumsi
bahwa entitas merupakan unit yang akan beroperasi selamanya tanpa ada intensi atau
keinginan untuk melikuidasi, untuk membatasi secara material skala operasinya atau
transaksi dengan persyaratan yang merugikan. Dengandemikian, fair value bukanlah
nilai yang akan diterima atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang
dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai
adalah nilai yang wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.
Current operating profit (current operating profit) adalah ekses dari nilai
saat ini dari output yang terjual lebih dari current cost dari masukan yang terkait.
Realisable cost savings adalah peningkatan current cost pada aset yang dimiliki
oleh perusahaan pada periode berjalan. Keduanya mencakup perubahan biaya yang
Contoh: Perusahaan dengan modal kas $1000 pada 1 Januari, membeli 100 unit barang
dengan harga $10/unit, dari supplier untuk dijual kembali. Pada 31 Januari, semua unit
barang tersebut terjual dengan harga masing-masing $18. Pada tanggal tersebut, harga
unit barang dari supplier telah naik menjadi $12/unit. Diasumsikan bahwa profit
dibagikan semua menjadi dividen.
Kenaikan $2 dari harga barang yang dibeli tanggal 1 Januari dan 31 Januari ($10
menjadi $12 per unit) menjadi holding gain, karena telah terjadi cost saving yakni
penghematan arus uang keluar. Pembelian barang dilakukan pada saat barang lebih
murah daripada pembelian dilakukan terkemudian.
Profit menurut pandangan ini adalah $800, karena perusahaan telah mampu
mempertahankan modal keuangannya (financial capital) yakni jumlah cash at hand,
bila ditilik dari keadaan awal dan akhir periode:
Jumlah kemampuan menghasilkan unit fisik awal dan akhir harus sama, yakni 100 unit.
Jika $200 (total kenaikan harga input dari $10 ke $12) menurut financial capital view
adalah holding gain, menurut physical capital view ini adalah capital maintenance
adjustment: jumlah yang diperlukan untuk menjaga kemampuan operasional perusahaan
menghasilkan unit fisik yang sama pada awal dan akhir periode (100 unit) dengan
perubahan harga terkini/current price ($10/unit ke $12/unit). Jika yang diakui sebagai
profit dan dibagikan sebagai dividen $800, maka modal yang tersisa adalah $1000 (1800-
800). Modal ini hanya akan menghasilkan 83 unit (1000/12), sehingga keberlangsungan
operasional modal takkan terjaga, dikutip dari: http://bdwinurcahyo.blogspot.com/
2013/07/ current-cost-accounting. html).
Dalam bisnis, pengukuran terhadap aset seringkali jadi masalah. Hal ini disebabkan
adanya berbagai konsep atau prosedur yang ditawarkan, sehingga memungkinkan
memakai lebih dari satu konsep. Terutama berkaitan dengan pengukuran dan pengakuan
serta penyajian dalam laporan keuangan, misalnya untuk menghitung laba atau
menyajikan informasi lainnya bagi kreditur, investor, maupun pemakai lainnya maka
harus didasarkan atas konsep yang jelas dan konsisten.
Di sisi lain, dalam bisnis untuk pengukuran aset tidak ada satu konsep pun yang ideal
dapat dipakai, misalnya pengukuran dengan harga perolehan historis, sementara dianggap
sebagai dasar pengukuran yang ideal karena memenuhi asas daya banding dan keajekan.
Namun dalam kondisi lain, bisa jadi dasar pengukuran kini (current) yang lebih baik
karena dapat menujukkan informasi yang wajar (terutama untuk nilai aset yang disajikan)
berkaitan dengan tingkat inflasi yang terjadi.
Bila ditinjau dari sudut pandang interpretasional, pengukuran aset dimaksudkan untuk
menghasilkan sumber daya penerimaan kas atau aset lainnya untuk masa yang akan
Namun, jika ditinjau dari sudut pandang normatif, bahwa tujuan pengukuran aset
adalah untuk menyediakan informasi yang memungkinkan terjadinya estimasi kas yang
akan diterima pada periode yang akan datang. Dalam konteks ini maka konsep keluaran-
lah yang paling tepat digunakan karena lebih unggul daripada konsep masukan. Jadi nilai
bersih yang dapat direalisasikan dan nilai setara kas berlaku relevan untuk berbagai
estimasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:
TABEL 4
KONSEP PENGUKURAN DAN KONDISI PENERAPAN
Ada beberapa masalah khusus yang berkaitan dengan aset ini, yaitu:
1) , sebuah perusahaan asuransi biaya
premium secara bulanan sejak layanan yang menyediakan dan cakupan adalah bulanan.
Premi yang dibayarkan untuk bulan yang mencakup seluruh bulan jasa oleh perusahaan.
Perusahaan memungkinkan pelanggan untuk membayar untuk keseluruhan tahun di muka
Konsep ini adalah dasar dari akuntansi akrual dan konsep yang mengakui
pendapatan pada titik penjualan dan mengakui biaya sebagai terjadinya, meskipun
penerimaan kas atau pembayaran terjadi di lain waktu atau lain periode akuntansi.
Jadi menerapkan prinsip pencocokan uang itu akan didistribusikan secara merata selama
periode pelayanan juga memperhitungkan peristiwa account lain yang dapat terjadi
seperti, anggota menjatuhkan cakupan dalam periode tersebut. Ini akan berarti bahwa jika
anggota tetes cakupan setelah 6 bulan perusahaan akan tidak melaporkan jumlah
keseluruhan dalam aset lancar s selama laporan sebelumnya. Pelaporan premi lengkap
seperti uang yang diperoleh memberikan ilusi dari saldo kas yang lebih tinggi dalam
laporan laba rugi. Sebuah cara untuk mencegah hal ini adalah jika perusahaan ditangani
dengan piutang dan hutang secara bulanan, tapi itu tidak praktis. Perusahaan biasanya
menyediakan kredit untuk menarik pelanggan atau pilihan untuk membayar depan untuk
kenyamanan pelanggan.
Ada 2 jenis cara semacam ini masalah akan perlu dilacak dalam proses
pembukuan, yaitu:
- Uang dibayar di muka untuk mendapatkan perusahaan jasa selama periode waktu.
- Uang yang diterima di muka untuk layanan perusahaan perlu untuk menyediakan lebih
dari periode waktu.
Perusahaan perlu untuk membayar tagihan utilitas dan katakanlah mereka membayar
triwulanan utilitas perusahaan, ini berarti bahwa perusahaan meskipun harus membayar
tagihan utilitas sekali dalam 3 bulan masih menggunakan layanan yang disediakan oleh
memanfaatkan setiap bulan. Perusahaan memiliki kewajiban membayar tagihan utilitas
dan yang perlu dicatat sebagai beban pada neraca, sehingga aset lancar perusahaan
mendapatkan dilaporkan secara akurat. Tanpa ini neraca akan menunjukkan keseimbangan
yang lebih tinggi termasuk jumlah perusahaan wajib membayar. Perusahaan kemudian
memiliki akrual biaya yang telah untuk merekam untuk mencerminkan dalam neraca.
Sebuah bank yang menyediakan layanan pinjaman kepada perusahaan mungkin mengirim
tagihan ke perusahaan untuk kepentingan pinjaman setiap 6 bulan. Meskipun bank
mendapat bunga hanya sekali setiap 6 bulan bunga pinjaman yang masih harus dibayar
setiap bulan dan perusahaan wajib membayar bunga. Bank perlu untuk merekam ini akrual
pendapatan secara bulanan sehingga rekening laporan keuangan untuk ini. Tanpa
akuntansi untuk ini dengan periode akuntansi laporan akan menunjukkan lebih sedikit aset
untuk bank dari apa bank telah benar-benar masih harus dibayar.
Perusahaan biasanya membayar premi Asuransi untuk satu tahun di muka. Dalam
kasus itu mencakup premi lebih dari 2 periode pelaporan, menempatkan seluruh jumlah
2) Kapitalisasi Bunga, kapitalisasi biaya bunga merupakan suatu topik yang banyak
menimbulkan polemik di kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan kaum profesi. Pada tahun
1994, Ikatan Akuntan Indonesia telah menerbitkan suatu standar yang mengatur mengenai
perlakuan akuntansi, yang dianggap sesuai, terhadap biaya bunga. Sejauh ini Indonesia
banyak mengadaptasi standar luar seperti misalnya IAS dan FASB. Khusus mengenai
PSAK no. 26 yang berjudul "Akuntansi Bunga untuk Periode Konstruksi" diadaptasi dari
SFAS no. 34 dan bukan dari IAS no. 23.
Terkait dengan perusahaan properti yang pada masa booming (sebelum krisis) sempat
menjadi primadona, ternyata penerapan kapitalisasi biaya bunga dijadikan fasilitas yang
sangat menguntungkan untuk praktik penggelembungan nilai aset, nilai modal, bahkan
untuk mendongkrak nilai laba bersih secara signifikan. Dari pengamatan 15 perusahaan
properti yang listing di BEI, yang menggunakan kapitalisasi, ternyata semuanya
melaporkan laba bersih yang cukup tinggi dan rasio keuangan yang bagus. Tentu saja, hal
tersebut tidak berlaku apabila perlakuan expense atas biaya bunga dipilih.
Sampai saat ini, kritik mengenai topik ini masih banyak dilontarkan baik dari kalangan
FASB sendiri maupun dari IASC yang tegas-tegas menolak perlakuan kapitalisasi atas
biaya bunga. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, melalui IAI, memilih
untuk merevisi PSAK no. 26 tahun 1999. Edisi revisi tersebut, ternyata justru ditambahkan
suatu item baru yang dapat dikapitalisir yaitu rugi selisih kurs. Tentu saja hal ini kemudian
dipandang sebagai suatu kemunduran, dibandingkan praktik akuntansi negara-negara
tetangga yang tidak menerapkan hal tersebut. Kontribusi solusi yang sejauh ini dipandang
berarti ialah mengenai aspek pengungkapan penuh. Untuk mempertahankan konsep
kapitalisasi, PSAK no. 26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah
ada sekarang. Walaupun ini bukan solusi yang paling akurat, tetapi setidaknya cukup
mampu untuk membendung terjadinya asimetri informasi, antara penyaji dan pengguna
laporan keuangan.
Pendekatan teoretis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang
lebar antara teori dan praktik di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi
standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS no.23 merupakan
suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikanm, (Sumber Aruna Wirjolukito,
2011: http://lontar.ui.ac.id/opac themes/libri2/detail.jsp?id= 75912&lokasi=lokal, diakses
tanggal 26 Januari 2012).
Kapitalisasi Bunga Pinjaman menurut PSAK No. 16/2007 tercantum pada paragraf 16,
sebagai berikut.
Biaya administrasi dan overhead umum lainnya bukan merupakan suatu komponen biaya
aset tetap sepanjang biaya tersebut tidak dapat diatribusikan secara langsung pada biaya
perolehan aset atau membawa aset ke kondisi kerjanya. Demikian pula biaya permulaan
(start-up costs) dan pra produksi serupa tidak merupakan bagian biaya suatu
aset kecuali biaya tersebut perlu untuk membawa aset ke kondisi kerjanya. Rugi
operasi awal yang terjadi sebelum suatu aset mencapai kinerja yang direncanakan diakui
sebagai suatu beban. Berdasarkan paragraf 16 di atas pada point "sepanjang biaya
tersebut tidak dapat diatribusikan secara langsung pada biaya perolehan", maka apabila
pinjaman tersebut hanya dikhususkan untuk membeli aset tetap tersebut, bukan untuk
kepentingan yang lain maka bunga tersebut dapat diatribusikan secara langsung pada aset,
sehingga biaya bunga tersebut seharusnya dikapitalisasi pada aset tersebut.
Dilihat lagi dari prinsip matching cost again revenue, apabila pembebanan bunga ini
dilakukan dalam satu tahun sekaligus, maka akan terjadi pembebanan bunga yang terlalu
tinggi pada tahun tersebut sedangkan bunga tersebut merupakan bunga pinjaman atas
pembelian aset yang masa manfaatnya untuk menghasilkan revenue/pendapatan bukan
hanya di tahun tersebut. Berdasarkan pasal Pasal 9 ayat 2 UU PPh: Pengeluaran untuk
Apabila masa ekonomis aset secara akuntansi berbeda dengan masa penyusutan fiskal
(secara fiskal penyusutan dikelompokan dalam kelompok 2), maka akan terdapat koreksi
fiskal (positif atau negatif) beda waktu yang menimbulkan aset atau kewajiban pajak
tangguhan.
Transaksi ini akan dicatat, (D) Beban hak paten; (K) Kas
Hal ini kurang lazim diperlakukan sebagai pengeluaran revenue (beban) bila manfaat
ekonomis dari pengeluaran tersebut melebihi dari satu periode akuntansi. Seharusnya
adalah dicatat sebagai (D) Hak Paten; (K) Kas. Kemudian akhir periode akuntansi
diamortisasi, yaitu dicatat (D) beban operasional (hak paten); (K) Hak Paten.
Sehingga diperlukan pengakuan pengeluaran kapital pada saat pembayaran (disajikan pada
laporan posisi keuangan dalam kelompok aset tidak berwujud) dan pada akhir periode
dilakukan amortisasi sesuai masa manfaat ekonomis, disajikan pada laporan laba rugi.
4. Modal donasi (aset sumbangan), berkaitan dengan sumbangan/donasi dari pihak luar
yang tidak mengikat. Sumber modal ini bisa berasal dari pemerintah maupun pihak
lainnya. Misalnya tanah (hibah) dari pemerintah untuk pembangunan terminal induk,
maka hal ini akan dicatat dengan mendebit Tanah dan mengkredit ‘Modal Donasi”. Modal
donasi ini, terpisah dari modal perusahaan (modal saham, agio/disagio saham, atau laba
ditahan). Namun tetap dilaporkan dalam kelompok modal (equitas), sementara di debit
(dalam kelompok aset) disajikan sebagai bagian dari aset tetap (Tanah*).
5. Transaksi aset non-moneter, merupakan peristiwa atau kejadian yang tidak berimplikasi
pada pengeluaran atau pendapatan. Hal ini terjadi akan karena adanya:
a) pertukaran aset;
b) penerimaan hibah (donasi); dan
c) penghapusan nilai aset yang sudah off balance sheet atau write off.
KONSEP PENDAPATAN
PENDAHULUAN
Banyak pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan konsep pendapatan. Dari
sekian banyak konsep tersebut, antara lain yang memandang dari sisi arus aset, produk
perusahaan, pemasaran produk, dan lain-lain. Secara lebih jelas berikut ini akan diuraikan
beberapa konsep pendapatan.
A. PENGERTIAN PENDAPATAN
Dari aspek moneter, Paton dan Littleton (1976) menghubungkan arus pendapatan dengan
arus masuk aset yang berasal dari seluruh kegiatan operasi perusahaan. Atas dasar ini
konsep pendapatan, seperti yang diungkapkan Belkaoui (1993) dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 6
ALIRAN PENDAPATAN
Pendekatan Aset-Laibilitas
Dalam APB (1970) pernyataan No. 4 diejlaskan bahwa, pendapatan adalah kenaikan
kotor aset atau penurunan kotor laibilitas yang diakui dan diukur sesuai dengan prinsip
akuntansi berterima umum yang berasal dari kegiatan perusahaan berorientasi laba yang
dapat mengubah ekuitas pemilik. Sedangkan, FASB (1980) dalam SFAC No. 6
mendefinisikan bahwa, pendapatan adalah arus masuk atau kenaikan aset suatu entitas
atau penurunan laibilitas (atau kombinasi keduanya) dari penyerahan atau produksi
barang, penyerahan jasa, atau kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama yang
berlangsung terus menerus dari entitas tersebut.
Sedangkan IAI sendiri memiliki pengertian pendapatan yang tidak jauh berbeda.
Seperti termaktub dalam PSAK No. 23/2009 tentang pendapatan, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pendapatan adalah:
“Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aset normal perusahaan
selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak
berasal dari kontribusi penanam modal”.
FASB (1980) mendefinisikan untung (gains) sebagai kenaikan aset yang sekaligus
menaikkan modal yang berasal dari transaksi sampingan atau insidentil atau
transaksi/peristiwa lain yang bukan berasal dari pendapatan atau investasi oleh
pemilik. Dalam pengertian tersebut bahwa FASB memisahkan untung dari
pendapatan. Meskipun demikian, dalam penyajian laporan keuangan, untung tersebut
tetap dilaporkan dalam laporan rugi laba dalam kelompok tersendiri (extra ordinairy
item) yaitu dalam pos laba diluar usaha, sebagai bagian dari laba secara keseluruhan
(comprehensive income).
I = R+G
Sehingga dengan cara ini, para pemakai laporan keuangan akan dapat mengetahui
dengan jelas kenaikan nilai aset perusahaan, apakah yang berasal dari kegiatan utama
perusahaan atau kegiatan sampingan (insidentil)?
Pendapatan diukur dalam satuan nilai tukar produk atau jasa dalam suatu transaksi
yang bebas (arm’s length transaction). Nilkai tukar tersebut menunjukkan ekuivalen
kas atau nilai diskonto tunai dari uang yang diterima atau akan diterima dari transaksi
penjualan. IAI juga menganut prinsip yang sama yaitu mengukur pendapatan
berdasarkan nilai wajar imbalan yang diterima atau dapat diterima.
Apabila periode pengumpulan kas relatif pendek maka potongan tersebut dapat
dihiraukan. Ada tiga alasan yang mendukung perlakuan ini, yaitu:
1) Pada tingkat potongan yang rendah, jumlah yang relatif kecil tidak akan
memengaruhi pengukuran pendapatan. Contohnya bila terjadi transaksi penjualan
secara kredit, dengan potongan 15% dan masa jatuh tempo selama 60 hari, maka
akan menghasilkan potongan kurang dari 3% dari total pendapatan (3/12x15%).
2) Karena potongan dapat diklasifikasikan sebagai bagain dari total pendapatan, maka
pengaruh utama ada pada masalah pengakuan pendapatan tersebut. Potongan harus
segera dicatat setelah pendapatan diakui. Akan tetapi bila jumlah potongan tidak
material (jumlahnya cukup besar) maka pengaruhnya terhadap lapa periode juga
tidak akan besar.
3) Penggolongan pendapatan yang timbul dari penjualan yang disertai potongan dapat
diakui dan dicatat sebagai rugi dan hal ini akan mengurangi jumlah pendapatan
(revenue), (Godzali dan Chariri, 2001, 259).
Gambar 7
PROSES PEMBENTUKAN PENDAPATAN
Adanya kepastian perubahan produk menjadi bentuk aset lain (potensi jasa)
melalui kegiatan penjualan yang sah. Diperolehnya aset lain (bentuk aset lancar)
sebagai bentuk pengesahan terhadap transaksi penjualan tersebut, (Godzali dan Chariri,
2001, 262). Berdasarkan peristiwa atau kejadian kedua hal pokok di atas maka dalam
proses realisasi pada dasarnya merupakan penegasan dari proses pembentukan
pendapatan. Sehingga pendapatan tersebut dapat diakui sesuai dengan waktu
kejadiannya dan akan diakui secara proporsional sesuai dengan waktu untuk
mewujudkan pendapatan tersebut.
Menurut FASB (1980) yang dimuat dalam pernyataan SFAC No. 5, ada dua
kriteria yang dapat dijadikan dasar untuk mengakui pendapatan, yaitu:
Telah terealisasi (realized), yaitu bila terjadi transaksi pertukaran antara barang yang
dihasilkan perusahaan dengan kas atau klaim untuk menerima kas. Syarat agar barang
mudah dikonversi adalah:
Menurut Kam (1990), ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengakui
pendapatan, yaitu:
Cara lain untuk mencerminkan keterukuran nilai aset adalah adanya kepastian
pengumpulan kas. Masalah pengumpulan kas berkaitan erat dengan perimbangan
(judgment) yang umumnya didasarkan pada pengalaman perusahaan sebelumnya.
Makin lama periode pengumpulan makin besar tingkat ketidakpastian
pengumpulan kas. Hal ini berakibat pada pendapatan tidak dapat segera untuk
diakui.
b) Terjadinya transaksi
Pendapatan diakui apabila terjadi pertukaran antara barang yang dihasilkan
perusahaan dengan aset baru yang diterima perusahaan. Adanya keterlibatan pihak
luar dalam transaksi menunjukkan adanya bukti yang objektif yang berimplikasi
pada naiknya nilai perusahaan. Transaksi pertukaran merupakan nilai dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam menentukan waktu pengakuan pendapatan
dan jumlah pendapatan yang harus dicatat dan diakui, (Godzali dan Chariri, 2001,
265).
Namun timbul masalah yang terjadi apabila pendapatan diakui pada saat
penjualan adalah yang berkaitan dengan biaya yang terjadi setelah penjualan
(after sales costs) misalnya biaya penagihan piutang usaha, biaya klaim, dan lain-
lain. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi hal
ini,yaitu:
Biaya setelah penjualan, dalam praktik biaya ini terjadi seringkali muncul
setelah terjadinya penjualan, maka sebagai solusinya bila biaya ini muncul adalah
dengan melakukan pendebitan pada jumlah rupiah taksiran biaya dan mengkredit
jumlah rupiah yang sama ke rekening cadangan biaya.
Hak pengembalian barang, khusus kasus ini FASB (1981) yang termuat
dalam SFAS No. 48 menyatakan bahwa bila pembeli mengembalikan barang,
maka pendapatan baru dapat diakui bila beberapa syarat berikut dapat terpenuhi:
Harga jual pasti dan dapat ditentukan pada saat pejualan. Pembeli sudah
membayar kepada penjual atau pembeli diwajibkan untuk membayar penjualan.
Kewajiban untuk membayar tersebut tidak tergantung pada kondisi apakah produk
yang dibeli laku dijual atu tidak. Kewajiban membayar kepada penjual tidak
berubah apabila produk dicuri, nilai produk berkurang atau produk mengalami
kerusakan (aus atau susut).
Pembeli benar-benar ada atau dengan kata lain pembeli merupakan suatu
badan yang secara ekonomi disebut perusahaan Penjual secara signifikan tidak
memiliki kewajiban atau bertanggungjawab terhadap hasil penjualan kembali
produk yang dilakukan pembeli. Jumlah nominal pengambilan dapat ditaksir
secara cukup pasti. Penjualan jasa, ada beberapa pedoman yang dapat digunakan
untuk mengakui pendapatan jasa sebagai berikut.
Apabila kinerja (performance) jasa terdiri dari pengerjaan satu macam tindakan,
pendapatan diakui pada saat pekerjkaan tersebut terlaksana. Misalnya, biro jual
beli rumah, biro jasa, maka pendapat akan diakui pada komisi dari kegiatan
tersebut telah terjadi transaksi. Bila pelaksanan jasa terdiri dari pengerjaan lebih
dari satu macam kegiatan atau tahapan, maka pendapatan diakui selama periode
pelaksanan pekerjaan atau secara proporsional sesuai dengan jangka waktu
penyelesaian jasa tersebut.
Bila jasa dilaksanakan lebih dari satu macam kegiatan, maka pendapatan harus
diakui pada saat pelaksanaan pekerjaan seluruhnya selesai bedasarkan kondisi
berikut.
Dari beberapa pendekatan dalam pengakuan pendapatan di atas maka dapat diringkas
pelaporan pendapatan harus memenuhi kriteria berikut.
Tabel berikut ini mengikhtisarkan beberapa periode dan kondisi pelaporan pendapatan
dalam laporan keuangan, yaitu:
TABEL 5
IKHTISAR PELAPORAN PENDAPATAN
PELATIHAN
KONSEP BIAYA
PENDAHULUAN
Biaya merupakan salah satu pengorbanan yang harus dilakukan oleh suatu entitas
bisnis, agar tujuannya dapat tercapai. Ada beberapa konsep biaya yang ditemukan dalam
praktik bisnis. Salah satu konsep tersebut adalah, konsep dasar yang melandasi
pembebanan dan pelaporan biaya menurut Paton dan Littleton (1970), yaitu Konsep
Upaya dan Hasil (efforts and accomplishment concepts) yang terbagi dalam dua bagian,
yaitu:
a) Expenses yang masih melekat diakui dan dicatat sebagai biaya.
b) Expenses yang sudah habis dipakai, diakui, dan dicatat sebagai beban.
A. PENGERTIAN
Ada beberapa pengertian biaya dilihat dari sudut pandang peristiwa moneter dan fisik.
Menurut FASB (1980), “Biaya adalah arus kas keluar (cash out flows) atau pemakaian
aset atau timbulnya laibilitas atau kombinasi keduanya selama satu periode yang berasal
dari penjualan atau produksi keduanya selama satu periode yang berasal dari penjualan
atau produksi barang atau penyerahan jasa atau pelaksanaan kegiatan lainnya yang
merupakan kegiatan utama perusahaan (entitas)”. Sedangkan IAI (2009) dalam paragraf
70, “Biaya (beban) adalah penurunan manfaat ekonomis selama satu periode akuntansi
dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang
mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal”.
Menurut Kam (1990), biaya sebagai penurunan nilai aset atau kenaikan laibilitas atau
kenaikan ekuitas pemegang saham (stockholder’s equity) sebagai akibat pemakaian barang
atau jasa oleh suatu unit usaha untuk menghasilkan pendapatan periode berjalan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, biaya tersebut memiliki karakter
sebagai berikut.
Secara lebih jelas, perbedaan antara biaya dan beban dapat dilihat pada tabel berikut.
1. Konsep Biaya Historis (historical cost), yaitu jumlah rupiah atau setara kas yang
dikorbankan untuk memperoleh aset berdasarkan periode pengeluarannya, seperti
gedung, peralatan, dan asuransi dibayar dimuka.
2. Konsep Biaya Pengganti (replacement cost), yaitu jumlah atau harga aset
pertukaran sekarang sebagai dasar pencatatan. Misalnya, penilaian untuk sediaan,
aset, gedung, dan tanah.
3. Konsep Biaya Setara Kas (cash equivalent), yaitu jumlah rupiah atau kas yang
dapat direalisasi dalam kondisi perusahaan normal.
Dalam konsep untuk mengakui biaya ada dua konsep yang mempunyai kedudukan
penting yaitu:
a) sebagai aset (potensi jasa) dan
b) sebagai beban pendapatan (biaya).
Atas dasar konsep kontinyuitas usaha (going concern), biaya pertamakali dapat
diperlakukan sebagai pengurang pendapatan, namun hal ini berakibat munculnya dua
masalah yaitu:
1) Kriteria yang digunakan untuk menentukan biaya tertentu yang harus dibebankan
pada pendapatan periode berjalan.
2) Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa biaya tertentu ditangguhkan
pembebanannya.
Di lain pihak beban dalam laporan rugi laba dapat diakui bila terdapat penurunan
manfaat ekonomis masa mendatang yang berkaitan dengan penurunan aset atau
kenaikan kewajiban yang telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Beban juga akan
dapat diakui, dicatat dan dilaporkan dalam laporan laba rugi pada saat timbul
kewajiban meskipun tanpa harus adanya pengakuan aset, misalnya saat timbulnya
laibilitas garansi.
Konsep ini dimaksudkan adalah untuk mencarai dan menemukan dasar hubungan yang
tepat dan rasional anatara pendapatan dan biaya. Pendapatan merupakan hasil yang akan
dituju oleh perusahaan, sementara biaya yang dikeluarkan adalah dalam upaya untuk
memperoleh pendapatan tersebut sesuai dengan konsep upaya dan hasil. Namun terkadang
muncul masalah berkaitan dengan upaya penandingan ini. Masalah utama tersebut adalah
menandingkan antara pendapatan dan biaya, yuaitu untuk menentukan dasar yang paling
tepat, antara biaya dan pendapatan yang berhubungan langsung.
Hubungan fisik yang dapat dilihat sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk
dapat melacak dan dasar pembebanannya. Meskipun demikian harus diakui bahwa dengan
melihat kondisi yang ada, seharusnya dasar penandingan yang paling penting adalah
alasan kelayakan (reasonableness) bukan pada alasan hubungan fisiknya. Gambar konsep
penandingan hubungan biaya dengan pendapatan sebagai berikut.
GAMBAR 8
KONSEP PENANDINGAN
GOODS
BUSSINES UNIT
INCOME
UNITUNITS
EXPENSES
CGM/CGS BTU
D Revenue dan
csT Gains
Cost of Assets
Basic of matching:
-Hubungan sebab akibat
-Alokasi sistematis
-Pembebanan segera
Ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan sebagai dasar untuk mencari
hubungan antara biaya dan pendapatan dalam satu periode tertentu, (Kam, 1990)
mengemukakan sebagai berikut:
1. Hubungan sebab akibat (association of causes and effects)
1. Hubungan sebab akibat, dalam dasar ini biaya akan ditandingkan secara langsung
(direct matching principles) seperti beban komisi penjualan, gaji dan upah, dan
beban barang yang terjual (cost of goods sold). Oleh karena itu, biaya harus
dihubungkan dengan pendapatan yang direalisasi selama periode tertentu atas
dasar korelai rasional yang dapat dilihat secara langsung. Sehingga dalam
mengalokasikasikan secara rasional biaya tersebut dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) biaya yang melekat pada produk yang terjual yang akan diakui sebagai beban;
dan
b) biaya yang melekat pada produk yang belum terjual (dilaporkan sebadai elemen
persediaan) dan akan dicatat sebagai aset sampai produk atau jasa tersebut
terjual.
2. Alokasi sistematis dan rasional, atau dikenal dengan dasar penandingan periodik
(period matching) atau penandingan tidak langsung (indirect matching principles).
Alokasi ini dapat digunakan sebagai dasar penandingan bila dasar penandingan
sebab akibat tidak dapat digunakan. Ada beberapa alasan yang mendukung
pemakaian alokasi ini, yaitu:
1. Banyak biaya periodik yang berhubungan secara tidak langsung dengan periode
berjalan.
2. Sulitnya mencari dasar hubungan langsung yang layak dan rasional.
3. Manfaat ekonomis masa mendatang yang sulit diukur dengan layak dan andal.
4. Biaya yang terjadi bersifat rutin dan terjadi berulang-ulang, dan
5. Biaya tersebut merupakan biaya bersama.
1. Kejelasan (Additivity)
Aloklasi harus melibatkan keseluruhan jumlah yang ada, sehingga jumlah bagian-
bagiannya sama dengan jumlah keseluruhannya dan tidak kurang atau tidak lebih.
Dengan kata lain, jika jumlah yang dilokasikan ditambahkan bersama-sama maka
totalnya harus sama dengan jumlah sebelum alokasi.
2. Ketegasan (Unambiguity)
Metoda alokasi harus menhasilkan alokasi yang unik dengan menggunakan satu
dasar alokasi yang jelas (scarcity) dan tepat, dan sistematis.
3. Defensibilitas (Defensibility)
Metoda alokasi yang dipilih harus lebih baik dibanding dengan metoda alokasi
lainnya. Dan metoda tersebut harus didukung oleh alasan yang kuat agar dapat
dipertahankan dari kemungkinan pemakaian metoda lainnya. (Godzali dan Chariri,
2003).
KONSEP LABA
PENDAHULUAN
Laba adalah sisa lebih yang diperoleh oleh entitas bisnis, yaitu sisa lebih antara
pendapatan dan biaya atau beban. Jadi laba merupakan kenaikan harga aset yang dimiliki
selama satu periode akuntansi, atau kenaikan daya beli yang diinvestasikan. Sehingga
konsep laba ini harus dipahami secara baik agar kenaikan ekuitas tersebut dapat digunakan
sebagai informasi yang optimal bagi semua pihak dalam mengambil keputusan ekonomi.
Dalam praktik, kita harus dapat memisahkan konsep laba menurut pandangan barbagai
pihak. Tergantung pada tujuan terhadap penyajian laba tersebut. Sebab laba tersebut
merupakan akumulasi dari seluruh kegiatan baik yang bersifat rutin maupun non rutin.
Pengertian laba yang dianut dalam struktur akuntansi sekarang adalah laba akuntansi
yang merupakan selisih dari pengukuran pendapatan dan biaya. Dalam Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, (IAI, 2009) menyatakan, Penghasilan
(income) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan
kenaikan yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal). Dalam paragraf lain (07)
selanjutnya disebutkan bahwa: penghasilan (income) meliputi pendapatan (revenue)
maupun keuntungan (gains). Jadi pendapatan merupakan kenaikan asset, yang dihasilkan
dari pendapatan setelah dikurangi dengan beban atau biaya.
Menurut Fisher (1912) dan Bedford (1965) menyatakan bahwa pada dasarnya ada tiga
konsep laba yang umum digunakan sebagai berikut:
B. LABA AKUNTANSI.
Laba akuntansi ini, meskipun banyak dipakai dalam praktiknya, namun kita harus
memperhatikan beberapa keunggulan dan kelemahan pada konsep ini. Masing-masing hal
tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
Pengukuran laba sangat tergantung pada besarnya pendapatan dan biaya. Oleh
karena laba adalah bagian dari pendapatan, maka konsep penghimpunan dan realisasi
pendapatan juga berlaku untuk laba. Sehingga dalam pengukuran dan pengakuan laba
tersebut akan serupa dan konsisten dengan pengukuran dan pengakuan pendapatan. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya basic concept yang sama. Dalam Konsep Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, IAI (2009) dinyatakan bahwa,
“Penghasilan (income) akan diakui apabila kenaikan manfaat ekonomi di masa
mendatang yang berkaitan dengan peningkatan aset atau penurunan kewajiban yang
telah terjadi dan jumlahnya dapat diukur dengan andal.” (paragraf 06)
Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang akan
diterima (paragraf 08). Imbalan tersebut umumnya berupa kas atau nilai setara kas yang
diterima atau yang akan diterima. Sehingga dalam bentuk fisik pendapatan tersebut,
seyogyanya harus benar-benar taerjadi, dan telah diterima secara nyata oleh manajemen.
Bukan berdasarkan estimasi maupun pendapatan yang akan diterima, atau belum
direalisasikan.
a. Skala Nominal
Skala pengukuran nominal adalah sejumlah rupiah (nominal) yang telah
terjadi dan dicatat dalam akuntansi tanpa memperhatikan perubahan daya
beli.
b. Skala Daya Beli Konstan
Untuk memperoleh nilai atas dasar skala daya beli konstan, unit moneter
diubah dengan menggunakan indeks tertentu (misalnya indeks harga
konsumen). Metoda yang dapat digunakan untuk menilai aset bersih
(Hendriksen, 1989):
2. Kapitalisasi aliran kas harapan (capital of expected cash flows).
3. Penilaian harga pasar perusahaan (market valuation of the firm).
4. Jumlah setara kas (market cash equivalent).
5. Harga input historis (historical input prices).
6. Harga input terkini (current input prices).
7. Daya beli konstan (constant purchasing power).
E. UNSUR LABA
Ada dua konsep yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan. Dua konsep
yang sering digunakan untuk menentukan unsur laba perusahaan tersebut, yaitu
current operating concept (earnings) dan all inclusive concept of income (laba
komprehensif).
b. Laba Komprehensif
FASB dalam SFAC No. 3 dan 6 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan laba
komprehensif adalah, “Total perubahan aset bersih (ekuitas) perusahaan selama
satu periode berasal dari semua transaksi dan kegiatan lain dari sumber selain
sumber yang berasal dari pemilik”.
Pengertian laba komperhensif adalah hampir sama dengan pengertian laba bersih
(net income) yang penyusunannya menggunakan konsep atau pendekatan all
inclusive. Laba periodik dan laba komprehensif mempunyai komponen utama yang
sama yaitu pendapatan, biaya, untung, dan rugi.
c. Barnes, et. Al (1976) yang membedakan tiga dimensi perataan laba, yaitu:
1) Perataan laba melalui terjadinya peristiwa dan akan pengakuan
peristiwa. Artinya manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi
aktual sehingga pengaruh transaksi tersebut terhadap laba yang dilaporkan
cenderung rata sepanjang waktu. Teknik ini disebut pula dengan istilah real
income.
Pelatihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Laba? Jelaskan!
2. Mengapa laba dikelompokkan dalam beberapa kelompok,
jelaskan
3. Bagaimana konsep laba menurut akuntansi?
4. Bagaimana laba dilaporakan dalam laporan keuangan?
Jelaskan disertai contohnya.
BAB VIII
KONSEP LAIBILITAS
A. PENGERTIAN LAIBILITAS
Konsep laibilitas ini, biasanya berkaitan dengan waktu dan kondisi yang mendasari
timbulnya laibilitas tersebut. Dari dimensi waktu, laibilitas dikategorikan dalam jangka
pendek dan jangka panjang, sedangkan dari kondisi dapat timbul karena adanya
transaksi rutin atau pun yang khusus (misalnya kewajiban kontinjensi). Ada berbagai
pengertian yang dirumuskan dalam laibilitas ini, antara lain:
Kewajiban pada pihak eksternal dapat berupa kewajiban rutin atau kewajiban
khusus. Kewajiban rutin adalah berkaitan dengan laibilitas kepada supplier, bank atau
pihak lainnya yang terjadi secara berulang-ulang. Sedangkan kewajiban khusus adalah
kewajiban pada pihak internal maupun eksternal. Misalnya kewajiban pembayaran
tunjangan dan kesejahteraan karyawan, dan bonus, sedangkan kewajiban khusus dapat
berupa laibilitas dividen atau laibilitas bersyarat lainnya.
Kohler (1970), menyatakan bahwa uitang adalah suatu jumlah yang harus dibayar
dalam bentuk uang, barang atau jasa khususnya laibilitas yang memiliki kriteria
sebagai berikut:
Selanjutnya atas dasar rumusan di atas, maka hlaibilitas dapat terjadi karena beberapa
faktor berikut.
Dasar pengukuran laibilitas adalah jumlah rupiah yang telah atau akan
dikorbankan
pada saat pelunasan atau jatuh tempo. Sebagai dasar penilaian dapat digunakan nilai
sekarang (current value) atu berdasarkan nilai diskonto yang akan terjadi. Misalnya
menggunakan nilai kas masa mendatrang: Nilai kas sekarang adalah nilai kas masa
mendatang pada periode tertentu ditambah dengan tingkat bunga yang telah disepakati.
Dalam pendiskontoan, umumnya tidak dilakukan karena adanya selisih antara nilai
sekarang dengan nilai jatuh tempo (maturity value), tetapi perlu memperhatikan pula
faktor ketidakpastian (contingencies) nilai pembayarannya. Hal ini akan berpengaruh
terhadap nilai kewajiban tersebut. Secara umum dalam pelaporan keuangan, laibilitas
Khusus untuk laibilitas yang bersyarat, maka harus diungkapkan secara khusus
dalam neraca, meskipun kemungkinan pembayarannya belum dapat ditentukan secara
andal. Misalnya laibilitas garansi, dan laibilitas pelayanan (servis) purna jual.
Sedangkan laibilitas tangguhan (deffered liabilities), dapat pula disajikan sebagi
kewajiban, meskipun laibilitas tangguhan ini bukan merupakan kewajiban ekonomi,
tetapi dapat diakui dan diukur sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Misalnya: dana pensiun, laibilitas pajak, laba kotor belum direalisasi (dalam kasus
penjualan angsuran).
D. PELUNASAN LAIBILITAS
Kewajiban dapat dikatakan lunas bila perusahaan telah melakukan penyerahan
barang atau jasa kepada pihak lain. IAI (2009), dalam PSAK menyatakan bahwa
penyelesaian kewajiban masa kini biasanya berkaitan dengan kepentingan perusahaan
untuk mengorbankan sumber daya yang dimiliki, untuk memenuhi tuntutan pihak lain.
Dalam proses penyelesaian laibilitas ini dapat dilakukan beberapa cara sebagai berikut.
a. Pembayaran kas.
b. Penyerahan aset (misalnya, penyerahan persediaan).
c. Penyerahan jasa.
d. Konversi kewajiban dengan kewajiban lain.
e. Konversi kewajiban menjadi modal.
f. Pembebasan atau pembatalan kewajiban.
g. In-Substance Defeseance, yaitu pelunasan laibilitas dengan cara melakukan
perjanjian antara debitur dengan badan perwalian (trust) untuk menempatkan
sejumlah dana dan bebas risiko sebagai dana pembayaran laibilitas untuk masa
sekarang dan mendatang. Namun pada kondisi tertentu, bila ternyata aset atau dana
yang diserahkan tersebut tidak memenuhi syarat (adanya tuntutan dari pihak lain)
maka laibilitas tersebut harus segera diselesaikan (dilunasi) atau kalau tidak harus
dicantumkan dalam neraca.
Pelatihan:
1. Apa yang dimaksud dengan Laibilitas? Jelaskan!
2. Jelaskan bagaimana proses terjadinya laibilitas?
Berikan contohnya.
3. Apakah yang dimaksud dengan kewajiban equitabel?
Jelaskan contohnya.
4. Bagaimana liabilities ini disajikan dan dilaporkan
dalam laporan keuangan? Jelaskan disertai contohnya.
BAB IX
PENDAHULUAN
Siklus akhir dari suatu kegiatan pencatan, pengukuran, dan pengklasifikasian adalah
membuat suatu laporan. Yaitu laporan keuangan sesuai dengan, kebutuhan pemakai
laporan keuangan. Agar seluruh informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut
bermanfaat dan mempunyai relevansi yang optimal, maka harus disertai dengan
penjelasan (catatan atas laporan keuangan) berupa pengungkapan informasi tambahan
yang signifkan. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, terhadap informasi yang bersifat
wajib maupun sukarela dapat diuraikan sebagai berikut.
Tiga konsep pengungkapan yang sering diusulkan untuk digunakan dalam penerbitan
laporan keuangan adalah:
1. Pengungkapan yang cukup (adequate), yaitu pengungkapan informasi minimal
yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan.
2. Wajar (fair), merupakan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama
dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan.
3. Lengkap (full), yaitu penyajian semua informasi yang relevan, signifikan, dan
relevan, dan mudah dipahami (informatif).
SFAC No. 1 menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan tidak terbatas pada isi
dari laporan keuangan saja, tetapi lebih luas. Bahwa, Pelaporan keuangan mencakup
tidak hanya laporan keuangan tetapi juga media pelaporan informasi lainnya yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan informasi yang disediakan oleh sistem
akuntansi. Informasi tersebut berisi tentang sumber-sumber ekonomi, hlaibilitas, laba
periodik, dan hal lainnya.
Tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC No. 1 dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pelaporan keuangan memberikan informasi yang bermanfaat bagi investor dan
kreditur, dan pemakai lainnya dalam mengambil keputusan investasi, kredit dan
yang serupa secara rasional. Informasi tersebut harus bersifat komprehensif bagi
mereka yang memiliki pemahaman yang rasional tentang kegiatan bisnis dan
ekonomi dana memiliki kemauan untuk mempelajari informasi dengan cara
rasional (paragraf 34).
2. Pelaporan keuangan memberikan informasi untuk membantu investor, kreditur dan
pemakai lainnya dalam menilai jumlah, pengakuan, dan ketidakpastian tentang
penerimaan kas bersih yang berkaitan dengan perusahaan (paragraf 37).
3. Pelaporan keuangan memberikan informasi tentang sumber-sumber ekonomi suatu
perusahaan, klaim terhadap sumber-sumber tersebut (kewajiban suatu perusahaan
untuk menyerahkan sunber-sumber pada entitas lain atau pemilik modal), dan
pengaruh transaksi, peristiwa, dan kondisi yang mengubah sum,ber-sumber
ekkonomi dan klaim terhadap sumber tersebut (paragraf 40).
4. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang hasil usaha (kinerja
keuangan) suatu perusahaan selama satu periode (paragraf 42).
5. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang bagaimana perusahaan
memperoleh dan membelanjakan kas, tentang pinjasman dan pembayaran kembali
pinjaman, tentang transaksi modal, termasuk dividen kas dan distribusi lainnya
terhadap sumber ekonomi perusahaan kepada pemilik, serta faktor-faktor lainnya
yang memengaruhi likuiditas dan sovabilitas perusahaan (paragraf 49).
6. Pelaporan keuangan menyediakan informasi tentang bagaimana manajemen
perusahaan mempertanggungjawabkan pengelolaan kepada pemilik (pemegang
saham) atas pemakaian sumber ekonomi yang dipercayakan kepadanya (paragraf
50).
7. Pelaporan keuangan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi manajer dan
direktur sesuai kepentingan pemilik (paragraf 52).
Untuk selanjutnya laporan keuangan harus disajikan secara lengkap sesuai dengan
elemen laporan keuangan yang ada, seperti Neraca, Laporan Arus Kas, Laporan Rugi
Laba, Laporan Laba Ditahan, dan laporan lainnya. Oleh karena itu, untuk mengakui
dan mengungkapkan serta menyajikan transaksi atau peristiwa tertentu dalam laporan
keuangan harus memperhatikan beberapa faktor berikut:
Ada dua jenis data yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan, yaitu:
1) Pengungkapan data kuantitatif dan
2) Pengungkapan data kualitatif.
Secara umum ada lima macam informasi kualitatif yang perlu diungkapkan
berkaitan dengan rekening dan jumlah yang tercantum dalam laporan keuangan, yaitu:
1. Ketidakpastian (uncertainty), yaitu peristiwa yang kemungkinan akan terjadi masa
mendatang dan akan berpengaruh secara material terhadap keadaan keuangan
perusahaan.
2. Dasar penilaian dan kebijakan akuntansi, pengungkapan tentang dasar atau metoda
penilaian yang digunakan perusahaan seperti: metoda penilaian persediaan perlu
diungkapkan dalam laporan keuangan.
3. Perubahan akuntansi, yaitu pengungkapan terhadap perubahan atas kebijakan yang
digunakan perusahaan, seperti perubahan metoda penilaian persediaan dan FIFO
menjadi LIFO.
4. Keterikatan dengan suatu perjanjian atau kontrak, pengungkapan tentang adanya
pembatasan-pembatasan atau keterikatan dari satu atau lebih aset, hlaibilitas
maupun kontrak.
5. Peristiwa kemudian setelah tanggal neraca (subsequent event), penjelasan tentang
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sesudah tanggal neraca tetapi sebelum
laporan keuangan dipublikasikan merupakan informasi penting yang perlu
diungkapkan, (Godzali, 2001, 341-342).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (kamu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim" (Al Maidah: 51)
PENDAHULUAN
Mayoritas ahli sejarah akuntansi, seperti Sieveking, mengira bahwa akuntansi tumbuh
karena tumbuhnya serikat-serikat dagang (partnerships) (Littleton, 1933 hal. 9). Padahal
sebenarnya tumbuhnya serikat-serikat itu sebagai salah satu fenomena luasnya
perdagangan tidaklah menjadi asas dalam perkembangan akuntansi. Sebab, tumbuhnya
serikat-serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan dengan tumbuhnya
negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, berbagai negara seperti negeri Babil, Fir`aun, dan
Cina, telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk pencatatan
transaksi keuangan. Penggunaan tersebut menyerupai apa yang sekarang dikenal dengan
nama "Maskud Dafatir" (bookkeeping), dan bertujuan mencatat pendapatan dan
pengeluaran negara.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa negara Islam telah mendahului Republik Italia
sekitar 800 tahun dalam menggunakan sistem pembukuan, selanjutnya salah satu sistem
pembukuan modern yang dikenal dengan nama sistem Al Qaidul Muzdawaj yang sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan negara dari satu sisi, dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
para pedagang muslim dari sisi yang lain. Sesungguhnya pengertian "muhasabah"
(akuntansi) di negara Islam hingga pengklasifikasiannya pada tahun 1924 dan pengertian
inilah yang harus senantiasa ada di dalam masyarakat Islam meskipun pada saat negara
Islam tidak ada lagi, berbeda dengan apa yang ada di masyarakat lain di luar Islam.
Sesungguhnya pengertian "muhasabah" di dalam masyarakat Islam tidak sekedar masalah
pencatatan data-data keuangan, tetapi lebih sempurna dari itu.
Apabila kita perhatikan sejarah akuntansi dan yang ditulis oleh non muslim sampai
sekarang, bahwa ada penekanan pada dua masa; Pertama, masa sebelum berdirinya negara
Islam. Kedua, masa yang awalnya bersamaan dengan berakhirnya abad XV dengan
munculnya buku Pacioli yang di dalamnya terdapat satu bab khusus tentang akuntansi.
Dengan demikian, mereka mengabaikan masa sejak munculnya Islam dan hingga tahun
1494 M. yaitu tahun munculnya buku Pacioli. Masa ini merupakan mata rantai yang hilang,
karena masa ini nampaknya telah dilalaikan secara sengaja, tetapi, "Barangkali, masa ini
telah dilalaikan karena mereka tidak memiliki ilmu dan jahil tentang Islam serta tuntutan-
tuntutannya, dan dari sisi lain mereka jahil pula terhadap bahasa Arab". Oleh karena itu,
sudah seharusnya kita sebagai komunitas muslim (terutama) di negara-negara Islam mulai
memberikan dan menyampaikan informasi (ilmu) ini khususnya tentang akuntansi secara
benar kepada semua lapisan masyarakat. Agar persepsi yang sudah kaprah tidak terjadi lagi
untuk masa sekarang dan mendatang.
Sejarah akuntansi di kalangan orang-orang Arab, adalah masa yang berakhir dengan
hijrahnya Rasulullah SAW, dari Makkah ke Madinah tahun 622 M, yang setelah itu
dimulailah sejarah Islam. Pada masa sebelum berdirinya negara Islam, bangsa Arab
terpecah-pecah, tidak disatukan oleh satu sistem politik, kecuali tradisi kekabilahan yang
dominan. Sekalipun demikian, mereka memiliki pasar-pasar dan tempat-tempat aktivitas
perdagangan di dalam negeri maupun di luar negeri, yang tercermin dalam dua perjalanan
Rasul Muhammad SAW pada tahun 609 M, beliau selama tiga belas tahun tinggal
di Makkah sampai berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Dengan hijrahnya Rasul
Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, mulailah tahun Hijriyah menjadi kalender
Islam yang didasarkan pada peredaran bulan, sedangkan kalender Masehi berdasarkan pada
peredaran matahari.
Kehidupan bangsa Arab di negeri antara dua sungai pada masa lampau telah
mencapai tingkat kehidupan yang makmur. Hal ini berpengaruh terhadap akuntansi yang
ada di kalangan orang-orang Arab, yaitu kehidupan sosial di negeri Rafidin atau yang
dikenal dengan nama negeri antara dua sungai (Mathews dan Perera, 1991, 11) untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan mereka dalam bidang perdagangan dan industri yang maju
pada saat itu. Dalam Ensiklopedi Britanian bahwa negeri Rafidin adalah nama Jaziratul
Arabiyah. Antara tahun 4500 SM sampai tahun 500 SM. Kehidupan di negeri antara dua
sungai mencapai tingkat kehidupan yang tinggi karena tanahnya subur di satu sisi, dan di
sisi yang lain karena kemajuan dalam bidang pekerjaan dan industri, seperti industri batu
bata, pewarnaan pakaian, pertukangan, dan penukaran uang (Chatfield. 1968, 12). Negeri
antara dua sungai atau negeri Rafidin meliputi wilayah Akkad di Utara dan Sumar di
Selatan. Wilayah-wilayah tersebut memiliki berbagai peradaban seperti peradaban
Sumariyah kuno milik orang-orang Sami, kemudian peradaban Asyuriyah Babiliyah, dan
Kildaniyah. Sebagian besar negeri antara dua sungai itu menjadi wilayah Iraq, sebagian
kecil menjadi wilayah Iran, dan sebagian lagi menjadi wilayah Suriah (Chatfield, 1968,
12). Peradaban di negeri antara dua sungai ini telah sampai pada tingkat pemakaian
bahasanya ke dunia, sehingga bahasa mereka menjadi bahasa populer dalam perdagangan
dan politik di dunia, dan Babilonia menjadi pusat jalinan perdagangan di timur (Brown,
1968, 16-17).
Tetapi, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa tulisan telah berpindah dari Yaman ke
Iraq, karena di sana terdapat tulisan yang bernama Al Khaththul Himyari, lalu dari Iraq
berpindah ke Hirah (hal. 463). Ibnu Khaldun menambahkan, "Orang-orang Himyar
memiliki tulisan yang dinamakan Al Musnad, huruf terpisah dan mereka melarang untuk
mempelajari tulisan itu kecuali atas izin mereka. Dari Himyar, Mesir mempelajari tulisan
Arab" (Hal. 464).
Tulisan Sumariyah termasuk bentuk tulisan yang terdahulu secara umum, karena
tulisan Mishriyah (Mesir) muncul setelah itu. Kedua bentuk tulisan itu, yaitu Sumariyah
dan Mishriyah terbentuk dari rumus-rumus sesuatu dan dikenal dengan nama pictographic
yaitu tulisan dalam bentuk gambar (Chatfield, 1968, 16). Demikian pula buku-buku
akuntansi yang digunakan di Sumar dan Babilonia, yang mengandung hitungan-hitungan
berimbang (neraca), menurut pemikiran James dan Snyder mungkin dikategorikan sebagai
sistem Sumariyah untuk sistem Al Qaidul Muzdawaj (double entry bookkeeping), (Snell,
1982, 53).
Penduduk negeri antara dua sungai telah menggunakan papan tulis tembikar yang
bertuliskan dengan huruf paku untuk mencatat hitungan-hitungan mereka. Meskipun
sederhana, itu sudah cukup dan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam bidang
perdagangan dan sosial. Babilonia telah dikenal dengan pekerjaan-pekerjaan penukaran
uang sejak masa yang tidak dikenal sampai abad V SM, (Brown, 968, 18).
Sudah tentu orang-orang Babilonia dan Asyuria tidak mengatur dan memelihara
hitungan-hitungan mereka dengan cara yang digunakan pada masa kita sekarang ini atau
cara yang mendekati hal itu. Tetapi, sistem yang mereka gunakan dalam mengatur urusan
keuangan serta mencatat dan memelihara hitungan mereka telah memberikan andil dalam
perkembangan yang terjadi pada masa berikutnya di tempat lain di dunia Arab, kemudian
di dunia Islam. Di antara yang patut disebutkan adalah papan tulis tembikar Sumariyah dan
Babiliyah yang diungkap oleh berbagai ekskavasi telah menjelaskan tujuan gudang-gudang
umum dan tempat-tempat ibadah, di samping menjelaskan tentang adanya sistem akuntansi
dalam penggajian dan pengupahan tentara Romawi, dan berbagai tingkatan gaji dan upah
tersebut.
Apabila diperhatikan tempat lain di dunia, maka akan ditemukan peradaban Mesir
yang termasuk paling baru dibandingkan dengan peradaban-peradaban yang dikenal di
Meskipun orang-orang Yunani telah mengambil manfaat dari sistem akuntansi yang
terdahulu yang dikenal di kalangan tetangga mereka orang-orang Arab pada saat itu,
mereka pun secara bertahap memulai mengembangkan sistem akuntansi yang khusus bagi
mereka. Yang mendukung mereka dalam hal ini adalah penemuan mata uang sekitar tahun
630 SM. Namun, pengembangan mereka terhadap sistem akuntansi khusus mereka ini
memiliki karakter umum, karena perhatian mereka didasarkan pada pengungkapan
kesalahan-kesalahan tanpa adanya efektifitas dan mereka memperhatikan akuntansi sebagai
sarana untuk membantu pengambilan keputusan atau mengukur efektivitas, atau mengukur
keuntungan yang dipastikan. Pada waktu selanjutnya, orang-orang Romawi mengambil
sistem akuntansi ini dari orang-orang Yunani.
Di sisi lain, orang-orang Arab dalam penggunaan akuntansi adalah untuk mengukur
keuntungan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai munculnya negara Islam pada
tahun 1 H/622 M. Adapun akuntansi sebagai sarana pembantu dalam pengambilan
keputusan belumlah difungsikan sampai munculnya negara Islam. Bagi orang-orang Arab
pra Islam, perhitungan keuntungan dilakukan dengan cara mengetahui kelebihan pada
modal murni antara awal dan akhir (saldo akhir) masa perdagangan. Bagi orang-orang
Arab Hijaz, keuntungan dihitung dua kali: pertama, setelah perjalanan dagang ke Yaman
pada musim dingin, dan kedua setelah perjalanan dagang ke Syam pada musim panas.
Tampaknya, karena minimnya bukti-bukti yang ada yang menjelaskan tentang sejarah
akuntansi di dunia Arab seperti Babilonia. Orang-orang Arab pra Islam tidak memberikan
perhatian terhadap pencatatan penemuan-penemuan mereka dan perkembangan kehidupan
mereka. Tidak adanya perhatian terhadap pencatatan perkara-perkara tersebut kembali
kepada tabiat orang-orang Arab dalam mentransfer pengetahuan. Mereka menyebarkan
pengetahuan kepada para generasi secara lisan, dari orang ke orang. Orang-orang Arab
memiliki keistimewaan dalam hal kekuatan hafalan dan daya tangkapnya. Hal seperti ini
terus berlangsung sampai pada awal masa Islam. Namun, dengan tumbuhnya negara Islam,
hal ini mengalami perubahan yang cepat, karena pencatatan penemuan-penemuan dan ilmu
mulai mengambil perannya, yaitu berawal dari pencatatan hadits-hadits Rasulullah
Muhammad SAW.
Tahun 1202 M adalah tahun dimasukkannya angka-angka Arab dan aritmetika yang
keduanya ditemukan oleh kaum muslimin kemudian dibawa ke Eropa, yaitu melalui buku
yang ditulis oleh Leonardo of Pisa Putra Bonnaci (Fibonnaci) yang banyak melakukan
perjalanan ke dunia Arab. (Brown, 1968, 11). Tentu saja, hal ini bukan berarti akuntansi
tidak sampai ke Italia melalui para pedagang muslim, sebelum tahun 1202 M. Sebab,
sangat memungkinkan, hubungan dagang dan akibat yang ditimbulkannya seperti adanya
Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang datang
dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang bermacam-macam, berbagai
penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan matematika, (Woolk, 1912, 54).
Peradaban Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan syari’at
Islam yang berasaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. As Sunnah mengandung seluruh
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Muhammad SAW, sebagaimana yang dihafal
oleh para sahabat ridlwanullah ‘alaihim. Namun sangat disayangkan, kita temukan
sebagian penulis dari kalangan non Islam tidak berusaha memahami Islam secara benar,
dan mengulang-ulang pendapat yang tidak sesuai dengan kedudukan ilmiah mereka tanpa
memikirkan hasil dari apa yang mereka tulis. Di antaranya adalah definisi yang mereka
kemukakan tentang Rasul Muhammad SAW, yaitu seorang pemimpin yang di dalam
tulisan-tulisan sastranya memberikan banyak pengetahuan dan hikmah kepada para
pengikutnya, (Haskins, 1900, 11).
Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur'an bukan dari
sisi Allah. Salah satu penelitian moderen yang dilakukan oleh salah seorang peneliti
Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin dipetik
dari Islam dalam pengembangan akuntansi dan kerangka perdagangan uang dapat diambil
manfaatnya, setelah dilakukan penelitian yang mendalam, (Hamid et al, 1993, 132).
Sesungguhnya sejarah akuntansi, sebagaimana yang ditulis oleh para ahli sejarah
Barat dan menurut apa yang dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa akuntansi
secara umum (sistem double entry) secara khusus tumbuh dan berkembang di Eropa, yaitu
di Republik Italia. Di antara referensi yang dapat dilihat, baik yang berbahasa Arab
maupun yang berbahasa Inggris, tidak didapati penyebutan apa pun tentang apa yang
terjadi di negara Islam. Boleh jadi, pengabaian peran negera Islam dalam pengembangan
akuntansi karena disengaja atau karena ketidaktahuannya. Padahal peran yang dimainkan
oleh negara Islam dalam pengembangan berbagai ilmu dan seni adalah cukup besar, seperti
dalam akuntansi keuangan.
ALASAN PERTAMA, yaitu kosongnya masa sejarah dari sejarah akuntansi, yaitu masa yang
terjadi antara lenyapnya negeri antara dua sungai dan negeri Mesir di dunia Arab sampai
abad XV secara umum. Secara khusus, ketika Pacioli menyebarkan bukunya yang
mengandung satu bab tentang akuntansi, yaitu pada tanggal 10 Nopember 1494 M.
Kekosongan ini hampir mendekati dua ribu tahun.
ALASAN KEDUA, yaitu penggunaan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi secara luas tidak
diragukan lagi mengharuskan adanya suatu praktik kerja dan pusat-pusat pelatihan yang
mampu mencetak pribadi-pribadi yang ahli dan mampu menggunakan sistem ini secara
luas. Pada kenyataannya, pusat-pusat pelatihan semacam itu tidak ada di Italia,
kecuali pada akhir abad XVI, yaitu setelah kurang lebih dua abad dari munculnya
buku Pacioli.
Pusat pelatihan para akuntan yang pertama di Italia didirikan di kota Venice pada
tahun 1581 M, dan dikenal dengan nama College of Accountans. Setelah para peserta studi
menerima ilmu dari lembaga tersebut, mereka diharuskan untuk berlatih (praktik kerja) di
kantor-kantor akuntan yang telah teruji selama enam tahun, Setelah itu, mereka diuji
sebelum dapat mempraktikkan profesi akuntansi secara mandiri, (American Institute of
Certified Accountants, 1970, 3). Demikian pula praktik kerja belum memiliki wujud yang
diperhatikan sebelum munculnya buku Pacioli. Hal ini kembali pada keterbelakangan ilmu
yang dialami Eropa pada saat itu, yang dikenal dengan masa kegelapan.
Sesungguhnya alasan ini tampak diterima oleh akalnya, namun terganjal oleh
adanya hubungan antara para pedagang muslim dan para pedagang Italia. Tetapi,
pertanyaan yang muncul adalah: Siapakah yang menemukan sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi? Di mana hal itu? Dan bagaimana sistem ini bisa beralih ke tangan orang-orang
Italia?
Mungkin dapat dikatakan bahwa pada saat itu Eropa hidup pada masa kegelapan, kaum
muslimin telah menggunakan akuntansi dan ikut andil dalam mengembangkannya.
Sementara itu, peradaban Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, berdiri di atas
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
Peradaban Islam ini, dengan segala karakter, arah pandang, dan sumbernya,
berbeda dengan seluruh peradaban sebelumnya dan yang sesudahnya. Oleh karena itu,
merupakan suatu kesalahan, mengatakan bahwa ia adalah peradaban Arab. Ia adalah
peradaban Islam yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan
sesudahnya. Di samping itu, Islam menolak fanatisme golongan, maka orang-orang yang
ikut andil dalam membangun peradaban Islam bukan saja orang-rang Arab. Bahkan,
banyak dari ilmu yang ditemukan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin non-Arab.
Dengan demikian tidak boleh menyandarkan peradaban Islam kepada orang-orang Arab
saja atau kepada kelompok tertentu selain mereka. Kaum muslimin memiliki pengaruh
yang besar terhadap orang-orang yang dijumpainya dari berbagai macam bangsa, melalui
perjalanan dagang mereka. Sebagai contoh pengaruh para pedagang Yaman terhadap orang
Indonesia dan Malaysia, yakni mereka itu berpindah agama, dari Budha dan Hindu ke
agama Islam.
1) Sistem akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus
bagi setiap sistem akuntansi.
2) Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi
keuangan, dan
3) Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntasni yang populer pada saat itu, yaitu
pada tahun 765 H./1363 M. antara lain:
Akuntansi Bangunan.
Akuntansi Pertanian.
Akuntansi Pergudangan
Akuntansi Pembuatan Uang.
Akuntansi Pemeliharaan Binatang.
1) Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci
tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara
pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
2) Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan
membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang
lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
3) Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan
karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan
mencatat pajak-pajak yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
4) Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-
sumber pemasukan-pemasukan tersebut.
5) Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-
pengeluaran tersebut.
6) Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.
7) Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-
transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang
sejenis itu saja.
8) Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri
Salah seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran
yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan
hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang menentukan tanda-tanda
ilmu tersebut. (Heaps, 1985, 21).
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan
sisi-sisi transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry),
baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu
kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya
suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun
tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini
adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini
mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan
kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam,
Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, terdapat berbagai faktor yang ikut
andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islam. Faktor-
faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari
sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara
faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi
kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-
faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor
lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan
akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat.
Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat
yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari'at Islam, yang merupakan salah satu rukun
Islam.
Nampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-
kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu
ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan telah
dibuat sekitar tahun 14 H/634 M. (Britanica, Vol. 22, 109) yakni pada masa Khalifah Umar
Ibnul Khaththab Radliyallahhu'anhu.
Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi
berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi
pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini
serupa dengan yang kita namakan muraja'atul hisabat (pengoreksian
pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar
riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, penamaan yang pertama sebagai
ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan
ketiga, dipandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan
kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan, (Al
Qalqasyandi, 1989, 130-139).
Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam
pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah
salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal.
Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara.
Al Qur'anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya,
dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah SWT:
Perlu diketahaui bahwa Imam Safi'i hidup pada tahun 150-204 H/767-820 M. Hal
ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu
itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan
signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari
seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi'Ii
menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak
dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa
bantuan data-data yang tercatat dalam buku. Para fuqaha' berkata bahwa di antara
kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan
shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan
manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin
berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak
berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu Dlaruri. (Ghazali, 1400
H, Vol. 1, juz 1-3, 42-30).
Hal ini, merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai
sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan tentang pengeluaran-pengeluaran
itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun
ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan tersebut, lalu
pengambilan tindakan yang pasti ketika perbedaan itu tidak dapat ditoleransi.
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al
Baqarah: 284)
Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum
dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah. Dalam hal ini, Khalifah Umar
Ibnul Khaththab Radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab;
timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian
untuk menghadapi penampakan amal”. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor pemerintahan terjadi pada masa
khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab Radliyallahu `anhu , maka patut
dikaitkan perkataannya ini dan perkembangan tersebut. Dan bagaimana beliau
menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi
keuangan secara khusus. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan
tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap
dirimu”. (Al Isra': 14)
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa Rasul Muhammad SAW
menepuk pundaknya, kemudian berkata:“Wahai Qadim (Miqdam) beruntunglah kamu,
jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib),
dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud) Makna kata “katib” di sini adalah
pencatat pekerjaan dan penghitungnya, (Al Mundziri, 1986, juz 3, 159).
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku
dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah
Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H/706-715 M. (Muhammad Al Marisi
Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus
sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku
akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H/750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H/750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi
kepala Diwan Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid
bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan
buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”.
Dari sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan
sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak
kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli
telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan
nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal”
dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice, (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua
kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab,
yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada
masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H/749 M,
yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal
ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun
sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia,
dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di
samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh
transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa
dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul
Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H/1336 M atau kurang lebih
tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan
tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab, seluruh harta yang masuk atau keluar
harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap
transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya
tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai
keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan
yang lain. (An Nuwairi, 273-275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas
syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh
akuntan, yang melakukan pencatatan di buku, (Lasyin, 1973, 131-132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya
bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa
Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah.
Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang dirasakan dari apa yang
disebutkan oleh An Nuwairi.
1) Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan
diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan
pengeluaran negara.
2) Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan
di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang
masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
3) Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul
Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-
pejabat senior negara pada saat itu, (Lasyin, 1973, 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al
Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin
(Debtors or Accounts Receivable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi,
kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak
atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang
dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar,
juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah
pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-
Undang Perpajakan), (Al Mazindarani 765 H/1363 M.).
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal
pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
1) Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk
didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah,
dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.
2) Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk
didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam
bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu:
Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang
tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal
ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan
zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui
pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat.
Di sisi lain dari segi harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah musahamah
bahwa baik yang bersifat umum maupun khusus, dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan
para pemilik saham di dalam manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah, khususnya
pada syirkah musahamah yang bersifat umum, dan sekalipun sebagian para pemilik saham
menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif perusahaan, baik
yang bersifat khusus maupun umum, maka harta-harta syirkah musahamah tersebut harus
selalu jauh dari jangkauan para pemilik sahamnya, bagaimanapun keadaannya. Yakni,
tidak diperkenankan bagi setiap pemilik saham, bagaimanapun juga tingkat kepemilikan
sahamnya atau fungsi manajerialnya pada syirkah musahamah tersebut, mengambil
manfaat dari harta-harta syirkah musahamah itu untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya.
Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah musahamah itu,
baik yang bersifat umum maupun khusus, dan hubungan mereka dengan hasil-hasil
kegiatan syirkah, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah
i`tibariyyah (entitas spiritual), maka kita dapati bahwa persoalannya di sini lebih jelas
darpada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan perusahaan-
perusahan lainnya yang bukan syirkah musahamah, yang telah kita perbincangkan
sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah musahamah itu
selalu khusus dan tersendiri baginya, tidak sama dengan hak dan kewajiban para pemilik
sahamnya. Dari segi hak-hak syirkah musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan
itulah yang menuntut akan hak-haknya melalui manajemennya, atau melalui orang-orang
yang melakukan penyelesaian di saat melakukan penyelesaian, yang hal itu tidak ada
hubungannya dengan para pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan-
perusahaan individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah musahamah.
1. Syakhshiyyah Qanuniyyah
Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity) itu adalah suatu ungkapan mengenai entitas yang
terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak lain secara langsung dalam
sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain untuk
menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila kita
perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh mana
kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut berdasarkan
definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa perbedaan yang
mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut.
Adapun pada bentuk kedua dari sistem investasi, yaitu syirkah asykhash yang
dikenal oleh sistem Islam, yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah, syirkah wujuh, syirkah
abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang serupa dengannya yang
terdapat di dalam sistem non Islam, yang dikenal dengan nama syirkah tadlamun maka
permasalahan ini serupa dengan apa yang terdapat pada lembaga individual. Sebab,
syirkah-syirkah ini (partnership) berdiri atas dasar pribadi, dan inti hubungan di antara
para sekutu adalah adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak
yang berada di dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu tidak akan mau menanggung
risiko kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap
kebenaran pihak syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan pada syirkah asykhash di
sini berdiri atas dasar pribadi, para investor dan orang-orang yang mengatur lembaga
mereka tersebut. Apakah secara bersama-sama ataukah secara individu, wajib bertanggung
jawab secara bersama-sama terhadap hak dan kewajiban lembaga mereka itu. Berdasarkan
itu semua, dapatlah disimpulkan suatu pernyataan, bahwa para pemilik lembaga dan
lembaga mereka, pada syirkah asykhash, membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan
tidak diperkenankan memisahkan antara keduanya.
Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh-
sungguh, yaitu apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang memberikan
saham hanya modalnya saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya. Dan akad syirkah
tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung jawabnya hanya
sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada kondisi yang seperti ini, maka
individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap bertanggung jawab terhadap
kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas apa yang telah dia sahamkan dari modal
pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini, dipersyaratkan harus ada keterbukaan
mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di dalam publikasi, korespondensi, dan
dokumentasi perusahaan. Ini di samping pentingnya keterbukaan mengenai karakter
tanggung jawab atas nama perusahaan atau lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya
keterbukaan itu adalah memberikan terlebih dahulu kepada pihak lain bentuk tanggung
Perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga Fatwa dan Pengkajian
tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah, dan pada saat itu
juga syakhshiyyah i`tibariyyah ini menghadapi tanggung jawab yang tidak terbatas.
Sesungguhnya, tidak mungkin tergambarkan adanya syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak
terpisah dari para penyandang dananya, secara undang-undang. Sebab, fungsi
syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap lembaga atau perusahaan, dalam
sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah dari para pemilik lahiriyahnya. Di
samping itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi para pemilik lahiriyah lembaga atau
perusahaan tersebut menuntut pihak lain dalam sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan
dari itu semua, para pemilik lembaga atau perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan
terhadap modal pokok lembaga atau perusahaan tersebut, mereka tidak dapat mengambil
darinya untuk penarikan-penarikan pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu
tindakan terhadap modal pokoknya secara pribadi.
Berdasarkan sebab-sebab ini, maka tidaklah mungkin tanggung jawab para pemilik
lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu haruslah
setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab itu. Demikian
juga, tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan. Karena kekuasaan
individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam syirkah-syirkah
i`tibariyyah, maka hak-hak individu itu juga tidak ada, sebagai akibat dari tidak adanya
kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya itu tidak ada, maka di
sana tidaklah diperkenankan adanya kewajiban yang tidak terbatas.
Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah mungkin saja
terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut
disertai tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud
Di seputar bentuk sistem investasi yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah
musahamah, sesungguhnya hal ini tampak lebih jelas, karena undang-undang positip pun
telah menetapkan permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah dianggap telah
mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan
demikian, syirkah tersebut telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah pula
dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka syirkah
musahamah, baik yang umum (public company) maupun yang khusus (private or
proprietory company), benar-benar mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah
dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham modalnya. Sebagai akibat dari bentuk
syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah milik syirkah itu membolehkan
kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga para pemilik sahamnya, untuk menuntutnya.
Demikian juga, diperkenankan bagi syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa
memengaruhi kondisi hukum pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau
bukan perjanjian dengan syirkah.
Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf-
waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan
mencari keuntungan maupun tidak, hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang
terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni berdasarkan fiqh,
bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para
pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep
syakhshiyyah qanuniyyah.
2. Wahdah Muhasabiyyah
Dalam keadaan demikian, maka masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau
syirkah tadlamuniyyah', atau syirkah musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan,
kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri.
Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat sempurna dan integral, karena seluruh
transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup oleh buku-buku
wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah muhasabiyyah ini dinyatakan
integral karena mengungkapkan tentang seluruh perusahaan, atau lembaga, atau syirkah,
atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan dan keintegralan ini, harus sejalan, karena
pada akhirnya, keduanya akan mengungkapkan tentang kegiatan dan posisi wahdah itu
dengan cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari penggunaan
informasi keuangan yang dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah
ditentukan kerangka dasarnya, untuk dapat memenuhi tujuan ini, yaitu memenuhi
kebutuhan tertentu. Sampai sekarang, kalau diperhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah dilihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu
kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah secara keseluruhannya. Ini khusus
terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum. Hasil dari wahdah muhasabiyyah ini
menjadi laporan keuangan yang sempurna dan integral, yang mencerminkan hasil kegiatan
selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu itu. Laporan
keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang menggambarkan hasil
kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun keuangan. Demikian
juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga dinamakan dengan
Qa’imatul Markazil Mali (daftar posisi keuangan) yang akan mencerminkan kondisi
keuangan wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada akhir periode yang
dicerminkan dalam perhitungan laba rugi.
Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau
bagian-bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi
keuangan yang bertujuan khusus. Jadi informasi keuangan yang khusus bagi wahdah
muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat sempurna dan integral, karena hanya
mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah yang
sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah
muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau
manajemen pergudangan.
Seringkali, laporan yang rinci ini selalu bersifat internal dan rahasia, dan tidak
diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut untuk
mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi sedikit
apabila informasi keuangan ini diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-pribadi
tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang memang
berpengaruh, yang mempunyai signifikansi khusus dan pengaruh yang besar terhadap
syakhshiyyah i`tibariyyah.
Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu, masih ada lagi jenis
yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga mempunyai
sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah yang digambarkan
dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang lingkupnya. Sebagai
contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang yang
berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral, yang keseluruhannya didanai oleh satu
syirkah atau perusahaan, atau bagian yang tidak bisa diremehkan dari modal perusahaan-
perusahaan individu ini berasal dari satu perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan
pada keadaan-keadaan yang serupa dengannya, maka perusahaan yang memegang atau
menguasai modal perusahaan-perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im
maliyyah (daftar keuangan/neraca umum) yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan
itu, termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala
dinamakan sebagai perusahaan induk.
Bila dilihat dari praktik akuntansi syariah, maka secara khusus akan meliputi, antara
lain: muhasabah ini juga meliputi kegiatan-kegiatan jasa. Praktik tersebut hendaknya
didasarkan atas dalil atau nilai-nilai (nash) terkandung dalam Al Qur’anul Karim
(khususnya al.: Surah Al-Baqarah: 282: 2) dan hadits Rasulullah SAW. Hal ini merupakan
bagian dari praktik Al Muhasabah, sebagai dasar untuk mengambil keputusan ekonomi
berdasarkan prinsip-prinsip dan tuntunan syariah dalam upaya mencapai laba yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam praktik bisnis konsep akuntansi syariah sekarang telah
diimplementasikan oleh entitas bisnis dalam kegiatan ekonomi (bisnis) seperti; Lembaga
Keuangan Syariah (LKS); Perbankan (Bank Syariah, BPRS), Asuransi (Ta’min, Takaful
atau Tadhamun), Koperasi (kopyah/BMT), Jasa (Hotel Syariah, Bengkel Syariah, Rahn,
Obligasi Syariah, Letter of Credit Syariah, SIMA, Al Sharf) dan kegiatan lainnya. Hal
tersebut antara lain diatur dalam PSAK yang mengatur secara khusus yaitu PSAK No.
59/2003 (awalnya) dan diperberharui dengan PSAK 100-106/2007 tentang Perbankan
Syariah, Fatwa MUI (Dewan Syariah Nasional) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah (PAPSI/2003) saja. Namun kita berkeyakinan bahwa konsep dan praktik bisnis
berbasis syariah ini pada masa mendatang akan mengalami perkembangan yang cukup
pesat dan menjadi sistem ekonomi pilihan yang tepat sebagai alternatif dan dapat
diandalkan.
Dalam konteks yang luas, Islam memamdang hubungan atau interaksi antar makhluk
hidup, baik manusia, hewan ataupun keluarga tidak terlepas dari hubungan sosial ekonomi
ataupun politik. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep hubungan sesama manusia.
Dalam bidang ekonomi bahwa keadilan merupakan tuntutan terhadap pengelolaan sumber
daya baik alam maupun manusia dengan cara yang baik dan berpegang pada prinsip
kemanusiaan. Karena dengan keadilan akan dapat dicapai tingkat pertumbuhan optimum,
pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta terwujudnya stabilitas ekonomi
yang mantap. Sehingga diperlukan strategi tertentu untuk mewujudkannya, salah satu
satunya adalah dengan memasukkan dimensi moral yang mengganntikan orientasi yang
bersifat materialitas dan hedonis dalam kapitalisme barat.
Oleh karena itu, salah satu dimensi tersebut adalah perwujudan rasa kebersamaan
Dalam ekonomi yang berbasis syariah maka kegiatan bisnis merupakan bagian dari
muamallah yang berkaitan erat dengan aqidah dan akhlak. Al Qur’an (Ibrahim: 24-26),
yang artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke
langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya selalu ingat. Dan
perumpamaan kalimat buruk seperti pohon yang buruk, yang telh dicabut dengan akar-
akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.”
Sehingga dalam akuntansi syariah hanya dapat dipakai secara lebih sempurna bila
berjalannya ekonomi islam yang berbasis syariah. Hal ini dapat dilihat dari karakteristiknya
yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme, dan berbeda pula dengan sosialisme-
komunisme. Karena akuntansi syariah dibangunan berdasarkan konsep ekonomi islam
dengan menggunakan empat landasan filosofis pokok yaitu:
1) Tauhid (ilahiyah).
2) Keadilan.
3) Kebebasan.
4) Pertanggungjawaban.
- Kepentingan masyarakat lebih luas dan harus didahulukan di atas kepentingan pribadi.
- Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi
manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan dalam syariah.
- Kerugian lebih kecil dibolehkan untuk menciptakan
keuntungan lebih besar sepanjang sesuai dengan prinsip syariah.
Secara lebih tegas Yuwono, (1997, 35) dan Akram (1992); berpendapat bahwa ciri-
ciri akuntansi syariah dalam praktik bisnis (maumallah al muhasabah) adalah:
a) Menggunakan nilai etika sebagai dasar akuntansi
b) Memberikan arah dan stimulasi perilaku etis
c) Adil dalam implementasinya
d) Keseimbangan antara nilai eqoistik dan altruistik.
e) Peduli atau ramah lingkungan
f) Penentuan bagi hasil (sharing) yang tepat.
g) Pelaporan dan pertanggujawaban secara transparan, akuntabel, dan jujur.
Menurut Omar Abdullah Zaid, (2008), terdapat empat prinsip akuntansi dalam Islam,
yaitu:
1. Entitas Spiritual, Konsep entitas spiritual ini adalah adanya pemisahan kegiatan
investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut.
Contoh; sekelompok pribadi menginvestasikan bagian tertentu dari harta mereka untuk
pendirian suatu lembaga perdagangan. Lembaga ini menjadi terpisah dari para pendirinya,
dan memiliki legalitas pribadi yang khusus baginya dan disebut syakhshiyyah i`tibariyyah
(entitas spiritual).
1. Umur perusahaan tersebut tidaklah tergantung pada umur para pemiliknya, yakni para
pemiliknya itu tentu akan berjalan menuju ketiadaan. Ketiadaan mereka itu tidaklah
menghentikan kegiatan perusahaan, bahkan akan terus berjalan, dengan atau tanpa
adanya mereka.
2. Prinsip kontinuitas itu merupakan bagian dari fitrah manusia yang Allah Subhanahu Wa
Ta`ala ciptakan manusia atas dasar fitrah tersebut. Yakni, manusia itu akan selalu
3. Prinsip kontinuitas itu, dalam kaitannya dengan usaha investasi, merupakan suatu
kaidah yang umum. Sedangkan likuidasi adalah suatu pengecualian. Pengecualian ini
haruslah diiringi oleh petunjuk-petunjuk yang menginformasikan akan hal itu.
Biasanya, ada periode waktu tertentu antara awal munculnya petunjuk-petunjuk itu,
satu demi satu, dan terjadinya likuidasi serta tiadanya kegiatan investasi tersebut.
4. Sebagai akibat dari prinsip kontinuitas ini, maka seluruh transaksi-transaksi, dan
tindakan-tindakan manajemen, baik yang internal maupun eksternal, haruslah
menjadikan prinsip ini sebagai proses. Mulai dari penentuan asas pendanaan kegiatan
investasi sampai pengukuran hasil-hasil akhir dan pengilustrasian hasil-hasil kegiatan
dan neraca yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
5. Penerapan prinsip kontinuitas ini, harus memperhatikan faktor-faktor pasar, baik dari
segi permintaan maupun penawaran.
Bila dilihat dari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di
Semenanjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah
di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-
undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau
perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran
negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus
beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal”
(pengawas keuangan). Catatan pertama akuntansi yang ditemukan di kawasan Asia Tengah
(Arab), bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat
282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-
manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani
dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang
yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya...”
Tabel 7
CIRI-CIRI PELAPORAN
Dalam Islam telah ditegaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosisal yang
diciptakan oleh Allah SWT, adalah semata-mata untuk mengabdi pada-Nya. Oleh karena
itu, setiap insan (muslim) selain mempunyai kewajiban individu (fardhu ain) juga
mempunyai kewajiban bersama (fardhu kifayah). Zakat merupakan perwujudan kewajiban
untuk kepetingan bersama dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan semua orang yang
tidak mampu (sesuai ashnaf-nya) dalam memenuhi kepentingan diri keluarga, dan
masyarakatnya. Perwujudan kepentingan bersama ini secara umum, antara lain
mengunjungi saudaranya bila tertimpa musibah, bertakziah, dan penunaian ibadah zakat.
Menunaikan ibadah zakat, telah tertuang dalam Al Qur’an Surah At Taubah ayat 103 yang
merupakan perpaduan dan perwujudan dari kepentingan individu dengan kepentingan
bersama sesuai konsep Islam. Dan hal ini hanya dapat terlaksana bila telah dilakukan
pencatatan, perhitungan, dan pembagian terhadap aset (harta) yang dimiliki, baik oleh
individu maupun entitas ekonomi (perusahaan), sesuai dengan kesepakatan (akad) yang
telah dibuat dan hokum yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan beberapa pengertian (simpulan) tentang zakat oleh para
peneliti atau penulis di bawah ini.
o Saud (1976): zakat secara linguistik mempunyai makna ganda, yaitu pertumbuhan
(growth) dan pembersihan (purification).
o Siregar (1999, 58) dan Chapra (2000, 270): zakat mempunyai makna literal, yaitu
penyucian (thaharah), pertumbuhan (nama’), keberkatan (barokah), dan pujian (madh).
o Dalam Al Qur’an:
(Surat At-Taubat, 103); dasar pengenaan zakat adalah kekayaan: “Sesungguhnya bumi
Zakat merupakan ibadah penyucian harta yang bersifat wajib dalam Rukun Islam
ke-4 setelah mengucap syahadat, mendirikan shalat, dan menunaikan ibadah puasa. Tidak
ada sangsi atau hukuman, hanya sangsi moral dan di akhirat kelak akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah. Zakat tidak tunduk pada prinsip perpajakan, ciri
dan tujuannya berbeda. Sedangkan pajak adalah kewajiban individu atau badan untuk
menyetorkan uang ke kas negara berdasarkan peraturan perundangan, dan sifatnya
memaksa disertai sangsi administratif dan atau kurungan badan.
Dalam pemungutan zakat harus sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam
Al Qur’an atau pun Sunah Rasulullah SAW, yakni telah sampai haul dan nisabnya.
Besarnya persentase pengenaan zakatnya disesuaikan dengan jenis harta yang dimiliki,
(misalnya harta perdagangan 2,5% dari nilainya, hasil pertanian tanpa pengairan 20% dari
hasil panen yang diperoleh, harta temuan/qarun adalah 20% dari nilai temuannya). Dalam
distribusinya, zakat ini telah ditentukan pula pihak yang berhak menerimanya (8 pihak),
dalam konteks bernegara atau bermasyarakat dibentuk badan amil amil zakat (BAZIS)
yang telah diakui dan disahkan oleh masyarakat atau negara. Sehingga zakat yang telah
dibayarkan pada BAZIS yang resmi atau terdaftar, berdasarkan Surat Edaran Menteri
Keuangan, dapat mengurangi pajak yang akan dibayar. Meskipun cara perhitungan dan
pemungutannya berbeda, namun pada dasarnya kedua hali ini adalah wujud dari penunaian
kewajiban terhadap agama dan bangsa. Sebab, dalam pengelolaan dan pemungutan zakat
berbeda dengan pemungutan terhadap pajak. Dalam pengelolaan kedua hal tersebut
hendaknya memperhatikan empat azas berikut; (Rahman, 1966, 333, dan Mannan, 1997,
275):
Tabel 8
PERBEDAAN ASAS ZAKAT DAN PAJAK
Standar Akuntansi Zakat sangat diperlukan. Karena standar ini yang mengatur
bagaimana mengelola Zakat tersebut. Hal ini telh dan diterbitkan oleh lembaga pembuat
standar/standard setting body (lihat PSAK 110/2012 tentang ZIS). Sehingga terdapat
kepastian hukum dengan standar yang pasti maka selayaknya ketentuan atau standar
khusus mengenai zakat ini diterbitkan untuk kepentingan umat, terutama dalam konteks
pengelolaan negara berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat (public money) untuk
pembangunan dan program pengentasan kemiskinan. Dibandingkan pajak yang cenderung
memaksa dan mungkin sumbernya non halal, maka pajak dipungut atau dikeluarkan atas
kesadaran individu bahwa dibalik harta yang kita miliki terdapat hak orang lain yang harus
dikeluarkan yakni dalam bentuk zakat. Sedangkan dalam pajak yang terindikasi adanya
ketidakjelasan dalam proses pengumpulan dan distribusinya cenderung tidak merata dan
tidak sesuai dengan konsep keadilan, kebenaran, dan pertanggungjawaban. Sesuai dengan
prinsip muamallah dalam akuntansi syariah, sehingga agak sulit untuk
dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan.
Oleh karena itu, kalau pajak sudah ada peraturan maupun ketentuan yang
mengaturnya maka seyogyanya zakat juga demikian (terutama aturan dari pemerintah dan
organisasi profesi) misalnya: kewajiban untuk melaporkan pungutan zakatnya dan standar
akuntansi Zakat. Menurut Harahap (1997, 285), bahwa dalam standar zakat hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut.
1. Dasar penilaian adalah nilai tukar sekarang (current exchange value), berdasarkan
harga pasar yang berlaku.
2. Aturan periode satu tahun, kecuali untuk zakat pertanian disesuaikan dengan musim
panen (masa produksinya).
3. Independensi aturan, zakat dihitung berdasarkan kekayaan akhir tahun, setelah sampai
haul dan nisabnya.
4. Menggunakan standar realisasi.
5. Menggunakan net total dan memerlukan net income.
6. Dasar pengenaan adalah harta kekayaan (maal).
Zakat adalah proses penyucian harta dan merupakan kewajiban setiap individu muslim
sebagai sarana untuk mencapai taqwallah sedangkan Pajak adalah Iuran wajib (pungutan)
setiap warga negara (badan) yang pemungutannya dapat dipaksakan dan disertai adanya
sangsi (denda) atau kurungan badan. Selanjutnya dalam konteks kewajiban pada negara
maka pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan dan dapat dikenakan sanksi
denda atau kurungan apabila warga negara tidak menunaikan kewajibannya. Pajak diatur
dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan undang-undang (ketentuan lainnya). Yang
berfungsi sebagai pemasukan pada kas negara untuk membiayai pembangunan dan
pembiayaan negara lainnya. Sedangkan zakat adalah kewajiban individu yang bersifat
ibadah amaliah. Penunaian kewajiban diserahkan kepada kesadaran insan yang
Secara lebih jelas unsur persamaan dan perbedaan antara Zakat dan Pajak sebagai
berikut.
Tabel 9
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK
PERBEDAAN
No.
Persamaan Perbedaan Zakat Pajak
1 Adanya unsur Pengentian/ Penyucian harta dan merupakan Iuran wajib (pungutan) setiap warga
kewajiban definisi kewajiban setiap individu muslim negara (badan) yang pemungutannya
sebagai sarana untuk mencapai dapat dipaksakan dan disertai adanya
taqwallah sangsi (denda) atau kurungan badan.
2 Harus disetorkan Sasaran Ditentukan ada delapan (ashnaf) Badan/lembaga yang telah ditunjuk
ke pihak yang orang/lembaga kelompok masyarakat (amilin, muallaf, dan atau dibentuk menurut
berwenang yang menerimanya fakir dan miskin, gharim, jihad fi ketentuan/peraturan atau
menerimanya sabilillah, dll). perundangan negara.
3 Memperoleh Pengelolaan/ Dikelola secara sederhana oleh Dikelola secara terstruktur dan
imbalan/pahala manajemen individu dan atau badan yang dibentuk sistematis oleh lembaga yang
baik secara oleh masyarakat (Amil) atau negara ditunjuk. (misalnya: Departemen
langsung ataupun (BAZIS) Keuangan, Dirjen Anggaran Pajak,
tidak KPP, dll)
4 Berfungsi untuk Manfaat/kegunaan Semata-mata untuk kesejehteraan umat Untuk membiayai negara, baik untuk
kepentingan sebagai wujud pelaksaanaan rukun kepentingan sosial, ekonomi, politik,
sosial Islam yang ke-4 agama, budaya maupun pertahanan
(kemasyarakatan), keamanan.
ekonomi, dan
keuangan.
5 Adanya masa Orientasi atau Menunaikan kewajiban dan Salah satu sumber pemasukan yang
manfaat atau tujuan mensucikan harta untuk hak orang lain potensial untuk berjalannya program
masa penggunaan pemerintahan.
6 Dibayar setahun Besarnya tarif Ditentukan berdasarkan ketentuan
sekali atau setiap (nisab) Ditentukan sesuai dengan jenis undang-undang dengan
kejadian (event) zakatnya (dalam Al Qur’an dan Sunah menggunakan tarif progresif/tetap
obyek Rasul) dan telah mencapai haul dan secara proporsional sesuai dengan
nisabnya jumlah pendapatan.
7 Berfungsi sebagai Dari prinsip yang Persamaan (equalitas) untuk semua Ada batasan tertentu (sesuai PKP/
sarana digunakan individu penghasilan kena pajak)
pengumpulan
dana masyarakat
8 Dasar/ asas yang 4 asas Kepastian, keselarasan, ketepatan, dan Kepastian, keselarasan, ketepatan,
pasti ekonomi dan ekonomi
9 Berdasarkan Ketentuan QS. At Taubah: 5, 11, 18, 58, 60, 103; UU No. 1 Tahun 1983 diubah
ketentuan/peratur (Nash/Aturan): QS. Al Baqarah: 43, 110, 177, 254, menjadi UU No. 17 tahun 2002:
an yang pasti 277; QS. As Saba: 39; QS. An Nissa: Pasal 23 Ayat 2 (khususnya)
77; QS. Maryam: 31; QS. Al UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2
Mu’minum: 4; QS. Annur: 37, 56; QS. Surat Edaran dari Menteri Keuangan
An Naml: 5; QS. Luqman: 4; QS. Al dan aturan lainnya.
Ahzab: 33
QS. Al Bayinah: 5, dll.
A. PENDAHULUAN
Dalam sistem ekonomi Islam, dijelaskan mengenai konsep dana, bahwa dana hanya
akan tersedia karena ada biaya, dan biaya terdapat dalam bagi hasil. Tingkat keuntungan
menjadi kriteria untuk pengalokasian sumber daya sekaligus untuk membuat
keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Seluruh risiko bisnis diserahkan kepada
pengusaha dan memastikan keuntungan bagi dirinya terlepas berapapun laba yang akan
diperoleh. Sehingga dalam ekonomi islam, segala transaksi (kegiatan bisnis) harus
didasarkan pada akad (kesepakatan) antara kedua belah pihak, secara adil dan transparan,
serta saling ridha (ar ridhain). Dengan demikian, sistem bagi hasil yang islami ini, tidak
Oleh karena itu, Islam sangat mendorong praktik bagi hasil dan mengharamkan riba
(bunga). Hal ini sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan MUI pada tahun tanggal 16
Desember 2003, yang menyatakan bahwa bunga bank tersebut identik dengan riba
dan hukumnya adalah haram. Di sisi lain, syariah Islam menghendaki sharing risk and
profit secara bersama-sama, dengan mengakui modal serta peranannya dalam proses
produksi atau jasa. Dengan demikian diharapkan akan dapat memberikan beban risiko
secara merata dan adil sesuai dengan akad dan kesepakatan yang telah ditetapkan pada
saat awal transaksi.
Bila dilihat dari dua sistem ekonomi yang ada (konvensional dan syariah) maka antara
kedua sistem tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar. Yaitu sistem bunga (interest)
didasarkan pada tingkat bunga yang berlaku dan dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan
kurs (mata uang asing) dalam sistem ekonomi pasar bebas (free liberalism economic).
Sedangkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) didasarkan pada prinsip ekononi
syariah dimana besarnya bagi hasil atau rugi didasarkan pada kesepakatan pada saat akad.
Berdasarkan persentase tertentu, antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola
(mudharib). Dan tidak terpengaruh oleh berapapun tingkat suku bunga yang berlaku.
Sehingga dalam praktik bisnisnya akan selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariah, yang
selalu mengutamakan kebenaran, keadilan dan pertanggungjawaban dalam mencapai ridha
Allah menuju taqwallah.
Dalam Al Qur’an Surah An-Nissa: 29, Allah SWT, berfirman yang artinya; “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamu dengan jalan
bathil…” Dalam kaitannya dengan pengertian batil tersebut, Ibnu Al-Arabia al Maliki,
dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an berpendapat: “Pengertian riba secara bahasa adalah
tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat tersebut yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti penyeimbang yang dibenarkan syariat.”
Transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara tidak adil dan cenderung merugikan
pihak yang lemah. Seperti dalam transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena pengunaan si
Demikian pula dalam proyek, bagi hasil, para pihak berhak mendapatkan keuntungan
karena penyertaan modal dan turut menanggung risiko bisnis yang mungkin terjadi setiap
saat. Demikan pula dana, tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya karena faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya belum tentu, memperolah hasil untung. Hal ini tergantung
upaya dan usaha yang dilakukannya dan kehendak Sang Maha Pencipta Allah SWT.
Pengertian senada juga disampaikan oleh mayoritas ulama sepanjang sejarah Islam dari
berbagai Mazhab Fiqhiyyah. Badr ad-Dii al-Ayni pengarang Kitab Umdatu Qari Syarah
Shahih Bukhari mengatakan, “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut
syariah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, “Riba adalah tambahan yang
diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh atau padanan yang dibenarkan oleh
syariah atas penambahan tersebut.”
Secara garis besar riba sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terbagi dalam dua
kelompok yaitu: Riba Utang-Piutang (Riba Duyun) dan Riba Jual-Beli (Riba Buyu’).
Riba Utang-Piutang terbagi dua yaitu Riba Qardh dan Riba Jahiliyah, sedangkan Riba jual
beli terbagi dalam dua bagian pula, yaitu Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah.
Bunga tersebut sebenarnya telah lama dinyatakan tidak objektif dan ada unsur
eksploitasi golongan kaya terhadap golongan miskin. Plato (427-347 SM), bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Bunga merupakan
alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Hal ini menunjukan bahwa
bunga tersebut hanya mendasarkan pada prinsip keuntungan semata yang cenderung
mengabaikan keadilan. Selain itu Aristoteles (384-322 SM), bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan merupakan alat untuk menghasilkan
tambahan kekayaan melalui bunga.
Bahkan bangsa Yahudi (Israel), telah pula menyatakan dalam beberapa Kitab Suci mereka
sebagai berikut:
Kitab Eksodus (Keluaran) 22; 25, Jika engkau meminjamkan uang kepada salah
seorang umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih utang terhadap dia, dan janganlah engkau bebankan bunga
terhadapnya.
Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23; 19, Janganlah engkau membungkan uang
kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat
dibungakan.
Kitab Levicitus (Imamat) 35; 7, bahwa janganlah kamu mengambil bunga uang
atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya Saudaramu
bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.
Umat Kristiani pada dasarnya dalam memandang bunga terbagi 3 bagian, yaitu:
1) Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah
barang yang dipinjamkan diawal.
2) Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang baik dalam Kitab Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru.
3) Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah
suatu dosa.
4) Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
5) Harga barang yang tinggi untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII-XV) antara lain; Robert of Courcon
(1152-1218 M), William Auxxerre (1160-1220 M), St. Raymond of Pennafore (1180-1278
M), St. Bonaventure (1221-1274 M) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274 M), mereka
menyatakan bahwa:
1) Bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
2) Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman
adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
3) Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
tergantung niat si pemberi utang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI-Abad XIX) antara lain; John Calvin
(1509-1564 M), Charles du Moulin (1500-1566 M), Claude Saummaise (1588-1653 M),
Martin Luther (1483-1546 M), Melancthon (1497-1560 M) dan Zwingli (1484-1531 M)
mereka berpendapat bahwa:
1) Dosa apabila bunga memberatkan peminjam.
2) Uang dapat membiak (kontra dengan pendapat Aristoteles).
3) Tidak menjadikan bunga sebagai sebagai dasar profesi.
4) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Berdasarkan hal tersebut di atas secara jelas bahwa sebagian besar ketentuan, dan pendapat
mereka tidak membolehkan praktik bunga yang berlebih-lebihan apalagi dengan orang
miskin di dalam masyarakat. Hal ini sejalan juga dengan ayat di bawah ini diambil dari
Kitab Injil; Lukas 6: 34-35, sebagai berikut: “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu
kepada orang lain, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar
dan hakmu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Bagaimana dengan pandangan Agama Islam? Dalam Islam sangat jelas hukum dan
ketentuannya berkaitan dengan bunga (riba) tersebut, sebagai berikut.
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW, bersabda dalam beberapa hadits beliau tentang
riba antara lain: yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Riba itu
memiliki tujuh puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama
Berdasarkan beberapa pandangan dan dalil naqli maupun aqli yang diuraikan di atas
maka seyogyanya pengambilan bunga perlu dipertimbangkan lebih jauh terutama dalam
praktik perbankan konvensional. Hal ini agar tercipta rasa keadilan dan eksploitasi
golongan kaya terhadap miskin tidak terjadi, seperti kondisi sekarang. Dalam ekonomi
yang berprinsip syariah, maka bunga harus dihindarkan dan diganti dengan sistem bagi
hasil. Mengapa demikian? Karena hanya terdapat alasan-alasan lemah untuk membolehkan
bunga bank (pembenaran bunga) dan pada dasarnya pembenaran tersebut dapat ditolak;
seperti anggapan-anggapan berikut bahwa:
Oleh karena alasan-alasan lemah tersebut maka pembolehan bunga dalam praktik
bisnis (perbankan) dapat ditolak atau dibantah. Sebab kalau kita mempelajari lebih jauh
lagi ketentuan atau ayat-ayat tentang riba maka akan semakin nyata dampak (kerugian) bila
riba yang identik dengan bunga tersebut dibolehkan. Apalagi bila dikaitkan dengan konsep
oppurtunity cost, siapakah yang dapat menjamin bahwa masa yang akan datang itu pasti
untung (dalam konsep Oppurtunity Cost). Kemudian apakah selama ini kondisi ekonomi
atau perbankan dalam keadaan darurat terus? Bisa pula terjadinya penurunan nilai uang
atau inflasi yang tidak mutlak terjadinya, karena dapat pula akibat adanya deflasi. Bisa
jadi bunga merupakan penyebab utama terjadinya inflasi. Demikan pula pembolehan bunga
dapat berakibat merusak moral, sebab bagi si berpiutang (kreditur) dapat menimbulkan
sifat egois, zhalim, bakhil (lebih mencintai harta), sedangkan bagi si berhutang melahirkan
benih kebencian, beban yang besar, serta rasa permusuhan. Sehingga jauh rasa
persaudaraan dan prisnip saling tolong menolong. Hubungan bisnis semata-mata
didasarkan pada prinsip ekonomi (oriented profit) yang dipakai para kaum orientalis, hal
ini sangat tidak sesuai dengan prisnip ekonomi islam. Yang mendasarkan pada prinsip
saling tolong menolong (ta’awun), dalam menjalankan amanah (titipan) dari Allah SWT.
Yaitu menuju taqwallah sehingga selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, konsep
atau prinsip Sistem Bagi Hasil menjadi satu-satunya solusi alternatif pilihan, terutama
dalam pengelolan perekonomian berbasis syariah, dalam praktik bisnis (al muhasabah wal
muamallah).
Secara lebih jelas perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 10
PERBEDAAN BUNGA DAN BAGI HASIL
Ciri utama dalam konsep kepemilikan menurut syariah adalah legitimasi kepemilikan
tergantung pada unsur moralitas. Dalam kepemilikan aset (aset) umumnya didasarkan pada
konsep historis dan dicatat sebesar harga perolehannya sesuai dengan harga pada saat
pembelian atau perpindahan hak antara penjual dengan pembeli dengan mengutamakan
pada prinsip amanah-Nya. Oleh karena Allah SWT-lah semata-mata merupakan pemilik
o Surah Ali Imran; 189, artinya: “Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan
bumi, Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.”
o Surah Al Baqarah; 29, artinya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala
yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
o Dalam Hadits Rasulullah SAW: “Orang yang menguasai tanah yang tidak
bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya ia tidak
menggarapnya dengan baik”.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien dan tidak
produktif harus dihindarkan agar mampu menciptakan tingkat produktivitas, dan efisiensi
dalam upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, berdasarkan
konsep dan prisnip syariah. Sehingga dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
atau asset tersebut hendaknya selalu memperhatikan hal-hal (prinsip) berikut:
1. Kekayaan atau kepemilikan harus tetap tersebar (QS. Al Hasyr: 7) secara terus menerus
diantara semua lapisan masyarakat.
2. Pembayaran zakat harus sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya.
3. Penggunaan yang berfaedah, penekanan penggunaan ‘dijalan Allah SWT’.
4. Pengunaan yang tidak merugikan, menghindari kepemilikan mutlak.
5. Kepemilikan yang sah. (QS, An-Nisa: 29)
6. Adanya keseimbangan pemanfaatan (QS, Al-isra: 29 dan An Nisa: 36-37).
7. Penggunaan yang sesuai hak, untuk kemaslahatan umat.
8. Pemanfaatan untuk kehidupan manusia dalam mencapai ridha Allah, mengedepankan
hukum waris bila yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Dalam penilaian harta (aset) adalah masa atau periode satu tahun (telah sampai
haulnya), terutama untuk dasar penilaian dan pengenaan zakat dan pajak. Sebagai dasar
utama adalah ditekankan dengan mekanisme perhitungan zakat yaitu mencapai nisab dan
haul-nya. Dalam QS, Adz-Dzaariyaat: 19, artinya: “Dan pada harta-harta mereka untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak bahagian." Demikian pula dalam
hadits Rasulullah SAW, “Tidak ada zakat yang dikenakan terhadap harta benda yang
dimiliki kurang dari satu tahun.” Berdasarkan hal tersebut maka dasar penilaian harta
dalam praktik bisnis (muhasabah) berdasarkan syariah adalah telah sampai haulnya
(periode satu tahun), dan setiap akhir periode dilakukan penilaian berdasarkan prinsip
akuntansi untuk menentukan besarnya zakat maupun pajaknya.
Hameed (2000; 20): Value at current (market price) and then pay zakah (on it). Hal
Jadi dasar penilaian utama yang digunakan dalam Islam adalah historical cost,
namun dengan tetap memperhatikan unsur current value dan hal berikut:
Sistem ini didasarkan atas dasar transaksi perolehan aset.
Menggunakan konsep kehati-hatian (prudent concept) atau konservatisme dan
pertanggungjawaban (responsibility) sebagai wujud pengelolaan terutama kepada
Allah SWT dan pemilik modal (investor).
Dalam realisasinya dikaitkan dengan konsep penandingan (matching principles).
Menggunakan dasar periodically sebagai dasar penilaian dan alokasi aset secara
wajar dan objektif (fair).
Riba adalah salah satu hal yang dilarang dalam Islam. Larangan riba telah jelas dimuat
dalam Al Qu’ran dan Hadits Rasulullah SAW. sebagai berikut:
(QS; 3; 130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwallah kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
(QS; 2; 275-279), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syetan lantaran (tekanan)
penyakit jiwa. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhan-Nya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusan
terserah kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang kekafiran, dan selalu
berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh,
mendirikan sembayang, dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala pada sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran padanya dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwallah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak
mengerjakannya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
(QS; 4; 161), “Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih.”
(QS; 30; 39), “Dan sesudah riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan jika
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
meliptakangandakan pahalanya.”
QS. An Nissa: 160-161, “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang yahudi, Kami
Selanjutnya dalam hadits Rasulullah SAW. dijelaskan antara lain sebagai berikut:
Dari Usamah bin Zaid, Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya riba itu bisa
terjadi pada jual beli secara laibilitas (kredit). (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah SAW. bersabda: “Jangan melebih-lebihkan satu
dengan yang lainnya, jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya setara,
dan jangan melebih-lebihkan satu dengan yang lainnya, dan jangan menjual sesuatu
yang tidak tampak.” (HR. Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Masa’i dan Ahmad)
Dari Ubada bin Sami, Rasulullah SAW bersabda: “Emas untu emas, perak untuk
perak gandum untuk gandum. Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih dia
telah berbuat riba. Pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa).”
Jabir berkata bahwa Rasullah SAW. Mengutuk orang yang menerima riba, orangh
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian
beliau bersabda, “Mereka semuanya sama.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW berkata, “Pada malam
perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti rumah,
didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada
Jibril, siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang
memakan riba.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Riba itu memiliki tujuh
puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya sendiri.”
Di sisi lain Al Qur’an juga memberikan anjuran bagi pemberi pinjaman (kreditur)
untuk memberikan keringanan jika peminjam (debitur) mengalami kesulitan dalam
membayar. Hal ini ditegaskan dalam QS; 2 ayat 280: “Jika orang berlaibilitas itu dalam
kesukaran, maka beri tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian
atau seluruh laibilitas, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahu.” (QS; 2; 280).
Konsep TVM (positive preference) menyebutkan bahwa nilai komoditi saat ini
lebih tinggi dibanding masa depan (Achsien, 2000, 43). Karena konsep ini merupakan pola
ekonomi yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam masalah ini berkaitan
dengan tingkat bunga. Padahal dalam Islam sistem bunga dilarang, terutama dalam
penilaian investasi, diskonto, dan sebagai cost of capital.
Selanjutnya dalam Islam uang dan kekayaan harus digunakan untuk kebiasaan
baik bukan untuk eksploitasi, dalam pemanfaatannya tidak boleh berlebih-lebihan dan
tidak boleh dibiarkan sia-sia menganggur. Sehingga capital budgeting yang didasarkan
pada diskonto untuk menilai proyek atau investasi bertentangan dan tidak dibenarkan
menurut syariat Islam. Selain itu sistem bunga (interest) sebagai salah satu faktor diskonto
yang dilarang merupakan bentuk praktik riba. Sehingga sebagai alternatif penggantinya
adalah menggunakn tingkat pengembalian (rank of return), bukan rate of return. Sebagai
contoh untuk saham (investasi) dengan memperhatikan EPS (earning per share), dengan
tetap memperhatikan konsep profit and loss sharing.
Bahwa konsep business income lebih relevan dari pada konsep laba berbasis historis,
karena nilai historis yang dijadikan dasar penilaian dan pengukuran atas aset atau transkasi
yang akan dikenakan zakat tidak bisa mengakui transaksi pada nilai wajarnya, yang
ditunjukkan dengan nilai saat ini. Historical cost juga gagal mengatasi prinsip realisasi,
karena historical cost tidak bisa mengakui kenaikan nilai yang belum direalisasi atas aset
yang dimiliki perusahaan pada periode tertentu.
Sedangkan konsep laba business income lebih relevan karena kesesuaiannnya dengan
mekanisme zakat yang mengakui dan meniali aset (harta) berdasarkan nilai sekarang
(current value) dan sistem tanpa bunga yang ada dalam Islam. Current value dalam praktik
akuntansi dapat digunakan sebagai dasar penilaian dan pengukuran dengan menggunakan
net realizable value (replacement cost). Current value ini didasarkan pada nilai masukan
dan nilai keluaran. Bila nilai masukan dinyatakan dalam satuan kini maka perhitungan laba
sama dengan historical cost, tetapi laba yang dihasilkan mencakup penahanan keuntungan
dan kerugian ini direalisasi atau tidak melalui penjualan atau pertukaran.
Lebih lanjut Hendriksen dan Van Breda (2000, 306) memberikan rumusan secara
Namun perlu diingat bahwa untuk memperolah laba tersebut harus memperhatikan
prinsip ekonomi (berkorban seefisen mungkin untuk mencapai laba yang proporsional)
sesuai dengan prinsip syariah dalam Islam yaitu:
1. Saling ridha (‘an taradhin), adanya keikhlasan antar para pihak (penjual dan
pembeli)
2. Halal-Thayib (halalan thayiban), barang yang diperjualbelikan harus bebas
dari unsur yang merugikan menurut prinsip syariah.
3. Bebas riba dan eksploitasi (dzulm), tidak mengandung unsur bunga dan
bentuk eksploitasi dari penjual (kreditur) kepada pembeli (debetur)
4. Bebas manipulasi (ghoror), tidak ada unsur penipuan atau rekayasa yang
hanya menguntungkan salah satu pihak.
5. Saling menguntungkan (ta’awun), bahwa dalam proses jual beli para pihak
memperoleh manfaat masing-masing sesuai dengan akad dan perjanjiannnya
6. Tidak membahayakan (mudharat), barang atau jasa yang
diperjualbelikan/diserahterimakan tidak membawa mudharat bagi dirinya, masyarakat
dan lingkungan.
7. Anti monopoli dan spekulasi (masyir), tidak dibenarkan adanya praktik
monopoli dan spekulasi, karena menyangkut masalah keadilan dan ketidakpastian.
BAB XII
Dalam pembahasan bagian ini, akan digunakan akun-akun laporan keuangan syariah
yang sesuai dengan tujuan zakat, terutama adalah aset. Sedangkan akun-akun tersebut
meliputi aset yang digunakan sebagai modal kerja, dimana aset tetap bukan merupakan
subjek zakat, sebagaimana yang dinyatakan oleh AAO-IFI (1998) dalam penjelasan atas
Statement of Financial Accounting No 9 tentang zakat.
Sedangkan S.A. Siddiqui (1962, 31) seperti yang dikutip oleh Rahman (1996, 264-
65) mengungkapkan jenis-jenis harta yang bebas zakat yaitu: rumah kediaman, pakaian
yang dikenakan, perkakas rumah, binatang tunggangan, senjata yang digunakan, makanan,
barang perhiasan emas dan perak, uang selain yang terbuat dari emas dan perak, yang
digunakan untuk berbelanja pribadi, buku-buku, alat-alat dan mesin yang digunakan untuk
proses produksi, dan binatang-binatang untuk mengolah pertanian. Dalam UU RI No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa: harta
yang dikenai zakat adalah:
Aset tetap yang digunakan untuk proses produksi selanjutnya pada sebuah
perusahaan tidak menjadi bagian aset yang dikenakan pajak. Adapun kriteria harta (aset)
yang memenuhi kewajiban zakat adalah:
Adapun yang termasuk dalam aset yang dikenai kewajiban zakat (selain aset tetap)
adalah:
2. Piutang
Piutang adalah klaim terhadap pihak lain atas penyerahan barang atau jasa dalam
rangka kegiatan usaha perusahaan. Piutang di sini adalah piutang bersih setelah
dikurangi provisi untuk piutang ragu-ragu.
Tabel 11
DASAR PENILAIAN AKUN – AKUN LAPORAN KEUANGAN SYARIAH
DASAR ZAKAT DENGAN METODA BERSIH (NET ASSETS METHODS)
Dasar Penilaian Atas akun-akun Laporan Keuangan Syariah sebagai dasar pengenaan
Zakat dengan metoda Net Invested Funds Method, sebagai berikut:
Tabel 12
METODA DANA YANG DIINVESTASIKAN BERSIH
(NET INVESTED FUNDS METHOD)
Dalam metoda aset bersih perusahaan nampak bahwa aset atau aset yang dinilai adalah
aset lancar. Dimana sesuai pada pembahasan sebelumnya bahwa aset yang wajib dikenai
zakat adalah aset lancar yang akan diolah (diproses) untuk menghasilkan pendapatan.
Jadi jelaslah bahwa aset yang dikenai kewajiban zakat bagi perusahaan adalah aset dalam
kategori aset lancar (kas setara kas, pilaibilitas, barang perdagangan, dan aset pembiayaan),
Pembahasan konsep laba akuntansi syariah akan dilakukan dengan tiga pendekatan
dalam teori akuntansi, yaitu pendekatan sintaksis, semantis, dan pragmatis. Laba secara
sintaksis yaitu melalui aturan-aturan yang mendefinisikannya; secara semantis yaitu melalui
hubungan pada realitas ekonomi yang mendasari; dan secara pragmatis merupakan
penggunaan laba oleh para pemakainya tanpa memperhatikan bagaimana hal itu diukur atau
apakah itu artinya (Hendriksen dan Van Breda 2000, 329).
Untuk lebih memahami konsep laba dalam akuntansi syariah dalam tingkatan
sintaksis maka juga harus dipahami dengan mengetahui bagaimana operasionalisme
untuk mengukur laba, yaitu bagaimana proses yang dilakukan untuk menghasilkan laba.
Seperti halnya konsep laba dalam akuntansi konvensional, konsep laba akuntansi syariah
juga mengenal dua pendekatan dalam pengukuran laba yaitu pendekatan transaksi dan
Laba dalam akuntansi syariah dalam tingkatan semantik sangat berkaitan erat dengan
tujuan akuntansi syariah itu sendiri. Adnan (1999, 4) menyatakan bahwa tujuan akuntansi
syariah jika dilihat dari idealisme syariah dapat dibagi menjadi dua tingkatan yaitu
tingkatan ideal dan tingkatan praktis.
Secara umum dapat diketahui bahwa tujuan laba dalam akuntansi syariah adalah
untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban menunaikan zakat. Oleh karena
itulah laba dalam akuntansi syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha,
apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum, untuk melakukan pertanggungjawaban
baik pertanggungjawaban kepada pemilik (pemegang saham) maupun
pertanggungjawaban kepada sang maha pemilik Allah SWT.
Oleh karena itu, laba dalam akuntansi syariah juga harus bisa digunakan untuk
menilai efisiensi atas kegiatan investasi perusahaan. Efisiensi tersebut akan tercermin
dalam tingkat pengembalian atas investasi, yang dihitung dengan laba bersih dibagi
jumlah modal yang diinvestasikan.
Konsep pragmatik dari laba berkaitan dengan proses keputusan yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang menggunakan informasi laba tersebut atau peristiwa–peristiwa yang
Zakat merupakan hal yang sangat asasi dalam Islam, dimana zakat merupakan salah
satu rukun Islam, tidak hanya wajib bagi Rasulullah tetapi juga bagi seluruh umat, dan
diwajibkannya penunaian zakat itu ditegaskan oleh ayat-ayat Qur’an yang tegas dan jelas,
dan oleh sunnah Rasulullah yang disaksikan semua orang mutawatir, dan oleh konsensus
(ijma’) seluruh umat semenjak dulu sampai sekarang (Qardawi 1991, 86).
Informasi laba secara pragmatis dalam akuntansi syariah harus bisa dijadikan dasar
penghitungan zakat, mengingat zakat merupakan sarana atau institusi yang akan
membedakan antara seorang mu’min dari seorang munafik yang dijelaskan oleh Allah
dalam Al-Qur’an 9 : 67.
Pengambilan keputusan atas dasar informasi laba juga menjadi dasar dari banyak
hubungan hukum dan kontraktual dalam masyarakat. Kekuatan dari pendekatan
kontraktual adalah bahwa hal itu tidak menuntut intepretasi semantik atas perubahan
akuntansi (Hendriksen dan Van Breda 2000, 345). Dalam sistem ekonomi Islam tidak
dikenal adanya sistem bunga, sistem ekonomi Islam dilaksanakan dengan sistem bagi hasil
(profit loss sharing). Oleh karena itu, kaitannya dengan konsep laba akuntansi syariah
adalah bahwa laba akuntansi syariah dijadikan dasar dalam melaksanakan transaksi
secara Islam, misalnya laba atau estimasi dari laba (keuntungan) dijadikan dasar dalam
beberapa produk pembiayaan syariah.
Laba sebagai alat peramal biasanya digunakan sebagai dasar keputusan investasi,
misalnya laba digunakan untuk memprediksi harga perlembar saham. Nilai sebuah
perusahaan dan nilai saham dalam perusaahaan itu tergantung pada aliran distribusi masa
depan yang diharapkan kepada pemegang saham. Berdasarkan pengharapan ini, pemegang
saham saat ini dapat memutuskan untuk menjual saham itu atau terus menahannya.
Informasi laba yang diprediksikan harus mempunyai signifikasi dunia nyata, atau konsep
laba akuntansi syariah yang diproyeksikan relevan dengan proses keputusan investor.
Sebagaian besar investor menghendaki agar prediksi masa depan yang dilaporkan relevan
bagi evaluasi saham suatu perusahaan dalam keputusan jual beli, oleh karena itu prediksi
atas laba harus didasarkan pada penilaian dan pengukuran atas laba secara tepat.
Zaid dan Tibbits (1999,16) lebih jauh menytakan bahwa salah satu prinsip sebagai
dasar pertimbangan dalam akuntansi syariah adalah kebenaran dan keterbukaan laporan
kepengurusan. Prinsip keterbukaan ini berasal dari prinsip al mu’amalat´ di mana setiap
transaksi, peristiwa-peristiwa ekonomi atau keputusan yang dibuat harus halal
(diperbolehkan) dalam Islam.
Laba akuntansi syariah sebagai alat peramal banyak digunakan dalam pembuatan
PENDAHULUAN
Rubrik PERENCANAAN KEUANGAN ini mengunjungi pembaca setiap hari Jumat. Rubrik ini diasuh oleh
Tim Indonesia School of Life (ISOL) yakni Andrias Harefa, Roy Sembel, M. Ichsan, Heru Wibawa, dan
Parpudi Lubis. Pembaca dapat mengirimkan pertanyaan atau berkonsultasi seputar masalah-masalah
perencanaan keuangan. Pertanyaan dapat dikirim lewat email: redaksi@sinarharapan.co.id, Faksimile
Redaksi Sinar Harapan (021) 3912370, surat dialamatkan ke redaksi Sinar Harapan, Jalan Fachruddin
No.6, Jakarta 10250, dan bisa membuka di http://www.pembelajar.com/ISOL.
Setelah itu, asuransi berbasis syariah mulai digarap oleh beberapa perusahaan dengan
pendirian divisi syariah. Dengan terus berkembangnya produk-produk berbasis syariah,
maka kami melihat pentingnya untuk memperkenalkan secara khusus produk asuransi
syariah. Sebelum masuk prinsip-prinsip dan mekanisme produk tersebut, banyak kalangan
muslim yang beranggapan bahwa berasuransi adalah haram. Apakah benar? Ikut
pembahasannya dibawah ini.
2. Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan
bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan.
Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi prinsip syariah.
Yaitu, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah
pengelola dana (mudharib) yang terkumpul dari para peserta (shohibul maal). Secara
teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan seluruh modal (100 persen), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka
pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya
adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan
asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan. Dalam kaitannya dengan investasi, yang
merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana
tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional
menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga. Dengan demikian asuransi
konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah dalam
berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam
dengan sistem al-mudharabah.
3. Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo.
Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur
tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka
premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan
asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta
yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana
atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian
kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi
klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola
bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam
hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali
dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.
mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda
kepada mereka semua sama”, (HR Muslim).
Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta
karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period.
Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang
premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus.
Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak
dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik
perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan
menimbulkan ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang
tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk
melanjutkan, sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus.
Kondisi ini mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling
menzalimi, laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai
tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk
karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya
dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai
dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika
selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan
membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih
dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari
hasil investasinya.
Penghargaan yang diraih perusahaan ini sejak berdiri hingga sekarang adalah:
1. PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai Asuransi Syariah Terbaik tahun
2003 versi MUI,
2. PT Asuransi Takaful Umum Sebagai Asuransi Umum berpredikat Sangat
Bagus Kategori Kinerja Keuangan tahun 2002 versi majalah InfoBank,
3. PT Asuransi Takaful Umum sebagai Asuransi Umum berpredikat Sangat
Bagus Kategori Kinerja Keuangan tahun 2004 versi majalah InfoBank,
4. PT Asuransi Takaful Keluarga sebagai Asuransi Umum berpredikat
Terbaik Kategori Manajemen Resiko versi Karim Business Consulting,
5. PT Asuransi Takaful Umum sebagai Asuransi Umum berpredikat Terbaik
ke-2 Kategori Manajemen Resiko versi Karim Business Consulting,
6. PT Syarikat Takaful Indonesia sebagai Top Of Mind Asuransi Syariah
Kategori Perusahaan Asuransi versi Karim Business Consulting, dan
7. PT Asuransi Takaful Umum memperoleh Penghargaan Khusus Sebagai
Pioner Asuransi Umum Syariah versi majalah Investor.
A. PENDAHULUAN
1. Sejarah Pegadaian
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang
dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian merupakan “trademark”
dari lembaga Keuangan milik pemerintah maupun lembaga swasta yang menjalankan
kegiatan usaha dengan prinsip gadai.
Bisnis gadai melembaga pertama kali di Indonesia sejak Gubernur Jenderal VOC
Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik
gadai telah mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru
mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian,
pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri
pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui
pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai.Seiring dengan perkembangan zaman,
Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan
(1901), Perusahaan di Bawah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke
Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April
1990, sampai dengan terbitnya PP 103 tahun 2000, Pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Umum (PERUM) dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan
Departemen Keuangan RI hingga sekarang.
2. KEGIATAN USAHA PERUM PEGADAIAN
Sesuai dengan PP 103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan
usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta
menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia,
layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan
usaha lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, pegadaian mengemban misi untuk:
1. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke
bawah; dan
2. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
Kegiatan usaha Pegadaian dijalankan oleh lebih dari 730 Kantor Cabang PERUM
Pegadaian yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Cabang tersebut dikoordinasi oleh
14 Kantor Wilayah yang membawahi 26 sampai 75 kantor Cabang. Perum Pegadaian
secara Nasional berada di bawah kepemimpinan Direksi.
ULGS Batam berada dalam lingkup koordinasi Kantor Wilayah II Padang bersama
dengan 50 kantor Cabang lainya yang tersebar di provinsi Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Di Batam sendiri telah
berdiri 4 kantor Cabang Pegadaian Konvensional ( non Syariah ) yaitu di Sei Jodo,
Bengkong, Penuin dan Batu Aji. Baru kemudian, pada tanggal 10 November 2003 Kantor
Unit Layanan Gadai Syariah mulai melakukan uji coba operasi di Sungai Panas, Jl
Laksamana Bintan, Kompleks Bumi Riau makmur Blok C 8, dan melayani permintaan
masyarakat yang ingin menggadaikan barang bergeraknya. Alhamdulilah, ULGS telah
mampu melayani nasabah yang berasal dari 19 kelurahan di wilayah Batam. Hal ini
mengindikasikan bahwa keberadaan ULGS telah dapat diterima di tengah masyarakat.
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah.
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air
susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum,
maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim
dan Nasai-Bukhari.
b. Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
B. TEKNIK TRANSAKSI
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di
atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad
ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya
sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukad akad rukun dari
akad transaksi tersebut meliputi:
C. PENDANAAN
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana
yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah
dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah
melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian
juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback
up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
1. Di pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang
dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga
Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau
dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah
yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan
penarikan bea jasa simpan
I PENDAHULUAN
Kegiatan pinjam meminjam ini dilakukan oleh perseorangan atau badan hokum
dengan suatu lembaga, baik lembaga informal maupun formal. Indonesia yang sebagian
masyarakatnya masih berada di garis kemiskinan cenderung memilih melakukan kegiatan
pinjam meminjam kepada lembaga informal seperti misalnya rentenir. Kecenderungan ini
dilakukan karena mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi, mudah diakses dan dapat
dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun di balik kemudahan tersebut, rentenir
atau sejenisnya menekan masyarakat dengan tingginya bunga.
Jika masyarakat mau melihat keadaan lembaga formal yang dapat dipergunakan
untuk melakukan pinjam meminjam, mungkin masyarakat akan cenderung memilih
lembaga formal tersebut untuk memenuhi kebutuhan dananya. Lembaga formal tersebut
dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Saat ini, masih terdapat
kesan pada masyarakat bahwa mrminjam ke bank adalah suatu hal yang lebih
membanggakan dibandingkan dengan lembaga formal lain, padahal dalam prosesnya
memerlukan waktu yang relatif lama dengan persyaratan yang cukup rumit. Padahal,
pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang
melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan akses yang lebih
mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan
mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam,
maka Perum Pegadaian meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-
prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis
dan menentramkan. Cepat karena hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk prosesnya,
praktis karena persyaratannya mudah, jangka waktu fleksibel dan terdapat kemudahan
lain, serta menentramkan karena sumber dana berasal dari sumber yang sesuai dengan
syariah begitu pun dengan proses gadai yang diberlakukan. Produk yang dimaksud di atas
adalah produk Gadai Syariah.
Namun, pertanyaan yang kini muncul adalah sejauh mana kesinambungan antara
teori dan prinsip-prinsip syariah mengenai gadai syariah dengan aplikasi yang diterapkan
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga
dinamaial- habsu (Pasaribu, 1996). Secara etimologis, pengertian rahn adalah tetap dan
lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang tersebut (Syafei, 1987).
Sedangkan menurut Sabiq (1987), rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan
boleh mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Adapun pengertian rahn menurut
Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitabal-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan
kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak
sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang. Sedangkan Imam Abu Zakaria al-
Anshary dalam kitabnya Fathul Wahab mendefinisikanrahn sebagai menjadikan benda
yang bersifat harta benda itu bila utang tidak dibayar (Sudarsono, 2003).
Sedangkan menurut UU Perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu
digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
2.1.3. Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai serta Hak dan Kewajiban
Penerima dan Pemberi Gadai di dalam bukunya Fiqh Islam (1988), Mohammad
Anwar menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1. Ijab qabul (sighot), 2. Orang yang bertransaksi (Aqid), terdiri dari rahin (pemberi gadai)
dan murthahin (penerima gadai), 3.Adanya barang yang digadaikan (Marhun), dan
4.Utang (Marhun bih). Sedangkan syarat sah perjanjian gadai adalah: 1. Shigat, 2. Orang
yang berakal, 3. Barang yang dijadikan pinjaman, dan 4. Utang (marhun bih).
Ketentuannya:
- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang
elektronik, dan lain sebagainya.
- Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan
untuk mengenakan biaya administrsi kepada rahin.
b) Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk
pembiayaan lain yang bersifat produktif.
Ketentuannya:
- Barang gadai dapat berupa barang barang bergerak maupun barang tidak bergerak
seperti: emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain,
- Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
c) Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti
pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat
menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh
rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin aupun murtahin.
d) Ijarah
Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu, bentuknya adalah murtahin
menyewakan tempat penyimpanan barang.
Akad rahn berakhir bila telah terjadi hal-hal seperti disebutkan di bawah ini:
1. Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya.
Terdapat beberapa persamaan antara rahn dan gadai yaitu hak gadai berlaku atas
pinjaman uang, adanya anggaran (barang jaminan) sebagai jaminan hutang, tidak boleh
mengambil manfaat barang yang digadaikan, biaya barang yang digadaikan ditanggung
oleh pemberi gadai, dan apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang
digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal
kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang
harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga
Untuk menjadi lembaga keuangan yang terbaik di mata masyarakat, maka Perum
Pegadaian terus meluncurkan produk-produk jasa keuangan termasuk salah satunya adalah
pegadaian pola syariah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pegadaian syariah ini mulai
dioperasikan di Indonesia mulai Januari 2003. Secara umum, perkembangan pegadaian
syariah cukup baik. Perkembangan Pegadaian Syariah sampai akhir Februari 2009, jumlah
pembiayaan mencapai 1, 6 triliun Rupiah dengan nasabah 600 ribu orang. Jumlah kantor
cabang Pegadaian Syariah ini berjumlah 120 unit yang berarti masih 4 % dari jumlah
Pegadaian Konvensional yang ada di Indonesia (Harian Republika dalam Wakhyudin,
2009).
II PEMBAHASAN
a. Ketentuan Umum:
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang).
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.
Dari landasan syariah yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, adapun
mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: melalui
akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan
dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari
proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya
dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam
meminjam uang hanya sebagai penarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di
Pegadaian.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa
simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual,
selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan
uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun
untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada
Badan Amil Zakat sebagai ZI.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik
transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu:
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut
sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan
jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan
barang jaminan dalam gadai bersifataces s oir, sehingga Pegadaian konvensional bisa
tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik
fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak
keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa pinjam.
IV PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan dengan mengulas mengenai teori
gadai syariah yang berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islam dengan membandingkannya
dengan operasionalisasi gadai syariah yang telah dipraktikkan pada Perum Pegadaian di
Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa operasionalisasi gadai syariah yang diterapkan,
4.2. Saran
Walaupun sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu agama yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia, dan juga dirasa lebih menguntungkan, adanya
fasilitas gadai syariah ini belum bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas karena
kurangnya publikasi dan pembelajaran kepada publik mengenai gadai syariah dari Perum
Pegadaian. Oleh karena itu, dibutuhkan publikasi, promosi dan pengenalan kepada
masyarakat luas mengenai konsep gadai syariah yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian
ini. Diharapkan ke depannya, operasionalisasi dari gadai syariah ini dapat dilakukan
berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islami dengan menyeluruh, terutama pada akad utama
gadai syariah, yaitu akad mudharabah.
DAFTAR PUSTAKA
AKUNTANSI FORENSIK
ILMU PENGETAHUAN DAN SENI MENCARI BUKTI
PENDAHULUAN
Apa yang Anda dapatkan ketika menggabungkan investigasi dengan akuntansi dan
auditing? Anda mendapatkan bidang menggairahkan Akuntansi Forensik. Kata forensik
berati ”dapat diterima oleh hakim dalam persidangan di pengadilan” dan itulah standar
tinggi yang akuntan forensik pegang. Akuntansi Forensik memberikan analisis akuntansi
yang dapat diterima dalam pengadilan atas hukum dan digunakan membantu memecahkan
kasus perdata dan pidana, baik pidana umum, maupun pidana khusus seperti korupsi,
pajak, perbankan, dll. Akuntan yang telah menyelesaikan program Akuntan Forensik
Bersertifikat dan memiliki gelar AFB adalah Akuntan Forensik, atau dapat juga mengikuti
Program Diploma Akuntansi Forensik gelar DAF adalah Akuntan Forensik.
A. Apakah Akuntan Forensik itu?
Akuntansi Forensik menekankan tiga area utama: dukungan litigasi, investigasi
dan penyelesaian sengketa. Dukungan litigasi menunjukkan suatu fakta presentasi
permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan litigasi yang sedang berlangsung atau
tertunda. Dalam kapasitas ini, seorang Akuntan forensik profesional menghitung kerugian
yang diakibatkan pihak yang terlibat dalam sengketa hukum dan dapat membantu dalam
menyelesaikan sengketa, bahkan sebelum mereka sampai di ruang persidangan. Jika
sengketa sampai di ruang sidang, akuntan forensik dapat memberi kesaksian sebagai saksi
ahli.
Investigasi adalah tindakan untuk menentukan apakah peristiwa kejahatan seperti
pencurian oleh pegawai, kejahatan pasar modal (termasuk pemalsuan laporan keuangan),
mengidentifikasi pencurian, kecurangan asuransi atau korupsi dapat terjadi. Sebagai
bagian dari pekerjaan akuntan forensik, dia dapat merekomendasikan tindakan yang dapat
diambil untuk mengurangi risiko kerugian di masa yang akan datang. Investigasi juga
dapat dilaksanakan dalam persoalan perdata.
Akuntan forensik sering harus memberiikan bukti ahli dalam persidangan.
Akuntan forensik menginvestigasi segala sesuatu dari korupsi, kecurangan pajak hingga
pelanggaran hak cipta hingga fakta pengecekan untuk kasus perceraian. Akuntan forensik
krusial terhadap banyak kasus hukum yang dihadapi oleh publik dan organisasi swasta
sekarang ini.
Akuntansi forensik juga melihat melewati angka dan mendapatkan substansi dari
situasi. Itu melebihi dari akuntansi biasa, dan melebihi pekerjaan detektif dasar. Karena
elemennya yang unik, itu merupakan suatu kombinasi yang akan dibutuhkan selama
manusia alamiah masih ada. Siapa yang tidak mendambakan karir yang menawarkan
stabilitas, gairah, dan imbalan keuangan?
Kasus swasta Anda mendapatkan operational cost sekitar 2 - 5 % dari nilai kasus
dan Success Fee antara 2% hingga 50% dari nilai kasus, tergantung kesepakatan Anda
dengan pemberi tugas. Tetapi, kalau Anda mau jadi pahlawan, Anda dapat menggunakan
ilmu pengetahuan dan seni mencari bukti ini untuk menjebloskan para koruptor dan
penilep uang negara lainnya ke dalam penjara dan mengembalikan kekayaan negara yang
telah mereka caplok. Peraturan Pemerintah juga mengatur bahwa bagi mereka yang
berjasa oleh negara diberikan imbalan.
1. SEJARAH
Adalah pada tahun 1946 ketika istilah “akuntansi forensik” pertama sekali
diciptakan. Adalah seorang Rekan di Firma Akunting yang berbasis di New York yang
bernama Maurice E. Peloubet yang pertama sekali menulis artikel tentang topik tersebut,
walaupun seorang Pengacara dari New York yang bernama Max Lourie mengklaim telah
menggunakan prase tersebut pada tahun 1953. Akuntansi Forensik terbentuk dari banyak
menggunakan kolaborasi antara Akuntan dan sistem hukum. Pengacara menggunakan
akuntan forensik untuk menemukan bukti dalam kasus kerah putih yang tidak dapat
mereka peroleh. Bukti ini akan membantu memenangkan banyak kasus.
2. METODA
Akuntan Forensik memiliki beberapa metoda yang meraka gunakan untuk
menemukan bukti. Apa yang professional ini kerjakan adalah menemukan korelasi
statistic antara data-data angka yang ditemukan dalam kerja dan dokumen-dokumen
elektronik. Satu teknik yang telah dipergunakan, dan terbukti sangat berhasil pada masa
lampau adalah Link Discovery (LD).
Hal ini terjadi pada waktu seorang Akuntan Forensik menggunakan tugas-tugas
statistic dan praktik untuk mengembangkan bukti grapik yang menentukan. Dengan
menggunakan Bayesian probabilistic dan teknik-teknik lain, seorang investigator mampu
menemukan hubungan tersembunyi di antara banyak dokumen untuk dibentuk dan dsusun
bersama untuk membentuk suatu bukti. Suatu pendekatan yang baru telah disambut hangat
adalah the Hybrid Evidence Correlation (HEC). Teknik ini relative masih baru, teknik ini
menggunakan logika tingkat-pertama dengan inference peluang semantic untuk
menemukan pola yang dicurigai yang tidak mudah ditemukan.
3. MANFAAT
Bukti yang ditemukan oleh Akuntan Forensik adalah bermanfaat dalam
persidangan pidana dan perdata. Bukti dapat membuktikan terjadinya pelanggaran hukum
atau sebaliknya tidak terjadi pelanggaran hukum. Setelah menyisir ribuan transaksi dan
menemukan pola atau kaitan, Akuntan Forensik meletakkan temuan mereka dalam
laporan-laporan dan grafik-grafik.
Laporan-laporan dan grafik-grafik ini dilengkapi dengan dokumen pendukung
untuk menciptakan bukti yang dapat diterima di persidangan. Bukti ini dapat digunakan
untuk menyelesaikan sengketa di antara para pemegang saham, menemukan kecurangan
pegawai, membantu dalam sengketa perceraian, menetapkan kerusakan dan kerugian
dalam klaim asuransi dan membantu litigasi dalam memutuskan suatu perkara.
4. PROSES
Sewaktu melaksanakan suatu audit, seorang Akuntan Forensik hanya memiliki
satu tujuan dalam pikirannya, untuk menemukan bukti dari kecurangan yang terjadi.
Tugas mereka adalah mencari kecurangan, untuk itulah mengapa mereka dibayar. Untuk
melaksanakan ini, mereka mengikuti prosedur-prosedur tertentu untuk merampungkan
tugas mereka. Hal pertama yang mereka harus kerjakan adalah bertemu dengan klien.
Kebanyakan orang yang menyewa Akuntan Forensik adalah pemilik perusahaan,
pengacara atau pejabat pemerintah. Setelah pertemuan, Akuntan Forensik mulai
mengumpulkan catatan-catatan, laporan kartu kredit, jurnal-jurnal, laporan bank, basis-
Bukti yang dikumpulkan oleh Akuntan forensik adalah informasi yang berharga
dan diperlakukan dengan hati-hati. Dalam kenyataan bahwa bukti itu hanya berlaku
apabila ditemukan seperti ditemukan oleh penyidik. Oleh karena itu, Akuntan Forensik
harus mematuhi dan mengikuti hukum yang sama yang dipergunakan oleh Penyidik
Kepolisian yang menemukan bukti selama penyidikan, informasi itu sensitive dan reputasi
setiap yang terlibat dapat dalam bahaya. Akuntan Forensik harus melindungi hak-hak
setiap orang dan diperlakukan dengan bijaksana selama dan setelah investigasi. Jika bukti
itu diperoleh secara illegal (tidak sesuai hukum berlaku), atau seseorang merasa bahwa
hak-haknya telah dilanggar, maka Akuntan forensic akan menghadapi reaksi balik, yang
dapat berupa tuntutan pelanggaran hak asasi, penceramaran nama baik dan sejenisnya, dan
bukti itu dapat tidak berlaku atau diabaikan, dan menjadi tidak berguna dalam pengadilan.
1) Al Capone
Baku tembak dalam setiap perjalanan di jalanan Chicago, Al Capone mampu menghindari
tuntutan dan dakwaan dari detektif-detektif terbaik maupun agen-agen terbaik FBI pada
masa-masa itu. Akhirnya, hanya para akuntan yang mampu menundukkan para bandit
ngetop ini pada 1931 dengan kasus yang solid dalam penyelundupan pajak. Agen-agen
IRS dapat mengikuti jejak penghasilan-penghasilan yang dibuat oleh Capone dari semua
aktivitasnya yang tersembunyi dan haram dan memakukan dan mengharuskan dia
melunasinya karena tidak melaporkannya dalam surat pemberitahuan pajaknya.
2) O.J. Simpson
Mengikuti keputusan tidak bersalah pada kasus persidangan kriminal O.J. Simpson,
penuntut umum dalam kasus perdata melawan Simpson menyewa jasa seorang Akuntan
Forensik untuk menyapu kekayaan bersih nyatanyanya. Pada waktu itu, Simpson telah
memohon tidak memiliki harta dan menolak untuk kerjasama. Akuntan forensik
menemukan jutaan disembunyikan oleh Simpson dan Penuntut umum memenangkan
2) Perceraian
Advokat atau pengacara dalam kasus perceraian telah menggunakan dengan baik Akuntan
Forensik untuk mendapatkan apa yang mereka mampu peroleh untuk klien mereka.
Richard Friedman, seorang Akuntan Forensik di New York, adalah pengembang suatu
ikutan nyata ketika dia menggunakan keahliannya untuk bekerja kepada klien dalam
persidangan perceraian. Friedman dapat mengambil keuangan keluarga secara terpisah dan
menemukan harta kekayaan yang disembunyikan oleh pasangan yang menyangka telah
dilindungi dengan baik. Dalam suatu kasus, Friedman menemukan dana sejumlah $2
million yang ditransfer oleh suami kepada pacarnya hanya dengan membaca dan
menganalisa kertas kerja.
3) Pedagang Saham
Ivan Boesky telah ditaklukkan oleh investigator forensic terlatih pada the Securities and
Exchange Commission yang menemukan jejak jalan kecil atas perdagangan orang dalam
yang mengirim pedagang surat berharga dengan orang dalam ini ke penjara dan denda
sebesar $100 million. Pada gilirannya, Boesky menunjuk pada temannya Michael Milkin
pada 1990. setelah Akuntan Forensik menunjukkan bukti kepadanya, Milkin dinyatakan
bersalah atas tindak pidana pasar pasar modal dan mendekam 10 tahun penjara dan denda
sebesar $1 billion.
4) Robert Maxwell
Ketika raksasa penerbitan Eropa Robert Maxwell meninggal pada 1991, semua
perusahaannya tumbang seperti rumah kartu karena permainan keuangan yang
dipermainkan Maxwell dengan pinjaman-pinjaman bank dan dana-dana investor. Akuntan
Forensik membutuhkan 14 tahun untuk menegakkan kekusutan dan menemukan lebih dari
$1 billion yang digelapkan oleh Maxwell dari para klien dan pemegang saham.
5) Kejahatan Korporat
Mengikuti skandal besar dari Enron, Tyco dan WorldCom dimana chief executives
tertangkap tangan telah menggaruk uang investor, hukum baru telah diberlakukan untuk
memberikan lebih banyak pengawasan atas praktik akuntansi. The Sarbanes-Oxley
legislation telah memberikan jalan rata bagi pelaku tindak pidana keuangan untuk
menerima lebih tinggi denda atas kejahatan mereka Peraturan itu menciptakan prosedur
pelaporan kepada perusahaan public bahwa Akuntan Forensik telah lama menghilang dari
perusahaan besar. (Sumber: diunduh dari internet 12042011).
ABSTRACT
Corruption has become a phenomenal issue and always interesting to discuss in
Indonesia. Corruption has been considered as the root cause of national problems, such
as high cost economy, economic growth, and investment barrier.
This article focuses on the chance of implementing forensik accounting concept in
providing evidence to support court decision. The discussion aims to review the role of
forensik accounting through preventive, detective, and corrective approaches to prevent
and handle corruption in Indonesia. Cressey’s model of fraud triangle is used to map
forensik accounting roles in preventing corruption.
Keywords: fraud triangle, corruption, evidence, court.
I. PENDAHULUAN
Akuntansi Forensik
Terminologi akuntansi forensik dibahas untuk referensi dalam formulasi strategi
pemberantasan korupsi. Forensic Accounting, Forensic Investigation, Forensic Audit dan
Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi
forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan
pencegahan tindak pidana korupsi. Beberapa terminologi ini dibahasa sebagai berikut.
Forensic Accounting
Forensic accounting, provides an accounting analysis that is suitable to the court which
will form the basis for discussion, debate and ultimately dispute resolution. Akuntansi
forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di
pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan
pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang
untuk menyediakan analisis dan bukti memeadai atas suatu asersi yang nantinya dapat
dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan.
Forensic Investigation
Forensik Audit
An examination of evidence regarding an assertion to determine its correspondence to
established criteria carried out in a manner suitable to the court. Suatu pengujian
mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan nuntuk
menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk
kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit forensik lebih menekankan proses pencarian
buki serta penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut dengan ukuran pembuktian
yang dibutuhkan untuk proses persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari
penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan
persidangan di pengadilan.
Litigation Support
"Litigation Support", provides assistance of an accounting nature in a matter involving
existing or pending litigation. It deals primarily with issues related to the quantification
of economic damages. A typical litigation support assignment would be calculating the
economic loss resulting from a breach of contract. Litigation support menyediakan
bantuan dari pengetahuan akuntansi dalam hal menyatakan ada atau menunda proses
pengadilan terutama mengenai isu yang berhubugna dengan kuantifikasi dari kerusakan
ekonomi. Jenis dukungan pengadilan menyediakan dukungan menganai perhitungan
kerugian ekonomi dari dilanggarnya suatu kontrak atau tugas public yang idbebankan
kepada seseorang karena jabatannya.
Korupsi
a) Pengertian Korupsi
Menurut Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan barang-barang
milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai
negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan
masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya
atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.
Untuk kasus seperti ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi
memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.
Menurut Adji (1996) berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai
kejahatan yang memiliki konteks pembangunan pengertian korupsi tidak lagi hanya
diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan)
Sejalan dengan itu Fred Bergsten, Direktur Insttitute for International Economics
dari Amerika Serikat (Kompas,1996) berpendapat bahwa korupsi tidak hanya bisa
mengganggu perturnbuhan negara yang bersangkutan, tetapi juga bisa menjadi
penghambat upaya mewujudkan perdagangan bebas dunia. Bergsten juga menegaskan
bahwa dari hasil penelitian terhadap 78 negara maju dan berkembang diketahui adanya
korelasi langsung antara tingkat korupsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Semakin
bersih suatu negara dari korupsi, semakin tinggi pula peluang negara itu untuk bisa
menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Beberapa praktik korupsi yang disoroti
Bergsten yang cukup menonjol adalah proses tender untuk pengadaan barang-barang bagi
keperluan pemerintah (government procurement) yang tidak transparan dan suap dalam
kontrak-kontrak pemerintah.
b. Tipologi korupsi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar pejabat publik memiliki akar
keterkaitan yang mengarah kepada nepotism. Kecenderungan nepotisme ini dapat dilihat
dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling umum seperti ikatan kekeluargaan, college
tribalism, organizational tribalism, sampai institutional tribalism.
III PEMBAHASAN
Fraud triangle adalah model yang menjelaskan alasan orang melakukan fraud
termasuk korupsi yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressy dalam
disertasinya. Penelitian Cressy diarahkan untuk mengetahui penyebab dari orang-orang
memutuskan untuk melakukan pelanggaran ”trust violator”. Penelitiannya menggunakan
200 orang responden yang terdiri dari orang-orang yang secara ansih telah diputuskan oleh
pengadilan sebagai pelaku fraud. Hasil penelitiannya adalah, orang melakukan fraud
didorong oleh tiga hal yang disebutnya sebagai fraud triangle yaitu pressure, perceived
oppertunity dan rationalitation.
Cressy dalam disertasinya membahas bahwa seseorang melakukan penggelapan
karena didorong oleh kebutuhan akan uang yang mendesak dan tidak mungkin diceritakan
kepada orang lain. Himpitan yang mendesak dan perasaan bahwa tidak ada orang yang
dapat membantu dalam temuan Cressy dikenal dengan perceived non-shareble need.
Situasi yang memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy
dikelompokan menjadi enam yaitu violation of ascribed obligation, problem resultig from
personal failure, business reversals, pysical isolation, status gaining dan employer-
emloyee relation. Ini berarti perceived non-shareble need tidak hanya berhubungan
dengan kebutuhan hidup yang mendesak akan tetapi lebih pada kebutuhan untuk
memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sudah ada.
General information dan technical skills adalah dua dimensi utama yang
dipandang oleh pelaku fraud sebagai peluang. Untuk melakukan fraud seseorang tidak
cukup hanya dengan dorongan tekanan kebutuhan. Informasi yang dimiliki membentuk
keyakinan bahwa karena kedudukan dan kepercayaan institusi yang melekat pada dirinya
maka fraud yang dilakukannya tidak akan diketahui. Untuk melakukan fraud atau korupsi
komponen berikutnya dari opportunity adalah kemampuan atau keahlian untuk
melakukannya. Tanpa kemampuan yang memadai menyembunyikan fraud atau korupsi
tentu tidak mungkin untuk dilakukan apalagi untuk kasus-kasus korupsi yang bersifat
sistemik.
Sisi segitiga fraud yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan
tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan yang menghimpitnya tentu terlebih
dahulu akan mencari alasan pembenar atas tindakannya. Alasan pembenar merupakan
motivator yang penting dalam pengambilan keputusan utuk melakukan tindakan ilegal.
Alasan-alasan seperti saya akan melakukan korupsi karena toh orang lain juga melakukan,
saya pantas melakukan korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas
perjuangan saya adalah bebrapa alasan yang cukup sering dilontarkan oleh koruptor.
Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan
menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud
triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan
forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa
ada peluang untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan
mampu mengungkapkannya.
Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk
transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption,
exortive corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi
Simpulan
Saran
Mengacu dari pembahasan dan simpulan maka dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut.
(1) Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang
bertujuan untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Achwan, Rochman. 2000. "Good Governance: Manifesto Politik Abad ke 21". Kompas,
28 Juni 2000
Ackerman, Susan Rese. 1999. "Ekonomi Politik Korupsi" dalam Elliott, Kimberly Ann,
Ed (19;X9) Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Adji, Indriyanto Seno. 1999. "Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif". Kompas
Online, http www kompas com/9709/25/OPINIl menu html.
Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
BPKP .1999. "Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional," Jakarta, Maret.
Busse, Laurence. 1996. "The Perception of Corruption: A Market Discipline Corruption
Model (MDCM)." Goizueta Business School, Emory University, Atlanta, Georgia
U.S.A, http://userwww.service.emory.edu/%20tyavero/ip/project2.html.
Drake, Earl .1991. "Government and Business Relations in Indonesia". Simon Fraser
University at Harbour Center, David See-Chai Lam Center for International
Communication, Seminar, April 30, 1991.
Gatra Info Service. 1996. "Korupsi: Menurun atau Kian Canggih," http://www.
%20%20gatra.com/II/3l/l3.%20html
Glendoh, S.H. 1997. "Kejahatan Korupsi." http ://www.petra..ac.id/english/science/
social/korup.html
Glynn, Patric et.al. 1999 "Globalisasi Korupsi" dalam Elliott, Kimberly Ann, Ed (1999)
Hasibuan, Sayuti. 2000. "Ngobrol dengan Pak Sayuti 22 Agustus 2000"
Johnston, Michael. 1999. "Pejabat Pemerintah, Kepentingan Swasta, dan Demokrasi
Berkelanjutan: Ketika Politik dan Korupsi Bertemu" dalam Elliott, Kimberly Ann, Ed
(1999) Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kian Gie, Kwik. 1997. "Korupsi Akar Masalah Defisit Transaksi Berjalan." Kompas
Online, http ://www.kompas. com/9709/23/EKONOMI/koru. html
Kompas (1996) "Tingkat Korupsi Indonesia Nomor Tiga", Kompas Online, http://www
%20.kompas.com/9604/10/LN/ting.%20html
Kompas. 1996. "WTO Bahas Isu Korupsi,"
http://www.kompas.com/9604/25/%20UTAMA/wtob.html
Lubis, Mochtar dan Jarnes C. Scott ed. 1988. "Bunga Rampai Korupsi." Jakarta: LP3ES.
Mauro, Paolo (1995) "Corruption and Growth." Quarterly Journal of Economics. August,
pp 681—712.
Media Indonesia Online. 1997. "Korupsi Membuat Investor Menyingkir, Pertemuan Bank
Dunia-IMF Ditutup" http //www.rad.net.id/online/mediaind/publik/ 9709/26/MIOI
-04.26.html
Mugirahardjo. 1997. "Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberalisasi." Suara Pembaruan
Online, http:www.suarapembaruan.com/News/1997/02/250297/OpEd/opdO1/ opd01.
html1
Saefuddin, Ahmad Muflih .1997. "Korupsi Struktural." Gatra Info Service. http ://www
gatra.com/III/28/kol6-28.html
EKUITAS:
1. Modal disetor
2. Tambahan modal disetor
3. Saldo laba/rugi
2011 2012
Arus kas dari Aktivitas Operasi: xxxx xxxx
Laba/rugi bersih
Penyesuaian untuk merekonsiliasi laba/rugi bersih menjadi kas bersih dari
kegiatan operasi:
Penyusutan aset tetap
Penyisihan kerugian (pembalikan atas penyisihan) untuk:
Giro pada bank lain xxxx xxxx
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Efek-efek xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Sediaan xxxx xxxx
Aset xxxx xxxx
Penyertaan xxxx xxxx
Aset lain xxxx xxxx
Penyisihan atas penurunan nilai pasar surat-surat berharga xxxx xxxx
Laba penjualan aset tetap xxxx xxxx
Pendapatan dividen xxxx xxxx
Amortisasi biaya emisi saham xxxx xxxx
Amortisasi aset tidak berwujud xxxx xxxx
Selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan xxxx xxxx
Perubahan aset dan kewajiban operasi:
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Surat berharga xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Aset lain-lain xxxx xxxx
Simpanan:
Giro xxxx xxxx
Tabungan deposito berjangka xxxx xxxx
Sertifikat deposito xxxx xxxx
Kewajiban segera lainnya xxxx xxxx
Laibilitas pajak xxxx xxxx
xxxx xxxx
Kewajiban lain
Kas bersih diperoleh (digunakan untuk) kegiatan operasi xxxx xxxx
Cat. Modal Tamba Selis Selisih Pendap Selis Saldo laba Saldo Total
Saham han ih penilai atan kurs yang telah laba yg moda
ditemp modal penil an kompre karena ditentukan belum l
atkan disetor aian wajar hensif penjab pengunaanny ditentu bersi
dan kem efek yg lain aran a kan h
Uraian disetor bali tersedi laporan Cad. Cad. penggu
aset a untuk keuang Tuju Umu nannya
tetap dijual n an m
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
2011 2012
Uraian Catatan
(Rp) (Rp)
Sumber dana Qard
Infaq dan shadaqah xxxx xxxx
Denda xxxx xxxx
Sumbangan/hibah xxxx xxxx
Pendapatan non halal xxxx xxxx
Total sumber dana xxxx xxxx
Pengunaan dana Qard:
Pinjaman xxxx xxxx
Sumbangan xxxx xxxx
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip
Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika
memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur
pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika
disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan
Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat
anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika
merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh
Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-
pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan
Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai
Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan
interpretasi baru untuk menggantikannya.
Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam
masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan
tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga
ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini
01. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung-
jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang
penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang
terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja,
pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepacla obyektivitas dan integritas akuntan dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan
ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan
masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.
Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan
dalam menyediakan jasanya memengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan negara.
03. Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal
tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam
menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji
keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota
telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan
apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas
mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa
standar teknis dan etika.
01. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa
yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota
bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak
berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau
berada di bawah pengaruh pihak lain.
02. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus
menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota
01. Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota
adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia,
International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan
perundang-undangan yang relevan.