No :16
Kelas :VIII H
Sukses menjadi atlet, Rony Syaifullah kini tengah membina bibit baru pesilat untuk berlaga
di ajang nasional dan internasional agar pencak silat tetap juara.
Gemuruh suara penonton terdengar ketika kami akan memasuki hall Padepokan
Pencak Silat, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Hari itu adalah hari kedua seleksi tim
nasional pencak silat untuk menghadapi The 3rd Solidarity Games 2013, Riau dan 27th SEA
Games 2013, Myanmar.
Sambil menyaksikan aksi dari para calon anggota timnas pencak silat berlaga di area
pertandingan, kami berbincang ringan. Sesekali sosok di sebelah kami reflek menggerakkan
badannya ketika menyaksikan pertarungan. Seolah-olah ia yang sedang bertarung. Gerakan
seperti menangkis, memukul, dan juga mengangkat kaki, diperagakannya.
“Wah, terlalu lama mereka. Seharusnya langsung serang saja!” ucapnya bersemangat.
Ikut andil juara umum
Ia adalah mantan atlet pencak silat Indonesia, Rony Syaifullah. Mungkin Anda belum terlalu
mengenal dirinya, tapi mantan atlet pencak silat kategori tanding Kelas G (75-80kg) ini
belum ada penerus ketangguhannya. Sampai saat ini, kelas G itu dikuasai oleh para pesilat
Vietnam.
“Sejak awal kami memang ditargetkan untuk menjadi juara umum,” terang Rony
membuka obrolan bersama kami di sela-sala pertandingan Seleknas. Ucapan itu merujuk
pada Sea Games 2011 di Jakarta lalu. Target itu sejalan dengan tekad Rony yang ingin
membuktikan bahwa sebagai olahraga asli Indonesia, Pencak Silat mampu meraih hasil
maksimal. “Jadi ketika event internasional diadakan di Indonesia, Indonesia harus
membuktikan bahwa ini (pencak silat) milik kita dan kita harus jadi yang terbaik,” tambah
pelatih kelahiran 26 Agustus 1976 ini.
Tapi bukan berarti hasil itu sudah 100% tercapai, Rony mengakui pencapaiannya itu
masih satu tingkat di bawah maksimal. “Prediksi saya pribadi waktu itu menang 10 emas.
Namun kemarin ada beberapa hal di luar jangkauan pikiran kita. Ada hal non teknis yang
terjadi di sana,” akunya. Penjelasannya itu berkaitan dengan gagalnya salah satu atlet putra
ketika berhadapan dengan atlet Malaysia di final. “Padahal di kejuaraan dunia, atlet itu
menang dari atlet yang sama, tapi ketika di Sea Games, keadaannya justru terbalik,” jelas
Ronny.
Kisah kegagalan ketika masih bertarung sebagai atlet nasional adalah yang paling
diingatnya. Semua itu berawal dari kegagalannya di Sea Games 2001 dan 2003. Sejak itu
julukan 'jago kandang'. Disematkan pada dirinya. Rony dianggap hanya bisa meraih prestasi
internasional jika event-nya diadakan di Indonesia. “Waktu itu saya benar-benar terpuruk dan
tidak mau menjadi atlet lagi,” kenang Rony.
Kembali ke rumah, waktu pun berjalan lambat baginya. Merenung menjadi kegiatan
rutinnya. “Saya berpikir, kegagalan di Sea Games itu memalukan untuk bangsa dan diri saya
sendiri. Saya harus membayar itu, saya harus membayar lunas hutang saya kepada bangsa.
Saya punya tekad harus membayarnya di Sea Games berikutnya,” ujar Rony.
Waktu pembuktian pun tiba. Sea Games 2005 di Filipina menjadi ajang kebangkitan
Rony. Turun di Kelas G, ia 'menghabisi' pesilat Vietnam dan menjadi salah satu dari dua
peraih emas pencak silat kategori tanding di Sea Games itu. Hutang pun lunas! “Saya benar-
benar menangis waktu upacara pengibaran bendera Merah-Putih, di tengah keterpurukan
prestasi kita (pencak silat) yang menurun – kala itu. Saya juga berhasil menjawab tudingan
orang yang mengatakan saya hanya berani di kandang,” kenangnya berlanjut.
Kini setelah tidak lagi mengemban tugas sebagai bagian dari pelatih Timnas, selain
menyelesaikan studi S3-nya, Rony kembali ke daerah asalnya, Jawa Tengah untuk membina
bibit-bibit baru pesilat. Meski menurutnya keinginan untuk melatih timnas adalah impian
semua pelatih nasional tapi ia belum berkeinginan untuk kembali memegang tanggungjawab
itu. “Melatih timnas itu menjadi sebuah kebanggaan. Tapi saya akan membuktikan dengan
memaksimalkan hasil di daerah dulu, ketika hasilnya positif nanti orang akan melihat
sendiri,” jelasnya.