DERMATOM
SISTEM SOMATOSENSORIK
Traktus Spinoserebelaris Posterior dan Anterior
Beberapa impuls aferen yang timbul di organ sistem muskuloskeletal (otot, tendon, dan sendi)
berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada
dua traktus pada setiap sisi, satu anterior dan satu lagi di posterior (Gambar 2.16a).
Gambar 1
Gambar 2
Kolumna Posterior
Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan derajat tengangan ototnya Kita dapat
merasakan berat badan yang bertumpu pada telapak kaki (yi, "kita me- rasakan lantai di bawah
kaki kita"). Kita juga dapat mengenali gerakan sendi. Dengan demikian, setidaknya beberapa
impuls proprioseptif mencapai kesadaran. Impuls ersebut berasal dari reseptor di otot, tendon,
fasia, kapsul sendi, dan jaringan ikat (korpuskulus Vater-Pacini dan korpuskulus Golgi-
Mazzoni), serta reseptor kulit Serabut aferen yang menghantarkannya adalah prosesus neuron
pseudounipo lar bagi andistal di ganglion spinale. Prosesus bagian sentral sel-sel ini kemudian
berjalan naik di dalam medula spinalis dan berakhir di nuklei kolumna posterior di medula yang
lebih rendah (Gambar 2 dan 3).
Integrasi sensorimotor
Pada kenyataannya, tidak semua serabut aferen sensorik dari talamus berakhir di korteks
somatosensorik; beberapa berakhir di korteks motorik primer girus pre-sentralis. Dengan
demikian, lapang kortikal sensorik dan motorik tumpang tindih pada beberapa area, sehingga
girus pre-sentralis dan girus post- sentralis secara bersama-sama sering disebut sebagai area
sensorimotor. Integrasi fungsi yang terjadi di sini memungkinkan informasi sensorik yang datang
segera diubah menjadi impuls motorik yang keluar di sirkuit regulasi sensorimotor, yang akan
kita bahas kemudian. Serabut piramidalis desendens keluar dari sirkuit ini dan biasanya langsung
berakhir-tanpa ada neuron penghubung pada neuron motorik di kornu anterius. Akhirnya,
meskipun fungsinya tumpang tindih, harus diingat bahwa hampir seluruh area girus pre-sentralis
menjadi area motorik, dan hampir seluruh girus post-sentralis menjadi area (somato)
sensorik.
Stereognosis
Pengenalan objek yang diletakkan di telapak tangan melalui sensasi raba (stereognosis) tidak
hanya dimediasi oleh korteks sensorik primer, tetapi juga oleh area asosiasi di lobus parietalis,
tempat gambaran sensorik masing-masing objek, seperti ukuran, bentuk, konsistensi, suhu,
ketajaman/ketumpulan, lembut/keras, dan sebagainya, dapat diintegrasikan dan dibandingkan
dengan memori pengalaman taktil sebelumnya.
Astereognosis
Cedera pada suatu area di bagian inferior lobus parietalis merusak kemampuan untuk mengenali
objek melalui perabaan pada telapak tangan kontralateral Keadaan ini disebut astereognosis.
Lesi subkortikal atau kortikal di area somatosensorik yang sesuai pada lengan dan
tungkai (masing-masing a dan b, dalam Gambar 6) menyebabkan parestesia (kesemutan
dan sebagainya) dan kebas pada ekstremitas kontra- lateral, yang lebih jelas di bagian
distal daripada bagian proksimal. Lesi iritatif pada lokasi ini dapat menimbulkan kejang
fokal sensorik; karena korteks motorik terletak tepat di sebelahnya, umumnya sering
didapatkan cetusan motorik juga (kejang jacksonian).
Lesi di semua jaras sensorik di bawah talamus (c)
menghilangkan semua jenis sensasi pada tubuh sisi
kontralateral. Jika semua jaras somatosensorik terkena kecuali jaras
untuk nyeri dan suhu (d), terdapat hipestesia pada sisi tubuh dan wajah kontralateral,
tetapi sensasi nyeri dan suhu tidak terganggu.
Sebaliknya, lesi pada lemniskus trigeminalis dan traktus spinotalamikus late- ralis (e) di
batang otak merusak sensasi nyeri dan suhu pada sisi tubuh dan wajah kontralateral,
tetapi tidak merusak modalitas somatosensorik lain.
Jika terdapat lesi di lemniskus medialis dan traktus spinotalamikus anterior (f),
semua modalitas somatosensorik pada setengah sisi tubuh kontralateral terganggu,
kecuali nyeri dan suhu.
Lesi di nukleus spinalis dan traktus nervus trigeminalis serta traktus spino-
talamikus lateralis (g) merusak sensasi nyeri dan suhu pada setengah sisi wajah
ipsilateral dan setengah sisi tubuh kontralateral.
Lesi kolumna posterior (h) menyebabkan hilangnya sensasi posisi dan getar,
diskriminasi, dan sebagainya, disertai oleh ataksia ipsilateral.
Jika terjadi kerusakan pada kornu posterius medula spinalis (i), sensasi nyeri dan suhu
ipsilateral hilang, tetapi modalitas lain tidak terganggu (defisit sen- sorik terdisosiasi).
Lesi yang mengenai beberapa radiks posterior yang berdekatan (j) me- nyebabkan
nyeri radikular dan parestesia, serta kerusakan atau hilangnya semua modalitas sensorik
di area tubuh yang terkena, selain itu didapatkan hipotonia atau atonia, arefleksia, dan
ataksia jika radiks tersebut mempersaran ekstremitas atas atau bawah.
SISTEM MOTORIK
Impuls motorik untuk gerakan volunter terutama dicetuskan di girus presentralis lobus frontalis
(korteks motorik primer, area 4 Brodmann) dan area kortikal di sekitarnya (neuron motorik
pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama traktus
kortikonuklearis dan traktus kortikospinalis/jaras piramidal), melewati batang otak dan
turun ke medula spinalis ke kornu anterius, tempat mereka membentuk kontak sinaptik dengan
neuron motorik kedua biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara.
Gambar 7
Gambar 8
Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan bersama-sama
membentuk traktus piramidalis, yang merupakan hubungan yang paling langsung dan tercepat
antara area motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area kortikal lain
(terutama korteks premotorik, area 6) dan nuclei subkortikalis (terutama ganglia basalia)
berpartisipasi dalam kontrol neuron gerakan. Area-area tersebut membentuk lengkung umpan
balik yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan korteks motorik primer dan serebelum;
struktur ini memengaruhi sel-sel di kornu anterius medula spinalis melalui beberapa jaras yang
berbeda di medula spinalis. Fungsinya terutama untuk memodulasi gerakan dan untuk mengatur
tonus otot.
Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuklei nervi kranialis dan kornu
anterius medula spinalis berjalan melewati radiks anterior, pleksus saraf (di regio servikal dan
lumbosakral), serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan ke
sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuskular.
Lesi pada neuron motorik pertama di otak atau medula spinalis biasanya menimbulkan paresis
spastik, sedangkan lesi neuron motorik orde kedua di kornu anterius, radiks anterior, saraf
perifer, atau motor end plate biasanya menyebabkan paresis flasid. Defisit motorik akibat lesi
pada sistem saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh berbagai defisit sensorik,
otonomik, kognitif, dan atau defisit neuropsikologis dalam berbagai bentuk, tergantung pada
lokasi dan sifat lesi penyebabnya.
Komponen Sentral Sistem Motorik dan Sindrom Klinis Akibat Lesi yang
Mengenainya
Bagian sentral sistem motoric untuk gerakan volunteer terdiri dari korteks motorik primer (area
4) dan area korteks di sekitarnya (terutama korteks premotor, area 6), serta traktus
kortikobulbaris dan traktus kortikospinalis yang berasal dari area kortikal tersebut.
Korteks motorik primer (girus presentralis, Gambar 3.1) merupakan sekumpulan jaringan
kortikal yang terletak di sisi yang berlawanan dengan sulkus sentralis dari korteks
somatosensorik primer (di girus post-sentralis) dan, meluas ke atas dan melewati tepi
superomedial hemisfer serebri menuju permukaan medialnya. Area yang merepresentasikan
tenggorokan dan laring terletak pada ujung inferior korteks motorik primer; di bagian atasnya,
secara berkesinambungan, adalah area yang merepresentasikan wajah, ekstremitas atas, badan,
dan ekstremitas bawah (Gambar 3.2).
Neuron motorik tidak hanya ditemukan di area 4, tetapi juga di area korteks di sekitarmya.
Namun, serabut yang menghantarkan gerakan volunter halus terutama berasal dari girus pre-
sentralis. Girus ini merupakan lokasi neuron piramidalis (sel Betz) besar yang khas, yang terletak
di lapisan selular kelima korteks dan mengirimkan aksonnya yang bermielin tebal dan berdaya
konduksi cepat (Gambar 3.3) ke traktus piramidalis. Dahulu, traktus piramidalis seluruhnya
dianggap terdiri dari akson-akson sel Betz, tetapi sekarang diketahui bahwa akson sel tersebut
hanya berjumlah 3,4-4% jumlan serabut. Komponen serabut terbesar sebenarnya berasal dari sel-
sel piramidalis dan sel-sel fusiformis area 4 dan 6 Brodmann yang lebih kecil. Akson yang
berasal dari area 4 membentuk sekitar 40% dari seluruh serabut traktus piramidalis; sisanya
berasal dari area frontalis lain, dari area 3, 2, dan 1 korteks somatosensorik parietal (area
sensorimotor), dan dari area lain di lobus parietal (Gambar 3.1). Neuron motoric area 4
memediasi gerakan volunter halus pada sisi tubuh kontralateral; oleh sebab itu, traktus
piramidalis menyilang (lihat Gambar 3.4). Stimulus elektrik langsung pada area 4, seperti saat
tindakan pembedahan saraf, biasanya mencetuskan kontraksi masing-masing otot, sedangkan
stimulasi pada area 6 mencetuskan gerakan yang lebih luas dan kompleks, misalnya pada seluruh
ekstremitas atas atau bawah.
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substantia alba serebri (korona
radiata), krus posterius kapsula interna (serabut terletak sangat berdekatan di sini), bagian sentral
pedunkulus serebri (krus serebri), pons, dan basal medula (bagian anterior), tempat traktus
terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut piramid. Piramid medula (terdapat satu pada
masing-masing sisi) memberikan nama pada traktus tersebut. Pada bagian ujung bawah medula,
80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Serabut yang tidak
menyilang di sini berjalan menuruni medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai
traktus kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih ke bawah (biasanya setingkat
segmen yang dipersarafinya) melalui komisura anterior medula spinalis (lihat Gambar 3.6). Pada
tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut yang tetap tidak
menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot
leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama traktus ketika
melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju nuclei nervi kranialis
motoric. Serabut yang mempersarafi nuklei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi
tidak menyilang. Nuklei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi
gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus kranialis V (nervus trigeminus), nervus
kranialis VII (nervus fasialis), nervus kranialis IX, X, dan XI (nervus glosofaringeus, nervus
vagus, nervus aksesorius), serta nervus kranialis XII (nervus hipoglosus).
Sejumlah jaras-jaras sentral selain traktus piramidalis memiliki peran penting pada pengendalian
fungsi motorik (Gambar 3.5). Suatu kelompok serabut yang penting (traktus
kortikopontoserebelaris) menghantarkan informasi dari korteks serebri ke serebelum,
kemudian input yang ditimbulkannya memodulasi gerakan terencana. Serabut lain berjalan dari
korteks ke ganglia basalia (terutama korpus striatum = nukleus kaudatus dan putamen), sub
stantia nigra, dan formasio retikularis batang otak, serta nuklei lainnya (misalnya, di tektum
mesesefali). Pada masing-masing struktur tersebut, impuls diolah dan dihantarkan melalui
interneuron ke traktus eferen yang berproyeksi ke motor neuron di kornu anterius medulla
spinalis---traktus tektospinalis, traktus rubrospinalis, traktus retikulospinalis, traktus
vestibulospinalis, dan traktus lainnya. Traktus-traktus tersebut memungkinkan serebelum,
ganglia basalia, dan nuclei motorik di batang otak untuk mempengaruhi fungsi motorik di
medulla spinalis.
Gambar 10
Gambar 11
Traktus motorik di medulla spinalis secara anatomi dan fungsional terpisah menjadi dua
kelompok: kelompok lateral, yang terdiri dari traktus kortikospinalis dan traktus rubrospinalis,
serta kelompok medial, yang terdiri dari traktus retikulospinalis, traktus vestibulospinalis, dan
traktus tektospinalis (Kuypers, 1985). Traktus lateral terutama berproyeksi ke otot-otot distal
(terutama di ekstremitas atas) dan juga membuat hubungan propriospinal yang pendek. Serabut-
serabut ini terutama berperan pada gerakan volunter lengan bawah dan tangan, yaitu untuk
kontrol motorik halus yang tepat dan terampil. Sebaliknya, traktus medial mempersarafi neuron
motor yang terletak lebih medial di kornu anterius dan membuat hubungan propriospinal yang
relatif panjang. Serabut ini terutama berperan pada gerakan tubuh dan ekstremitas bawah (postur
dan gait).
Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di traktus kortikospinalis, refleks
tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flasid pada otot. Refleks muncul
kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif, karena spindel
otot beresspons lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal, terutama
fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat
hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor y) yang
mempersarafi spindle otot. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara
permanen (prestretched) dan lebih mudah berespons terhadap peregangan otot lebih lanjut
dibandingkan normal. Gangguan sirkuit regulasi panjang otot mungkin terjadi yaitu berupa
pemendekan panjang target secara abnormal pada fleksor ektremitas atas dan ekstensor
ekstremitas bawah. Hasilnya adalah peningkatan tonus spastik dan hiperrefleksia, serta tanda-
tanda traktus piramidalis dan klonus. Diantara tanda-tanda traktus piramidalis tersebut terdapat
tanda-tanda yang sudah dikenal baik pada jari-jari tangan dan kaki, seperti tanda Babinski
(ekstensi tonik ibu jari kaki sebagai respons terhadap gesekan di telapak kaki).
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medulla
spinalis) dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan
medial sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum
dipahami, tetapi jaras motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal mumi
dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas.
Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri (a pada Gambar 3.7), seperti pada tumor, infark, atau
cedera traumatik, menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontralateral. Hemiparesis yang
terlihat pada wajah dan tangan (kelemahan brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di
daerah lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas. Temuan
klinis khas yang berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut (a) adalah paresis ekstremitas atas
bagian distal yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan kontrol
motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan
flasid, bukan bentuk spastik,karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak
terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut (a) dapat menimbulkan kejang fokal.
Jika kapsula interna (b pada Gambar 3.7) terlibat (misalnya, oleh perdarahan atau iskemia),
akan terjadi hemiplegia spastik kontralateral---lesi pada level ini mengenai serabut piramidal
dan serabut non piramidal, karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Traktus
kortikonuklearis juga terkena, sehingga terjadi paresis nervus fasialis kontralateral, dan mungkin
disertai oleh paresis nervus hipoglosus tipe sentral. Namun, tidak terlihat defisit nervus kranialis
lainnya karena nervus kranialis motorik lainnya mendapat persarafan bilateral. Paresis pada sisi
kontralateral awalnya berbentuk flasid (pada "fase syok") tetapi menjadi spastik dalam beberapa
jam atau hari akibat kerusakan pada serabut-serabut nonpiramidal yang terjadi bersamaan.
Lesi setingkat pedunkulus serebri (c pada Gambar 3.7), seperti proses vaskular, perdarahan,
atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan
nervus okulomotorius ipsilateral.
Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (d pada Gambar 3.7; contohnya pada tumor,
iskemia batang otak, perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin
bilateral. Biasanya, tidak semua serabut traktus piramidalis terkena, karena serabut-serabut
tersebut menyebar di daerah potong-lintang yang lebih luas di daerah pons dibandingkan di
daerah lainnya (misalnya, setingkat kapsula interna). Serabut-serabut yang mempersarafi nukleus
fasialis dan nukleus hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai
tingkat ini; dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus fasialis tipe sentral
jarang terjadı, meskipun dapat disertai oleh defisit nervus trigeminus atau nervus abdusens
ipsilateral
Lesi pada piramid medula (e pada Gambar 3.7; biasanya akibat tumor) dapat merusak serabut-
serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih
ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral. Kelemahan
tidak bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendenss lain tidak terganggu.
Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang mengenai traktus piramidalis pada
level servikal (f Gambar 3.7; misalnya, akibat tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia
spastik ipsilateral; ipsilateral karena traktus tersebut telah menyilang pada level yang lebih
tinggi, dan spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-serabut piramidalis dan non
piramidalis pada level ini. Lesi bilateral di medula spinalis servikalis bagian atas dapat
menyebabkan kuadriparesis atau kuadriplegia.
Sebuah lesi yang mengenai traktus piramidalis di medulla spinalis torasika (g pada Gambar 3.7;
misalnya, akibat trauma, mielitis) menimbulkan monoplegia ipsilateral pada ekstremitas bawah.
Lesi bilateral menyebabkan paraplegia.
Gambar 12
Komponen Perifer Sistem Motorik dan Sindrom Klinis Akibat Lesi yang
Mengenainya
Bagian perifer sistem motorik terdiri dari nuklei nervus kranialis motorik di batang otak, sel
motorik kornu anterius medula spinalis, radiks anterior pleksus-pleksus nervus servikal dan
lumbosakral, saraf perifer, dan motor end plates di otot rangka.
Sel kornu anterius (neuron motor a dan y). Serabut-serabut tidak hanya berasal dari traktus
piramidalis, tetapi juga jaras desendens nonpiramidalis (di antaranya traktus retikulospinalis,
traktus tektospinalis, traktus vestibulospinalis, dan traktus rubrospinalis), juga serabut aferen dari
radiks posterior, berakhir pada badan sel atau dendrit neuron motor α yang lebih besar dan yang
lebih kecil). Semua serabut jenis ini juga membuat kontak sinaptik dengan neuron motor γ yang
kecil, sebagian secara langsung, dan sebagian lagi melalui interneuron penghubung dan neuron
asosiasi dan neuron komisural aparatus neuronal intrinsik medula spinalis (Gambar 3.6).
Beberapa sinaps tersebut bersifat eksitatorik, sebagian lagi inhibitorik. Neurit yang tipis dan
tidak bermielin pada neuron motor γ mempersarafi serabut otot intrafusal. Kebalikan dengan
neuron pseudounipolar ganglion spinale, sel-sel kornu anterius adalah multipolar. Dendritnya
menerima kontak sinaptik dari berbagai jenis sistem aferen dan eferen (Gambar 3.6).
Kelompok fungsional dan kolumna nuklei neuron di kornu anterius tidak terpisah satu
dan lainnya dengan batas anatomis yang jelas. Di medula spinalis servikalis, neuron motor untuk
ekstremitas atas terletak di bagian lateral substantia grisea kornu anterius; untuk otot-otot badan
terletak di bagian medial. Prinsip somatotropik yang sama juga diterapkan pada medula spinalis
lumbalis, tempat ekstremitas bawah terepresentasi di bagian lateral, dan tubuh di bagian medial.
Inhibisi sel-sel kornu anterius oleh sel Renshaw. Di antara berbagai jenis interneuron di kornu
anterius, sel Renshaw perlu mendapat perhatian khusus. Sel yang kecil ini menerima kontak
sinaptik dari akson kolateral neuron motor α yang besar. Akson-aksonnya kemudian berproyeksi
kembali menuju sel-sel kornu anterius dan menghambat aktivitasnya. Inhibisi sel Renshaw
merupakan contoh lengkung umpan-balik negatif spinal yang menstabilisasi aktivitas motor
neuron.
Radiks anterior. Neurit neuron motor keluar dari bagian anterior medula spinalis inhibitorik.
seperti akar-akar (fila radikularia) dan bergabung bersama, membentuk radiks anterior. Setiap
adiks anterior bergabung dengan radiks posterior yang sesuai tepat di bagian distal ganglion
radiks dorsalis untuk membentuk nervus spinalis, yang kemudian keluar dari kanalis spinalis
melalui foramen intervertebrale.
Saraf perifer dan motor end plate. Ada sepasang nervi spinalis untuk masing-masing segmen
tubuh. Nervus spinalis mengandung serabut somatosensorik aferen, serabut motorik somatik
eferen, serabut otonomik eferen dari kornu laterale substantia grisea medula spinalis, dan serabut
otonom aferen. Pada tingkat servikal dan lumbosakral, nervus spinalis bergabung membentuk
pleksus saraf yang kemudian membentuk saraf perifer yang mempersarafi otot-otot leher dan
ekstremitas.
Neurit tebal yang bermielin dan konduksi cepat pada neuron motor α yang besar disebut
serabut α1. Serabut-serabut tersebut berjalan ke otot-otot yang bekerja, dan kemudian serabut
tersebut membentuk berbagai cabang yang sangat bervariasi yang berakhir di serabut otot.
Transmisi impuls sinaptik terjadi pada taut neuromuskular (motor end plates).
Unit motorik. Sel-sel kornu anterius, neuritnya, dan serabut otot yang dipersarafinya secara
keseluruhan disebut unit motorik (Sherrington). Masing-masing unit motorik terdiri dari jaras
umum final untuk impuls yang berkaitan dengan pergerakan yang diterima oleh sel-sel kornu
anterius dari tingkat yang lebih tinggi: aktivitasnya dipengaruhi oleh impuls berbagai traktus
motorik yang berasal dari berbagai area otak yang berbeda, serta impuls yang berasal dari neuron
refleks intrasegmental dan intersegmental di medula spinalis. Semua impuls yang berkaitan
dengan pergerakan ini diintegrasikan di unit motorik, dan hasil integrasi ini ditransmisikan ke
serabut otot.
Otot yang berpartisipasi pada gerakan motorik halus dipersarafi oleh sel-sel kornu
anterius dalam jumlah yang sangat banyak, yang masing-masing hanya mempersarafi beberapa
(5-20) serabut otot; otot-otot tersebut dengan demikian membentuk unit motorik kecil.
Sebaliknya, otot-otot besar yang berkontraksi dengan cara yang tidak terlalu berdiferensiasi,
seperti m. gluteus, dipersarafi oleh sel-sel kornu anterius yang relatif sedikit, yang masing-
masing mempersarafi 100-500 serabut otot (unit motorik besar).
Paralisis flasid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat di kornu
anterius, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit
motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter maupun refleks. Otot-
otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus otot yang jelas
(hipotonia), serta hilangnya reflex (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik
terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-lahan
digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif,
penggantian ini akan selesai. Dengan demikian, sel-sel korru anterius memengaruhi trofi pada
serabut otot, yang diperlukan untuk mempertahankan fungsi dan struktur yang normal.
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks anterior, pleksus saraf,
atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi dan elektroneurografi (pemeriksaan hantaran
saraf). Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh defisit somatosensorik dan
otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di pleksus saraf
atau di saraf tepi. Paralisis flasid jarang terjadi akibat lesi kortikal;
Sindrom Klinis Kompleks Akibat Lesi pada Komponen Sistem Saraf Spesifik
Kerusakan pada masing-masing komponen sistem saraf umumnya tidak menyebabkan defisit
motorik terisolasi seperti yang telah dibahas sebelumnya. Akan tetapi, deficit motorik biasanya
disertai oleh defisit somatosensorik, sensorik khusus, otonom, kognitif, dan/atau defisit
neuropsikologis dalam berbagai jenis dan luas bergantung pada lokasi dan luasnya lesi. Sindrom
klinis kompleks akibat lesi pada regio tertentu di otak (telensefalon, diensefalon, ganglia basalia,
sistem limbik, serebelum, dan batang otak).
Karena medula spinalis terdiri darı serabut motorik, sensorik, dan otonom, dengan hubungan
spasial yang erat satu sama lain, lesi pada medula spinalis dapat menimbulkan berbagai defisit
neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan lainnya dalam berbagai cara yang berbeda.
Pemeriksaan klinis yang cermat biasanya dapat menunjukkan lokalisasi lesi secara tepat, tetapi
hanya jika pemeriksa memiliki pengetahuan yang cukup mengenai anatomi jaras motorik,
sensorik, dan otonom yang relevan.
Pengenalan anatomi secara umum. Medula spinalis, seperti otak, terdiri darı substansia grisea
dan substansia alba. Substansia alba mengandung traktus serabut asendens dan desendens,
sedangkan substansia grisea mengandung berbagai jenis neuron; kornu anterius terutama
mengandung neuron motorik, kornu laterale terutama mengandung neuron otonom dan komu
posterius terutama mengandung neuron somatosensorik yang berpartisipasi pada beberapa jaras
aferen yang berbeda (lihat di bawah dan Bab 2). Selain itu, medula spinalis mengandung
apparatus neuronal intrinsik yang terdiri dari interneuron, neuron asoiasi, dan neuron komisural,
yang prosesusnya berjalan naik dan turun di dalam fasikulus proprius.
Pada dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna vertebralis; medulla spinalis
terbentang dari taut kranioservikal hingga di tingkat sekitar diskus intervertebralis antara
vertebra lumbalis I dan II (L1-2). Segmen tubulus neuralis (medulla spinalis primitif)
bersesuaian dengan kolumna vertebralis hanya hingga usia tiga bulan pada masa gestasi, setelah
itu perkembangan tulang belakang lebih progresif dibandingkan medula spinalis. Namun, radiks
saraf tetap keluar dari kanalis spinalis pada level numeric yang sesuai sehingga radiks torakalis
bawah dan radiks lumbalis
Sindrom Akibat Lesi Masing-Masing Traktus Spinalis dan Area Nuklear serta Saraf Tepi
yang Berkaitan
Gambar 13
Gambar 14
3. Sindrom kolumna posterior
Gambar 15
Gambar 16
5. Sindroma substansia grisea
Gambar 17
Gambar 18
7. Sindrom kornu anterius
Gambar 19
Gambar 20
9. Sindrom traktus kortikospinalis (paralisis spinal spastik progresif)
Gambar 21
Gambar 22
11. Sindrom hemiseksi medulla spinalis (sindrom Brown-Sequard)
Gambar 23
Jarang dan biasanya tidak komplit; penyebab terseringnya adalah trauma medulla
spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsí jaras motorik desendens pada satu sisi
medula spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah tingkat
lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia, tanda
Babinski, dan gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan, gangguan kolumna
posterior pada satu sisi medula spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, sensasi
getar, dan diskriminasi taktil ipsilateral di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya
terlihat pada lesi kolumna posterior tidak terjadi karena paresis ipsilateral yang terjadi
bersamaan. Sensasi nyeri dan suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang
mempersarafi modalitas ini telah menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik di
dalam traktus spinotalamikus lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang
di bawah tingkat lesi karena traktus spinotalamikus ipsilateral (yang telah menyilang)
terganggu.
Sensasi taktil sederhana tidak terganggu, karena modalitas ini dipersarafi oleh dua
jaras serabut yang berbeda: kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus
spinotalamikus anterior (menyilang). Hemiseksi medula spinalis menyisakan satu dari
kedua jaras tersebut untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna
posterior kontralateral untuk sisi kontralateral lesi, dan traktus spinotalamikus anterior
kontralateral untuk sisi ipsilateral.
Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami
kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan
paresis flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri
radikular di dermatom yang sesuai pada batas atas gangguan sensorik.
12. Sindroma Transeksi Medula Spinalis
a. Sindrom transeksi medulla spinalis akut
b. Sindrom transeksi medulla spinalis progresif
c. Sindrom transeksi medulla spinalis akut
Gambar 24
Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer
dan tumor sekunder. Tumor primer dapat bersifat jinak maupun ganas, sementara tumor
sekunder selalu bersifat ganas karena merupakan metastasis dari proses keganasan di tempat lain
seperti kanker paru-paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar tiroid atau limfoma. Tumor
primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma, neuroblastoma, dan kordoma,
sedangkan yang bersifat jinak contohnya neurinoma, glioma, dan ependimoma.
Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural itu sendiri dibagi lagi menjadi tumor
intramedular dan ekstramedular.
Gambar 25. Klasifikasi Tumor Spinal
Tumor Ekstradural
Tumor Primer
Tumor primer ekstradural termasuk dalam kumpulan tumor tulang. Tumor primer tulang di
spinal ini dapat bersifat jinak (hemangioma, osteoma osteoid dan kista tulang aneurisma)
atau ganas (plasmasitoma, kordoma, sarcoma Ewing, osteosarkoma, dan kondrosarkoma.
Sebagian lain memiliki karakteristik jinak, tetapi bisa berkembang menjadi ganas, misalnya
osteoblastoma, osteokondroma, dan giant cell tumor. Lokasi tumor juga merupakan petunjuk
untuk lebih mengarahkan jenis tumor, mengingat tumor primer ini dapat berlokasi di segmen
anterior, eksentrik, atau segmen posterior1
Kategori tumor ini berlokasi di dalam (intra) dura mater, tetapi di luar (ekstra) medula
spinalis (Gambar 3B). Tumor intradural ekstramedula memiliki kekerapan sekitar dua pertiga
kasus tumor intradural. Dari keseluruhan kategori tumor spinal ini, sekitar 95% memiliki
jenis schwannoma, neurofibroma, meningioma, dan ependimoma filum terminal. Sisanya
bisa berupa metastasis, kista, dan paraganglioma.
Tumor Intramedula
Tumor intramedula merupakan tumor yang berasal dari medulla spinalis (Gambar 3C).
Sekitar 80% tumor intramedula tergolong dalam tumor glial (astrositoma, ependioma,
ganglioma, dan oligodendroglioma). Tumor intramedula yang paling sering ditemukan
adalah astrositoma, kemudian diikuti ependimoma, dan hemangioblastoma.
1. Astrositoma
Angka kejadian astrositoma di spinal tergolong jarang, yaitu sekitar 3% dari seluruh
kasus astrositoma susunan saraf pusat. Tumor ini dapat terjadi di segala usia, tetapi paling
sering terjadi pada anak dan usia kurang dari 30 tahun. Sepanjang tulang vertebra, tumor
intramedula ini memiliki predileksi di segmen servikal atau servikotorakal.
2. Ependimoma
Berbeda dengan astrositoma yang merupaka tumor intramedula tersering di anak,
ependimoma adalah tumor intramedula yang sering ditemukan pada orang dewasa.
Hampir semua ependimoma termasuk tumor jinak, dengan karakteristik berbatas tegas
dan tidak menginfiltrasi area sekitar.
3. Hemangioblastoma
Sekitar 3-8% tumor intramedula merupakan hemangioblastoma. Tumor ini berasal dari
pembuluh darah yang berbatas tegas, tetapi tidak berkapsul. Sebanyak 15-25% kasus
berhubungan dengan penyakit von Hippel-Lindau yang diturunkan secara autonom
dominan.
Mathias, B. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.