DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL.....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................ix
2.1 PENDEKATAN
Agar dapat mendukung proses studi sehingga didapatkan suatu hasil yang optimal, perlu
dibuat tata laksana prosedur yang baik. Dimana untuk merealisasikannya perlu disusun
"organisasi pelaksanaan pekerjaan, tatacara pelaksanaan kegiatan, dan lokasi pusat kegiatan",
yaitu antara Konsultan sebagai pelaksana dan Proyek dalam hal ini sebagai pemberi kerja.
1. Organisasi
Tim Konsultan yang akan melaksanakan pekerjaan ini adalah PT. …….. Para
pelaksana pekerjaan ini terdiri dari para tenaga ahli dan tenaga pendukung yang
telah berpengalaman pada bidangnya masing-masing sesuai koridor kontrak
kerjasama yang telah disepakati.
2. Tata Cara Pelaksanaan
Dengan menggunakan Pertimbangan sifat dan jenis studi, Tim Konsultan dalam
melaksanakan pekerjaan ini akan menerapkan "Sistem Analisis Koordinatif" artinya
dalam menentukan alternatif setiap hasil studi akan dilakukan pembahasan secara
bertingkat berdasarkan tahapan-tahapan studi. Sehingga setiap tenaga ahli akan
melakukan koordinasi, baik yang menyangkut intern maupun ekstern dalam sistem
alir koordinasi pelaksanaan yang telah direncanakan.
Ketua Tim, akan selalu melakukan fungsi koordinasi tersebut baik intern maupun
ekstern, sehingga sistem koordinasi akan dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Disamping itu, Ketua Tim berkewajiban melakukan koordinasi dalam hal kesimpulan
hasil akhir studi dari beberapa tenaga ahli agar tujuan dan sasaran studi dapat
tercapai dengan baik.
3. Pusat Kegiatan
Dalam upaya dicapainya pelaksanaan pekerjaan yang efisien, maka kegiatan
pelaksanaan pekerjaan studi akan dipusatkan di kota Mataram.
Selain dengan menggunakan pendekatan umum dilakukan pula pendekatan secara teknis
yang meliputi :
1. Standard dan Peraturan Teknis
Standard dan peraturan teknis yang dipergunakan tim Konsultan dalam pelaksanaan
pekerjaan studi Perencanaan ini adalah menggunakan Standard Nasional Indonesia
yang berlaku di lingkungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, seperti KP Irigasi,
dan Direktorat Jenderal Cipta Karya yang menyangkut prasarana sosial dasar dan
pemukiman. Pedoman-pedoman lain dari Kementerian PUPR akan diikuti dan bila
memerlukan adanya perubahan, harus didiskusikan/ dibahas bersama serta disetujui
secara tertulis oleh Pemberi Kerja/Direksi Pekerjaan.
2. Referensi
C.S. Desai. 1979. Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg,
Virginia. USA. Elementary Finite Element Method. “ Dalam Pemecahan
persamaan Model Matematis Unsteady Flow dengan menggunakan Metode Beda
Hingga/Finite Difference, diperlukan weighting factor secara vertical (time) dan
secara orizontal (distance/jarak antar section, dimana di dalam buku ini dilakukan
dengan Teori Priezman”.
Hidrologi untuk Pengairan, Ir. Suyono Sosrodarsono, Kensaku Takeda. “ Buku
Hidrologi Suyono digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelusuran
banjir melalui waduk/storage routing, dalam rangka untuk mengetahui apakah
debit PMF mengalami overtopping atau tidak”.
Hidrologi Teknik, Ir. CD. Soemarto, Dipl. HE. “ Referensi ini digunakan untuk
memperbandingkan debit rancangan PMF Metode Nakayasu dengan debit
rancangan PMF Metode Gamma”.
Fluid Mechanics for Civil Engineers, N. B Webber, S.I Edition. Referensi ini
digunakan “untuk menguji kekentalan/viscositas air waduk, pengaruhnya
terhadap hidrograf outflow dari waduk”.
SNI, SK-SNI, SKBI serta spesifikasi SII, JIS, ASTM, AASHO. ” Referensi yang
terkait dengan standard desain”.
Design of Small Dam USBR, National Standard Flood Control DGWRD 1993.
”Referensi untuk perhitungan PMF dengan menggunakan Metode Isohyet”
Standard Perencanaan KP 01 sampai KP 06 Dit. Jend. Air 1986. ”Referensi yang
terkait dengan standard desain”.
Dan lain-lain
1. Pekerjaan persiapan.
2. Tahap survey dan analisis awal.
4. Tahap analisis.
III. Pengumpulan data sekunder yang terkait dengan studi terdahulu (data teknis
Bendungan, data Manual OP Bendungan dan peta topografi digital skala 1 : 25.000)
Surat jaminan penerbitan Uang Muka dari lembaga keuangan yang diakui
pemerintah, dalm hal ini BI atau OJK lainnya.
Jika memungkinkan letak kantor lapangan dekat dengan jalan raya yang
dilewati kendaraan umum.
Data sekunder yang telah diperoleh tidak semuanya akan bisa memberikan
informasi yang baik bagi kegiatan “Penyusunan Rencana Tindak Darurat
Bendungan ............” ini, untuk itu perlu dievaluasi terlebih dahulu sebelum digunakan
sebagai bahan studi. Untuk mengevaluasi data sekunder akan dilakukan dengan
beberapa metode statistik yang sudah lazim dipakai dalam kegiatan studi, maupun
melakukan uji validitas berdasarkan kondisi empiris maupun acuan dari para Pakar.
Berdasarkan data lapangan yang telah dikumpulkan dan telah dilakukan analisis
pendahuluan, selanjutnya data tersebut dianalisis secara lebih terinci.
1. Dalam kaitannya dengan kegiatan kajian ulang terhadap anaalisis DBA, validasi dan
perbaikan peta topografi wilayah lembah di hilir bendungan, dimaksudkan agar Peta
DEM yang didapat dari Bakosurtanal telah valid dan siap digunakan sebagai salah satu
faktor input menjalankan software dambreak, yaitu Xong Zhing HY21.
2. Analisis sosial ekonomi kependudukan di wilayah hilir bendungan dan sekitarnya yang
terdampak oleh keruntuhan Bendungan .............
3. Analisis hidrologi untuk menetapkan debit banjir rancangan berbagai kala ulang dan
debit banjir rancangan PMF yang akan diperbandingkan dengan hasil studi
sebelumnya setelah dilakukan pemutakhiran data sampai dengan tahun 2019.
5. Analisis penelusuran banjir melalui waduk untuk menetapkan apakah banjir rancangan
PMF overtopping atau tidak, jika tidak maka analisis keruntuhan bendungan akan
disimulasikan diakibatkan oleh piping, kecuali jika ada pertimbangan lainnya atas
petunjuk direksi. Kajian ulang terhadap penelusuran banjir tersebut didasarkan pada
hasil analisis hidrologi terbaru.
6. Analisis awal keruntuhan bendungan yang hasilnya akan digunakan sebagai acuan
untuk pengukuran topografi, khususnya pengukuran potongan memanjang dan
melintang sungai di wilayah hilir waduk sampai muara sungai.
2. Survey kondisi sosial ekonomi dan sarana prasarana umum, khususnya di wilayah
hilir bendungan.
Untuk dapat mengenal lebih jauh tentang kondisi lokasi daerah kajian, perlu
dilakukan peninjauan lapangan pendahuluan. Dalam melaksanakan peninjauan
pendahuluan ini, sekaligus dilakukan pula pemilihan dan penentuan lokasi daerah yang
akan distudi atau menindaklanjuti hasil kajian ulang simulasi awal keruntuhan bendungan
dengan menggunakan peta topografi dasar 1 : 25.000.
Selanjutnya dari hasil peninjauan lapangan ini dapat disusun Konsep Laporan
Pendahuluan yang berisikan uraian tentang kondisi lokasi pekerjaan, metode pelaksanaan
dan rencana kerja konsultan untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan KAK. Sebelum
didefinitifkan laporan pendahuluan ini terlebih dahulu didiskusikan dengan Tim Teknis
untuk mendapat koreksi dan penyempurnaan serta persetujuan dari Tim Teknis yang
ditunjuk.
Orientasi dan survey lapangan pendahuluan dilakukan bersama oleh Tim Teknis
dan Tim Konsultan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk :
a) Mengidentifikasikan batas daerah survey mulai hulu (waduk ) sampai bagian hilir di
sepanjang sungai sampai batas banjir di hilir waduk, dengan lebar daerah terkena
dampak ditentukan berdasarkan hasil simulasi awal keruntuhan Bendungan.
b) Bersama data sekunder lainnya yang telah terkumpul, hasil orientasi dan survey
lapangan pendahuluan dianalisis dan digunakan sebagai dasar pelaksanaan survey
lanjutan.
Kajian ulang terhadap hasil survey hidro inventori terdahulu dimaksudkan untuk
mengetahui secara detail jenis dan dimensi hidro struktur yang ada di sepanjang sungai
pada kondisi saat ini, dalam rangka menunjang analisis hidrolis simulasi keruntuhan
bendungan di wilayah hilir.
Pengukuran posisi setiap titik terpilih dilakukan dengan bantuan alat GPS. Konsep
dasar penentuan posisi dengan GPS adalah refeksi jarak, yaitu dengan pengukuran jarak
secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara vektor,
prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS diperlihatkan pada gambar berikut di bawah
ini.
Gambar 2. 1 Prinsip Dasar Vektor Penentuan Posisi Dengan GPS
Pada pengamatan dengan GPS, yang dapat diukur adalah jarak antara pengamat
dengan satelit (bukan vektornya), agar posisi pengamat dapat ditentukan maka dilakukan
pengamatan terhadap beberapa satelit sekaligus secara simultan. Gambar berikut adalah
ilustrasi prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS.
a. Posisi yang diberikan adalah posisi 3-D, yaitu (X,Y,Z) atau (L,B,H)
b. Tinggi yang diberikan oleh GPS adalah tinggi ellipsoid
c. Datum dan posisi yang diperoleh adalah WGS ( World Geodetic Systems) 1984 yang
menggunakan ellipsoid referensi GRS 1980
d. Ketelitian posisi yang diperoleh tergantung pada metode penentuan posisi, geometri
satelit, tingkat ketelitian data dan metode pengolahan data.
e. Penentuan posisi dapat dilakukan dengan beberapa metode absolute positioning dan
differential positioning.
f. Posisi titik dapat ditentukan terhadap pusat massa bumi ataupun terhadap titik
lainnya yang telah diketahui koordinatnya.
g. Spektrum ketelitian posisi yang diberikan berkisar dan sangat teliti (orde : mm)
sampai kurang teliti (orde : puluhan meter).
Survey topografi dimaksudkan untuk mengetahui letak dari daerah studi secara
topografi (meliputi koordinat dan elevasi), hal ini bertujuan untuk mempermudah
mengidentifikasi daerah studi.
b. Pekerjaan Lapangan
Ukuran BM yang adalah 0,60 m x 0,15 m x 0,15 m, terbuat dari campuran pasir, split
dan semen PC dengan perbandingan ukuran (1 : 2 : 3). Di tengahnya dipasang
rangka besi, diatasnya dipasang baut serta diberi kode nomor, BM ditanam di dalam
tanah, muncul + 20 cm dipermukaan tanah.
c. Mudah dicari.
d. Tidak terletak dibawah jaringan listrik tegangan tinggi, tidak tertutup pepohonan
atau rumah, agar pengamatan GPS tidak terganggu.
Pengikatan koordianat GPS dilakukan untuk menyatukan sistem koordinat lokasi yang
dipetakan / diukur dengan sistem koordinat Peta Rupa Bumi (UTM)
Lama waktu pengamatan sesuai dengan peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel II-1.
GDOP < 8
Menggunakan 3 atau 4 receiver GPS atau lebih secara bersamaan dalam satu
session dengan merk dan jenis receiver yang sama.
Secara garis besar, pengolahan data GPS terdiri dari 2 bagian yaitu pengolahan
data baselaine (baseline processing) dan peralatan hasil baseline (adjustment)
Baseline processing
Peralatan (adjustment)
Pada proses ini, data-data baseline yang telah di resolve diolah secara simultan
oleh komputer dengan batasan-batasan tertentu sehingga dicapai hasil yang
memenuhi persyaratan ketelitian. Proses perataan jaringan akan menggunakan
perangkat pemroses data.
Matrik varian-kovarian
Ellips kesalahan posisi horizontal relatif maupun absolut
3. Transformasi Koordinat
Ellipsoid : WGS 84
Lebar zone : 60
Bagan alir pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 2.4, berikut ini.
PERATAAN JARINGAN
TRANSFORMASI KOORDINAT
DAN PROYEK PETA
GEOGRAFIS UTM
Sudut Horisontal Poligon diukur minimal 1 (satu) seri rangkap (4 besaran sudut B
– LB – LB – B ), selisih sudut hasil pembacaan tidak boleh lebih dari 5 detik.
Sudut yang dipakai untuk hitungan adalah hasil rata-ratanya.
Pengukuran jarak (dengan EDM) maksimum adalah 100 m, pengukuran jarak akan
dilaksanakan kemuka dan kebelakang, masing-masing akan dibaca minimal 5
(lima) kali display.
Kesalahan penutup sudut tidak boleh lebih dari 10”N, dengan N adalah jumlah
titik poligon.
Jarak antar titik poligon maksimum adalah 100 m, pengukuran jarak dilakukan 2
AB
AC
B
C
Alat yang digunakan adalah Automatic Level ( seperti Wild NAK-2, Zeiss NI 2 atau
sejenisnya)
Bak Ukur dilengkapi dengan nivo bak
Pengukuran dilakukan pada jalur poligon utama dan poligon cabang, dan
merupakan kring tertutup
Pembacaan benang dilakukan lengkap (benang tengah, benang atas dan benang
bawah).
Pengukuran setiap slag dilakukan double stand dan setiap seksi dilakukan
pengukuran pergi-pulang.
Posisi alat setiap slag diatur sedemikian rupa sehingga berada pada jarak yang
hampir sama antara rambu muka dan rambu belakang, hal ini untuk
menghindarkan kesalahan sistematis yang diakibatkan karena garis bidik tidak
sejajar dengan garis arah nivo.
Untuk rambu panjang 3,00 m, pembacaan benang yaitu antara 0,25 m dan 2,74
m.
Toleransi salah penutup tinggi tidak boleh lebih dari 10D mm, dengan D adalah
panjang seksi pengukuran dalam km.
b1
d1
Slag 1
m1
b2
Referensi
Bidang
Slag 2
d2
m2
1
Jika pada penentuan titik kontrol (BM) di lokasi sudah menggunakan pengamatan
dengan Geodetic GPS, maka azimuth awal atau azimut antara 2 (dua) BM tersebut
sudah bisa didapatkan.
Tetapi jika azimut awal pengukuran belum didapatkan, maka bisa dilakukan
penentuan azimut dengan pengamatan matahari (metode tinggi matahari) sebagai
berikut :
= HS - HM
Azimut matahari atau sudut A dari segitiga KU-M-Z dapat ditentukan bila diketahui 3
(tiga) unsur dari segitiga astronomi. 3 (tiga) unsur segitiga astronomis yang digunakan
untuk perhitungan adalah (90 - ), (90 - ) dan (90 - h). Rumus dasar yang digunakan
pada metode ini adalah sebagai berikut :
Prisma Rouloff
HB = HA + Ti + D . tan (90-Z) – BT
Dimana :
HA = Tinggi titik A
HB = Tinggi titik B
BA = Benang Atas
BT = Benang Tengah
BB = Benang Bawah
Seluruh hasil perhitungan sebelum digambar harus terlebih dahulu diperiksa dan
disetujui Direksi.
Pada akhir pekerjaan selesai dibuatkan laporan yang merupakan ringkasan dari
hasil seluruh pekerjaan.
Ukuran foto adalah Post card dan berwarna, hasil afdruck dari foto-foto difilekan
dalam album yang cukup rapi dan baik
Peta situasi serta potongan memanjang dan melintang sungai (geometrik sungai)
Buku Ukur
bn
b
6 EL. 7
b5
EL. 6
EL. 5
b4
EL. 4
b3 EL. 3
b2 EL. 2
b1
EL. 1
20
Pelat marmer 12 x 12
25
Nomor titik
10
100
65
Dicor beton
75
20
Beton 1:2:3
15
10
20
Pasir dipadatkan
20
40
Water Surface
Profil Deposit Sedimen
River Bed
Gambar 2. 10 Sketsa Profil Deposit Sedimen Waduk
2.2.10Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi terhadap hujan rancangan dengan berbagai kala ulang dan
Probable Maximum Precipitation (PMP) serta banjir rancangan dan Probable Maximum
Flood (PMF) perlu dilakukan sebelum analisis terhadap keruntuhan bendungan dilakukan.
Data hidrologi yang diperlukan adalah :
1. Data yang terkait dengan DAS Waduk (luas, panjang sungai, kemiringan, tataguna
lahan, dll.)
2. Data lokasi stasiun pencatat curah hujan di sekitar dan di dalam DAS (baik harian
maupun otomatis).
4. Data aliran anak-anak sungai di sepanjang alur sungai di wiayah hilir waduk.
6. Data tataguna lahan DAS dan tataguna lahan wilayah hilir waduk.
A. Siklus hidrologi
Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa ke masa. Air di
bumi mengalami suatu siklus melalui peristiwa yang berlangsung terus menerus,dimana
kita tidak tahu kapan dan dari mana berawalnya dan kapan pula akan berakhir.
peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi.
Gambar 2. 11 Gambaran Siklus Hidrologi
Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari. Laju dan jumlah
penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat equator, dimana radiasi matahari lebih
kuat. Uap air adalah murni, karena pada waktu dibawa naik ke atmosfir kandungan
garam ditinggalkan. Uap air yang dihasilkan dibawa udara yang bergerak. Dalam kondisi
yang memungkinkan uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air
yang akan jatuh di samudera, darat, dan sebagian langsung menguap kembali sebelum
mencapai permukaan bumi.
Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi menyebar ke berbagai arah dengan beberapa
cara. Sebagaian akan tertahan sementara di permukaan bumi sebagai es atau salju, atau
genangan air, yang dikenal dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan atau lelehan
salju akan mengalir ke saluran atau sungai. Hal ini disebut aliran / limpasan permukaan.
Jika permukaan tanah porous, maka sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui
peristiwa yang disebut infiltrasi. Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir melalui
penguapan dan transpirasi oleh tanaman (evapotranspirasi).
Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara. Daerah ini dikenal
sebagai zona kapiler (vadoze zone), atau zona aerasi. Air yang tersimpan di zona ini
disebut kelengasan tanah (soil moisture), atau air kapiler. Pada kondisi tertentu air dapat
mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air dalam
zona kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah, kemudian menguap.
Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi dan proses ini disebut
drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan akan jenuh air.
Batas atas zona jenuh air disebut muka air tanah (water table). Air yang tersimpan
dalam zona jenuh air disebut air tanah. Air tanah ini bergerak sebagai aliran air tanah
melalui batuan atau lapisan tanah sampai akhirnya keluar ke permukaan sebagai sumber
air (spring) atau sebagai rembesan ke danau, waduk, sungai atau laut.
Air yang mengalir dalam saluran atau sungai dapat berasal dari aliran permukaan atau
dari air tanah yang merembes di dasar sungai. Kontribusi air tanah pada aliran tersebut
disebut aliran dasar (baseflow), sementara total aliran disebut debit (runoff). Air yang
tersimpan di waduk, danau dan sungai disebut air permukaan (surface water).
B. Presipitasi
Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondesi dan jatuh
dari atmosfir ke bumi dalam segala bentuknya dalam rangkaian siklus hidrologi. Jika air
yang jatuh berbentuk cair disebut hujan (rainfall) dan jika berupa padat disebut salju
(snow).
Analisis dan desain hidrologi tidak hanya memerlukan volume atau ketinggian hujan,
tetapi juga distribusi hujan terhadap tempat dan waktu. Distribusi hujan terhadap waktu
disebut hyterograph. Dengan kata lain hyterograph adalah grafik intensitas hujan atau
ketinggian hujan terhadap waktu.
Kejadian hujan dapat dipisahkan menjadi dua group, yaitu hujan aktual dan hujan
rencana. Kejadian hujan aktual adalah rangkaian dan pengukuran di stasiun hujan
selama periode tertentu. Hujan rencana adalah hyterograph hujan yang mempunyai
karakteristik terpilih. Hujan rencana bukan kejadian hujan yang diukur secara aktual dan
kenyataannya hujan yang identik dengan hujan rencana tidak pernah dan tidak akan
pernah terjadi. Namun demikian, kebanyakan hujan rencana mempunyai karakteristik
yang secara umum sama dengan karakteristik hujan yang terjadi pada masa lalu.
Dengan demikian menggambarkan karakteristik hujan yang diharapkan terjadi pada
masa mendatang.
Karakteristik hujan yang ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi meliputi :
Intensitas (i), adalah laju hujan = tinggi air persatuan waktu, misalnya mm/menit,
mm/jam atau mm/hari.
Lama waktu / durasi (t), adalah panjang waktu di mana hujan turun, dalam menit
atau jam.
Tinggi hujan (d), adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi
hujan dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
Frekwensi adalah frekwensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala ulang /
return period (T), misalnya sekali dalam 2 tahun.
C. Analisis Hujan
Jika data hujan tidak konsisten karena perubahan atau gangguan lingkungan di
sekitar tempat penakar hujan dipasang, misalnya penakar hujan terlindung oleh
pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran
dan pencatatan, pemindahan letak penakar dan sebagainya, memungkinkan
terjadi penyimpangan terhadap trend semula. Hal tersebut dapat diselidiki
dengan menggunakan lengkung masa ganda ( Double Mass Curve) seperti
gambar di bawah ini.
Gambar 2. 12 Lengkung Masa Ganda (Double Mass Curve)
Apabila terjadi penyimpangan (ABC’), maka dapat dikoreksi menjadi garis ABC
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
H z =(Tg α .Tg α −1 ). H 0
0
dimana :
Hz = Data hujan terkoreksi (mm)
H0 = Data hujan pengamatan (mm)
Tg = Kemiringan garis sebelum penyimpangan
Tgo = Kemiringan garis setelah penyimpangan
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi
hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat
bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat
penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal
ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan
beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam dan/atau di sekitar kawasan
tersebut.
Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan rata-rata
kawasan yaitu : (1) rata-rata aljabar, (2) poligon Thiessen, (3) Isohyet.
c. Rata-rata Aljabar
P1 +P2 +P 3 +. .. ..+ P n
∑ Pi
P= = i=1
n n
Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,
2, …., n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.
Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean).
Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah penakar dibentuk dengan
menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung
antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos
yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap
dapat mewakili kawasan terdekat.
Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-
rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500 – 5.000 km2,
dan jumlah penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya.
Lokasi pos penakar hujan diplot pada peta DAS. Antar pos penakar dibuat garis
lurus penghubung.
Tarik garis tegak lurus ditengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa,
sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan
mempunyai jarak terdekat dengan pos penakar yang ada di dalamnya
dibandingkan dengan jarak terhadap pos lainnya. Selanjutnya curah hujan pada
pos tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang
bersangkutan.
P.2
Batas DPS
P.1
A2
A4 A3
A1
P.3
P.4
Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dnegan planimeter dan luas total
DAS (A) dapat diketahui dengan menjumlahkan semua luasan poligon.
P1 A 1 +P2 A 2 +. .. .+ Pn An ∑ Pi Ai
P= = i=0n
A1 + A 2 +. .. .+ A3
∑ Ai
i=0
Di mana P1, P2, …., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,
2, …., n. sedangkan A1, A2, …., An adalah luas areal poligon 1, 2, …., n. serta n
adalah banyaknya pos penakar hujan.
e. Metode Isohyet
Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-
rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara
aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Dengan kata lain asumsi metode
Thiessen yang secara membabi buta menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar
hujan mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.
Plot data kedalaman air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta.
Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik yang
mempunyai kedalaman air yang sama. Interval Isohyet yang umum dipakai
adalah 10 mm.
Hitung luas area antara dua garis Isohyet dengan menggunakan planimeter.
Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua Isohyet yang
berdekatan.
P=
A1 ( P +2 P )+ A ( P +2 P )+ .. ..+ A ( P
1 2
2
2 3
n−1
n−1 + Pn
2 )
A1 + A 2 +. .. .+ A n−1
Atau
P1 +P 2
P=
∑ [ ( )]
A
2
∑A
Metode Isohyet cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari
5.000 km2.
P.2
110 Batas DPS
100
90
P.1 80
70
A5
60
50
A3 A4
A2
95
A1 80
P.3
P.4
Lepas dari kelebihan dan kelemahan ketiga metode di atas, pemilihan metode mana
yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan
tiga faktor berikut :
2) Luas DAS
3) Topografi DAS
Tujuan analisis frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-
peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan
distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung
(independent) dan terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik.
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau
dilampaui. Sebaliknya kala ulang (retrun period) adalah waktu hipotetik di mana
hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Dalam hal ini
tidak terkandung pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur
setiap kala ulang tersebut. Misalnya hujan dengan kala ulang 10 tahunan, tidak
berarti akan terjadi setiap 10 tahun, akan tetapi ada kemungkinan dalam jangka
1000 tahun akan terjadi 100 kali kejadian hujan 10 tahunan. Ada kemungkinan
selama kurun waktu 10 tahun terjadi hujan 10 tahunan lebih dari satu kali atau
sebaliknya tidak terjadi sama sekali.
Analisis frekuensi memerlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakar
hujan. Analisis ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk
memperoleh probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang. Dengan
anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan
sifat statistik kejadian hujan masa lalu.
Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi, yaitu :
Tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh pada
analisis selanjutnya. Seri data seperti ini dikenal dengan seri data maksimum
(maximum annual series). Jumlah data dalam seri akan sama dengan panjang data
yang tersedia. Dalam cara ini, besaran data maksimum kedua dalam suatu tahun
yang mungkin lebih besar dari besaran data maksimum lam tahun yang lain tidak
diperhitungkan pengaruhnya dalam analisis. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap
kurang realistis, apalagi jika diingat bahwa perhitungan permulaan tahun hidrologi
tidak selalu seragam,ada yang berdasar musim ada pula yang mengikuti kalender
masehi. Oleh karena itu beberapa ahli menyarankan menggunakan cara seri parsial.
b Seri parsial
Dalam analisis frekuensi hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan panjang
data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi.
Nilai rata-rata
n
∑ Xi
X = i=1
n
s=
√ ∑ ( X i −X ) 2
i=1
n−1
Koefisien variasi
s
CV =
X
Koefisien Skewness
n
n ∑ ( X i− X )3
i=1
G=
( n−1 )( n−2 ) s 3
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat macam
jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu :
1) Distribusi Normal
X T =X +K T S
X T −X
K T=
S
Dimana :
Y T =Y +K T S
Y T −Y
K T=
S
Di mana :
Harga rata-rata
Untuk memperoleh harga rata-rata dilaksanakan dengan mengubah data
terlebih dahulu ke dalam bentuk logaritmis, X=log X
n
∑ log X i
log X = i =1
n
Simpangan baku
s=
√ ∑ ( log X i −log X ) 2
i=1
Koefisien Kemencengan
n−1
n
n ∑ ( log X i−log X )3
i=1
G=
( n−1 ) ( n−2 ) s3
Dari nilai-nilai tersebut logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T
dapat dihitung dengan rumus :
4) Distribusi Gumbel.
Y Tr −Y n
K=
X Tr =X +KS Sn
Y Tr −Y n Y n S Y Tr S
X Tr =X + S=X− +
Sn Sn Sn
1 Sn Yn S
X Tr =b+ Y Tr a= b=X−
atau a S dan Sn
Di mana :
T r −1
{
Y Tr =−ln − ln
Tr }
Nilai Yn dan Sn serta YTr dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :
Tabel II- 5 Reduce Mean Yn
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220
20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5300 0.5820 0.5882 0.5343 0.5353
30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5400 0.5410 0.5418 0.5424 0.5430
40 0.5436 0.5442 0.5448 0.5530 0.5458 0.5468 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481
50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518
60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545
70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567
80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585
90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599
100 0.5600
60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844
70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930
80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1959 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001
90 1.2007 1.2013 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060
100 1.2065
D. Uji Kecocokan
Untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel data
terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau
mewakili distribusi frekuensi diperlukan penguji parameter. Dalam hal ini pengujian
parameter yang sering dipakai adalah chi-kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov, dengan
uraian sebagai berikut :
a Chi-kuadrat
n
EF =
K
K = 1 + 3,22 log n
dimana :
n = banyaknya data
Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 < X2Cr.
Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi dengan derajat
kebebasannya (level of significant).
Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat
diterima,
Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak
dapat diterima,
Apabila peluang berada di antara 1 – 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan,
perlu data tambahan.
Menentukan jumlah kelas dengan memasukkan nilai n (jumlah data) dalam rumus .
Menghitung nilai yang diharapkan (EF: expected frequency) dari masing masing kelas.
Jumlahkan data pengamatan dalam tiap-tiap kelas sebesar OF (OF: observed
frequency).
Tiap-tiap kelas dihitung nilai:
2
( EF−OF )
Σ EF
Jumlahkan seluruh nilai dari point (d) untuk menentukan nilai Chi-Square hitung.
Tentukan derajat kebebasan v = K – m – 1 (nilai m = 2, untuk distribusi normal dan
binomial, dan nilai m = 1, untuk distribusi poisson) dan nilai α untuk menentukan
besarnya nilai Chi-Square kritis (X2cr)
Bandingkan nilai X2 hitung dengan X2 kritis, jika X2hit >X2Cr maka distribusi frekuensi
yang dipilih dapat diterima dan sebaliknya.
Tabel II- 8 Nilai Kritis untuk distribusi Chi-Kuadrat (uji satu sisi)
a derajat kepercayaan
dk 0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879
2 0.010 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.597
3 0.0717 0.150 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838
4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.860
5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750
6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548
7 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278
8 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955
9 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589
10 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188
b Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov – Kormogorov, sering juga disebut uji kecocokan non
parametric (non prametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Uji ini juga digunakan untuk menguji simpangan maksimum
secara horizontal antara distribusi teoritis dan empiris. Dalam bentuk persamaan
dapat ditulis :
maks = [ Pe – Pt]
dimana :
Pe = peluang empiris
Pt = peluang teoritis
Kemudian dibandingkan antara maks dan cr dari tabel. Apabila Δmaks <Δcr,
maka pemilihan metode frekuensi tersebut dapat diterapkan untuk data yang
ada.
100∗m
Pe= %
n+1
n = banyaknya data
Δ= maksimum [ Pe–Pt ]
Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus dilakukan secara benar
untuk analisis frekuensi data hujan. Dalam praktek sering dijumpai perhitungan yang
kurang pas, yaitu dengan cara mencari hujan maksimum harian setiap pos hujan dalam
satu tahun, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara ini tidak logis
karena rata-rata hujan dilakukan atas hujan dari masing-masing pos hujan yang terjadi
pada hari yang berlainan. Hasilnya akan jauh menyimpang dari yang seharusnya.
F. Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan pe satuan waktu. Sifat umum
hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cendering makin tinggi dan
makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Hubungan antara
intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan biasnya dinyatakan dalam lengkung
Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF=Intensity-Duration-Frequency Curve). Diperlukan data
hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman
untuk membentuk lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos
penakar hujan otomatis. Selanjutnya, berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut
lengkung IDF dapat dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut :
Rumus Talbot :
1
I=
t +b
[ I . t ] [ I 2 ] −[ I 2 . t ] [ I ] [ I ][ I . t ]−N [ I 2 .t ]
a= b=
N [ I 2 ] −[ I ][ I ] N [ I 2 ] −[ I ][ I ]
Rumus Sherman
a
I=
tn
Rumus Ishiguro
a
I=
√t +b
[ I √ t ] [ I 2 ] −[ I 2 √ t ] [ I ] [ I ] [ I √ t ]−N [ I 2 √ t ]
a= b=
N [ I 2 ] − [ I ][ I ] N [ I 2 ] − [ I ][ I ]
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian,
maka intensitas hujan dapat dihitung dengan :
Rumus Mononobe
R 24 2
I= 24
24 t ( ) 3
Di mana
G. Limpasan (runoff)
Sebagaimana telah diuraikan da1am siklus hidrologi, bahwa air hujan yang turun dari
atmosfir jika tidak ditangkap oleb vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan
seperti atap bangunan atau lapisan kedap air lainnya, maka akan jatuh ke perrnukaan
bumi dan sebagian akan rnenguap, berinfiltrasi, atau tersimpan dalam cekungan-
cekungan. Bila kehilangan seperti cara-cara tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan
akan mengalir langsung di atas permukaan tanah menuju alur aliran terdekat. Dalam
perencanaan drainase, bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah aliran
permukaan (surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran
permukaan, tetapi limpasan (runoff). Limpasan merupakan gabungan antara aliran
perrnukaan, aliranaliran yang tertunda pada cekungan-cekungan, dan aliran bawah per-
mukaan (subsurface flow).
Aliran pada saluran atau sungai tergantung dan berbagai faktor secara bersamaan.
Dalam kaitannya dengan limpasan, faktor yang berpengaruh secara umurn dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor meteorologi dan karakteristik daerah
tangkapan saluran atau daerah aliran sungai (DAS).
1. Faktor Meteorologi
a) Intensitas hujan
b) Durasi hujan
Total limpasan dari suatu hujan berkaitan langsung dengan durasi hujan dengan
intensitas tertentu. Setiap DAS mempunyai satuan durasi hujan atau lama hujan
kritis. Jika hujan yang terjadi lamanya kurang dari lama hujan kritis, maka lamanya
limpasan akan sama dan tidak tergantung pada intensitas hujan.
Laju dan volume limpasan dipengaruhi oleh distribusi dan intensitas hujan di seluruh
DAS. Secara umum, laju dan volume limpasan maksimum terjadi jika seluruh DAS
telah memberi konstribusi aliran. Namun demikian, hujan dengan intensitas tinggi
pada sebagian DAS dapat menghasilkan limpasan yang lebih besar dibandingkan
dengan hujan biasa yang meliputi seluruh DAS.
Jika kondisi topografi, tanah, dan lain-lain di seluruh DAS seragam, untuk jumlah
hujan yang sama, maka curah hujan yang distribusinya merata menghasilkan debit
puncak yang paling minimum. Karakteristik distribusi hujan dinyatakan dalam
“koefisien distribusi”, yaitu nisbah antara hujan tertinggi di suatu titik dengan hujan
rata-rata DAS.
2. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi (1) luas dan
bentuk DAS, (2) topografi, dan (3) tata guna lahan.
Laju dan volume aliran permukaan makin bentambah besar dengan bertambahnya
luas DAS. Tetapi, apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai jumlah total dari
DAS, rnelainkan sebagai laju dan volume per satuan luas, besarnya akan berkurang
dengan bertambah luasnya DAS. Ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan air
untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik kontrol (waktu konsentrasi) dan juga
penyebaran atau intensitas hujan.
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh bentuk
DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan memperhatikan
hidrograf-hidrograf yang tenjadi pada dua buah DAS yang bentuknya berbeda
namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengati intensitas yang
sama, sebagaimana terlihat pada gambar berikut :
waktu waktu
Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan
yang lehih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar.
Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama
dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik
kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan.
Faktor bentuk juga dapat berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang
terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung
lainnya. misalnya dari hilir ke hulu DAS. Pada DAS memanjang laju aliran akan lebih
kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum memberikan konstribusi
pada titik kontrol ketika aliran permukaan dan hujan di hilir telah habis, atau
mengecil. Sebaliknya pada DAS melebar, datangnya aliran permukaan dari semua
titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari hulu sudah tiba sebelum aliran dari
hilir mengecil/habis.
b. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan
kerapatan parit dan/atau saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai
pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam
disertai parit/saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan
adanya cekungan-cekungan. Pengaruh kerapatan parit, yaitu panjang parit per satuan
luas DAS, pada aliran permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi, sehingga
memperbesar laju aliran permukaan.
Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran
permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya
aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini
merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C
berkisar antara 0 sampai 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan
terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1
menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS
yang masih baik, harga C mendekati nol dan semakin rusak suatu DAS, maka harga C
makin mendekati satu.
Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit banjir). Metode
yang dipakai pada suatu lokasi lebih bvnyak ditentukan oleh ketersediaan data. Dalam
praktek, perkiraan debit banjir dilakukan dengan beberapa metoda dan debit banjir
rencana ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis (engineering judgement). Secara
umum, metode yang umum dipakai adalah (1) metode rasional dan (2) metode hidrograf
banjir.
1) Metode Rasional
Metode untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak yang umum dipakai
adalah metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat simpel dan mudah
penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran
kecil, yaitu kurang dan 300 ha (Goldman et.al., 1986). Karena model ini merupakan
model kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran
permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan matematik metode Rasional
dinyatakan dalam bentuk :
QP =0 , 002778CIA
di mana Qp adalah laju aliran permukaan (debit) puncak dalam m3/detik. C adalah
koefisien aliran permukaan (0 < C < 1), I adalah intensitas hujan dalam mm/jam, dan
A adalah luas DAS dalam hektar.
Koefisien limpasan juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Laju infiltrasi
menurun pada hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhi oleh kondisi
kejenuhan air sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi nilai C adalah air tanah,
derajad kepadatan tanah, porositas tanah, dan simpanan depresi. Harga C untuk
berbagai tipe tanah dan penggunaan lahan di sajikan dalam Tabel berikut :
Tabel II- 10 Koefisien limpasan untuk metode Rasional (McGuen, 1989)
Diskripsi lahan/karakter permukaan Koefisien aliran, C
Business
perkotaan 0,70 - 0,95
pinggiran 0,50 - 0,70
Perumahan
rum ah tunggal 0,30 - 0,50
multiunit, terpisah 0,40 - 0,60
multiunit, tergabung 0,60 - 0,75
perkampungan 0,75 - 0,40
apartemen 0,50 - 0,70
Industri
ringan 0,50 - 0,80
berat 0,60 - 0,90
Perkerasan
aspal dan beton 0 70 - 0,95
batu bata, paving 0,50 - 0,70
Atap 0,75 - 0,95
Halaman, tanah berpasir
datar 2% 0,05 - 0,10
rata-rata, 2 - 7% 0,10 - 0,15
curam 7% 0,15 - 0,20
Halaman, tanah berat
datar 2% 0,13 - 0.17
rata-rata, 2 - 7% 0,18 - 0,22
curam, 7% 0,25 - 0,35
Halaman kereta api 0,10 - 0,35
Taman tempat bermain 0,20 - 0,35
Taman, pekuburan 0,10 - 0,25
Hutan
datar, 0 - 5% 0,10 - 0,40
bergelombang, 5 - 10% 0,25 - 0,50
berbukit, 10 - 30%
Diskripsi lahan/karakter permukaan
0,30 - aliran,
Koefisien
0,60 C
Bus iness
perk otaan 0,70 - 0,95
pinggiran 0,50 - 0,70
Perum ahan
rum ah tunggal 0,30 - 0,50
multiunit, terpisah 0,40 - 0,60
multiunit, tergabung 0,60 - 0,75
perk am pungan 0,75 - 0,40
apartemen 0,50 - 0,70
Industri
ringan 0,50 - 0,80
berat 0,60 - 0,90
Perk erasan
as pal dan beton 0 70 - 0,95
batu bata, paving 0,50 - 0,70
Atap 0,75 - 0,95
Halam an, tanah berpasir
datar 2% 0,05 - 0,10
rata-r ata, 2 - 7% 0,10 - 0,15
curam 7% 0,15 - 0,20
Halam an, tanah berat
datar 2% 0,13 - 0.17
rata-r ata, 2 - 7% 0,18 - 0,22
curam , 7% 0,25 - 0,35
Halam an k er eta api 0,10 - 0,35
Tam an tem pat berm ain 0,20 - 0,35
Tam an, pekuburan 0,10 - 0,25
Hutan
datar, 0 - 5% 0,10 - 0,40
bergelom bang, 5 - 10% 0,25 - 0,50
berbuk it, 10 - 30% 0,30 - 0,60
Harga C yang ditampilkan pada tabel tersebut belum memberikan rincian masing-
masing faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai C. Oleh karena itu, Hassing
(1995) menyajikan cara penentuan faktor C yang mengintegrasikan nilai yang
merepresentasikan beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan antara hujan dan
aliran, yaitu topografi, permeabilitas tanah, penutup lahan, dan tata guna tanah. Nilai
koefisien C merupakan kombinasi dan beberapa faktor yang dapat dihitung ber-
dasarkan tabel berikut.
Di mana
Cara lain penggunaan rumus Rasional untuk DAS dengan tata guna lahan tidak
homogen adalah dengan substitusi persamaan-persamaan tersebut yang hasilnya
sebagai berikut :
n
QP =0 , 002778 I ∑ Ci Ai
i=1
Waktu konsentrasi (tv). Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan
oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran
DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi.
Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi,
maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik
kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah dengan
menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940), yang dapat ditulis
sebagai berikut :
0 ,385
0,87 xL 2
(
t c=
1000 xS )
di mana tc adalah waktu konsentrasi dalam jam, L panjang saluran utama dari hulu
sampai penguras dalam km, dan S kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.
t c=t 0 +t d
2 n
3 [
t 0= ×3 ,28×L×
√S ] menit
LS
t d=
60 V menit
Di mana
S = kemiringan lahan,
Intensitas hujan (I). Intensitas hujan untuk tc tertentu dapat dihitung dengan rumus
Mononobe atau lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi Hujan.
Koef. C Gambungan
n
AC i i
C DAS i 1
n
A
i 1
i
n
Luas DAS A A
i 1
i (ha)
titik Q ke titik P)
Gambar 2. 16 Langkah-langkah pemakaian rumus rasional
Mulai
Data
Hidrologi
Turunkan Turunkan
Hidrograf Hidrograf
Satuan Satuan Sintetis Perkirakan hujan
Data cukup
panjang ? DAS rencana
Konversi dengan
hujan rencana
Catatan :
* GEV = Gumbell Extreem Value
Qtr ** Berlaku untuk luas DAS yang kecil
atau Qtr dan
hidrograf
Selesai
Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran
terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada dua macam hidrograf, yaitu
hidrograf muka air dan hidrograf debit.
Hidrograf muka air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR (Automatic
Water Level Recorder), sedangkan hidrograf debit yang dalam pengertian sehari-hari
disebut hidrograf diperoleh dari hidrograf muka air dan lengkung debit.
Hidrograf tersusun dari dua komponen yaitu aliran permukaan, yang berasal dari
aluran langsung air hujan dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air
tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan.
Hujan juga dapat dianggap terbagi dalam dua komponen, yaitu hujan efektif dan
kehilangan (losses). Hujan efektif adalah bagian hujan yang menyebabkan terjadinya
aliran permukaan. Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap, masuk
ke dalam tanah, kelembaban tanah dan simpanan air tanah.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari aliran
dasarnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah metode garis
lurus (straight line method), metode panjang dasar tetap (fixed base method) dan
ketode kemiringan berbeda (variable slope method).
Metode garis lurus merupakan metode yang paling sederhana. Garis lurus ditarik dari
titik terendah sisi resesi hidrograf sebelumnya (A), sampai titik di sisi resesi hidrograf
yang ditinjau (B). Titik B didapat dari penggambaran sisi resesi tersebut dalam kertas
berskala semi logaritmis. Titik B merupakan titik penyimpangan terendah garis
tersebut terhadap garis lurus yang dianggap mewakili saat terjadinya aliran dasar.
Metode panjang dasar tetap hampir sama dengan metode sebelumnya. Dalam metode
ini diperhatikan adanya perbedaan kecepatan respon antara air permukaan dan air
bawah permukaan. Oleh sebab itu pada saat air permukaan naik, aliran dasar turun
terus sampai dianggap mencapai titik terendah di bawah titik puncak aliran
permukaan, selanjutnya titik diperoleh dari persamaan (Linsley, 1988) :
0 .2
T =A
Di mana
Aliran
langsung
(a) Metode Kemiringan Berbeda
Aliran dasar
Aliran
langsung Aliran
langsung
Aliran
langsung
(a) Metode Kemiringan Berbeda
Aliran dasar
Metode kemiringan berbeda dianggap sebagai metode yang paling teliti di antara
ketiga metode. Metode ini merupakan penggabungan dari kedua metode terdahulu.
3) Hidrograf Satuan
Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan
efektif yang terjadi merata di seluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu
satuan waktu yang ditetapkannya, yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah
curah hujan yang lamanya sedemikian rupa sehingga lamanya limpasan permukaan
tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan
yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode naik hidrograf
(waktu dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari
hujan satuan semuanya adalah kira-kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan
intensitas hujan.
Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS terhadap
hujan. Tujuan dari hirograf satuan adalah untuk memperkirakan hubungan antara
hujan efektif dan aliran permukaan. Konsep hidrograf satuan pertama kali
dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932, yang menyatakan bahwa suatu sistem
DAS mempunyai sifat khas yang menytakan respon DAS terhadap suatu masukan
tertentu.
Untuk menurunkan hidrograf satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data
hujan, padahal sering kita jumpai ada beberapa DAS tidak memiliki catatan limpasan.
Dalam kasus ini hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada
DAS yang sama atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik sama. Hasil dari
penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satan sintetis, yang mencakup
tiga jenis HSS, yaitu :
HSS Snyder
Ada tiga parameter hidrograf yaitu : lebar dasar hidrograf, debit puncak dan
kelambatan DAS (basin lag).
t p =5,5t r
0,3
t p =C1 C t ( LLc )
Di mana :
Lc = jarak antara outlet ke titik pada sungai yang terdekat dengan titik pusat
(centriod) DAS,
C1 = 0,75 (C1 = untuk sistem Inggris)
Ct = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah
yang sama,
tr = durasi hujan.
C2C p
q p=
tp
Di mana
Cp = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah
yang sama.
HSS Gama 1
Metode ini dikembangkan oleh DR. Ir. Sri Harto, berdasarkan penelitian 30 DPS di
pulau Jawa. Satuan hidrograf sintetik Gama I dibentuk oleh tiga komponen dasar yaitu
waktu naik (TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB), dengan uraian:
L 3
(
TR=0 , 43
100 SF)+1,0665 SIM + 1,2775
Di mana :
di mana :
TR = Waktu naik
3. Faktor-lebar, (WF) yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur dititik
di sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur dititik di
sungai yang berjarak 0,25 L dari stasiun hidrometri.
4. Luas DAS sebelah hulu , (RUA) yaitu perbandingan luas DAS yang diukur di
hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri
dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melewati titik
tersebut.
5. Faktor simetri, (SIM) yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas
DAS sebelah hulu (RUA) .
Penetapan tingkat-tingkat sungai dilakukan dengan cara Strahler (1964) yang pada
dasarnya sebagai berikut :
1. Sungai-sungai paling ujung adalah sungai-sungai tingkat satu.
2. Apabila dua buah sungai dengan tingkat yang sama bertemu akan
terbentuk sungai satu tingkat lebih tinggi.
3. Apabila sebuah sungai dengan suatu tingkat bertemu dengan sungai lain
dengan tingkat yang lebih rendah maka tingkat sungai yang pertama tidak
berubah.
Qt=Qp*e^(-
t/K)
Q
p
T t
R
TB -
Gambar 2. 1T
19 Sketsa HSS Gama 1
B
Dalam pemakaian cara ini masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan,
diantaranya sebagai berikut :
Aliran Dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DPS dan kerapatan jaringan
sungai yang dirumuskan sebagai berikut :
HSS Nakayasu
Hidrograf satuan sintetik metode DR. Nakayasu telah berulang kali diterapkan di
Kaltim terutama pada DTA kali Brantas. Hingga saat ini hasilnya cukup memuaskan.
Penggunaan metode ini memerlukan beberapa karakteristik parameter daerah
alirannya sebagai berikut:
1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf ( time of peak)
2. Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf ( time lag)
6. Koefisien pengaliran.
A . R0
Q p=
3,6.( 0,3. T p +T 0,3 )
dengan :
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai
30% dari debit puncak
A = Luas daerah tangkapan sampai outlet
T p=t g +0,8 t r
T 0,3=α .t g
tr = 0,5 tg sampai tg
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam).
tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
tg = 0,4 + 0,058 L
tg =0,21 L0,7
dimana :
i tr
t
0.8 tr tg
O
Qp
2
0.3 Qp
0.3 Q
Gambar 3.20.
Gambar 2. 21 Sketsa HSS Nakayasu
2,4
t
Q p=
( )
Tp
dimana,
t = Waktu (jam)
(t−Tp )
T 0,3
Q( t )=Q p .0,3
( t −Tp+0,5 T 0,3 )
1,5 . T 0,3
Q( t )=Q p .0,3
Untuk menganalisis hidrograf satuan sintetis pada suatu DAS dengan cara ITB
perlu diketahui beberapa komponen penting pembentuk hidrograf satuan sintetis
berikut :
A. Tinggi dan Durasi Hujan Satuan
Tinggi hujan satuan yang umum digunakan adalah 1 inchi atau 1 mm. Durasi
hujan satuan umumnya diambil Tr = 1 jam, namun dapat dipilih durasi lain
asalkan dinyatakan dalam satuan jam (misal 0.5 jam, 10 menit = 1/6 jam). Jika
durasi data hujan semula dinyatakan dalam 1 jam, jika diinginkan melakukan
perhitungan dalam interval 0.5 jam, maka tinggi hujan setiap jam harus dibagi 2
dan didistribusikan dalam interval 0.5 jam.
B. Time Lag (TL), Waktu Puncak (Tp) dan Waktu Dasar (Tb)
1. Time Lag
Rumus standard untuk Time Lag yang digunakan adalah penyederhanaan
dari rumus Snyder sebagai berikut:
TL = Ct 0.81225 L0.6
Dimana :
TL = time lag (jam)
Ct = koefisien waktu (untuk proses kalibrasi)
L = panjang sungai (km)
2. Waktu Puncak
Waktu puncak (Tp) didefiniskan sebagai berikut :
Tp = TL + 0.50 Tr
3. Waktu Dasar
Untuk DAS kecil (A < 2 km2), menurut SCS harga Tb dihitung :
Tb = 3 Tp
Untuk DAS berukuran sedang dan besar harga secara teoritis Tb dapat
berharga tak berhingga (sama dengan cara Nakayasu), namun
prakteknya Tb dapat dibatasi sampai lengkung turun mendekati nol, atau
dapat juga menggunakan harga berikut :
Tb = (10 s/d 20)*Tp
C. Bentuk Hidrograf Satuan
Prosedur umum yang diusulkan dapat mengadopsi berbagai bentuk dasar HSS
yang akan digunakan. Beberapa bentuk HSS yang dapat digunakan antara lain
adalah SCS Triangular, SCS Cuvilinear, USGS Nationwide SUH, Delmarvara, Fungsi
Gamma dan lain-lain.
Selain itu kami telah mengembangkan dua bentuk dasar HSS yang dapat
digunakan yaitu bentuk HSS ITB-1 dan HSS ITB-2 sebagai berikut :
1. HSS ITB-1 memiliki persamaan lengkung naik dan lengkung turun seluruhnya
yang dinyatakan dengan satu persamaan yang sama yaitu
aCp
1
{
q(t )= exp 2−t−
t }
2. HSS ITB-2 memiliki persamaan lengkung naik dan lengkung turun yang
dinyatakan dengan dua persamaan yang berbeda yaitu
a. Lengkung naik (0 ≤ t ≤ 1) :
q(t) = ta
b. Lengkung turun (0 ≤ t ≤ 1) :
R A DAS
Qp=
3. 6 Tp A HSS
Dimana Qp = Debit puncak hidrograf satuan (m3/s), R = Curah hujan satuan (1
mm), Tp= Waktu puncak (jam), ADAS = Luas DAS (km2) dan AHSS = Luas HSS
tak berdimensi yang dapat dihitung secara exact atau secara numerik.
( t −Tp+0,5 T 0,3 )
2,0 . T 0,3
Q( t )=Q p .0,3
Hidrograf tak berdimensi SCS (Soil Conservation Services) adalah hidrograf satuan sintetis, di
mana debit dinyatakan sebagai nisbah debit (q) terhadap debit puncak (qp) dan waktu
dalam nisbah waktu (t) terhadap waktu naik dari hidrograf satuan ( Tp). jika debit puncak
dan waktu kelambatan dari suatu durasi hujan efektif diketahui, maka hidrograf satuan
dapat diestimasi dari hidrograf sintetis tak berdimensi untuk suatu DAS.
H. Probable Maximum Flood (PMF)
n
Qk U
i 1
i . Pn ( i 1)
dimana :
Berdasarkan pada data teknis Bendungan, lengkung kapasitas waduk dapat dilihat
pada gambar berikut di bawah ini.
Routing Waduk digunakan untuk mengetahui apakah dengan debit rancangan PMF,
waduk akan mengalami overtopping atau tidak. Jika tidak, maka analisis terhadap
keruntuhan bendungan akan disimulasikan hanya disebabkan oleh piping terkecuali
terdapat alasan lain yang disetujui oleh direksi pekerjaan.
Dimana :
S = fungsi tampungan
Q = hidrograf outflow
I = hidrograf inflow
∆t = interval durasi
Q=CLH 3/2
Dimana:
35
Elevasi (+ m)
30
25
20
0 4,000 8,000 12,000 16,000 20,000 24,000 28,000 32,000 36,000 40,000
Persamaan dasar yang digunakan dalam model simulasi adalah persamaan St.
Venant yang lengkap untuk aliran unsteady yang dikaitkan dengan persamaan batas
internal (internal boundary equations) sebagai aliran berubah cepat (rapidly varied flow)
lewat bangunan seperti bendung dan jembatan / timbunan yang dapat berkembang
menjadi rekahan yang tergantung pada waktu ( time dependent). Juga digunakan
persamaan batas external (external boundary equations) di ujung hulu dan hilir dari
routing reach. Sistem persamaannya diselesaikan dengan metode finite-difference implisit
4 titik timbang non-linier, disamping itu untuk software DBA (ZhongXing-HY21)
digunakan penyelesaian cara finite element. Alirannya dapat berupa aliran subkritis
maupun superkritis atau berupa kombinasi dari keduanya. Sifat zat cair dari aliran dapat
mengikuti prinsip-prinsip aliran Newton atau bukan (Newtonian or non Newtonian flow).
A. Rekahan
Para peneliti dari gelombang banjir akibat keruntuhan bendungan seperti Ritter
(1892), Schoklitich (1917), Dressler (1954), Stoker (1957) dan Barnes (1969)
menganggap bahwa rekahan tersebut meruntuhkan seluruh tubuh bendungan dan
terjadi secara mendadak. Sedangkan peneliti lain seperti Schoklitsch (1917) dan US Army
Corps of Engineers (1960) mengakui perlunya anggapan rekahan sebagian, dibandingkan
rekahan total, tetapi mereka masih menganggap bahwa rekahan terjadi secara
mendadak. Asumsi rekahan total dan kejut ini digunakan dengan alasan untuk
memudahkan bila diterapkan teknik matematika untuk menganalisis gelombang banjir
dari keruntuhan bendungan. Asumsi asumsi ini agak cocok bila dipakai untuk bendungan
beton pelengkung (concrete arch dam). Sedangkan untuk bendungan urugan maupun
concrete gravity dam kurang cocok.
Rekahan tersebut ada dua jenis, yaitu:
- Rekahan karena overtopping
Rekahan karena overtopping disimulasikan berupa rekahan yang berbentuk segi empat,
segitiga atau trapesium. Rekahan tersebut makin lama makin membesar dengan waktu
secara progresip dari puncak bendungan ke bawah sampai mencapai pondasi. Aliran
yang melewati rekahan diperhitungkan sebagai aliran melewati ambang lebar ( broad
crested Bendung).
Bentuk dari terminal breach ditentukan oleh parameter (Z) yang
mengidentifikasikan lereng samping dari rekahan, yaitu lereng vertikal : Z horisontal, dan
parameter (b) yang disebut lebar terminal dari dasar rekahan.
Rentangan (range) dari nilai parameter lereng samping Z adalah : 0<Z<2. Nilai ini
tergantung dari lereng alam dari material yang dipadatkan dan dibasahi. Bentuk-bentuk
segipanjang, segitiga atau trapesium ditentukan dengan menggunakan kombinasi nilai-
nilai Z dan b.
Lebar terminal b dihubungkan dengan lebar rata-rata dari rekahan b, kedalaman
rekahan h dan lereng rekahan (Z), sedemikian rupa sehingga :
ho 1
hb 2 h
hbm
Jika < 1 menit, lebar rekahan dimulai dengan nilai b bukan dari nol. Ini lebih
menunjukkan peristiwa kehancuran karena ambruk (collapse failure) dari pada
kehancuran karena erosi.
Elevasi dasar rekahan di simulasikan sebagai fungsi dari waktu () menurut
hubungan berikut ini :
dimana :
biasanya digunakan = 1
Lebar dasar kejut (b) dari rekahan di berikan sebagai hubungan sebagai berikut :
hd
hf
hbm
Debit yang keluar dari kedua macam rekahan tersebut merupakan hidrograf banjir
yang terjadi pada penampang melintang 0 (permulaan), yang harus ditelusur ke hilir di
sepanjang lembah sungai dengan metode “Unsteady flow”.
Cara lain untuk memeriksa kebenaran parameter rekahan (b bar dan ) adalah
dengan menggunakan persamaan berikut ini :
dimana :
Qp* = debit puncak yang diharapkan lewat rekahan.
Vr = volume waduk.
Persamaan (4) dikembangkan oleh Hagen (1962) untuk data historik bagi 14
keruntuhan bendungan dan menghasilkan lingkungan maksimum dari seluruh 14 buah
debit yang diamati.
Rumus (5) dan (6) dibuat Fread (1981) dan digunakan oleh National Weather
Service dalam Simplified Dam Break Model, SMP DBK (Wetmore dan Fread, 1984).
Setelah dipilih bbar dan , persamaan (5) dapat dipakai untuk menghitung Qp yang
kemudian dapat dibandingkan dengan Qp*, maka bbar kecil dan/atau terlalu besar.
Fread menemukan bahwa Persamaan (6) merupakan “over estimasi” debit puncak
untuk tiap kegagalan dari 21 bendungan, (termasuk 14 kegagalan yang disebutkan
sebelumnya, rata-rata 130%.
t = waktu
q = aliran masuk atau aliran keluar samping per jarak panjang menurut
sepanjang lembah (aliran masuk positif dan aliran keluar negatif)
g = percepatan gravitasi
Se = lereng pelebaran-penyempitan
Dalam persamaan momentum effect dari aliran samping yang masuk atau keluar
secara tegak lurus terhadap arah aliran pokok:
L’ = 0
L’ = 0,5qQ/A
L’ = qQ/A
Lereng gesekan batas (Sf) dalam persamaan (8) dihitung dari persamaan Manning
untuk aliran uniform dan persamaan :
dimana :
K = Kl + Kc + Kr
dalam mana indeks l dan r menunjukkan flood plain kiri channel dan flood plain
kanan. Faktor sinuosity’s merupakan perbandingan bobot (weighted ratio) dari jarak
sepanjang flood plain. Ini beragam dengan kedalaman aliran menurut hubungan berikut
ini :
2 2 2
1 . 06( K l / A l +K c / Ac +K r / A r )
=
( K l +K c +K r )2 /( A l +A c +A r )
= 1.06 bila karakteristik flood plain tidak ditentukan dan penampang totalnya
diperlakukan sebagai penampang komposit.
Se = (kce (Q/A)2 / 2g x)
(Q/A)2 = perbedaan dalam suku (Q/A)2 pada dua buah penampang yang
berdekatan berjarak x.
Kn = - Kce
Dimana :
= 3 jika Kce > 0
1
= 3 jika Kce > 0
1. MODEL MATEMATIS
Model mathematis persamaan Saint de Venant untuk aliran ”unsteady flow” pada
saluran terbuka adalah sebagai berikut :
∂Q ∂A
+ =0
∂x ∂t
...................................(1)
2 2
∂Q βQ ∂y Q
∂t ∂x A ∂x K ()
+ ∂ ( )+gA +gA 2 =0
.... ....................................(2)
Q = debit aliran
t = waktu
g = percepatan gravitasi
R = jari-jari hidrolis
∂A ∂ A ∂y ∂y
= . =W
Jika ∂t ∂ y ∂t ∂t ....................................................(4)
∂Q ∂y
+W =0
∂x ∂t ...................................................................(5)
∂Q ∂A
2 2β QA −βQ2
βQ ∂x ∂ x 2 βQ ∂ Q βQ2 ∂ A
∂ ( )= = −
Jika
∂x A A2 A ∂ x A2 ∂ x .. ....(6)
2 2
∂Q 2βQ ∂Q βQ ∂A ∂y Q
∂t
+
∂x K ( )
− 2 +gA +gA 2 =0
A ∂x A ∂x …..................(7)
φ
Known Q, y
Δt
Δx
J J+1 (X = Jarak)
∂Q 1
E1= = [ ( 1−φ)(QJN+1−Q NJ )+φ(QNJ+1+1−Q NJ +1)]
∂x Δx ......(8)
∂ y 1
E2=W =W [( y NJ +1−y Nj )+( y NJ+1+1−y NJ+1 ) ]
∂t 2 Δt ..........(9)
1
[ (1−φ )(QNJ +1 −QJN )+φ (Q NJ +1
+1
−Q NJ +1 ) ]
F(I)= Δx +
1
W [ ( y JN+1 − y Nj )+( y NJ +1
+1
− y JN+1 ) ]
2 Δt ...................(10)
∂Q 1 N+1 N
G1= = [ ( QJ+1 −Q J+1 )+(QN+1
J −Q N
J]
∂t 2Δt ....................(11)
2 βQ ∂Q 2 βQ
G2= = [ φ(Q NJ+1+1−Q NJ +1 )+(1−φ)(Q NJ+1+Q NJ ) ]
A ∂ x AΔx ......(12)
βQ2 ∂ A βQ2
G3=− 2 =− 2 [ φ( A JN+1 −A N+1
J )+(1−φ)( A N
J+1 + A N
J )]
A ∂x A +1
..(13)
∂ y gA
G4=gA ( )
∂x
= [( 1−φ)( yNJ+1−yNJ )+φ( y N+1
Δx
N+1
J+1 J )]
−y
………...
(14)
Q2
G5=gA 2
K ............................................................ ...........(15)
Maka :
F(I+1) = G1+G2+G3+G4+G5=0
.....................................................(17)
Persamaan F(I) dan F(I+1) merupakan persamaan non-linier dengan 4 bilangan yang
tidak diketahui, yaitu :
N +1 N +1 N +1 N+1
QJ ; Q J +1 ; y J ; y J +1
N +1
Dimana :
QJ = Debit pada section ke-J pada waktu ke- N+1
N +1
Q J +1 = Debit pada section ke-J+1, pada waktu ke N+1
N +1
yJ = Elevasi muka air pada section ke-J, pada waktu ke N+1
N +1
y J +1 = Elevasi muka air pada section ke-J+1, pada waktu ke
N+1
a. Kondisi batas atas (upper boundary condition), yang merupakan hydrograph inflow
PMF atau Q=f(t), yang menyebabkan keruntuhan bendungan (sejak terjadi rekahan
sampai kehancuran total).
b. Kondisi batas bawah (lower boundary condition), merupakan channel control control
atau rating curve H=f(Q), tinggi gelombang pasang di muara sungai, bangunan
struktur lanilla, misalnya tanggul, jalan kereta api, bukit, dan lain-lain tergantung
sampai batas mana banjir yang ditimbulkan oleh keruntuhan bendungan terjadi.
Setelah didapat sebanyak 2M bilangan tidak diketahui berupa debit aliran (Q) dan
elevasi muka air (y) dalam 2M persamaan, maka selanjutnya untuk mendapatkan
jawabannya digunakan metode Newton-Raphson yang diilustrasikan sebagai berikut di
bawah ini :
f 1 =( x 1 , x2 ,. .. , x n )=0
f 2 =( x 1 , x 2 ,. . ., x n )=0
↓
f n =( x 1 , x 2 , .. . , x n )=0
x 0=( x 1 , x2 , .. . , x n 0 )
Jika diberikan vektor nilai awal : 0 0 ,
↓
F n =f n ( x 10 + Δ1 , x 20 + Δ 2 , .. . .. .. . ., x n0 + Δ n )=0
↓
'
+ Δ2 f 'n +→ Δn f
'
F n =f n ( x 1 , x 2 , → , x n )+( Δ1 f nx nx )=0
0 0 0 1 x2 n
0 0 0
↓
( Δ1 f 'n + Δ2 f 'n +→ Δn f 'n )=− f n ( x1 , x 2 ,→ , x n )
x1 x2 xn 0 0 0
0 0 0
Persamaan di atas selanjutnya dapat dirubah menjadi bentuk Matriks Jacobi yang bersifat
banded sebagai berikut :
'
f 1x
1
f 1x
'
→
'
f 1x
1
Δ1 −f 1 ( x 10 , x 20 ,→ , x n0 )
0 2 0
0
|f
'
f '
→ f '2 | Δ −f 2 ( x 1 , x 20 ,→ , x n0 )
2x
1
0
2x
2
0
x n
0
| 2| = 0
↓ ↓ ↓ ↓ ↓
'
f nx
'
f nx →
'
f nx Δn −f n ( x 1 , x 2 ,→ , x n )
10 20 n0 0 0 0
f ( xi)
Δ i=− → x i +1 =x i− Δi →|Δi|<= ε
f ' ( xi )
x 1=( x1 , x 2 ,. .. , x n )
1 1 1 dst
Dimana output peta genangan tersebut di atas jika dioverlaykan dengan peta
wilayah administrasi yang mengcover wilayah pemukiman dan juga mengcover peta
infrastruktur dan fasilitas umum, maka akan didapatkan klasifikasi bahaya banjir
keruntuhan bendungan.
Tabel II- 12 Klasifikasi Bahaya Sesuai SK Dirjen SDA PU, tahun 2011
Jarak Bagian Hilir dari Bendungan (km)
Jumlah Keluarga
Kumulatif
0 – 5 0 – 10 0 – 20 0 – 30 0 - >30
0 1 1 1 1 1
1 – 20 3 3 2 2 2
21 – 200 4 4 4 3 3
>200 4 4 4 4 4
Keterangan :
Klasifikasi Bahaya = 1 : bahaya rendah
Klasifikasi Bahaya = 2 : bahaya sedang
Klasifikasi Bahaya = 3 : bahaya tinggi
Klasifikasi Bahaya = 4 : bahaya sangat tinggi
Penentuan zona bahaya pada setiap daerah terdampak didasarkan pada waktu
kedatangan banjir, kedalaman banjir dan kecepatan banjir. Dimana zona bahaya tersebut
akan menjadi acuan bagi BPBD dalam menentukan skala prioritas evakuasi dan
pengungsian. Untuk mendukung kegiatan penanganan pengungsian di wilayah hilir
waduk akan disusun alur komunikasi antar pejabat yang terkait dengan penanganan
bencana, mulai dari dilakukannya pemberitahuan akan terjadinya bencana sampai dengan
pengakhiran keadaan darurat. Sementara itu di wilayah hulu alur komunikasi yang terkait
dengan upaya penyelamatan bendungan juga akan dibuat dengan melibatkan berbagai
unsur yang terkait dengan pengamanan bendungan.
TDK
APAKAH TERJADI POTENSI
BENCANA?
YA
KEPALA SUB UPB MELAKUKAN PENINGKATAN PEMANTAUAN Bupati
KA. DINAS PU
KEPALA UPB MELAPOR KE KABID OP DAN BPBD
KA . BALAI WILAYAH SUNGAI
TDK
YA
TDK
APAKAH AKAN TERJADI
POTENSI KERUNTUHAN
BENDUNGAN?
YA
Dir. Bina OP
Nama :
Telp. Kantor :
No. HP : Ka. Pelaksana BPBD BMKG
Nama : Nama :
Telp. Kantor : Telp. Kantor :
No. HP : No. HP :
Ka. Balai Bendungan
Nama :
Telp. Kantor : RSUD
Ka. Polres
No. HP : Nama :
Nama :
Telp. Kantor : Telp. Kantor :
No. HP : No. HP :
Dandim
Nama : Radio:
Telp. Kantor : Nama :
No. HP : Telp. Kantor :
No. HP :
Ka. Dinas PU
Nama :
Telp. Kantor :
No. HP :
Ka. Dinhubkominfo
Nama :
Telp. Kantor :
No. HP :
SAR
Nama :
Telp. Kantor :
No. HP :
-Muka Air Waduk (MAW) . EL. 40,40 m, Kepala UPB Bendungan lapor ke Kabid OP dan Pemantauan 24 jam untuk ketinggian muka air Muka air - Ka BBWS
dimana air yang keluar waduk > 48 Ka BBWS , koordinasi dgn BMKG. waduk dan curah hujan, dan lakukan pelepasan waduk dan
m 3/det. Segera memberitahu Tenaga Ahli BBWS , dan air melalui bangnan operasi irigasi dan air baku curah hujan
- Intensitas hujan total > 173 mm pada Waspada selanjutnya ke Tim Pemantauan Bendungan dengan ketentuan sesuai yang diberlakukan
stasiun penakar hujan di waduk selama Pusat, dan ke Bupati cq Dinas PU dalam Prosedur pembukaan pintu pada
> 6 jam. Bendungan , Siaga banjir BBWS dan
Kabupaten diberlakukan
- Muka air waduk mencapai EL. 41,25 Kepala UPB Bendungan lapor ke Kabid OP dan - Pemantauan 24 jam untuk ketinggian muka air Muka air Di Bendungan
dan cenderung meningkat terus. Ka Balai BWS , serta koordinasi dgn BMKG. waduk dan curah hujan, dan lakukan pelepasan waduk dan - Ka Balai BWS
- Air yang keluar dari waduk > 99 m 3/det Segera memberitahu Tenaga Ahli BBWS air melalui bangunan pengeluaran dengan curah hujan Di Hilir
-Intensitas hujan total > 300 mm pada selanjutnya Tim Pemantauan Bendungan Pusat, ketentuan sesuai yang diberlakukan dalam - Bupati
LEVEL MUKA AIR
stasiun penakar hujan di waduk selama dan ke Bupati cq Dinas PU dan selanjutnya Prosedur pembukaan pintu pada Bendungan .
WADUK NAIK Siaga
> 6 jam. BPBD melakukan pengungsian penduduk di zona Siaga banjir BBWS dan Kabupaten
DENGAN CEPAT
bahaya 1. diberlakukan
BERPOTENSI
- Mulai lakukan pengungsian penduduk di daerah
OVERTOPPING
zona bahaya 1. Pemantauan diteruskan
PADA
BENDUNGAN
- Muka air waduk mencapai EL. 41.75 ; Kepala UBP Bendungan lapor ke Kabid OP dan - Buka semua pintu pengeluaran air, berusaha Muka air Di Bendungan
dimana tinggi jagaan tinggal 25 cm dan Ka Balai BWS , serta koordinasi dgn BMKG. menurunkan muka air waduk sampai elevasi waduk dan - Ka Balai BWS
cenderung meningkat terus. Segera memberitahu Tenaga Ahli BBWS normal dengan ketentuan sesuai yang curah hujan Di Hilir
selanjutnya Tim Pemantauan Bendungan Pusat, diberlakukan dalam Prosedur pembukaan pintu - Bupati
Awas
dan ke Bupat cq Dinas PU dan BPBD pada Bendungan . Siaga banjir BBWS dan
melakukan pengungsian penduduk di zona Kabupaten diberlakukan
bahaya 2. Dan zona 1 yang belum sempat - Pengungsian penduduk di daerah zona bahaya
mengungsi 2 dan 1 yang belum sempat mengungsi.
Berikut disajikan metodologi inspeksi visual yang akan dilakukan oleh konsultan
penyedia jasa.
2.3.1. Konsepsi pemeriksaan visual
Pemeriksaan visual merupakan bagian dari kegiatan pemantauan yang sangat penting
untuk menjaga keamanan, fungsi dan umur layanan bendungan. Secara rutin inspeksi visual perlu
dilakukan terhadap:
Pemeriksaan visual yang disertai dengan evaluasi pada catatan data hasil monitoring
instrumentasi akan mampu memberikan gambaran kondisi bendungan yang lengkap baik yang
terlihat di permukaan maupun di dalam tubuh bendungan.
a. Lokasi : lokasi atau posisi setiap daerah atau kondisi yang dicurigai atau menimbulkan tanda
tanya harus digambarkan secara akurat agar dapat dilakukan evaluasi secara tepat.
b. Ukuran dan luas : perlu dicatat pula panjang, lebar, kedalaman atau tinggi setiap
daerah/bagian yang dicurigai bermasalah (daerah basah, retakan, dll).
c. Deskripsi detail : pencatatan juga harus mencakup semua hasil observasi atau penjelasan rinci
mengenai suatu kondisi.
Agar catatan pemeriksaan konsisten dan pemeriksaan memperoleh hasil yang terbaik,
pelaksanaan pemeriksaan visual hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
Lereng hulu
Puncak bendungan
Lereng hilir
Pengamatan rembesan
Bangunan pengeluaran
Bangunan pelimpah
Tepian waduk
Semua rembesan yang muncul di dekat bendungan, baik yang berasal dari waduk maupun
dari luar waduk, apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat berkembang menjadi ancaman bagi
keamanan bendungan. Semua rembesan tersebut harus selalu dipantau, dan mendapatkan
perhatian yang khusus apabila ditemui hal-hal sebagai berikut :
a. Pencarian: Rembesan dapat terjadi tanpa terlihat oleh inspektor, oleh karena itu perlu
dilakukan pencarian secara intensif pada seluruh daerah hilir bendungan, dimana
rembesan dapat muncul. Terkadang pada daerah tertutup rumput pendekpun rembesan
tidak terlihat dan untuk menemukannya, daerah tersebut harus dijalani.
b. Pemeriksaan atau penyelidikan: Kegiatan ini dapat membantu mengenali batas-batas
daerah yang jenuh, tingkat kebasahan atau kejenuhan, dan kedalaman permukaan yang
jenuh.
c. Perbedaan tumbuhan: Tanaman yang tumbuh di daerah lembab, sering jenisnya berbeda
dengan daerah sekitarnya atau berwarna lebih hijau atau lebih subur dibanding tanaman
sekitarnya. Bila perbedaan ini di temukan. Daerah tersebut harus segera diperiksa dengan
teliti.
d. Bekas tapak kaki: Kedalaman tapak kaki yang ditinggalkan oleh petugas inspeksi pada
daerah basah atau jenuh, dapat memberi pertanda seberapa jauh lunaknya permukaan
timbunan atau permukaan tanah.
Problem-problem rembesan yang sering dijumpai di waduk yaitu, air waduknya itu
sendiri, aktifitas binatang pengerat, pelaksaaan konstruksi yang tidak baik, penyusutan material
urugan, penurunan di dalam urugan atau pondasi, bagian dalam pipa pengeluaran pecah, retakan
dan kekar dalam formasi geologi, terdapat lapisan kerikil atau pasir, dan drainase tidak memadai
sehingga menyebabkan air mengumpul di belakang struktur.
Rembesan yang berlebihan akan membawa material-material urugan, dan apabila hal ini
berlangsung terus-menerus maka akan dapat mengerosi material urugan yang pada akhirnya akan
menyebabkan keruntuhan bendungan. Untuk itu perlu diperiksa terhadap jumlahnya
(berlebihan/tidak), warnanya (keruh/jernih), daerah jenuh, dan vegetasi pada suatu daerah yang
tampak lebih subur pertumbuhannnya dibanding daerah lainnya.
Kesempatan terbaik untuk melakukan pemeriksaan pada lereng hulu adalah pada saat
muka air waduk surut atau waduk kosong. Pada kondisi tersebut segera lakukan pemerikasan,
periksa daerah lereng yang turun (settlement area), kegiatan binatang pengerat, lubang benam
(sinkhole), dan longsoran yang mungkin terjadi. Periksa pula dasar waduk terhadap kemungkinan
adanya lubang benam atau penurunan.
Dengan kegiatan pemeriksaan yang cermat dan teratur, akan dketahui setiap adanya
perubahan dari konsisi sebelumnya yang dapat merupakan pertanda adanya problem keamanan
bendungan. Dengan pemeliharaan yang sungguh-sungguh, akan dapat dicegah berkembanganya
problem tersebut menjadi lebih buruk. Bila ditemukan kondisi yang meragukan atau
menimbulkan tanda tanya, segera laporkan atau konsultasikan dengan enjiner atau tenaga ahli
yang ada di Satuan Pemantau Bendungan (SPB) atau Unit Monitoring Bendungan (UMB). Tindak
lanjut yang tepat pada kondisi yang perlu perhatian, akan dapat menjaga keamanan, fungsi dan
umur layanan bendungan.
Beberapa hal yang sering muncul pada lereng hulu, pada umumnya berupa (1) retak, (2)
longsor, dan (3) rusaknya pelindung lereng. Dua dari tiga kondisi di atas yaitu retak dan longsoran,
dapat dijadikan sebagai indikator adanya permasalahan yang serius pada tubuh bendungan.
Mengenali adanya retakan tidak mudah, petugas inspector harus melakuakan inspeksi dengan
cermat terhadap seluruh permukaan lereng hulu dengan berjalan kaki. Retakan mungkin hanya
selebar 2 sampai 5 cm namun memiliki kedalaman 50 cm sampai 100 cm. Untuk retak susut
biasanya memiliki kedalaman kurang dari 50 cm. Adanya garis atau daerah pergeseran riprap yang
memanjang sampai 6 m lebih, sering merupakan pertanda adanya retakan di bawah riprap. Retak
dan deformasi dapat menjadi pertanda adanya pergerakan fondasi, konsolidasi, erosi di dalam
urugan, ketidak stabilan urugan, keruntuhan timbunan atau terjadinya longsoran. Seperti retakan,
longsoran atau gelinciran juga tidak mudah dikenali. Kenampakannya sering tidak terlihat,
mungkin hanya berupa penurunan sebesar 60 cm atau tonjolan dari kondisi kemiringan lereng
yang normal.
Berikut ini disampaikan beberapa prosedur yang harus dilakukan dalam pemeriksaan
lereng hulu :
a. Agar tidak ada bagian lereng hulu yang terlewatkan dalam pemeriksaan, pemerikasaan
dilakukan dengan jalan kaki yang bila mungkin dengan lintasan zig-zag pada lereng seperti
gambar ilustrasi di halaman sebelumnya ,
b. Pada lerang sering dijumpai adanya garis air yang melintang sepanjang lereng bendungan
yang merupakan bekas dari pergerakan muka air waduk, garis air ini merupakan pertanda
adanya perubahan keseragaman pada lereng,
c. Pemeriksaan hendaknya diawali dari salah satu ujung bendungan, pada titik awal garis air
tersebut petugas pemeriksaan hendaknya berhenti untuk melihat kondisi lereng pada
sepanjang garis air. Bila terlihat adanya retakan, puncak dan lereng bendungan pada daerah
tersebut hendaknya diperiksa dengan teliti dan dicatat setiap perubahan yang terjadi pada
daerah tersebut yang terkait dengan retakan di lereng hulu,
Pelaksanaan pemeriksaan lereng hulu seringkali menemukan permasalahan yang terkait
dengan material lereng, sebagai berikut:
a. Tanpa pelindung lereng: berupa tanah timbunan yang terbuka langsung terhadap aktifitas
gelombang sehingga rentan terhadap erosi. Material tanah hanya cocok bagi bendungan
kecil dengan lereng landai agar tidak terjadi erosi. Bila terjadi erosi lereng perlu diberi lapis
pelindung. Problem yang sering ditemui: retak, longsor, lubang benam, erosi, penurunan,
tumbuh-tumbuhan.
b. Rip-rap: berupa batu-batu yang didesain dengan diameter dan ketebalan tertentu untuk
mencegah tererosinya timbunan dari hempasan gelombang air waduk. Batu yang digunakan
harus dipilih dengan diameter yang tidak seragam atau bervariasi agar tercipta hubungan
diantara batu-batu yang saling mengunci (interlocking). Lereng harus cukup landai sehingga
batu tidak menggelinding ke bawah. Problem yang sering ditemui: rusak/lepas rip-rap
dikarenakan pelapukan, bergesernya riprap, dan erosi di belakang atau di bawah riprap.
c. Beton: Terbuat dari pelat beton yang dipasang menutupi permukaan lereng. Sambungan
diantara pelat beton harus rapat atau kedap air untuk mencegah terjadainya erosi material
timbunan di belakang pelat beton. Problem yang sering ditemui: retak pada permukaan
beton, kurang kedap air, retak karena penurunan tidak merata, terbukanya sambungan/nat.
d. Semen tanah (Soil Cement): adalah merupakan campuran antara tanah lempung yang
dihancurkan, semen dan air. Bila campuran ini dikonstruksi secara benar, terhadap
hempasan gelombang. Problem yang sering ditemui adalah: retak.
e. Perkerasan aspal: berupa beton yang biasanya dengan lapisan pelindung semen aspal
(asphalt mastic), yang diletakkan di atas gravel. Untuk menaikkan tingkat kedap air
perkerasan aspal ini, kadang-kadang diantara lapisan beton aspal pertama (upper
impermeable layer) dengan lapisan gravel ditambahkan lagi lapisan drain dan lapisan beton
aspal kedua (lower impermeable laer) sebagai lapis kedap air bawah, serta di bawah gravel
dipasang transisi. Problem yang sering ditemui: kemerosotan mutu pada aspal dan retak
karena penurunan.
f. Baja: berupa pelat baja yang dilas satu sama lain yang dilengkapi dengan sambungan-
sambungan kontraksi (expansion-contraction joint). Problem yang sering ditemui adalah:
retak, degradasi dan sambungan kontraksi.
Pemerikasan pada puncak bendungan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapis atas
jalan, retakan, penurunan, darinase, pergerakan, kondisi pagar pengaman, dan lain sebagainya.
Pada kondisi normal, kerusakan dapat diperbaiki dengan pemeliharaan rutin/normal, namun pada
kondisi tertentu, akan diperlukan pemeriksaan lanjutan. Beberapa hal yang perlu perhatian
khusus pada pemeriksaan puncak bendungan adalah retak memanjang dan retak melintang.
Retak melintang dapat menjadi pertanda adanya perbedaan penurunan atau pergerakan
diantara bagian-bagian bendungan. Retak melintang biasanya berupa retakan tunggal atau
menyerupai bentuk retakan tunggal yang berarah melintang yang mudah dibedakan dengan retak
susut. Retak melintang sangat berbahaya terhadap keamanan dan keutuhan bendungan. Bila
retakan ini telah berkembang sampai di bawah permukaan air waduk, rembesan akan
berkembang melalui tubuh bendungan yang diikuti dengan aliran buluh dan bila tidak segera
ditangani akan terjadi keruntuhan bendungan.
Di bawah ini disajikan beberapa kondisi yang dapat dijumpai saat pemeriksaan pada
puncak bendungan. Sebagian besar kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan pemeliharaan rutin
dan berkala, dan beberapa kondisi memerlukan perhatian tenaga ahli yang berpengalaman,
karena dapat mengancam keamanan dan keutuhan bendungan:
Lereng hilir bendungan sangat penting dalam pemeriksaan, karena problem sering muncul
pada daerah ini. Pemeriksaan pada daerah ini harus dilakukan secara cermat dan rinci untuk
menjaga keandalan keamanan bendungan. Sangatlah penting daerah ini bebas dari kondisi yang
tidak jelas. Bila dijumpai adanya retakan, longsoran dan rembesan baru, petugas O&P bendungan
harus segera melaporkan keadaan ini kepada atasannya/ enjineer. Pada kondisi normal,
kerusakan yang dijumpai dapat diperbaiki dengan pemeliharaan rutin, namun pada kondisi
tertentu, diperlukan investigasi oleh konsultan yang berpengalaman.
Hal-hal yang perlu perhatian khusus terhadap lereng hilir bendungan terkait dengan
keamanan bendungan adalah retak, longsor, dan rembesan atau daerah basah.
Terdapat dua jenis material yang lazim digunakan pada lereng hilir bendungan, yaitu
timbunan tanah dan batu. Timbunan tanah biasanya dilindungi dengan gebalan rumbut untuk
mencegah erosi permukaan. Bahan timbunan biasanya sambil dari lokasi sekitarnya sehingga
untuk keperluan perbaikan tidak mengalami kesulitan material.
Problem yang sering ditemui pada lereng hilir bendungan adalah: erosi, retak
memanjang/melintang, longsor, slump, lubang benam, rembesan, erosi buluh, aliran drainasi
membesar atau mengecil dan kerusakan lereng. Beberapa problem dapat langsung ditangani oleh
petugas lapangan, namun bagi problem yang cukup berat penanganannya harus mendapat
arahan dari tenaga ahli.
Dalam rangka menjaga keamanan bendungan, lereng perlu dilindungi dengan batu lapis
lindung (rip-rap) dan ditanami dengan rumput pelindung, material dipadatkan dengan baik,
retakan dan liang-liang binatang harus disumbat, pohon-pohon besar dan semak-semak harus
dibuang, serta sisi luar urugan perlu dipagari dari binatang-binatang ternak.
Agar pemeriksaan pada bangunan pengeluaran (outlet system) dapat dilakukan dengan
baik harus dibuat rencana yang matang dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, karena perlu
dilakukan penutupan aliran dan pemompaan daerah yang tergenang. Pemeriksaan dilakukan bila
dijumpai adanya problem pada bangunan pengeluaran.
Secara umum konfigurasi komponen bangunan pengeluaran adalah sebagai berikut ini :
a. Pipa ventilasi udara – pipa yang didesain untuk mengalirkan udara ke dalam saluran
pengeluaran guna mengurangi turbelensi saat pengeluaran air. Udara tambahan biasanya
diperlukan di hilir tempat penyempitan, misalnya di belakang katup.
b. Blok bantalan tekan – blok beton yang menopang atau menyangga alat pengatur
pengeluaran dan menyerap gaya yang diberikan oleh stang/batang bila katup dibuka atau
ditutup.
c. Penyaring sampah – kisi/tirai atau teralis yang ditempatkan di luar bangunan pengeluaran,
dan direncanakan untuk menjaga agar sampah/debris tidak masuk dan menyumbat konduit
tersebut.
d. Ring penyekat rembesan – ring dari logam atau beton yang dibangun di sekeliling sisi luar
dari konduit pengeluaran dan direncanakan untuk membatasi aliran air rembesan tidak
mengerosi kaki bendungan.
Kavitasi: ketika air mengalir melalui suatu sistem pengeluaran melewati hambatan-hambatan
(contoh: katup-katup), maka dapat terjadi penurunan tekanan pada air. Jika tekanan air
setempat turun di bawah tekanan uap air, maka akan terjadi kondisi hampa udara, dan air
seperti mendidih, sehingga menyebabkan rongga di dalam air yang mengalir. Rongga ini yang
kemudian pecah dan menyebabkan gelombang kejut yang dapat merusak pipa pengeluaran
atau katup pengontrol. Proses ini disebut kavitasi, dan dapat menjadi suatu masalah yang
serius bagi bendungan-bendungan yang tinggi dimana kecepatan alirannya tinggi.
Kavitasi dapat dikurangi dengan mengaliri udara melalui pipa ventilasi di suatu titik di hilir
katup pengatur, di tempat dimana diperkirakan akan terjadi penurunan tekanan. Pipa
ventilasi akan membangkitkan tekanan atmosfir sehingga tidak terjadi ruang hampa udara,
dan kavitasi dapat dihindari.
Konduit pengeluaran menjadi bertekanan disebabkan oleh katup hilir yang tidak mempunyai
pintu pengamanan di hulu (upstream guard gate).
a. Lubang bocoran berkembang disebabkan oleh karat, kavitasi, penurunan (settlement), dan
lain-lain pada pipa. Air rembesan mengalir ke dalam urugan dan sepanjang konduit ke kaki
bendungan.
b. Lubang bocoran di dalam konduit meluas dan rembesan meningkat. Keruntuhan karena erosi
buluh mulai terjadi dan berkembang ke arah hulu.
c. Keruntuhan karena erosi buluh berhenti setelah mencapai lubang bocoran pada konduit
pengeluaran. Waduk menjadi kosong dan menghanyutkan sebagian bendungan dan bagian
hilir dari konduit.
b. Lubang bocoran pada konduit membesar, rembesan meningkat, erosi buluh mulai terjadi dan
berkembang ke dalam waduk. Terjadi lubang benam yang berkembang di lereng hulu.
c. Lubang benam membesar dan air waduk keluar malalui konduit pengeluaran.
Katup Hulu. Konduit pengeluaran menjadi bertekanan karena adanya hambatan atau
runtuhan di bagian hilir pipa.
a. Terbentuk lubang bocoran yang disebabkan oleh karat, dan lain-lain. Runtuhan/ hambatan
sebagian konduit, menyebabkan air merembes ke dalam tubuh bendungan.
b. Lubang bocoran membesar karenan tambahan aliran dan terjadi rongga di atas pipa. Aliran
air yang menekan, secara perlahan akan mengerosi urugan tubuh bendungan.
c. Rongga runtuh, membentuk lubang benam di lereng hilir. Waduk tidak menjadi kosong
karena katup pengontrol hulu tidak rusak.
Pemerikasan pada bangunan sistem pengeluaran diperlukan untuk memastikan bahwa
sistem ini dapat berfungsi dengan baik serta untuk menemukan kemungkinan adanya problem
yang dapat menyebabkan kegagalan. Uji pada bangunan pengeluaran:
a. Semua katup dan pintu harus dibuka penuh dan ditutup paling tidak sekali dalam satu tahun.
Hal ini berguna untuk mengendalikan berkembangnya karat pada pemegang stang pintu dan
frame pintu serta untuk memeriksa kemampuan atau gerakan operasi sistem pengeluaran.
Terjadinya gerakan sentakan atau gerakan tidak teratur pada katup/ pintu, menandakan
adanya problem yang memerlukan pemeriksaan lebih dalam.
b. Sistem harus diperiksa sampai bukaan penuh, buka katup perlahan-lahan untuk memeriksa
suara gaduh dan getaran. Katup pada posisi tertentu, mungkin akan menimbulkan turbulensi
yang lebih besar, periksa atau dengarkan suara yang timbul, suara mirip kerikil yang terbawa
aliran di dalam pipa, menandakan adanya proses kavitasi. Hindarkan pembukaan katup atau
pintu pada posisi tersebut.
c. Periksa kesiapan operasi seluruh sistem peralatan mekanik dan listrik yang terkait dengan
operasi sistem pengeluaran. Sumber listrik untuk operasi sehari-hari maupun cadangan dan
penerangan harus berfungsi seperti yang direncanakan dan harus dalam kondisi baik.
Hal-hal khusus atau problem yang sering ditemukan pada bengunan pengeluaran :
Fungsi utama bangunan pelimpah adalah untuk melewatkan air banjir dengan aman.
Pemeriksaaan yang dilakukan pada bangunan pelimpah umumnya menyangkut dua hal yang
menjadi indikasi akan terjadinya masalah, yakni: terjadinya erosi, dan deformasi bangunan, yang
diindikasikan oleh adanya kerusakan pada lantai, dinding bangunan pelimpah, dan kolam olak
berupa penurunan dan retakan.
Terdapat empat jenis problem yang dapat mengganggu fungsi pelimpah. Bila salah satu
dari problem ini timbul, segera lakukan langkah perbaikan.
a. Hambatan aliran
Saluran pelimpah sering terhambat alirannya oleh rumput atau gulma air yang tumbuh
subur, semak yang lebat, pohon-pohon, sampah, batang kayu atau endapan longsoran.
Segala hambatan tadi bila ditemui harus segera disingkirkan.
b. Hilangnya ketahanan terhadap erosi
Setelah hujan badai, akan terjadi banjir besar lewat pelimpah. Erosi yang pernah sampai
terhanyut ke pelimpah pada formasi batu pasir, granit lapuk, lempung atau endapan lanau,
sangat rentan terhadap erosi sehingga perlu perlindungan terhadap erosi. Erosi juga dapat
terjadi pada lantai pelimpah bila kualitas betonnya rendah.
c. Kemerosotan mutu
Pelimpah yang telah mengalami kemerosotan mutu tidak akan dapat berfungsi dengan baik.
Yang dimaksud dengan kemerosotan mutu antara lain : runtuhnya lereng, pelapukan
material, rusaknya rip-rap, retak, pecah atau robohnya dinding dan lapisan penguat, erosi
pada saluran pengarah, pelumpuran yang berlebihan pada kolam olak, dan hilangnya
tanaman rumput pelindung. Bila hal tersebut terjadi akan menyebabkan erosi yang parah
pada pelimpah dan daerah sekitarnya. Segera setelah diketahui adanya salah satu dari
kemerosotan mutu, lakukan perbaikan yang diperlukan.
d. Retakan
Retakan susut pada saluran tanah pelimpah, umumnya tidak akan mengganggu fungsinya.
Hilangnya batuan rip-rap dapat dianggap sebagai “crack” pada lapisan pelindung yang harus
diperbaiki. Retakan pada dinding beton adalah merupakan kondisi yang sering terjadi.
Retakan mungkin disebabkan oleh penurunan yang tidak merata pada pondasi, pergeseran
plat beton, atau tekanan air pori yang berlebihan. Retakan besar dapat menyebabkan air
menghanyutkan material halus ke bawah atau di belakang plat beton, hal ini menyebabkan
erosi dan mendorong terjadinya retakan yang lebih parah. Retakan yang parah dapat
menyebabkan plat beton tergeser jauh, yang bila dibiarkan plat akan hanyut terbawa aliran.
Retakan yang parah harus diperbaiki dengan supervisi dari tenaga ahli.
Kerusakan yang sering dijumpai dan cara inspeksi secara umum adalah sebagai berikut:
a. Retak – Retak rambut biasanya tidak membahayakan. Retak yang lebar harus diperiksa
dengan hati-hati. Catat lokasinya, lebar, panjang, dan arah retak. Tentukan apakah beton
sekitar retakan telah merosot mutunya atau apakah tulangan betonnya terlihat.
b. Pecah/lepas – Proses kimia, kontaminasi dan agregat yang tidak baik dapat menyebabkan
pecah atau lepasnya permukaan beton. Bila terjadi cukup luas, buat gambar sketsa daerah
yang lepas menunjukkan panjang, lebar, dan kedalaman dari daerah itu. Periksa apakah
beton yang tersisi menunjukkan kemerosotan mutu atau terlihatnya besi beton. Ketuk-ketuk
beton dengan palu untuk mengetahui apakah terdapat rongga di bawah permukaan beton.
Lepasnya beton yang dangkal perlu diperiksa dari waktu ke waktu. Yang lepasnya dalam,
harus segera diperbaiki oleh petugas yang berpengalaman.
b. Longsor
Longsor dalam skala besar yang terjadi pada bukit dekat bendungan atau pelengkapnya dapat
membahayakan keamanan bendungan, antara lain:
Longsor yang jatuh ke dalam waduk dapat mengakibatkan gelombang besar yang
meneyebabkan air waduk melimpah di atas bendungan.
Longsor dapat menutup/menghalangi alur air ke bangunan pelimpah sehingga pelimpah
tidak berfungsi dengan baik pada saat terjadi banjir besar.
Longsor juga dapat menutup/menghalangi alur air ke bangunan pengambilan maupun
bangunan pengeluaran bawah (bottom outlet) sehingga system pengeluaran air tidak
berfungsi dengan baik.
c. Bocor
Bocor dapat terjadi pada bukit yang tipis, pada bukit dengan batuan yang lulus air atau
mengandung rongga-rongga, maupun yang lapisannya sedemikan rupa hingga dapat
terbentuk alur air keluar dari waduk. Walaupun tidak secara langsung membahayakan
keamanan bendungan, namun dapat berpengaruh besar khususnya pada waduk yang tidak
besar, dan secara psikologis berdampak kurang baik kepada masyarakat di hilir bendungan.
Menyumbat atau menghambat alur hidraulik yang mengurangi kapasitas pengeluaran, atau
Merusak peralatan pengeluaran yang menyebabkan system pengeluaran tidak dapat
dioperasikan dengan aman.
e. Sedimentasi
Sedimen yang menumpuk di depan pintu pengembilan atau pintu pengeluran bawah
dapat mengganggu operasi pintu, antara lain:
Mengurangi kapasitas daya tampung waduk, yang berarti akan mengurangi kapasitasnya
dalam menahan air banjir sebelum dilewatkan melalui bangunan pelimpah pada penelusuran
banjir besar.
Dapat menutup/menghambat system pengeluaran termasuk pengeluaran bawah (bottom
outlet) yang akan menghambat operasinya, khususnya guna mengevakuasi air waduk pada
saat diperlukan.
Sedimentasi pada waduk dipengaruhi oleh kondisi permukaan daerah tangkapan air,
misalnya oleh tanaman/tumbuhan penutup lahan, pola penggunaan lahan, kemiringan dan
struktur lahan, dan kemiringan sungai yang masuk ke waduk. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
mengecek laju sedimentasi, baik secara visual pada saat muka air waduk surut oleh petugas
lapangan, ataupun dengan pengukuran sebagai bagian dari pemantauan keamanan bendungan.
Inspeksi visual daerah sekitar waduk pada bendungan kecil/ sedang dapat dilakukan
dengan cara berjalan kaki, menggunakan sepeda/ sepeda motor, teropong untuk melihat daerah
yang jauh atau tidak dapat dicapai, dan perahu (petugas dilengkapi pelampung). Untuk
bendungan besar atau waduk yang luas, diperlukan sepeda motor, motor boat dengan
pelampung, dan teropong.
Jika kegiatan survey Sosek dan analisis kelembagaan telah selesai, maka bersama
dengan hasil analisis DBA dapat dilanjutkan dengan kegiatan analisis kerugian,
klasifikasi hazard dan klasifikasi kebencanaan.
G. Hasil kajian ulang terhadap hasil pemeruman waduk akan digunakan untuk membuat
lengkung hubungan antara elevasi, volume dan area waduk (H-V-A Curve).
H. Pengukuran potongan memanjang dan melintang sungai di hilir waduk, disamping
akan digunakan sebagai dasar deliniasi peta DEM juga akan digunakan untuk
menghitung kapasitas alir sungai. Kegiatan tersebut diakhiri dengan pemasangan
patok-patok BM di sepanjang jalur pengukuran.
I. Analisis DBA dilakukan dengan menggunakan data yang telah diupdate agar peta
banjir yang dihasilkan dapat benar-benar menginterpretasikan keadaan banjir akibat
keruntuhan bendungan yang sesungguhnya.
J. Peta banjir hasil analisis DBA selanjutnya digunakan sebagai dasar merencanakan
peta jalur evakuasi dan penetapan lokasi pengungsian dengan kriteria sebagai berikut
di bawah ini, disamping untuk mengetahui secara pasti wilayah terdampak yang
harus dikaji lebih rinci dalam kaitannya dengan Penduduk Terkena Risiko (Penris).
Jalur Evakuasi
1. Jalur evakuasi harus dipilih sedemikian rupa sehingga jarak dari lokasi asal ke
lokasi pengungsian adalah merupakan alternatif jalur yang terdekat.
2. Jalur evakuasi harus dapat dilalui kendaraan pengangkut pengungsi termasuk
ketersediaan jembatan dan sejenisnya. Jika tidak terdapat alternatif jalur yang
layak, seyogyanya dapat direkomendasikan ke Pemerintah Daerah untuk
mempersiapkan infrastruktur pendukung evakuasi.
3. Jalur evakuasi tidak menentang arah datangnya banjir dan juga tidak
menyeberang sungai utama pusat tersedianya banjir.
4. Jalur evakuasi cukup dikenal oleh pengemudi kendaraan pengungsi yang
memahami dengan benar tentang keselamatan berkendara.
Lokasi Pengungsian
1. Luas areal pengungsian memadai untuk dijadikan pengungsian dengan
lingkungan yang sehat.
2. Aman terhadap bahaya bencana banjir.
3. Aman terhadap tindak kejahatan atau kriminalitas.
4. Tersedia air bersih dan fasilitas sanitasi (MCK).
5. Tersedia sarana dan prasarana penerangan.
6. Tersedia sarana prasarana kesehatan yang memadai.
7. Tersedia tempat untuk mendirikan dapur umum.
8. Harus mempertimbangkan daya dukung areal pengungsian yang diperkirakan
setiap orang membutuhkan 6 m2.
9. Lokasi pengungsian hendaknya mudah dijangkau oleh tim bantuan kemanusiaan
lainnya seperti PMI, Relawan, BPBD, dan lain-lain.
Jika kegiatan tersebut di atas telah diselesaikan, maka jalur evakuasi dan lokasi
pengungsian siap untuk disosialisasikan.
K. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan survey rinci terhadap karakter sosial ekonomi
penduduk di wilayah terdampak adalah kegiatan analisis Sosek yang terdiri dari
analisis kerugian, analisis klasifikasi hazard bendungan sesuai dengan SK Ditjen SDA
Nomor 257/KPTS/D/2011 dan klasifikasi zona kebencanaan di hilir waduk yang terbagi
dalam katagori Abnormal, Waspada, Siaga dan Awas.
L. Disamping kegiatan survey rinci yang dilanjutkan dengan masing-masing analisisnya,
terdapat kegiatan pelaporan yang penyusunannya berjadwal paralel dengan kegiatan
survey rinci, yaitu penyusunan Konsep Laporan Antara yang finalisasinya diharapkan
bersamaan dengan berakhirnya analisis terhadap peta banjir dan peta jalur
evakuasi/pengungsian, analisis kerugian serta klasifikasi hazard dan klasifikasi
kebencanaan dan survey potongan memanjang/melintang sungai serta pemasangan
patok. Dimana konsep Laporan Antara tersebut siap dibahas guna
penyempurnaannya.
M. Kegiatan pembahasan Laporan Antara diharapkan dapat dilakukan tepat pada
pertengahan penugasan konsultan untuk mendapatkan masukan penyempurnaan
dan sekaligus pengesahan dari direksi pekerjaan.
N. Sementara itu dengan selesainya kegiatan analisis konsultan harus menyiapkan
media sosialisasi, yaitu pembuatan animasi banjir, pembuatan leflet, pembuatan
spanduk, pembuatan banner, pembuatan poster, dan lain-lain.
O. Bersamaan dengan pembuatan media sosialisasi di atas, konsultan juga mulai
menyusun dokumen RTD berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas di dalam
paparan Laporan Antara dan hasil asistensi/diskusi dengan pemberi kerja.
P. Konsep dokumen RTD yang telah disusun selanjutnya siap untuk disosialisasikan di
forum tingkat pemerintah daerah dan propinsi yang terkait dengan penanganan
bencana. Dimana setelah mendapatkan masukan dan setelah disempurnakan
dokumen RTD siap untuk disyahkan bersama antara kepala BWS sebagai pengelola
bendungan dan bupati/waklikota selaku pamong penanggung jawab penduduk di
wilayah terdampak.
Q. Jika dokumen RTD telah ditanda tangani bersama dan telah syah untuk
dilaaksanakan, maka kegiatan sosialisasi terhadap dokumen RTD segera dilakukan
kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat yang berada di wilayah
terdampak dengan tujuan mereka memahami secara benar tentang RTD. Di tingkat
Pemda hal tersebut dapat ditindak lanjuti dengan penyusunan SOP RTD dan
sekaligus melakukan simulasi, agar apabila terdapat keadaan darurat seluruh
pemangku kepentingan tidak gagap menghadapinya.
R. Bersamaan dengan kegiatan sosialisasi terhadap dokumen RTD yang telah disusun,
dilakukan penyusunan terhadap Konsep Laporan Akhir yang secara intens akan
didiskusikan dengan direksi sampai laporan tersebut siap untuk dibahas bersama
dengan seluruh pemangku kepentingan.
S. Kegiatan pembahasan Laporan Akhir dimaksudkan untuk mendapatkan masukan
guna penyempurnaan laporan tersebut seperti yang diamanahkan oleh KAK.
T. Kegiatan penyerahan seluruh laporan termasuk laporan bulanan dan laporan
penunjang kepada pemberi kerja menjadi kegiatan terakhir yang dipertanggung
jawabkan oleh konsultan bersama dengan penyerahan dokumen RTD. Dimana, jika
seluruh keluaran tersebut di atas telah dapat diterima oleh pemberi kerja maka tugas
konsultan berakhir bersamaan dengan berakhirnya jadwal pelaksanaan kegiatan
secara kontraktual. Namun tanggung jawab terhadap isi dan substansi laporan dan
dokumen RTD yang telah diserahkan akan tetap melekat sampai batas waktu yang
ditentukan di dalam undang-undang.
Gambar 2. 31 Bagan Alir Rencana Kegiatan
MULAI
A1-9
A1-9 (SP1-10) A2 (SP1-8) A3 (SP1-6)
A3
A2 Penyiapan / Mob. Bahan Penyiapan / Mob. Alat
Persiapan Admin &
Penempatan Personil
Ya Ya Ya
F1
B1 B2 B3 B4
F1 (SP1-8) B2 (SP1-3) B3 (SP1-9 B4 (SP1-6)
B1 (SP1-4)
Tidak
Cek
Pemahaman Kondisi
F1 (SD1-8) Data & Studi terkait Peta Banjir
Lapangan Rencana & Metode
Ya Bend. Binalatung sementara & daerah
Bendungan sekitar Kerja terdampak
dan daerah hilir
RMK Perdana
B2 (SD1-3) B3 (SD1-3) B4 (SD1-6)
B1 (SD1-4)
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Tidak Cek Cek Cek Cek
Diskusi
Ya Ya Ya
Ya
Ya
F3 (SP1-7)
F3
RMK Revisi F3 F3 (SP1-4)
Konsep Lap. Penyusunan Lap. Bulan
Pendahuluan Rutin Setiap Bulan
A F3 (SD1-2)
Tidak
Lap. Bulan
Cek
Ke 1 -ke 8
G1
G1 (SP1-8) Ya
F3 (SD1-3)
Presentasi Lap. Pendahuluan
Tidak
Cek
G3 G1 (SD1)
G3 SD
A
Perbaikan Lap. Pendahuluan
G3 SP
Tidak Ya
Cek Lap. Pendahuluan Final
A
I
I
C1 C2 C3 D1 (SP 1- 6)
C1 (SP 1-2) C2 (SP 1-9)
C3 (SP 1-3) D1 Analisis
Kajian Pengukuran Pengukuran Potongan Hidrologi
Survai Inventori di
Bathimetri & Memanjang & Melintang
Wilayah Hilir Bendungan
Tachimetri terdahulu Sungai
F4 Analisis Hidrolika /
Kajian OP Bendungan
F4 SP DBA Lap. Hidrologi
Penyusunan Laporan
Interim
Kriteria Keadaan Gambaran Banjir
Darurat
Lap. Interim A
D3 (SD 1-2)
D2 SD
F4 SD Tidak Tidak
diskusi Cek
Tidak
Cek Ya Ya
G2 C4
G2 (SP 1-8) Ya C4 (SP 1- 3) D4 D4 (SP 1-4)
Presentasi Survei Sosek di
Perencanaan Lokasi &
Laporan Interim Hilir
Jalur Pengungsian
G2 SD
1. Organisasi Pengelola RTD
Lap. Interim Final 2. Penris
3. Data Kerugian daerah Peta
terdampak Pengungsian
A
D4 (SD 1- 3)
C4 (SD 1-3) Tidak
Cek Cek
D6 D6 (SP 1- 5)
D6 (SD 1- 4)
Cek
Ya
1.Lap. Kajian Sosek
2. Klasifikasi Hazard Peta Banjir &
Pengungsian A1 + A3
D5 E F12 F13
D5 (SP 1- 3) E (SP 1-8) F12 (SP 1-6) F13 (SP 1-4)
Penyusunan Data Base Penyusunan Pembuatan Animasi Pembuatan Leaflet
Daerah Terdampak Konsep RTD RTD Kegiatan
D5 (SD 1-2) E SD
Tidak F12 SD Tidak F13 (SD 1-2) Tidak
Cek Diskusi
Cek Cek
Ya
II
II
G4 F5
G4.1 (SP 1- 10) F5 (SP 1 )
Konsultasi RTD di Penyusunan
Pemda terkait Konsep Lap. Akhir
Pemahaman
RTD oleh
Masy
G4
G4 (SP 1- 8)
Presentasi Konsep
Keterangan : Laporan Akhir
Output Lengkap
Sesuai KAK :
Media Masukan dan
1. Lap. Topografi
Pengeluaran Kegiatan
2. Lap. DBA +
Klasifikasi Hazard
3. Lap. Kajian Sosek
4. Lap. Akhir
Produk Kegiatan
5. Executive Summary
6. Peta Banjir &
Masuk dan Keluar Prosedur Pengungsian A1 + A3
pada lembar lain 7. Buku Panduan RTD
8. Eksternal Hardisk
Tidak
Cek
Ya
SELESAI