Anda di halaman 1dari 226

1.1.

Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat
beragam. Dahulu banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan
asuransi kesehatan, apalagi asuransi kesehatan komersial; kemudian
JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual umumnya kepada
masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social
health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan
kesehatan yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena
kehandalan sistem ini dalam menjamin kebutuhan kesehatan rakyat suatu
negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan so
sial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan
informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari
Amerika yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Literatur
yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas.
Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan tidak
memahami asuransi sosial. Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita
sudah diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat komersial, termasuk
dalam pelayanan rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata "sosial", seperti
dalam "asuransi sosial" dan "fungsi sosial rumah sakit" maka hal itu
hampir selalu difahami dengan pelayanan atau program untuk orang
miskin. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang
miskin. Fungsi so sial bukanlah fungsi orang miskin. Ini merupakan
kekeliruan besar yang sudah mendarah daging di Indonesia yang
menghambat pembangunan kesehatan yang berkeadilan sesuai amanat
UUD45. Bahkan konsep Undang undang Kesehatan yang dikeluarkan tahun
1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas memerintahkan Pemerintah dan
mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) yang diambil dari konsep HMO (Health Maintenance Organization)
yang merupakan salah satu bentuk asuransi komersial kesehatan. Para
pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa
HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai
dengan tujuan dan cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang
berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan sosial di Indonesia
tidak berkembang baik sampai tahun 2005 ini. Selain Indonesia, negara
negara di Asia pada umumnya memang tertinggal dalam pengembangan
asuransi kesehatan sosial. Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor
regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan Timur Tengah berkumpul di
Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman pengembangan
asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah.
Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan
diundang untuk perumusan tersebut. Karena variasi sistem pendanaan di
Asia yang ada sekarang ini, disepakati tujuan yang lebih luas dari
pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu mewujudkan akses
universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial,
sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan
menyediakan pelayanan Introduksi Asuransi Kesehatan 1 HThabrany
kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh penduduk,
seperti yang dilakukan Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai juga mampu
menyediakan akses universal tersebut. Dalam bab ini kita akan
memusatkan pembahasan kita pada pemahaman tentang asuransi dan
asuransi kesehatan sosial. Karena luasnya masalah asuransi kesehatan
sosial, bab ini hanya membahas garis-garis besar asuransi kesehatan
sosial. Pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang praktek-
praktek asuransi kesehatan so sial dapat membaca buku lain atau
mengikuti ujian asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh P AMJAKI
(perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan
Indonesia)
1.2. Rasional Asuransi Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa
Indonesia, kata asuransi tidak dikenal. Akan tetapi istilah "jaminan" atau
"tanggungan" sudah lama dikenal di Indonesia. Kata asuransi berasal dari
bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure yang berarti
"memastikan". Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan
bahwa seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan
yang dibutuhkannya tanpa hams mempertimbangkan keadaan
ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya
pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa
Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi
merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian
sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa
kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka
seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada
pihak lain yang disebut insurer, asuradur, ataupun badan penyelenggara
jaminan/asuransi. Sebagai ilustrasi, andaikan di suatu kota terdapat satu
juta penduduk yang setiap tahunnya terdapat 3.000 orang yang dirawat di
rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun yang tahu pasti siapa yang
akan masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu.
Misalkan setiap perawatan di rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp
1 juta. Bisa jadi hari ini keluarga tukang becak yang masuk rumah sakit,
maka sangat sulit baginya membayar Rp 1 juta. Apa yang hams dilakukan?
Apakah setiap hari kita hams meminta sumbangan untuk keluarga seperti
tukang becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi bagaimana kita
menjamin bahwa setiap hari terkumpul sumbangan yang memadai untuk
mendanai kebutuhan perawatan di rumah sakit yang rata-rata 7-10 orang
setiap hari. Tentu masyarakatpun akan bosan mengumpulkan atau
memberikan sumbangan terus menerus. Bisa jadi seorang direktur bank
setempat yang bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu dirawat. Jika biaya
perawatan yang hams dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada
masalah. Direktur bank tersebut mampu membayarnya, akan tetapi jika
biaya perawatan sampai Rp 50 juta, mungkin direktur bank tersebut juga
bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk seorang direktur seringkali biaya
perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena sifat uncertain,
maka biaya perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja
mencapai Rp 50 juta. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa si
tukang becak akan terpaksa meninggal atau cacat seumur hidup yang
akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi ketidak-adilan sosial disini.
Yang berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada yang
menjamin, sementara yang bergaji tinggi justeru dijamin. Introduksi
Asuransi Kesehatan 2 HThabrany Secara statistik dapat dihitung bahwa
setiap orang memiliki probabilitas 0,003 (yaitu 3.000 orang dibagi
1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit. Jika rata-rata tagihan
rumah sakit untuk tiap perawatan adalah sebesar Rp I juta, maka setiap
tahun dibutuhkan dana sebesar 3.000 (orang) x Rp I juta atau sarna
dengan Rp 3 milyar. Walikota setempat cukup cermat mengamati masalah
ini. Dia bilang, dari pada setiap orang was-was memikirkan biaya
perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap hari kita
mencari sumbangan untuk mereka yang tidak mampu membayar-yang bisa
jadi juga diri kita, mengapa tidak semua orang membayar saja sarna rata.
"Nanti saya yang atur", ujarnya. Jika kebutuhan biaya Rp 3 milyar dibagi
rata kepada satu juta penduduk, maka tiap kepala cukup membayar Rp
3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk). Bukankah
membayar Rp 3.000 per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang
becakpun sanggup mengiur sebesar itu. Setelah dana Rp 3 milyar
terkumpul, tidak ada lagi penduduk yang kesulitan membayar tagihan
rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya atau yang miskin, tidak perlu
lagi memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil dana dari pot
(pool) yang terkumpul dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres?
Teorinya begitu. Dalarn praktek, tidak semudah itu. Sebab, selalu saja ada
orang yang tidak mau bayar iuran meskipun hanya Rp 3.000 per orang per
tahun. Bagaimana dengan biaya administrasi? Bagaimana jika terjadi
peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi yang menjadi
masalah. Masalah-masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalarn buku
ini. Dari ilustrasi diatas, dapat diarnbil kesimpulan bahwa asuransi adalah
suatu mekanisme gotong royong yang dikelola secara formal dengan hak
dan kewajiban yang disepakati secara jelas. Dengan masing-masing
penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000 per tahun, siapa saja yang
perlu perawatan akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalarn istilah
asuransi, kegotong-royongan ini disebut juga risk sharing. Dari segi dana
yang terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat disebut sebagai suatu
mekanisme risk pooling. Dana dari masing-masing penduduk dikumpulkan
untuk kepentingan bersarna. Oleh karenanya, asuransi dapat juga disebut
suatu mekanisme hibah bersarna. Dana yang terkumpul merupakan hibah
dari masing-masing penduduk yang akan digunakan untuk kepentingan
bersarna. Dengan demikian iuran atau premi yang telah dibayar dari
masing masing anggota, jelas bukan tabungan dan karenanya tiap-tiap
anggota tidak berhak meminta kembali dana yang sudah dibayarkan atau
diiurkan, meskipun ia tidak pemah sakit dan karenanya tidak pemah
menggunakan dana itu.
1.3. Risiko dan Risiko Sakit
1.3.1. Pemahaman tentang Risiko
Di Indonesia banyak orang menggunakan istilah resiko, bukan risiko.
Sesungguhnya ada perbedaan makna antara resiko dan risiko. Dalarn
bidang asuransi istilah "resiko" digunakan untuk hal-hal yang sifatnya
spekulatif. Sebagi contoh, seorang berdagang mobil mempunyai resiko
rugi apabila ia tidak hati-hati mengelola usahanya atau tidak mengikuti
perkembangan pasar mobil. Sedangkan istilah "risiko" digunakan dalam
asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang sifatnya
bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko mumi. Dalam
bahasa Indonesia memang kita tidak Introduksi Asuransi Kesehatan 3
HThabrany memiliki istilah asal atau akar kata tentang risiko. Sebab risiko
diterjemahkan dari bahasa Inggris risk. Akan tetapi kalau kita pelajari
benar, sesungguhnya risk berkaitan dengan bahasa Arab rizk yang kita
terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki. Keduanya
mempunyai aspek ketidak-pastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak
pasti (uncertain), demikian juga rejeki. Keduanya di Indonesia dikaitkan
erat dengan takdir. Asuransi sesungguhnya merupakan suatu cara
mengelola risiko. Dalam buku Asuransi Kesehatan di Indonesia, Thabrany
(2001)1 telah membahas dasar-dasar asuransi kesehatan. Dalam bab ini,
dasar-dasar tersebut disajikan kembali dengan modifikasi yang lebih
mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak memperdalam kata kata
risiko atau resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk melakukan
suatu tindakan ada risikonya, biasanya kita mengerti apa yang
dimaksudkan. Ada bahayanya. Seberapa besar bahaya tersebut, tidaklah
diketahui dimuka oleh siapapun. Kita hanya bisa mengira ngira
probabilitas kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko tersebut.
Disini ada ketidakpastian (uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya
risiko tersebut. Biasanya yang disebut risiko mempunyai konotasi negatif
yaitu umumnya orang mengartikan risiko sebagai sesuatu yang dapat
mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu yang tidak diharapkan.
Sebenarnya, dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko
keberuntungan. Dalam konteks ini, kata keberuntungan itupun merupakan
suatu risiko, yaitu risiko positif, risiko yang diharapkan, yang kita bedakan
sebagai resiko. Tetapi yang menjadi fokus perhatian dunia asuransi adalah
risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa materiil maupun
berupa kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu
penyakit berat. Kata rejeki mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam
kepercayaan kebanyakan orang Indonesia, rejeki setiap orang sudah
ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak pemah tahu berapa banyak
akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki
mempunyai konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang
diharapkan. Sedangkan risiko merupakan ketidak-pastian yang tidak
diharapkan. Oleh karenanya, asuransi bukanlah suatu mekanisme untuk
untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki. Dalam setiap langkah
kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan kita, baik
yang kecil seperti terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti
kecelakaan lalu lintas yang dapat menimbulkan kematian. Beruntung
bahwa Tuhan telah memberikan sifat alamiah manusia yang selalu
menghindarkan diri dari berbagai risiko. Setiap orang mempunyai cara
tersendiri untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko. Secara umum,
cara-cara menghindarkan diri dari berbagai risiko hidup dapat
dikelompokan menjadi empat kelompok besar yang akan dibahas di bawah
ini.
1.3.2. Cara-cara Menghindari Risiko
Dalam ilmu manajemen risiko atau risk management, kita mengenal
beberapa teknik menghadapi risiko yang dapat terjadi pada semua aspek
kehidupan kita. Teknik-teknik tersebut adalah (vaughan, ... literatur):
1. Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada risiko
terkena penyakit kanker pam atau penyakit jantung (kardiovaskuler).
Salah satu cara Introduksi Asuransi Kesehatan 4 HThabrany menghindari
terjadinya risiko terkena penyakit pam atau jantung tersebut adalah
menghindari bahan-bahan karsinogen (yang menyebabkan kanker) yang
terkandung dalarn rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat kecelakaan
pesawat terbang, jangan pemah naik pesawat terbang. Banyak orang
melakukan teknik manajemen ini untuk risiko besar yang mudah tampak.
Seseorang akan menghindari naik gunung yang terjal tanpa alat
pengarnan, karena risiko jatuh ke jurang tarnpak dengan mata telanjang.
Tetapi banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tarnpak
sekarang atau risiko itu baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko
merokok. Disinilah perlunya upaya penyadaran masyarakat tentang
berbagai risiko kehidupan. Karena tidak semua orang mampu melihat atau
merasakan berbagai risiko kehidupan atau kalaupun seseorang mampu
mengenali risiko---belum tentu ia marnpu menghindarinya, maka
mekanisme menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk melindungi diri
dari risiko yang begitu banyak dalarn kehidupan ini.
2. Mengurangi risiko (risk reduction).
Karena berbagai alasan, kita tidak bisa menghindari sarna sekali dari
kemungkinan terjadinya suatu risiko pada diri kita, kita dapat mengurangi
akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita membuat
jembatan penyeberangan atau larnpu khusus penyeberangan untuk
mengurangi jumlah orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan
demikian, pengemudi kendaraan akan berhati-hati. Atau jika ada jembatan
penyeberangan, maka risiko tertabrak mobil akan menjadi lebih kecil,
tetapi tidak meniadakan sarna sekali. Seorang pengendara sepeda motor
diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu orangpun yang bisa
seratus persen terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda motor. Jika
helm digunakan, maka beratnya risiko (severity of risk) dapat dikurangi,
sehingga seseorang dapat terhindar dari kematian atau gegar otak yang
memerlukan biaya perawatan sangat besar. Perawatan intensif selarna 7
(tujuh) hari di rumah sakit bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini
dapat mencapai lebih dari Rp 20 juta. Tetapi, bagi kebanyakan pengendara
sepeda motor, yang belum pemah menyaksikan betapa dahsyatnya akibat
gegar otak dan berapa mahalnya biaya perawatan akibat gegar otak, tidak
menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan helm, seringkali sekedar
untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang)
peraturan lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil
(yang hanya sebesar ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap
penyakit hepatitis (radang hati), yang dapat berkembang menjadi kanker
hati yang perlu biaya mahal dalarn perawatan atau dapat mematikan pada
usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko. Karena prilaku
manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka mekanisme
menurunkan risiko saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak menjamin
seratus persen bahwa setiap orang yang telah diimunisasi pasti tidak
terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen risiko lain.
3. Memindahkan risiko (risk transfer).
Karena sebaik apapun upaya mengurangi risiko yang telah kita lakukan
tidak menjarnin 100% bahwa kita akan terbebas dari segala risiko, maka
kita dapat melindungi diri kita dengan tarneng lapis ketiga dari
manajemen risiko yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita
dapat memindahkan seluruh atau sebagian risiko kepada pihak lain (yang
dapat berupa perusahaan asuransi, badan penyelenggara jarninan sosial,
pemerintah, atau apapun Introduksi Asuransi Kesehatan 5 HThabrany
nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik
dalam jumlah nominal tertentu maupun dalamjumlah relatifberupa
prosentase dari gaji atau harga pembelian (transaksi). Dengan teknik
manajemen risiko ini, risiko yang ditransfer hanyalah risiko finansial,
bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian risiko yang tidak bisa
ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang sangat
fundamental di dalam asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa
setiap saat sesungguhnya ada risiko kematian dan sesungguhnya risiko
kematian itu (yang menimbulkan risiko ketiadaan dana bagi ahli warisnya
untuk hidup sehari-hari atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat
ditransfer dengan membeli asuransi jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan
orang di negara berkembang tidak membeli asuransi jiwa, karena banyak
orang tidak melihat kematian sebagai suatu risiko finansial bagi ahli
warisnya.
4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika risiko tidak bisa dihindari, tidak
bisa dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup ditransfer, maka
altematif terakhir adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai
takdir). Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-
prinsip manajemen risiko tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli
dengan risiko yang dihadapinya, dia ambil atau terima suatu risiko apa
adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut pengambil risiko (risk
taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka
usaha asuransi tidak akan pemah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang
bersikap sebagai penghindari risiko (risk averter) maka ia menghindari,
mengurangi, atau mentransfer risiko yang mungkin terjadi pada dirinya.
Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka demand terhadap
usaha asuransi akan tumbuh.
1.3.3. Risiko yang dapat diasuransikan
Diatas telah dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana
asuransi merupakan cara terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak
semua risiko dapat diasuransikan. Ada persyaratan risiko yang dapat
diasuransikan (insurable risks). Kita tidak mungkin mengasuransikan
semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja atau
kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan
nyawa atau rumah tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik
itu risiko kehilangan harta benda, risiko kebakaran, risiko sakit, risiko
kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Risiko tersebut haruslah bersifat murni (pure). Menurut sifat
kejadiannya, risiko dapat timbul benar-benar sebagai suatu kebetulan atau
accidental dan dapat timbul karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko
mumi adalah risiko yang tidak dibuat-buat, disengaja, atau dicari-cari
bahkan tidak dapat dihindari dalam jangka pendek. Orang berdagang
mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut dapat dihindari dengan
manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko rugi
akibat suatu usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat
diasuransikan. Oleh karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan
pertanggungan kalau suatu Introduksi Asuransi Kesehatan 6 HThabrany
perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu tindakan
kesengajaan karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka
risiko yang timbul tidak dapat diasuransikan. Contoh, seseorang
mempunyai asuransi kematian yang besarannya-katakanlah satu milyar
rupiah-dapat saja dibunuh oleh ahli warisnya guna mendapatkan
manfaatijaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian yang
disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung.
Seseorang yang sengaja mencoba bunuh diri dengan meminum racun
serangga dan gagal sehingga perlu perawatan di rumah sakit tidak berhak
atas jaminan perawatan, karena risiko sakitnya bukanlah risiko murni.
Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan yang lama dan mahal, tidak
pemah diharapakan oleh si penderita dan karenanya penyakit kanker
merupakan risiko murni yang dapat diasuransikan atau dijamin oleh
asuransi.
2. Risiko haruslah defmitif. Pengertian definitif artinya bahwa risiko dapat
dengan pasti ditentukan kejadiannya dan difahami bersama tentang terjadi
atau tidak terjadi. Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat
keterangan dokter. Risiko kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat
keterangan polisi. Risiko kebakaran ditetapkan dengan berita acara dan
bukti-bukti lain seperti foto kejadian.
3. Risiko haruslah bersifat statis.
Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas kejadiannya relatif
statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan ekonomi
suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat
dipengaruhi stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-
benar statis dalam jangka panjang tidak banyak. Risiko seseorang
terserang kanker atau gagal jantung akan relatif statis, tidak dipengaruhi
keadaan ekonomi dan politik. Dalam jangka panjang tentu saja risiko
serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi. Di negara maju, yang
relatif kaya dan pola makan enak yang mengandung banyak lemak relatif
tinggi, maka probabilits terkena serangan jantung lebih tinggi
dibandingkan dengan risiko serangan jantung di negara miskin.
4. Risiko berdampak fmansial.
Suatu risiko dapat mempunyai dampak finansial maupun tidak. Risiko yang
dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan dengan membayar
premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak fmansial. Suatu
kecelakaan diri misalnya mempunyai dampak finansial berupa biaya
prawatan dan atau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
penghasilan. Selain berdampak finansial, suatu kecelakaan juga
menimbulkan rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut menimbulkan
kematian atau kecacatan, maka risiko tersebut menimbulkan beban
psikologis yang besar. Tentu saja yang dapat diasuransikan hanyalah
risiko yang bersifat finansial berupa biaya perawatan, kehilangan jiwa
atau kecacatan yang berdampak pada kehilangan penghasilan. Maka
asuransi dapat menawarkan penggantian biaya pengobatan dan
perawatan (baik dengan uang atau pelayanan) maupun uang tunai sebagai
pengganti kehilangan penghasilan yang hilang akibat kematian atau
kecacatan.
5. Risiko haruslah measurable atau quantifiable.
adalah syarat di mana besamya kerugian finansial akibat risiko tersebut
dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang Introduksi Asuransi
Kesehatan 7 HThabrany tinggi. Kalau seorang sakit, hams jelas diketahui
bahwa orang itu menderita sakit sewaktu berada di Bogor, dirawat di
suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan biaya perawatan sebesar-
katakanlah Rp 20 juta. Besaran biaya perawatan tersebut merupakan
syarat dimana suatu skema asuransi dapat berjalan. Rasa sakit sangat
sulit diukur, meskipun kita punya berbagai instrumen, karena rasa sakit
sangat subyektif sifatnya. Itulah syarat yang diperlukan sehingga baik
pemegang polis (peserta) maupun asuradur dapat mempunyai
kesepakatan suatu kontrak pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi
jiwa, kita sangat sulit mengukur berapa besar kerugian finansial akibat
suatu kematian. Dalam hal ini, maka biasanya asuradur menawarkan
jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta untuk disepakati
sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini
disebut quantifiable (dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung
premi yang hams dibayarkan. 6. Ukuran risiko haruslah besar (large).
Ukuran risiko (severity) memang relatif dan dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain. Risiko biaya
rawat inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan
rendah akan tetapi dinilai kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta
sebulan. Sebuah sistem asuransi harus secara cermat menilai risiko mana
yang akan diasuransikan. Dalam asuransi kesehatan, kecenderungan di
dunia adalah menjamin pelayanan kesehatan secara komprehensif karena
ada kaitan antara risiko yang besaran rupiahnya kecil, misalnya
pengobatan dokter untuk gejala demam, karena jika tidak dijamin bisa jadi
gejala tersebut merupakan suatu kasus demam berdarah yang mematikan
yang memerlukan biaya perawatan yang mahal. Jadi menjamin pelayanan
kesehatan komprehensif merupakan kombinasi penurunan risiko (risk
reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang hanya
menanggung risiko yang kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmas-
seperti yang dulu dipraktekkan dengan skema dana sehat atau JPKM,
tidak memenuhi syarat asuransi. Oleh karena itu, dimanapun di dunia,
model asuransi mikro seperti itu tidak memiliki sustainabilitas
(kesinambungan) jangka panjang. Umumnya skema semacam itu berusia
pendek dan tidak menjadi besar. Selain persyaratan sifat atau jenis risiko
diatas, ada beberapa persyaratan yang terkait dengan teknis asuransi dan
kelayakan suatu risiko diasuransikan. Yang dimaksud dengan kelayakan
disini adalah khususnya kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk
asuransi yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik
bagi masyarakat untuk ikut asuransi tersebut. Harga premi atau besaran
iuran yang menghabiskan 30% penghasilan seseorang untuk premi atau
iuran asuransi tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan teknis
asuransi adalah besamya probabilitas kejadian, besamya populasi yang
terkena risiko suatu kejadian, dan besamya pool.
1. Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran probabilitas besar
dan kecil juga relatif. Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50%
kemungkinan terjadinya (dalam bahasa statistik disebut probabilitas >0,5)
akan menyebabkan biaya premi menjadi besar dan tidak menarik untuk
diasuransikan. Kejadian gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa atau
cuci darah seminggu dua kali mempunyai Introduksi Asuransi Kesehatan 8
HThabrany probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu kejadian per
1.000 orang (p < 0,001). Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat
terbang jauh lebih kecil lagi yaitu umumnya kurang dari satu per 100.000
penerbangan. Probabilitas yang kecil menghasilkan besaran premi atau
iuran yang juga kecil.
2. Kerugian tidaklah boleh mengenai sejumlah penduduk/peserta yang
besar jumlahnya atau katastrofik (catastrophic) bagi asuradur. Pengertian
katastrofik dapat berarti unitnya yang besar artinya banyak orang yang
terkena kerugian pada saat yang bersamaan. Contohnya, kerugian yang
terjadi akibat perang atau bencana alam besar seperti Tsunami di Aceh
yang mengenai penduduk yang banyak dengan besarnya kerugian
mencapai triliunan rupiah tidak dijamin oleh asuransi karena praktis suatu
usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang menjadi wabah,
mengenai banyak orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin
pemerintah melalui suatu undang undang wabah. Perusahaan asuransi
tidak menanggung, atau mengecualikan dari jaminan (exception), segala
bentuk perawatan rumah sakit atau dokter sebagai akibat bencana alam
besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik juga dapat berarti
besarnya risiko yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang
kesehatan, biaya perawatan di ruang intensif yang lebih dari satu tahun
pasti membutuhkan biaya yang bisa mencapai milyaran rupiah. Besarnya
biaya medis katastropik bervariasi sesuai dengan kemampuan ekonomi
suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis katastropik bagi
rumah tangga jika biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan lebih
dari 40% penghasilan rumah tangga (WHO, 2000)
.2 Akan tetapi biaya medis yang bersifat katastropik bagi rumah tangga ini
justeru merupakan suatu persyaratan untuk diasuransikan. Dalam buku-
buku teks asuransi kesehatan, biaya perawatan yang mahal sering disebut
kasus-kasus major medicals (biaya medis mahal).
3. Hams ada sejumlah penduduk atau masyarakat yang homogen yang
cukup besar yang akan terkena risiko yang ikut serta dalam suatu skema
asuransi. Maksudnya adalah jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh
orang saja sedangkan risiko yang timbul dapat bervariasi dari--katakanlah
seribu rupiah sampai satu milyar rupiah, maka iuran atau peremi dari
peserta asuransi yang sepuluh orang ini tidak dapat menutupi kebutuhan
dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko yang diperoleh dari
sepuluh orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung
besarnya risiko yang akan timbul. Semakin besar suatu peserta semakin
tinggi tingkat akurasi prediksi biaya yang dibutuhkan untuk menjamin
risiko. Dengan demikian, akan semakin kuat kemampuan finansial sebuah
perusahaan asuransi. Persyaratan besarnya jumlah peserta atau
pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum matematik yang disebut
hukum angka besar (the law of the large number). Hukum ini menyebabkan
semakin banyak usaha asuransi yang melakukan merjer (bergabung) agar
lebih kuat bersaing atau lebih mampu mengendalikan biaya atau
mempunyai tingkat efisiensi yang tinggi. Program asuransi kesehatan
sosial selalu memenuhi hukum angka besar ini karena sifatnya yang wajib.
Sebaliknya usaha asuransi kesehatan komersial seringkali bangkrut
karena tidak mampu memiliki jumlah peserta atau pemegang polis yang
cukup besar. Introduksi Asuransi Kesehatan 9 HThabrany
1.4. lenis Asuransi Diatas telah dibahas bahwa asuransi merupakan cara
manajemen risiko dimana seseorang atau sekelompok kecil orang (yang
disebut pemegang polis/policy holder atau peserta/participant) melakukan
transfer risiko yang dihadapinya dengan membayar premi (iuran atau
kontribusi) kepada pihak asuransi (yang disebut asuradur/insurer atau
badan penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang polis atau peserta
bersifat perseorangan, maka ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau
termasuk anggota keluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta
bersifat kelompok kecil (misalnya suatu perusahaan atau instansi), maka
yang dijamin biasanya anggota kelompok tersebut (karyawan dan anggota
keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran tersebut, maka segala
risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam
perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam peraturan) yang terjadi pada
pemegang polis, peserta, dan anggota keluarganya (tergantung dari
spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi kewajiban asuradur. Orang-orang
yang termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak atau peraturan
disebut tertanggung atau insured. Risiko yang hams ditanggung asuradur
disebut benefit atau "manfaat" asuransi, yang besamya atau scopenya
ditetapkan dimuka dalam kontrak atau peraturan. Dalam asuransi
kesehatan, manfaat ini sering disebut paket jaminan (benefit
package/packet) karena berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau
kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah uang, manfaat asuransi
kesehatan pada umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang
dijamin oleh asuradur. Secara sederhana pengertian asuransi dapat
digambarkan dengan ilustrasi berikut. Wajib/Sukarela Premi Asuradur
Peserta Manfaat III Uang/pelayanan Dari ilustrasi diatas dapat dilihat
bahwa ada dua elemen utama terselenggaranya asuransi yaitu ada
pembayaran premi/ iuran dan ada benefit! manfaat. Kedua elemen inilah
yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta dan asuradur. Pada
hakikatnya dalam asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana layaknya Introduksi Asuransi Kesehatan 10
HThabrany sebuah kontrak. Tertanggung merupakan orang yang
mempunyai kewajiban membayar premi. Dalam program Jamsostek, Askes
dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional, tertanggung disebut peserta-tanpa membedakan siapa yang
membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisionall konvensional,
yaitu asuransi kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang
manfaatnya ditetapkan atau dibatasi dengan nilai jumlah uang tertentu,
peserta disebut pemegang polis (policy holder) dan anggota keluarga yang
dijamin disebut tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang dikelola oleh
bukan perusahaan asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia
dengan managed care) tertanggung disebut anggota atau member.
Pemegang polis atau peserta berkewajiban membayar premi/iuran
sedangkan tertanggung tidak selalu merupakan orang yang hams
membayar premi. Asuradur adalah orang atau badan yang telah menerima
premi dan karenanya mempunyai kewajiban membayar atau menanggung
manfaat asuransi. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 571/572
tahun 1993 tentang JPKM, yang dimasa datang JPKM sukarela ini hanya
akan menjual produk asuransi kesehatan suplemen, asuradur ini disebut
Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat Bapel. 1.5. Kontrak Asuransi
Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual dimana peserta
mempunyai kewajiban membayar premi dan mempunyai hak mendapatkan
manfaat asuransi. Asuradur mempunyai hak menerima pembayaran premi
dan berkewajiban membayarkan manfaat, baik langsung kepada
tertanggung dalam bentuk uang maupun membayarkan manfaat tersebut
kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan seperti bengkel mobil
atau fasilitas kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan
kontraktuallainnya, kontrak asuransi memiliki ciri khas yang secara
bersama-sama tidak dimiliki oleh hubungan kontraktual lainnya. Karena
kekhasan kontrak asuransi inilah, maka pengelolaan atau bisnis asuransi
sangat ketat diatur atau dilaksanakan langsung oleh pemerintah. Ciri khas
kontrak asuransi tersebut adalah sebagai berikut: Kontrak kondisional.
Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi jika kondisi
tertentu (sakit atau kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung.
Apabila tertanggung tidak mengalami kejadian tersebut, maka tidak ada
kewajiban bagi asuradur. Kontrak lain, seperti kontrak pembelian barang
atau sewa gedung, tidak memiliki sifat kondisional ini. Oleh karena itu,
dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan pegawai negeri,
pegawai yang lebih dari 20 tahun tidak pemah sakit sedangkan ia terus
membayar iuran (karena bersifat wajib dan langsung dipotong dari
gajinya), tidak berhak menuntut uang iurannya kembali kepada Askes.
Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan kontrak tabungan hari tua
(yang disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan-DPLK) di bank, penabung
atau ahli warisnya berhak mendapatkan kembali uang yang disimpannya
secara rutin tiap bulan pada suatu waktu tertentu atau setelah penabung
meninggal dunia. Kontrak unilateral. Pada umumnya kontrak bersifat
bilateral dalam artian masing masing pihak mempunyai kewajiban dan hak
dan masing-masing dapat dituntut jika salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat
dituntut karena tidak memenuhi kewajibannya hanyalah pihak asuradur.
Apabila tertanggung Introduksi Asuransi Kesehatan 11 HThabrany tidak
memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut.
Akan tetapi haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang
dalarn istilah asuransi komersial disebut lapse). Kontrak unilateral ini
merupakan padanan (offset) dari sifat kondisional dimana kewajiban
membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan oleh asuradur.
Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai
tukar (economic value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertarna
maupun pihak kedua. Salah satu pihak dapat (sah) menerima nilai yang
jauh lebih besar dari kewajiban yang dibayarkannya, tanpa ada hitungan
hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai tukar. Sebagai
contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar
premi sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar
premi (total premi yang dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sarna dengan
Rp 1 juta), ia terkena serangan jantung dan memerlukan pembedahan yang
memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang dalarn kontrak asuransi
tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka peserta
ini berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar
selisih biaya bedah jantung dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab,
tanpa kontrak aleatori, sesungguhnya peserta tersebut baru membayar
sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah menerima Rp 150 juta. Dalam
kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149 juta. Jika saja
ia berhenti menjadi peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi
misalnya, maka ia tidak dapat dituntut untuk melunasi selisih biaya yang
besarnya Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang peserta atau pemegang polis
bisa saja telah membayar premi sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa
10 tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan x Rp 250.000 = Rp 30
juta, tanpa hitungan bunga) akan tetapi ia tidak pemah sakit dan
karenanya tidak pemah mengklaim manfaat asuransi. Maka ia tidak
berhak sarna sekali atas manfaat asuransi (menerima hak senilai Rp 0
rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima Rp 30 juta (plus bunga) tanpa
kewajiban membayar apapun kepada tertanggung. Kontrak Adhesi. Dalarn
ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak mempunyai informasi
yang relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa.
Dalarn kontrak asuransi, pihak peserta atau pemegang polis--khususnya
dalarn asuransi individual, tidak memiliki informasi yang seimbang dengan
informasi yang dimiliki asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang
besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya pengobatan yang terkait
sementara pihak peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik.
Akibatnya, sulit bagi peserta untuk menilai apakah premi yang dikenakan
murah, wajar, atau terlalu mahal. Dalarn kata lain, peserta dalarn posisi
yang lemah (ignorance). Itulah sebabnya, dalarn industri asuransi
dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan mengawasi dengan
ketat berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket
jaminan, isi dan bahasa polis, bahkan besamya huruf dalarn polis, dan
berbagai persyaratan asuradur yang menjarnin peserta akan menerima
haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalarn dunia asuransi, kontrak
semacam ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it. Introduksi
Asuransi Kesehatan 12 HThabrany 1.6. Pembayaran Premi Dalam
pembayaran premi, menurut sifat kepesertaannya, kita dapat membagi
asuransi menjadi dua golongan besar yaitu pembayaran premi yang
bersifat wajib dan bersifat sukarela (lihat ilustrasi). Dalam asuransi sosial
kepesertaan bersifat wajib, dalam asuransi komersial tidak ada kewajiban
seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat membeli merupakan
suatu transaksi sukarela dalam perdagangan (commerce). Atas dasar
kewajiban menjadi peserta inilah, asuransi secara garis besar dibagi
menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi sosial dan asuransi komersial.
Banyak pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial sebagai
asuransi bagi kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah, sehingga
pada awalnya JPKM dinyatakan sebagai bukan asuransi komersial. Dalam
literatur asuransi dan jaminan sosial, kepesertaan yang bersifat wajib
merupakan ciri utama dari asuransi sosial. 1.6.1. Asuransi Sosial Banyak
pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru tentang
asuransi so sial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial
adalah suatu program asuransi untuk masyarakat miskin atau kurang
mampu. Dalam banyak kesempatan interaksi dengan masyarakat di
kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan bahwa Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan
Departemen Kesehatan (Depkes) juga merupakan program jaminan untuk
masyarakat miskin. Hal ini barangkali terkait dengan program JPKM dalam
rangka Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimana
Depkes memberikan insentif kepada organisasi di kabupaten yang disebut
pra bapel (hadan penyelenggara) untuk mengembangkan JPKM. Program
JPSBK ini memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk tiap keluarga
miskin (gakin) kepada pra bapel yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia
dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra bapel untuk administrasi.
Diharapkan bahwa setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat
membuat produk JPKM dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin.
Mungkin dengan program inilah maka terbentuk pemahaman bahwa
program JPKM adalah program asuransi sosial. Sebenarnya, konsep JPKM
adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh kepesertaan
sukarela. Diskusi lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian.
Dalam Undang-Undang No 2/92 tentang asuransi disebutkan bahwa
program asuransi so sial adalah program asuransi yang diselenggarakan
secara wajib berdasarkan suatu undang undang, dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam
UU ini disebutkan bahwa program asuransi sosial hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (pasal 14). Namun
demikian, tidak ada penjelasan lebih rinci tentang asuransi sosial dalam
UU tersebut. Untuk lebih menjelaskan tentang apa, mengapa dan
bagaimana asuransi sosial dilaksanakan, berikut ini akan dijelaskan
berbagai rasional dan contoh-contoh program asuransi sosial di dunia dan
di Indonesia. Mengapa harus diwajibkan? Apakah dalam jaman era
globalisasi ini masih perlu mewajibkan setiap tenaga kerja atau setiap
penduduk untuk menjadi peserta asuransi kesehatan seperti halnya
asuransi kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara
Introduksi Asuransi Kesehatan 13 HThabrany terpusat oleh satu badan
penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu namanya? Bukankah kini
jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada mekanisme pasar
karena pasar begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah?
Bukankah kini jamannya otonomi daerah sehingga sehamsnya daerah
diberi kewenangan mengurus masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu kerap kali muncul sewaktu saya presentasi di berbagai
kesempatan dan daerah. Di atas sudah dijelaskan bahwa pelayanan
kesehatan memiliki ciri uncertainty dan akses terhadap pelayanan
kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB tahun
1948 telah jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas
jaminan kesehatan manakala ia sakit. Apakah setiap orang memiliki visi
dan kesadaran akan risiko yang dihadapinya di kemudian hari? Meskipun
banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada umumnya kita tidak
mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan menutup risiko sakit yang terjadi di masa depan. Orang-orang
muda akan ambil risiko, risk taker, terhadap masa depannya karena
pengalamannya menunjukkan bahwa mereka jarang sakit. Ancaman sakit
10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk dipikirkan sekarang.
Pada umumnya mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar,
asuransi untuk masa jauh ke depan tersebut meskipun mereka mampu
membeli. Sebaliknya, orang-tua dan sebagian orang yang punya penyakit
kronis, bersedia membeli asuransi karena pengalamannya membayar
biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan mereka sudah jauh
berkurang. Meskipun penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah jauh
lebih besar dari penghasilanya. Orang-orang seperti ini mau membeli
asuransi, akan tetapi jika hanya orang-orang tersebut yang mau membeli,
perusahaan asuransi/bapel akan menarik premi sangat besar untuk
menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak bersedia menjamin
orang-orang yang risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya
mereka tidak bisa dijamin. Jika orang-orang yang sudah sakit-sakitan
tersebut menderita penyakit menular, penyakitnya tidak bisa
disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat disembuhkan, karena
tidak sanggup berobat dan tidak ada perusahaan asuransil bapel yang mau
menjaminnya, akan mengancam semua orang disekitamya, karena
penyakitnya dapat menular kepada orang lain (ekstemalitas). Meskipun
mereka tidak menderita penyakit menular, jika penyakit mereka sudah
sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar, pada akhimya banyak
pihak hams turun tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang beradab.
Tidak ada di dunia manapun dimana orang-orang seperti itu dibiarkan
menderita tanpa bantuan. Jika bantuan diberikan secara sukarela,
jumlahnya seringkali tidak memadai. Ancaman sakit seperti itu dapat
terkena siapa saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Oleh karena
setiap orang suatu ketika akan dapat menderita seperti itu, maka untuk
menjamin semua orang tidak tambah menderita karena tidak memiliki
dana yang memadai, maka perlu diwajibkan untuk berasuransi. Jika tidak
diwajibkan, maka yang sakit-sakitan akan beli asuransi sebagai alat
gotong royong atau solidaritas sosial. Sementara yang sehat dan yang
muda merasa tidak perlu dan karenanya tidak membeli asuransi. Dengan
demikian tidak mungkin terselenggara gotong-royong antara kelompok
kaya-miskin dan antara yang sehat dengan yang sakit. Jadi asuransi sosial
bertujuan untuk menjamin semua orang yang memerlukan pelayanan
kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau
usianya. Inilah Introduksi Asuransi Kesehatan 14 HThabrany prinsip
keadilan sosial (social equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup
semua orang di dunia. Jadi asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak
dan kewajiban antara berbagai kelompok masyarakat: kaya-miskin, sehat-
sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah hakikat peradaban
manusia yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi so sial.
Oleh karenanya, tidak ada satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal
seperti Amerika maupun negara yang lebih dekat ke sosialis, yang tidak
memiliki sistem asuransi so sial atau jaminan oleh negara langsung. Di
Amerika misalnya, semua orang-tanpa kecuali, yang mempunyai
penghasilan hams membayar premi Medicare. Medicare adalah program
asuransi sosial kesehatan untuk orang tua/pensiunan (usia 65 tahun
keatas) untuk orang orang yang menderita penyakit terminal-penyakit
yang tidak bisa sembuh. Setiap yang berpenghasilan otomatis dipotong
sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang jaminannya
baru diperoleh jika ia berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya,
pemberi kerja, wajib juga menambahkan 1,45% gaji yang dibayarkan untuk
premi asuransi tersebut. Jadi jumlahnya 2,9% dari gaji/upah sebulan.
Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan sosialnya atau negara-negara
Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai; juga
menyelenggarakan sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan
sistem jaminan sosial (social security) ada juga negara yang membuat
undang-undang asuransi sosial khusus untuk kesehatan seperti Taiwan,
Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa diwajibkan, maka tidak semua orang
akan ikut serta. Cina yang komunis juga menyelenggarakan sistem
asuransi sosial untuk rakyatnya. Jadi mewajibkan penduduk ikut serta
dalam asuransi sosial bukanlah pemerkosaan hak akan tetapi justeru
untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara kolektif. Membayar pajak
adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban membayar
pajak merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang
menjawab ya, maka semua negara di dunia ini melanggar HAM.
Mempunyai kartu penduduk atau paspor adalah suatu kewajiban
penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada. Jadi tidak seperti
apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan
asuransi yang bersifat wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia
madani (civilized society). Justeru masyarakat madani memiliki banyak
sekali kewajiban individu terhadap masyarakat secara kolektif. Inilah
bentuk perwujudan kehidupan berbudaya. Sesuatu yang sifatnya wajib
hams diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan bemegara, yang
paling kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah
sebabnya, sebuah asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur
berdasarkan undang undang. Di Indonesia, salah satu contoh asuransi
sosial yang diatur UU adalah jaminan pemeliharaan kesehatan dalam
Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek. Mekanisme adverse
selection. Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh
UU sama atau relatif sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi
kebutuhan para anggotanya. Seringkali manfaat ini disebut paket dasar.
Dalam asuransi putus kerja atau pensiun, besarnya manfaat memang
relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup, cukup untuk
makan, transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak
diberikan agar pesertanya dapat Introduksi Asuransi Kesehatan 15
HThabrany hidup mewah. N amun untuk asuransi kesehatan, di Indonesia
sayangnya banyak memiliki pemahaman sarna yaitu menjamin pelayanan
kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus berat dan mahal tidak
dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama dipikul.
Sebab yang menjadi kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang
hidup dan berproduksi seringkali justeru pelayanan operasi atau
perawatan intensif di rumah sakit. Oleh karenanya, di negara-negara lain,
pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin pelayanan rawat
inap, bukan rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi so
sial ini adalah terpenuhinya kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu,
yang tanpa asuransi sosial kemungkinan besar mereka tidak mampu
memenuhinya sendiri-sendiri. Atau jika mereka secara sukarela
(komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak punya
disiplin cukup untuk membeli. Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan
oleh peraturan yang besarnya umumnya proporsional terhadap
pendapatan/upah. Kombinasi paket jaminan/manfaat asuransi yang sama
dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi terjadinya equity
egaliter (keadilan yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you
get what you need yang lebih pas untuk kesehatan. Dalam prinsip equity
egaliter dilaksanakan prinsip seseorang hams mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang ada pada dirinya tetapi
membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dirinya. Itulah sebabnya
peserta diharuskan membayar persentase tertentu dari upahnya. Hal ini
memungkinkan pemerintah memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan
seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal 28H. Hal ini merupakan
penjabaran lebih lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila. Seluruh
negara maju dan menengah menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik
yang terintegrasi denganjaminan sosial (social security) lainnya maupun
yang dikelola tersendiri. Contoh equity liberter adalah pelayanan
kesehatan yang umumnya berlaku di Indonesia sekarang ini. Seorang
manajer yang sakit tifus masuk rumah sakit dan memilih perawatan di
kelas VIP dengan membayar biaya perawatan per hari Rp 250.000,- plus
jasa dokter, obat, pemeriksaan penunjang medis, dsb. Ia mendapat
perawatan dari suster yang cantik-cantik, doktemya berkunjung paling
sedikit sekali dalam sehari (argo dokter jalan terus), dan mendapat pilihan
makanan yang enak. Total biaya perawatan waktu pulang adalah Rp 5
juta. Adilkah (equitykah)? Tentu adil, sebab dia bayar mahal sehingga ia
mendapatkan pelayanan sesuai dengan yang ia bayar. Seorang pedagang
sayur gendongan menderita sakit tifus dan tidak diterima dirawat di RS
Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang diminta. Dengan
menahan berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia hams pergi ke RS
pemerintah yang mau menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di
rawat di kelas 11m dengan bangsal yang rame, kamar mandi bersama,
kebersihan ruangan dan bau yang kurang nyaman, serta makanan yang
standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan perawatnya kurang
ramah. Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10
hari ia pulang dengan hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil.
Sebab ia hanya mampu membayar pelayanan yang seperti itu. Seorang
tukang ojek yang menderita tifus tetapi takut ke rumah sakit karena ia
sering mendengar tetangga dan kenalannya yang dirawat di RS
menghabiskan ratusan ribu sampai Introduksi Asuransi Kesehatan 16
HThabrany jutaan rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan
berbagai obat penurun panas tidak sembuh, akhimya ia pingsan karena
rupanya telah tejadi perforasi (kebocoran) usus. Akhimya oleh
tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa hams masuk
perawatan intensif (ICU) dan pembedahan. la beruntung karena diberikan
dispensasi untuk membayar uang muka seadanya. Setelah pulang ia hams
membayar Rp 5 juta, yang paling banyak untuk perawatan intensif selarna
dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta. Karena berhutang, ia hams
menjual motomya dan masih meminjarn uang dari sanak keluarga untuk
melunasi tagihan rumah sakit tersebut. la tidak lagi berfikir darimana
mencari nafkah setelah itu, karena motor yang menjadi satu-satunya
modal telah dilego. Untuk makan keluarga setelah sembuh, terserah
nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter, adil. Sebab ia memang
bemasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini. Seorang
tukang ojek lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan hams
masuk ICU tetapi bemasib kurang baik, karena rumah sakit yang
didatanginya meminta uang muka Rp 3 juta dan ia tidak memilikinya.
Akhimya ia terpaksa pulang dengan menanda tangani surat "pulang paksa"
dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dua hari
kemudian ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter mumi,
adil! Sebab memang ia tidak mampu membayar. Pandangan egaliter
menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal di luar kesehatan. Untuk
kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang hanya
karena tidak punya uang pada saat ia sakit hams kehilangan mata
pencaharian dan menyengsarakan hidup keluarganya atau meninggal
dunia seperti dua kasus terakhir. Pandangan equity egaliter dalarn
pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada contoh terakhir
sehamsnya mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur
gendong. Pasien harus mendapatkan pengobatan sesuai dengan kondisi
medisnya dan tidak tergantung pada kemampuannya membayar, apalagi
sarnpai meninggal dunia. Lalu siapa yang membiayainya? Untuk itulah
hams diselenggarakan asuransi sosial dimana baik si manajer maupun si
tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka sebesar, misalnya
5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi Rp
250.000 per bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000
sebulan dan tukang ojek membayar Rp 20.000 sebulan untuk seluruh
keluarganya. Pada waktu mereka sakit, rumah sakit tidak perlu meminta
uang muka. Si pasien tidak hams takut berobat ke rumah sakit karena ia
telah memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar
rumah sakit, kecuali sejumlah iur biaya yang besamya terjangkau atau
sarna sekali tidak membayar apa-apa. Termasuk obat-obatan dan biaya
ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi membayar atau hanya membayar iur
biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II atau kelas III.
Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di
ruang VIP dapat menarnbah selisih biaya saja. Mungkin akhimya sang
manajer hanya membayar biaya tarnbahan ruangan dan makanan yang
besamya hanya Rp 1-2 juta saja. Pada prinsipnya premi asuransi sosial
mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan cenderung regresif. Dalarn
peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak
dengan prosentase yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di
Indonesia kalau kita berpenghasilan Rp 1 juta sebulan, maka pajak
penghasilan yang hams dibayar adalah Introduksi Asuransi Kesehatan 17
HThabrany 5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita
mencapai Rp 100 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams kita
bayar mencapai 35% dari penghasilan diatas Rp 200 juta setahun. Dalam
asuransi sosial, justeru seringkali diberlakukan batas maksimum. Misalnya
premi asuransi so sial adalah 5% dari penghasilan sampai batas Rp 5 juta.
Artinya, jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar premi
sebesar Rp 50.000 sebulan untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan
kita sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang hams kita bayar adalah 5%x
Rp 5 juta (batas maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja. Jika
penghasilan kita Rp 100 juta sebulan, maka premi yang kita bayar juga
hanya Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak adalah
penggunaannya. Pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas
untuk kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak bisa lain.
Sementara penerimaan pajak dapat digunakan untuk berbagai program
yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya, premi asuransi sosial atau
jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi sangat mirip
dengan ear-marked tax. Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan
pengenaan pajak, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah secara not
for profit (nirlaba). Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan Askes pegawai
negeri dikelola oleh PT Persero yang berorientasi laba (for profit). Ini suatu
keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba hams dipahami bahwa yang
tidak mencari laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti
bahwa lembaga tadi tidak boleh ada sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba
dalam bahasa Inggris disebut non profit (tidak ada laba atau sisa hasil
usaha). Belakangan istilah itu telah diluruskan menjadi not for profit
artinya usaha yang dilakukan sarna sekali bukan untuk mencari untung
seperti layaknya perusahaan. Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan
ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesar besarnya bagi
anggota. Jadi mirip dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi
jika ada kelebihan anggaran, maka anggaran itu dapat digunakan untuk
tahun fiskal berikutnya atau untuk cadangan negara. Jika lembaga
pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka pemerintah tidak menarik
PPh (pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut hams digunakan
untuk kepentingan peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan
rakyat. Penggunaan SHU jika ada dapat digunakan untuk perbaikan
pelayanan, perluasan paket jaminan, atau dikembalikan dalam bentuk
potongan iuran pada periode berikutnya. Hams diingat bahwa meskipun
lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial
bersifat nirlaba, pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai
tetap wajib membayar PPh 21, karena pegawai bersifat for profit. Jadi
tidak benar kalau pegawai penyelenggara asuransi sosial digaji rendah.
Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah badan
pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk
Dana Amanat ini dimiliki oleh seluruh peserta, mirip dengan model Usaha
Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera dimana
pemegang sahamnya adalah seluruh pesertaipemegang polis. Tetapi
produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan
asuransi sosial. Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik
(public insurance), untuk membedakannya dengan asuransi swasta
(private insurance) yang umumnya bersifat komersial danfor profit. Ada
banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di Indonesia
pandangan tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor
publik mendapat gaji yang sangat berbeda sehingga dalam memberikan
pelayanan seringkali tidak memuaskan Introduksi Asuransi Kesehatan 18
HThabrany atau meminta uang bawah meja. Tak ada insentifbagi mereka
untuk bekerja baik. Akibatnya, pandangan masyarakat tentang
pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada umumnya buruk.
Karena mereka 'pura-pura'nya digaji, maka mereka juga 'pura-pura'
bekerja. Keunggulan Penyelenggaraan asuransi sosial mempunyai banyak
keunggulan mikro dan makro yang antara lain dapat dijelaskan di bawah
ini. 1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse selection
atau anti seleksi, merupakan keadaan yang paling merugikan pihak
asuradur. Pada anti seleksi terjadi keadaan dimana orang-orang yang
risiko tinggi atau di bawah standar saja yang menjadi atau terus
melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi yang sifatnya
sukarelaJkomersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orang-paling
tidak dalam suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai
swasta wajib ikut, tidak terjadi anti seleksi. Yang memiliki risiko standar,
sub standar, maupun diatas standar semua ikut. Hal ini akan
memungkinkan sebaran risiko yang baik sehingga perkiraan klaim/biaya
dapat dihitung lebih akurat. 2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity
egaliter). Karena semua orang dalam suatu kelompok wajib ikut; baik yang
kaya maupun yang miskin, yang sehat maupun yang sakit, dan yang muda
maupun yang tua; maka asuransi sosial memungkinkan terjadinya subsidi
silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin. Yang
sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi
kepada yang tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara
yang sehat dengan yang sakit saja. 3. Pool besar. Suatu mekanisme
asuransi pada prinsipnya merupakan suatu risk pool, suatu upaya
menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko
bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota
kelompok tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool
atau kumpulan anggota menjadi besar atau sangat besar. Sesuai dengan
hukum angka besar, semakin besar anggota semakin akurat prediksi
berbagai kejadian. Ini hukum alamo Asuransi so sial memungkinkan
terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya misalnya dapat
lebih akurat. Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial
bangkrut adalah jauh lebih kecil dari lembaga asuransi komersial. 4.
Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan penempatan dana premi/iuran
dan dana cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi, deposito,
maupun saham. Pada umumnya portofolio investasi dana jaminan
sosial/asuransi sosial dibatasi agar tidak menganggu likuiditas dan
solvabilitas program. 5. Administrasi sederhana. Asuransi sosial biasanya
mempunyai produk tunggal yaitu sama untuk semua peserta, tidak seperti
asuransi komersial yang produknya sangat Introduksi Asuransi Kesehatan
19 HThabrany beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih
sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan sekompleks yang
dibutuhkan asuransi komersial. Oleh karenanya pada umumnya negara
yang kurang memiliki sumber daya manusia yang faham berbagai seluk-
beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi sosial. 6. Biaya
administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi
sosial tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya
pengumpulan dan analisis data yang mahal, dan biaya pemasaran yang
bisa menyerap 50% premi di tahun pertama. Oleh karenanya biaya
administrasi asuransi sosial di negara-negara maju pada umumnya kurang
dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan asuransi
komersial yang paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang
menghabiskan sampai 50% dari premi yang diterima. 7. Memungkinkan
pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena pool yang besar,
asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang
seragam sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat
keseimbangan kerja antar dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif
yang seragam ini memungkinkan juga penerapan standar mutu tertentu
yang menguntungkan peserta. 8. Memungkinkan kendali biaya dengan
buying power. Berbeda dengan mitos model organisasi managed care
(seperti HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia) yang membayar
kapitasi dan pelayanan terstruktur yang konon dapat mengendalikan
biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan biaya lebih baik tanpa hams
membayar dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko, seperti
kapitasi. Meskipun lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan
per pelayanan (fee for services) yang disenangi dokter, asuransi so sial
masih mampu mengendalikan biaya lebih baik dari model organisasi
managed care. 9. Memungkinkan peningkatan dan pemerataan
pendapatan dokter/fasilitas kesehatan. Asuransi sosial mempunyai pool
yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang
mampu berobat. Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada
fasilitas kesehatan, asuransi sosial akan mampu memeratakan
pendapatan para fasilitas kesehatan yang bersedia memenuhi standar
pelayanan dan tarif yang ditetapkan. Apabila asuransi sosial telah
mencakup lebih dari 60% penduduk, maka sebaran fasilitas kesehatanpun
dapat lebih merata tanpa pemerintah hams mewajibkan dokter bekerja di
daerah-daerah. 10. Memungkinkan semua penduduk tercakup. Orgasnisasi
Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukan faktor cakupan asuransi
kesehatan sebagai salah satu indikator kinerja sistem kesehatan negara-
negara di dunia.' Organisasi ini juga menganjurkan untuk perluasan
cakupan hingga tercapai cakupan universal, semua penduduk terjamin.
Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang diselenggarakan adalah asuransi
sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi peserta, tentunya
secara bertahap. Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya
solidaritas sosial maksimum atau 1 Laporan WHO 2000. Introduksi
Asuransi Kesehatan 20 HThabrany memungkinkan terselenggaranya
keadilan sosial (social justice). Pendekatan asuransi komersial tidak
mungkin mencakup seluruh penduduk dan memaksimalkan solidaritas
sosial. Kelemahan Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati
masyarakat baik secara mikro maupun secara makro, asuransi sosial tidak
lepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan kelemahan tersebut antara
lain: 1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial mewajibkan penduduk dan
pengelolanya yang paling tepat adalah suatu badan pemerintah atau kuasi
pemerintah, maka masyarakat tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli
umumnya berpendapat bahwa hal ini tidak begitu penting, karena pilihan
yang lebih penting adalah pilihan fasilitas kesehatannya. Asuransi sosial
memungkinkan peserta bebas memilih fasilitas kesehatan yang mana saja
yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan dapat dibayar secara FFS
atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep HMO/JPKM
kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas
kesehatan terbatas pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih
penting bagi peserta: bebas memilih fasilitas kesehatan dengan biaya
murah atau bebas memiliki asuradur tetapi pilihan fasilitas kesehatan
terbatas? 2. Manajemen kurang keratif/responsif. Karena asuransi sosial
mempunyai produk yang seragam dan biasanya tidak banyak berubah,
maka kurang insentif bagi pengelolanya untuk bekerja keras merespons
terhadap demand peserta. Apabila askes sosial dikelola oleh pegawai
yang kurang selektif dan tidak memberikan insentif pada yang berprestasi,
maka manajemen cenderung kurang memuaskan peserta. Seringkali juga
karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada tantangan sehingga
respons terhadap tuntutan peserta kurang cepat. 3. Pelayanan seragam.
Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan penduduk
kelas menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini
pada umumnya ingin berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga
kelompok ini biasanya kurang suka dengan sistem asuransi so sial.
Pelayanan yang seragam juga sering menyebabkan waktu tunggu yang
lama sehingga kurang menarik bagi penduduk kelas atas. Namun
demikian, lamanya waktu tunggu yang tidak bisa diterima oleh kelas atas
tertentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membubarkan sistem asuransi
sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90% penduduk. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan
kepada mereka membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang
dikenal dengan Medisup/Medigap di Amerika. Atau penduduk kelas atas
dibiarkan tidak menggunakan haknya dalam asuransi sosial atau jaminan
pemerintah dan menggantinya dengan membeli asuransi komersial seperti
yang terjadi di Inggris. Introduksi Asuransi Kesehatan 21 HThabrany 4.
Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka. Profesional dokter
seringkali merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang
membayar mereka dengan tarif seragam atau dengan model pembayaran
lain yang kurang memaksimalkan keuntungan dirinya. Pada umumnya
fasilitas kesehatan lebih senang melayani orang perorang yang membayar
langsung dan dengan tarif yang ditentukannya sendiri. Tetapi perlu
dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika, menerapkan
sistem asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem
yang dominan di negaranya 1.6.2. Asuransi Komersial Seperti telah
dijelaskan dimuka, asuransi komersial berbasis pada kepesertaan
sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris commerce yang
berarti berdagang. Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan.
Dasarnya adalah pedagang menawarkan barang atau jasanya dan
sebagian masyarakat yang merasa memerlukan barang atau jasa tersebut
akan membelinya. Tidak ada paksaan bahwa seseorang hams membeli
barang tersebutljasa tersebut. Agar seorang pedagang atau suatu
perusahaan dapat menjual barang atau jasanya, maka ia hams bekerja
keras memperoleh informasi barang atau jasa apa yang diminati (ada
demand) masyarakat. Kalau seorang pedagang menjual barang yang tidak
diminati masyarakat, maka barang atau jasa yang dijualnya tidak akan
laku dan pedagang tersebut akan merugi. Sebaliknya jika pedagang
tersebut sangat jeli melihat minat masyrakat calon konsumennya, maka ia
dapat menjual barang atau jasa dalam jumlah besar dan memperoleh laba
yang besar pula. Oleh karena itu model pedagang perorangan atau
perusahaan for profit sangat cocok terjun di dunia komersial ini. Basis
komersial inilah yang membedakan sistem asuransi mekanisme pasar
dengan sistem asuransi sosial yang berbasis regulasi, bukan pasar.
Asuransi komersial merespons terhadap demand (permintaan) masyarakat
sedangkan asuransi sosial merespons terhadap needs (kebutuhan)
masyarakat. Tujuan utama dari penyelenggaraan asuransi kesehatan
komersial ini adalah pemenuhan keinginan (demand) perorangan yang
beragam. Dengan demikian, perusahaan akan merancang berbagai produk,
bahkan dapat mencapai ribuan jenis produk, yang sesuai dengan
permintaan masyarakat. Secara teoritis bahkan dapat dibuat lebih dari
satu juta produk, apabila demand masyrakat memang bervariasi sebanyak
itu. Disinilah letak pemborosan, tidak efisien, secara makro karena pada
akhimya untuk dapat menjual produk yang sangat bervariasi tersebut
dibutuhkan biaya besar. Biaya besar tersebut dibutuhkan untuk riset
pasar, perancangan produk, pengembangan sistem informasi, penjualan,
komisi agen atau broker, dan keuntungan perusahaan. Jangan heran jika
ada perusahaan asuransi yang mematok biaya pelayanan sebesar 50% dari
premi yang dijual. Artinya, setiap 100 rupiah premi yang diterima, hanya
Rp 50 saja yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Motif utama
pengelola atau asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi
model ini dikenal sebagai asuransi komersial karena biasanya memang
bertujuan dagang atau mencari untung. Namun bisa saja suatu lembaga
nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan masyarakat seperti Nahdatul
Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll, menyelenggarakan model
asuansi komerisal tetapi tidak untuk mencari laba yang akan Introduksi
Asuransi Kesehatan 22 HThabrany dibagi-bagi kepada pemegang
sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang tidak marnpu
dalarn berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan
gratis. Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau
manfaat asuransi yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari
penyusunan paket yang diperkirakan diminati pembeli. Baru setelah itu
harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paket paket yang dijual
sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit
kanker atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum,
emas, perak, perunggu, plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin
tinggi atau luas jarninan dan semakin luks jaminan paket yang dijual
semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity liberter
(You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa
membeli paket yang luas-misalnya menanggung pengobatan kanker,
jantung, atau hemodialisa karena harga preminya tidak terjangkau. Dalarn
pelayanan tentu saja jika mereka sakit kanker, terpaksa asuransi tidak
menjaminnya. Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu jauh lebih
banyak dari pemegang polis atau peserta, khususnya perorangan, sangat
kuat. Peserta dapat saja membeli paket yang jauh lebih mahal dari yang
sepantasnya. Agen yang menjual dengan mudah dapat mengarahkan atau
bahkan menggiring orang membeli produk tertentu yang kurang sesuai
dengan kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung jawab dapat
saja lalai atau menghilang setelah menerima premi cukup besar. Atau
perusahaan yang hanya memikirkan keuntungannya dapat saja
menghentikan atau tidak memperpanjang asuransi orang-orang yang
temyata memiliki penyakit kronis setelah beberapa tahun menjadi peserta.
Itulah sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan dominan seperti
di Amerika, maka banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan
praktek asuransi guna melindungi peserta yang berada pada posisi lemah.
Tahun 1997 misalnya, di Amerika terdapat lebih dari 1,000 usulan
peraturan di bidang asuransi kesehatan.' Peraturan yang dikeluarkan
pemerintah federal dan negara bagian Amerika, bukan hanya mengatur
solvensi perusahaan, akan tetapi mencakup pengaturan kontrak. Di
Indonesia pengaturan kontrak asuransi kesehatan sarna sekali belum ada.
Tahun 1997 pemerintah federal Amerika mengeluarkan peraturan yang
menyangkut protabilitas asuransi dan batas boleh memberlakukan pre-
existing conditions. Pada polis asuransi perorangan ada peraturan tentang
polis non cancellable, dimana perusahaan asuransi tidak boleh
menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi jika seorang
peserta menderita suatu penyakit kronis." Kegagalan pasar asuransi
komersial/Swasta Karena sifat uncertainty mengundang usaha asuransi,
maka kini banyak pemain baru, Kolusi antara dokter-rumah sakit dan
perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan kesehatan terus
semakin mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand
baru terbentuk; membeli asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan
asuransi? Tidak bisa dilepaskan dari tarif jasa dokter, rumah sakit, obat,
laboratorium, dan alat-alat medis lainnya. Bisakan asuransi mendapatkan
harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan 2 HIAA. Managed
Care part B. Washington, D.C., 1997 3 HIAA. Health Insurance Premier,
Washington, D.C., 2000 Introduksi Asuransi Kesehatan 23 HThabrany
asuransil bapel JPKM dapat memperoleh harga yang lebih murah, mereka
juga punya interes untuk mendapatkan untung. Sementara provider masih
tetap memiliki market power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi
perusahaan asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari pihak pasien/
konsumen. Tentu saja sebagai "perantara", perusahaan asuransil bapel
JPKM akan mencari untung dari kedua pihak, pihak peserta/ pemegang
polis dan pihak provider. Maka kini, seorang pasien/konsumen/peserta
mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka. Akankah
konsumen mampu untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai
kebutuhannya? Hampir tidak mungkin! Karena disini juga terjadi informasi
asimetri. Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko dirinya dan hampir
tidak mungkin mengetahui apakah harga premi yang dibelinya pantas,
terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara penjual (perusahaan
asuransi/bapel JPKM) dapat menciptakan produk dan cara pamasaran
yang menakutkan sehingga konsumen, jika ia mempunyai kemampuan
keuangan, memilih untuk membeli. Bagaimana dengan konsumen yang
tidak mampu? Sejauh pasar belum jenuh, asuradur akan memusatkan pada
perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan profitable. Karena
dalam pasar asuransi (swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi
atas dasar risiko yang akan ditanggung (paket jaminan), risk based
premium, maka besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan
kemampuan membeli seseorang. Maka sudah dapat dipastikan bahwa
penduduk yang miskin tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya,
asuransi kesehatan swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu
mencakup seluruh penduduk. Keinginan mencakup seluruh penduduk
dengan mekanisme asuransi kesehatan swasta hanyalah sebuah impian
belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika, yang menghabiskan lebih dari
US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini diperkirakan Amerika
menghabiskan US$ 1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta penduduknya
(16%) tidak memiliki asuransi (HIAA, 1999)3. Dengan terbatasnya pasar
dan persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa mencapai jumlah
yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat
produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk
mencakup berbagai pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan
volume penjualan untuk masing-masing produk yang relatif kecil
menyebabkan contigency dan profit margin yang relatif besar. Perusahaan
asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya
operasional, laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan
Reinhart, 1999). Departemen Kesehatan membolehkan bapel menarik
biaya loading sampai 30%.4 Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio
klaim yang bervariasi antara 40-70%, tergantung jenis produknya,
sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60%.
Jadi berbagai skenario dan fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan
bahwa asuransi kesehatan swasta tidak bisa menurunkan biaya pelayanan
kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh penduduk. Jelaslah
ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/ komersial
(termasuk disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) gagal menciptakan
cakupan universal dan mencapai efisiensi makro. Trade off antara risk
pooling dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang. Sementara
itu, hampir semua negara menginginkan cakupan universal. Oleh
karenanya, jika kedua komponen tujuan, universal dan efisensi makro,
ingin Introduksi Asuransi Kesehatan 24 HThabrany dicapai; maka
membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal mencapai
tujuan tersebut. Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi
PBB tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan
sebagai salah satu hak dasar penduduk (fundamental human right).
Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah mengusahakan
suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk
(universal) secara adil dan merata (equity). Negara-negara maju pada
umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan dan
penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu undang-undang.
Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang.
Penyelenggara pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat
pula badan swasta yang nirlaba. Penyediaan kesehatan publik adalah
penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan sebagainya yang
disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom
(terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom. Dengan
menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau
penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) memungkinkan
terselenggaranya cakupan universal dan pemerataan yang adil.
Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu berarti bahwa
pemerintah hams menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma.
Yang dimaksud pendanaan oleh publik adalah pendanaan oleh pemerintah
dalam bentuk anggaran belanja negara atau oleh penyelenggara asuransi
social atau jaminan social. Penyelenggara asuransi/jaminan social dapat
dikelola langsung oleh organisasi birokrasi pemerintah atau dikelola oleh
badan/agency yang dibentuk pemerintah yang berfungsi otonom, tidak
dipengaruhi birokrasi pemerintah. Di Indonesia, banyak orang
mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai hak asasi akan
menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat. Pada hakikatnya,
pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh
pemerintah bersama swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-l
. Gambar-l. Matriks Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan
kesehatan Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik Inggris Indonesia
dan negara berkembang lainnya Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan * Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar
pembiayaan dan penyediaan kepada sektor s was ta, akan tetapi bersifai
sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika
menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial
atau nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiayaan dari
penerimaan pajak (general tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan
pembiayaan melalui asuransi sosial seperti Introduksi Asuransi Kesehatan
25 HThabrany yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman.
Kanada dan Taiwan memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara
dengan hanya menggunakan satu badan penyelenggara, yang sering
dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara Jerman dan Jepang
menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan
banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba. Di Indonesia,
pengertian asuransi sosial sangat sering disalah artikan dengan
pengertian derma atau pelayanan cuma-cuma. Sementara
penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan yang sudah ada, program JPK
PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan oleh perusahaan
publik yang berbentuk badan hukum berorientasi laba (Persero). Hal ini
menyebabkan semakin kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi
pemahaman ini menyebabkan sulitnya usaha-usaha mengusahakan suatu
sistem asuransi sosial yang konsisten. Asuransi sosial adalah asuransi
yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah yang melindungi
golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah
didasari pada suatu undang-undang dengan pembayaran premi dan paket
jaminan yang memungkinkan terjadinya pemerataan. Dalam
penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a) kepesertaan
wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi
ditetapkan oleh undang-undang, umumnya proporsional terhadap
pendapatan/gaji, dan (c) paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan
pendapatan, yang biasanya sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany,
1999i. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya keadilan
sosial yang egaliter. Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai
keunggulan dalam mencapai efisiensi makro karena tidak memerlukan
biaya perancangan produk, pemasaran, dan pencapaian skala ekonomi
yang optimal. Taiwan misalnya hanya menghabiskan kurang dari 3% premi
untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6. Program Medicare di
Amerika hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra
asuransi komersial swasta di Amerika menghabiskan rata-rata 12%
(Shalala dan Reinhardt, 1999f Kekuatan 1. Pemenuhan kebutuhan unik
seseorang atau sekelompok orang. Karena sifat asuransi komersial yang
memenuhi demand, maka perusahaan asuransi akan bereaksi cepat
terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok
orang. Oleh karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai
dengan permintaan kelompok tertentu yang khususnya ingin mendapatkan
pelayanan yang nyaman dan bergengsi. Asuransi kesehatan komersial juga
dapat memberikan pelayanan khusus kepada suatu kelompok, misalnya
perusahaan besar, dengan membuat paket khusus (tailor made) yang
sesuai dengan permintaan pembeli. 2. Merangsang pertumbuhan
perdagangan/ ekonomi. Besamya keuntungan yang dapat dijanjikan oleh
asuransi kesehatan dapat merangsang investor terjun menanam modalnya
di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan dengan asuransi jiwa mungkin
Introduksi Asuransi Kesehatan 26 HThabrany asuransi kesehatan relatif
kurang menguntungkan, tetapi penjualan asuransi kesehatan oleh
perusahaan asuransi jiwa akan menambah efisiensi perusahaan. Dana
yang terkumpul dari premi asuransi kesehatan juga dapat ditanam dalam
berbagai portofolio investasi sehingga dapat juga menyumbang pada
pertumbuhan ekonomi. 3. Kepuasan peserta relatif lebih tinggi. Karena
asuransi komersial sangat fleksibel dalam menyusun paket jaminan dan
banyaknya pelaku menimbulkan persaingan, maka asuransi komersial
dapat memenuhi selera pesertanyaJ pemegang polisnya dengan cepat.
Karenanya, dibandingkan dengan asuransi sosial, kepuasan peserta pada
umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial. Namun demikian harus
disadari bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut hams dibayar dengan
premi yang lebih mahal. 4. Produk akan sangat beragam sehingga
memberikan pilihan bagi konsumen. Dalam asuransi kesehatan komersial,
setiap perusahaan atau bapel akan merancang produk yang diharapkan
dapat memenuhi permintaan calon konsumennya (prospeknya). Bahkan
setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan
banyak sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai
persepsi kebutuhannya dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya.
Kelemahan 1. Pool relatif kecil. Bagaimanapun hebatnya perusahan
asuransi komersial, pool jumlah peserta tidak akan mampu menyamai pool
asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya yang komersial atau usaha
dagang maka usaha asuransi komersial terkena undang undang
antimonopoli sehingga pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang
banyak, maka kepesertaan penduduk akan tersebar di berbagai
perusahaan asuransi yang menyebabkan skala ekonomi bisa tidak
tercapai. 2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks.
Beragamnya produk asuransi kesehatan, yang secara teoritis dapat
mencapai jutaan jenis, selain memberikan pilihan bagi konsumen juga
menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi kepesertaan harus
dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap tertanggung
dikenakan biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum
yang berbeda-beda. Maka untuk mengelolanya diperlukan kecermatan
tersendiri yang lebih kompleks dari manajemen nasabah bank. 3.
Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka
memberikan bantuan kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak
lain, maka asuransi komersial menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi
yang dibayar asuransi kesehatan komersial disesuaikan dengan risiko
kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap orang). Disinilah
terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket platinum
dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara
yang membeli paket standar hams puas dengan pelayanan yang sesuai
dengan harga premi yang dibayamya. Introduksi Asuransi Kesehatan 27
HThabrany 4. Biaya administrasi tinggi. Karena kompleksnya produk
asuransi komersial, maka biaya administrasi (loading) menjadi relatif jauh
lebih besar dibandingkan dengan sistem asuransi sosial. Perusahaan
asuransi komersial hams menyewa aktuaris, melakukan riset pasar,
melakukan perbagai upaya pemasaran dan penjualan, dan hams membayar
dividen atas laba yang ditargetkan pemegang saham. Seluruh biaya biaya
tersebut pada akhimya hams dibayar oleh pemegang polis/peserta. 5.
Tidak mungkin mencapai cakupan universal. Seperti telah dijelaskan
diatas, penduduk/kelompok kecil yang meskipun memilik demand akan
tetapi tidak memiliki uang, tidak akan membeli asuransi. Akibatnya tidak
mungkin seluruh penduduk tercakup asuransi kesehatan. Maka di banyak
negara asuransi kesehatan komersial hanya bisa dijual sebagai produk
suplemen atau asuransi tambahan terhadap asuransi so sial kepada
mereka yang ingin mendapat pelayanan yang lebih memuaskan. 6. Secara
makro tidak efisien. Dominasi asuransi kesehatan komersial, bukan
sebagai produk suplemen, akan menyebabkan pada akhimya biaya
kesehatan tidak terkendali, meskipun mayoritas produk yang dijual dalam
bentuk managed care (bentuk JPKM sekarang). Hal ini disebabkan oleh:
pertama, tingginya biaya administrasi. Kedua, tidak mungkinnya penduduk
miskin membeli asuransi kesehatan yang mengakibatkan pemerintah
tetap hams mengeluarkan anggaran khusus untuk penduduk miskin.
Ketiga, berbagai pelayanan yang secara medis tidak esensial tetapi
penting untuk menarik konsumen untuk membeli dimasukan dalam paket.
1.7. Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan Berbagai Indikator
Makro Kesehatan Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang
lebih konsisten mencari cakupan universal dan efisiensi makro (biaya
kesehatan nasional yang rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada
asuransi kesehatan swasta, baik dalam bentuk tradisional indemnitas
maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun POS). Tentu saja
argumen teoritis yang dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa
adanya data empirik. Data empirik yang menyajikan cakupan universal dan
efisiensi makro saja, juga tidak cukup meyakinkan manfaat asuransi sosial
kesehatan (ASK). Oleh karena itu kita hams juga melihat indikator
outcome (keluaran) secara makro. Tujuan cakupan universal dan efisiensi
saja tidak memadai jika pelayanan yang diberikan tidak cukup berkualitas.
Untuk menentukan pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa
melihatnya dari keluaran yaitu status kesehatan. pengukuran status
kesehatan yang lazim digunakan adalah angka kematian bayi dan umur
harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak hanya dipengaruhi oleh
sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan bahwa
sistem tersebut mempunyai korelasi yang kuat terhadap keluaran status
kesehatan. Dalam Tabel-l disajikan perbandingan data empirik yang di olah
dari karya Anderson dan Paullier, 19998. Introduksi Asuransi Kesehatan 28
HThabrany Tabell Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan
status kesehatan di berbagai negara maju. Askes %penddk BiayaRIper
Biaya Kes per Negara domi-nan dijamin hari (US$), kapita (US$), IMR, LE,
wntlpria, ASK 1996 1997 1996 1996 Amerika Komers 33,3 1.128 3.925 7,8
79,4/72,7 Australia Sosial 100 242 1.805 5,8 81,1175,2 Austria Sosial 99
109 1.793 5,1 80,2173,9 Belanda Sosial 72 225 1.838 5,2 80,4174,7 Belgia
Sosial 99 263 1.747 6,0 81,0174,3 Ceko Sosial 100 75 904 6,0 77,2170,5
Denmark Sosial 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia Sosial 100 168 1.447
4,0 80,5173,0 Inggris Negara, 100 320 1.347 6,1 79,3174,4 NHS Islandia
Sosial 100 192 2.005 5,5 80,6176,2 Itali Sosial 100 339 1.589 5,8 81,3174,9
Jepang Sosial 100 83 1.741 3,8 83,6177,0 Jerman Sosial 92,2 228 2.339 5,0
79,9173,6 Kanada Nasio-nal 100 489 2.095 6,0 81,5175,4 Korea Sosial 100
110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg Sosial 100 180 2.340 4,9 80,0173,0
Norwegia Sosial 100 123 1.814 4,0 81,1175,4 Perancis Sosial 99,5 284
2.051 4,9 82,0174,1 Portugal Sosial 100 249 1.125 6,9 78,5171,2 Selandia
Barn Nasio-nal 100 254 1.352 7,4 79,8174,3 Spanyol Sosial 99,8 343 1.168
5,0 81,6174,4 Turki Sosial 66 73 260 42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 144
974 7,3 80,4175,1 Catatan: RJ= rawat inap, IMR=infant mortality rate,
LE=life expectancy. Dari tabe1 tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika
yang merupakan satu-satunya negara maju yang menggantungkan sistem
asuransinya pada asuransi komersia1 mempunyai kinerja keuangan yang
sangat maha1, hampir dua kali biaya termaha1 di negara lain, dan 1ebih
dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman yang sarna-sarna
memiliki banyak badan penye1enggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya
rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali 1ebih maha1
dibandingkan negara-negara maju 1ainnya yang memiliki pendapatan per
kapita yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika
masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai
jaminan (uninsured). Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE,
tidak menunjukan status yang 1ebih baik dari banyak negara atau dari
tetangganya Kanada. Data diatas menunjukkan angka-angka cross
sectional yang dapat menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya
kesehatan di Amerika konsisten dari waktu ke waktu? Berbagai literatur
ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita
tidak bisa membandingkan angka-angka ni1ai nominal do1ar tersebut
dengan keadaan di Indonesia. Negara yang kaya memang akan
menge1uarkan biaya besar karena memang biaya hidup tinggi. Suatu
ukuran yang dapat memantau beban finansia1 ada1ah besamya biaya
kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).
Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara
OECD, 1970-1997 te1ah di1akukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)9.
Hasil penelitian tersebut disajikan pada Gambar-2. Introduksi Asuransi
Kesehatan 29 HThabrany Penelitian kedua orang tersebut menunjukkan
bahwa Amerika secara konsisten menghabiskan biaya kesehatan sebagai
prosentasi terhadap PDB yang terns meningkat tak terkendali.
Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem
pembiayaan dan penyediaan kesehatan yang terkendali (bukan managed
care) temyata Amerika menghabiskan jauh lebih besar, baik dalam nilai
nominal dolar maupun dalam prosentase terhadap PDB. Dari enam negara
yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang menggantungkan pembiayaan
kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi kesehatan
komersial/ swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO,
PPO, danPOS. Gambar-2 Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam
Negara Maju, 1970-1997 16T~~~~~--=;=7e~~r-------------1 • Amerika 14 •
Kanada 12 10 8 6 4 2 o +-------_r------~r_------,_------_r--------r_----~ -------------------
--- :::: ~:~:- - - - - - - - - -~ - - - - - - - - - -~ -::::::: :~::::
---------------------------------------------------------------- 1970 1975 1980 1985 1990 1997
Disusun dari data Health Affairs 1.8. Pemberian Benefit Dari segi
pemberian atau pembayaran manfaat kita dapat membagi jaminan
asuransi menjadi dua bagian besar, yaitu pembayaran manfaat dalam
bentuk uang atau penggantian uang dan pemberian jaminan berbentuk
pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran dalam bentuk uang
dikenal dengan nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat
memberikan penggantian uang lump sum, sejumlah tertentu (indemnitas)
atau sesuai dengan tagihan (reimbursement). Sedangkan manfaat yang
diberikan dalam bentuk pelayanan kini dikenal dengan istilah populer di
Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali). Pemberian jaminan
dalam bentuk uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi
kesehatan sosial maupun asuransi kesehatan komersial. Introduksi
Asuransi Kesehatan 30 HThabrany 1.8.1. Jaminan Uang Tradisi asuransi,
termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan penggantian uang.
Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai
definisi yang sarna. Dalarn asuransi kesehatan di masa lalu, dimana
provider belum cukup banyak dan moral hazard belum meluas, jaminan
uang berjalan cukup baik. Dalarn praktek, pemberian jarninan uang sering
bermasalah karena mudahnya moral hazard terjadi dan kesulitan teknis
menentukan kebutuhan yang pas. Asuransi mobil di Indonesia juga
seringkali memberikan jaminan dalarn bentuk pelayanan jika mobil yang
diasuransikan rusak karena kecelakaan. Perusahaan asuransi biasanya
mengirim mobil yang rusak ke bengkel tertentu. Prinsip yang sarna
digunakan dalam pelayanan kesehatan, dimana pasien hams mendapat
pengobatan atau perawatan di provider tertentu di rumah sakit atau klinik.
Bukan hanya bapel JPKM yang melakukan hal itu, perusahaan asuransi
juga melakukan hal yang sarna. Dalam asuransi kesehatan pemberian
jarninan berupa uang hams dikelola lebih rumit karena kebutuhan tidak
selalu pas dengan uang jarninan sementara kebutuhan pelayanan medis
tidak dapat ditunda. Akibatnya permainan kuitansi atau pelayanan mudah
"disesuaikan" yang pada akhimya meningkatkan premi. Penggantian
dengan kwitansi mengundang moral hazard yang lebih tinggi lagi.
Pemberian jarninan dalarn bentuk uang dalam asuransi kesehatan
mempunyai berbagai kelebihan dan kekurangan seperti: 1. Tidak perlu ada
kontrak atau kerja sarna dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (fasilitas
kesehatan, provider). Pada asuransi indemnitas dimana peserta dapat
mengajukan klaim berdasarkan kwitansi biaya berobat di rumah sakit
tidak diperlukan kontrak khusus antara perusahaan asuransi dengan
provider. Pada umumnya produk indemnitas di Indonesia hanya
menanggung biaya rumah sakit. 2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat
tidak adanya kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka peserta atau
tertanggung mempunyai kebebasan memilih fasilitas kesehatan dimana ia
akan mendapatkan pengobatan. Pilihan yang luas ini sangat disukai orang-
orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan seleranya. Pada
umumnya golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat
menyukai asuransi model ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha
asuransi komersial maupun asuransi sosial pada asuransi kecelakaan
kerja (workers' compensation, occupational injury, dll). 3. Pembayaran
fasilitas kesehatan FFS. Karena jarninan diberikan dalarn bentuk uang
jumlah tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka
pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan sesuai dengan jasa yang
diberikan (fee for service). Cara pembayaran ini sangat disukai oleh
fasilitas kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak perlu menanggung
risiko finansiaI. 4. Kepuasan peserta lebih tinggi. Kepuasan peserta tinggi
karena mereka tidak hams mendapatkan pelayanan dari fasilitas
kesehatan yang belum mereka kenaI. Apabila mereka mendapatkan
fasilitas kesehatan yang kurang baik pelayanannya, peserta tidak bisa
menyalahkan kepada asuradur. Introduksi Asuransi Kesehatan 31
HThabrany lIustrasi asuransi kesehatan komersial dan sosial Contoh
asuransi kesehatan sosial. Pegawai negeri golongan IA bergaji Rp 500.000
per bulan dan membayar premi sebesar 2% dari gajinya atau Rp (2/100) x
Rp 500.000 = Rp 5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu istri dan dua
anak. Jadi premi perbulan per orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika
salah seorang anggota keluarganya hams dirawat inap atau hams
menjalani cuci darah, maka Askes menjaminnya (dengan tambahan iur
biaya saat ini). Pegawai negeri lain bergolongan IV C dengan gaji sebesar
Rp 1.500.000 per bulan. Pegawai ini membayar premi 2% atau (2/100) x Rp
1.500.000,- atau = Rp 30.000 per keluarga per bulan. Karena anaknya
sudah besar ia hanya menanggung istrinya. Jika salah seorang dari
keduanya hams rawat inap atau harus hemodialisa, maka Akses
menanggung pelayanan hemodialisa (saat ini dengan iur biaya) yang sarna
besarnya seperti pegawai golongan IA tadi. Contoh diatas menunjukkan
adanya subsidi silang antara yang lebih kaya kepada yang lebih miskin
atau dari golongan IVC kepada golongan IA. Contoh Asuransi Komersial
(contoh ini adalah produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat tanpa
menyebutkan nama perusahaannya). Sebuah perusahaan asuransi menjual
paket standar perawatan kelas III dengan premi Rp 12.500 per orang per
bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang pegawai atau
pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu
membeli paket ini karena ia hams membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000
per bulan. Ini sarna dengan 12% penghasilannya sebulan. Kalau anggota
keluarga ini perlu rawat inap atau hemodialisa, maka ia harus bayar
sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka ya mungkin nyawa mengancam
jiwanya karena tidak ada yang menanggung. Seorang pengusaha kecil
berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi dan
membeli paket standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga,
maka dia mampu membayar Rp 60.000,- yang merupakan 1,2% dari
penghasilannya. Akan tetapi karena paketnya tidak menanggung
hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan hemodialisa,
perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih hams
membayar seluruh biaya cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh
penghasilannya setiap bulan. Jadi perlindungannya tidak memadai.
Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi sebesar Rp 15.000
per bulan dengan paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan
tidak menanggung hemodialisa. Seorang penduduk dengan penghasilan
sebesar Rp 500.000 dan mempunyai satu istri dan dua anak, hams
membayar 12% penghasilannya (Rp 60.000) sebulan. Jikapun ia
memaksakan membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya Rp
3.000.000,- maka bapel tersebut hanya membayar Rp 500.000,- saja.
Keluarga ini tidak akan sanggup membayar sisa biaya perawatan yang
lima kali lebih besar dari penghasilannya. Kalau keluarganya perlu
hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan bangkrut atau
keluarganya terpaksa direlakan kembali ke pangkuan Ilahi. Introduksi
Asuransi Kesehatan 32 HThabrany 5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih
tinggi. Pembayaran jasa per pelayanan dan pilihan bebas fasilitas
kesehatan memberikan kepuasan tinggi kepada fasilitas kesehatan tidak
ada risiko finansial. Provider yang mampu memberikan pelayanan baik dan
memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien. 6. Fraud atau
kecurangan dan abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik
peserta maupun fasilitas kesehatan tidak memiliki insentif untuk
menggunakan pelayanan lebih sedikit akan tetapi justeru sebaliknya.
Peserta dapat merasa bahwa pelayanan kesehatan dapat mereka terima
dengan tidak perlu membayar. 7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada
fasilitas kesehatan tidak relevan Di Indonesia asuransi yang memberikan
jaminan dalam bentuk uang diberikan oleh perusahaan asuransi, baik yang
langsung atau melalui kartu kredit. Mereka menawarkan asuransi biaya
perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu kredit, selain kepada
kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan
Jaminan Kecelakaan Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam
bentuk penggantian uang atau sejumlah uang tertentu. Sebagian program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek maupun JPK bagi
pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian uang, khususnya
untuk pelayanan yang bersifat gawat darurat. 1.8.2. Jaminan Pelayanan 1.
Perlu kerja samalkontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa
memberikan jaminan dalam bentuk pelayanan, maka diperlukan sebuah
ikatan kerja sama atau kontrak dengan fasilitas kesehatan. Tentu saja
tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak. Untuk itu ada proses
kredensialing. 2. Mengurangi moral hazard dari sisi pesertaipemegang
polis. Pemberian jaminan melalui fasilitas kesehatan yang dikontrak
mempunyai dua keuntungan. Pertama, peserta digiring pada pelayanan
yang biayanyaitarifnya sudah disepakati atau diketahui sehingga lebih
mudah memperkirakan biayanya. Kedua, apabila kontrak dengan fasilitas
kesehatan disertai berbagai upaya kendali biaya dan moral hazard,
misalnya dengan pengunaan formularium yang disepakati, maka jaminan
pelayanan dapat mengurangi biaya. Kontrak dengan fasilitas kesehatan,
hams disadari, tidak menjamin menghilangkan moral hazard dari sisi
fasilitas kesehatan itu sendiri. 3. Pembayaran fasilitas kesehatan dapat
bervariasi. Dengan melakukan kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka
terbuka kemungkinan berbagai cara pembayaran kepada fasilitas
kesehatan. Cara pembayaran dapat dilakukan per jasa pelayanan yang
disukai fasilitas kesehatan baik dengan rabat tertentu atau tanpa rabat.
Cara pembayaran lain adalah dengan tarif paket tertentu baik itu per hari
rawat, per tindakan, per diagnosis (di Indonesia belum berkembang),
maupun dengan pembayaran tanggung risiko yang disebut kapitasi.
Introduksi Asuransi Kesehatan 33 HThabrany 4. Pilihan fasilitas kesehatan
terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas kesehatan tentu tidak bisa
dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu kota
tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas
pada pemberian jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya.
Tertanggung hams memilih pelayanan pada jaringan fasilitas kesehatan
tertentu, paling tidak hams ada insentif agar tertanggung mau
menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang dikontrak. Jika tidak ada
insentif finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan berfungsi. 5.
Kepuasan peserta menjadi kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang
mengakibatkan pilihan fasilitas kesehatan semakin terbatas mempunyai
potensi keluhan dan ketidak puasan peserta. Apabila ada sedikit saja
pelayanan yang peserta kurang berkenan, maka peserta akan mengeluh
atau bahkan mengadukan hal tersebut. 6. Perlu kendali mutu. Karena
kontrak fasilitas kesehatan memberikan pilihan fasilitas kesehatan
terbatas, maka calon peserta hams diyakinkan bahwa fasilitas kesehatan
yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini menimbulkan
kehamsan asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali
mutu melalui fasilitas kesehatan ini amat berguna untuk keperluan
pemasaran atau kepuasan peserta, atau memantau tanggung jawab pihak
yang dikontrak terhadap berbagai standar. Kendali mutu ini berlaku untuk
semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi kendali mutu
bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM. 7. Pada
pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi
(utilization review). Apabila pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan
dengan sistem yang berdasarkan risiko seperti kapitasi, maka terdapat
potensi dimana fasilitas kesehatan mengorbankan mutu pelayanan atau
mengurangi jumlah pelayanan yang sehamsnya diterima oleh tertanggung.
Oleh karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik mengharuskan
adanya telaah utilisasi. 1.9. Ringkasan Setelah berbagai model asuransi
kesehatan dibahas diatas, maka di bawah ini disajikan ringkasan berbagai
aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan tersebut dan
contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia. Introduksi Asuransi
Kesehatan 34 HThabrany Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau
difasilitasi oleh asuransi kesehatan sosial dan komersial ~ Sosial (Wajib)
Komersial (Sukarela) Aspek Sifat gotong royong antar Tua-muda Sehat-
sakit golongan Kaya-rniskin Sehat-sakit Seleksi bias Tidakada Adverse
ataufavorable, tergantung keahlian bapel/ asuradur Prerni Not risk-related
Risk-related Biasanya proporsional (%) Biasanya dalarn jurnlah harga
terhadap upah tertentu Paket Sarna untuk seluruh peserta Bervariasi
sesuai pilihan peserta KeadilanJ equity Egaliter, sosial Liberter, individual
Pilihan bapel/asuradur Biasanya tidak ada atau kecil Luas Pilihan provider
Umumnya sangat luas Pada model tradisional, umumnya Pada penerapan
teknik managed sangat luas care, pilihan jadi terbatas Pada model
managed care, pilihan terbatas Kemampuan pengendalian biaya Sangat
tinggi Sangat rendah Komnetisi bapel/asuradur Umumnva kecil/rendah
Umumnva tinzzi Response pelayanan medis Pemenuhan kebutuhan medis
Pemenuhan perrnintaan medis (medical needs) (demand) Badan
penyelenggara Pemerintah atau quasi pemerintah Bebas (pemerintah atau
swasta) Bersifat nirlaba Bersifat pencari labalnirlaba Pembayaran fasilitas
kesehatan Bervariasi dari kapitasi sampai Bervariasi dari kapitasi sampai
fee for service fee for service Contoh badan asuransi/asuradur dan
pemberian manfaat asuransi ~ Asuransi Sosial (wajib) Asuransi Komersial
Manfaat (sukarela) Uang (indemnitas/ Jasa Raharja, JKK Produk Lippo,
Metlife, ING, reimbursement) Jamsostek, Medicare di AS Aetna,
Jiwasraya, Bringin, Kartu kredit, dll, Askes tradisional di AS Pelayanan
Askes wajib, JPK Jamsostek, Yang dijual oleh PT Askes, /managed care
AKN Kanada, AKN Taiwan, PT Allianz managed care, AKN Filipina, AKN
Korea, dan bapel JPKM AKN Muangtai, dan askes Di Amerika: Blue
CrosslBlue semua negara maju lainnya Shield, HMO, PPO, POS di dunia
(managed care organizations) AKN= Asuransi Kesehatan Nasional
Introduksi Asuransi Kesehatan 35 HThabrany Matriks Pembiayaan dan
Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan yang dilaksanakan berbagai
negara di dunia Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik Inggris
Indonesia dan negara berkembang lainnya Swasta lCanada, Jerman,
Jepang Amerika dan Taiwan • Jepang dan Jerman. menyerahkan sebagian
besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor swasta, akan tetapi
bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika
menyerahkan kepada mekanisme pasar {for profit dan not for profit). •
Yang dimaksud dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana
pemerintah atau asuransi sosial/ jaminan sosial Istilah Penting Negara
Kesejahteraan Jaminan sosial Asuransi sosial Public insurance Bantuan
sosial Means test Asuransi komersial Private insurance Asuradur Risk
based premium Non-risk related premium Income based premium
Kebutuhan dasar layar (decent basic needs) Kebutuhan dasar kesehatan
Nirlabalnot for profit Pencari laba/For profit Dividen Badanhukum Dana
AmanatITrust Fund Wali amanat Board of Trustees/Majlis Wali Amanat
Pengelolaan profesional Insurance/ Asuransi Risiko Telaah
utilisasi/utilization review Uncertainty Introduksi Asuransi Kesehatan 36
HThabrany Risk avoidance Risk reduction Risk transfer Risk asumption
Risk taker Risk averter Measurable Quantifiable Populasi homogen
Accidental Pure risk Catastrophic Risk sharing Adverse selection/anti
selection Bias selection Favorable selection Insured/tertanggung
Benefitlmanfaat Premi/iuranlkontribusi Sukarela/voluntary
Wajib/mandatory/compulsory Policy holder/pemegang polis
Anggota/member Managed care Kondisional Unilateral Aleatory Adhesi
JPKM Gakin JPSBK Deklarasi PBB 1948 Ekstemalitas Social justice Social
equity Medicare Market failure Equity egaliter Equity liberter Pasal 28H
UUD 45 amendemen Earmarked tax PT Persero SHU, sisa hasil usaha
PPh21 PPh badan U saha bersama/mutual Introduksi Asuransi Kesehatan
37 HThabrany Risk pool Portofolio Biaya administrasi fasilitas
kesehatan/provider Jasa per pelayanan/fee for services Organisasi
Kesehatan DuniaIWHO Medisup/Medigap Demand Need You get what you
need You get what you pay for Pre existing conditions Non cancellable
Profitable Contigency Profit margin Loading Fairness in health care
financing Fundamental human right Tailor made Antimonopoli Deductible
Coinsurance Reimbursement Indemnitas Moral hazard Workers'
compensation Occupational injury Fraud Kredensialing Rujukan 5
Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan FKMUI, Depok 200l. WHO. World Health Report 2000.
Geneva, 2001 Health Insurance Association of America (HIAA). Source
Book of Health Insurance Data. HIAA, Wahington D.C., 1999. Depkes RI.
Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995.
Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan
Dokter Indonesia, Jakarta, 1999. Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan,
ROC. Taipei, 1997 2 3 4 6 Introduksi Asuransi Kesehatan 38 HThabrany 7
Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care
System from Within: Candid TalkfromHHS. Health Affairs 18(3): 47-55,1999
Anderson, GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes:
Trends in Industrialized Countries; Health Affairs, 18(3):178-192 Ikegami, N
dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling
Trhouqh; Health Affairs 18(3):56-75. 8 9 Introduksi Asuransi Kesehatan 39
HThabrany BAB2 Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil 2.1.
Pendahuluan Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri
sipil (PNS) dan keluarganya saat ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah
(PP) No 69/91 yang ditanda-tangani Presiden Suharto pada tanggal 23
Desember 1991. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah jaminan
pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan asuransi kesehatan. Kata
asuransi kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang penunjukkan
PT Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan
penyelenggara program pemeliharaan kesehatan PNS. Istilah asuransi
kesehatan yang disingkat askes digunakan karena istilah tersebut sudah
sangat populer di kalangan peserta pegawai negeri pada waktu badan
penyelenggara bemama Perum Husada Bhakti yang diatur oleh PP 22/1984
tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan Penerima
Pensiun beserta anggota keluarganya. Asuransi kesehatan pegawai negeri
sipil merupakan suatu asuransi sosial yang diikuti oleh seluruh pegawai
negeri dan pensiun pegawai negeri dan merupakan program asuransi
kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi sosial lain yang diikuti oleh
seluruh peserta adalah asuransi kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh
PT Jasa Raharja. Namun demikian, asuransi kecelakaan tersebut juga
memberikan pertanggungan kematian. Asuransi kesehatan pegawai
negeri, yang selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya
asuransi kesehatan yang mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8
juta jiwa. Dalam usianya yang lebih tua dari usia negeri ini, jika
diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi pegawai negeri di jaman
penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural. Meskipun
dalam praktek PT Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produk
produk asuransi kesehatan komersial yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini
hanya akan dibahas porsi asuransi kesehatan sosial (wajib). Porsi asuransi
kesehatan komersial yang dijual PT Askes akan dibahas pada Bab 4
tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang dijual PT Askes dengan
JPKM. Sistem asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan teknik-
teknik managed care seperti yang digunakan oleh JPKM. Perbedaannya
dengan JPKM adalah bahwa askes PNS ini bersifat wajib atau merupakan
bentuk asuransi sosial sehingga lebih tepat disebut Asuransi Sosial
Kesehatan Terkendali (managed social health insurance). 2.2. Sejarah Di
jaman penjajah Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa
mendapat jaminan kesehatan yang diatur oleh peraturan pemerintah
Belanda (Staatsregeling Nol/34). AskesPNS 40 H Thabrany Empat tahun
kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai pemerintah pribumi
karena protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat perbedaan
jaminan dimana bangsa Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan
fasilitas kesehatan swasta sedangkan pegawai kelas menengah dan
bawah hanya dapat menggunakan fasilitas pemerintah. Sistem jaminan
yang diberikan adalah sistem penggantian atau reimbursement atas biaya
pelayanan kesehatan dengan menunjukkan bukti kwitansi. Pengelola
jaminan ini adalah Departemen Kesehatan beserta kantor kesehatan,
inspektur kesehatan, di propinsi. Pada peri ode awal kemerdekaan yaitu di
tahun 1948 sistem penggantian biaya berobat ini diteruskan dengan tetap
mempertahankan dua sistem pegawai tinggi dan rendah, hanya saja
batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain itu pada jaman awal
kemerdekaan ini pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang
diajukan sedangkan sisanya mendapat penggantian dari Depkes, melalui
Ikes. Di tahun 1949 setelah uang Indonesia sudah digunakan, batas gaji
diubah menjadi Rp 850 sebulan. Pengelolaan dana untuk penggantian
biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi Dirjen Bina Waluya.
Pegawai yang sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan penggantian
biaya berobat. Dapat dibayangkan bahwa dengan cara penggantian yang
didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak terjadi penyalah-gunaan
dan mendorong timbulnya moral hazard. Pada tahun 1960 Menteri
Kesehatan waktu itu mengeluarkan instruksi untuk mengembangkan
jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai pemerintah dengan
nama "Jakarta Pilot Project" yang memang dimulai di Jakarta. Sistem
penggantian biaya diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada
PPK dan tidak lagi ada perbedaan antara yang golongan gaji tinggi dengan
golongan gaji rendah. Jaminanpun terbatas pada jaminan rawat inap dan
obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap menggunakan per
pelayanan. Birokrasi pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak
efisien. Proyek ini berhasil memperluas cakupan namun demikian biaya
yang hams ditanggung pemerintah terus membengkak. Padahal sistem ini
tidak membayar jasa dokter. Karena jasa dokter tidak dibayar inilah
akhimya sistem ini tidak juga memberikan keadilan yang merata, karena
pegawai yang miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sarna dengan
pegawai yang kaya yang mampu membayar dokter. Pilot ini menyebabkan
pemerintah defisit sebesar Rp 600 juta pada saat itu. Sejalan dengan
konsep kewajiban masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas
kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan dari
pegawai negeri sendiri. Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy
mengeluarkan instruksi pembentukan Komite "Dana Sakit" dengan iuran
dari pegawai negeri sendiri. Dana yang dihimpun hams digunakan
semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan untuk mencari
laba bagi pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan
konsep yang diharapkan. Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk
Panitia Pembentukan Badan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri dan
Penerima Pensiun. Pada masa itu pemerintahan Orde Baru masih
mengalami kesulitan keuangan akibat Pemberontak PKI di tahun 1965.
Mulai tahun anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi mengalokasikan dana
untuk penggantian biaya kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret 1968,
Menteri Tenaga Kerja Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja
Kesejahteraan Pegawai Negeri (TKKPN) setelah upaya memperoleh
persetujuan dari Presiden tidak berhasil. Tim ini mendirikan tonggak
sejarah penting AskesPNS 41 H Thabrany berkembangnya asuransi
kesehatan wajib di Indonesia. Modal awa1 ada1ah 50% dana
kesejahteraan pegawai negeri yang se1ama itu te1ah terkumpu1 dari
potongan 10% gaji pegawai aktif dan 5% uang pensiun. Badan hukum
pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230 tangga1 15 Juli 1968 yang
merupakan cika1 baka1 PT Askes Indonesia. Untuk mendanai program
tersebut dike1uarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji
pegawai negeri sebesar 5% untuk membiayai pemeliharaan kesehatan.
Se1ama Pelita I sampai Pelita III atau sejak tahun 1968 sampai tahun
1984, asuransi kesehatan pegawai negeri ini dikelola oleh suatu badan
yang disebut Badan Penye1enggara Dana Pemeliharaan Kesehatan
(BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan. luran untuk asuransi
kesehatan ini besamya 5% dari gaji pokok. Pada awa1nya jaminan
diberikan dengan bebas dimana peserta dapat memilih fasilitas kesehatan
pemerintah atau swasta dengan pembayaran fee for service. Manajemen
masih sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan tentu saja tidak dapat
dihindari, tidak heran pada awa1nya program ini juga menga1ami defisit
anggaran. Pada tahun 1970 besamya iuran dikurangi menjadi hanya 3,89%
gaji pokok untuk pegawai aktif sementara pensiunan masih mengiur 5%
dari pensiun yang diterima yang diatur dengan Kepres No. 22170. Sampai
dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian biaya dan pe1ayanan
terus di1akukan guna menye1amatkan program ini dari kebangkrutan.
Bahkan upaya untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada
masyarakat non PNS sebenamya sudah mu1ai dipikirkan pada periode ini.
Pada periode yang sama mutu pe1ayanan sudah mu1ai mendapat
perhatian dan karena berbagai standar pe1ayanan dan pengaturan obat
sudah mu1ai di1akukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi 1agi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada
tahun 1977 dike1uarkan Kepres No 8177 yang menetapkan potongan iuran
sebesar 2% gaji pokok yang berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan.
Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mu1ai diperkenalkan pada
tahun 1979 di Jakarta. Se1ama periode ini dasar-dasar pengendalian biaya
yang kini dikena1 dengan teknik managed care sudah di1aksanakan oleh
BPDPK. Pada tahun 1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-
banyak tiga orang. Untuk meningkatkan profesionalitas dan mengurangi
birokrasi maka pada tahun 1984 pengelolaan asuransi kesehatan PNS ini
mu1ai dipisahkan dari Depkes me1a1ui PP No. 22 dan 23 tahun 1984.
Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi
pengelolaan dana masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem
akuntansi pemerintahan yang masih terikat dengan ICW (Indische
Comptabiliteit Wet) yang menghamskan sega1a dana disetor ke kas
negara. Mu1ai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan
Umum Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang
mengawasi PHB ini tetap Menteri Kesehatan. Prakteknya,
penye1enggaraan Perum PHB baru di1aksanakan secara penuh pada 23
April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang seja1an dengan pertambahan jum1ah pegawai negeri. Pada
awa1 tahun 1992 jum1ah cabang di se1uruh Indonesia sudah berjum1ah
27 cabang, masing-masing satu cabang di tiap propinsi. Pada masa PHB
ini1ah tenaga-tenaga khusus yang mengerti masa1ah asuransi kesehatan
mu1ai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan Pusdiklat
Depkes RI, USAID, dan Zieken Fonds Be1anda. Pada masa ini sistem
pe1ayanan terkendali dengan menggunakan teknik-teknik managed care
semakin dimantapkan. Daftar obat yang dijamin disusun berdasarkan
Daftar Obat Esensia1 Nasiona1 dan diperkena1kan dengan nama Daftar
P1afon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk BPDK,
pada masa AskesPNS 42 H Thabrany Perum PHB ini sumber dana tidak
lagi hanya bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah dapat
ditambahkan dari penghasilan investasi dana yang belum terpakai. Untuk
lebih memberikan keluwesan perusahaan, menjawab tantangan jaman,
dan memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya, maka status
PHB ditingkatkan menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT
Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat dengan nama PT Askes. Dengan
bentuk Persero ini, Askes diberikan wewenang untuk memperluas
kepesertaan kepada berbagai badan usaha pemerintah maupun swasta.
Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan ketegangan antara PT
Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk
pegawai swasta. Namun setelah komunikasi semakin baik, terdapat saling
pengertian yang baik. PT Askes memang mendapat kemudahan dari PP
14/93 yang mengatur bahwa perusahaan yang memberikan jaminan lebih
baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT Jamsostek. Bagi mereka yang
ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS ini dapat
membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia:' 2.3. Peserta
Peserta Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut: 1. Peserta adalah
Calon dan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis
Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil aktif di lingkungan TNI dan Polri dan
anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta Askes karena
mereka mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan
Polri yang dikelola Departemen Hankam. 2. Penerima Pensiun meliputi: a.
Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun; b. Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun; c. Pejabat Negara
yang berhenti dengan hak pensiun; d. Janda atau duda atau anak yatim
piatu dari Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat hak pensiun 3. Keluarga
yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak yang sah
atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan
pembayaran premi yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka.
Dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi dan perluasan kepesertaan,
pegawai badan usaha dan badan lainnya serta penerima pensiunnya dapat
menjadi peserta Askes dengan cara membayar premi tersendiri. Masa
menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang
pegawai atau pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa
kepesertaan berhenti jika iuran atau 1 __ Historical Development PT
(Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT Askes. Jakarta, 1995
AskesPNS 43 H Thabrany premi tidak lagi dibayarkan. Peraturan
pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut: I.
Peserta wajib memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati
dirinya beserta keluarganya untuk penyusunan data peserta. 2. Peserta
beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri yang diterbitkan
oleh Badan Penyelenggara, 3. Peserta dan keluarganya wajib mengetahui
dan mentaati peraturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan. 2.4.
Premi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran
setiap bulan yang besarnya serta tata cara pemungutannya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. Besarnya premi yang ditetapkan Kepres saat
ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah sebagai majikan
mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan
akan terus dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut
ditetapkan dengan PP 28/2003. Sebelum otonomi daerah, pemungutan
iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen Anggaran Departemen
Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai sebelum
gaji tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai
instansi pemerintah. Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji
dilakukan oleh bendaharawan pembayar gaji di daerah yang kemudian
menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah kemudian Dirjen Anggaran
menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes. luran untuk Veteran dan
Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. luran atau premi dari badan lainnya yang
ikut program Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung
oleh PT Askes. Dari tabel 2.1 dapat dilihat perkembangan jumlah peserta
dan penerimaan premi peserta wajib dari tahun ke tahun. Jumlah
penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104 milyar di tahun 1989
menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan pertumbuhan
penerimaan premi rata-rata sebesar 17, I % per tahun selama II tahun.
Sementara jumlah pegawai dan pensiun yang menjadi peserta mengalami
pertumbuhan dari 3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta pegawai. Sementara
itu jumlah tertanggung telah meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989
menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa jumlah peserta dan
tertanggung mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal
tersebut disebabkan karena perbaikan sistem informasi sehingga data
ganda dapat dikurangi. Selain itu, penurunan jumlah tertanggung yang
cukup drastis disebabkan karena perubahan kebijakan jaminan jumlah
anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang saja.
Jumlah premi yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp
28.136 di tahun 1989 atau Rp 2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp
101.272 tahun 1999 atau Rp 8.349 per pegawai per bulan. Jika
diperhitungkan be saran premi per tertanggung, maka penerimaan premi di
tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan
AskesPNS 44 H Thabrany Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154
per kapita per bulan. Tentu saja jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan
dengan paketjaminan komprehensifyang hams dijamin. Jika
diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes
dari tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di
tahun 1997 akan tetapi kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di
tahun 1999. Apabila diperhitungkan penerimaan premi per pegawai dengan
harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi diterima tahun 1993
sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun 1998
dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila
diperhitungkan dengan penerimaan premi per kapita per tahun dengan
harga konstan 1993, maka premi tertinggi diperoleh pada tahun 1993 dan
terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya 12.284 per kapita. Artinya
pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp 1.023 per
kapita per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan
premi riiI, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak
mungkin mengalami perbaikan dibandingkan dengan kualitas pelayanan di
tahun 1993. Masalah utama penerimaan premi pegawai negeri adalah
kecilnya gaji pokok pegawai negeri yang menyebabkan juga rendahnya
premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri menggunakan sistem
penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan, tunjangan
perbaikan penghasilan, dU., dan penghasilan tambahan dari honor proyek.
Meskipun dalam prakteknya pegawai negeri merupakan kelompok yang
relatif lebih kaya dibandingkan dengan pegawai swasta', premi dari gaji
pokok pegawai negeri menjadi sangat kecil, Karena besarnya premi hanya
diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001 ini pemerintah
mengubah sistem penggajian "pura-pura" menjadi gaji yang "lebih
realistis", meskipun belum memadai, dengan memasukkan tunjangan ke
dalam komponen gaji pokok. Besarnya penerimaan Askes dengan
perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat meningkat sampai dua
kali lipat dari tahun sebelumnya. Masalah kedua dari premi Askes ini
adalah kenaikan gaji pokok pegawai negeri tidak selalu mengikuti
perubahan biaya kesehatan atau perubahan harga-harga pelayanan
kesehatan dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan
periodenya. Pada suatu ketika kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun
sekali akan tetapi pada waktu lain bisa terjadi perubahan kenaikan gaji
setahun setelah perubahan gaji sebelumnya. 2 Thabrany, H. Pegawai
Negeri Memang Lebih Kaya. Kompas 1996. AskesPNS 45 H Thabrany
TabeI2.1. Perkembangan peserta wajib dan besarnya iuran per peserta dan
tertanggung PT Askes Indonesia, 1989-1999 Penerimaan Premi premi (Rp
Jumlah peserta /peserta /th Jumlah Premi/tertanggung/ Tahun [uta)
(pegawai) I(Rp) tertanazuna th (Rp) 1989 104.132 3.701.024 28.136
11.852.220 8.786 1990 112.232 4.021.075 27.911 12.486.084 8.989 1991
112.220 4.241.556 26.457 13.304.182 8.435 1992 179.500 4.446.110 40.372
13.951.215 12.866 1993 241.787 4.763.733 50.756 14.162.680 17.072 1994
268.800 5.075.329 52.962 18.449.601 14.569 1995 292.266 5.326.994
54.865 15.783.935 18.517 1996 318.319 5.513.026 57.739 16.478.587
19.317 1997 418.507 5.451.267 76.772 15.853.439 26.398 1998 475.919
5.034.450 94.532 13.579.991 35.046 1999 519.169 5.126.474 101.272
13.718.754 37.844 Diolah dari berbagai sumber Buku Kegiatan
Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical Development PT Askes
19953. Tabel2.2 Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun 1992-1999
menurut harga konstan 1993 Penerimaan Premi /pegawai/ Premi /kapita
Tahun premi (Rp jt) tahun (Rp) /tahun (Rp) 1992 193.011 43.411 13.835
1993 241.787 50.756 17.072 1994 244.364 48.147 13.245 1995 243.555
45.721 15.431 1996 243.549 44.177 14.780 1997 257.068 47.158 16.215
1998 166.814 33.134 12.284 1999 175.099 34.156 12.763 3 __ Laporan
Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi,
Depkeu RI, 1996 ___ Laporan Kegiatan U saha Perasuransian Indonesia,
1999. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 2000 AskesPNS 46 H Thabrany 2.5.
Paket laminan Secara teori, PT Askes hams memberikan jaminan yang
disebut komprehensif meliputi upaya peningkatan! promosi, pencegahan,
penyembuhan, dan pemulihan kesehatan. Namun dalam prakteknya,
jaminan yang diberikan lebih ditekankan pada penyembuhan dan
pemulihan dengan mengenakan iur biaya (cost sharing) yang cukup besar,
meskipun pelayanan diberikan di dalam jaringan PPK yang ditunjuk. Dalam
Pasal 12 PP 69/91 memang disebutkan bahwa " Semua biaya yang
melebihi standar pelayanan dan tarif sebagaimana yang ditetapkan
Menteri Kesehatan menjadi beban dan tanggung jawab peserta".
Menyadari bahwa iuran peserta tidak akan mencukupi untuk membiayai
jaminan yang hams disediakan oleh PT Askes, maka peraturan
menggariskan bahwa jaminan tersebut terutama diberikan di PPK
pemerintah, dengan sistem pelayanan terstruktur. Peserta hams
menggunakan pelayanan puskesmas dulu sebelum bisa mendapatkan
pemeriksaan dan pengobatan di rumah sakit pemerintah, dan beberapa RS
swasta yang bersedia. Untuk mencukupi pembiayaannya, maka tarif ke
puskesmas dan RS pemerintah yang hams dibayar oleh PT Askes
ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan. Tarif yang hams dibayar PT
Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS, ditetapkan secara nasional
dengan memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B lebih
mahal dari tarif untuk RS tipe C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda
(Peraturan Daerah) antar daerah tidak terakomodir. Akibatnya, RS di kota
besar dimana tarifPerda dan tarif yang ditetapkan sendiri oleh RS (untuk
perawatan di kelas II dan kelas I) banyak mengeluh akibat rendahnya tarif
SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan tarif yang amat
rendah, tarif SKB bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang
ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk RS di kota besar, tarif SKB bisa
jadi sangat jauh dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS. Akibatnya
RS merasa mendapat beban dalam melayani pasien Askes dan karenanya
pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang mendapat perhatian. Hal
ini menimbulkan banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas
menengah. Berbagai survei kepuasan peserta baik yang dilakukan oleh
Askes maupun oleh pihak lain menunjukkan sebagian besar (84-97%)
peserta merasa puas dengan berbagai tingkat pelayanan. Namun
demikian, penilaian hasil survei hams dikaji lebih dalam bagaimana
pengukuran dan bagaimana data kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya
pada era persaingan ketat sekarang ini, berbagai usaha mentargetkan
kepuasan 100% untuk mampu bersaing. Pemeriksaan dan pengobatan
rawat jalan pertama hams dilakukan di puskesmas. Setiap pegawai negeri
yang telah mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta Askes,
dengan membawa bukti-bukti bahwa yang bersangkutan adalah pegawai
negeri, memilih satu puskesmas dimana ia dan keluarganya akan berobat.
PT Askes telah melakukan kontrak pembayaran kapitasi kepada Dinas
Kesehatan untuk memberikan pelayanan rawat jalan tingkat I di
puskesmas. Obat-obatan yang dibutuhkan disediakan di puskesmas dan
harga obat ini sudah diperhitungkan dalam kontrak pembayaran kapitasi.
Apabila dokter di puskesmas menilai perlu perawatan mjukan, maka
dokter akan memjuknya ke RS terdekat. Dalam prakteknya, khususnya di
kota besar, banyak peserta yang datang ke puskemas hanya AskesPNS 47
H Thabrany meminta surat rujukan ke rumah sakit. Dengan cara ini ,
seluruh pegawai negeri yang tinggal di berbagai kota dan desa, misalnya
guru-guru SD dan petugas puskesmas sendiri, akan mendapatkan
pelayanan di puskesmas di seluruh tanah air. Di Puskesmas tersebut
merupakan pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian, menurut PP
69/91, pelayanan kesehatan dasar dapat juga diberikan oleh dokter umum,
dokter gigi, balai pengobatan, balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) , rumah
bersalin dan sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya saja, untuk asuransi
kesehatan wajib ini, pelayanan oleh dokter umum belum bisa dilakukan
secara luas karena minimnya biaya kapitasi. Uji coba sudah dilakukan di
Jawa Timur atas biaya dari Proyek Kesehatan IV Depkes, akan tetapi
perluasan penggunaan dokter umum praktek sore atau dokter keluarga
belum dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai, sistem pelayanan
melalui dokter keluarga akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi
sistem kesehatan di Indonesia. Pelayanan kesehatan rujukan adalah
pelayanan kesehatan yang diberikan melalui sarana pelayanan kesehatan
rujukan antara lain dokter spesialis, dokter gigi, rumah sakit, dan sarana
pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk dalam pelayanan
kesehatan tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan
oleh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), balai pengobatan ibu dan
anak (BKIA), rumah bersalin dan rumah-rumah sakit. Rawat jalan rujukan
dapat diperoleh di rumah sakit terdekat, pada umumnya rumah sakit
pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara atau Polri. Di rumah
sakit, pasien Askes sehamsnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan.
Namun dalam praktek di daerah, pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak
selalu dilakukan oleh spesialis yang diperlukan karena ketiadaan tenaga
spesialis tersebut. Apabila dalam pelayanan rujukan diperlukan
pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau tindakan medik lain, maka
dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter atau sarana
lainnya. Hal ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik
penunjang yang ditanggung antara lain berbagai pemeriksaan laboratorium
yang diperlukan, pemeriksaan radiologi sampai CT Scan. Namun
pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk CT Scan kepala satu kali,
sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin. Perawatan dengan
menginap di rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit pemerintah,
termasuk rumah sakit tentara dan Polri, atau di rumah sakit swasta yang
ditunjuk. Pasien hams mendapatkan surat rujukan dari dokter puskesmas.
Untuk pegawai negeri golongan I dan II kelas perawatan yang diberikan
adalah kelas III di rumah sakit pemerintah. Sementara untuk untuk
golongan III diberikan perawatan di kelas II, dan untuk golongan IV
diberikan perawatan di kelas I RS pemerintah. Lama hari perawatan
secara teori tidak dibatasi. Namun peserta hams membayar cost sharing
untuk lama hari perawatan yang melebih 180 hari sesuai kelasnya.
Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil sampai bedah
besar seperti bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan
Menteri. Untuk kasus bedah jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes
hanya memberikan penggantian maksimum sekitar Rp 50 juta rupiah.
Apabila biaya perawatan temyata melebihi dari yang dijamin PT Askes,
misalnya karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi
atau menerima obat yang di luar daftar DPHO, maka peserta hams
membayar kelebihan biayanya. Yang dimaksud dengan AskesPNS 48 H
Thabrany kelebihan biaya yang menjadi tanggung jawab peserta adalah
apabila peserta mempergunakan pemeliharaan kesehatan yang melebihi
standar pelayanan kesehatan. Karena standar pelayanan ini tidak tersedia
secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta, seringkali dalam
penerimaan rawat inap---khususnya di kota besar, seorang peserta hams
membayar cukup mahal. Beberapa keluhan peserta dan RS menyampaikan
bahwa biaya yang dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan SKB Menteri,
hanya menutupi sekitar 20% biaya saja. PT Askes sendiri secara jujur
mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh dari biaya
yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis,
perubahan tarif lama yang sudah berlangsung sekitar tiga tahun untuk
Askes sedang dalam proses. Sejalan dengan perubahan sistem gaji pokok
PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini penerimaan premi PT Askes akan
meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat ditingkatkan.
Pada sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai
asuransi PNS menjadi sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya
selisih biaya yang hams ditanggung peserta bisa lebih besar dari biaya
yang ditanggung Askes. Obat-obat yang diperlukan diresepkan oleh dokter
rumah sakit. Pasien mengambil obat-obat tersebut di apotik yang ditunjuk.
Jika obat-obat yang diresepkan termasuk dalam Daftar Pelafon Harga Obat
(DPHO) maka pasien tidak perlu membayar lagi. Namun apabila obat yang
diresepkan tidak termasuk dalam DPHO, maka pasien hams membayar
sendiri. Daftar obat Askes dikembangkan oleh tim dokter yang mempunyai
keahlian klinik dan farmakologik untuk menjamin bahwa obat-obat yang
masuk dalam DPHO adalah obat-obat yang secara esensial dibutuhkan
oleh peserta dalam berbagai kasus penyakit yang diderita. Obat DPHO
bukanlah obat generik, akan tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan
dengan harga yang memenuhi plafon tertentu. Bisa jadi suatu obat
bermerek lokal, mee too drug, yang oleh pasien dianggap sebagai obat
paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker juga termasuk dalam
daftar obat yang ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak
termasuk dalam DPHO akan tetapi mutlak dibutuhkan oleh pasien masih
dapat ditanggung asal ada surat keterangan dokter bahwa obat tersebut
secara medis dibutuhkan. Misalnya sebuah antibiotik mahal bisa
ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari hasil uji
sensitifitas obat (kultur) temyata obat tersebutlah yang bisa
menyembuhkan. Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan transplantasi
ginjal juga ditanggung oleh Askes. Hal ini tentu saja membuat biaya yang
sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar biaya semua
pelayanan hams ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat
ini sudah melampaui Rp 30 milyar setahun. 2.6. Kinerja Dalam usianya
yang melebihi 30 tahun, termasuk ketika menjadi BPDPK, PT Askes telah
mengalami pasang surut yang cukup bervariasi. Sebagai perusahaan
asuransi, Askes hams menunjukkan kemampuan solvabilitas keuangan
yang memadai untuk memenuhi berbagai kewajibannya. Sebagai suatu
asuransi kesehatan sosial yang menerapkan prinsip prinsip managed care
PT Askes hams mampu mengendalikan biaya berapapun besarnya
penerimaan. Jika di dalam pembahasan mengenai premi telah
digambarkan bahwa premi yang diterima sangat kecil bila dibandingkan
dengan kewajiban Askes untuk menanggung AskesPNS 49 H Thabrany
begitu 1uas pe1ayanan, maka di bawah ini disajikan rasio klaim terhadap
premi dan terhadap penerimaan total. Penerimaan PT Askes bersumber
dari penerimaan premi dan dari penerimaan investasi dan penerimaan lain-
lain. Sejak sebe1um menjadi PT Askes, dana-dana cadangan teknis dan
ke1ebihan dana (sete1ah dipotong pajak penghasi1an badan, tantiem atau
bonus bagi pengelola, dan dividen kepada pemerintah) disimpan da1arn
bentuk berbagai instrumen investasi. Tarnpak pada garnbar 2.1
perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes dari tahun
ke tahun. Hams disadari disini bahwa berkembangnya aset dan investasi
sejak tahun 1993 antara lain juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan
bisnis asuransi komersia1nya, meskipun jumlahnya masih jauh 1ebih keci1
dibandingkan dengan aset dan investasi dari program sosia1nya. Tarnpak
bahwa di tahun 1993 PT Askes te1ah memiliki aset sebesar Rp 400 mi1yar
dengan investasi sebesar Rp 353 mi1yar. Cadangan teknis yang dikelola
pada saat itu berjumlah Rp 115 mi1yar. Pada tahun 1999 aset PT Askes
te1ah berkembang menjadi Rp 702 mi1yar dan investasi sebesar Rp 610
mi1yar. Cadangan teknis di tahun 1999 mencapai harnpir Rp 256 mi1yar.
Melihat kinerja keuangan tersebut, Sampai tahun 1999 PT Askes masih
mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang da1arn kriteria pemeriksa
pemerintah (BPKlBPKP) masuk kategori sehat. Gambar 2.1 Perkembangan
aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes Indonesia 1993-1999 1993
1994 1995 1996 Tahun 1997 1998 1999 800.-------------------------------------------------.
600 f3 Aset m Investasi EI Cad Tek ~ ~ ~400 ~ 200 o Sumber: Berbagai
Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia, 1993-1999. Apabi1a
dilihat dari kemampuan PT Askes mengendalikan biaya, maka tarnpaknya
Askes masih mampu mengendalikan biaya pe1ayanan. Perkembangan
penerimaan premi menurut harga berlaku hanya tumbuh rata-rata sebesar
17,1 % setahun se1ama kurun waktu 1989-1999, akan tetapi
perkembangan biaya kesehatan se1arna periode yang sarna tumbuh
dengan rata-rata sebesar 19,2% setahun. Perkembangan biaya kesehatan
tersebut te1ah memperhitungkan berbagai upaya pengendalian biaya.
Ke1arnbatan pertumbuhan penerimaan premi ini dapat ditutupi dengan
penerimaan lain-lain seperti hasi1 investasi. Da1arn kurun waktu lima
be1as tahun 1ebih, 1984-1999, Askes PNS mempunyai rasio klaim
terhadap AskesPNS 50 H Thabrany penerimaan premi tahun yang sarna
berkisar antara 54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah terjadi di tahun 1993
sedangkan rasio tertinggi terjadi di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim
terhadap penerimaan premi selama kurun waktu tersebut adalah 72,1%.
Cukup menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi berlangsung di
Indonesia, khususnya tahun 1998 -1999, rasio klaim terhadap premi masih
dapat ditekan sampai 76,7% dan 82,4%. Pada kolom ketiga disajikan data
rasio klaim terhadap total pendapatan Askes. Tampak bahwa jika dilihat
dari kinerja keuangan saja, Askes memiliki kinerja yang baik karena rata-
rata selama 15 tahun tersebut Askes hanya menghabiskan 60% dana yang
diterima untuk biaya kesehatan. Jika dilihat dari kedua rasio klaim
tersebut, Askes sehamsnya masih mampu memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk program
asuransi komersial yang tentu saja hams membukukan keuangan yang
memadai bagi pemegang saham. Rasio klaim ini sangat jauh lebih rendah
dari rasio klaim kebanyakan program asuransi sosial di negara lain. Selisih
antara penerimaan premi dan klaim dikenal dengan biaya administrasi
untuk program asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata biaya
administrasi adalah 27,9% dari premi yang diterima. Angka ini jauh lebih
tinggi dari biaya administrasi asuransi sosial di Amerika (Medicare) yang
4%, Medicare Canada juga 4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan
bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial pluralistik di Jerman
hanya menghabiskan 5% biaya administrasi", Besarnya prosentasi biaya
administrasi dipengaruhi oleh besaran premi yang diterima. Semakin besar
premi yang diterima akan semakin kecil porsi biaya administrasi. Di
negara-negara maju dimana besaran premi sudah diperhitungkan dengan
baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang memadai, maka rasio
biaya administrai akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia belum
ada standar berapa biaya administrasi yang layak untuk suatu program
asuransi sosial. 2.7. Upaya Pengendalian Biaya dan masalah yang dihadapi
Peraturan pemerintah menghamskan badan penyelenggara, dalam hal ini
PT Askes, terus mengembangkan sistem guna memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan pesertanya. Untuk itu, peraturan ini memberikan
pedoman pembayaran PPK dan penarikan dana melalui berbagai cara
seperti iuran biaya (co payment, cost sharing), pembayaran
berdasarkanjumlah peserta (sistem kapitasi), sistem anggaran! budget,
sistem tarif berdasarkan kelompok pelayanan (sistem paket), dan tarif
berdasarkan diagnosa (DRG). Oleh karenanya PT Askes telah
melaksanakan berbagai uji coba sistem pembayaran kapitasi parsial,
kapitasi "total" dan pembayaran sistem paket. Pembayaran kapitasi total
yang diselenggarakan oleh Askes belumlah merupakan pembayaran
kapitasi total yang kita kenaI di Amerika. Sebab pembayaran kapitasi total
yang dilakukan Askes tidak mentransfer risiko sepenuhnya kepada PPK.
Dalam pembayaran sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan
diberikan plafon untuk pembayaran rawat jalan rujukan dan rawat inap.
Pembayaran ke rumah sakit tetap dilakukan oleh PT Askes. Dinas
Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak 4 Thabrany, H.
Kegagalan Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000. AskesPNS 51 H
Thabrany melampuai target tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan
risiko berarti bagi Dinas Kesehatan untuk mengendalikan biaya. Selain itu,
para dokter dan manajer (kepada Dinas) juga tidak mendapat insentif yang
memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang diterima
Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. 01eh karenanya sistem
pembayaran kapitasi yang dilakukan Askes tidak memberikan
pengendalian biaya yang besar seperti yang diharapkan terjadi secara
teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian, sistem
kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang
dilaporkan Sulastomo.' Tabel2.3 Perkembangan rasio klaim (biaya
kesehatan) terhadap premi diterima dan terhadap total pendapatan PT
Askes, 1984-1999 Rasio Rasio klaim klaim/premi /total Tahun diterima
pendatan 1984 68,1% 62,3% 1985 83,0% 75,2% 1986 63,6% 57,3% 1987
70,3% 59,1% 1988 65,5% 52,2% 1989 72,2% 56,1% 1990 83,3% 67,3% 1991
93,3% 66,9% 1992 67,1% 53,2% 1993 54,5% 45,6% 1994 64,0% 54,7% 1995
66,9% 58,1% 1996 73,1% 61,8% 1997 68,8% 63,4% 1998 76,7% 61,1% 1999
82,4% 65,8% Rata-rata 72,1% 60,0% Pembayaran prospektif yang
digariskan oleh PP tersebut mengandung konsekuensi pengorbanan mutu
pelayanan dan utilisasi. Hal ini sudah diantisipasi dan karenanya PPK yang
dikontrak diharuskan memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya
sesuai dengan kebutuhan medis. Tentu saja karena pelayanan diberikan di
fasilitas pemerintah dan dikelola 5 Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi
di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B (Ed). Pembayaraan Kapitasi.
FKMUI, Depok, 1998. AskesPNS 52 H Thabrany oleh pegawai negeri,
seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa
dimaklumi jika tidak semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini.
Dalam prakteknya, banyak keluhan peserta yang merasa tidak diberi
penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya dalam peraturan disebutkan
bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi Pelayanan
Kesehatan. Namun tidak semua PPKjuga memahami apa yang terjadi pada
sistem asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK
bahkan direktur RS yang selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan
tidak memadai, dan tentu saja hal berpengaruh pada pelayanan yang
mereka lakukan. Falsafah dasar pembayaran Askes kepada PPK diatur
oleh SKB Menkes dan Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang
memang disadari tidak memadai. Surat ketetapan tarif ini bersifat nasional
dengan pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada kota-kota besar,
biaya pelayanan jauh lebih mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di
rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya operasional jauh lebih tinggi dari
biaya rumah sakit sejenis di daerah. Tentu saja pembayaran yang sama
antara rumah sakit di kota besar dan di daerah menimbulkan kesenjangan.
Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan besarnya
penggantian dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak
mempersoalkan, bahkan bisa jadi lebih senang dengan pembayaran Askes.
Banyak dearah yang mematok tarif Perda perawatan, pemeriksaan
penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah, dengan harapan biaya
tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak. Pada masa otonomi daerah,
pembayaran dengan tarif SKB menjadi masalah karena kini RSUD merasa
tidak ada kaitan struktural kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh
karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang mengatur pembayaran Askes
ke RSUD dinilai tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang secara
historis menetapkan tarif yang relatif rendah, pembayaran Askes mungkin
tidak jadi masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar yang ingin
mendapatkan pemulihan biaya (cost recovery rate) yang memadai, bisa
jadi tarif yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari kemampuan Askes
membayar. Oleh karenanya mulai ada suara-suara yang tidak menerima
tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal tersebut belum sampai
pada penolakan pasien Askes. Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT
Askes adalah dengan memberikan kewenangan kepada RS untuk menagih
langsung selisih biaya antara tarif RS dengan besarnya biaya yang dibayar
Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan dengan PP 69
karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah
adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya
biasanya terbatas sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan
peserta. Di Amerika dan Jepang, iur biaya biasanya berkisar pada 20-30%
saja dengan batas maksium tertentu. Namun dalam kasus Askes banyak
keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih besar dari yang
dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada
manfaatnya. Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun,
banyak terjadi perubahan demografis dan epidemiologis pada peserta.
Penyakit kronis semakin meningkat sementara iuran dihitung atas dasar
pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit menular.
Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya
yang jauh lebih besar daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai
ilustrasi dapat dilihat perkembangan kasus AskesPNS 53 H Thabrany
gaga1 ginja1 dan tindakan hemodialisa (Tabe1 2.3) yang menunjukkan
kenaikan pesat dari tahun ke tahun. Kasus- kasus seperti ini dapat
menyerap dana sampai 10% dari total biaya kesehatan. 01eh karenanya
sehamsnya besaran premi disesuaikan dengan perkembangan po1a
penyakit tersebut. Apabi1a ha1 ini tidak di1akukan sementara PT Askes
masih tetap berbentuk PT Persero, maka manfaat Askes kepada
pesertanya akan semakin menurun. Table 2.3 Tren kenaikan jumlah
penderita gagal ginjal dan tindakan hemodialisis 1989-1994 Tahun Jum1ah
Jumlah penderita tindakan 1989 481 23.882 1990 800 32.336 1991 1.059
42.511 1992 1.327 53.735 1993 1.567 65.015 1994 1.740 80.421 Upaya
pengendalian biaya me1a1ui negosiasi dengan rumah sakit dan
puskesmas atau menghimbau dokter spesialis menggunakan obat yang
1ebih rasiona1 menghadapi berbagai kenda1a. Salah satu kenda1a penting
ada1ah bentuk badan hukum PT Persero yang tidak seja1an dengan
penye1enggaraan asuransi sosial. Sejak awa1 Menteri Siwabessy
mengharapkan pengumpu1an dana asuransi kesehatan ini bukan untuk
cari untung. Namun demikian, pandangan pengambi1 keputusan
pemerintah hanya melihat bahwa bentuk Persero 1ebih mampu
meningkatkan mutu pe1ayanan dan menghasi1kan 1aba tanpa melihat
misi utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa "mas a
kami RSU hams mensubsidi PT yang mencari untung?". Dengan
pembayaran RS yang jauh 1ebih rendah sehingga direktur RS hams
memutar aka1 menutupi selisih biaya untuk pasien Askes berarti RS
mensubsidi Askes. Sementara PT Askes terns membukukan 1aba. Hal ini
yang menimbu1kan kecemburuan di ka1angan pengelola RS pemerintah.
Sementara itu, 1aba yang dipero1ah Askes tidak dirasakan manfaatnya
oleh peserta, padaha1 setiap bulan gaji peserta dipotong sebagai premi.
Sarna ha1nya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini mernpakan bentuk
yang tidak konsisten sebagai pengelola asuransi sosial. Sehamsnya lab a
yang diterima menjadi hak peserta bukan hak pemerintah, sebagai
pemegang saham. Ketidak sesuaian ini sebenamya dapat dise1esaikan
apabi1a PP yang mengatur PT Askes, meskipun berbentuk Persero,
disebutkan khusus sebagai 1embaga not for profit. Contoh ha1 ini terdapat
di Filipina dimana the Philippine Health Insurance Corporation je1as-je1as
disebutkan sebagai 1embaga nir1aba. AskesPNS 54 H Thabrany BAB3 lPK
lamsostek 3.1. Pendahuluan Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga
Kerja) merupakan suatu program jaminan yang diselenggarakan
pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International Labour
Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan
hari tua (JHT), jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK),
dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara
yang meratifikasi (negara pihak) konvensi international tersebut yang
sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia berkewajiban
memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja
tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek.
Undang-undang ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU
No. 2/92, tentang asuransi yang secara eskplisit memberikan ijin kepada
perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk menjual produk asuransi
kesehatan. Program jaminan sosial merupakan program yang
diselenggarakan oleh semua negara maju di dunia dan merupakan program
pemerintah dalam rangka ketahanan nasional dalam bidang sosial.
Luasnya program jaminan sosial tergantung dari kemampuan ekonomi dan
kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga kerja dunia dalam
Konvensi Jaminan Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam program
yang merupakan bagian dari jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan
kesehatan, tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin (maternity
benefit), santunan kecelakaan kerja, tunjangan cacat, tunjangan
kematian, tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan tunjangan
keluarga. Secara umum Indonesia sudah hampir memenuhi kesembilan
program tersebut, hanya saja beberapa program digabung menjadi satu.
Istilah program JPK yang digunakan memang tidak lepas dari pengaruh
Departemen Kesehatan yang pada saat yang sama mengembangkan
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang akan
dibahas pada Bab 4. Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh
pemberi kerja (perusahaan, dalam artian seluruh lembaga yang menjalin
hubungan ketenaga-kerjaan termasuk diantranya lembaga seperti
yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dsb.).
Untuk tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja
atau majikan yang memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar
upah lebih dari Rp 1 juta per bulan. Jadi pemberi kerja yang hanya
memiliki empat orang karyawan tetapi membayar upah (bukan gaji pokok,
tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat karyawan
tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program
Jamsostek. UU Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah No 14/93 yang menjabarkan lebih lanjut tentang program
secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP JPK Jamsostek 55
HThabrany tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No
5/93. Dalam UU No 2/92 tidak disebutkan bahwa penyelenggara program
Jamsostek adalah PT (Persero) Jamsostek. Penunjukkan PT Jamsostek
sebagai badan penyelenggara adalah berdasarkan PP No 36/95. Sebelum
PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek dilaksanakan oleh PT
Astek yang merupakan pendahulu PT Jamsostek. 3.2. Perbedaan lPK
lamsostek dengan Program lamsostek Lainnya Seperti telah dijelaskan
diatas, program JPK Jamsostek adalah bagian dari program jaminan sosial
tenaga kerja. Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga program lainnya,
program JPK memiliki perbedaan sebagai berikut: 1. Program JPK
merupakan program yang manfaatnya (benefit) diberikan dalam bentuk
pelayanan sementra ketiga program lainnya manfaat diberikan dalam
bentuk uang tunai. 2. Yang menjadi tertanggung (berhak menerima
manfaat) tidak hanya tenaga kerja akan tetapi anggota keluarga tenaga
kerja juga berhak memperoleh jaminan 3. Sifat kepesertaan JPK adalah
wajib bersyarat sementra ketiga program lainnya wajib mutlak. Pemberi
kerja yang telah memiliki program JPK yang lebih baik boleh tidak
mendaftarkan karyawannya kepada PT Jamsostek. 4. Besarnya
kontribusi/premi antara tenaga kerja lajang dan tenaga kerja yang telah
berkeluarga berbeda besarnya. Untuk tenaga kerja lajang besamya premi
adalah 3% upah sementara untuk tenaga kerja kawin besarnya premi
adalah 6% dari upah sebulan. 5. Terdapat batas penghasilan dimana
kontribusi karyawan dibatasi (cap/ceiling) sampai upah sebesar Rp 1 juta
per bulan. Jadi untuk tenaga kerja kawin yang bergaji Rp 5 juta per bulan
besarnya premi adalah Rp 60.000 (6%), sama be saran premi untuk tenaga
kerja bergai Rp 1 juta. 6. Bersama dengan program JKK dan JKM, program
JPK merupakan program berbasis asuransi sosial sedangkan program JHT
berbasis program tabungan. 3.3. Manfaat/Paket laminan lPK lamsostek
Pemberian paket JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik managed
care, khususnya HMO di Amerika. Oleh karena itu, jaminan yang diberikan
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan tetapi
aspek kuratif dan rehabilitatif lebih ditekankan. Secara singkat paket
jaminan JPK dijelaskan dalam UU menjamin pelayanan sebagai berikut: 1.
Rawat jalan tingkat pertama 2. Rawat jalan tingkat lanjutan/rujukan 3.
Rawat inap minimal rawat mondok satu hari dengan rujukan. Pelayanan
rawat inap diberikan di RSU pusat dan daerah dan RS Swasta yang
ditunjuk JPK Jamsostek 56 HThabrany 4. Pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan baik persalinan normal maupun persalinan
patologis dan/atau gugur kandungan 5. Penunjang diagnostik yang
dipandang perlu oleh pelaksana pelayanan kesehatan rujukan yang
meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan penunjang
lain 6. Pelayanan khusus yang meliputi kaca mata, prothese gigi, alat
bantu dengar, prothese anggota gerak, dan prothese mata. 7. Pelayanan
gawat darurat yang merupakan pelayanan yang hams segera dilakukan
untuk menghindari hal yang fatal bagi penderita. Paket jaminan tersebut
dijabarkan lebih lanjut dalam PP 14/93 dan dalam Peraturan Menaker No.
05/Men/1993. Secara rinei jabaran lebih lanjut tentang JPK adalah sebagai
berikut: Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek
Menurut Peraturan yang berlaku Paket Diatur PP 14/93, pasal Diatur
Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Jumlah Istri/suami yang sah dan anak
tertanggung sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang Paketjaminan Semua
tertanggung berhak atas paket jaminan dasar diberikan secara
menyeluruh, terstruktur, terpadu, dan berkesinambunzan Pemberian 1.
Pelayanan diberikan oleh Paket rawat jalan tingkat I meliputi pelayanan
pelaksana pelayanan pelayanan: kesehatan (PPK) 1. Bimbingan dan
konsultasi berdasarkan petjanjian 2. Pemeriksaan kehamilan, nifas, dan
ibu tertulis dengan PT menyusui Jamsostek 3. Keluarga berencana 2. PT
Jamsostek membayar 4. Imunisasi bayi, anak, dan ibu menyusui PPK
secara praupaya 5. Pemeriksaan dan pengobatan dokter dengan sistem
kapitasi umum 3. Pelayanan diberikan sesuai 6. Pemeriksaan dan
pengobatan dokter gigi kebutuhan medis dan 7. Pemeriksaan laboratorium
sederhana standar pelayanan dengan 8. Tindakan medis sederhana
memperhatikan mutu 9. Obat DOEN (Daftar Obat Esensial pelayanan
Nasional) Plus 4. Tertanggung dapat 10. Rujukan ke rawat jalan II memilih
PPK yang Pelayanan rujukan meliputi: ditunjuk badan 1. Pemeriksaan dan
pengobatan oleh dokter penyelenggara spesialis 5. Dalam keadaan
tertentu 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik tertanggung dapat lanjutan
menerima pelayanan dari 3. Obat DOEN Plus atau generik PPK di luar yang
ditunjuk 4. Tindakan khusus lainnya JPK Jamsostek 57 HThabrany Paket
Diatur PP 14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46
Pelayanan 1. Pelayanan rawat jalan I 1. PPK I meliputi: Balai pengobatan,
kesehatan diberikan oleh PPK I Puskesmas, dan Dokter umum praktek
rujukan 2. Apabila diperlukan swasta rujukan, maka PPK I hams 2. Peserta
hams memilih satu PPK I dimana memberikan surat rujukan ia akan
mendapat pelayanan tingkat I kepada PPK rujukan yang 3. Pelayanan
dokter spesialis memerlukan ditunjuk rujuan dari PPK I 4. Pelayanan
tindakan/pemeriksaan spesialistik memerlukan rujukan dari dokter
spesialis Pelayanan 1. Pelayanan rawat inap yang 1. Pelayanan rawat inap
meliputi: rawat inap melebihi ketentuan pemeriksaan dokter, tindakan
medis, Menaker maka selisih penunjang diagnostik, obat DOEN biayanya
hams dibayar Plus/generik, menginap dan makan sendiri oleh peserta 2.
Maksimum rawat inap adalah 60 hari termasuk perawatan ICU/ICCU untuk
tiap jenis penyakit dalam satu tahun 3. Maksimum rawat inap ICU?ICCU
adalah 20 hari 4. Standar rawat inap adalah di kelas II RS pemerintah atau
kelas III RS Swasta Pelayanan 1. Dalam keadaan gawat Termasuk
kategori gawat darurat adalah: gawat darurat darurat tertanggung dapat 1.
Kecelakaan/ruda paksa bukan akibat langsung menerima kerja pelayanan
dari PPK 2. Seranganjantung terdekat 3. Serangan asma berat 2. Apabila
diperlukan rawat 4. Kejang inap, maka dalam tempo 7 5. Pendarahan berat
(tujuh) hari peserta hams 6. Muntah berak dengan dehidrasi menyerahkan
bukti bahwa 7. Kehilangan kesadaran/koma termasuk ia masih bekerja
ayan 3. Apabila perawatan 8. Gelisah atau gangguanjiwa diberikan di luar
RS yang 9. Persalinan mendadak, perdarahan, dan ditunjuk, maka jaminan
ketuban pecah dini hanya diberikan sampai 7 (tujuh) hari dengan standar
biaya yang ditetapkan JPK Jamsostek 58 HThabrany Paket Diatur PP
14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1.
Diberikan di rumah 1. Hanya persalinan I, II, dan III yang kehamilan dan
bersalin yang ditunjuk ditanggung yang ditolong dokter persalinan 2.
Apabila terdapat umum, bidan atau dukun yang diakui penyulitlkomplikasi
maka 2. Apabila sewaktu masuk Jamsostek pelayanan dapat diberikan
sudah memiliki tiga anak, persalinan diRS tidak lagi ditanggung 3.
Persalinan yang ditanggung adalah jika usia kehamilan mencapai 26
minggu atau lebih 4. Lama menginap persalinan yang ditanggung adalah
antara 3-5 hari, termasuk perawatan ibu dan bayi 5. Persalinan dengan
penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik diperhitungkan sebagai
kasus rawat inap biasa 6. Biaya persalinan normal tiap anak Rp 50.000
(1993), Rp 75.00 di tahun 1997 dankiniRp •... Obat 1. Resep obat hams
diambil Obat yang ditanggung adalah obat yang di apotik yang ditunjuk
termasuk dalam DOEN Plus atau generik. 2. Obat yang diberikan
Jumlahjenis obat dalam daftar ini adalah standar obat yang mencakup •..
jenis obat ditetapkan Jamsostek 3. Apabila obat yang diberikan di luar
standar, maka selisih biaya menjadi tanggungan peserta JPK Jamsostek
59 HThabrany Paket Diatur PP 14/93, pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal
20-40 33-46 Pelayanan 1. Kaca mata hanya diberikan 1. Tindakan
diagnostik yang ditanggung khusus melalui optik yang meliputi
pemeriksaan elektro ditunjuk atas dasar resep ensefalografi (EEG), elektro
dr. spesialis mata kardiografi (BeG), Ultra sonografi 2. Prothese mata
hanya (USG), dan computerized tomography diberikan melalui RS atau
scanning (CT-scan). perusahaan alat kesehatan Besamya maksimum biaya
penggantian atas resep dr. spesialis adalah sebagai berikut (1997): mata
2. Frame dan lensa Rp 60.000 3. Prothese gigi diberikan di 3. Lensa tiap
dua tahun Rp 30.000 balai pengobatan gigi yang 4. Frame tiap tiga tahun
Rp 20.000 ditunjuk atas dasar resep 5. Prothese mata Rp 100.000 seorang
drg. 6. Prothese gigi Rp 100.000 4. Alat bantu dengar 7. Prothese tangan
Rp 125.000 diberikan di RS atau 8. Prothese kaki Rp 150.000 perushaan
alat kesehatna 9. Alat bantu dengar Rp 100.000 yang ditunjuk atas dasar
10. Penggantian prothese dan orthese resep dr. spesialis THT akibat rusak
atau hilag tidak diganti 5. Prothese anggota gerak hanya diberikan di RS
Rehabilitasi atas dasar resep dr. spesialis Lain-lain 1. PT Jamsostek
melakukan Pelayanan yang dipantau meliputi angka pemantauan mutu
kunjungan, pemakaian obat, rujukan pelayanan yang diberikan penunjang
diagnostik, dan lama perawatan olehPPK Pelayanan yang tidak ditanggung
oleh JPK Jamsostek adalah: I. Pelayanan kesehatan di luar PPK yang
ditunjuk 2. Penyakit atau cedera yang diakibatkan karena hubungan kerja
dan karena kesengajaan 3. Penyakit yang diakibatkan oleh alkohol,
narkotik, penyakit kelamin, dan AIDS 4. Perawatan kosmetik 5.
Pemeriksaan kesehatan berkala (medical check up) 6. Transplantasi organ
tubuh, termasuk sumsum tulang 7. Pemeriksaan dan tindakan untuk
kesuburan/fertilitas 8. Penyakit kanker 9. Hemodialisa 10. Obat-obat
vitamin, berbentuk makanan tambahan atau susu, susu bayi, obat gosok,
obat infertilitas, dan obat kanker. 11. Alat perawatan seperti termometer
dan eskap 12. Biaya transportasi ke dan dari PPK 13. Biaya tindakan
medik superspesialistik JPK Jamsostek 60 HThabrany Seperti telah
dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek menggunakan teknik-teknik
HMO dalam pengendalian biayanya. Teknik-teknik yang digunakan adalah:
1. Peserta hams menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak dengan
Jamsostek. Apabila peserta tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka
peserta hams menanggung sendiri biaya pelayanan, kecuali dalam
keadaan gawat darurat. 2. Untuk mendapatkan pelayanan rujukan seperti
pemeriksaan oleh dokter spesialis atau perawatan di rumah sakit,
diperlukan surat rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta tidak dapat
mendapatkan pelayanan rujukan 3. Pembayaran kepada PPK dilakukan
dengan sistem kapitasi. Dalam prakteknya, pembayaran kapitasi pada
umumnya dilakukan kepada PPK I saja. Sedangkan kepada rumah sakit,
pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah tertentu yang jumlah
pesertanya memadai (purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di
berbagai cabang lainnya, PT Jamsostek mengontrakkan kepada bapel
JPKM (kini tidak lagi menjadi kehamsan) secara kapitasi untuk
selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai PPK. Bapel JPKM dan
badan lainnya ini disebut Main Provider. 4. Mengadakan telaah utilisasi
dan pengendalian mutu pelayanan. Ratio pelayanan rujukan dengan
kunjungan PPK I yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merupakan indikasi
untuk telaah selanjutnya. Begitu juga dengan lama hari rawat yang
panjang atau terlalu pendek menjadi indikator untuk telaah utilisasi. 3.4.
Perkembangan lPK lamsostek Program JPK Jamsostek dimulai dengan
penyelenggaraan pilot proyek Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga
Kerja di lima Propinsi selama lima tahun sebelum UU Jamsostek disahkan.
Jumlah peserta mencapai lebih dari 70.000 orang. Pengelolaan uji coba
dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) yang juga sebuah
persero yang pada waktu itu hanya mengelola asuransi kecelakaan kerja.
Atas dasar uji coba yang bersifat sukarela itulah kemudian JPK Jamsostek
diperluas dengan menjadikan program JPK wajib melalui UU Jamsostek.
Namun demikian dalam PP 14/93, kewajiban itu dibatasi hanya pada
pemberi kerja yang belum memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik
dari yang diberikan oleh JPK Jamsostek. Klausul opsional (opt-out) ini
antara lain, menurut satu sumber di Jamsostek sendiri, menunjukkan
bahwa PT Jamsostek belum siap untuk mengelola jumlah peserta yang
sangat besar. Disisi lain, dalam proses perundang-undangan, banyak sekali
perusahaan asuransi yang menuntut agar mereka diberikan ruang untuk
berbisnis dalam bidang asuransi kesehatan. Apalagi UU No 2/92 tentang
asuransi juga dikeluarkan pada bulan Februari juga dan peraturan
pemerintah untuk kedua UU tersebut juga baru dikeluarkan setahun
kemudian. Antara UU dan dikeluarkannya PP cukup banyak tersedia waktu
melobi pemerintah untuk mengatur pelaksanaan program Jamsostek. Oleh
karenanya dapat dipahami bahwa pada akhimya kemudian PP 14/93
memberikan peluang kepada perusahaan asuransi untuk mengambil kue
dalam program JPK Jamsostek. JPK Jamsostek 61 HThabrany Provisi opt-
out dimana perusahaan atau pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya
disebut perusahaan) dapat membeli asuransi kesehatan atau menyediakan
sendiri pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi perkembangan
program JPK Jamsostek. Meskipun klausul tersebut menyebutkan bahwa
perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan JPK
Jamsostek, dalam prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan
Februari 1998, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan surat keputusan
menteri tentang kriteria pelayanan yang lebih baik. Permenaker No 5/93
juga mengharuskan perusahaan tersebut menyampaikan laporan secara
periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada karyawannya.
Namun demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum
berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak
memberikan jaminan kesehatan kepada karyawannya, alias melanggar UU
Jamsostek, tidak mendapatkan sangsi. Tentu saja hal ini tidak mendorong
perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek. Di lain pihak, banyak
perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek tidak
memenuhi harapan mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya.
Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya ke
Jamsostek. 01eh kerena itu perkembangan kepesertaan JPK Jamsostek
berjalan sangat lamban, jika dibandingkan dengan potensi jumlah peserta
yang memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan jumlah
perusahaan, peserta (tenaga kerja), tertanggung (anggota keluarga),
besarnya penerimaan premi JPK dan rasio klaim (biaya medis) terhadap
premi yang diterima. Tabel3.1 Perkembangan Jumlah Peserta dan
Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000 Tahun Pemberi Tenaga Kerja
Tertanggung Premi diterima Rasio biaya Kerja (RpOOO) medis (%) 1991
723 85,926 199,695 4,553,000 63.9 1992 958 110,345 238,022 8,280,000
62.2 1993 3,419 256,402 537,173 13,657,000 59.1 1994 5,624 458,257
963,619 28,263,000 67.5 1995 8,034 698,052 1,414,175 44,365,000 80.7
1996 9,452 961,594 1,725,618 64,314,563 79,7 1997 10,892 989,094
1,949,011 86,233,060 76.1 1998 14,225 1,110,478 2,338,075 100,220,435
88.5 1999 15,628 1,235,818 2,567,576 136,103,858 74,6 2000 16,707
1,321,844 2,699,977 155,360,770 65,4 Rata-rata Rata-rata tumbuh 53%
40% 38% 51% 72% 91-2000 (%) ... Sumber: PT Jamsostek, Divisi JPK, 2001
Jika dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan penerimaan
premi maka kinerja yang JPK Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan
yang mendaftarkan karyawannya ke JPK Jamsostek meningkat rata-rata
53% setahun. Jumlah karyawan meningkat rata-rata 40% setahun
sedangkan jumlah tertanggung meningkat hanya 38% per JPK Jamsostek
62 HThabrany tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak karyawan bujang
atau keluarga kecil yang bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga
menunjukkan bahwa kebanyakan hanya perusahaan kecil, rata-rata 91
karyawan per perusahaan selama 10 tahun, yang mendaftarkan diri pada
program JPK Jamsostek. Namun apabila dibandingkan dengan jumlah
tenaga kerja yang seharusnya mendaftar pada JPK Jamsostek, jumlah
tersebut masih sangat sedikit. Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang
mewajibkan pemberi kerja yang membayar upah lebih dari Rp 1 juta per
bulan wajib mendaftarkan karyawannya kepada Jamsostek. Peraturan ini
masih berlaku sampai saat ini. Apabila peraturan ini ditegakkan, maka
paling tidak 100 juta orang seharusnya sudah mendapatkanjaminan dari
JPK Jamsostek. Perorangan yang mempunyai seorang sopir dan dua
pembantu sudah terkena kewajiban ini, karena untuk ukuran Jakarta
dengan upah minimum Rp 426.000 per bulan, orang tersebut sudah
termasuk pemberi kerja yang wajib mendaftarkan ke JPK Jamsostek. Jika
dilihat jumlah tertanggung yang hanya mencapai 2,7 juta jiwa di tahun
2000, jumlah ini kurang dari 3% dari jumlah penduduk yang memenuhi
syarat. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada
ketiga program Jamsostek lainnya yang mencapai 18,8 juta jiwa,
pendaftar JPK hanya mencapai 1,3 tenaga kerja. Ini berarti hanya 6,9%
tenaga kerja yang mengambil JPK dari seluruh peserta terdaftar', Jika
dibandingkan dengan potensi tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja,
yang menurut survei ILO berjumlah 56,2 juta", maka jumlah tenaga kerja
terdaftar pada JPK hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja. Pertumbuhan
penerimaan premi mencapai rata-rata 51 % per tahun dari Rp 4,5 milyar di
tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000. Namun demikian, jika
dibandingkan dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi
komersial, maka besarnya premi yang diterima JPK Jamsostek jauh lebih
rendah. Total premi asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dari
perusahaan asuransi komersial di tahun 1999 mencapai Rp 722 milyar.'
Jika diperhitungkan besamya premi yang diterima per kapita, maka di
tahun 1991 JPK Jamsostek menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita
per tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya mencapai Rp 57,542 per
kapita per tahun. Jika jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan yang
diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya mencapai Rp 4.795,-. Jelas
jumlah tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan kesehatan yang
relatif luas. Bandingkan dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per
bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan santunan tahun pertama Rp
100.000,- yang dijual PT Central Asia Raya.' Namun jia dilihat dari rasio
klaim yang rata-rata hanya 72% dari premi yang diterima, PT Jamsostek
tidak mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini dapat terjadi
karena pelayanan yang diberikan menggunakan teknik-teknik managed
care tertutup sehingga biaya dapat terkendali. Hanya saja untuk bisa
mengendalikan biaya yang sekecil itu, diperlukan upaya yangkeras. Jika
diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per tenaga kerja (TK) maka
tampak bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah tenaga
kerja berupah rendah. Jika pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga
kerja adalah Rp 9.794, maka dapat diperkirakan besarnya upah tenaga
kerja tersebut. Jika diambil rata-rata premi sebesar 4,5% maka upah per 1
Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan di Indonesia. Seminar N
asional Asuransi Kesehatan, Jakarta, Oktober 2000. 2 Iklan pada harlan
Kompas, 22 September 2001 JPK Jamsostek 63 HThabrany bulan tenaga
kerja yang didaftarkan rata-rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah
tersebut merupakan upah di bawah upah minimum. Perkembangan premi
per tenaga kerja hanya tumbuh sebesar rata-rata 11 % dalam sembilan
tahun terakhir dan premi per kapita tumbuh rata-rata dengan 13% per
tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti perkembangan
biaya kesehatan yang lebih tinggi. Tabel3.2 Analisis perkembangan premi
JPK Jamsostek, 1991-2000 Premi ier bulan Ratio Ratio Pertumbuhan (%)
Tahun PerTK Per kapita TTGITK TKipers PremilTK Premi/ kapita 1991
4.416 1.900 2,3 119 - - 1992 6.253 2.899 2,2 115 42% 53% 1993 4.439 2.119
2,1 75 -29% -27% 1994 5.140 2.444 2,1 81 16% 15% 1995 5.296 2.614 2,0
87 3% 7% 1996 5.574 3.106 1,8 102 5% 19% 1997 7.265 3.687 2,0 91 30%
19% 1998 7.521 3.572 2,1 78 4% -3% 1999 9.178 4.417 2,1 79 22% 24%
2000 9.794 4.795 2,0 79 7% 9% Rata-rata 2,1 91 11% 13% 3.5. Masalah-
masalah yang dihadapi Dalam perkembangan JPK Jamsostek yang hampir
10 tahun, tampak jelas sekali bahwa JPK Jamsostek tidak masih jauh dari
tujuan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan yang memadai
kepada seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut tidak bisa
tercapai tanpa perubahan mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek.
Berbagai masalah struktural yang terdapat dalam peraturan tersebut
adalah sebagai berikut: 1. Opsi boleh tidak ikut JPK Jamsostek
dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak mengikuti JPK Jamsostek.
Disinyalir banyak perusahaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan
kepada karyawannya sekalipun tidak mendaftarkan tenaga kerjanya ke
JPK Jamsostek. 2. Batas gaji untuk perhitungan premi yang masih tetap
Rp 1 juta sebulan sering ditafsirkan sebagai hanya pegawai yang bergaji
rendah saja yang wajib ikut JPK Jamsostek. Padahal sebenarnya seluruh
tenaga kerja harus menjadi peserta, akan tetapi untuk yang gajinya lebih
dari Rp 1 juta hanya membayar premi maksimum Rp 60.000. Batas ini
membuat iuran JPK tidak akan memadai untuk memberikan pelayanan
yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut, maka pelayanan yang
JPK Jamsostek 64 HThabrany diberikan JPK Jamsostek akan semakin
menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini juga menyebabkan tidak
optimalnya subsidi silang yang diharapkan terjadi pada program jaminan
sosial. 3. Hanya perusahaan yang diwajibkan membayar premi sementara
tenaga kerja tidak diwajibkan. Hal ini tidak menimbulkan rasa memiliki
oleh tenaga kerja. Di berbagai belahan dunia, tenaga kerja biasanya ikut
berkontribusi sehingga terdapat rasa memiliki karena merekajuga ikut
membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya dibebankan kepadanya
sering dirasakan sebagai beban sehingga banyak yang tidak melaporkan
besar upah atau jumlah karyawan yang sebenarnya untuk mengurangi
kewajiban membayar premi. 4. Jaminan kesehatan ini tidak diberikan
kepada mereka yang telah pensiun atau tidak lagi dalam hubungan kerja.
Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah dan mempunyai
risiko sakit yang lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini menjadi
beban yang berat bagi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu
juga mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak
mendapatkan jaminan selama mereka belum bekerja di tempat baru. 5.
Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan
untuk menunjang program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak
keempat. Hal ini akan menjadi beban berat bagi tenaga kerja, khususnya
bila anak keempat atau persalinan keempat menderita suatu penyakit
atau penyulit berat. 6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin
pengobatan kanker dan hemodialisa dapat memberatkan ekonomi tenaga
kerja, bukan saja bagi mereka yang berpenghasilan rendah tetapi juga
yang berpenghasilan tinggi. 7. Rumitnya pengelolaan JPK dan tingginya
rasio klaim dibandingkan dengan tiga program lainnya tentu saja kurang
memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri untuk mendorong
pertumbuhan peserta yang tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya tenaga
yang menguasai dan mau memberikan perhatian khusus kepada JPK
Jamsostek. 8. Penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh perusahaan,
seperti pelaporan upah yang lebih rendah dari yang sebenarnya, tidak
mendaftarkan JPK padahal juga tidak memberikan jaminan, dan berbagai
pelanggaran lainnya tidak berada pada PT Jamsostek. Penegakkan hukum
merupakan kewenangan Depnakertrans. Visi dan pemahaman pentingnya
jaminan sosial antara petugas di PT Jamsostek dan di Depnakertrans
mungkin sangat berbeda sehingga tidak terjadi koordinasi yang baik. 9.
Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar Rp 50 juta
merupakan sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan
untuk secara aktif mengikuti program ini. 10. Rumitnya manajemen akibat
tingginya mutasi tenaga kerja, baik karena pindah kerja, perubahan status
perkawinan, penambahan atau pengurangan anggota keluarga, dsb., belum
ditunjang oleh sistem informasi yang memadai. 11. Bentuk badan hukum
PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan sifat
penyelenggaraan jaminan sosial yang wajib yang bertujuan
memaksimalkan pelayanan bagi peserta. Bentuk badan hukum ini juga
telah menimbulkan banyak campur tangan pemerintah, selaku pemegang
saham, terhadap manajemen Jamsostek. Sehamsnya pesertalah yang
lebih menentukan manajemen. Oleh karenanya perubahan bentuk badan
hukum menjadi Trust Fund yang dikendalikan secara tri- JPK Jamsostek
65 HThabrany partit (pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah) sedang
dalam pertimbangan. Selain itu, karena bentuk persero ini juga timbul
kesalah-fahaman bahwa Jamsostek bertentangan dengan UU anti
monopoli. Undang-undang anti monopoli berlaku untuk usaha
memproduksi sesuatu yang sifatnya sukarela, sementara program
Jamsostek merupakan program wajib yang merupakan kepentingan orang
banyak tidak berlaku. 01eh karenanya di berbagai belahan dunia, jaminan
sosial tidak masuk dalam subyek yang terkena UU anti monopoli dan hal
ini diatur pada pasal 51 UU No5/99 tentang Larangan Praktek Monopoli.
Surat Pembaca Kompas, tanggal 23 Desember 2003, hal 5 Tanggal17
November 2003, saya mengajukan klaim penggantian biaya atas istri saya
yang dirawat inap di rumah sakit akibat kecelakaan. Saya mengajukan
klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta, temyata ditolak.
Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salin an, tetapi sarat hukum
dan sah karena telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan
aslinya. Sementara surat kuitansi yang asli digunakan untuk klaim
asuransi lainnya. Kalau memiliki tiga asuransi, apakah sebanyak itu pula
kuitansi asli harus dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara pihak
rumah sakit hanya mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salin an yang
telah dilegaliasi. Mengacu pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta
kuitansi asli pula, berarti dari sekian banyak asuransi hanya dapat satu
klaim asuransi, semen tara premi dibayar terus TONI Kmp Baru Kb Koja
RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara i Jamsostek web data, 2001 ii
JLO. National labor force survey, 2000 JPK Jamsostek 66 HThabrany
BAB4 Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 4.1. lPKM Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas
setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang kesehatan yang pada pasal 66
menggariskan bahwa pemerintah mengembangkan, membina dan
mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan kesehatan praupaya
berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk
dalam UU kesehatan tersebut, berbagai upaya memobilisasi dana
masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan antara
lain dengan program DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyrakat) dan uji
coba PKTK oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana masyarakat
diharapkan mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan tanpa hams
meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep yang ditawarkan adalah
secara perlahan pembiayaan kesehatan hams ditanggung masyarakat
sementara pemerintah akan lebih berfungsi sebagai regulator. Upaya
memobilisasi dana masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya
swastanisasi di dunia yang memandang bahwa dominasi upaya
pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat akan
menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu pelayanan. Program
swastanisasi besar-besaran dilaksanakan di Inggris pada masa Perdana
Menteri Margaret Tacher untuk berbagai program pemerintahnya pada
awal tahun 80an. Perusahaan penerbangan British Airways dan radio serta
televisi BBC yang tadinya dikelola pemerintah merupakan contoh bentuk
swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu gelombang privatisasi di
dunia terus meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya itu antara
lain dapat dilihat dari upaya menggerakan pembiayaan kesehatan oleh
masyarakat dan transformasi RSVP menjadi RS Perjan (Perusahaan
Jawatan). Namun demikian, di Inggris sendiri sistem pelayanan kesehatan
masih tetap dikelola pemerintah dengan sistem National Health Service.
Tetapi reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka pikir
inilah program JPKM yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat
guna membiayai pelayanan kesehatan dikembangkan. Perkembangan
JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat melalui program
bantuan pembangunannya (the United States Agency for International
Development, USA/D). Pada tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis
Kebijakan Ekonomi Kesehatan (AKEK) di Depkes selama lima tahun.
Dalam proyek inilah antara lain berkembang pemikiran-pemikiran
pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan konsep Dana Upaya
Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan dalam
bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu
membawa konsultan dari Amerika yang secara tidak langsung
mempengaruhi pemikiran yang pada waktu itu sangat populer di Amerika.
Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan 1980an Askes
Komersial di Indonesia 67 H Thabrany memang banyak sekali publikasi-
publikasi yang mengemukakan keberhasilan model Health Maintenance
Organization (HMO) di Amerika dalam mengendalikan biaya kesehatan.
Sebenarnya keberhasilan HMO di Amerika dalam pengendalian biaya
kesehatan relatif dibandingkan dengan model asuransi kesehatan
tradisional. Artinya, keberhasilan HMO di Amerika hanya dibandingkan
dengan model asuransi lain yang ada di Amerika, tidak dibandingkan
dengan model asuransi yang ada di negara-negara maju lainnya yang
mempunyai kemampuan pengendalian biayajauh lebih kuat dari HMO. N
amun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek pembiayaan
kesehatan lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak
didominasi oleh pengaruh Amerika, maka tidaklah mengherankan jika
konsep sistem pembiayaan kesehatan kita pada waktu itu (hingga saat ini)
lebih banyak mengikuti pola Amerika yang boros dan tidak egaliter.
Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara lain pada waktu itu
tidak banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi
juga mempengaruhi sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti
sistem pendidikan dan keuangan. Pada prinsipnya JPKM merupakan
program asuransi kesehatan komersial yang mengambil bentuk managed
care, khususnya bentuk HMO di Amerika. Dalam ayat 4 pasal 66 UU 23/92
yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. N amun
demikian, sampai saat ini PP dimaksud belum pemah berhasil dikeluarkan.
4.1.1. Peraturan JPKM Penyelenggaraan JPKM sampai saat ini masih
menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) No. 527 dan 571
tahun 1993, padahal amanat UU 23/1992, pasa166 ayat 4 menghamskan
pengaturan lebih lanjut dari JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya usulan PP tentang JPKM sudah diajukan oleh Depkes untuk
disahkan sebagai peraturan JPKM yang isinya tidak banyak berbeda
dengan dua Perarturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 527 dan 571
tahun 1993. Namun demikian, sampai saat ini PP tersebut tidak pemah
disetujui ditingkat nasional/diluar Departemen kesehatan. Dalam
penjelasannya, Dirjen Binkesmas pemah menyampaikan kepada media
masa bahwa karena ketiadaan PP padahal program JPKM hendak
digerakkan, maka Permenkes tersebut digunakan sebagai landasan
peraturan. Secara hukum, Permenkes kurang mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi sektor lain, apalagi dengan sistem peraturan perundangan
baru di Indonesia, Permenkes tidak lagi tercantum dalam hirarki
perundangan. Hirarki perundangan secara berurutan adalah UUD45, UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan terakhir Peraturan Daerah.
Jika dipelajari dengan seksama, tampak bahwa Permenkes 527 dan 571
mengandung banyak pengulangan dan mengatur hal-hal yang tidak
esensial, sehingga jika dilaksanakan secara konsekuen, maka bapel JPKM
akan sulit menjual produknya. Hal ini berbeda dengan peraturan asuransi
yang lebih luwes. Sebagai contoh pada pasal 7 Permenkes 527 mengatur
paket dasar hams mempertimbangkan pola penyakit, pola pemanfaatan,
pola biaya rata-rata, pola jenis dan jumlah sarana kesehatan. Contoh lain
tentang pembayaran kapitasi (pasal 24) yang hams sesuai karakteristik
peserta dan penyesuaian besarnya pembayaran hams mendapat
persetujuan Dirjen. Untuk memudahkan Askes Komersial di Indonesia 68 H
Thabrany para pembaca, dibawah ini disajikan rangkuman kedua
peraturan tersebut. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan nomor
571 /93 mengatur hal-hal sebagai berikut: 1 Tujuan program JPKM adalah
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui: 1.
Pembudayaan prilaku hidup sehat 2. Penciptaan kemandirian masyarakat
dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan 3.
Penyelenggaraan PK paripurna dengan mengutamakan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit 4. Pemberian jaminan kepada setiap
peserta untuk mendapatkan PK yang sesuai dengan kebutuhannya,
bermutu, dan berkesinambungan 5. Penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna Paket jaminan 1. Paket
jaminan mencakup pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
penyembuhan, dan dilaksanakan secara paripurna (komprehensif),
berkesinambungan, dan bermutu. Paket tersebut hams disusun sesuai
dengan kebutuhan peserta. 2. Paket terbagi atas paket dasar dan paket
tambahan. Paket dasar yang wajib diselenggarakan oleh sebuah bapel.
Karena bapel dapat menjual paket tambahan hanya setelah menjual paket
dasar, maka paket dasar ini pada hakikatnya sama dengan peraturan
minimum benefit dalam peraturan asuransi kesehatan di Amerika. 3. Paket
pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut: a. Rawat jalan meliputi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (pemulihan) sesuai kebutuhan
medis. Pelayanan ini hams mencakup imunisasi, keluraga berencana,
pelayanan ibu dan anak dengan catatan pelayanan persalinan hanya
diberikan sampai anak kedua. b. Rawat inap sesuai kebutuhan medis
meliputi 5(1ima) hari rawat. c. Pemeriksaan penunjang meliputi radio
diagnostik dan atau ultrasonografi, laboratorium klinik. 4. Paket tambahan
dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bapel dengan peserta 5. Dalam
keadaan gawat darurat peserta dapat memperoleh pelayanan pada setiap
PPK. 6. Peserta tidak perlu membayar lagi di PPK apabila pelayanan yang
diberikan sesuai dengan paket yang dipilihnya ___ Landasan Hukum
Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta Masyarakat, Depkes,
1996 Askes Komersial di Indonesia 69 H Thabrany Badan Penyelenggara
(bapel) 1. Badan penyelenggara hams berbentuk badan hukum pemerintah
atau swasta yang dapat berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi. 2.
Badan penyelenggara hams mendapat ijin operasional dari Depkes. Syarat
untuk mengajukan ijin adalah: a. Hasil studi kelayakan dengan kesimpulan
layak b. Memiliki rencana usaha yang meliputi: organisasi, tenaga yang
memenuhi kualifikasi yang diperlukan, jaringan PPK, dan tatalaksana
penyelenggaraan c. Memiliki rencana operasional setiap tahun yang
mencakup peserta, modal, dana cadangan, investasi, paket, pembiayaan,
dan ketenagaan. d. Memiliki modal dan dana cadangan 3.
Penyelenggaraan JPKM hams terpisah dari program lain secara organisasi,
pengelolaan, tenaga, sarana dan dana 4. Bapel wajib menyelenggarakan
paket dasar 5. Bapel hams meminta persetujuan Dirjen tentang besarnya
atau perubahan besar beban biaya (premi) penyelenggaraan pemeliharaan
kesehatan 6. Bapel membuat ketentuan tertulis mengenai informasi bagi
peserta dan PPK, paket, dan tata cara memperoleh pelayanan 7.
Pembentukan kantor cabang jika peserta lebih dari 500 orang dan kantor
pembantu cabang jika peserta kurang dari 500 orang di suatu wilayah
hams mendapat persetujuan dari Dirjen (Kesmas). 8. Kantor cabang
mempunyai fungsi yang sama denga bapel 9. Kantor pembantu cabang
berfungsi: mewakili kantor pusatlcabang, pemasaran, pendaftaran
peserta, mengelola keuangan, melaporkan kegiatan pengelolaan keuangan
ke kantor cabang/pusat, mendistribusikan kartu peserta, dan membantu
menangani keluhan peserta 10. Bapel hams: a. Memiliki modal paling
sedikit sama dengan anggaran operasional satu tahun pertama. b.
Memiliki Dana cadangan sebanyak 25% dari anggaran pelayanan
kesehatan satu tahun yang disesuaikan tiap tahun. Dana cadangan ini
hams berbentuk Deposito atas nama Menteri Kesehatan c. Hams
menyisihkan sebagian sisa hasil usaha untuk cadangan teknis d.
Menyediakan dana setiap bulan paling sedikit sama dengan 3 (tiga) bulan
anggaran pemeliharaan kesehatan, dalam bentuk tunai atau saldo bank. e.
Investasi dana hams mempertimbangkan kelangsungan penyelenggaraan
dan hanya dapat ditanam dalam bentuk: deposito, obligasi, tanah, atau
tanah dan bangunan f. Memberikan kemudahan kepada peserta dalam
bentuk: memberikan kartu peserta, menyediakan PPK, memberi informasi
yang jelas kepada peserta g. Menampung dan menyelesaikan segala
keluhan peserta untuk memperoleh pelayanan 11. Badan penyelenggara
dapat mengiklankan produknya tetapi hams jujur dan bertanggung jawab
serta tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan
iklan hams terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. Askes
Komersial di Indonesia 70 H Thabrany 12. Bapel hams melakukan
pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan saranaJprasarana
yang dimiliki PPK 13. Bapel hams membayar PPK dengan cara kapitasi
berdasarkan perhitungan yang hams dapat dikaji ulang. 14. Bapel dan PPK
secara bersama hams menyediakan dana cadangan untuk pelayanan
peserta. Dana cadangan tersebut dihimpun dengan menahan sebagian
pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya antara 15-45% dari
seluruh pembayaran bapel yang hams tercantum dalam kontrak. Dana
cadangan ini hams dimanfaatkan untuk kepentingan PPK, peserta, dan
bapel dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dirjen. 15. Bapel
hams melakukan koordinasi dengan bapellain dalam hal peserta memiliki
jaminan ganda yang hams dinyatakan dalam kontrak. 16. Bapel hams
melakukan pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan bulanan,
tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap 6 (enam) bulan, rencana perluasan,
dan kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut hams disampaikan
kepada Dirjen/pejabat yang ditunjuk. 17. Badan yang tidak memenuhi
peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta atau kurungan penjara paling
lama 15 tahun sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2). Kepesertaan 1. Setiap
orang, secara perorangan atau kelompok, dapat menjadi peserta program
JPKM 2. Setiap orang yang menjadi peserta pada lebih dari satu bapel
hams melaporkan untuk koordinasi manfaat 3. Kepesertaan dapat
dilakukan setiap saat. Untuk peserta perorangan, beban biaya paket tidak
boleh melebihi 110% paket terendah. 4. Pembayaran beban biaya PK wajib
dilakukan setiap bulan atau untuk jangka waktu tertentu 5. Kepesertaan
setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan ditanda-tangani 6. Peserta
berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas keluhan
yang diajukan Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa
program JPKM berusaha untuk memenuhi kebutuhan (bukan permintaan)
masyarakat dengan mengutamakan usaha promotif dan preventif melalui
sistem komersial. Padahal sistem komersial kurang perduli dengan
kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada aspek permintaan
(demand). Sehingga jika suatu bapel dipaksakan hams menjual produk
yang mengutamakan promotif dan preventif, yang nota bene lebih
merupakan barang publik, tentu saja akan sulit mendapatkan pembeli.
Dalam peraturan tersebut tampak tidak sesuainya tujuan program dan
rancang bangun program yang tercermin dalam kedua Permenkes
tersebut. 4.1.2. JPKM dan HMO Secara garis besar antara JPKM dan HMO
terdapat banyak sekali persamaan dan sedikit perbedaan. Secara umum
persamaan antara JPKM dan HMO adalah: Askes Komersial di Indonesia
71 H Thabrany 1. Kerniripan narna. Sarna-sarna rnenggunakan kata
pemeliharaan kesehatan (health maintenance) 2. Tidak diatur UU asuransi.
Keduanya sarna-sarna diatur oleh UU tersendiri. 3. Kepesertaan sukarela.
Di Indonesia tidak begitu jelas, disebut kepesertaan aktif, tetapi yang jelas
bukan wajib (compulsory/mandatory) 4. Sarna-sarna rnernberikan jarninan
dalarn bentuk pelayanan pada PPK tertentu. 5. Sistern terutup, Sarna-
sarna rnenggunakan sistern tertutup, artinya apabila peserta berobat di
luar jaringan PPK yang dikontrak, bapellHMO tidak rnenanggung. 6.
Pernbayaran kapitasi. Narnun pernbayaran kapitasi tidak lagi rnenjadi ciri
HMO sekarang, karena dalarn praktek tidak rnungkin HMO hanya
rnernbayar secara kapitasi. 7. Pelayanan kornprehensif. Sarna-sarna
rnengklairn rnernberikan pelayanan kornprehensif 8. Keharusan prograrn
jaga rnutu. Meskipun dalarn praktek di Indonesia hal ini belum berjalan
sesuai yang diharapkan 9. Keharusan prograrn rnanajernen utilisasi. Juga
di Indonesia belum berjalan sebagairnana yang diharapkan 10. Keharusan
penanganan keluhan. Juga di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan Selain persarnaan diatas, terdapat beberapa perbedaan
penting, yaitu: 1. Perijinan dan pengawasan. Di Indonesia perijinan bapel
diberikan oleh Depkes. Di Amerika, Depkes hanya rnernberi rekornendasi,
sedangkan perijian dan pengawasan dilakukan oleh Departernen Asuransi
yang lebih rnerniliki kernarnpuan untuk rnengawasi usaha asuransi 2.
Pengaturan. Di Amerika peraturan HMO yang dikendalikan oleh
pernerintah pusat (federal) hanyalah untuk HMO yang ingin rnendapatkan
kualifikasi pernerintah federal. Pada umumnya HMO diatur oleh peraturan
pernerintah negara bagian berdasarkan NAIC MHO Model Act (suatu
kerangka peraturan yang dibuat oleh Asosiasi Direktur Departernen
Asuransi negara bagian). Di Indonesia pertauran JPKM bersifat nasional. 3.
Badan penyelenggara. Di Indonesa badan penyelenggara digiring kepada
bentuk for profit sernentara di Amerika badan not for profit yang
dirangsang untuk rnendirikan HMO dengan berbagai insentif. Oleh
karenanya di Arnerika narna badan penyelenggara disebut dengan kata
Organization, karena serikat pekerja, yayasan, atau universitas juga dapat
rnendirikan HMO. 4. Persyaratan permodalan. Di Amerika modal HMO hams
dikaitkan dengan risiko/tanggung jawab HMO (risk base capital). Di
Indonesia, persyaratan permodalan HMO rnasih terlalu rendah sehingga
rnenirnbulkan potensi kesulitan solvabilitas. Secara lebih rinci, perbedaan
dan persarnaan JPKM dan HMO di Amerika dapat dilihat dari tabel berikut
ini. Askes Komersial di Indonesia 72 H Thabrany Persamaan dan
Perbedaan JPKM dan HMO di Amerika Item JPKM HMO Dasar Respons
terhadap uncertainty. Respons terhadap uncertainty. Transfer Transfer
risiko risiko Dasarhukum UU 23/92 (belum dilengkapi dengan Undang-
undang HMO untuk federally PP yang dibutuhkan) qualified HMO (1973 dan
amanedemen Permenkes 527 dan 571/1993, selanjutnya) dan NAIC HMO
Model 568/1996 Tujuan • Pembudayaan prilaku hidup • Memastikan bahwa
kebutuhan sehat pelayanan kesehatan peserta terpenuhi • Kemandirian
masyarakat dalam • Meningkatkan derajat kesehatan membiayai
pelayanan • Meningkatkan produktifitas kerja kesehatan • Pemberian
pelayanan yang berhasil • Meningkatkan derajat guna dan berdaya guna
kesehatan • Pemberian pelayanan yang berhasil guna dan berdaya guna
Kepesertaan Sukarelalaktif Sukarela Kontrak • Unilateral • Unilateral •
Kondisional • Kondisional • Aleatory • Aleatory • Adhesi • adhesi Transfer
risiko Dengan membavar prerni Dengan membayar iuran/prerni Pooling
risiko Pooling risiko perorangan, Pooling risiko perorangan, kelompok
kelompok homogen dan heterogen homogen dan heterogen (community
rating) (community & adjusted community rating) Sharing risiko Sharing
risiko antara yang sakit dan Sharing risiko antara yang sakit dan yang
yang sehat, provider dan payer. sehat, provider dan payer. Payer/HMO
tanzzunz risiko penuh Yang dapat menjadi Suatu yang berbadan hukum.
Secara Perorangan, serikat pekerja, organisasi, bapel eskplisit PT, BUMN,
BUMD, dan LSM, Yayasan, Perusahaan Koperasi Bapel yang didorong
Berbagai bentuk. Misalnya Bapel nirlaba mendapat hibah modal tetapi
pemerintah pemberian JPSBK diberikan baik bapel for profit hanya
diberikan jaminan yang berbentuk yayasan maupun PT pinjaman Perijinan
dan Departemen Kesehatan Departemen asuransi dan (+ HCFA
pengawasan keuangan untuk Federally Qualified HMO) Concern terhadap
Harus Harus solvency Pemasaran dan Fokus pada kumpulan F okus pada
kumpulan underwriting Ancaman bias selection Ada Ada Ancaman moral
hazard Ada Ada Kontrol terhadap Belum ada aturan khusus Open
enrollement adverse selection Kontrol terhadap moral Terutama kepada
PPK. Melalui Terutama kepada PPK (kinijuga melalui hazard peserta dalam
bentuk paket terbatas peserta) Bentuk benefit Melalui PPK secara
tertutup, Melalui PPK secara tertutup, kecuali untuk kecuali untuk kasus
gawat darurat kasus gawat darurat Askes Komersial di Indonesia 73 H
Thabrany Item JPKM HMO Pelayanan Secara teori, belum pelaksanaan.
Sudah dilaksanakan. Tidak ada tingkatan komprehensif Permenkes
mengatur paket dasar paket dasar komprehensif. tapi disebut
komprehensif Program promotif dan Harus ada Harus ada pencegahan
Limitasi dan eksklusi Dalam praktek sangat banyak Umumnya sedikit,
kecuali beberapa pelavanan tertentu Pembayaran PPK Secara teori hanya
kapitasi. Dalam Dulu hanya kapitasi. Kini yang terbanyak pelaksanaan
sebagian besar tidak dengan FFS dengan diskon membavar kapitasi
Manajemen utilisasi Harus dilaksanakan. Dalam praktek Selalu ada.
Penekanan melalui provider belum berjalan karena PPK masih dengan juga
melalui peserta jauh lebih kuat. Berlum berkembang Ada prospective,
concurrent, dan retrospective utilization revie. Manajemen mutu Menjadi
penting (dan suatu Menjadi penting untuk meyakinkan keharusan menurut
peraturan) penjualan dan menghindari moral hazard untuk meyakinkan
penjualan dan dariPPK menghindari moral hazard dari PPK Penanganan
keluhan Diharuskan ada, untuk menjamin Diharuskan ada, untuk menjamin
bahwa bahwa pelayanan yang diberikan pelayanan yang diberikan
memenuhi memenuhi standar tertentu standar tertentu Upava bisnis rutin
Upaya bisnis rutin 4.1.3. JPKM sebagai asuransi Judul diatas mungkin
menggelitik sebagian orang dan juga dimasukkannya Bab 4 yang
membahas JPKM di dalam buku ini dapat dipertanyakan. Sampai saat ini
masih banyak orang yang berpendapat bahwa JPKM bukan asuransi.
Alasannya adalah "asuransi memberi penggantian uang sedangkan JPKM
tidak memberikan penggantian uang". Topik ini sengaja disajikan disini
agar para pembaca dapat memahami benar berbagai pendapat yang ada di
masyarakat. Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar
secara peraturan perundang undangan, karena dalam perakteknya
perusahaan asuransi yang menjual asuransi kesehatan tidak selalu
memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi asuransi memang
berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1
dijelaskan defisini asuransi atau pertanggungan sebagai ''perjanjian antara
dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan'", Dalam UU No 23/92 pasal 66 ayat 2 disebutkan
"Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara
penyelenggaraan 2 __ Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang
Usaha Perasuransian. Dirjen Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan
RI. Jakarta 1993 Askes Komersial di Indonesia 74 H Thabrany
pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya, dikelola secara terpadu
untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib di/aksanakan oleh
setiap badan penyelenggara". Dalam Permenkes No 571/1993 dijelaskan
bahwa JPKM adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan
yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang
berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang
di/aksanakan secara praupaya. Kemudian pada butir b disebutkan Program
JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta suatu badan
penyelenggara yang pembiayaannya di/akukan secara praupaya dan
dikelola berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. i Jadi
menurut definisi yang digunakan oleh kedua UU tersebut, memang
terdapat perbedaan. Undang-undang asuransi memang menyebutkan kata
'penggantian', namun dalam prakteknya penggantian tidak selalu dalam
bentuk uang. Baik dalam asuransi kesehatan maupun asuransi kendaraan
bermotor, apabila terjadi peristiwa sakitlkerusakan kendaraan akibat
kecelakaan, tidak semua perusahaan asuransi memberikan penggantian
dalam bentuk uang. Banyak perusahaan asuransi yang mengganti biaya
pengobatan dengan membayar langsung ke rumah sakit yang ditunjuk.
Banyak perusahaan asuransi yang menunjuk bengkel mobil tertentu
dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang rusak. Jadi
soal penggantian tidaklah hams berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di
Amerika hal ini dilengkapi dengan pemyataan assignement of benefits
yang ditanda tangani oleh pemegang polis. Soal penggantian uang atau
pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah suatu
mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau
asuradur dalam memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab
I. Ciri manajemen utilisasi, pembayaran kapitasi, pengendalian mutu,
penanganan keluhan peserta dan "jurus-jurus" lain yang ada di JPKM
bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut adalah
bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan
upaya pemasaran, khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran
kapitasi kepada PPK. Jurus-jurus JPKM adalah kiat manajemen yang hams
dilakukan akibat pembayaran benefit diberikan dalam bentuk pelayanan
kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran kapitasi. Seandainya
perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi
juga, mereka akan melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh
pemerintah. Menyatakan bahwa "JPKM bukan asuransi" mempunyai
konsekuensi standar ganda pada saat kita berkomunikasi di dunia
intemasional. Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa perdebatan
tentang hal ini tidak perlu dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan
salah satu pendapat. Hal ini perlu dituntaskan karena hal ini membawa
konsekuensi sosial, ekonomi dan kebijakan yang dapat mengganggu
tujuan Nasional dalam bidang kesehatan. Perbedaan persepsi ini
mempunyai dampak yang sangat serius dalam pengembangan JPKM itu
sendiri di kemudian hari. Beberapa pihak menganggap hal ini perlu
ditegaskan agar rujukan pelaksanaan program asuransi kesehatan atau
JPKM menjadi jelas. Ada yang berpendapat bahwa jika JPKM itu suatu
asuransi, maka program JPKM hams tunduk pada UU No. 2/92 tentang
asuransi. Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak bisa
digunakan untuk pengaturan atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana
dengan UU No. 3/92? Apakah program JPK Askes Komersial di Indonesia
75 H Thabrany Jamsostek itu suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau
bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah JPKM atau asuransi, maka kenapa
harus tunduk pada UU sendiri? Soal peraturan mana yang mengatur;
apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No. 23/92, semuanya sarna saja
bagi penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan kesehatan.
Semuanya adalah undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR
dan diundangkan oleh Presiden. Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur
agar penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Kemanapun suatu program mengacu, tidak jadi masalah bagi masyarakat.
Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama, sehingga bisa saling
memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan, produktifitas dan kualitas hidup rakyat. Secara objektif kita
hams membandingkan ciri-ciri kontrak asuransi dan kontrak JPKM.
Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM adalah asuransi. Pada
Bab I kita sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu
kondisional, unilateral, aleotary, dan adhesi. Keempat ciri kontrak
tersebut juga terdapat dalam JPKM dan JPK Jamsostek. Oleh karenanya,
baik JPKM maupun JPK Jamsostek merupakan juga asuransi yang tidak
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur international sangat
jelas mengenai klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah
membahas persamaan dan perbedaan JPKM dengan HMO, yang sangat
mirip, maka kita bisa belajar juga dari yang terjadi di Amerika. Di Amerika,
HMO memang juga bukan perusahaan asuransi tetapi yang memberikan
ijin dan yang mengawasi solvensi dan berbagai masalah hubungan
peserta HMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena meskipun HMO
bukan perusahaan asuransi, produk yang dijualnya adalah produk
asuransi. Untuk membuat pengoperasian HMO relatif standar di tingkat
federal, maka the National Association of Insurance Commisioner (NAIC)
membuat apa yang disebut NAIC HMO Model, yang merupakan dasar untuk
pengaturan HMO di masing-masing negara bagian. Dari kepentingan publik
dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi kesehatan atau
bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau
asuransi kesehatan hams dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena
biaya atau ketiadaan fasilitas) apabila mereka terkena musibah suatu
penyakit secara adil, terjangkau, dan efisien secara nasional. Inilah yang
menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada orang sakit yang tidak
bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang tidak
perlu berobat, lalu diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik
usaha di bidang kesehatan memerlukan uang. Kita tidak ingin ada
pelayanan untuk orang miskin dan ada pelayanan untuk orang kaya. Yang
kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari
status ekonomi orang tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme
pemberian pemeliharaan kesehatan itu diberikan melalui asuransi dengan
penggantian biaya, ditanggung pemerintah, ditanggung asuransi dengan
jaminan pelayanan, atau ditanggung JPKM dengan pelayanan di tempat
tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi masalah bagi
masyarakat adalah jika mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang
memadai atau mendapat jaminan yang memadai tetapi biayanya (premi,
iuran, kontribusi, dll) mahal. Askes Komersial di Indonesia 76 H Thabrany
Konsekuensi serius dapat terjadi jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan
asuransi dan karena JPKM tidak dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi.
Hal ini akan membawa akibat sangat berat bagi peserta JPKM sendiri.
Peserta JPKM akan mudah sekali menjadi korban karena adanya kontrak
adhesi dimana peserta berada pada posisi lemah. Karena bisnis JPKM
adalah bisnis risiko, maka persyaratan permodalan dan manajemen hams
diatur sangat ketat agar peserta tidak dirugikan. Kasus bapel JPKM nIBI
(International Health Benefit Indonesia) yang kini bangkrut sementara
dana deposito (modal) yang disetor di Depkes hanya sekitar 2,5% dari
kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut sebuah sumber),
merupakan pelajaran yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola
menurut prinsip-prinsip asuransi yang baik, hal itu kecil kemungkinannya
terjadi. Akibatnya banyak RS di Jakarta yang kehilangan kepercayaan
terhadap JPKM. Inilah salah satu contoh, akibat serius dari tidak tepatnya
kita menempatkan JPKM. Apakah Depkes tidak boleh mengatur asuransi
kesehatan? Menurut penulis, tidak ada alasan untuk itu. Di Amerika,
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial bahkan menyelenggarakan
sendiri asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di dalam
administrasinya dikelola oleh Health Care Financing Administration (HIAA,
1996; HIAA, 1995; Kongsvedt, 1 996)ii. Undang-undang asuransi sosial
kesehatan di Jerman diatur dan diawasi oleh Departemen Kesehatan
Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi Kesehatan Nasional merupakan
lembaga di bawah Departemen Kesehataniv. Tidak ada alasan bahwa
Departemen Kesehatan tidak boleh mengatur asuransi kesehatan,
sehingga JPKM hams bukan asuransi. 4.1.4. Perkembangan dan rencana
ke depan Sampai dengan saat ini terdapat 21 bapel yang telah
mendapatkan ijin operasional JPKM dari Depkes. Masih puluhan
permohonan yang sedang dalam proses perolehan ijin. Pada umumnya
bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil untuk ukuran
asuransi kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah
yang telah mendapatkan ijin operasional dari Depkes. Bapel yang
bermodal relatifbesar hanya memiliki modal Rp 500 juta saja. Hal ini tentu
saja mempengaruhi kinerja penjualan dan pelayanan yang diberikan oleh
para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di tahun 1999 ada
yang hanya mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar
(di luar peserta perusahaan asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang
saja (yang pada akhir tahun 2000 telah bangkrut karena kesulitan
solvabilitas)", Jumlah tertanggung yang mampu diraih oleh bapel JPKM
tersebut adalah sebagai berikut: 3 Thabrany, H. Pujianto, Mundiharno,
Djazuli. Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM,
Jakarta 2001 Askes Komersial di Indonesia 77 H Thabrany Tabel4.1
Perkembangan jumlah tertanggung yang diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-
1999 1998 1999 2000 Jumlah bapel 14 17 21 Jumlah tertanazuna 108.000
108.000 286.734* Sumber: Profil Kesehatan 2000, Laporan Subsidi Silang
JPKM, Dirat JPKM. * Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel IHBI
dan BCS yang telah bangkrut, yang berjumlah sekitar 30.000 tertanggung ..
Produk yang dijual bapel JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat
bervariasi dari yang hanya menanggung perawatan di puskesmas dengan
pembayaran kapitasi dan penggantian biaya rawat inap di RS maksimum
Rp 250.000 sampai yang menanggung perawatan di luar negeri. Paket
dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh PT Askes
Indonesia, yang akan dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi
jual bervariasi dari Rp 1.000 sampai yang berharga diatas Rp 100.000 per
orang per bulan. Salah satu contoh paket dan preminya dicantumkan
dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi kesehatan komersial dan
sosial. Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara
lain adalah: 1. Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut
bertumpu pada mekanisme asuransi kesehatan komersial yang sehamsnya
merespons permintaan. Akibatnya tidak banyak investor berpengalaman
yang berminat menanamkan modalnya dalam bidang ini. 2. Peraturan
bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan terlalu
birokratis. Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan
menjamin peraturan yang dibuatnya dipatuhi oleh badan penyelenggara. 3.
Tersedia pilihan menjual asuransi kesehatan di luar JPKM yaitu yang
berdasarkan UU Asuransi. Perusahaan asuransi dapat menjual produk
asuransi kesehatan tradisional, yang lebih mudah dan menarik, maupun
produk yang mirip JPKM tanpa hams terikat pada peraturan JPKM. 4.
Biaya kesehatan yang mahal belum menjadi masalah utama pembiayaan
kesehatan kita, bahkan justeru sebaliknya. Program JPKM yang
menjanjikan pengendalian biaya menjadi tidak re1evan. Hal ini sangat
berbeda dengan di Amerika dimana hampir semua orang sangat khawatir
akan mahalnya biaya kesehatan, sehingga berbagai upaya pengendalian
biaya melalui managed care menjadi pilihan yang menarik. 5. Contoh-
contoh penyelenggaraan JPKM yang diselenggarakan Depkes memberikan
kesan bahwa JPKM adalah produk inferior. Percontohan JPKM di Klaten
dan di berbagai proyek HP IV menggunakan sarana puskesmas sebagai
PPK dan dengan premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 - Rp 2.000 per
bulan. Hal ini sama sekali tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM
mempunyai jurus jaga mutu atau meyakinkan bahwa mutu pelayanan yang
diberikan patut untuk dibeli. 6. Masih murahnya pelayanan kesehatan yang
dapat diperoleh di puskesmas dan rumah sakit pemerintah menyebabkan
masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman keuangan mereka di
kemudian hari. 7. Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana
kesakitan dinilai sebagai suatu fenomena alamiah yang harus diterima
sebagai takdir. Askes Komersial di Indonesia 78 H Thabrany 8. Masih
kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat dimana apabila salah
seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut membantu
meringankan beban biaya si sakit. 9. Belum memadainya sumber daya
manusia yang mampu mengelola asuransi kesehatan, apalagi JPKM yang
manajemennya lebih kompleks dari pengelolaan asuransi kesehatan
tradisional 10. Belum baiknya peraturan dan penegakan hukum dalam
praktek asuransi kesehatan termasuk JPKM, sehingga kasus-kasus
penyimpangan penyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi lainnya
menjadi trauma masyarakat yang mendorong mereka tidak berasuransi.
Penjualan produk JPKM yang dijual perusahaan asuransi lebih berkembang
ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel JPKM yang mendapat ijin
operasional dari Depkes. Produk JPKM antara lain juga di jual oleh
perusahaan asuransi sepert PT Askes, PT Tugu Mandiri, dan PT Allianz.
Perkembangan produk JPKM yang dijual oleh perusahaan asuransi jauh
lebih banyak dari yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah tertanggung atau
anggota yang mampu diraih oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak
dari yang mampu dijual oleh bapel JPKM. Jumlah peserta yang diraih PT
Askes tahun 1999 sudah mencapai lebih dari 650 ribu peserta dari 2.239
perusahaan dan pada tahun 2001 ini diperkirakan mencapai satu juta jiwa
(Lihat Tabel 4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri dan Allianz masing-
masing telah mampu memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed care
yang secara garis besar sarna dengan produk JPKM. Hal ini antara lain
disebabkan karena kepercayaan pembeli (perusahaan) jauh lebih tinggi
kepada perusahaan asuransi daripada kepada bapel JPKM. Kedua,
pemilikan modal bapel JPKM pada umumnya sangat lemah sehingga bapel
tersebut tidak mampu merekrut tenaga profesional yang memadai jumlah
dan kualitasnya. Ketiga produk yang dijual bapel JPKM kurang mampu
bersaing (cakupan dan harganya) dengan produk yang dijual oleh
perusahaan asuransi. Gambar 4.1. Perkembangan penjualan produk
HMO/JPKM PT Askes Indonesia, 1995-1999 700 600 500 400 300 200 100 o
1995 1996 1997 1998 1999 Sumber: Laporan Manajemen PT Askes
Indonesia, 1999 Askes Komersial di Indonesia 79 H Thabrany
Perkembangan jumlah bapel dan jumlah penduduk yang dijamin melalui
bapel JPKM yang tidak memuaskan, kemudian mendorong Depkes
memperluas program ini. Pada waktu menjadi Menkes Prof. Farid Moeloek
berhasil meyakinkan Presiden Habibie bahwa kesehatan dan pendidikan
merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam bersaing di dunia
global. Untuk itu dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan
untuk menjadikan setiap langkah pembangunan berwawasan kesehatan.
Dalam Indonesia Sehat 2010 ini terdapat empat pilar utama yaitu:
paradigma sehat, profesionalise, desentralisasi, dan JPKM. Masuknya
JPKM sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 mendorong berbagai
upaya untuk memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM
yang diharapkan dapat memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu,
JPKM hanya diurus di bawah koordinasi Sub Direktorat BIUK (Bina
Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus menangani JPKM. Untuk
mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan
stimulasi JPKM dengan pendirian pra bapel di setiap kotalkabupaten di
akhir tahun 1998. Setiap pra bapel diberikan dana sebesar Rp 10.000 per
keluarga miskin untuk menjadikan keluarga tersebut anggota JPKM. Pra
bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya manajemen
seperti penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Sisa dana yang Rp 9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk
digunakan khususnya untuk upaya promotif dan preventif. Tercatat 354
pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin) mendapatkan dana stimulan
tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama dua tahun
dan selama masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang
menjadi bapel penuh dan mampu menjual produk JPKM kepada keluarga
yang tidak miskin. Besamya dana yang dikucurkan pemerintah seluruhnya
berjumlah Rp 180 milyar. Program ini tidak mendapatkan dana pada tahun
kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai saat ini pada umumnya
pra bapel tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel
penuh. Selain alasan dana tahun kedua yang tidak dikucurkan, hampir
semua bapel yang dikembangkan tidak memiliki modal sendiri yang
memadai. Pada umumnya pra bapel tersebut juga tidak memiliki
pengalaman dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Menyadari bahwa JPKM secara
sukarela tidak bisa berkembang seperti yang diharapkan, maka Depkes
berkeinginan menjadikan kepesertaan JPKM wajib. Sebenamya bisa
dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan UU
Kesehatan yang tidak menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib.
Jadi jika JPKM mau diwajibkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali hams
membuat suatu UU yang mewajibkan. Maka sejak Desember 1998
dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian sampai Oktober 2001 , draft
tersebut belum dibahas di DPR. 4.1.5. Masalah yang dihadapi Banyak pihak
tidak melihat bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang
diharapkan. Penyebab utamanya adalah terlalu idealnya program disusun
yang tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia. Konsep HMO yang
terdengar rasional seperti menjamin Askes Komersial di Indonesia 80 H
Thabrany paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan dengan
biaya terkendali tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia.
Keinginan JPKM mampu mengendalikan biaya dengan pembayaran
kapitasi tidak ditunjang oleh pasar pelayanan yang 85% masih didominasi
pembayar per orangan dengan tingkat harga yang masih sangat rendah.
Pemberi pelayanan tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran
kapitasi, karena pasar dari pasien perorangan masih sangat kuat. Tingkat
persaingan antara PPKpun, kecuali di kota besar seperti Jakarta, masih
sangat rendah. Biaya kesehatan di Indonesia juga masih sangat rendah
sehingga tidak mendorong berbagai pihak memikirkan pengendalian biaya.
Bahkan masalah utama pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah
rendahnya pengeluaran pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat
berbeda dengan masalah pembiayaan kesehatan di Amerika yang sudah
memprihatinkan semua pihak. Dengan demikian, upaya menerapkan
konsep-konsep HMO di Indonesia tidak bisa berjalan seperti yang
diharapkan. Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya
sampai slogan belaka karena kemampuan pembeli pada umumnya belum
sanggup untuk menjamin pelayanan komprehensif. Perusahaan asuransi
besarpun tidak semuanya menjamin paket komprehensif seperti yang
diselenggarakan HMO di AS atau asuransi kesehatan lainnya di dunia.
Jaminan pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan percontohan
JPKM dan program JPKM JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai
PPK. Meskipun pasien yang berkunjung ke puskesmas di Jakarta setiap
harinya memang banyak, pada umumnya golongan menengah keatas, yang
mampu tidak ke puskesmas. Mereka yang mampu, bahkan yang kurang
mampu sekalipun, lebih memilih ke dokter praktek sore untuk
mendapatkan pelayanan yang dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul
stigma bahwa program JPKM adalah program untuk orang miskin. Dengan
melekatnya citra puskesmas yang bagi masyarakat menengah keatas
dinilai tidak bermutu, maka kepercayaan terhadap JPKM menjadi tererosi.
Bercampur-baurnya konsep membantu yang miskin, menggerakan
pembiayaan oleh masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari
usaha pencari laba, menjual premi sesuai kemampuan peserta, dan
berbagai keinginan ideal lainnya bercampur baur dalam konsep JPKM.
Akibatnya program ini tidak bisa bergerak karena terlalu banyak arah/
tujuan yang hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang saling berlawanan
sehingga program tidak bergerak. Sebagai contoh, JPKM diharapkan
sebagai program memandirikan masyarakat dalam membiayai kesehatan,
tetapi banyak pra bapel bahkan beberapa bapel menempatkan target
sasaran program JPKM justeru masyarakat ekonomi lemah. Program JPKM
ingin memberikan pelayanan bermutu dan dengan biaya terkendali, akan
tetapi pra bapel dan beberapa bapel menjual produknya dengan premi
sesuai kesepakatan atau atas dasar perhitungan tarif puskesmas. Jelas
hal ini bertentangan dengan konsep komersial yang menjadi bisnis utama
badan usaha yang seharusnya menjawab permintaan. Persyaratan bapel
dan kewajiban bapel yang digariskan oleh Permenkes 527 dan 571 tidak
ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau, membina, dan
mengawasi penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat.
Lemahnya kemampuan keuangan dan manajemen para bapel berijin juga
membuat pemerintah setengah-setengah dalam mengendalikannya. Jika
dikendalikan terlalu ketat, sesuai peraturan yang ada, bisa jadi semua
bapel akan mundur. Jika peraturan tidak ditegakkan maka akan menjadi
preseden yang tidak baik bagi perkembangan JPKM selanjutnya. Askes
Komersial di Indonesia 81 H Thabrany Singkatnya, JPKM tidak
berkembang seperti yang diharapkan karena terlalu banyak yang hendak
dicapai oleh program ini pada situasi yang belum memungkinkan untuk itu.
If we want to get everything then we will get nothing. Agar JPKM yang
sudah menjadi salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 dapat berkembang,
perlu perhatian serius dari pemerintah. Berbagai peraturan JPKM perlu
ditinjau kembali (apabila tujuan yang hendak dicapai tidak berubah) untuk
lebih menyesuaikan JPKM dengan kondisi lingkungan yang
memungkinkannya berkembang. 4.2. Asuransi Kesehatan Tradisional
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang dimaksud asuransi
kesehatan tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya
memberikan penggantian dalam bentuk uang tunai atau penggantian biaya
berobat. Bentuk yang paling tradisional adalah dimana asuradur tidak
melakukan kontrak dengan PPK. Dalam prakteknya, bentuk ini tidaklah
banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di Indonesia banyak
perusahaan asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya
rumah sakit, untuk memberikan pelayanan kepada pemegang polis dan
tertanggung kemudian RS tersebut melakukan penagihan kepada
asuradur. Pembayaran kepada RS biasanya dilakukan secara fee for
services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada perbedaan berarti
antara asuradur tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan bapel
JPKM juga membayar RS menurut pelayanan yang diberikan (FFS). Hams
disadari bahwa cara pembayaran tersebut sangat tergantung pada kondisi
pasar setempat dan tingkat persaingan asuransi. Dengan demikian,
membagi produk asuransi berdasarkan bentuk JPKM dan asuransi
kesehatan tradisional sangat sulit dilakukan. Faktanya perusahaan
asuransi juga menjual produk yang mirip dengan JPKM atau produk hibrid
seperti PPO (preferred provider organization) di Amerika. Untuk lebih
memudahkan penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini adalah
produk-produk asuransi yang dijual oleh Perusahaan Asuransi yang
beroperasi atas dasar UU Asuransi No. 2/1992. Sejarah penjualan asuransi
kesehatan tradisional sebenamya telah berlangsung lama. Pada awal
tahun 1970an perusahaan asuransi Nasuha telah menjual produk asuransi
kesehatan. Beberapa produk asuransi kesehatan penyakit kanker telah
juga dijual pada tahun 70an. Namun pada umumnya penjualan produk
asuransi kesehatan pada saat itu pada umumnya berbentuk produk
tumpangan (rider) dan hanya dijual oleh beberapa perusahaan asuransi
saja. Produk asuransi kesehatan belum mendapat perhatian masyarakat,
peraturan belum jelas dan pasamya juga masih sangat terbatas. Baru
setelah UU No 2/92 mencantumkan bahwa perusahaan asuransi jiwa boleh
menjual produk asuransi kesehatan dan UU Jamsostek dikeluarkan
seminggu kemudian, maka penjualan asuransi kesehatan menjadi ramai.
Askes Komersial di Indonesia 82 H Thabrany 4.2.1. Landasan Hukum Kata
kesehatan masuk dalarn UU No 2/92 pada dua bagian yaitu pada bagian
obyek asuransi dan pada pasal 1. Dalam pasal 4 disebutkan "Perusahaan
asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha di bidang asuransi
jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri ... ".4 Pada awalnya
pasal ini menimbulkan kontroversi dan protes di kalangan perusahaan
asuransi kerugian. Dalarn UU Asuransi, usaha asuransi dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selain kedua
bentuk usaha asuransi tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang
asuransi seperti aktuaria, agen, dan penilai risiko yang diperkirakan
menjadi beban asuradur (underwriter). Melihat sifat risikonya, asuransi
kesehatan merupakan asuransi kerugian karena besarnya kehilangan
dapat diukur dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau perawatan
akibat kehilangan kesehatan. Sementara pada asuransi jiwa, besarnya
risiko tidak bisa diukur akan tetapi bisa dikuantifikasi. Oleh karenanya
sifat alarniah jenis asuransi jiwa berbeda dengan asuransi kesehatan.
Narnun, jika dilihat dari obyeknya sarna-sarna manusia, usaha asuransi
jiwa dan kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya dalarn UU
tersebut hanya disebutkan bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual
asuransi kesehatan sementara penegasan itu tidak perlu dilakukan karena
asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian. Jadi perusahaan
asuransi kerugian secara otomatis boleh menjual asuransi kesehatan.
Banyak orang berpendapat bahwa adanya UU Asuransi, UU Jamsostek dan
UU Kesehatan menimbulkan konflik karena semuanya mengatur asuransi
kesehatan. Hal ini sebenamya tidak tepat. Undang-undang asuransi tidak
mengatur asuransi kesehatan. UU asuransi mengatur berbagai
persyaratan modal, operasional, dan pelaporan perusahaan asuransi,
reasuransi, dan penunjang asuransi. Undang-undang asuransi sarna sekali
tidak mengatur kontrak spesifik asuransi kesehatan seperti halnya
berbagai UU di Amerika yang misalnya mengatur paket minimum, pre-
existing condition, dan portabilitas. Undang-undang dan peraturan lain
yang merincinya hanya mengatur bisnis asuransi, tanpa mengatur produk
masing-masing asuransi. Sementara itu UU Kesehatan juga tidak
mengatur asuransi kesehatan meskipun dalarn pasal 66 disebutkan bahwa
pemerintah mendorong pengembangan JPKM, yang merupakan salah satu
produk asuransi kesehatan. Namun demikian, dalarn pengaturan JPKM
selanjutnya yang diatur dengan Permenkes, pada hakikatnya Permenkes
tersebut memang mengatur bisnis asuransi kesehatan yang dijual oleh
bukan perusahaan asuransi (yaitu oleh bapel JPKM). Memang di Amerika,
produk yang sarna dengan JPKM (HMO) umumnya diatur oleh Departemen
Asuransi karena meskipun produk HMO sarna sekali tidak menggunakan
narna asuransi, pada hakikatnya produk yang dijual adalah produk
asuransi kesehatan. 4.2.2. Produk asuransi kesehatan traditional dan
manfaat pelayanan Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu produk asuransi kumpulan/grup dan produk
perorangan. Produk asuransi kumpulan dapat dibedakan menjadi dua
bagian besar yaitu: 4 __ Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang
Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI, 1993. Askes Komersial di
Indonesia 83 H Thabrany 1. Produk standar yang dibuat perusahaan
dimana pembeli tinggal memilih produk produk yang telah dibuat. Produk
ini sama dengan produk asuransi kesehatan perorangan dimana pembeli
hanya bisa memilih dari produk yang telah ada. Untuk produk kumpulan,
produk standar ini dijual ke kumpulan (umumnya masih ke perusahaan)
yang relatif kecil, 2. Produk rancangan khusus (taylor made) yang dibuat
atas dasar permintaan pembeli yang menginginkan pelayanan tertentu
dijamin. Misalnya, ada perusahaan yang meminta jaminan rawat inap
sampai 90 hari tanpa memperhitungkan jumlah hari rawat di ICU. Ada
perusahaan yang menginginkan transplantasi ginjal dan sumsum
ditanggung, Bahkan ada perusahaan yang menginginkan tidak ada
batasan. Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan
dapat sangat beragam yang mencerminkan kombinasi dari jaminan yang
diberikan, cara pembayaran manfaatlbenefit, besarnya biayalbeban
sendiri, dan jaringan PPK yang boleh digunakan, Jika dihitung kombinasi
dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis dapat tersusun
lebih dari satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung
dari berbagai kombinasi, seperti : 1. Cakupan pelayanan yang ditanggung
yang dapat bervariasi dari pelayanan promotif preventif sampai pelayanan
jangka panjang (long term care) (lihat gambar 4.2). 2. Besamya biaya
sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur biaya (co
payment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per
perawatan, per penyakit, atau total manfaat setahun. 3. Cara pembayaran
manfaatlbenefit yang dapat berupa uang tunai tanpa terkait dengan
pelayanan yang diberikan, penggantian biaya dengan atau tanpa batas
maksium per pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung
membayar dulu di muka, pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak
pembayaran khusus seperti kapitasi. 4. Pilihan PPK seperti dokter praktek,
dokter spesialis, rumah sakit, kelas perawatan, PPK tertentu yang telah
dikontrak atau bebas memilih dimana saja, tanggungan pelayanan
kesehatan di dalam dan di luar negeri. 5. Pelayanan tambahan lain yang
digabungkan yang dapat berupa santunan kecelakaan diri, sakit pada
waktu bepergian ke luar negeri, santunan kematian, ongkos ambulan,
biaya repatriasi/evakuasi, santunan cacat tetap, dan pengembalian premi
Askes Komersial di Indonesia 84 H Thabrany Gambar4.2 Potensi Cakupan
Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan Promotif
Sehat Mati 11/ ,,::)! Klinis .:-.:"" :"'":..;..:..;..:..:...:..:...:..:...:.;...: •.. :-...,. .
Ganggu kegiatan ::::::::::.:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: :Ar. : :.: : d
produlrtif:yg:hilang::::::: ............ i/Gagill: : : : : : : : : : : : : : : : : : : Pen: .
embuhan' iak :seiii· . Utiiaicacat WaktulUmur Pada umumnya paket
jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebagai
berikut: 1. Rawat Inap di Rumah Sakit a. Biaya rawat inap • Umumnya
masa rawat inap yang dijamin bervariasi dari maksimum 60 hari sampai
365 hari setahun • Umumnya untuk setiap perawatan di rumah sakit
asuradur memberikan santunan berupa uang sejumlah tertentu, misalnya
Rp 100.000 Rp 500.000 per hari. Tertanggung dapat menggunakan dana
tersebut untuk membiayai perawatan dan atau keperluan lain misalnya
transportasi, biaya keluarga di rumah, dan lain-lain. b. Penggantian biaya
ruang perawatan dan makanan (room & board) • Mencakup biaya ruang,
makanan, dan pelayanan asuhan keperawatan rutin. • Penggantian biaya
atas dasar plafonibatas maksimum per hari sesuai paket yang dibeli
peserta atau perusahaan. Biasanya penggantian mengacu pada tarif
kamar tertentu di RS swasta, misalnya kelas III, kelas II, dsb. •
Penggantian biaya penuh sesuai tagihan rumah sakit. Pada produk ini
seringkali asuradur membayarkan langsung ke RS atas tagihan RS. Askes
Komersial di Indonesia 85 H Thabrany c. Biaya pelayanan dan bahan medis
lain (biaya aneka) • Biaya konsultasi dokter/visite yang dapat dibatasi
jenisnya (dokter umum/spesialis) atau jumlahnya per hari atau dalam
bentuk maksimum biaya yang diganti. • Kebanyakan RS membedakan
jenis-jenis biaya ini dalam tagihan/k1aimnya. • Biaya obat atau bahan
medis yang masuk kelompok medicines, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan laboratorium, pemakaian ruang operasi, dan pelayanan
ambulan atau fasilitas lain. • Bebarapa produk membatasi biaya obat pada
obat-obat generik atau sesuai dengan resep dokter • Biaya pembedahan
yang mencakup sewa kamar operasi, bahan dan obat-obatan, dan honor
dokter bedah. • Biaya anestesi (jasa dan bahan) pada umumnya
dimasukkan sebagai komponen jaminan pembedahan. • Biaya-biaya ini
dibayar dengan tiga cara: * Biaya maksimum untuk tiap pelayanan yang
diberikan. * Untuk pembedahan seringkali digabungkan antara biaya
dokter bedah dan anestesi dengan plafon penggantian tertentu. Ada
produk yang membedakan operasi khusus, sedang, kecil, dsb. * Dibayar
penuh sesuai tagihan rumah sakit d. Biaya Pelayanan Intensif (Intensive
Care Unit) • Perawatan intesif penyakit jantung (ICCU) atau pelayanan
intensif umum (ICU) biasanya ditanggung sampai maksimum jumlah hari,
atau biaya, atau kombinasi keduanya. e. Biaya penunjang medik • Biaya
penunjang medik seperti laboratorium, radiologi, patologi anatomi, dan
pemeriksaan penunjang medis lain biasanya ditanggung dengan plafon
tertentu. 2.Rawat Jalan • Rawat jalan dokter umum maupun dokter
spesialis biasanya ditanggung dengan plafon penggantian tertentu. • Ada
produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk menjamin
perawatan oleh dokter spesialis • Biaya obat atau pemeriksaan penunjang
ditanggung dengan plafon tertentu per kali atau pertahun. 3. Asuransi
Kecelakaan Diri Asuransi kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari
asuransi kesehatan dan jiwa karena jaminan yang diberikan tidak hanya
terbatas pada biaya pengobatan apabila terjadi kecelakaan. Justeru yang
lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap dan jaminan
kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk
Askes Komersial di Indonesia 86 H Thabrany penggantian sejumlah uang
apabila terjadi kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan,
Perkembangan AKD dari segi premi menempati urutan pertama asuransi
kesehatan dalam periode awal. Namun demikian, kini jumlah premi dari
penjualan asuransi kesehatan yang bukan AKD sudah mulai melampaui
jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di Indonesia. 4. Asuransi
Perjalanan Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai
diperdagangkan sejalan dengan semakin banyaknya penduduk yang
melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan maupun liburan. Asuransi
perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar negeri.
Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan
berlaku di seluruh dunia. Paket jaminannya mencakup biaya
perawatan/pengobatan selama perjalanan yang diberikan dalam bentuk
uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan
mencakup santuan kematian. 5. Asuransi Kesehatan Pensiun Beberapa
perusahaan asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah
menawarkan produk asuransi kesehatan dengan pembayaran premi
sekaligus atau berkala selama masa kerja. Jaminan diberikan ketika
pegawai tersebut memasuki usia pensiun sampai pegawai tersebut dan
pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia program
pemerintah yang menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan,
produk seperti ini menarik pasar. Namun demikian, banyak pembeli yang
belum bisa yakin benar dengan produk yang ditawarkan karena belum
banyak pengalaman. Contoh paket yang ditawarkan oleh Asuransi Bringin
Life adalah: R awat man Paket Jaminan (Rp) ITEM A B C D Biaya Kamar &
Makan / Hari 250.000 125.000 75.000 50.000 Aneka Biaya Perawatan RS
10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000 Biaya Operasi 10.000.000
5.000.000 3.000.000 2.000.000 Kunjungan Dokter / Hari 62.500 31.250
18.750 12.500 Maksimum santunan per tahun 48.125.000 24.062.500
14.437.500 9.625.000 Rawat jalan Rawat jalan juga ditanggung dengan
jaminan maksimum per tahun dan rincian sebagai berikut: A B 1.250.000
1.000.000 Askes Komersial di Indonesia 87 H Thabrany Ruang Lingkup
Rawat Jalan : a. Rawat Jalan Tingkat Pertama : • Pemeriksaan dan
pengobatan oleh dokter umum. • Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter
gigi • Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis b. Rawat
Jalan Tingkat Lanjutan : • Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter
spesialis • Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis c.
Penunjang Diagnostik : • Pemeriksaan laboratorium klinik dan pelayanan
radiology • Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG • Pelayanan
Endoskopi, CT Scanning dan MRI d. Pelayanan Emergency (Gawat Darurat)
: • Kecelakaan/rudapaksa • Serangan jantung • Serangan asma berat •
Kehilangan kesadaran • Kejang dengan demam tinggi • Muntah berak
disertai dehidrasi • Kolik (kejang perut) e. Pelayanan Rehabilitasi •
Kacamata • Gigi palsu • Alat Bantu dengar • Alat kesehatan : pin, srew
Askes Komersial di Indonesia 88 H Thabrany Contoh produk askes
tradisional (dari sebuah iklan di harian Kompas, 21 September 2001).
Produk: Santunan tunai harian untuk rawat inap Karakteristik
produk/manfaat: * Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000 apabila
peserta dirawat di rumah sakit di tahun pertama * BONUS tambahan
santunan Rp 50.000 per hari untuk tahun kedua dan seterusnya * Lama
kontrak delapan tahun Daya tarik yang ditawarkan: * Uang kembali 100%.
Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan pada akhir tahun ke
delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim berkali -kali * Bebas
memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri * Tidak perlu pemeriksaan
kesehatan. * Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis.
Apabila dalam 15 hari prospek merasa polis tidak sesuai harapannya,
maka polis dapat dibatalkan dan premi yang telah dibayar dikembalikan
100% * Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax. Tabel: Santunan tunai
harian dan per tahun (Rp) Masa PaketA PaketB PaketC kontrak Perhari
Perth Perhari Perth Perhari Perth Thke 1 100.000 36.500.000 150.000
54.750.000 200.000 73.000.000 Thke2 150.000 54.750.000 200.000
73.000.000 250.000 91.250.000 Thke3 200.000 73.000.000 250.000
91.250.000 300.000 109.500.000 Thke4 250.000 91.250.000 300.000
109.500.000 350.000 127.750.000 Thke5 300.000 109.500.000 350.000
127.750.000 400.000 146.000.000 Thke6 350.000 127.750.000 400.000
146.000.000 450.000 164.250.000 Thke7 400.000 146.000.000 450.000
164.250.000 500.000 182.500.000 Thke8 450.000 164.250.000 500.000
182.500.000 550.000 200.750.000 Tabel: Besarnya premi bulanan per
orang (Rp) Usia (tahun) PaketA PaketB PaketC 0-15 42.000 50.520 58.500
16-39 125.250 148.500 171.750 40-44 168.750 200.250 232.500 45-49
230.250 272.250 314.250 50-54 338.250 399.750 462.000 55-57 406.500
485.250 563.250 Askes Komersial di Indonesia 89 H Thabrany 4.2.3.
Perkembangan Perkembangan kepesertaan dan pero1ehan premi sete1ah
dike1uarkannya undang undang asuransi menunjukkan perkembangan
yang menggembirakan perusahaan asuransi. N amun demikian, pasar
asuransi kesehatan tradisiona1 ini pada umumnya masih sangat terbatas
di kota-kota besar dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar
pula. Perkembangan penerimaan premi dan klaim usaha asuransi
kesehatan ada1ah seperti tercantum da1am tabe1 4.2. Tampak da1am
tabe1 tersebut perkembangan penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
kerugian, yang menggabungkan 1aporan AKD dengan asuransi kesehatan.
Tampak pertumbuhan penerimaan premi melonjak tajam antara tahun
1996-1997. Be1um je1as benar apa yang menyebabkan lonjakan
penerimaan premi AKD dan Kesehatan ini. Namun sete1ah tahun 1997
terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24% setahun. Jika
dibandingkan dengan penjua1an premi AKD dan Kesehatan yang
di1akukan oleh perusahaan asuransi jiwa, tampaknya perusasaan asuransi
jiwa 1ebih mampu memanfaatkan pe1uang asuransi kesehatan ini. Di
tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa mampu mengumpu1kan premi
sebesar hampir Rp 180 mi1yar dari produk AKD dan Rp 222 mi1yar dari
asuransi kesehatan murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan
asuransi nasiona1 dengan patungan, tampaknya perusahaan patungan
dengan asing 1ebih mampu mengeruk premi asuransi kesehatan. Hal ini
mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen dan tingkat
keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan
asuransi Amerika yang te1ah banyak berpenga1aman menjua1 asuransi
kesehatan. Jumlah premi asuransi kesehatan tersebut tidak termasuk
dengan besamya premi yang diterima oleh PT Askes dari penjua1an
produk asuransi kesehatan komersia1nya yang mencapai Rp 100 mi1yar
tahun 1a1u. TabeI4.2. Perkembangan volume asuransi kesehatan dan
kecelakaan diri yang dijual perusahaan asuransi kerugian 1995-1999 (Rp
juta) Premi Pertumbuhan Tahun 1995 50.231 1996 54.243 8,0% 1997
145.568 168,4% 1998 180.130 23,7% 1999 225.049 24,9% Sumber: Laporan
Kegiatan Asuransi 1999 Perkembangan usaha asuransi kesehatan
tradisiona1 di Indonesia memang baru tahap permu1aan yang mu1ai
berkembang sete1ah UU Jamsostek dike1uarkan. Pertumbuhan asuransi
kesehatan tradisiona1, se1ain disebabkan banyak usaha asuransi
patungan yang te1ah berpenga1aman menjua1 produk asuransi kesehatan,
khususnya perusahaan asuransi yang pernah beroperasi di Amerika, juga
didorong oleh PP 14/93 tentang Jamsostek yang Askes Komersial di
Indonesia 90 H Thabrany membolehkan perusahaan yang sudah
memberikan pelayanan lebih baik untuk tidak ikut JPK Jamsostek. Tanpa
klausul ini, usaha asuransi kesehatan sulit berkembang lebih cepat lagi.
Tabel4.3 Perkembangan penerimaan premi AKD dan asuransi kesehatan
1998-1999 (Rpjuta) Jenis Premi 1999 Klaim 1999 perusahaan AKD Askes
AKD Askes ASURANSI KERUGIAN BUMN - Nasional 100.884,3 11.868,6
Patungan 76.029,8 28.409,0 Reasuransi 48.135,6 35.410,6 Total Asurnasi
kerugian 225.049,70 75.688,2 ASURANSI nWA BUMN 2.465,4 608,5
Nasional 132.883,8 67.379.9 Patungan 44.455,7 154.906,8 Total 179.804,9
222.895,3 Asurnasi Jiwa Grand 627.749,9* TOTAL Sumber: Laporan
Kegiatan Asuransi 1999 *Jumlah tersebut tidak termasuk produk Askes
komersial yang dijual PT Askes yang masuk dalam kelompok JPKM i _
Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM (kumpulan peraturan). Ditjen
DPSM, Jakarta 1996. ii _ Managed care: Managed care: Integrating the
Delivery and Financing of Health Care, Part A. HIAA, Wshington D.C., 1995
__ Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of
Health Care, Part B. HIAA, Wshington D.C., 1996 Kongstvedt, P.R. The
Managed Health Care Handbook. Third Ed. Aspen Publication,
Gaithersburg, MD. 1996 iii _ Health Care in Germany. The Federal Ministry
for Health, Germany. Kiel, Germany, 1995. iv _ Bureau of National Health
Insurance, Taiwan. Askes Komersial di Indonesia 91 H Thabrany BABS
Asuransi Kesehatan Nasional: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
5.1. Pendahuluan Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila
"Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab", tetapi sebagian besar penduduk Indonesia belum merasakan
adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila orang sakit tidak dirawat
karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan orang
semacam itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara
budaya. Kini semakin banyak dokter dan rumah sakit yang semakin kurang
mementingkan kesehatan pasiennya, tetapi lebih memelihara tingkat
penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat sesuatu karena adanya
informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah
(consumer ignorance). 1,2,3 Kecendrungan ini akan menambah beban
berat bagi masyarakat miskin dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat
saat ini belum ada kekuatan penyeimbang atas informasi asimetri,
kesenjangan informasi yang amat jauh, antara dokter/provider dengan
pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan dalam
mengambil keputusan konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem
asuransi kesehatan nasional merupakan alat yang ampuh dalam
mengatasi masalah informasi asimetri tersebut dalam menolong
konsumen (peserta/pasien) yang ignorance. Setelah dimulainya program
jaminan kesehatan masyarakat kurang mampu melalui subsidi iuran
pemerintah untuk penduduk kurang mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini
sekitar 145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin jika ia
terserang penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Oleh karenanya ada pemikiran untuk menjamin pelayanan perawatan di RS
pemerintah kelas III, apapun kelas ekonomi penduduk. Kita tidak mungkin
mengandalkan mekanisme pasar dalam mencegah dan menolong proses
pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei rumah tangga
menunjukkan bahwa lebih dari 80% rumah tangga Indonesia
menghabiskan 60% atau lebih dari pendapatannya sebulan untuk belanja
makanan. Jika sebuah rumah tangga hams membayar lebih dari 40%
pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga tersebut terancam
mengorbankan konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan berbagai
komplikasi penyakit dan komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan
kehidupan sebuah keluarga. Pemberian asuransi/jaminan kesehatan
merupakan suatu upaya preventif terhadap bertambah beratnya suatu
penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap berbagai masalah
so sial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang hams kita pahami. AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 H Thabrany 5.2. Mengapa
Asuransi Kesehatan Nasional ? Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya
belum mendapat tempat yang cukup baik karena pengalaman dan ketidak-
tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi yang masih sering
menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia lebih
sering dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman
peserta, polis yang kurang melindungi peserta, polis yang tercetak dengan
hump kecil dan sulit dibaca, maupun karena tindakan moral hazard dari
pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan image yang kurang baik dari
kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di kalangan
masyarakat luas juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya
penyediaan asuransi secara nasional, baik dalam bidang kesehatan
maupun dalam bidang perlindungan hari tua maupun kematian.
Kesanjeleknya pelayanan Askes (oleh PT Askes) yang dahulu dirasakan
oleh banyak peserta pegawai negeri golongan III dan IV masih banyak
membekas dan sering diungkapkan sebagai kelemahan nasional. Meskipun
sesungguhnya banyak perbaikan telah dilakukan Askes, namun sebagian
masyarakat pegawai negeri dan swasta, masih memiliki kesan pelayanan
yang buruk. Kenyataannya PT Askes beberapa kali mendapat penghargaan
dari pengamat asuransi kesehatan dan pengamat BUMN sebagai pengelola
asuransi kesehatan terbaik. Tentu tidak mudah dan tidak cepat mengubah
persepsi yang sudah terlanjur kurang baik, khususnya oleh masyarakat
kelas atas. Data pemantauan Askes memang menunjukkan bahwa tingkat
kepuasan peserta terhadap pelayanan Askes mencapai sekitar 80%,
artinya masih ada sekitar 20% peserta yang kurang atau tidak puas.
Sesungguhnya tingkat kepuasan ini merupakan tingkat yang tinggi untuk
suatu asuransi sosial. Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah
terdistorsi, dengan menyamakan badan penyelenggara sebagai unit bisnis
yang hams mendapatkan keuntungan finansial, sehingga menambah buruk
kesan asuransi yang sesungguhnya sangat netral dan merupakan alat
ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk dimanapun di dunia.
Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan penyelenggara
asuransi sosial, yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Taspen, PT
ASABRI, dan PT Jasa Raharja adalah BUMN Persero yang bertujuan
mencari laba.4 Bentuk badan hukum penyelenggara asuransi sosial yang
merupakan PT Persero, yang secara legal bertujuan mencari keuntungan
dan inheren tidak mendapatkan subsidi pemerintah, sama sekali tidak
sesuai dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program asuransi
sosial. Kebijakan masa lalu ini merupakan kebijakan 'keajaiban dunia ke
delapan' di dunia, karena sepanjang pengetahuan penulis, Indonesia
adalah satu-satunya negara yang menyelenggarakan program asuransi
sosial dimana badan penyelenggaranya menyetorkan laba bagi keuangan
negara. Syukurlah, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) telah melumskan penerapan konsep asuransi sosial dengan
menetapkan keempat BUMN tersebut sebagai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang hams bersifat nirlaba. Artinya, jika terdapat surplus
operasional, maka dana surplus tersebut akan dikembalikan sepenuhnya
untuk manfaat bagi peserta. Pengaturan lebih • Istilah moral hazard umum
digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk
memanfaatkan informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya
sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh pengelola asuransi. AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 93 H Thabrany rinci dari prinsip nirlaba
ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan PP
tentang BPJS yang kini masih PT Persero tersebut. Kata asuransi pernah
'diharamkan' karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata asuransi pernah
dihindari untuk 'membenarkan' bahwa suatu upaya tidak terkena aturan
UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah 'jaminan' yang
diperdebatkan sebagai 'bukan asuransi'. Asuransi sebagai suatu instrumen
sosial mempunyai mekanisme transfer risiko, sebagai suatu instrumen
yang sangat handal dalam mengatasi berbagai risiko sosial dan ekonomi
penduduk dimanapun di dunia. Segala sesuatu yang mengandung unsur
transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah sama sekali dengan
asuransi. Dengan demikian, asuransi hams mendapat tempat yang baik.
Dalam bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan
berbagai pihak, antara lain oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan
Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin banyak orang memahami dan bahkan
semakin banyak dokter dan pengambil keputusan yang mendambakan
meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia
international telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik
dalam literatur maupun dalam penyebutan program. Buku-buku teks yang
mengupas manajemen risiko dan asuransi selalu mengupas jaminan sosial
dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul Asuransi Kesehatan
Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah AKN
(National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan,
khususnya di dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di
Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan,
dan Muangtai. Asuransi Kesehatan Nasional sebagai suatu mekanisme
transfer risiko dan pengumpulan dana (pooling risks), kegotong-royongan
(sharing risks), maupun pembayar (purchasing) pelayanan kesehatan bagi
penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya memberikan
jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh UUD pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2). 5.3.
Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara Apa sesungguhnya
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN (National Health
Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris
merupakan negara pertama yang memperkenal AKN di tahun 19119.
Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini lebih dikenal dengan istilah
National Health Service (NHS), sesungguhnya sistem tersebut juga
merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja
(termasuk di sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian, karena
penyaluran dananya melalui belanja negara langsung, semacam APBN di
Indonesia, maka sistem di Inggris tersebut lebih dikenal dengan NHS (tax-
funded) ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada umumnya juga
memiliki cakupan universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola
Inggris.l'' Baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu
menjamin bahwa seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan medis penduduk tersebut. Yang berbeda adalah
bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada kontribusi khusus yang
bersifat wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara terpisah
dari anggaran belanja AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 94 H
Thabrany negara, baik dikelola lanS.sunf. oleh pemerintah maupun oleh
suatu badan kuasi pemerintah yang otonom.U:' ,13,1 ,15 Meskipun AKN
mempunyai kesamaan prinsip dan tujuan, penyelenggaraan AKN di dunia
sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN yang kini disebut
Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal,
portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan
dilaksanakan otonom di tiap propinsi. Pendanaan AKN merupakan
kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari anggaran pemerintah
pusat. Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada
tahun 1972, paketjaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh
penduduk Kanada menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa
hams memikirkan berapa besar biaya yang mereka hams keluarkan dari
kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun. Beberapa jenis
pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin
AKN merupakan pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18
Negara tetangga Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah
AKN. Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi kesehatan nasional rawat inap
untuk penduduk diatas 65 tahun saja yang disebut Medicare part A.
Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25%
penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini
merupakan suatu bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang
kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi kesehatan
komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita lebih dari US$ 5.000 per
tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki
asuransi kesehatan nasional.!" Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15
usulan UU (Bill) AKN yang semuanya kandas karena begitu banyak interes
bisnis dan politik sehingga kepentingan publik tidak terlindungi dengan
baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi kesehatan
yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18%
penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak
mampu meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang
dikala itu tinggal 23% saja. Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan
Amerika dengan UU Portabilitas Asuransi dan berbagai UU lain yang
bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN, gagal meningkatkan
cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market failure
dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di
AS telah diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang
dapat digolongkan menjadi tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib
(payroll taxes) dan anggaran pemerintah, (2) perluasan program Medicare
dengan kontribusi wajib kepada seluruh penduduk, dan (3) bantuan premi
dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.r' Upaya terakhir
untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di
tahun 1993 yang sekali lagi gaga! karena kekuatan perusahaan asuransi,
yang memiliki dana lebih besar dan takut kehilangan pasar, lebih mampu
mempengaruhi anggota Kongres untuk menolak usulan Clinton. Kegagalan
AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan kepentingan
pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang hams sejak dini kita hindari.
Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan
asuransi kesehatan sosial di jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada
masa lalu, jumlah badan AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 95
H Thabrany penyelenggara asuransi kesehatan so sial (sickness funds),
yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah ribuan. Namun demikian,
karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang
merjer sehingga kini jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja. Semua
penduduk dengan penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib
marnbayar kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah sebulan.
Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta
sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan
membeli asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan ikut.
Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang membeli asuransi
komersial.22,23,24,25 Jerman memang tidak memiliki satu lembaga
asuransi kesehatan yang secara khusus dirancang untuk menjarnin
seluruh penduduk. Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh
penduduknya dengan biaya yang separuh dari yang dikeluarkan Amerika.
Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan di
Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi
disana-sini. Belanda sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan
pooling risiko biaya medis yang besar (exceptional medical expenses)
yang dikelola oleh satu badan bersekala nasional A WBZ. Sementara
pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai badan
penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur
oleh UU Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan
tinggi dibolehkan untuk membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28
Dengan model yang harnpir sarna dengan model Jerman, sistem asuransi
kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala Nasional untuk
perawatan kasus-kasus medis yang mahal. Australia mengeluarkan UU
Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan memberikan jaminan
pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk Australia, baik yang
berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara tetangga
seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara Eropa yang
tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh
Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh
penduduk Australia tidak pemah hams memikirkan biaya perawatan
manakala mereka sakit dan karenanya penyakit tidak akan membuat
mereka jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga
untuk merangsang penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan
swasta diberikan perangsang pengurangan kontribusi asuransi wajib?
9,30,31 Sebagai sekutu Jerman dalarn Perang Dunia II di Asia, Jepang
memiliki pola sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman
dengan berbagai modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin
Kenko Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi
pekerja mandiri (self-employed), pensiunan swasta maupun pegawai
negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN diserahkan kepada
pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di
sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah.
Sesungguhnya Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial
kesehatan sejak tahun 1922. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan
bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjarnin penduduk di sektor
informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun mendapatkan
jarninan kesehatan. Untuk memperluas jarninan kesehatan kepada seluruh
penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan
asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalarn sistem
asuransi kesehatan di Jepang, AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 96 H Thabrany peserta dan anggota keluarganya harus
membayar urun biaya (cost sharing) yang bervariasi antara 20-30% dari
biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya inilah yang
menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34 Negara Asia
yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan
melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Dengan komitmen Presiden
yang sangat kuat UU AKN dikeluarkan di tahun 1995 yang dikelola tunggal
oleh Biro NHI yang merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan. Sistem
AKN di Taiwan dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi
kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di
sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara sendiri sendiri.
Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas
pelayanan yang telah menjamin akses yang sama kepada seluruh
penduduk, dengan jaminan komprehensif yang sama, dan tingkat
kepuasan peserta terus meningkat diatas 70%. Sistem AKN di Taiwan
merupakan salah satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional
Cina dalam paket jaminan yang diberikan kepada
pesertanya.35,36,37,38,39 Korea Selatan memulai asuransi sosial pada
Desember 1976 dengan mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500
karyawan atau lebih, kemudian diperluas sampai pemberi kerja dan satu
orang karyawan, untuk menyediakan asuransi kesehatan. Cakupan askes
untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun
1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar
biasa, karena dalam waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai
cakupan universal. Tetapi penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih
dari 300 badan asuransi kesehatan yang bersifat nirlaba. Sejak tahun
2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national dengan iuran
maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja,
pemberi kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan
adalah jawaban para pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya
oleh delegasi Indonesia tentang apa keberatan mereka terhadap
penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul karena mereka
merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat
berkonsentrasi memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan
kesehatan karyawannya. Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai
diusulkan pada tahun 1996 dan kini sedang dalam proses penggabungan
tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya sudah mencakup seluruh
penduduk (universal coverage). U sulan penyelenggaraan AKN di Muangtai
menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi
pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43
Asuransi kesehatan di Muangtai terdiri atas sistem jaminan kesehatan
pegawai negeri yang paket jaminannya amat liberal dan menjamin tidak
saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup orang tua dan
mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan
komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker.
Sedangkan pekerja informal memperoleh jaminan melalui National Health
Security Office, sebuah lembaga independen yang mengelola sistem 30
Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai swasta
dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif
dengan hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat,
termasuk perawatan intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan
demikian, seluruh penduduk Muangtai kini juga telah terbebas dari
ancaman menjadi miskin dan dapat lebih produktif membangun negaranya.
AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 97 H Thabrany Filipina
merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki
penduduk tersebar di lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad
AKN di akhir Milenium kedua. Di tahun 1995, Filipina berhasil
mengeluarkan UU AKN yang menggabungkan penyelenggaraan asuransi
kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya
dikelola sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai negara
berkembang yang kini berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000,
Filipina merupakan negara berkembang yang berhasil dalam
mengembangkan AKN menuju cakupan seluruh penduduk. Memang saat
ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar 60% saja, namun
demikian seluruh pekerja di sektor formal telah menjadi peserta. Meskipun
paket jaminannya belum komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu
meniadakan ancaman pemiskinan karena sakit bagi sebagian besar
penduduknya.48,49,50 5.4. Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai Tulang
Punggung AKN Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah
bahwa AKN merupakan suatu alat menjamin cakupan universal yang
semakin banyak diterapkan oleh negara maju maupun berkembang. Sistem
AKN menjadi suatu altematif sistem NHS yang semakin menunjukkan
kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat
diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU
JS seperti Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana
AKN dapat dikelola seluruhnya secara sentral atau mengakomodir
pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana kemampuan manajemen suatu
negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan efisiensi yang tinggi
sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih
optimal. Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun
berkembang. Pada waktu Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor
Siwabessy, di tahun 1968 Menkes pada waktu itu sudah mencita-citakan
terwujudnya sebuah Sistem AKN.51,52 Kini tampaknya harapan Siwabessy
mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia. Pemerintah telah
mengajukan UU SJSN pada tangga126 Januari 2004 yang lalu dan telah
diundangkan oleh Presiden Megawati pada hari terakhimya di Istana.
Penanda-tanganan UU SJSN, yang diberi nomor 40 tahun 2004, pada hari
terakhir dengan mengundang lima Menteri terkait, merupakan hal yang
tidak biasa, mengandung makna simbolik bahwa Presiden Megawati ingin
menyampaikan "inilah yang bisa kuwariskan" untuk rakyat Indonesia.
Klausul-klausul yang mengatur jaminan kesehatan dalam UU SJSN tentan~
Jaminan Kesehatan memenuhi kriteria sebagai suatu usulan National
Health Insurance. Meskipun dalam UU SJSN tidak kita dapati istilah
Asuransi Kesehatan Nasional, apa yang diatur dalam pasal-pasal
merupakan upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai bagian dari
SJSN. Dalam UU itu jelas disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan
diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial dan berlaku
secara Nasional, oleh karenanya UU tersebut sesungguhnya merupakan
landasan terselenggaranya sebuah sistem AKN. Dengan demikian, kini kita
akan memasuki era baru dimana pemerintah telah memiliki komitmen
yang tinggi untuk menyelenggarakan AKN, yang ditahun 2005 telah
dimulai dengan memberikan jaminan kesehatan bagi sekitar 54 juta
penduduk termiskin melalui PT Askes. Seperti halnya di negara-negara lain
yang telah lebih dahulu AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 98
H Thabrany menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat
dipengaruhi oleh komitmen Presidennya. Presiden Megawati telah
mempunyai komitmen untuk memulai penyelenggaran AKN sejak ia
menjadi Wakil Presiden. "Kalau orang lain bisa, masa kita tidak bisa!".
Itulah kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu
anggota Tim SJSN melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada
beliau tanggal 20 Nopember 2003 di Istana Negara. Kini Kabinet Indonesia
Bersatu, dibawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, program
memberikan jaminan kepada penduduk kurang mampu sudah dimulai.
Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling dan sharing
health risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya
sudah lama dikenal di dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari
sebuah sistem jaminan sosiaI54,55,56 masih belum difahami oleh banyak
pihak. Sampai saat inipun, belum banyak pihak-baik di kalangan
intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi sosial.
Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu
asuransi untuk orang miskin. Kata-kata 'sosial' di Indonesia telah melekat
dengan 'orang miskin' yang tidak mendapat prioritas atau dengan
penyelenggaraan suatu kegiatan yang 'tidak didasarkan pada perhitungan
ekonomis'. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial
adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan
segala yang negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama
ini telah menyuburkan kesalah-fahaman tersebut. Disinilah perlunya
pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di Indonesia. Sesungguhnya
defmisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian, semua
definisi tersebut mempunyai empat elemen yang sama,
yaitu:57,58,59,60,61 1. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib.
Kewajiban menjadi peserta merupakan suatu syarat mutlak, agar setiap
orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau terasuransikan. Kelompok
penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu kelompok tertentu,
misalnya pegawai negeri, pegawai swasta dari perusahaan dengan jumlah
karyawan tertentu, atau seluruh penduduk. Kelompok penduduk yang
diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk menuju cakupan seluruh
penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan
mewajibkan kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak
tepat. Sesungguhnya pentahapan kewajiban adalah pendekatan
manajemen untuk mencapai tujuan, yang merupakan suatu keharusan-
sebuah langkah awal sebelum ribuan langkah berikutnya diambil, bukan
sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang memahami kepesertaan
wajib sebagai sesuatu 'pemaksaan yang tidak perlu' sehingga masih
banyak pihak yang belum mendukung konsep SJSN kerena kesalah-
fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi pada AKN atau SJSN
adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk,
sebagaimana wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di
negara manapun di dunia. 2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang
dijamin adalah setara dengan kebutuhan setiap peserta. Sesungguhnya
asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar sehingga manfaat
asuransi seringkali disebut 'perlindungan dasar'. Pemenuhan kebutuhan
dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi.
Namun demikian, pemahaman tentang 'perlindungan dasar kesehatan'
seringkali AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 99 H Thabrany
disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan dasar lain seperti
pangan, sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan
sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain,
seperti yang akan saya bahas lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat
tersebut, telah menyebabkan rancangan manfaat (benefit design) jaminan
sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes pegawai negeri maupun
Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal dalam mengatasi
risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamduli11ah, konsep
AKN dalam UU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat
yang kurang optimal tersebut. 3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan
proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang proporsional, biasanya
persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan merupakan suatu
cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang memiliki
penghasilan mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban
membayar pajak yang juga proporsional, maka kontribusi ini memang
sangat mirip. Oleh karenanya di beberapa negara sering disebut sosial
security atau sosial insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi
sosial merupakan pajak yang penggunaannya khusus untuk mendanai
manfaat (benefit) asuransi wajib tersebut, sehingga kadang disebut juga
earmarked tax. Namun demikian ada sedikit perbedaan kontribusi wajib
asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika dibandingkan be saran
kontribusi pajak yang umumnya progresif. 4. Pengelolaannya bersifat
nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan penyelenggaraan asuransi
sosial di seluruh dunia, maka terdapat kesamaan pola penyelenggaraan
yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah atau oleh suatu badan kuasi
pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satu-satunya
negara yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero
yang bersifat for profit. Untunglah, UU SJSN telah menempatkan
pengelolaan asuransi sosial di Indonesia yang konsisten dengan prinsip-
prinsip universal. 5.5. Perlindungan Dasar Kesehatan yang juga belum
difahami Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin kebutuhan
dasar kesehatan dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan
publik. Saya mengamati bahwa pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di
Indonesia masih beragam. Banyak pihak memahami kebutuhan dasar
kesehatan sebagai pelayanan kesehatan yang 'relatif murah'. Hal ini
terjadi karena pada umumnya banyak pihak menyamakan kebutuhan
kesehatan dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di
Indonesia belum secara khusus menempatkan kesehatan sebagai
kebutuhan dasar yang harus dapat diperoleh secara memadai. Karena
sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang sangat berbeda dengan
kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan
hams difahami dan diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan
kebutuhan dasar kesehatan ini sangat penting dalam merancang jaminan
yang bersifat dasar dalam bidang kesehatan. Sebab, jaminan yang sifatnya
diatas paket dasar menjadi bagian asuransi kesehatan swasta atau AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 100 H Thabrany dilepas pada
mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman tentang
kebutuhan dasar kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih
menguntungkan sebagian kecil orang yang berbisnis di bidang kesehatan,
bukan memihak kepada produktifitas penduduk secara keseluruhan. Pada
akhimya, negaralah yang dirugikan. Perbedaan fundamental adalah bahwa
kebutuhan akan pelayanan kesehatan mempunyai sifat ketidak pastian
(uncertainty) sehingga kebutuhan biaya kesehatan pada tingkat rumah
tangga tidak dapat dihitung.62,63,64 Suatu keluarga muda yang relatif
sehat mungkin tidak pemah mempunyai kebutuhan berobat dalam satu
tahun dan karenanya biaya kesehatan rumah tangga itu menjadi nol.
Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat menghabiskan biaya lebih dari
Rp 2 juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan dasar
sekalipun. Sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarganya
hams masuk perawatan intensif membutuhkan biaya puluhan juta rupiah.
Apakah biaya kesehatan yang jutaan tersebut untuk memenuhi bukan
kebutuhan dasar atau diatas dasar? Apa sesungguhnya kebutuhan dasar?
Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita fahami sebagai kebutuhan
seseorang yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan mampu
berproduksi. Atas dasar asumsi inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan.
Akan tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line) dapat bervariasi besar
di antara berbagai negara karena tingkat penghasilan dan pemahaman
tentang kebutuhan dasar yang terus berkembang. Di Indonesia, kebutuhan
dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari. Kebutuhan kalori
tersebut, dengan minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan biaya
Rp 8.500 per hari apabila ia membeli bahan mentah dan memasak sendiri.
Jelas makan di restoran yang berharga Rp 15.000 per kali makan saja,
bukanlah kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar sandang dan papan yang
memungkinkan seseorang berproduksi, bersekolah atau bekerja, mudah
dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan,
sandang, dan papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka
yang tidak tergolong miskin selalu mampu memenuhi kebutuhan
perawatan atau pembedahan? Pasti tidak! Jika seseorang yang
membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia bisa
berproduksi? Pasti tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan
dasar kesehatan. Apakah perawatan di ICU, pengobatan kanker, atau
hemodialisa (cuci darah) bukankah kebutuhan-kebutuhan dasar?
Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya tidak berproduksi, jika
kebutuhan akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak dipenuhi. Oleh
karenanya lebih mudah menetapkan besaran jaminan pensiun dasar
daripada menetapkan jaminan kesehatan dasar, apalagi kemudian ada
interest bagi pihak swasta untuk menjual asuransi diatas kebutuhan
dasar. Di Indonesia terdapat banyak orang yang salah faham tentang arti
kebutuhan dasar pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat
jalan tingkat pertama atau pelayanan kesehatan yang murah biayanya
seperti pengobatan di puskesmas. Rawat jalan rujukan dan rawat inap
sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang kemudian
diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama
sekali bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan
atau tanggung-jawab bersama. Kalau kita renungkan kembali makna
kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang memungkinkan seseorang hidup
dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru. Faham yang banyak
dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan
tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan
dasar kesehatan AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 101 H
Thabrany adalah kebutuhan akan pelayanan yang merupakan upaya untuk
mempertahankan hidup dan tingkat produktifitas seseorang yang secara
normatif diterima oleh norma-norma masyarakat. Atas dasar pemahaman
inilah, maka perlindungan dasar dalarn bidang kesehatan hamslah terkait
dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang relatifbagi tiap orang dan
hanya diketahui oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti,
letak sulitnya mengelola sebuah AKN. Dengan konsep dasar tersebut,
maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya kepada yang miskin saja,
menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai dengan
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak
tergolong miskin, yang masih marnpu memenuhi kebutuhan dasar pangan,
sandang, dan papan, sering kali tidak marnpu memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan. Mereka itu, jika tidak dijamin asuransi atau pemerintah, dimata
kebutuhan medis adalah miskin (medically poor). Itulah sebabnya, negara-
negara persemakmuran dan negara-negara yang berorientasi
kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis
untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya
dibutuhkan AKN yang menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang
miskin. Fakta menunjukkan bahwa negara miskin sekalipun, yang
memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri Lanka dan
Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status
kesehatan di negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan
kepada mekanisme pasar yang memberatkan masyarakat. Itulah pula
sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan
perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijarnin. Sejak pertarna kali
diundangkan, Medicare di Amerika (semacarn AKN untuk penduduk usia
diatas 65 tahun dan penduduk dibawah usia 65 tahun yang memiliki
penyakit berat) hanya menanggung perawatan rumah sakit dan perawatan
yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah dijelaskan di
muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di
RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan
rumah sakit tanpa hams membayar bagi penduduknya/" Malaysia
mengikuti pola NHS Inggris dimana setiap penduduk yang perlu perawatan
di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara dengan Rp 6.000) per hari,
sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif bahkan jika
di~erlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga
berbuat yang sarna.66,6 ,68 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa
kebutuhan dasar kesehatan bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang
biayanya murah. Pemerintah dan DPR hendaknya memaharni benar hal ini
dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang mempunyai interes
dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini
pemah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga
pengobatan kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang
mahal, dan pengobatan kelainan bawaan tidak dijamin. Melepaskan
pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi kesehatan untuk
karyawannya, seperti yang dibenarkan dalarn PP tersebut tidak akan
menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan mereka.F' Hendaknya hal ini tidak terulang
lagi dalam PP yang mengatur jaminan kesehatan dalarn UU SJSN. AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 102 H Thabrany 5.6. Kebutuhan
akan Asuransi Kesehatan Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita
belum sanggup malaksanakan AKN seperti yang dilakukan Malaysia,
SriLanka, Muangtai atau Filipina. Sesungguhnya kita belum memiliki visi
dan faham yang sarna dan belum mempunyai kemauan untuk itu. Bukan
belum sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai
tujuan yang dirumuskan dari visi dan kemauan yang sarna tersebut.
Bukankah Malaysia dan Srilanka telah memulai kebijakan itu puluhan
tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih buruk dari keadaan kita
sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum saatnya kita
memikirkan AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan
kebutuhan akan asuransi kesehatan. Sesungguhnya kebutuhan (needs)
akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat besar, akan tetapi
permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatan memang sangat kecil,
Kondisi tersebut bukanlah suatu anomali, karena prilaku masyarakat di
negara manapun sarna saja. Sering kita keliru dalarn mengarnbil kebijakan
dengan menyampaikan argumen bahwa masyarakat kita belum insurance
minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai prilaku yang sarna, tidak
cukup sadar dan tidak cukup bertindak dalarn menghadapi risiko
kesehatan di masa depan. Itulah sebabnya, tidak ada satu negara
majupun, yang tidak menjamin pelayanan kesehatan-baik melalui asuransi
wajib ataupun melalui dana pajak (tax funded), paling tidak untuk
penduduk berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang dilakukan AS.
Sesungguhnya inilah hakikat masyarakat berbudaya atau masyarakat
madani (civilized society), membuat sebuah sistem dimana pada akhirnya
seluruh masyarakat terjarnin. Tidak ada satu negarapun yang menunggu
sampai ekonominya baik dan masyarakatnya sadar akan asuransi
kesehatan. Kesadaran akan sesuatu yang belum terjadi memang hams
dipaksakan. Oleh karenanya sebuah sistem AKN atau jarninan sosial
memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat memaksa untuk
kepentingan dan kebaikan masa depan penduduk itu sendiri. Kebutuhan
akan asuransi dapat dilihat dari data-data survei Susenas maupun survei-
survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara konsisten
menunjukkan bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota
keluarga, sebuah rumah tangga Indonesia hams mengeluarkan lebih dari
sebulan gajinya.70,71 Tidaklah mengherankanjika pelayanan rawat inap di
rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih banyak dinikmati oleh mereka
yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat di RS
publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20%
penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.72 Penduduk di
kelompok menengah ke bawah merupakan penduduk yang mempunyai
beban berat memikul biaya rumah sakit yang mencapai 2-4 kali
penghasilannya sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah jelas
memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk
mengembangkan asuransi kesehatan'" sebagai upaya mencegah
penurunan produktifitas penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga
menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga dapat diorganisir dalarn sebuah
sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6% penghasilannya
sebulan, mereka tidak akan pemah menghadapi risiko finansial yang dapat
menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap
rakyatnya menabung 6- 8% sebulan untuk biaya kesehatan." Korea,
Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico, AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 103 H Thabrany dan negara-negara maju di Eropa
dan Amerika yang sudah melaksanakan asuransi/jaminan sosial secara
luas mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah atau penghasilan
sebulan." Beban kontribusi rutin sebesar itu, tentujauh lebih ringan dan
tidak akan merusak tatanan ekonomi rumah tangga. Apalagi, jika
pemerintah memberikan subsidi kontribusi agar besaran kontribusi bisa
turun, seperti yang dilakukan Muangtai. Gambar . Skema Pengorganisasi
Pendanaan yang Direkomendasi WHO. Yes Publkgood? 1---+ No Yes---I 1----
+ No I----Yes-- .•• I 1----+ No No I_--Yr=s ....--_---..;L...-_---._ No Yes------,
L,~~~~._J~----t_---_1-------ks No Yes J J 1001101 provide Hnanre pubHcly _--I
1------_ Leave 10 ~eg~ll~ted L..- __ ....• pri11ale market 50urce:Adapted from
MusgrOlre P,Publlc spending on health Glre: howare different crnelia
nelated7l1eaithPoJIcy, '199'),47(3): 207-223. Dikutip dari WHR 2000. 5.7.
Perlu Perubahan Cara Pandang Ada pihak-pihak yang memandang bahwa
sesungguhnya kita telah memiliki AKN atau NHS karena pemerintah sudah
mensubsidi lebih dari 70% biaya puskesmas dan rumah sakit. Yang kini
menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-sharing) saja.
Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah
tangga memang sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam
implementasinya kita telah terjebak pada semantik 'terjangkau', pada
sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek uncertainty atau
un predictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan
puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar
pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk
secara geografis. Pemerintah daerah menetapkan tarif pelayanan dengan
prinsip "terjangkau" atau "affordable" oleh semua pihak. Tetapi kita
terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin kita
memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan
pelayanan tersebut terjangkau, kalau biaya akhir tidak pemah diketahui
jumlahnya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin memastikan biaya akhir
seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas III yang tarifnya berkisar Rp
20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan tindakan
operasi. Berapa yang hams dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari,
dengan AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 104 H Thabrany
pembedahan, dan 7 hari di ICU? Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah
sekalipun mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini terjangkau semua
lapis an masyarakat? Seorang sarjana yang bergaji Rp 5 juta sebulan
sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut, kecuali keluarganya
harus puasa sebulan penuh. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan
bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang
oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid. Konsep "terjangkau" bisa
digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif listrik, tarif
telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak
menimbulkan masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi
untuk kesehatan, konsep terjangkau dengan model tarif pelayanan
kesehatan per pelayanan sama sekali tidak valid. Pemerintah Muangtai,
karenanya, menerapkan kebijakan sederhana yang disebut '30 Baht
Policy', dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta jaminan
sosial hanya membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali
berobat di rumah sakit, baik hanya rawat jalan maupun rawat inap---sudah
termasuk obat-obatan dan pembedahan jika diperlukan.77,78,79 Namun di
Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS sudah diBUMNkan dan bahkan di
Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan diminta mandiri
dalam pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja, RS
pemerintah menarik tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja
1,5 sampai dua kali lebih mahal dari tarif bukan emergensi. Dan tarif yang
memanfaatkan keterpojokan (karena emergensi di luar jam kerja) tersebut
memang diatur pemerintah (permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan
tersebut bukanlah kebijkan yang memihak rakyatlpublik, tetapi lebih
memihak kepada pengelola-yang nota bene adalah pegawai negeri. Ada
berbagai kebijakan pelayanan kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah,
akan menambah beban berat rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan
hidup yang paling fundamental. Tampak asuransi kesehatan, kita akan
semakin banyak melakukan pelanggaran prinsip keadilan so sial dan
kemanusiaan yang beradab karena adanya kecendrungan kebijakan yang
mengarah lebih banyak memberatkan masyarakat. Penerapan konsep
ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) dalam penetapan tarif
pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah) sesungguhnya juga
tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang
berat, jika tarif ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service,
FFS). Banyak pihak menyatakan bahwa tarif puskesmas dan RS sudah
dihitung atas dasar ATPIWTP masyarakat dan karenanya masyarakat tidak
akan terbebani. Ini adalah juga suatu kekeliruan konsep permasalahan
tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang "tidak pasti". Konsep WTP
yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam
menghitung opportunity losselo,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan
ditetapkan per eposide pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak
akan valid selagi tarif pelayanan puskesmas atau rumah sakit ditetapkan
dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya asuransi karena adanya
sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat membayar, maka
pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atauforced to pay
(FTP) dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya
membayar. Pertanyaan yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu,
"apakah manusiawi dan normal jika pemerintah memaksa penduduknya
yang sedang menderita sakit membayar di luar kemampuannya?" Data
pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk
miskin dan penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah
sakit AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 105 H Thabrany
pemerintah (tidak usah kita sajikan RS swasta) di Indonesia, jauh berada
di bawah 5%. Artinya, penduduk tidak mampu mempunyai dua pilihan,
tidak berobat karena tidak punya uang atau dipaksa membayar---dalam
kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS). Kejadian DBD yang luar
biasa baru-baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan
kebijakan tarif pelayanan kesehatan di Indonesia. 5.8. Tantangan AKN
Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas menunjukkan
bahwa terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta
penduduk Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai
kebutuhan hidup yang paling mendasar. Kebijakan publik yang ada
sekarang ini belum mendukung terpenuhinya hak-hak penduduk dalam
bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28H(I). Dengan
demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu kehamsan.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU
SJSN adalah langkah yang sangat tepat. Kalau kita mengikuti berita atau
artikel di surat kabar, sudah berulang kali kita baca beberapa pandangan
orang asing yang menolak sistem yang mewajibkan asuransi kesehatan.
Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the International
Bussiness Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan
menolak AKN. Apa pasalnya? Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin
memperoleh keuntungan yang besar dengan sedikit mungkin
mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan USAID malah pemah
menyampaikan analisis bemada menakut-nakuti kepada Menko
Perekonomian, dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan
dalam waktu dekat, maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja
sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah benar demikian?
Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka
hanya ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah
bangsa Indonesia. Dalam diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap
pemyataan mereka, tampak jelas bahwa mereka sama sekali tidak
mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem kesehatan.
Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri
mereka tak faham. Tidak pemah terjadi di dunia ada program jaminan
sosial atau asuransi sosial yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita
memang harus berhati-hati dalam menanggapi komentar orang asing, bisa
jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap kemajuan bangsa
Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita
miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing,
hanya karena ia seorang bule! Buruh dan Pengusaha juga banyak yang
terpengaruh provokasi penolakan AKN dan kemudian menyatakan
menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN ditunda.82 Dalam
sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di mata
penulis bahwa banyak serikat pekerja telah 'ditunggangi'. Dengan lantang
mereka menolak RUU SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek.
Ironinya, apa yang mereka tuntut sudah jelas tercantum dalam RUU SJSN,
sesuai dengan apa yang mereka tuntut! Sebuah sistem jaminan sosial
memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik bisnis. Saya
AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 106 H Thabrany melihat
tanda-tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang
ditunggangi, sehingga tanpa membaca dan memahami apa yang akan
diatur dalam RUU SJSN, yang sesungguhnya menjamin hak-hak mereka
dengan lebih baik, justeru mereka tolak. Penunggangan serikat pekerja
dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan status quo
dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang
dapat menguntungkan beberapa pihak, namun rakyat akan terus
menderita dan negara akan tetap mempunyai ancaman stabilitas sosial.
Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana tenaga kerja yang
berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81 % dari 98,8 juta
angkatan kerja.83 Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah
ditunggangi. Salah satu kendala dan tantangan yang besar lain adalah
kurangnya pemahaman tentang konsep asuransi sosial, baik oleh
pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun tenaga kerja. Pemahaman
yang rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial kita, askes
pegawai negeri dan askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek,
menjadi lebih negatif. Kinerja PT Askes, yang meskipun telah memiliki
tingkat kepuasan yang sangat baik di kalangan yang pemah menggunakan,
sering dinilai sangat jelek oleh pegawai negeri golongan atas yang justeru
tidak pemah menggunakannya. Sulitnya PT Askes memenuhi harapan
seluruh pegawai negeri dan pensiunan, antara lain karena tingkat
kontribusi (2%) yang sama sekali tidak memadai untuk mendanai seluruh
pelayanan yang hams disediakannya. Akibatnya, di masa lalu pegawai
negeri masih hams membayar urun biaya yang cukup besar." Untunglah
dalam dua tahun terakhir, Askes telah bekerja keras untuk mengubah
persepsi yang keliru tersebut. Demikian juga sikap pemberi kerja dan
tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset kewajiban menjadi peserta
sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan rendahnya
partisipasi mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil
keputusan dan masyarakat yang sangat kurang terpapar dengan kinerja
AKN di negara lain menjadi tantangan besar. Sosialisasi dan pendidikan
kebijakan publik yang memihak publik hams terus digalakkan. Masih
banyak pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan
akademisi yang masih memandang segala bentuk peraturan yang
mewajibkan penduduk atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang.
Mereka tidak sadar bahwa "hak" hanya dapat diperoleh setelah ada
"kewajiban". Kewajiban membayar kontribusi sama pentingnya dengan
kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya adalah bahwa
pengelolaan pungutan yang bersifat wajib hams dimonopoli oleh
pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU.
Pada awal tahun 2005, DPRD Jawa Timur, Satuan Pelaksana (Satpel)
JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel JPKM (perbapel) mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN khususnya pasal 5
yang menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT Taspen
sebagai BPJS yang dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan
daerah mengembangkan jaminan social. Permohonan judicial review
tersebut dipicu oleh SK Menkes 1241 yang menunjuk PT Askes untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi lebih dari 36 juta
penduduk dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4
UU SJSN karena dinilai menutup kemungkinan daerah mengembangkan
jaminan social. Namun demikan, MK tidak membatalkan keempat BPJS
tersebut untuk menyelenggarakan jaminan socsal tingkat nasional/pusat.
UU SJSN dinilai telah menampung keinginan AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 107 H Thabrany UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK
menilai bahwa pemerintah daerah tidak boleh dilarang untuk
mengembangkan jaminan sosial. Yang menjadi tugas pemerintah
selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara program jaminan sosial,
misalnya kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk di
daerah, dan yang dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit hams
diatur dalam PP atau revisi UU SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan
lebih lanjut tentang hasil MK ini dibahas dalam Bab7. Banyak pihak masih
juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran UU
Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli
melarang usaha bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah
yang mengelola suatu program untuk kepentingan orang banyak. Tidak
ada satu negarapun di dunia yang tidak memonopoli pengelolaan pajak,
kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan keamanan. Pengelolaan
jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare), Australia
(Medicare), Taiwan (Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga
dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-
fahaman tentang monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu
disadari bahwa segala sesuatu yang pengelolaannya bersifat monopolistik
memerlukan pengawasan dan pengendalian publik yang efektif, agar
kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas dan terjadi
good governance. Kita juga hams menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan
kerja yang bekerja pada sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya
adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa dibantu keluarga atau buruh
tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi kesehatan
kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota keluarga dan orang
tua mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk
Indonesia. Hal tersebut sudah akan berdampak besar bagi pembangunan
sumber daya manusia dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Upaya
memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada pekerja di sektor
informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk
memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat,
misalnya dengan menetapkan tarif tetap untuk suatu episode pengobatan
ketimbang untuk tiap jenis pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia
atau Muangtai, hams tetap dipertahankan sampai seluruh penduduk
menjadi peserta AKN. Penyelenggaraan AKN memang merupakan upaya
mulia dan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar
penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi di dunia menunjukkan
bahwa penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah politik.
Pelaku politik yang lebih mementingkan interest kelompoknya dapat saja
menolak inisiatif AKN yang diajukan partai lain. Syukur alhamduli11ah,
tampaknya hal ini tidak terjadi di kalangan pimpinan partai politik di dalam
Komisi VII DPR yang lalu dan Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh
semua fraksi dalam UU asuransi sosial kesehatan nasional, yang
merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004 dan tidak ada perbedaan
prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU SJSN, menunjukkan
rendahnya interest golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR
periode 2004- 2009 cukup solid mendukung kebijakan Depkes untuk
menjamin penduduk kurang mampu melalui PT Askes. Namun demikian, di
tingkat bawah masih mungkin terdapat sentimen golongan yang dapat
mengurangi dukungan terhadap AKN. AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 108 H Thabrany Globalisasi dan kekuatan pasar memang tidak
dapat dihindari dan tidak perlu ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar
memberikan peluang dan sekaligus ancaman bagi kita, khsususnya dalam
pengembangan sebuah AKN. Suka atau tidak suka, kita saksikan
banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang diartikan sebagai
keharusan liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada
mekanisme pasar global yang kemudian diartikan bahwa mewajibkan
pekerja menjadi peserta AKN sebagai bertentangan dengan globalisasi.
Banyak pengusaha, bahkan juga pengambil keputusan, yang berpandangan
demikian yang menjadi faktor penghambat terselenggaranya AKN.
Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan asuransi
sosial dalam berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada
yang tidak setuju dengan konsep asuransi so sial yang memandangnya
hanya dari satu sisi saja seperti beban biaya bagi dirinya atau bagi sektor
publik. 85 Banyak pihak kita yang tidak menyadari bahwa ada market
failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang
mengharnskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan
kekuatan pasar tidak akan menyelesaikan segala macam masalah
ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph Stiglitz, seorang ekonom terkemuka
pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak meneliti masalah informasi
asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah memperingatkan
dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi." Ketidak
fahaman akan sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi
penghambat besar bagi AKN. Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan
AKN khususnya dan jaminan sosial umumnya dapat kita lihat dari sikap-
sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bertanggung-jawab atas
gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan
"bagaimana kalau badan penyelenggara bangkrut?" dan "bagaimana
distribusi kekayaan yang dimiliki badan penyelenggara?" menunjukkan
rendahnya pemahaman tentang sebuah sistem jaminan sosial. Ada pula
anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu mensubsidi
badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara diserahkan
kepada BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial
mandiri. Aneh!, minggu ini kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia
menutup dua bank swasta dan pemerintah menjamin dana nasabah tidak
hilang. Bagaimana mungkin pemerintah tidak perlu turun tangan untuk
suatu sistem jaminan sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh
rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di negeri
ini. Di banyak negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari
anggaran pemerintah di luar kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi
secara langsung. Sesungguhnya, suatu sistem jaminan sosial atau AKN
dirancang untuk tidak akan bangkrut kecuali pemerintah bangkrut.
Keseimbangan antara dana tekumpul dan kewajiban dalam sebuah sistem
AKN atau jaminan sosial akan terns dipantau dan disesuaikan agar selalu
likuid dan solven. Inilah hakikat sebuah jaminan sosial yang belum cukup
difahami oleh banyak pihak di Indonesia. Masih banyak tantangan-
tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang meletakan fondasi
AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan terbesar
adalah ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan
jaminan sosial. Di Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan
publik (public finance) masih sangat kurang diberikan, sehingga
mekanisme asuransi sosial sangat kurang difahami. Pendidikan kita belum
seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 109 H Thabrany tentang kekuatan pasar dan
kegagalan pasar. Kurangnya tenaga yang memaharni, mempunyai
komitmen, dan menguasai manajemen dapat merusak berbagai
keutarnaan AKN. Dalarn jangka pendek, tantangan terbesar tersebut dapat
diatasi dengan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan
punya tekad untuk itu. Dalarn jangka panjang, asuransi sosial dan jaminan
sosial hams masuk dalarn mata ajaran di bidang ekonomi, kesejahteraan,
kebijakan publik, dan juga di bidang kesehatan. 5.9. Prospek Asuransi
Kesehatan Nasional Sebuah sistem jaminan sosial ataupun AKN
merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya
sebagian kecil orang dalarn waktu singkat. Sebuah jaminan sosial ataupun
AKN adalah suatu alat yang handal dalarn meningkatkan tingkat
kesejahteraan rakyat dan dalarn melakukan redistribusi pendapatan dalam
mewujudkan keadilan sosial. Oleh karenanya, UU SJSN yang merumuskan
AKN sebagai salah satu sub sistemnya akan sangat dipengaruhi oleh
komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan pelaku bisnis, dukungan
para pekerja, dan dukungan para profesi kesehatan. Di penghujung
Kabinet Gotong Royong tampak secercah harapan terwujudnya sebuah
SJSN. Komitmen Pemerintah dan DPR sudah tarnpak, meskipun belum
meluas. Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah ada
kemajuan besar dalarn perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya
kesejahteraan yang semakin merata. Perubahan UUD yang secara
eksplisit mencantumkan hak rakyat terhadap jarninan sosial dan
pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin
sadar akan pentingnya SJSN. Sarnpai dokumen perubahan UUD, memang
kemajuan tersebut sudah terlihat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
kita telah benar-benar menyadari bahwa perubahan UUD yang memaksa
negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk mewujudkan sebuah SJSN
Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi bahwa RUU
tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di
Universitas Indonesia, penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai
dibahas sebelum penggantian anggota DPR hasil Pemilu 2004. Banyak
pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di Komisi VII-menurut
pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan dari
kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka
sudah membuat dua UU inisiatif yang sarna-sarna berupaya memperbaiki
dan menempatkan sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang
konsisten dengan prinsip-prinsip universal sebuah jaminan sosial. Belum
pemah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi secara sadar dan aklarnasi
berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU Jarnsostek,
yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sarna
dengan UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini
merupakan arnanat Sidang Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap
bahwa UU SJSN akan dapat disetujui sebelum Sidang Umum yang akan
datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para anggota Dewan juga berupaya
sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan arnanatnya sendiri AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 110 H Thabrany sebelum masa
jabatannya habis. Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur
dalam UU SJSN akan bisa dilaksanakan segera? Prospek yang baik dari
AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen pemerintah (termasuk Tim
SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga
intemasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World
Health Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis
Pemerintah Jerman), ADB (the Asian Development Bank), Bank Dunia dan
lembaga-lembaga donor lainnya merupakan suatu faktor positif. Tiga opsi
bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh ILO Indonesia,
termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual'", dalam bentuk
laporan sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar
negeri. Disamping itu, WHO Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang
kali mensponsori berbagai studi, seminar, loka-karya, maupun
mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan teknis di
Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank
Pembangunan Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam
pembahaman sistem pembiayaan publik dan dalam pengembangan
asuransi kesehatan melalui hibah dan persetujuan pendanaan program-
program terkait dengan asuransi kesehatan dalam pinjaman yang
diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam
pemahaman masalah dan opsi-opsi perbaikan sistemjaminan sosial di
Indonesia. Banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya kita telah
memiliki pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan sebuah
sistem asuransi kesehatan so sial bagi pegawai negeri dan keluarganya.
Disamping keluhan dan hujatan yang sering kita dengar, yang umumnya
datang dari kalangan atas peserta, masa 36 tahun sesungguhnya
merupakan pelajaran yang sangat berharga dan merupakan pondasi yang
kuat bagi perluasan asuransi kesehatan so sial. Selain pengalaman askes
pegawai negeri, askes sosial pegawai swasta juga sudah diselenggarakan
sejak 10 tahun yang lalu. Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di
Indonesia, yang menyebabkan banyaknya keluhan dan hujatan,
sesungguhnya bersumber dari rancangan sistem itu yang dengan
kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS dan pensiunan pegawai
negeri) hams menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak tahun
2003 yang lalu, melalui PP 2812003 pemerintah telah mulai menambah
kontribusi dalam rangka perbaikan asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan
asuransi kesehatan pegawai negeri, AKN akan sulit berkembang.
Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus berupaya memperbaiki
kinerjanya terus-menerus. Pengenalan dan promosi Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) oleh Depkes, baik yang berhasil maupun
yang tidak berhasil, telah pula memberikan kontribusi kepada evolusi dan
pemahaman kita terhadap pentingnya AKN. Program JPS BK (Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) yang telah diluncurkan sejak awal
masa masa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang kemudian
diteruskan dengan program JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan
dana subsidi BBM, telah juga memberikan pelajaran yang sangat berharga
bagi pengembangan AKN. Program bagi penduduk miskin tersebut, yang
meskipun belum menyelesaikan seluruh masalah, telah memberikan
pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN. Program ini
menunjukkan semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan
kebutuhan dasar kesehatan, sebagai suatu investasi SDM menuju masa
depan bangsa Indonesia yang lebih kompetitif. AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 111 H Thabrany Tanpa komitmen pemerintah yang
kuat dan tanpa perubahan cara pandang belanja kesehatan, dari sekedar
membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM, kinerja SDM kita
akan terus terpuruk. Kita hams menyadari bahwa Indeks Pembangunan
Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing
Indonesia yang berada diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei.
Negara-negara yang memiliki AKN dan sistem jaminan sosial yang kuat
mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi, bahkan memiliki
indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari
oleh kita semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menarnbah kazanah
ilmu kita dalarn bidang asuransi kesehatan. Banyak pihak yang
mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan daya saing Indonesia di
pasar intemasional. Bahkan, mC-menurut penulis dengan nada menakut
nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing
enggan berinvestasi di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di
negara industri bam, kontribusi jaminan sosial-termasuk kesehatan tidak
menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di Indonesia sesungguhnya
bukan kontribusi jarninan sosial atau tunjangan karyawan (employement
benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menarnbah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah
mengeluarkan 5,24% dari upah tenaga kerjanya untuk biaya kesehatan
karyawannya.f Jika sebuah AKN dijalankan, maka sesungguhnya tidak
banyak beban tarnbahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih
besar. Tidak akan mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar
5-6% dari upah karyawan dapat membuat sebuah usaha bangkrut dan
tidak kompetitif. Kita hams melihatnya tidak hanya dari biaya, akan tetapi
banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa arnan,
produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah
rumah tangga sekalipun, jika hams mengeluarkan kontribusi setiap bulan
sebesar 5% dari pengeluaran rutinnya tidak akan membuat rumah tangga
itu kolaps. Hams diingat bahwa pengeluaran tersebut bukanlah
pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri. Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk
AKN tidak akan membuat sebuah usaha bangkrut, saya menganalisis data-
data dari Badan Pusat Statistik tahun 1993 sarnpai tahun 2000. Temyata
telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita yang cukup berarti sejak
diundangkan UU Jarnsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek sudah
mewajibkan pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7%
upah (hanya 2% kontribusi tenaga kerja). Temyata tingkat upah riil tetap
meningkat. Artinya-beban tersebut tidak mengurangi kemarnpuan
perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis lebih lanjut dari
data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya
produksi menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan
8,1% saja dari biaya produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi
AKN sebesar 5% yang sepenuhnya ditanggung perusahaan, maka dampak
kontribusi tersebut terhadap peningkatan biaya produksi hanyalah 0,05 x
8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar 0,4%.
Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi
kerja dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja
menunjukkan bahwa di pasar Indonesia terdapat begitu banyak produk
dari negara-negara maju yang mewajibkan pemberi kerja berkontribusi
lebih besar dari itu. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 112 H
Thabrany Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan, manfaat, dan
kesediaan pemberi kerja mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan
sebuah survei kecil kepada 100 direktur/manajer sumber daya manusia di
Jakarta. Survei pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
direktur SDM mempunyai pandangan positif tentang AKN. Bahkan 83% dari
mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini. Bahkan ketika
ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan
iuran 3%, 61 % menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan
survei pendahuluan dan survei dengan sampel yang lebih besar masih
diperlukan, sudah mulai tergambarkan bahwa sesungguhnya apabila
pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan dilakukan oleh
sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi
perusahaan dan karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para
pengusaha di Korea Selatan dan Muangtai yang saya temui. Dengan
demikian, kita tidak perlu takut memulai pengembangan AKN. Apabila
penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya, pengusaha
bahkan akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque. 89
Sebuah sistem AKN sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada
akses pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan paling mendasar
bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Sebuah sistem AKN juga akan
berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia lain dan bahkan
kepada good governance, baik dalam pemerintahan maupun dalam
mengelola suatu badan usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN
juga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pembayar pajak,
karena dalam AKN hubungan kontribusi wajib dengan manfaat yang
diterima oleh peserta akan sangat dekat. Hal ini merupakan suatu media
pendidikan kepatuhan penduduk dalam memberikan kontribusi untuk
kepentingan bersama. Di bidang praktek kedokteran, tidak diragukan lagi
bahwa AKN mempunyai dampak besar bagi profesionalisme praktek
dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN akan lebih menjamin
terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicita
citakan oleh Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-
fakta di dunia menunjukkan bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya
bisa berjalan apabila ditunjang oleh sebuah sistem pembiayaan melalui
AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Sebuah sistem AKN juga
akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit, karena
terjadinya maldistribusi dokter dan rumah sakit-yang terkonsentrasi di
kota besar terjadi karena 'duit'nya ada di kota. Tanpa AKN, hanya
masyarakat kotalah yang mampu membeli jasa medik dokter maupun
rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang menjamin semua orang, uang
akan terdistribusi lebih merata (money follow patients). Dokter, rumah
sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti
distribusi peserta atau pasien. Untuk mencakup seluruh penduduk kita
memerlukan berbagai kondisi seperti, stabilitas politik, stabilitas
keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin meningkat,
infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan
kemampuan manajemen." Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar
semua kondisi tersebut terpenuhi. Akan terlalu banyak korban dan
kesulitan jika kita menunggu kondisi tersebut terpenuhi. Stabilitas politik
dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan kondisi lainnya
dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN.
Upaya untuk mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari
sektor yang AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 113 H Thabrany
mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh pekerja di sektor formal terlebih
dahulu seperti yang dilakukan berbagai negera di dunia. N amun demikain,
kita hams menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai cakupan
universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh
yang telah dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen
NHSnya rendah atau penerimaan negara dari pajak relatif rendah.
Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum sampai 5% penduduk
Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin membayar pajak,
sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS. Think big, start small, act
now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh menunggu sampai
ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai kemampuan
manajemen memadai. Pada waktu Otto von Bismark memperkenalkan
asuransi sosial kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih
lebih jelek dari kondisi kita sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di
sektor formal hanya 10% dari total tenaga kerja pada waktu itu." Pada
waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan kemudian
mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas
kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu
Presiden Rosevelt di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun
1935, yang kemudian diamandemen dengan manambah Medicare di tahun
1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan Amerika tidak sebaik
yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem NHSnya,
atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka
miliki sekarang. Akan tetapi memang kita hams menyadari berbagai
keterbasan yang kita miliki. Kita hams melaksanakan AKN dengan tetap
hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu besar hanya akan
menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan
mutu pelayanan yang disediakannya hams terns diperbaiki, sambil kita
memperluas cakupan kepesertaan. Manajemen AKN hams terus
dikembangkan untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan yang
diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan kemudian
seluruh penduduk. Evaluasi hams terus menerus dijalankan agar kita
dapat terus memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan
ketidak-puasan hams terus diatasi secara seksama dan tuntas. Program
AKN baru akan berhasil baik jika semua pemberi kerja, pekerja, dan
seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan dengan menjadi peserta
AKN. Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar
rakyat kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya.
Banyak diantara kita pun bisa jadi tidak mampu membiayai pelayanan
kesehatan yang kita perlukan di saat kita memerlukannya, jika suatu
penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita tidak boleh
mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita
perlukan hanya karena kita belum pemah merasakan manfaat atau
mengalami kebutuhan. Inilah hakikat asuransi, menjamin masa depan,
masa dimana kita belum pemah mengalaminya. Inilah pula tantangan
terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa dirinya
suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah
sistem AKN. Kita memang hams menunjukkan bukti untuk meyakinkan
banyak pihak. Untuk AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 114 H
Thabrany menujukkan bukti tersebut, diperlukan keberanian bertindak.
Tidak ada bukti, tanpa keberanian bertindak. Perjalanan jauh dimulai dari
langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai dari pemasangan
batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan.
Sebuah AKN yang besar dapat kita mulai dengan menata batu satu
persatu sampai ia menjadi bangunan besar. Rujukan 1 Feldstein PJ. Health
Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA. 1993 2 Henderson
JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western Thomson
Learning. Mason, Ohio, USA 2002 3 Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam
Asuransi Kesehatan. MKl Juni 2001 4lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN
2003 5 Azwar, A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1996 6 Azwar, A. Catatan Tentang
Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta, 1995 7 Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed
Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta. 1997 8 Thabrany. H.
Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, 1999 9 HIAA. Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington
DC. 1997 10 Dixon A and Mossialos E. Health System in Eight Countries:
Trends and Challenges. The European Observatory on Health Care
Systems. London, 2002 11 Henderson JW. Op Cit 12 Rejda, GE. Social
Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA.
1988 13 Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare.
Prentice Hall. Englewood, New Jersey, USA, 1980 14 Keintz RM. NHI and
Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976 15
Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA
1996 16 Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care
Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46,2002 17 Vayda E dan Deber
RB. The Canadian Health-Care System: A Devdelopmental Overview. Dalam
Naylor D. Canadian Health Care and The State. McGill-Queen's University
Press. Montreal, Canada, 1992 18 Roemer MI. Health System of the World.
Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993 19 Thabrany, H.
Kegagalan Pasar. Op Cit 20 Keintz RM. National Health Insurance and
Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976 21
Rubin, HW. Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barron's Educational
Series, Inc. Hauppauge, NY, USA 2000 22 Dixon and Mossialos. Op Cit. 23
Stier1e. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada
Seminar Asuransi Kesehatan Sosial, Jakarta 2001 AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 115 H Thabrany 24 Rucket, P. Universal Coverage
And Equitable Access To Health Care: The European and German
Experience. Makalah disajikan pada Asia Pacific Summit on Health
Insurance and Managed Care. Jakarta, 22-24 Mei, 2002 25 Lankers, e. The
German Health Care System. Makalah disajikan pada Kunjungan Tim SJSN
di Berlin, 24 Juni 2003 26 Schoultz F. Competition in the Dutch Health Care
System. Rotterdam, 1995 27 Dixon and Mossialos. Op Cit 28 Roemer,
Milton I. Op Cit 29 www.health.gov.au 30 Hall JIourenco RA and Viney R.
Carrots and Sticks- The Fall and Fall of Private Health Insurance in
Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999 31 Dixon A and Mossialos E. Op
Cit 32 Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of Japan.
University of Tokyo Press, Tokyo, 1996 33 Okimoto DI dan Yoshikawa A.
Japan's Health System: Efficiency and Effectiveness in Universal Care.
Faulkner & Gray Inc. New York, USA, 1993 34 Nitayarumphong S.
Universal Coverage of Health Care: Challenges for Developing Countries.
Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002 35 Lee
YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from
Taiwan. Makalah disajikan dalam Summit 36 BNHI. National Health
Insurance Profile 2001. BNHI, Taipei 2002 37 Liu CS. National Health
Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada Seminar Menyongsong
Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004 38 Rachel Lu J and
Hsiao We. Does Universal Health Insurance Make Health Care
Unaffordable? Lessons From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88,2003 39
Cheng TM. Taiwan's New National Health Insurance: Genesis and And
Experience So Far. Health Affairs: 22(3):61-76 40 Am-Gu. National Health
Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem Jaminan
Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004 41 Thabrany, H. Universal Coverage in
Korea and Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health Insurance, Uni
Eropa. Oktober 2003. 42 Park, . National Health Insurance in Korea, 2002.
Research Division, NHIe. Memeograph presented for an Indonesian
delegate. 43 Pongpisut. Achieving Universal Coverage of Health Care in
Thailand through 30 Baht Policy. Makalah disampaikan pada SEAMIC
Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002 44 Siamwalla A.
Implementing Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan
Wibulpopprasert S. Health Insurance Systems in Thailand. HSRI,
Nonthaburi, Muangtai, 2002 45 Tangchareonsathien V, Teokul, W dan
Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System. Makalah disajikan
pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003 46 SSO.
Social Health Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002 47
WHO/SEARO. Social Health Insurance: Report of a Regional Consultation.
WHO, New Delhi, 2003 48 Novales MA dan Alcantara MO. National Health
Insurance Program in Philippines. Makalah disampaikan pada Summit
Jakarta 49 EkaPutri. A. National Health Insurance Program in
Decentralized Government in Archipelago Country: Lesson from the
Philippine. Makalah Studio Asian Scholarship Foundation, 2003. 50
WHO/SEARO.Social HI. Op Cit 51 Sulastomo. Asuransi Kesehatan Sosial-
Sebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002 AKN: Contoh dan
Masa Depannya di Indonesia 116 H Thabrany 52 Sutadji OA. Pengalaman
PT Askes dalam Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial untuk
Masyarakat Umum. Makalah disampaikan pada Loka Karya Menyongsong
AKN, Jakarta 3-4 Maret 2004. 53 UU SJSN, 2004 54 Dionne G. Hand Book
of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000 55 Rejda. Op Cit 56 Rosen
HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999 57 Dionne
G, Op Cit. 58 Rosen, Oc Cit. 59 Rejda. Op Cit. 60 Butler Op Cit 61
WHO/SEARO Op Cit. 62 Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. yP illI.
2000 63 Feldstein. Op Cit 64 Hederson Op Cit 65 Roemer. Op Cit 66
Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan. Kompas 20-11-
2001 67 Dixon Op Cit. 68 Roemer. Op Cit. 69 ILO Indonesia. Social Security
and Coverage for All: Restructuring Social Security Scheme in Indonesia-
Issues and Options. ILO, Jakarta 2002 70 Thabrany dkk. Review
Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002 71 Saadah F, Pradhan M,
dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social
Economic Surveys for 1995,1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001
72 Pradhan M and Prescott N. Social Risk Menagement Options for Medical
Care in Indonesia. Health Econ. 11: 431--446 (2002) 73 Thabrany, H dkk.
Review Pembiayaan. Op Cit 74 WHO. World Health Report 2000.p55,
Geneva, 2001 75 Asher MG. The Pension System in Singapore. The World
Bank, Washington DC, USA, 1999 76 ILO Int. Social Security of the World.
ILO, Geneva 2002 77 Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI
Bangkok, Juli 2003. 78 Pongpisut, Op Cit. 79 SSO- Thailand. Op Cit 80
Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and size of health
benefit: an integrated model to test for 'sensitivity to scale'. Health Econ.
1: .... (2003) 81 Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for
estimating monetary values. Health Econ. 4: (2003) 82 Jakarta Post, 13
Februari 2004 83 BPS. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002 84
Sutadji. Op Cit. 85 Gertler P and Solon O. Who Benefits from Social Health
Insurance in Developing Countries. memeograf, Berkeley, USA, 2000 86
Stiglitz. J. The Roraring Ninties-Seeds of Destruction. Allen Lane. London,
UK, 2003 87 ILO Indonesia. Op Cit 88 Chusnun, P. dkk. Laporan Survei
Biaya Kesehatan Karyawan, PKEK UI, 2003 89 Duque III FT. Universal
Social Health Insurance Coverage in the Philippine. Makalah disajikan
pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003 90 Thabrany H.
Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999. 91
Rucket P. Op Cit AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 117 H
Thabrany BAB6 Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 6.1. Pendahuluan
Pelayanan kesehatan di Indonesia tumbuh dan berkembang secara
tradisional mengikuti perkembangan pasar dan sedikit sekali pengaruh
intervensi pemerintah dalam sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan
rumah sakit pemerintah maupun swasta sama-sama menggunakan sistem
pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) karena secara tradisional
sistem itulah yang berkembang. Sistem ini juga merupakan sistem paling
sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena tekanan untuk
pengendalian biaya belum tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika,
maupun Asia, tekanan tingginya biaya kesehatan sudah lama dirasakan.
Semua pihak ingin mengendalikan biaya kesehatan tersebut, karena
semua pihak sudah merasakan beban ekonomi yang berat untuk
membayar kontribusi asuransi kesehatan sosial atau anggaran belanja
negara, atau membeli premi asuransi kesehatan. Tekanan inilah yang
mendorong implementasi berbagai sistem pembayaran kepada fasilitas
kesehatan. Di Indonesia, biaya pelayanan kesehatan masih sangat rendah,
bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya yang kita hadapi adalah
masalah rendahnya biaya kesehatan, rendahnya akses kepada fasilitas
kesehatan, dan bukan mahalnya biaya kesehatan. Meskipun tekanan untuk
penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di Indonesia, praktek
beberapa sistem pembayaran altematif, selain jasa per pelayanan, sudah
dilaksanakan oleh beberapa pihak misalnya PT Askes Indonesia dan
beberapa perusahaan yang sudah merasakan perlunya kendali biaya.
Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai altematif sistem pembayaran
yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya. Undang-
undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong
tumbuhnya sistem asuransi kesehatan sosial di Indonesia sudah
mengantisipasi hal itu dan karenanya sudah memberikan indikasi akan
perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan pada tahun
2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut
dengan memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke
puskesmas atau dirawat di RS kelas III. Sistem jaminan oleh Pemerintah
ini dikelola oleh PT Askes agar sistem pembayaran dapat dilaksanakan
guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan Indonesia. Dalam
sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar
puskesmas dengan sistem kapitasi dan membayar RS dengan sistem
paket. Berbagai sistem pembayaran lain akan dibahas dalam bab ini untuk
memberikan pemahaman kepada para pembaca. Sebelum kita memulai
membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan dibahas secara ringkas
masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah
masukan (input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi
pelayanan kesehatan, baik yang bersifat promotif-preventif maupun yang
bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada dikotomi pembiayaan kesehatan
untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif. Semua
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 H Thabrany kegiatan tersebut
merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan
guna mencapai tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Masukan finansial, berupa dana dari pemerintah maupun dari
masyarakat kemudian dihitung per unit pelayanan. Jumlah uang yang
dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit pelayanan
merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan
kemudian menagih atau meminta pasien membayar (baik langsung dari
kantong pasien sendiri maupun dari pihak pembayarnya) sejumlah uang
yang biasanya lebih besar dari biaya produksi. Tagihan ini disebut harga
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Harga pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar. Sebagai contoh,
tagihan rumah sakit sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta
PT Askes atau PT Jamsostek merupakan harga atau tarif (bukan biaya)
bagi rumah sakit. Akan tetapi, tagihan tersebut menjadi biaya bagi PT
Askes atau PT Jamsostek karena besarnya uang yang dibayarkan oleh
kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang hams dikeluarkan
dalam rangka produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Dalam bab ini,
fokus pembahasan adalah biaya kesehatan yang diperlukan dalam
memproduksi satu unit pelayanan kesehatan. Berbagai faktor seperti
biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan, tuntutan dokter, harga obat
obatan, harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik, biaya
kebersihan, biaya perijinan dan sebagainya menentukan biaya pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan. Pelayanan medis, khususnya di rumah
sakit, mempunyai dilema yang tidak dimiliki oleh pelayanan lain seperti
pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan pelayanan restoran. Pelayanan
medis di rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan setiap orang
di era modem, paling sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan
medis di rumah sakit bersifat tidak pasti (uncertain) (Feldstein, 1998;
Phelps; Rappaport;), baik waktu, tempat, maupun besar biaya yang
dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan yang tidak pasti,
maka tidak semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk
membiayai pelayanan tersebut. Di lain pihak, rumah sakit yang tidak
mendapat pendanaan sepenuhnya dari pemerintah mengalami dilema
hams menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan seperti jasa dokter, bahan
medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik, biaya pemeliharaan
gedung, dan biaya-biaya modal atau investasi lainnya. Dalam pelayanan
rumah sakit, sering terdapat bad debt, yang merupakan biaya rumah sakit
yang tidak bisa ditagih kepada pasien atau keluarga pasien. Agar rumah
sakit bisa terus menyediakan pelayanan, besarnya bad debt hams
dikompensasi dengan penerimaan lain, yang seringkali dibebankan, baik
secara eksplisit maupun diperhitungkan dalam rencana perhitungan
pentarifan, kepada pasien lain yang mampu membayar atau yang dibayar
oleh majikan pasien atau oleh perusahaan asuransi. 6.2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi biaya kesehatan Pada garis besarnya, biaya
pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari tahun ke tahun di
negara manapun. Menurut Donald F Beck (1984i peningkatan biaya
pelayanan medis bersumber dari dua kelompok utama yaitu inflasi biaya
normal dan biaya pelayanan yang baru dan lebih baik. Komponen inflasi
biaya rumah sakit mencakup dua pertiga kenaikan biaya rumah sakit dan
sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan teknologi baru yang
lebih baik dan lebih mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3
menyatakan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 119 H Thabrany
bahwa inflasi biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya umum
karena dalam banyak hal pimpinan rumah sakit tidak punya kendali atas
biaya pelayanan medis di rumah sakit itu. Selain rumah sakit, kebijakan
pemerintah, pembayar pihak ketiga seperti asuransi, tenaga kesehatan
sendiri, dan masyarakat tidak memiliki insentif untuk mengendalikan
biaya. Apa yang disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat tampak jelas
kita amati di Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan menggariskan tarif
pelayanan dengan mempertimbangkan biaya satuan (unit cost). Berbagai
buku pedoman dan pelatihan-pelatihan yang diberikan di berbagai
perguruan tinggi telah menerjemahkan biaya satuan dalam satuan terkecil
seperti konsultasi dokter, biaya imunisasi, biaya pasang pen, dan
sebagainya. Karena dokter dibayar untuk tiap konsultasi, bukan untuk
satu episode pengobatan sampai pasien sembuh, maka dokter akan
senang memberikan konsultasi atau visite yang lebih banyak. Semakin
banyak dokter visite kepada pasien yang dirawat, semakin banyak
penghasilannya. Di sisi lain, pasien menilai bahwa dokter yang sering
visite adalah dokter yang baik dan pasien lebih senang jika dokter lebih
sering visite. Jika pasien hams membayar sendiri, hampir tidak pemah
pasien menolak visite dokter karena menyadari bahwa biayanya akan
tambah mahal. Pasien juga tidak mampu mengetahui apakah visite dokter
perlu sesering itu atau cukup sekali dua kali. Apabila perawatan pasien
dibayar oleh majikan atau asuransi, pasien tambah senang dengan
semakin banyak visite dokter, karena tidak ada beban biaya yang akan
dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai bahwa dokter
tersebut baik sekali. Sang dokter pun semakin senang, karena
penghasilannya akan bertambah. Maka terjadilah kolusi sempuma yang
menyebabkan biaya perawatan tambah mahal. Kolusi dokter-pasien dalam
sebuah sistem dimana pasien tidak membayar sendiri sebagian besar
biaya kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari kemajuan
teknologi. Teknologi sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang
suara telah digunakan dalam diagnosis suatu penyakit seperti CT Scan,
Gama Knife, dan USG tiga dimensi dan berwarna. Dokter semakin suka
dengan perkembangan teknologi tersebut karena banyak hal yang dahulu
tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat. Namun hams
disadari bahwa teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset
penemuannya ditambah marjin keuntungan pembuat alat-alat canggih
memang tinggi. Dokter tidak bertepuk sebelah tangan, karena pasien yang
mendapat pelayanan teknologi canggih yang bisa didemonstrasikan di
hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil akan sangat senang
diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewama. Yang
tidak diketahui oleh pasien adalah harga yang hams dibayar atas
kesenangan dirinya dan kesenangan dokter yang menggunakan alat
tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan lebih baik menambah tingginya
biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit. Tingginya biaya kesehatan
yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan menyebabkan
rumah sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi)
semakin tinggi. Apalagi jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for
profit) dimana pemodal menuntut uang yang ditanam untuk membangun
rumah sakit dan berbagai biaya yang terkait dengan itu kembali dalam
jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung dimuka, sistem
pembayaran jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru
diketahui besarannya setelah seluruh pelayanan diberikan kepada pasien),
lebih mendorong tingginya tagihan yang hams dibayar penjamin atau
pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang menjadi biaya bagi pihak
asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 120 H Thabrany hal biaya rumah sakit
bagi penduduk dibayar pemerintah-seperti yang dilakukan di Malaysia),
untuk mengembangkan sistem pembayaran prospektif. Secara umum,
sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu atau
lebih dari pilihan berikut (Kongstvedt, 1996). • Sesuai tagihan, biasanya
secara retrospektif dan sesuai jasa per pelayanan • Sesuai tagihan akan
tetapi dengan negosiasi diskonlrabat khusus • Diagnostic related group •
Kapitasi • Per kasus • Per diem • Bed leasing (sewa tempat tidur) •
Performance based incentives • Global budget 6.3. Sistem Pembayaran
Retrospektif Berbagai aspek pembayaran retrospektif Pembayaran
retrospektif sesuai narnanya berarti bahwa be saran biaya dan jumlah
biaya yang hams dibayar oleh pasien atau pihak pembayar, misalnya
asuransi atau perusahaan majikan pasien, ditetapkan setelah pelayanan
diberikan. Kata retro berarti di belakang atau ditetapkan belakangan
setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan
cara pembayaran yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola secara
bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan menetapkan tarif pelayanan. Oleh
karenanya cara pembayaran ini disebut juga dengan cara pembayaran
tradisional atau fee for service (jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara
pembayaran jasa per pelayanan sering disebut dengan istilah cara
pembayaran out of pocket (dari kantong sendiri). Penggunaan istilah cara
pembayaran dari kantong sendiri (DKS) untuk cara pembayaran jasa per
pelayanan (IPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara pembayaran jasa per
pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci
menurut pelayanan yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite
dokter, infus, biaya ruangan, tiap jenis obat yang diberikan, tiap jenis
pemeriksaan laboratorium, dsb. Sedangkan DKS merupakan sumber dana
untuk membayar secara IPP. Pembayran DKS dapat berbentuk IPP dan
dapat juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia, seorang
pasien yang berobat di RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM
per hari (setara dengan Rp 6.300 di tahun 2005) untuk setiap hari
perawatan, meskipun perawatan tersebut merupakan perawatan sakit
ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal. Jumlah pembayaran
DKS sendiri itu sudah termasuk obat-obtan dan segala macam tindakan
yang diberikan kepada pasien. Di Muangtai, pasien hanya membayar 30
Baht per episode perawatan, artinya sarnpai pasien pulang dari rumah
sakit tanpa memperhatikan jumlah hari perawatan. Jadi cara pembayaran
IPP tidak selalu sarna dengan cara pembayaran DKS. Selain DKS,
pembayaran IPP dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk seorang
karyawan atau anggota keluarga karyawan tersebut yang menjadi
tanggungan perusahaan. Pembayaran IPP juga dapat dilakukan oleh
perusahaan asuransi yang menjadi penanggung pembayaran seorang
pasien yang telah Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 121 H Thabrany
membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda dengan teori yang
dipromosikan, bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat
(JPKM) juga masih membayar rumah sakit dengan cara pembayaran JPP.
Kekeliruan faham tersebut dapat difahami karena lebih dari 80%
pelayanan rumah sakit di Indonesia memang masih dibayar oleh pasien
sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya sumber
dananya adalah dari kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara
pembayaran JPP akan tetap subur pada lingkungan dimana pasien tidak
memiliki asuransi dan membayar setiap pelayanan yang ditagih fasilitas
kesehatan. Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP
ini mempunyai kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan
terus dirangsang (mendapat insentif) untuk memberikan pelayanan lebih
banyak. Semakin banyak jenis pelayanan yang diberikan semakin banyak
fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan uang. Jangan heran kalau
pada beberapa rumah sakit, lima atau enam dokter spesialis berbeda
melakukan visite kepada seroang pasien yang sama setiap hari. Semakin
banyak visite dokter, semakin banyak dokter tersebut memperoleh jasa
atau penghasilan. Begitu juga dengan jenis tindakan diagnosis seperti
laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien akan ditagih untuk setiap jenis
pemeriksaan. Apabila dokter atau bahkan perawat-pada beberapa kasus
mendapat insentif (berupa bonus prosentase tertentu dari pemeriksaan),
maka dokter atau perawat akan lebih banyak meminta pemeriksaan lab
untuk memantau kondisi medis pasiennya. Padahal visite atau
pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak memberikan manfaat pada
pasiennya. Sebagai contoh, visite pemeriksaan gula darah dua hari sekali
mungkin juga sudah cukup untuk proses penyembuhan pasien, akan tetapi
karena ada rangsangan uang untuk visite atau pemeriksaan gula darah
setiap hari, maka hal itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral
hazard atau abuse dalam pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian
bonus seperti itu dilarang oleh pemerintah karena pasien atau pihak
pembayar dapat dirugikan oleh prilaku tenaga kesehatan. Kesulitan besar
pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa pasien tidak
memahami apakah suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan
sesering yang diberikan, dan besarnya tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena
cara pembayaran retrospektif ini mempunyai potensi pemborosan dan
kenaikan biaya kesehatan, maka di seluruh dunia, pemerintah berupaya
mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospetif yang
akan dibahas kemudian dalam bab ini. Pembayaran retrospektif yang pada
umumnya berbentuk pembayaran JPP dapat bersumber dari: • Uang yang
dimiliki oleh pasien atau keluarga pasien atau DKS • Uang yang bersumber
dari majikan pasien atau keluarga pasien • Uang yang bersumber dari
perusahaan atau badan asuransi/jaminan sosial seperti PT Askes dan PT
Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel JPKM dan
perusahaan asuransi • U ang pemerintah yang mengganti biaya seorang
pasien misalnya pada korban pemboman di Hotel Mariott atau di depan
Kedutaan Besar Australia • U ang yang bersumber dari lembaga donor
seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan Kompas, RCTI Peduli, Pundi
Amal SCTV dll • U ang yang bersumber dari keluarga besar pasien atau
kerabat pasien yang menyumbang untuk pengobatan seorang pasien
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 122 H Thabrany 6.4. Sistem
Pembayaran Prospektif Pembayaran retrospektif terdiri dari berbagai jenis
pembayaran seperti diagnostic related group, kapitasi, per diem,
ambulatory care group, dan global budget. Di bawah ini akan dibahas lebih
dalam masing-masing sistem pembayaran prospektiftersebut. 6.4.1.
Diagnostic Related Group (DRG) Pengertian DRG dapat disederhanakan
dengan cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya
satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang diberikan
kepada seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit.
Sebagai contoh, jika seorang pasien menderita demam berdarah, maka
pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap kasus demam
berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien dirawat di sebuah
rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan
diagnosis keluar pasien. Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu
bahwa rumah sakit mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya
yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu diagnosis. Jika di
Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2004
dan dari hasil analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus
misalnya adalah Rp 2 juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang
mengobati pasien demam berdarah akan dibayar Rp 2 juta untuk setiap
pasien. Sejarah Mengahadapi dilema biaya kesehatan di rumah sakit,
upaya pengendalian biaya rumah sakit sudah banyak dilakukan orang.
Smith dan Fottler (1985) menyampaikan bahwa upaya mendapatkan rata-
rata biaya per diagnosis telah dilakukan oleh rumah sakit akademik Yale-
New Haven oleh Robert Fetter dan John Thomson. Riset kedua ahli
tersebut dimulai di tahun 1970 dengan tujuan untuk memperbaiki proses
telaah utilisasi. Telaah utilisasi adalah upaya untuk menilai apakah
pemberian berbagai tindakan medis, baik untuk diagnosis maupun untuk
terapi, memang wajar dan diperlukan atau ada indikasi penyalah-gunaan.
Awalnya DRG yang dikembangkan di Yale tersebut terdiri atas
pengelompokan yang luas yang berdasarkan klasifikasi ICD-8-Clinical
Modification. Data yang digunakan mencakup data rumah sakit di tiga
negara bagian Amerika yaitu New Jersey, Connecticut, dan South Carolina
dengan menghasilkan 83 katagori mayor diagnosis. Upaya pengelompokan
dilakukan atas dasar tiga prinsip yaitu (1) pengelompokan secara
pengelolaan klinis yang mencakup klasifikasi anatomis dan fisiologis; (2)
jumlah kasus cukup banyak untuk menghasilkan informasi statistik yang
signifikan; dan (3) mencakup berbagai diagnosis dalam ICD-8-CM tanpa
adanya overlap. Dengan menggunakan alogritme interaktif,
pengelompokan lebih lanjut dilakukan dengan memperhitungkan diagnosis
sekunder, prosedur pembedahan, usia pasien, dan pelayanan khusus, pada
akhimya dihasilkan 383 DRG. Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun
1981 untuk menyesuaikan DRG dengan pengelompokan diagnosis dalam
ICD-9-CM. Pada generasi kedua, data yang digunakan untuk menyusun
DRG adalah data nasional dari 332 rumah sakit yang mencakup 400.000
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 123 H Thabrany catatan medis
pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua ini
diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena
penyakit, misalnya sistem pemafasan dan sistem pencemaan. Generasi
kedua menghasilkan 467 DRG yang menyangkut ada tidaknya pembedahan
dan komplikasi atau komorbiditas. Komplikasi adalah penyulit suatu
penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah lanjut akibat
terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain.
Perforasi usus merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan
komorbiditas adalah adanya penyakit lain (yang tidak terkait dengan
penyakit utama) yang secara kebetulan terjadi secara kebetulan. Sebagai
contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan menderita
diabetes mellitus. Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh
pemerintah Amerika Serikat dalam program Medicare mulai tanggal 1
Oktober 1983 (Beck, 1984; Smith dan Fottler, 1985). Program Medicare
adalah program asuransi sosial di Amerika yang dananya dikumpulkan dari
iuran wajib pekerja sebesar 1,45% gaji/penghasilannya ditambah 1,45%
lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang terkumpul tersebut
hanya digunakan untuk membiayai perawatan rumah sakit dan
perawatanjangka panjang (long term care) bagi penduduk berusia 65 tahun
keatas dan penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit yang
tidak bisa lagi disembuhkan) seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare
merupakan program anak membiayai orang tua yang dikelola secara
nasional oleh pemerintah Federal Amerika. Kini sistem pembayaran DRG
juga digunakan dalam program Medicare di Australia, program Medicare di
Taiwan, program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit di
Malaysia, dan juga program asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda
dengan program Medicare di Amerika, program Medicare di Australia,
Kanada, dan Taiwan merupakan program asuransi sosial yang dibiayai dari
iuran wajib seluruh penduduk yang berpenghasilan dan digunakan untuk
penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota keluarganya.
Program Medicare di luar Amerika merupakan program Asuransi
Kesehatan Nasional (AKN). Indonesia juga sudah merintis program AKN
seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hanya saja program AKN di
Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk.
Diharapkan di tahun 2010 nanti, separuh penduduk Indonesia sudah
mendapatkan jaminan kesehatan melalui SJSN. Arti pembayaran DRG
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi
merinci tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan
kepada seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan
diagnosis pasien waktu pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis
tersebut. Besamya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati oleh
seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan
asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh
pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran
DRG dari program DRG di Australia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 124 H Thabrany Tabel: Contoh
DRG dan besaran tarifDRG di Australia, 2004. DRG Description ALOS
Average Cost per DRG ($) (Days) Total Direct Ohead DRG AOIZ Liver
Transplant 31.46 91,078 71,051 20,027 A02Z Multiple Organs Transplant
18.28 41,703 35,417 6,286 A03Z Lung Transplant 22.47 73,945 63,706
10,238 A04Z Bone Marrow Transplant 22.34 29,427 23,743 5,685 A05Z
Heart Transplant 19.62 60,568 51,615 8,953 A06Z Tracheostomy Any Age
Any 29.76 52,976 40,678 12,298 Cond A40Z Ecmo - Cardiac Surgery 16.14
48,748 37,440 11,308 A41Z Intubation Age<16 7.37 12,219 8,742 3,477
BOIZ Ventricular Shunt Revision 5.85 6,458 4,737 1,721 B02A Craniotomy
+ Ccc 20.02 23,327 17,913 5,414 B02B Craniotomy + Smcc 11.10 12,757
9,771 2,986 B02C Craniotomy - Cc 7.88 9,947 7,609 2,338 B03A Spinal
Procedures + Cscc 14.88 15,119 11,492 3,627 B03B Spinal Procedures -
Cscc 5.38 6,960 5,346 1,614 B04A Extracranial Vascular Pr +Cscc 8.11
9,006 6,733 2,273 Sumber: Website Department of Family Service
Australia, 2004 Pembayaran dengan cara DRG mempunyai keutamaan
sebagai berikut: • Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit
dan pihak pembayar • Memudahkan pasien memahami be saran biaya yang
hams dibayarnya • Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue)
rumah sakit • Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga
kesehatan untuk menggunakan sumber daya seefisien mungkin •
Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan sosialisasi/pemasaran
pelayanan rumah sakit • Memberikan surplus atau laba yang lebih besar
kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi
rumah sakit yang tidak efisien. Aritnya cara pembayaran DRG akan
mendorong rumah sakit menjadi lebih profesional dan lebih efisien. Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 125 H Thabrany Selain memberikan
keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan sebagai berikut:
• Penerapannnya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup
dominan, misalnya dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau
pemerintah yang membayar pelayanan medis bagi rakyatnya •
Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan, khususnya
pencatat rekam medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem
komputerisasi dan teknologi kumputer kini sangat memudahkan
penyelenggaraan sistem ini • Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan
rumah sakit yang mayoritas pasiennya membayar dari kantong sendiri
sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah yang
diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya. • Pasien
yang tidak memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya
pelayanan medis untuk kasus-kasus katastrofik (yang biaya pengobatan
atau perawatannya besar) Cara pembayaran DRG di Indonesia sudah
menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun demikian,
karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah sakit
oleh pemerintah belum berjalan dengan baik dan belum mencakup
sebagian besar penduduk, maka cara pembayaran DRG hanya sampai
wacana. Berbagai seminar dan studi sudah dilakukan, namun komitmen
pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG untuk
mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah
sakit sendiri belum mendapat insentif atau rangsangan untuk
menggunakan cara pembayaran DRG. 6.4.2. Pembayaran Kapitasi Sejarah
singkat Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya sudah lama digunakan di
Eropa, jauh sebelum HMO (Health Maintenance Organization), yang kita
tiru di Indonesia dengan nama IPKM, menggunakan sistem pembayaran
kapitasi di Amerika. Sistem asuransi kesehatan sosial di Belanda telah
lebih dahulu membayar dokter keluarga dengan cara pembayaran kapitasi
untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-jawab dokter keluarga. Di
Jerman, asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya membayar
kapitasi kepada asosiasi dokter di suatu wilayah dengan cara kapitasi.
Dalam sistem pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi dokter (semacam
ikatan dokter) mendapat dana dari badan asuransi kesehatan sosial
berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di wilayah dimana para
dokter bergabung dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000
orang dan disepakati bahwa tiap orang mendapat pembayaran kapitasi,
katakanlah, Euro 100 setahun; maka asosiasi dokter akan mendapatkan
dana 200.000 x Euro 100 atau Euro 20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini
nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para anggotanya dengan cara
IPP. Tetapi yang mengendalikan dana bukannya badan asuransi, para
dokter itu sendiri yang menjadi pengurus asosiasi yang akan membagikan
dana Euro 20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir semua upaya
asuransi kesehatan dilakukan dalam bentuk asuransi kesehatan sosial
yang bersifat wajib, jadi bukan jual-beli, dengan cara setiap orang
membayar iuran bulanan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 126 H
Thabrany sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya.
Penyelenggaranya adalah badan asuransi, yang bukan perusahaan
asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut tidak mencari
untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalarn manajemen dan
memiliki anggota harnpir seluruh penduduk. Di Amerika, upaya asuransi
kesehatan didominasi dengan sistem asuransi kesehatan komersial yang
berupa jual-beli, baik dalarn bentuk managed care seperti HMO maupun
dalarn bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di Amerika pembayaran
kapitasi lebih dikenal setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di tahun
1973 yang mendorong pembayaran kapitasi dari HMO kepada dokter
dalarn praktek grup dan perorangan (HIAA, Me A; Kongsvedt, 19964
;Bolan,).5 Namun demikian, pembayaran kapitasi kepada perorangan
dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena jumlah orang yang
membeli asuransi HMO tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan
yang dijual di Amerika adalah asuransi kesehatan tradisional yang
membayar fasilitas kesehatan dengan lPP. Karena kondisi yang seperti itu,
maka pembayaran kapitasi di Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran
kapitasi di Eropa. Hakikaf pembayaran kapifasi Pembayaran kapitasi
merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan fasilitas
kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian,
dengan cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang
ditanggung. Di Amerika, ada keharusan bahwa HMO merupakan badan
penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi penuh kepada
fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan
menanggung segala risiko katastropik. 6 Ada mekanisme stop loss dalarn
kontrak kapitasi penuh. Artinya, kalau temyata jumlah orang yang berobat
jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau disepakati dimuka, maka
HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas kesehatan
yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal
ini belum diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk
bearer, maka mekanisme stop loss hamslah juga diberlakukan, jika nanti
cara pembayaran kapitasi ini diterapkan. Hal ini sangat penting dalarn
menjaga kesinarnbungan kontrak kapitasi. Mekanisme pembayaran cara
kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan
memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik
itu asuransi, maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar
kompetitif, fasilitas kesehatan akan memasang tarif sarna dengan tarif
rata-rata di pasar (average market cost). Di semua negara hal ini tidak
terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan
kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia
pemerintahlah yang menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme
pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli, fasilitas kesehatan dapat
menetapkan harga diatas average cost. Dalarn prakteknya, jika tidak ada
pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada
dalarn kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan
kapitasi, fasilitas kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak
biaya per unit pelayanan yang diberikan sarna atau lebih kecil dari
average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan jumlah
kunjungan sehingga revenue akan sarna dengan atau lebih besar dari
revenue jika ia hams melayani pasien dengan cara pembayaran lPP.
Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 127 H Thabrany Cara menghitung
biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk Indonesia saat ini
barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak
fasilitas kesehatan (health care provider) dan badan asuransi yang juga
tidak memiliki informasi yang cukup untuk bisa menghitung besar
pembayaran kapitasi yang memuaskan kedua belah pihak. Oleh
karenanya, perlu dilakukan usaha bersarna untuk menghimpun informasi
yang akurat, agar baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sarna-
sama menanggung risiko dan insentif finansial yang memadai. Jika
pembagian risiko dan insentif tidak memadai maka di masa datang akan
banyak timbul konflik-konflik yang mengancarn kesinarnbungan
pembayaran kapitasi. Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah
sebagai berikut (Thabrany, 2001): 1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan
yang akan dicakup dalarn pembayaran kapitasi 2. Menghitung angka
utilisasi dalam satuan jumlah pengguna per 1.000 populasi yang akan
dibayar secara kapitasi 3. Mendapatkan rata-rata biaya per jenis
pelayanan untuk suatu wilayah 4. Menghitung biaya per kapita per bulan
untuk tiap jenis pelayanan 5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan
untuk seluruh pelayanan. Tabel: Contoh perhitungan kapitasi sebuah
Perusahaan HMO di AS (dikutip dari Steenwyk, 1989)7 Jenis Pelayanan
Rates /1000 orang/th Rata-rata biayaper pelayanan ($) Kapitasi per orang
per bulan ($) Kunjungan rawat jalan Kunjungan rumah sakit Kunjungan
emergensi Checkup BedahMinor Rawatinap Rawat pulang hari yang sarna
Asisten bedah Kebidanan Psikiatri Anestesi Imunisasi dan suntikan Lain
Pelayanan medis lain 3.400 434,5 I 9,78 350 54,61 1,58 ~ 15_0~ ~ O:'~O f
0~,7--_5~1 ,200 1,00 s 2_40-----1 80,0 ; 1,~ f-' 4..:....5--;
""""""""""""""""""""",~"?..9.1.Q"",,,,;-1 -=-3z-, 1.:,...9-11 +-- 4..:....0 ---1
4?..9.,.Qj--- l=,5-=-0-11 I 15 225,0 O,~ a 2_5_, L?.Q.Q,.Q, 3"---,1_3---l1 "! -r-r-
250 85,0 1,7L 80 300,0 2,00 600 I 13,0 0,65 !----------o . 1.000 30,0 2,50 Total
Kapitasi 29,73 Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 128 H Thabrany
Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan secara
luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut (Thabrany, 2001):8 Reaksi posifif
Kapifasi 1. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang berkualitas
tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan
pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini,
pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk
konsultasi atau tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. Taktik ini
dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang berupaya mendapatkan
keuntungan jangka pendek 2. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan
promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka
kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung
ke fasilitas kesehatan yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih
rendah dan biaya pelayanan menjadi lebih kecil. Strategi ini dilakukan oleh
fasilitas kesehatan untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.
Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada pembayar pihak ketiga
tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi kesehatan atau
pemerintah). 3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak
lebih dan tidak kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap
memegang jumlah pasien JK sebagai income security. Hal ini akan
berfungsi baik untuk mencari keuntungan jangka pendek maupun jangka
panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana fasilitas
kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru. Reaksi negafif 1. Jika
kapitasi yang dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat
jalan primer, rawat jalan rujukan dan rawat inap rujukan dan tanpa
diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan,
fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis
atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk
memeriksa menjadi lebih cepat dan risiko finansial menjadi lebih kecil.
Dengan demikian, fasilitas kesehatan primer dan sekunder dapat
mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki. 2. Fasilitas
kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu
lebih banyak untuk melayani pasien non jaminan atau yang membayar
dengan JPP yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan
dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi,
pada kapitasi parsial pihak pembayar ketiga pada akhimya dapat memikul
biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih
mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat
jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya
biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal. Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 129 H Thabrany 3. Fasilitas kesehatan
dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien
kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan
anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek
strategi ini mungkin berhasil menarnbah surplus kepada fasilitas
kesehatan, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan merugikan fasilitas
kesehatan itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai reaksi
negatif prilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran
kapitasi dan yang mendapatkan pembayaran IPP adalah dengan
mengevaluasi utilisasi biaya, status kesehatan, dan kepuasan pasien. Di
Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada evaluasi yang sahih
dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana
keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat tinggi, penelitian
eskperimental dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak
menunjukkan adanya penurunan mutu pelayanan .pada HMO yang
membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sarnpai 30% (Rand,
1993). Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan
asuransi merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer
risiko tidaklah berarti bahwa fasilitas kesehatan harus menanggung rugi
karena informasi yang tidak memadai. Trasfer risiko dengan pembayaran
kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi utilisasi
yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas
kesehatan untuk menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi
bagi fasilitas kesehatan adalah fluktuasi normal dan pemberian insentif
kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usaha usaha pencegahan
guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi haruslah
diketahui bersarna. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan
asuransi dan fasilitas kesehatan harus cukup memadai agar be saran
pembayaran kapitasi tidak menyebabkan salah satu pihak menderita
kerugian sistematis. Jadi dalam sistem pembayaran kapitasi, telaah
utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal. Pertarna,
telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan asuransi dan
fasilitas kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selarna ini
sudah pas, pada titik optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal
menunjukkan mutu pelayanan yang tidak memenuhi standar. Sementara
utilisasi yang berlebihan merugikan fasilitas kesehatan. Telaah utilisasi
dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi dan fasilitas
kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan
mana yang rajin merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi
ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah keluhan anggotaipeserta
tentang kualitas yang kurang memadai memang terjadi. Keterbukaan dan
saling percaya merupakan faktor yang sangat penting yang secara
periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini,
sehingga badan asuransi dan fasilitas kesehatan sarna-sarna mengetahui
besarnya risiko yang ditransfer dari badan asuransi ke fasilitas kesehatan.
Dengan demikian, maka besaran kapitasi menjadi fair (adil). Pembayaran
kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan menghasilkan status
kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan hubungan
badan asuransi dan fasilitas kesehatan. Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 130 H Thabrany Dalam mengkomunikasikan data utilisasi,
badan asuransi dan fasilitas kesehatan hams sama-sama menyadari
bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan dan di luar fasilitas
kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari
waktu ke waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok
penduduk lain. Sementara di antara berbagai fasilitas kesehatan terjadi
juga variasi yang sarna. Besaran pembayaran kapitasi dihitung
berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya
variasi yang terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat
menimbulkan salah pengertian jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Besarnya pembayaran kapitasi dengan penyesuaian terhadap besarnya
risiko yang hams ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan atau suatu
kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan
untuk lebih menjamin keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini
tidak didasarkan atas variasi utilisasi di dalam suatu fasilitas kesehatan,
akan tetapi atas dasar variasi risiko kelompok suatu fasilitas kesehatan
yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota seluruhnya. 6.4.3.
Pembayaran per kasusJpaket Sistem pembayaran per kasus (case rates)
banyak digunakan untuk membayar rumah sakit dalam kasus-kasus
tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan pembayaran DRG, yaitu
dengan mengelompokan berbagai jenis pelayanan menjadi satu kesatuan
(Kongstvedt, 1996). Pengelompokan ini hams ditetapkan dulu dimuka dan
disetujui kedua belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar.
Sebagai contoh, kelompok pelayanan yang disebut per kasus misalnya
pelayanan persalinan normal, persalinan dengan sectio, pelayanan ruang
intensif akan tetapi tidak berdasarkan diagnosis penyakit. Rumah sakit
akan menerima pembayaran sejumlah tertentu atas pelayanan suatu
kasus, tanpa mempertimbangkan berapa banyak dan berapa lama suatu
kasus ditangani. Sebagai contoh yang paling umum adalah persalinan
normal, misalnya Rp 2 juta per persalinan normal. Rumah sakit akan
mendapat pembayaran sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu persalinan ada
persalinan yang memerlukan infus, partus lama, ada perdarahan lebih dari
normal, ada yang dirawat satu hari atau empat hari. Seperti juga pada
pembayaran DRG, dengan pembayaran per kasus, RS akan didorong untuk
lebih cermat dalam melakukan diagnosis, lebih hemat dalam
menggunakan sumber daya, lebih cermat dalam pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan penunjang lain. Apabila sebuah RS yang telah sepakat
mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu melayani suatu persalinan dengan
biaya hanya Rp 1,5 juta, maka RS tersebut mendapat surplus atau laba.
Akan tetapi, kalau karena kecerobohan dokter, bidan atau perawat
menyebabkan terjadi suatu komplikasi, sehingga baik si ibu maupun si
bayi dirawat lebih lama dan menghabiskan biaya Rp 3 juta, maka rumah
sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta pada kasus itu. Di Indonesia
sesungguhnya pembayaran per kasus sudah sering digunakan dengan
mengelompokan pembedahan menjadi bedah mikro, bedah kecil, bedah
sedang, bedah besar, bedah khusus, perawatan satu hari (one day care)
dan sebagainya. Yang belum terjadi di Indonesia adalah tarif yang sarna
untuk kasus yang sarna di berbagai rumah sakit. Akibatnya, pasien
perorangan yang hams membayar DKS tidak mempunyai pilihan yang tepat
dan tidak selalu dapat memilih tarif per kasus yang sesuai dengan
kantongnya. Apabila pemerintah Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
131 H Thabrany menetapkan tarif per kasus yang berlaku sarna di semua
rumah sakit di suatu daerah, maka kondisi pasien yang pada umumnya
tidak terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di Malaysia dan Singapura
misalnya, pemerintah bersama organisasi profesi telah menetapkan tarif
untuk berbagai kasus di rumah sakit swasta sehingga pasien bisa
mengira-ngira besarnya yang harus ia bayar. Sedangkan untuk RS publik di
Malaysia, penduduk hanya membayar per diem yang sangat murah. Di
Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola
oleh Health Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit.
Setiap penduduk Muangtai yang berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai
negeri dan bukan pegawai swasta (yang keduanya sudah memiliki jaminan
kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) setiap kali
berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per
kasus atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai
tersebut hanya merupakan copayment, pembayaran formalitas bahwa
perawatan yang diterimanya tidak gratis. Hampir seluruh biaya perawatan
tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh pemerintah Muangtai kepada
RS. 6.4.4. Pembayaran per diem Pembayaran per diem merupakan
pembayaran yang dinegosiasi dan disepakati dimuka yang didasari pada
pembayaran per hari perawatan, tanpa mempertimbangkan biaya yang
dihabiskan oleh rumah sakit (Kongstvedt, 1996). Misalnya suatu badan
asuransi atau pemerintah membayar per hari perawatan di kelas III
sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus apapun yang sudah mencakup
biaya ruangan, jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksanaan penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit
yang efisien dapat mengendalikan biaya perawatan dengan memberikan
obat yang paling cost effective, memeriksa laboratorium hanya untuk jenis
pemeriksaan yang memang diperlukan benar, memiliki dokter yang dibayar
gaji bulanan dan bonus, serta berbagai penghematan lainnya; akan
mendapatkan surplus. Esensi pembayaran per diem adalah pembayaran
dalam sistem mekanisme pasar, dimana RS hams memenuhi kebutuhan
dananya sendiri yang tidak mendapat dana dari pemerintah. Di Malaysia,
penduduk Malaysia juga membayar per diem untuk perawatan di RS
pemerintah sebesar 3 RM per hari (sekitar Rp 6.300), meskipun si pasien
perlu dirawat di ruang perawatan intensif atau memerlukan transplantasi
sumsum tulang. Kalau penduduk Malaysia dirawat di Institut Jantung
Nasional maka ia hanya membayar 10 RM per hari. Meskipun pembayaran
tersebut merupakan pembayaran per diem, akan tetapi sifatnya berbeda.
Karena sesungguhnya, biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit bisa jadi
lebih dari 2.000 RM per hari. Hanya saja, pemerintah yang membayar
hampir seluruh biaya yang dihabiskan RS, bukan si pasien atau pembayar
pihak ketiga. Rumah sakit publik mendapatkan dana secara global, seperti
yang akan dibahas dalam kemudian. Pembayaran per diem yang berbasis
pasar dapat juga dimodifikasi dengan melakukan kombinasi kasus atau
jenis tindakan (Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS dapat negosiasi
untuk mendapatkan pembayaran per diem untuk kasus pembedahan yang
berbeda dengan pembayaran per diem untuk kasus tanpa pembedahan.
Demikian juga RS dapat bemegosiasi Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 132 H Thabrany untuk mendapatkan pembayaran per diem
dengan atau tanpa perawatan intensif. Modifikasi lain juga dapat
dilakukan dengan sliding scale per diem. Dalam cara pembayaran ini,
badan asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat, misalnya
kurang dari 1.000 hari rawat per tahun, akan membayar sedikit lebih
mahal per hari dibandingkan dengan badan asuransi yang membayar lebih
dari 3.000 hari rawat per tahun. Modifikasi per diem dapat juga dilakukan
dengan tarif per diem differensial. Pada pembayaran per diem differensial,
rumah sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih tinggi pada
beberapa hari pertama dan tarifper diem yang lebih rendah pada hari
tertentu (misalnya hari ke lima) dan seterusnya. 6.4.5. Global budget
Global budget (anggaran global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa
(Sandier, dkk, 2002)10 dan juga di Malaysia. Sesungguhnya global budget
merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu badan
asuransi kesehatan nasional dimana RS mendapat dana untuk membiayai
seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dana ke RS tersebut
diperhitungkan dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun
sebelumnya, kegiatan lain yang diperkirakan akan dilaksanakan, dan
kinerja RS tersebut. Manajemen RS mempunyai keleluasaan mengatur
dana anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional,
pemeliharaan RS, dll, Sistem ini pada umumnya dilaksanakan di negara-
negara dimana penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit tanpa
hams membayar atau membayar sedikit copayment. Sebelumnya
pendanaan dilakukan dengan anggaran global, rumah sakit mendapat
anggaran rutin dalam bentuk gaji pegawai, belanja pemeliharan, belanja
investasi dan sebagainya. Dengan model belanja seperti anggaran belanja
pemerintah Indonesia yang lalu, dimana ada anggaran rutin dan anggaran
pembangunan, dana yang mengalir ke rumah sakit sering tidak efisien
atau dikorupsi. Untuk memberi insentif kepada manajemen RS agar lebih
efisien, maka manajemen RS diberikan sejumlah dana atau anggaran
global dengan kehamsan mencapai target jumlah dan kualitas pelayanan
tertentu kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan
cara demikian, maka anggaran akan lebih terkendali. 6.5. Ringkasan
Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit, bukanlah
pelayanan yang dapat mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan
bengkel mobil atau pelayanan hotel. Akibatnya, mekanisme pasar yang
dapat mengendalikan biaya tidak terjadi di dalam pelayanan kesehatan.
Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yang
lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan
meningkat karena ada inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru
dan peningkatan kualitas pelayanan karena adanya teknologi dan tuntutan
baru. Berbagai pihak berupaya melakukan pengendalian biaya pelayanan
kesehatan dengan berbagai cara pembayaran. Cara pembayaran
tradisional yang jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan
(pembayaran retrospektif) justeru memberikan dorongan bagi inflasi yang
lebih tinggi dan pemberian pelayanan baru yang semakin mahal. Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 133 H Thabrany Para ahli ekonomi
kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara pembayaran
prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka,
meskipun pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara
pembayaran prospektif terdiri atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran
DRG, per kasus/paket, per diem, ambulatory patient group, dan
pembayaran anggaran global. Masing-masing cara pembayaran
membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima
satu atau lebih cara pembayaran. Rujukan 1 Thabrany, Hasbullah. 2005.
Pendanaan Kesehatan di Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005 2
Beck, Donald F. 1984. Principles of Reimbursement in Health Care. Aspen
Publication. Rockville, MD. USA. P 12 3 Smith, Howard L. dan Fottler,
Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville, MD.
USA.p2 4 Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook.
3rd Ed. Aspen Publication. Gaitersburg, MD, USA, 5 Bolan, Peter. Making
Managed Healthcare Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions.
1993. Aspen Publication, Gaitersburg, MD. USA 6 HIAA. 1997. Managed
Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care. Part A.
Washington, DC, USA. 7 Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates:
Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R. Ed) The
ManagedHealth Care Handbook Aspen Pub., Rockville, NM. 8 Thabrany,
Hasbullah. Rasional Pembayaran Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDL 2001 9
Rand Corporation. Free for All. 10 Sandier, Simon; Polton, Dominique;
Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges.
Europen Observatory Health Care System. Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 134 H Thabrany BAB7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam
Sistem laminan Sosial Nasional Sistem pendaaan kesehatan di Indonesia
kini menderita penyakit kronis dan masyarakat Indonesia dapat menjadi
miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya yang hams
dirawat di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan
seluruhnya atau sebagian besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik
pusat maupun daerah) seperti yang dilakukan Muangtai dan Malaysia tidak
bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan pejabat kita belum menerima
konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia Indonesia yang
tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan
pendanaan pelayanan kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi
seluruh rakyat dinilai menghabiskan dana publik. Dalam kondisi seperti ini,
skema asuransi sosial yang bersifat wajib dan didanai dari iuran yang
proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan pasti terjangkau
semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah
disetujui DPR tanggal 28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-
Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Upaya yang telah dirintis
lebih dari tiga tahun akhimya membuahkan hasil tahun 2004. Berikut ini
disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya Allah
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun
sebelum konsep pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut
dibahas rinci, untuk memberikan pemahaman mengapa altematif tersebut
terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan dan kelemahan dari
beberapa altematif terpilih. 7.1. Alternatif Penyelenggaraan, Suatu Analisis
Pilihan altematif penyelenggaraan asuransi kesehatan so sial dapat
dianalisis dari dua sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan
dari sisi paket jaminan atau manfaat yang menjadi hak peserta. Badan
penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di tingkat nasional (single
payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara
aktuarial memenuhi hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di
tingkat nasional (oligo payer) atau oligopoli di tingkat daerah, dan dapat
terdiri atas banyak badan penyelenggara (multi payer) baik di tingkat
nasional maupun daerah. Tiap pilihan mempunyai keunggulan dalam
efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap masalah di
lapangan. Semua pilihan sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam
hal ini. Akan tetapi masing-masing altematif memiliki nilai plus dan
minusnya. Pilihan altematif paket jaminan (manfaat) sesungguhnya tidak
banyak, kecuali kalau kita akan membahas secara rinci masing-masing
pelayanan yang dijamin dan yang tidak AKN dalam SJSN 135 HThabrany
dijamin. Disini akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat
inap dan biaya medis yang mahal saja yang dijamin, pelayanan
komprehensif dengan urun biaya (cost sharing) untuk pelayanan tertentu
dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan komprehensif tanpa urun
biaya. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi
dapat dilihat pada matriks di bawah ini Paket jaminan dimulai dengan
Penyelenggara Opsi I. Rawat Inap Opsi Il, Komprehensif OpsillI. dan biaya
mahal dengan cost sharing Komprehensif tanpa cost sharing Single payer
di Efisien, egaliter, Efisien, egaliter, Kurang efisien, ega- tingkat Nasional
manajemen paling manajemen lebih liter, manajemen atau Provinsi .
mudah, sustaina- kompleks, sustain- kompleks, sustaina- bilitas tinggi
abilitas tinggi bilitas tinggi Oligo payer di Efisien, egaliter Efisien, egaliter
dalam Kurang efisien, ega tingkat National dalam kelompok, kelompok,
manajemen liter dalam kelom pok, atau Provinsi manajemen paling lebih
kompleks, manajemen kompleks, mudah, sustaina- sustainabilitas tinggi
sustaina bilitas tinggi bilitas tinggi Multi payer 1 di Kurang efisien, Kurang
efisien, egaliter Lebih kurang efi sien, pusatJ provinsi egaliter dalam
kelom dalam kelom pok, egaliter dalam kelom pok, manajemen mu
manajemen mudah, risk pok, manaje men dah, risk pool mung pool
mungkin masalah, mudah, risk pool kin masalah, sustaina sustainabilitas
mungkin mungkin ma salah, bilitas mungkin masalah sustainabilitas
mungkin masalah masalah Multi payer 2 di Kurang efisien, Kurang efisien,
egaliter Paling tidak efisien, tingkat egaliter dalam dalam kelompok,
egaliter makin terbatas, provinse~ab-kota kelompok, manajemen
kompleks, manajemen sukar, risk manajemen mudah, risk pool masalah,
pool masalah besar, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas ancaman
sustainabilitas ancaman sustainabilitas Multipayer 3, Lebih kurang efisien,
Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien, dengan banyak egaliter dalam
dalam egaliter makin terbatas, badan dari pusat kelompok,
kelompok,manajemen manajemen sukar, risk sampai kab-kota manajemen
sukar, kompleks, risk pool pool masalah besar, risk pool masalah,
masalah, ancaman ancaman sustainabilitas sustainabilitas sustainabilitas
masalah AKN dalam SJSN 136 HThabrany Sesungguhnya kelebihan dan
kekurangan dari penyelenggaraan dan paket jaminan pelayanan yang
disediakan bervariasi luas. Yang banyak terjadi di beberapa negara,
karena latar belakang politik dan sosial yang beragam, variasi luas yang
terjadi umumnya dalam badan penyelenggara, bukan dalam paket jaminan.
Setelah didiskusikan bersama oleh berbagai unsur, altematif badan
penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan kekurangan
tersebut dapat diringkas dan disederhanakan seperti disajikan dari hasil
rumusan sebagai berikut. Unsur Single Single Oligo Single Multi Multi
payer payer payer collector, payer payer Nasional Propinsi Nasional multi
payer district I district II Efisiensi +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas,
konsumen + ++ ++ ++++ ++++ ++++ Kualitas, fasilitas ++++ +++ +++ +++ +
+/- kesehatan Ketetjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++
++ +++++ +++++ +++ ++ +/- Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity
+++++ ++++ +++ ++++ ++ +/- Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/-
Desentralisasi +/- +++ +/- ++ ++++ ++++ Di dalam pengambilan keputusan
bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita hams mencermati kelebihan
dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan.
Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin
pas untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah
menjadi bentuk yang lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi nasional
meskipun banyak memiliki kelebihan mungkin sulit dilakukan saat ini
karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam prakteknya,
pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit
dan paling dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak.
Undang-Undang SJSN telah memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan
asuransi kesehatan nasional di Indonesia paling tidak akan menjadi oligo-
payer, ada dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang
menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi
bertujuan mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah
daerah tidak perlu khawatir, sebab meskipun penyelenggara di daerah
adalah kantor cabang PT Askes atau PT Jamsostek, pekerjanya adalah
orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan kepada fasilitas
kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat
yang digunakan olehpusat. AKN dalam SJSN 137 HThabrany 7.2.
Rancangan Asuransi Kesehatan Nasionallndonesia: Suatu Skenario
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa
Bangsa di tahun 1947 telah menempatkan kesehatan sebagai salah satu
hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan
manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh Konvensi International
Labor Organization (ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak tenaga
kerja atas sembilan macam jaminan termasuk di antaranya Jaminan
Kesehatan. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi
tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya jaminan
kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan
negara. Untuk Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah
mewujudkan jaminan kesehatan mereka sejak tahun 1968. Akan tetapi
anak yang ditanggung hanya sampai dua anak dan peserta masih hams
membayar urun biaya yang cukup banyak untuk pelayanan yang dijamin,
khususnya pelayanan yang mahal biayanya. Meskipun secara proporsional
tampaknya tidak begitu besar, akan tetapi beban biaya riil masih besar.
Sebagai contoh, untuk operasi jantung memang PT Askes menjamin
sampai Rp 112 juta, namun peserta masih hams membayar sampai Rp 36
juta. Jumlah yang hams dibayar peserta pegawai negeri tersebut, masih
besar sekali, lebih dari satu tahun gajinya. Di tahun 1992 Indonesia telah
mengeluarkan UU Jamsostek yang juga mewajibkan majikan
membayarkan iuran untuk jaminan kesehatan. Sayang, karena PP 14/1993
membolehkan opt out (perusahaan yang bisa memberikan pelayanan yang
lebih baik boleh tidak ikut) cakupan program JPK dari Jamsostek tidak
lebih dari 1,2 juta tenaga kerja. Selain itu manfaatnya masih sangat
terbatas. Pengobatan penyakit kanker, sakit jantung, dan hemodialisa
tidak dijamin. Ini sangat ironis, sebab asuransi bertujuan menghilangkan
beban biaya yang besar, tetapi program JPK Jamsostek justeru tidak
menjamin pelayanan yang mahal yang tidak sanggup ditanggung sendiri
oleh pekerja. Selain itu, pegawai swasta yang pensiun, yang
penghasilannya berkurang atau tidak ada sama sekali, usia yang tua
memiliki risiko sakit yang tinggi, tidak mendapat jaminan karena program
Jamsostek hanya menjamin dikala pekerja masih aktif. Kedua program
jaminan tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak mengalami perbaikan
berarti untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup
dan kebutuhan kesehatan telah berubah banyak. Program jaminan, yang
dapat digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup
memadai. Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum terwujud
sama sekali. Jumlah dana jaminan sosial yang terkumpul oleh dua
program jaminan hari tua dan pensiun (PT Jamsostek dan PT Taspen)
sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau kurang dari 2
% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai
daya ungkit ekonomi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk merealisasi komitmen global Indonesia dalam bidang jaminan
sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat RI di tahun 2000 dan 2002
telah mengamendemen UUD 1945 dengan mencantumkan pasal 28H dan
pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan
Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial mencakup
jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan
kerja, AKN dalam SJSN 138 HThabrany dan jaminan kesehatan termasuk
jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD
tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan
(sekaligus meningkatkan produktifitas rakyat dan negara) bagi seluruh
rakyat dengan mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah
sangat kuat. Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial
tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang
membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh
almarhumah Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas Deputi
Wakil Presiden untuk Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN.
Sebelum dikeluarkan Keppres tersebut, tim sudah dibentuk dibawah SK
Menko Kesra dan kemudian SK Sekretaris Wakil Presiden yang pada
waktu itu masih dijabat oleh Megawati Seokarnoputri. Setelah Prof Yaumil
meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi menjadi Ketua Tim
SJSN dengan Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai
anggota Tim dan bertugas sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan
dan kemudian bertugas sebagai Konsultan Asian Development Bank untuk
membantu Tim menyusun Naskah Akademik dan RUU SJSN sampai RUU
disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya Tim, empat orang yang berperan
penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra Hattari, FSAI
(aktuaris dan ahli jaminan pensiun), Prof Sentanoe (ahli jamianan sosial),
Prof Yaumil A. Achir, dan Drs. Mungid telah meninggal dunia sebelum
menyaksikan hasil karya besar bangsa. Dalam merumuskan konsep
jaminan so sial untuk Indonesia Tim menyepakati suatu jaminan sosial
hams dibangun diatas tiga pilar yaitu: Pilar pertama yang terbawah adalah
pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak
mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam prateksnya, bantuan
sosial ini diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah agar mereka
yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN. Pilar
kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi
yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan
(meskipun kecil) dengan membayar iuran yang proporsional terhadap
penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini merupakan fondasi SJSN
untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti dan
diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik). Pilar ketiga
adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan
jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan
mampu menyediakan jaminan tersebut (pilar jaminan swastaiprivat). Pilar
ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi
kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-
program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti
investasi saham, reksa dana, atau membeli properti sebagai tabungan bagi
dirinya atau keluarganya. Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan, yang
akan dipenuhi adalah keinginan (want, demand) sedangkan pada dua pilar
pertama yang dipenuhi adalah kebutuhan (need). AKN dalam SJSN 139
HThabrany Tim SJSN telah menyepakati untuk mengembangkan substansi
jaminan sosial yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Semula
disiapkan untuk menyediakan Jaminan Penanggulangan Pemutusan
Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan selesainya konsep
SJSN dan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah
mewajibkan majikan membayar pesangon apabila terjadi PHK, maka
JPPHK kemudian dihilangkan. Tim juga bersepakat untuk memperbaiki
sistem jaminan sosial yang ada (yang dikelola oleh PT ASABRI, PT Askes,
PT Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi jaminan yang
seragam tanpa membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya
konsep Jaminan Sosial Nasional akan mendirikan tiga lembaga yaitu
Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan suatu lembaga Tri
Partit (Majelis Wali Amanat) yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan
umum dan pengawasan yang tidak operasional. Selain itu dibentuk satu
Administrasi Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola
kepesertaan, mengumpulkan iuran dan mengelola dana. Terkahir adalah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua badan yaitu
Satu Badan yang mengelola program yang bersifat jangka panjang
(jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan
pemutusan hubungan kerja) dan satu Badan Penyelenggara Jaminan yang
bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan
pemeliharaan kesehatan). Namun demikian, karena berbagai ketakutan
kehilangan peran, usul ini ditolak beberapa wakil dari Departemen dan
wakil Badan Penyelenggara yang ada. Sebagai kompromi akhimya
disepakati bahwa keempat badan penyelenggara tetap beroperasi sendiri-
sendiri tetapi hams berubah tujuan menjadi lembaga yang nirlaba, seseuai
dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini
belum diputuskan apakah tugas keempat badan penyelenggara tersebut
akan tetap atau akan ada spesialisasi penyelenggaraan seperti yang
diinginkan oleh sebagian anggota DPR dan anggota Tim SJSN. Tim juga
telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan penduduk
yang bekerja dengan orang/badan dengan menerima upah dan penduduk
miskin. Kelompok penduduk ini semula disebut sektor formal yang
merupakan sektor yang paling mudah dike lola, namun karena dalam
debat-debat di DPR tidak ada satu definisi sektor formal dan informal yang
pas, akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan. Secara
bertahap jaminan akan diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak
menerima upah/gaji secara rutin seperti kelompok pedagang, petani,
nelayan, dan pekerja rumah tangga sehingga suatu saat seluruh rakyat
mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif.
Pentahapan kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami
dalam UU SJSN. Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau
melandasi sistem jaminan sosial di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 1945
amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas
pelayanan kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas
jaminan sosial. 2. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat 3. UUD 1945
amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan yang layak 4. UU No 3/1992 tentang
Jamsostek 5. PP 69/1991 tentang JPK PNS 6. UU No 23/1992 tentang
Kesehatan, khususnya pasa166 AKN dalam SJSN 140 HThabrany 7. UU
43/1999 tentang pegawai negeri sipil 8. PP Nomor 2812003 tentang
asuransi kesehatan pegawai negeri. 7.3. Ringkasan untuk sub sistem AKN
Dasar pertimbangan utama perluasan AKN adalah rendahnya cakupan
asuransi kesehatan di Indonesia jika dibandingkan dengan cakupan
asuransi kesehatan di negara tetangga. Di Muangtai, sudah 100%
penduduknya (cakupan universal) memiliki jaminan kesehatan. Di Filipina,
cakupan asuransi kesehatan nasional sudah mencapai hampir 60%
penduduk. Di Indonesia, data Susenas 2001 menunjukkan bahwa baru
sekitar 40 juta penduduk (20,2 %) memiliki jaminan kesehatan dengan
manfaat yang bervariasi. Dari jumlah itu, 6,8 % atau sekitar 13,2 juta
penduduk memiliki jaminan dalam bentuk Kartu SehatlJPK Gakin atau
jaminan yang bersifat sementara. Dengan demikian, hanya sekitar 27 juta
penduduk (hampir 14 %) saja yang memiliki jaminan yang
berkesinambungan, ini tidak jauh berbeda dengan angka 13% penduduk
yang terjamin di tahun 1992. Padahal, data-data survei angkatan kerja
maupun data Susenas menunjukkan bahwa sekitar 30 juta penduduk
bekerja di perusahaan, badan, atau pemerintah. Jika rata-rata setiap
pekerja memiliki tiga tanggungan saja, maka sekitar 90 juta jiwa
sehamsnya sudah memiliki jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang
dimiliki oleh 14 % penduduk itupun tidak seragam dan tidak selalu
memenuhi kebutuhan dasar medis karena masih tingginya urun biaya (cost
sharing) untuk pelayanan mahal seperti pengobatan kanker, hemodialisa
dan operasi jantung atau bahkan tidak dijamin sama sekali dalam program
JPK Jamsostek atau jaminan yang diberikan oleh perusahaan. Sebagian
dari mereka yang memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh
majikan) juga menerima manfaat asuransi yang bervariasi yang tidak
selalu memenuhi kebutuhan dasar medis pekerja dan keluarganya.
Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan
kesehatan disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama
tidak disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya
konsep dan manfaat jaminan atau asuransi sosial. Oleh karenanya,
perubahan perundangan untuk memperluas cakupan penduduk dan
memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi. a. Tujuan
dan Manfaat. Perluasan program Asuransi Kesehatan Nasional dalam
SJSN bertujuan untuk memperluas cakupan penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan yang memenuhi kebutuhan dasar medis, tanpa
membedakan status ekonomi penduduk. Dengan pemenuhan kebutuhan
dasar medis, penduduk akan dengan tenang melakukan kegiatan
produksinya setiap hari (belajar dan bekerja) sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penghasilan atau pajak
penjualan hasil produksi penduduk tersebut. Perlu dicatat bahwa
pengertian kebutuhan dasar medis bukanlah pelayanan medis (kesehatan)
yang murah harganya seperti pelayanan dokter praktek, puskesmas, atau
obat generik. Kebutuhan dasar medis adalah kebutuhan pelayanan medis
yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, sehingga termasuk
disini pelayanan hemodialisa atau bedah jantung sekalipun, AKN dalam
SJSN 141 HThabrany selagi tindakan medis tersebut memang diperkirakan
oleh dokter (secara obyektif) akan efektif untuk penyembuhan atau
mengembalikan produktifitas pasien. Pelayanan perawatan di kelas I atau
VIP di rumah sakit pemerintah atau RS swasta bukanlah kebutuhan dasar
medis. Pemberian obat yang sekedar menghilangkan gatal-gatal atau
menjadikan penampilan seseorang lebih gagah atau lebih cantik, bukanlah
kebutuhan dasar medis. b. Prinsip dasar AKN Penyelenggaraan AKN
dilaksanakan berdasarkan pnnsip-pnnsip asuransi sosial yang menjamin
solidaritas luas diantara berbagai kelompok penduduk, penerapan teknik
kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan
yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua
penduduk turut serta, maka seluruh pemberi kerja diwajibkan
mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke BPJS yang
menyelenggarakan AKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke
rekening BPJS tersebut. Besarnya iuran belum ditetapkan dalam UU SJSN
dan akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun besaran iuran
diperkirakan antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang ditanggung bersama
antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Pada program Jamsostek yang
pada tahun 2004 masih berlaku, besaran iuran adalah 3% untuk pekerja
lajang dan 6% untuk pekerja yang telah berkeluarga. Perbedaan besaran
iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi kerja dengan mendaftarkan
tenaga kerja, umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai tenaga
kerja lajang guna mengurangi kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN
seharusnya tidak lagi dibedakan antara pekerja lajang dan pekerja yang
telah berkeluarga, seperti yang juga diterapkan di seluruh negara di dunia.
Penduduk miskin akan didaftarkan oleh pemerintah (kemungkinan yang
terbaik adalah oleh Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial) dari suatu
Kota/kabupaten. luran penduduk miskin dan tidak mampu (mempunyai
penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh Pemerintah.
Besaran iuran penduduk miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam
prakteknya iuran ini hams diperhitungkan sebesar rata-rata iuran bagi
pekerja di daerah tersebut agar kebutuhan kecukupan dana (prinsip
adequacy dalam perhitungan aktuaria dapat terpenuhi). Bagi pekerja
mandiri, iuran sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata pendapatan
dari berbagai kelompok pekerjaan. Misalnya untuk petani mandiri, tukang
becak, dan nelayan mandiri ada satu besar iuran. Untuk sopir taksi,
pedagang kios di pasar, atau pedagang kios di pusat perbelanjaan yang
dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari kelompok petani, karena nilai
rata-rata penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi. Peserta
yang telah terdaftar (baik yang bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan
oleh pemerintah atau pemberi kerja) akan mendapatkan kartu peserta
untuk berobat di fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dan sepakat
memberikan pelayanan dengan standar mutu yang ditetapkan BPJS.
Dengan demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu
membedakan pelayanan bagi kelompok miskin maupun kelompok yang
berpenghasilan rendah. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali
peserta memerlukan pelayanan tertentu, maka peserta hams membayar
urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi cukup mengendalikan
pelayanan dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP, hendaknya
bervariasi antara 10 %-30 % tergantung jenis pelayanan. Untuk
menghindari beban berat bagi peserta, maka urun biaya harus dibatasi
sampai jumlah maksimum tertentu, AKN dalam SJSN 142 HThabrany
misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun biaya merupakan hak
fasilitas kesehatan yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi
pembayaran prospektif dari BPJS kepada fasilitas kesehatan. Untuk
mengurangi moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS hams
melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan
penggunaan dan kualitas pelayanan yang diterima peserta. c. Strategi
pengembangan Undang-undang memang belum rinci menggariskan
strategi pengembangan program dan perluasan kepesertaan. Mudah-
mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat dirumuskan. Berikut
ini disajikan strategi hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan
untuk perluasan kepesertaan AKN maupun pengembangan sistem
pelayanan kepada anggota dan pembayaran kepada fasilitas kesehatan.
Karena pada saat ini masih banyak jumlah penduduk di sektor formal yang
belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama perluasan
kepesertaan akan dipusatkan pada kelompok sektor formal, khususnya
yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin sebagai pengganti
program JPSBKlJPK Gakin yang kini sudah dimulai oleh Depkes dengan
menjaminkan sekitar 54 juta penduduk termiskin melalui subsidi iuran ke
PT Askes. Prioritas kedua kelompok ini didasarkan pada pertimbangan
kemudahan mengumpulkan iuran yang merupakan faktor esensial dalam
suksesnya SJSN. Hal ini juga berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan
fasilitas kesehatan untuk melayani jumlah peserta yang besar. Sasaran
perluasan lima tahun pertama ditujukan kepada tenaga kerja yang saat ini
sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan, Pemda
mendaftarkan dan membayarkan iuran penduduk miskin yang kini
menerima JPK Gakin kepada BPJS yang ditunjuk. Kepesertaa penduduk
pekerja mandiri (sektor informal) hams tetap terbuka secara aktif. Artinya
penduduk itu sendiri yang berinisiatif mendaftar, akan tetapi mereka hams
siap membayar secara rutin, bukan hanya pada saat mereka menderita
sakit dan membutuhkan pelayanan. Penegakan hukum, atau upaya aktif
BPJS mendatangi penduduk sektor ini hendaknya tidak dilakukan dalam
10 tahun pertama, karena biaya administratifnya akan sangat besar dan
tidak sebanding dengan iuran yang akan terkumpul. Untuk menjamin
bahwa penduduk sektor informal dapat memenuhi kebutuhan dasr
medisnya, maka pelayanan kesehatan di fasilitas pemerintah masih hams
tetap mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi mereka yang belum
menjadi peserta AKN. d. Kelembagaan. Secara prinsip, Tim SJSN telah
sepakat bahwa badan penyelenggara hamslah bersifat nirlaba (prinsip
Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan kelembagaan
dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin
terpusat, penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi
juga kurang responsif terhadap perubahan kebutuhan peserta. Sebaliknya
semakin banyak penyelenggara maka semakin tidak efisien dan tidak
portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan kebutuhan
peserta. Agar penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta,
maka biaya administrasi dibatasi AKN dalam SJSN 143 HThabrany sampai
maksimum 5% dari seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN
telah menyepakati mengambil bentuk BPJS yang terpusat, yang
kemungkinannya diberikan kepada PT Askes atau PT Jamsostek atau
kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi kurang responsif terhadap
tuntutan peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor cabang
di daerah hams diberikan otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk
antisipasi hal ini, UU telah menggariskan bahwa besaran pembayaran dan
cara pembayaran antara BPJS kepada fasilitas kesehatan dinegosiasikan
di tingkat wilayah. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sistem
pembayaran dan besaran pembayaran antar daerah, yang memang
memiliki karakteristik yang berbeda. Ini adalah salah satu contoh otonomi
kantor cabang di daerah yang diberikan UU untuk menampung tuntutan
masyarakat di daerah. Prinsip Dasar: • Prinsip solidaritas sosial atau
kegotong-royongan. Jaminan Kesehatan Nasional (AKN) diselenggarakan
berdasarkan mekanisme asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan
universal (universal coverage) yang akan dicapai secara bertahap,
sehingga tercipta subsidi silang antara yang kaya kepada yang miskin,
antara yang muda kepada yang tua, antara yang sehat kepada yang sakit,
dan antara daerah kaya ke daerah miskin. • Prinsip efisiensi. Manfaat
terutama diberikan dalam bentuk pelayanan yang terkendali, baik utilisasi
maupun biayanya. manfaat dalam bentuk santunan uang hanya diberikan
untuk kondisi tertentu. Dalam efisiensi sistem (pengendalian biaya),
peserta diwajibkan membayar urun biaya dalam bentuk (co-insurance)
atau co-payment setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan tertentu.
Co-insurance adalah pembayaran dalam bentuk prosentese tertentu dari
biaya kesehatan yang dihabiskannya. Sedangkan co-payment adalah
pembayaran dalam jumlah tetap per kali kunjungan atau perawatan. •
Prinsip ekuitas. Program AKN diselenggarakan berdasarkan pnnsip
keadilan dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa,
agama, aliran politik, dan status ekonomi, hams memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar medisnya dan membayar iuran
sesuai dengan kemampuan ekonominya. • Prinsip portabilitas. Seorang
peserta tidak boleh kehilangan perlindungan/jaminan bagi dirinya atau
anggota keluarganya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah kerja, atau
sementara tidak bekerja. • Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan
program AKN diselenggarakan atas dasar tidak mencari atau memupuk
laba untuk sekelompok orang atau pemerintah, akan tetapi
memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa
anggaran atau hasil usahalnilai tambah. Badan penyelenggara juga tidak
membayarkan dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha atau
keuntungan yang diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha atau
anggaran yang tidak AKN dalam SJSN 144 HThabrany digunakan disimpan
dan diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke tahun.
Apabila jumlah dana cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka
besaran iuran oleh seluruh peserta akan diturunkan Prinsip tambahan yang
perlu diperhatikan adalah: • Prinsip responsif. Penyelenggaraan AKN hams
responsif terhadap tuntutan peserta sesuai dengan perubahan standar
hidup para peserta yang mungkin berbeda dan terns berkembang di
berbagai daerah • Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian manfaat,
tidak boleh terjadi duplikasi jaminan atau pembayaran kepada fasilitas
kesehatan antara program AKN dengan program asuransi atau jaminan
lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang peserta
AKN. Koordinasi ini belum diatur dalam UU. Prinsip koordinasi ini menjadi
penting ketika Pemda mengembangkan (bukan yang berdiri sendiri)
jaminan sosial lokal. Salah satu contoh yang bisa diatur misalnya, jaminan
kesehatan pusat menanggung biaya pengobatan dan perawatan
sementara jaminan kesehatan daerah menanggung biaya transportasi atau
menanggung urun biaya yang tidak dijamin oleh JKN yang bersifat
nasional. 7.4. Key Success Factor: Penyelenggaran AKN berhasil apabila: •
Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang
memahami bahwa program tersebut pada akhimya akan bermanfaat untuk
meningkatkan produktifitas mereka. • Manfaat yang diberikan cukup layak
dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh karenanya pelayanan medis yang
mahal hams dijamin, sementara pelayanan yang murah dapat dikurangi
atau dikenakan urun biaya. Besamya manfaat hams secara reguler, dalam
periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang
berkembang sejalan dengan peningkatan tarafhidupnya. • Jumlah iuran
hams cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip
adequacy). Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih
baik karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran
yang terlalu besar dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat
menurunkan angka partisipasi. • Penyelenggaraan dilakukan dengan
profesional, transparan, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh karenya
seluruh peserta hams bisa memperoleh informasi akurat tentang
penyelenggaraan, besaran iuran yang terkumpul, dan besamya dana yang
dihabiskan untuk pelayanan dan biaya manajemen. AKN dalam SJSN 145
HThabrany • Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan
dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel •
Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak
memenuhi kewajibannya. Dukungan pemerintah hams diwujudkan dalam
bentuk pemberian dana subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan
demikian, seluruh peserta dan pemberi kerja tidak merasa khawatir kalau
temyata biaya kesehatan membengkak dan BPJS bangkrut. Sperti halnya
Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila pemerintah bangkrut.
Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam UU, guna
menjamin tingkat kesehatan BPJS 7.5. Status Hukum Badan
Penyelenggara Oleh karena mekanisme Jaminan Kesehatan merupakan
suatu mekanisme asuransi sosial yang bertujuan memenuhi kebutuhan
bersama (gotong royong) yang bersifat wajib, maka badan penyelenggara
hamslah bersifat nirlaba. Bentuk yang ideal adalah suatu badan hukum
tersendiri, yang bukan Perusahaan Terbatas dan bukan pula BUMNIBUMD.
Bentuk usaha mutual (usaha bersama) seperti AJB Bumi Putra merupakan
altematif yang mendekati bentuk ideal. Semua peserta adalah pemegang
saham. Tidak ada pendiri atau pemegang saham yang mempunyai hak veto
atau suara mayoritas. Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang
diatur dalam UU SJSN, seperti halnya Bank Indonesia yang diatur oleh UU
BI dan Dana Pensiun Pemberi Kerja yang diatur oleh UU Nomor 11/1992
tentang Dana Pensiun. Bentuk badan hukum seperti ini memungkinkan
penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat asas dengan
pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi, dan tanpa
konflik dengan UU lain. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya
adalah Undang undang yang mengatumya. Namun demikian, dalam UU
SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat tidak setuju dengan bentuk
badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang mengatumya,
seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU
Bank Indonesia dan UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah
memberikan contoh bentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagai badan
seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu berkepanjangan dan tidak selesai
dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhimya untuk sementara UU
SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan khusus
yang krusial yaitu bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita
terima. Akan kita lihat apabila dalam penyelenggaraannya nanti timbul
konflik dengan UU BUMN atau pengawas yang mengawasi BUMN, maka
bentuk Persero hams diubah kembali. Bantuk Persero seperti yang diatur
oleh BUMN mengandung keunggulan dimana penyelenggara mempunyai
otonomi luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan mencari laba,
seperti yang tercantum dalam UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS
yang bertujuan nirlaba. Perbedaan lain adalah bahwa kepemilikan BPJS
sepenuhnya milik negara dan BPJS ini tidak boleh menjual satu sahampun
kepada perseorangan atau badan. Dalam UU sudah disebutkan bahwa sisa
hasil usaha, pendapatan investasi, dan segala macam dana yang tidak
atau belum digunakan akan digunakan untuk sebesar-besamya
kepentingan peserta. Jadi tidak ada lagi dividen yang akan AKN dalam
SJSN 146 HThabrany dibayarkan oleh PT Askes dan PT Jarnsostek kepada
Pemerintah, seperti yang selarna ini berlangsung, yang jumlahnya melebihi
satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS menyesuaikan diri, diharapkan
tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya akan masuk
ke rekening peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya.
Dengan keluarnya UU SJSN, maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada
atau pra bapel yang sebelumnya mengelola JPKM JPSBK tidak bisa lagi
beroperasi untuk melayani kebutuhan dasar medis. Begitu juga dengan
perusahaan asuransi atau perusahaan lain, yang melakukan kontrak
dengan perusahaan untuk menjarnin pelayananan atau biaya kesehatan
karyawan suatu perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjarnin
kebutuhan dasar medis. Mereka boleh beroperasi untuk menjual produk
asuransi kesehatan suplemen atau tambahan, yang tidak dijarnin oleh
SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan membelikan asuransi kesehatan yang
mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk SJSN. Tentu hal ini
bersifat duplikatif dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel JPKM
dapat juga mengubah diri menjadi grup povider (kelompok fasilitas
kesehatan) yang melakukan kontrak dengan BPJS, atau menjadi lembaga
penjamin manajemen mutu dan utilisasi yang independen. 7.6. Struktur
organisasi dan Manajemen Dalarn UU SJSN yang belum memiliki Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden yang mengatur lebih rinci
penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS tentu saja belum dirumuskan.
Berbagai altematif dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan dan manajemen jaminan kesehatan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan sosial, yang
memihak rakyat banyak. Struktur organisasi dan manajemen akan diatur
kemudian, praktisnya setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional dibentuk
dan membuat rumusan kebijakan umum. Sebagai sebuah Dewan yang
berfungsi advokasi, pemantauan, dan pengawasan, DJSN tidak bisa
membuat peraturan dan tidak bisa menjadi lembaga pengawal berjalannya
AKN dengan baik. Fungsi pengawal dan penegakan hukum dapat dilakukan
oleh Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, atau Departemen
Sosial. Dewan Jarninan Sosial Nasional akan segera dibentuk setelah UU
SJSN ditanda tangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004. Anggota Dewan
terdiri dari 15 orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, serikat pekerja,
serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam bidang jaminan sosial (lihat
naskah UU terlarnpir). Semula RUU SJSN dalam dalam perdebatan di
Panitia Kerja maupun Panitia Khusus jumlah masing-masing wakil akan
ditetapkan. Bahkan draf awal menyebutkan proses seleksi dan
pengangkatan anggota DJSN. Narnun, karena masalah tersebut cukup
sulit diputuskan, maka UU tidak menyebutkan. Presiden diharapkan akan
menetapkan wakil-wakilnya secara bijaksana. Dewan ini akan
merumuskan dan menyinkronkan penyelenggaraan jaminan sosial bagi
seluruh rakyat. Nantinya, seluruh rakyat akan memiliki jaminan sosial
yang sarna skemanya, setara prosentase iurannya, dan setara manfaat
yang akan diterima. Kesetaraan tidak berarti sarna persis, sebab tidak
bisa dipastikan semua peserta akan sarna pemah menerima operasi ginjal,
akan tetapi setara dimaksudkan sesuai dengan kebutuhan medis peserta.
Iurannya pun setara, artinya kalau pegawai negeri membayar 5% iuran dari
gajinya, maka pegawai swasta juga membayar 5% AKN dalam SJSN 147
HThabrany dari gajinya. Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar
golongan pekerjaan. Tugas yang berat ini hams dilaksanakan oleh Dewan
dan diharapkan dapat selesai paling lama dalam waktu 5 (lima) tahun.
Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi dan mengevaluasi keempat
BPJS yang ditetapkan dalam UU. Untuk efisiensi dan efektifitas fungsi
DJSN, maka harus ada beberapa Komite yang terdiri dari para ahli dan
yang sehari-hari mengerjakan evaluasi atas penyelenggaraan jaminan
sosial yang sesuai dengan UU SJSN. Komite dapat dibentuk secara
permanen untuk terus-menerus memantau penyelenggaraan, misalnya
Komite Investasi, agar BPJS tidak seenaknya menempatkan dana yang
mungkin lebih didorong atas kepentingan tertentu. Komite yang diperlukan
antara lain: 1. Komite Aktuaria: tugasnya adalah melakukan evaluasi rutin
tentang iuran dan perkiraan biaya medis serta menerbitkan tabel iuran,
khususnya untuk pekerja mandiri dan penduduk miskin atau kurang
mampu secara berkala. 2. Komite Investasi: Komite ini sangat penting
karena BPJS, khsusnya BPJS penyelenggara program Jaminan Hari Tua
dan Jaminan Pensiun akan mengakumulasi dan menghimpun ratusan
Triliun rupiah (Dana Amanat) di masa datang. Kalau saja dana tersebut
diinvestasikan pada portofolio yang tidak tepat, akan memberikan hasil
pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana Amanat akan
memberikan hasil yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2%
diatas itu. Sehingga peserta akan merasa puas dengan perkembangan
dana yang mereka miliki. Komite ini bertugas menyusun perumusan dan
pedoman portofolio investasi bagi kantor pusat dan kantor cabang BPJS.
3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu muncul pada operasi yang
begitu besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan
menyelesaikan secara internal berbagai perselisihan yang menyangkut
pembayaran iuran, pembayaran kepada fasilitas kesehatan, dan
perselisihan lain yang melibatkan badan, peserta, pemberi kerja, dan atau
fasilitas kesehatan 4. Komite pelayanan: Komite ini khususnya diperlukan
untuk program AKN dengan tugas melakukan pemantauan dan perumusan
jenis-jenis pelayanan, obat dan bahan medis habis pakai yang dijamin atau
tidak dijamin serta besaran urun biaya. Komite juga melakukan evaluasi
dan perumusan tentang mutu pelayanan fasilitas kesehatan, persyaratan
mutu pelayanan, dan merumuskan tentang pedomaan telaah utilisasi
terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta 7.7. Pengelolaan
Keuangan Pengelolaan keuangan merupakan inti keberhasilan program
AKN. Apabila BPJS tidak mampu mengelola dana, mulai dari penerimaan
iuran, investasi, sampai pembayaran dan pencadangan dana, maka
kepercayaan peserta (dan pengusaha) akan hilang. Apabila kepercayaan
tersebut hilang, maka penyelenggaraan AKN dan SJSN otomatis berhenti
atau AKN dalam SJSN 148 HThabrany bubar. Risiko hancurnya
penyelenggaraan SJSN adalah risiko negara, bukan risiko perusahaan atau
sekelompok orang pemegang saham, dalam hal penyelenggaraan asuransi
kesehatan komersial. Oleh karena itu, aturan pengelolaan keuangan harus
secara eksplisit dirumuskan dan hams ditaati betul oleh pengelola.
Pengelola harus dipilih dari orang-orang yang bersih dan mempunyai
dedikasi tinggi untuk mewujudkan terselenggaranya AKN yang baik.
Beberapa elemen penting pengelolaan keuangan yang patut
dipertimangkan adalah: Paling lambat setiap tanggal 5 bulan berjalan,
pemberi kerja wajib menyetorkan potongan iuran pekerja dan
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya ke rekening BPJS.
Misalnya, iuran untuk bulan Januari 2005 hams sudah dibayarkan oleh
pemberi kerja kepada BPJS paling lambat tanggal 5 Januari 2005.
Pengusaha yang lalai harus dikenakan sanksi berupa denda atau kalau
terus-menerus lalai, maka Direktur Keuangan atau Direktur Utama hams
bisa diseret ke pengadilan atau dikenai hukuman kurungan. Tanpa ada
penegakan hukum yang tegas, khususnya dalam lima tahun pertama
penyelenggaraan, maka SJSN tidak akan berjalan baik. Lima tahun
pertama amat penting untuk meyakinkan semua pemberi kerja membayar
iuran. Kalau pemberi kerja tidak bisa yakin bahwa SJSN diselenggarakan
dengan bersih, jujur, dan betul-betul memihak peserta, maka akan sulit
mengembangkan SJSN di kemudian hari. Praktisnya pembayaran iuran
akan dibayar sekaligus untuk semua program jaminan sosial, hanya saja
kepada rekening yang berbeda. Untuk keperluan pengawasan, BPJS
bersama dengan pegawai pengawas dari Departemen terkait dapat
melakukan pemeriksaan sewaktu-waktu kepda pemberi kerja dan
mengajukannya ke pengadilan jika terdapat pelanggaran. Pengalaman
penyelenggaraan program Jamsostek menunjukkan bahwa banyak
pemberi kerja yang tidak jujur dengan laporan upah pekerja. Pemberi kerja
melaporkan upah yang lebih rendah kepada Jamsostek agar iurannya bisa
lebih kecil. Ke depan, hal ini akan mudah dideteksi oleh pekerja sendiri
karena SJSN dirancang untuk lebih transparan. Badan Penyelenggara
diwajibkan melaporkan rekening peserta JHT dan JP setiap tahun. Dengan
demikian apabila pengusaha melaporkan upah yang lebih rendah, akan
tampak dari akumulasi iuran yang dibayarkan ke BPJS yang pada akhir
tahun laporannya akan diterima setiap peserta. Selain itu, peserta juga
akan mengetahui dari tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk
masa tuanya,. Akan tetapi peserta tidak boleh mengambilnya, karena dana
tersebut baru bisa diambil jika ia pensiun, mengalami cacat total tetap,
atau meninggal dunia. Badan pengelola AKN dalam lima tahun pertama,
sebelum jumlah peserta cukup besar, hanya dapat menggunakan iuran
yang diterima untuk biaya administrasi maksimum 15% iuran, pada tahun
ke 6-10 besarnya biaya operasional hams maksimum 10%, dan menjadi
maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya. Dengan demikian,
penyelenggaraan AKN ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan
yang selama ini membeli asuransi kesehatan yang mempunyai loading
(biaya operasional, biaya pemasaran dan keuntungan) yang mencapai 40%
dari premi. Pembatasan ini sangat penting dirumuskan dalam peraturan,
agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan mengiur mengetahui
dengan jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar
yang dikelola secara nasional. AKN dalam SJSN 149 HThabrany Dana yang
terkumpul tidak selalu hams habis pada tahun itu, akan tetapi hams cukup
membiayai semua kebutuhan yang akan timbul di tahun itu. Ini adalah
prinsip solvabilitas. Untuk menjamin kecukupan dana ini, maka dana yang
terkumpul hams dikelola dengan sangat hati-hati (prudent) Dana yang
belum digunakan hams diinvestasikan agar memberikan nilai tambah
untuk menutupi biaya yang dibutuhkan dan untuk menambah dana
cadangan. Akan tetapi investasi hams dilakukan agar setiap saat dana
dibutuhkan, dana tersebut dapat cairo Ini adalah prinsip likuiditas.
Manajemen keuangan hams benar-benar carmat agar tercapai
kesimbangan antara kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan
menginvestasikan yang belum diperlukan. Untuk mencapai titik optium
tersebut, tidak sembarang investasi dibolehkan. Investasi yang berisiko
tinggi, seperti saham dan properti hams dihindari, meskipun akan
memberikan hasil yang tinggi. Jikapun dibenarkan, proporsinya hams
sangat dibatasi, misalnya tidak lebih dari 5% dari total dana yang dapat
diinvestasikan. Untuk dana jaminan kesehatan, dana akan lebih banyak
diinvestasikan dalam bentuk deposito, reksa dana, dan sebagian mungkin
dalam instrumen investasi jangka pendek lain yang aman seperti SBI.
Dana hari tua dan pensiun yang digunakan dalam jangka panjang, hams
ditanam dalam instrumen jangka panjang. Akan tetapi untuk jaminan
kesehatan yang kebutuhan nya setiap saat dapat terjadi, instrumen
investasi jangka panjang tidak diperlukan. 7.8. Kewajiban BPlS Secara
garis besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan
kepada seluruh peserta sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU
SJSN dan yang diatur oleh peraturan pemerintah, dan atau DJSN. Karena
sistem AKN menggunakan teknik managed care dalam pengendalian
biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah yang
cukup banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak
tidak memadai jumlahnya dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau
dokter spesialis yang dibutuhkan. Sebagai contoh, di Kalimantan bisa jadi
banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan karyawan, akan tetapi
rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal itu,
BPJS wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan
atau fasilitas kesehatan guna memenuhi kebutuhan kesehatan para
pesertanya. Apabila penyediaan tenaga dan fasilitas tidak efisien atau
terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi lain seperti
memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite
Pelayanan yang selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan
peserta dan memantau kelayakan manfaat program. Komite pelayanan
melakukan evaluasi terhadap kepatuhan fasilitas kesehatan yang
dikontrak atas standar pelayanan dan standar mutu yang hams dipatuhi,
yang telah ditetapkan BPJS dalam rangka menjamin mutu dan kepuasan
peserta. Komite pelayanan dapat meminta Direksi untuk memutuskan
kontrak kepada fasilitas kesehatan yang tidak mampu memenuhi standar
yang ditetapkan. Inilah yang dimaksud UU bahwa BPJS mengembangkan
sistem pelayanan dan pembayaran. Beberapa pihak di Depkes kurang
memahami hal ini dan menilai bahwa UU SJSN terlalu jauh memberikan
kewenangan, kewenangan mengembangkan sistem pelayanan dan
pembayaran yang sehamsnya kewenangan Depkes, kepada BPJS.
Sesungguhnya yang diatur BPJS adalah kewenangan sistem pelayanan
dan pembayaran yang AKN dalam SJSN 150 HThabrany terkait pelayanan
kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku bagi semua
fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak
dengan BPJS-Iah yang terkena peraturan sistem pelayanan dan
pembayaran BPJS. Sebagai contoh, BPJS dapat mengembangkan sistem
pelayanan terstruktur dengan pembayaran kapitasi global ke rumah sakit,
kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau mengembangkan sistem
pembayaran DRG kepada rumah sakit. Undang-undang juga mewajibkan
BPJS untuk mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan
(akses, biaya satuan per group pelayanan atau diagnosis, kepuasan
peserta per fasilitas dan kota/kabupaten, dll), Hal ini sangat perlu untuk
menjamin agar semua peserta memahami segala macam masalah yang
dihadapi dan memahami kalau misalnya diperlukan kenaikan biaya iuran,
pengendalian yang lebih ketat yang membutuhkan urun biaya lebih tinggi,
dan meningkatkan kepercayaan peserta kepada BPJS. Akan sangat baik
jika BPJS menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan hasil-
hasil penelitian yang dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10
media masa nasional dan di website. Meskipun UU tidak secara eksplisit
mengatur hal itu, untuk kinerja yang terbaik, BPJS dapat melakukan yang
lebih dari itu guna menjamin transparansi dan pemahaman peserta akan
masalah yang dihadapi BPJS. Salah satu komponen penting dalam
menjamin kepuasan peserta adalah tugas BPJS untuk menerbitkan buku
saku yang berisi hak dan kewajiban peserta dan anggota keluarganya, tata
cara memperoleh pelayanan, pelayanan yang ditanggung/dijamin, dan
jaminan yang tidak ditanggung, besaran urun biaya untuk berbagai
pelayanan, dll, Selain itu BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku
tersebut setiap terjadi perubahan kebijakan iuran, paket pelayanan,
maupun prosedur pelayanan dan mencantumkan seluruh isi buku saku
tersebut dalam website BPJS. Pengendalian mutu pelayanan merupakan
faktor yang juga tidak kalah pentingnya. Oleh karena itu BPJS wajib
mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di berbagai
fasilitas yang dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS
melakukan berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap peserta akan
mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik menurut
standar profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah. 7.9.
Hak peserta Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan
informasi yang rinci dan jelas kepada seluruh peserta tentang hak-hak
peserta. Hak terpenting peserta adalah hak atas pelayanan. Idealnya,
seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang diberikan bersifat
komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas
kesehatan pemerintah yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah
yang tidak efisien tidak mempengaruhi kinerja pelayanan. Namun dalam
jangka pendek tentu tidak mungkin mencapai hal itu, karena biaya yang
mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah menjadi suatu
badan otonom-yang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan
Layanan Umum (BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama
masih dapat ditolerir perbedaan AKN dalam SJSN 151 HThabrany manfaat
non-medis antara peserta yang iurannya dibayar oleh pemerintah
(penduduk miskin dan tidak mampu) dan penduduk yang membayar iuran
penuh dari upahnya, ditarnbah iuran oleh majikannya. Fasilitas kesehatan
untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan hanya fasilitas
kesehatan publik seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah)
yang masih mendapat subsidi pemerintah pusat maupun daerah. Dokter
keluarga pada peri ode 10 tahun pertama akan digunakan untuk melayani
pegawai negeri dan pegawai swasta yang selarna ini sudah mendapat
jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjarnin pelayanan terstruktur
dapat terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang
dikontrak sebaiknya rumah sakit yang memiliki dokter keluarga binaan
dimana rumah sakit tersebut akan mendapatkan rujukan. Rujukan dari
dokter keluarga hams dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan
informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan
agar dokter keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang
dirujuknya. Rujukan yang kurang tepat hams diperbaiki agar tidak terulang
kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi dokter primer yang berfungsi
sebagai gatekeeper. Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat, dan
paradigma pencegahan lebih baik dari pengobatan, maka BPJS harus
memberikan pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi dan konseling
keluarga berencana merupakan pelayanan pencegahan penting dalarn
mengendalikan besarnya jumlah peserta dalam jangka panjang. Untuk
menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, BPJS harus mampu
menyediakan Pelayanan ante natal lengkap, minimum 4 kali selarna
kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada ibu dan
anaknya, sarnpai anak mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu
menjamin pemeriksaan medik rutin untuk mendeteksi dini penyakit-
penyakit kurang gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia di
bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih cepat meningkatkan
status kesehatan yang selarna ini tidak cukup cepat meningkat. Angka
kematian bayi dan ibu di Sri Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah
dari di Indonesia karena semua anak dan ibu dapat menerima pelayanan
tersebut secara gratis. Di Indonesia, seorang ibu yang bersalin di
puskesmas hams membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat ini biaya
persalinan di puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalarn kondisi
seperti itu, tentu saja perempuan miskin akan cendrung tidak ke
puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih murah atau tidak sarna sekali.
Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat diberikan
dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan
DJSN tiap tiga tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih
Banyak pihak yang mengkritisi bahwa AKN hanya memberikan pelayanan
kuratif dan tidak memberikan pelayanan preventif kesehatan masyarakat.
Hams disadari bahwa pelayanan kesehatan masyarakat seperti
penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan penanganan polusi
adalah tugas Dinas Kesehatan yang hams didanai dari APBN/APBD.
Meskipun demikian, pelayanan kuratif pada hakikatnya juga memiliki nilai
preventif untuk mencegah memberatnya kasus atau kematian dini. Oleh
karena itu, dalam AKN digariskan bahwa setiap peserta berhak atas
jaminan berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada peserta yang
mungkin tidak menggunakan haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan
alergi sederhana, mereka akan menggunakan haknya dalarn pengobatan
kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan pelayanan perawatan di
rumah sakit pemerintah atau swasta. AKN dalam SJSN 152 HThabrany
Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan
dokter spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan,
bahan medis lainnya sejauh secara medis diperlukan menurut standar
profesi medis yang secara ilmiah telah dibuktikan efektifitasnya. Ada juga
yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan operasi jantung
seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal.
Kritik ini sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa
termasuk pelayanan dasar medis, yang memungkinkan seseorang hidup
dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak dijamin, maka peserta yang
mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia dalam dua
minggu. Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan. Untuk
pelayanan kesehatan primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus
yang tidak perlu ditangani dokter spesialis, BPJS hams melakukan kontrak
dengan dokter keluarga. Dokter keluarga (termasuk dokter gigi) adalah
dokter yang mendapat pelatihan khusus dan mendapat sertifikasi dari
organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter yang berkonstrasi
pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan
memungkinkan dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat
kontrak pelayanan dengan pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan,
peserta dapat memilih pelayanan di klinik spesialis atau di rumah sakit
yang dikehendaki tetapi hams mendapatkan rujukan dari dokter keluarga
yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat
saja masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang
diatur sarna di suatu wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus.
Jadi klinik dan rumah sakit hams bekerja sama dengan apotik untuk
mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna menjamin pengendalian
biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini harus
diatur oleh BPJS. Hak perawatan peserta idealnya sarna untuk seluruh
peserta, yang di negara maju disebut sebagai semi-private room and
board. Di Indonesia barangkali ruang perawatan tersebut setara dengan
ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya, BPJS menetapkan
besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan perawat,
serta standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS
(pemerintah atau swasta). Namun untuk pertama kali, karena variasi
tingkat penghasilan, pendidikan, dan status sosial, program AKN masih
hams mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit kelas III (tiga) untuk
peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200% UMP.
Misalnya, di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan,
seorang pekerja yang mendapatkan upah atau gaji sebesar sampai dengan
Rp Rp 1.000.000 akan mendapat perawatan di kelas III (baik RS publik
maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut dibawah 200% UMP yang
besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu BPJS
hams mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima.
Pekerja dengan gaji dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat
menerima perawatan di kelas III. Untuk pekerja yang bergaji lebih tinggi,
misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat perawatan di kelas II (dua).
Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan mendapat
perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP hams
membayar sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar
oleh perusahaan asuransi atau bapel JPKM swasta. Inilah prinsip
koordinasi manfaat. AKN dalam SJSN 153 HThabrany Guna mengendalikan
moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya sebagai rem
yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit
pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun
biaya sebesar 10% dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan
biaya pemeriksaan penunjang dan urun biaya sebesar 20% dari biaya obat
dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa menimbulkan beban
berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah
plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya hams
mencapai angka maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP.
Apabila besaran urun biaya melampaui UMP, maka peserta hanya
membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran urun biaya
ini hams tercantum dalam perjanjian kerja sarna antara BPJS dengan
fasilitas kesehatan dan peserta hams mendapat informasi tertulis dalam
brosur atau website. Di beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan
untuk pelayanan rawat jalan yang lebih besar tingkat moral hazardnya
ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat jalan tidak dijamin, alias
peserta hams membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di
Indonesia kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang
Indonesia cendrung maunya berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya
tidak perIu. Peserta sering minta dirujuk, ini moral hazard namanya. Untuk
menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat diwajibkan membayar
urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan biaya
maksium sebesar UMP. 7.10. Pelayanan yang tidak ditanggung BPlS
(eksklusi) Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seseorang
memenuhi kebutuhan medisnya jika suatu penyakit atau kecelakaan
terjadi yang sifatnya accidental, atau tidak dikehendaki. Dengan demikian,
pelayanan yang sifatnya keinginan dan bukan kebutuhan tidak dijamin
(eksklusi). Berbagai Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik
berupa pemeriksaan, pengobatan, maupun pembedahan tidak boleh
dijamin. Selain itu pelayanan kesehatan yang timbul atau yang merupakan
akibat dari pemakaian obat terIarang (narkoba) dan penggunaan minuman
keras juga hams tidak dijamin. Jika dijamin, maka program AKN akan
menyubsidi prilaku yang tidak sehat dan ini akan merangsang prilaku yang
buruk tersebut terus berkembang. Penyakit kelamin atau penyakit yang
terkait dengan prilaku tidak sehat seperti gonore, HIV-AIDS juga
seharusnya tidak dijamin. Dilema timbul pada penjaminan HIV -AIDS,
karena bayi dan ibu hamil bisa tekena padahal ia berprilaku baik. Akan
tetapi kalai secara umum dinyatakan kasus HIV-ADIS dijamin, maka
mungkin dana AKN akan banyak tersedot untuk pecandu narkotika dan
pekerja seks komersial (baik perempuan, laki-laki, maupun waria) yang
sangat rawat terhadap AIDS. Maka penjaminan HIV-AIDS hams dilakukan
kasus per kasus. Disinilah perIunya ada Komite Pelayanan yang
memberikan penilaian secara rutin akan berhak-tidaknya sesorang
terhadap pelayanan tertentu. Pengguguran dan komplikasi dari
pengguguran kandungan, kecuali upaya pengguguran kehamilan dalam
rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu, juga sebaiknya tidak dijamin.
Terakhir, Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri juga
tidak perIu dijamin. AKN dalam SJSN 154 HThabrany 7.11. Fasilitas
Kesehatan Yang dimaksud dengan fasilitas kesehatan adalah dokter
keluarga, dokter spesialis, klinik praktek bersama, klinik 24 jam, rumah
bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik, Laboratorium klinik,
laboratorium radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh DJSN.
Untuk menjamin bahwa setiap peserta dan anggota keluarganya yang
berhak menerima manfaat AKN menerima pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis, pelayanan harus diberikan oleh fasilitas kesehatan yang
diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi dan penerimaan untuk
dikontrak sebagai fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah
kredensialing (credentialing). Puskesmas dan ruang perawatan kelas III
RS pemerintah yang memberikan pelayanan dengan tarif subsidi untuk
sementara tidak dimasukan dalam kelompok fasilitas kesehatan dalam
BPJS karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk memberikan
pelayanan kepada penduduk yang belum terdaftar pada BPJS, sampai
seluruh penduduk menjadi peserta BPJS. BPJS membayar fasilitas
kesehatan dengan tarifprospektif yang diarahkan pada tarifpaket seperti
kapitasi, tarifpaket rawatjalan, paket prosedur, paket per hari rawat, atau
paket per kelompok diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada fasilitas
kesehatan dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah antara Kantor
Cabang BPJS, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau
fasilitas kesehatan setempat. Besarnya biaya pengobatan dan perawatan
yang ditanggung oleh AKN ditetapkan bersama oleh Dinas Kesehatan dan
Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan mempertimbangkan
pemenuhan biaya produksi operasional fasilitas kesehatan dan total
perkiraan biaya pelayanan untuk seluruh peserta untuk satu tahun tidak
melebihi 80% iuran setahun yang terkumpul di suatu kotalkabupaten.
Batasan 80% ini digunakan untuk memberikan ruang ketersediaan dana
cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas kesehatan di provinsi atau
di ibu kota (10%) dan biaya operasional sebesar 5%. Fasilitas kesehatan
yang dikontrak mempunyai hak dan kewajiban atau tugas tertentu. Tugas
pokok fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut: 1) Memberikan
pelayanan kesehatan, termasuk promotif preventif terhadap pasien, sesuai
dengan kebutuhan medis peserta. 2) Memeriksa kelayakan pengobatan
peserta pada tingkat institusi. Pasien rujukan yang tidak memerlukan
perawatan tidak diperkenankan dirawat inap. 3) Mematuhi aturan
manajemen utilisasi dan manajemen mutu yang dikembangkan oleh BPJS
sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. 4) Mengisi basis data laporan
utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau mengirimkannya melalui
email ke Pusat Informasi BPJS setiap tanggal 10 untuk utilisasi bulan
sebelumnya. 5) Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan
kesempatan kepada dokter primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter
spesialis yang merawat seorang peserta dalam rangka memantau derajat
kesehatan peserta yang menjadi tanggungannya. 6) Merujuk ke Dinas
KesehatanIDinas Sosial setiap orang sakit yang belum menjadi peserta
tetapi tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang
dibutuhkannya untuk menjadi peserta PBI. AKN dalam SJSN 155
HThabrany Tidak ada kewajiban tanpa hak dan sebaliknya, maka fasilitas
kesehatan mempunyai hak untuk: 1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak
dengan BPJS apabila fasilitas kesehatan setuju dengan tarif yang telah
ditetapkan bersama BPJS daerah dengan asosiasi fasilitas kesehatan dan
setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan manajemen
utilisasi. 2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif
prospektif yang disepakati dan mendapatkan pembayaran paling lambat
15 hari setelah klaim (dalam hal pembayaran memerlukan klaim atau
tagihan seperti pada pembayaran sistem DRG), sesuai dengan ketetapan
UU. 3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, fasilitas kesehatan
berhak mengajukan permohonan peninjauan tarif atau cara pembayaran
dan kemudian bemegosiasi dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan
setempet. 4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas
atau berpraktek di fasilitas kesehatan tersebut. 5) Mengambil keputusan
medis atas peserta yang dirawat sesuai dengan standar pelayanan medis
yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi, yang
dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut. 6) Dapat ikut serta dalam
pembahasan iuran oleh komite aktuaria, penetapan tarif dan penyelesaian
perselisihan. 7) Mendapatkan informasi tentang kinerja BPJS, peraturan-
peraturan operasional yang terkait dengan pelayanan dan informasi
tentang data demografik peserta. 7.12. Penegakan hukum Badan
penyelenggara bersama Pemeriksa dari Departemen Terkait hams
diberikan kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada pemberi kerja
dan melaporkan setiap pelanggaran pemberi kerja dalam memenuhi
kewajibannya membayar iuran atau melaporkan besaran iuran yang tidak
sesuai dengan ketentutan UU. Kewenangan resmi berada di Departemen,
namun demikian secara praktis BPJS dapat dilibatkan untuk bersama-
sama melakukan inspeksi. Pemberi kerja yang terlambat membayarkan
iurannya dikenakan denda dari jumlah iuran yang hams dibayarkan untuk
tiap bulan keterlambatan. Pembayaran iuran dalam hitungan hari
dikenakan denda rata-rata harian atas dasar besarnya denda bulanan.
Pemberi Kerja yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih dari
tiga kali dalam setahun juga hams dikenakan denda tambahan. Pemberi
Kerja yang tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada waktu
yang itetapkan atau membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan
perundangan dikenakan denda. Agar permainan berlangsung seimbang,
apabila terjadi kelalaian pada pihak BPJS, maka pihak BPJS wajib
membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang lebih besar dari denda
yang dikenakan kepada pemberi kerja. AKN dalam SJSN 156 HThabrany
7.13. Penyelenggaraan AKN Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Pada
tanggal 1 Februari 2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur, Satuan Pelaksana Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai
SATPEL JPKM) , dan Perhimpunan Badan Penyelenggara Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai
PERBAPEL JPKM) mengajukan gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah
Konstitusi (MK) tentang UU SJSN. Para pemohon menilai bahwa Pasal 5
ayat (I), ayat (2), (3) dan ayat (4) dan Pasal 52 tidak sesuai dengan UUD45,
bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan UU Otonomi Daerah. Oleh
karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal dan
ayat tersebut dalam UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa
Pasal 5 ayat (I) yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial hams
dibentuk dengan undang-undang". Sedangkan Pasal 5 ayat (2) yang
berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang ini,badan penyelenggara
jaminan so sial yang ada dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara
Jaminan Sosial menurut undang-undang ini". Sementara Pasal 5 ayat (3),
yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) adalah: a. Perusahaan Perseroan (persero) Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (persero)
Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan
Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan Perseroan (persero) Asuransi
Kesehatan Indonesia (ASKES)" Pasal5 ayat (4) berbunyi "Dalam hal
diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada
ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang". Keputusan MK
tentang Permohonan Pada hal 237 Keputusan MK berbunyi "Menimbang,
dengan pertimbangan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas,
terlepas dari terbukti-tidaknya daliI-daliI Pemohon dalam pemeriksaan
terhadap materi permohonan a quo, telah jelas bagi Mahkamah bahwa
Pemohon I cukup memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UUMK sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo;" Pada hal 239
keputusan MK berbunyi "Menimbang, berdasarkan uraian di atas, tampak
nyata bahwa Pemohon II tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK serta syarat kerugian konstitusional
yang telah menjadi pendirian Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di
atas, sehingga Mahkamah AKN dalam SJSN 157 HThabrany berpendapat
bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan a quo;" Pada hal 240 keputusan MK berbunyi "Oleh karena itu,
Mahkamah berpendapat, Pemohon III baik sebagai perorangan warga
negara Indonesia maupun atas nama PERBAPEL JPKM, tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK sehingga
harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
dalam permohonan a quo;" Terhadap Isi gugatan, Keputusan MK
menyatakan (Hal 263-272) ". bahwa berdasarkan uraian di atas dan
sete1ah membaca se1uruh Penje1asan undang-undang a quo, Mahkamah
berpendapat, sepanjang menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih,
UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945,
yakni bahwa sistem yang dipilih itu mencakup se1uruh rakyat dengan
maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang 1emah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; • bahwa oleh karena
sistem jaminan sosia1 yang dipilih, menurut pendapat Mahkamah, te1ah
memenuhi maksud Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945, maka berarti UU SJSN
dengan sendirinya juga merupakan penegasan kewajiban negara terhadap
hak atas jaminan so sial sebagai bagian dari hak asasi manusia,
sebagaimana dimaksud Pasa1 28H ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan
negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan
menjamin pemenuhannya (to fulfil); Menimbang, kendati Mahkamah
berpendapat bahwa, sepanjang menyangkut sistem yang dipilih, UU SJSN
te1ah memenuhi ketentuan Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah masih
perlu mempertimbangkan 1ebih 1anjut apakah undang-undang a quo te1ah
tepat da1am mengimp1ementasikan pengertian "Negara" da1am Pasa1 34
ayat (2) UUD 1945. Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah akan
mempertimbangkan sebagai berikut: • bahwa, secara historis, cita negara
yang tertuang da1am alinea keempat Pembukaan UUD 1945, tidak
terlepas dari arus utama (mainstream) pemikiran yang berkembang pada
saat UUD 1945 disusun, yakni pemikiran yang dikena1 sebagai paham
negara kesejahteraan (welfare state atau welvaart staat), yang
mewajibkan negara bertanggungjawab da1am urusan kesejahteraan
rakyatnya, yang antara lain di da1amnya termasuk fungsi negara untuk
mengembangkan jaminan sosia1 (social security) bagi rakyatnya; AKN
dalam SJSN 158 HThabrany • bahwa paham negara kesejahteraan
dimaksud tercermin pula dalam judul Bab XIV UUD 1945 yang berbunyi
"KESEJAHTERAAN SO SIAL" yang dengan Perubahan Keempat menjadi
"PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SO SIAL" . Kemudian,
dalam pandangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai
lembaga yang berwenang membuat dan mengubah undang-undang dasar,
fungsi negara untuk mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan
hanya dipandang masih tetap re1evan melainkan justru dipertegas guna
mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud oleh
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; hal mana temyata dari
ditambahkannya tiga ayat ke dalam Pasal 34 UUD 1945 pada saat MPR
melakukan perubahan terhadap UUD 1945 untuk kali keempat; • bahwa,
dengan demikian, terminologi "negara" dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945,
dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya
lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi
rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan
bagian dari fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara
menurut UUD 1945. Agar fungsi dimaksud dapat berjalan, maka pemegang
kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan wewenang; • bahwa,
menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan oleh
Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah, sehingga pada
Pemerintahan Daerah pun melekat pula fungsi pelayanan sosial dimaksud.
Dengan demikian, Pemerintahan Daerah juga memiliki wewenang guna
melaksanakan fungsi dimaksud. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari
dianutnya ajaran otonomi, sebagaimana diatur terutama dalam Pasal 18
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan", sementara pada ayat (5)-
nya ditegaskan bahwa otonomi yang dimaksud adalah otonomi yang
seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; • bahwa Pemerintahan
Daerah juga memiliki wewenang dalam rangka pelaksanaan fungsi
pelayanan sosial negara lebih jauh telah dituangkan dalam UU Pemda,
sebagaimana terutama temyata dari bunyi Pasal 22 huruf h UU Pemda
yang bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pengembangan sistem
jaminan sosial merupakan kewajiban daerah. Sementara itu, menurut
Pasal 167 ayat (1) dan (2) UU Pemda, pengembangan sistem jaminan
sosial dimasukkan sebagai bidang yang anggarannya hams diprioritaskan
sebagai bagian dari upaya perlindungan dan peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat dalam AKN dalam SJSN 159 HThabrany rangka
pemenuhan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22 hurufh UU
Pemda; Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di
atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa UU SJSN telah cukup
memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa sistem
jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud
Undang-Undang Dasar yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang
dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk
meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun Mahkamah tidak
sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan
Rakyat yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan
sistem jaminan sosial tersebut secara eksklusif merupakan kewenangan
Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari ketentuan dalam Pasal 5,
khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal itu akan
bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya
mencakup Pemerintah (pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan
dalam UU Pemda. Atas dasar Pasal 22 huruf h UU Pemda, Pemerintahan
Daerah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan sistem jaminan
sosial. Namun, Mahkamah juga tidak sependapat dengan Pemohon yang
mendaliIkan kewenangan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial
secara eksklusif merupakan kewenangan Daerah dengan argumentasi
bahwa sesuai dengan ajaran otonomi yang seluas-luasnya, yang menurut
Pemohon sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana
dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 dan Pasal167
ayat (1) dan (2), maka sepanjang suatu urusan oleh undang-undang tidak
ditentukan sebagai urusan atau kewenangan Pemerintah (Pusat), maka hal
itu merupakan urusan atau kewenangan Daerah. Mahkamah tidak
sependapat dengan daliI Pemohon tersebut, sebab jika jalan pikiran
demikian diikuti, maka di satu pihak, besar kemungkinan terjadi keadaan
di mana hanya daerah-daerah tertentu saja yang mampu
menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan itu pun tidak menjamin
bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup memenuhi standar
kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain, serta di lain pihak, jika karena alasan tertentu seseorang terpaksa
hams pindah ke lain daerah, tidak terdapat jaminan akan kelanjutan
penikmatan hak atas jaminan sosial orang yang bersangkutan setelah
berada di daerah lain. Keadaan demikian akan bertentangan dengan
maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas jaminan
sosial itu hams dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat; AKN
dalam SJSN 160 HThabrany Menimbang, sejalan dengan pendapat
Mahkamah bahwa pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian
dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk
menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan
pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan so
sial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana
dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h,
bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga
menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU SJSN tidak boleh
menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan
sistem jaminan sosial. Tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk
ikut mengembangkan sistem jaminan so sial dikarenakan adanya
ketentuan dalam Pasal 5 UU SJSN yang berbunyi: (1) Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undangundang; (2)
Sejak berlakunya undang-undang ini, badan penyelenggara jaminansosial
yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara JaminanSosial
menurut undang-undang ini; (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan
(Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan
Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan Perseroan
(persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); (4) Dalam hal diperlukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat
dibentuk yang baru dengan undangundang ". Menimbang, dengan
membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal
5 UU SJSN di atas, tampak bahwa, di satu pihak, perumusan Pasal 5 di
atas menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan
suatu sub-sistem jaminan sosial dalam kerangka sistem jaminan sosial
nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan
Pasal18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Di pihak lain, dalam ketentuan Pasal 5
itu sendiri terdapat rumusan yang saling bertentangan serta sangat
berpeluang menimbulkan multi-interpretasi yang bermuara pada
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh karena itu
bertentangan dengan Pasa128D ayat (1) UUD 1945. AKN dalam SJSN 161
HThabrany Dikatakan menutup peluang Pemerintahan Daerah oleh karena
dengan adanya Pasal 5 ayat (4) dan kaitannya dengan Pasal 5 ayat (I) UU
SJSN tidak memungkinkan bagi Pemerintahan Daerah untuk membentuk
badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. Padahal,
sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas, Pemerintahan
Daerah justru diwajibkan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial.
Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (I) UU SJSN hams ditafsirkan bahwa
ketentuan tersebut adalah dimaksudkan untuk pembentukan badan
penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan untuk
pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat
dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang
sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN;
Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan yang saling bertentangan
serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid)
karena pada ayat (I) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial hams dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3)
dikatakan bahwa Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI,
dan Persero ASKES adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak semua badan-badan
tersebut dibentuk dengan undangundang. Seandainya pembentuk undang-
undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak
untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu
sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 UU
SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN di atas
pembentuk undangundang bermaksud menyatakan bahwa badan
penyelenggara jaminan sosial hams memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam undangundang yang maksudnya adalah UU SJSN a quo -
maka penggunaan kata "dengan" dalam ayat (1) tersebut tidak
memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna frasa "dengan
undang-undang" berbeda dengan frasa "dalam undang-undang". Frasa
"dengan undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan
setiap badan penyelenggara jaminan sosial hams dengan undang undang,
sedangkan frasa "dalam undang-undang" menunjuk pada pengertian
bahwa pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial hams memenuhi
ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), makin
memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang undang memang
bermaksud menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial hams
dibentuk dengan undang-undang tersendiri. AKN dalam SJSN 162
HThabrany Kemungkinan tafsir lainnya adalah, dengan rumusan dalam
Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU SJSN di atas, maka tidak ada lagi kebutuhan
untuk memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (I), sebab badan-badan
sebagaimana yang disebut pada ayat (2) dan (3) itulah yang dimaksud oleh
ayat (I) dan pada saat yang sarna sesungguhnya tidak ada kebutuhan bagi
adanya rumusan sebagaimana tertuang dalam ayat (4). Oleh karena itu,
dengan menghubungkan ketentuan ayat (I), (2), (3), dan (4) dari Pasal 5 UU
SJSN tersebut, maka tidak dapat ditarik kesimpulan lain kecuali bahwa
memang kehendak pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa
JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES sajalah yang merupakan badan
penyelenggara jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
tidak mungkin lagi membentuk badan penyelenggara jaminan sosial lain di
luar itu. Kesimpulan demikian juga tercermin dari keterangan Pemerintah,
keterangan DPR, maupun keterangan para Ahli yang diajukan Pemerintah
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menimbang, oleh karena di satu
pihak, telah temyata bahwa Pasal 5 ayat (I), (2), (3), dan (4) UU SJSN
saling berkait yang sebagai akibatnya daerah menjadi tidak mempunyai
peluang untuk mengembangkan sistem jarninan sosial dan membentuk
badan penyelenggara sosial, sementara di pihak lain keberadaan undang
undang yang mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial nasional di tingkat pusat merupakan kebutuhan, maka
Pasal 5 ayat (1) UU SJSN cukup memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sepanjang ketentuan dalam
Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tersebut ditafsirkan semata-mata dalam rangka
pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di tingkat pus
at. Menimbang bahwa, berdasarkan uraian-uraian dalam pertimbangan di
atas, sebagian daliI Pemohon yang menyangkut tertutupnya peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sistem jaminan
sosial berdasarkan kewenangan yang diturunkan dari Pasal 18 ayat (2) dan
(5) UUD 1945, sebagaimana telah dijabarkan lebih lanjut khususnya dalam
Pasal 22 huruf h UU Pemda, cukup beralasan, Sedangkan, terhadap Pasal
52 UU SJSN yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon, Mahkamah
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN tersebut justru
dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan
menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) karena belum adanya badan
penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan agar UU SJSN
dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut Pasal52 UU SJSN, tidak cukup beralasan. AKN dalam SJSN
163 HThabrany Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan
tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon dapat
dikabulkan untuk sebagian yaitu: • Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi "Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRl); d.
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)"
karena materi yang terkandung di dalamnya telah tertampung dalam Pasal
52 yang apabila dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan
multitafsir dan ketidakpastian hukum. • Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi
"Sejak berlakunya undang-undang ini badan penyelenggara jaminan sosial
yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
menurut undang-undang ini" karena walaupun tidak dimohonkan dalam
petitum namun ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan juga akan
menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal5
ayat (3). • Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal diperlukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat
dibentuk yang baru dengan undang-undang" karena ternyata menutup
peluang bagi Pemerintahan Daerah untuk membentuk dan
mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah
dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional. Sedangkan Pasal5 ayat
(1) yang berbunyi "Bad an Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk
dengan undang-undang" tidakbertentangan dengan UUD 1945 asalkan
ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah
pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat nasional yang
berada di Pusat. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
mengenai Pasal5 ayat (1), sebagaimana halnya Pasal52 UU SJSN, juga
tidak cukup beralasan. Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57
ayat (I) dan (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi; AKN dalam SJSN 164 HThabrany
MENGADILI Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat; Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya; Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang
dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 18 Agustus
2005, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang
terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 31 Agustus 2005" ARTI
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Keputusan MK tersebut pada
hakikatnya menetapkan bahwa keempat BPJS, A SABRI, ASKES,
Jamsostek, dan Taspen tetap berlaku untuk program jaminan sosial
tingkat nasional (hal 270). Namun demikian, apabila pemda berminat
membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara tingkat daerah,
tetapi bukan eksklusif hanya badan daerah itu saja yang beroperasi (hal
265), maka pemda dapat membentuk badan penyelenggara jaminan sosial
tingkat daerah. Artinya, di tiap daerah yang berminat mendirikan badan
penyelenggara, dengan Perda, maka badan tersebut perlu berkoordinasi
dengan BPJS tingkat nasional/pusat. Pengaturan lebih lanjut tentang peran
badan penyelenggara daerah dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
AKN dalam SJSN 165 HThabrany

Anda mungkin juga menyukai