ASURANSI
KESEHATAN
DI SUSUN OLEH
DR. Irwan Saputra, S.Kep, MKM
Peneliti Ekonomi Kesehatan
Konsultan Pelayanan Islami
Teewan Solutions
2017
ASURANSI KESEHATAN NASIONAL
1.1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam.
Dahulu banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan,
apalagi asuransi kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi
sosial karena dijual umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi
kesehatan sosial (social health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan
pelayanan kesehatan yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena
kehandalan sistem ini dalam menjamin kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara.
Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan sosial masih sangat
rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang bias tentang
asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi
kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat
terbatas. Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan tidak
memahami asuransi sosial. Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah
diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan
rumah sakit. Sehingga, begitu ada kata "sosial", seperti dalam "asuransi sosial" dan
"fungsi sosial rumah sakit" maka hal itu hampir selalu difahami dengan pelayanan
atau program untuk orang miskin.
Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin. Fungsi
sosial bukanlah fungsi orang miskin. Ini merupakan kekeliruan besar yang sudah
mendarah daging di Indonesia yang menghambat pembangunan kesehatan yang
berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undang undang Kesehatan yang
dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas-jelas memerintahkan Pemerintah
dan mendorong pengembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) yang diambil dari konsep HMO (Health Maintenance Organization) yang
merupakan salah satu bentuk asuransi komersial kesehatan.
Para pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa
HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai dengan tujuan
dan cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan (egaliter).
Akibatnya, asuransi kesehatan sosial di Indonesia tidak berkembang baik sampai
tahun 2005 ini.
Selain Indonesia, negara negara di Asia pada umumnya memang tertinggal dalam
pengembangan asuransi kesehatan sosial. Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor
regional Asia-Pasifik, Asia Tenggara, dan Timur Tengah berkumpul di Manila untuk
menggariskan kebijakan dan pedoman pengembangan asuransi kesehatan sosial di
wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah. Berbagai ahli dalam bidang asuransi
kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk perumusan tersebut. Karena
variasi sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini, disepakati tujuan yang lebih
luas dari pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu mewujudkan akses universal
kepada pelayanan kesehatan.
Selain asuransi kesehatan sosial, sistem pendanaan melalui pajak (National Health
Service) dengan menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis atau hampir gratis
kepada seluruh penduduk, seperti yang dilakukan Malaysia, Sri Lanka, dan Muangtai
juga mampu menyediakan akses universal tersebut.
Dalam program Jamsostek, Askes dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, tertanggung disebut peserta-tanpa
membedakan siapa yang membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisionall
konvensional, yaitu asuransi kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang
manfaatnya ditetapkan atau dibatasi dengan nilai jumlah uang tertentu, peserta
disebut pemegang polis (policy holder) dan anggota keluarga yang dijamin disebut
tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang dikelola oleh bukan perusahaan
asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia dengan managed care)
tertanggung disebut anggota atau member.
Pemegang polis atau peserta berkewajiban membayar premi/iuran sedangkan
tertanggung tidak selalu merupakan orang yang harus membayar premi. Asuradur
adalah orang atau badan yang telah menerima premi dan karenanya mempunyai
kewajiban membayar atau menanggung manfaat asuransi. Dalam Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 571/572 tahun 1993 tentang JPKM, yang dimasa datang JPKM
sukarela ini hanya akan menjual produk asuransi kesehatan suplemen, asuradur ini
disebut Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat Bapel.
b. Kontrak unilateral.
Pada umumnya kontrak bersifat bilateral dalam artian masing masing pihak
mempunyai kewajiban dan hak dan masing-masing dapat dituntut jika salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Dalam kontrak asuransi, pihak yang
dapat dituntut karena tidak memenuhi kewajibannya hanyalah pihak asuradur.
Apabila tertanggung tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia
tidak dapat dituntut. Akan tetapi haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis
terputus (yang dalam istilah asuransi komersial disebut lapse).
Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari sifat kondisional
dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan oleh
asuradur.
c. Kontrak Aleatory.
Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai tukar (economic value)
antara kewajiban dan hak bagi pihak pertarna maupun pihak kedua. Salah satu
pihak dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang
dibayarkannya, tanpa ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar
selisih nilai tukar. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi peserta asuransi
kesehatan membayar premi sebesar Rp 250.000 tiap bulan. Baru saja empat bulan
ia membayar premi (total premi yang dibayar menjadi 4 x Rp 250.000 atau sama
dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan jantung dan memerlukan pembedahan
yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang dalam kontrak asuransi
tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka peserta ini
berhak menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya
bedah jantung dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak
aleatori, sesungguhnya peserta tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta
sedangkan ia sudah menerima Rp 150 juta.
Dalam kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149 juta. Jika
saja ia berhenti menjadi peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi
misalnya, maka ia tidak dapat dituntut untuk melunasi selisih biaya yang
besarnya Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang peserta atau pemegang polis bisa saja
telah membayar premi sebesar Rp 250.000 sebulan untuk masa 10 tahun (atau
sama dengan 10 tahun x 12 bulan x Rp 250.000 = Rp 30 juta, tanpa hitungan
bunga) akan tetapi ia tidak pernah sakit dan karenanya tidak pernah mengklaim
manfaat asuransi. Maka ia tidak berhak sama sekali atas manfaat asuransi
(menerima hak senilai Rp 0 rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima Rp 30
juta (plus bunga) tanpa kewajiban membayar apapun kepada tertanggung.
d. Kontrak Adhesi.
Dalam ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak mempunyai informasi
yang relatif seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa. Dalam
kontrak asuransi, pihak peserta atau pemegang polis khususnya dalam asuransi
individual, tidak memiliki informasi yang seimbang dengan informasi yang
dimiliki asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang besarnya probabilitas sakit
dan biaya-biaya pengobatan yang terkait sementara pihak peserta tidak mampu
mengetahuinya dengan baik. Akibatnya, sulit bagi peserta untuk menilai apakah
premi yang dikenakan murah, wajar, atau terlalu mahal. Dalam kata lain, peserta
dalam posisi yang lemah (ignorance). Itulah sebabnya, dalam industri asuransi
dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan mengawasi dengan ketat
berbagai aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket jaminan, isi dan
bahasa polis, bahkan besarnya huruf dalam polis, dan berbagai persyaratan
asuradur yang menjamin peserta akan menerima haknya, jika obyek asuransi
terjadi. Dalam dunia asuransi, kontrak semacam ini sering disebut sebagai
kontrak take it or leave it.
Asuransi sosial mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak
orang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya
lebih banyak orang mampu berobat. Dengan kemampuan menerapkan tarif
standar kepada fasilitas kesehatan, asuransi sosial akan mampu memeratakan
pendapatan para fasilitas kesehatan yang bersedia memenuhi standar
pelayanan dan tarif yang ditetapkan. Apabila asuransi sosial telah mencakup
lebih dari 60% penduduk, maka sebaran fasilitas kesehatanpun dapat lebih
merata tanpa pemerintah harus mewajibkan dokter bekerja di daerah-daerah.
c) Pelayanan seragam.
Pelayanan yang seragam bagi semua peserta menyebabkan penduduk
kelas menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus. Kelompok ini
pada umumnya ingin berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga
kelompok ini biasanya kurang suka dengan sistem asuransi sosial.
Pelayanan yang seragam juga sering menyebabkan waktu tunggu yang
lama sehingga kurang menarik bagi penduduk kelas atas. Namun
demikian, lamanya waktu tunggu yang tidak bisa diterima oleh kelas atas
tertentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membubarkan sistem asuransi
sosial yang berfungsi dan dinikmati lebih dari 90% penduduk. Untuk
mengatasi masalah ini, pemerintah biasanya memberikan kesempatan
kepada mereka membeli asuransi suplemen/tambahan seperti yang
dikenal dengan Medisup/Medigap di Amerika. Atau penduduk kelas atas
dibiarkan tidak menggunakan haknya dalam asuransi sosial atau jaminan
pemerintah dan menggantinya dengan membeli asuransi komersial
seperti yang terjadi di Inggris.
Sistem managed care yang diharapkan selain dapat memenuhi akses pelayanan
kesehatan pesertanya namun juga mampu memberikan kualitas dan mutu pelayanan serta
pengendalian biaya yang tepat dan efisien dapat terpenuhi. Agak berbeda dengan sistem
indemnity yang memang tidak menekankan pada hal tersebut..
“Bedanya dengan asuransi kesehatan managed care, indeminity lebih mengacu kepada
sistem pembiayaannya saja, bukan kepada sistem pelayanannya. Misalnya, peserta dapat
berobat ke provider mana saja, yang penting penggantian biayanya tidak melebihi
ketentuan. Penggantian biaya rawat inap tidak lebih dari satu juta sehari, namun dalam
satu tahun tidak boleh lebih dari 90 hari. Untuk ringan, seperti sakit flu, maag atau apa
mungkin cukup, tapi kalau yang masuk ICU bagaimana, apa cukup?
Salah satu yang diatur dalam managed care adalah pola tarif, bagaimana pola
tarif yang baik sehingga mampu menjadi alat kendali biaya pelayanan kesehatan, namun
pelayanan yang diberikan kepada peserta tetap berkualitas. Untuk itu banyak perusahaan
asuransi mengikuti pola pembiayaan yang ada di dunia asuransi. Baik yang bersifat
retrospektif (fee for services, dan reimbustment), dan prospective (kapitasi, tarif paket,
budget).
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah perbedaan tarif yang terjadi
di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Ini akan berpengaruh pada iur biaya yang
dikenakan kepada peserta asuransi, karena iur biaya disini adalah selisih antara tarif
rumah sakit, tarif perusahaan asuransi seperti pada PT Askes (Persero) dan tarif yang
ditetapkan oleh pemerintah, yaitu tarif yang diatur berdasarkan Peraturan Bersama antara
Menteri Kesehatan RI dan Menteri Dalam Negeri RI untuk Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) dan Peraturan Menteri Kesehatan RI untuk Rumah Sakit Vertikal.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1992) tarif rumah sakit adalah nilai suatu
jasa pelayanan rumah sakit dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut
bersedia memberikan jasa kepada pasien. Tarif rumah sakit pada dasarnya sama dengan
tarif perusahaan pada umumnya. Dalam menetapkan tarif rumah sakit harus
mempertimbangkan struktur pasar, ekonomi masyarakat, keadilan dan tujuan rumah
sakit.
Selain itu, tujuan lain untuk pemulihan biaya, subsidi silang, mengurangi pesaing,
memaksimalkan pendapatan, penggunaan pelayanan, minimalisasi penggunaan pelayanan
dan menciptakan citra rumah sakit. Namun untuk RSUD biasanya mendapat pengaruh
langsung dari peraturan-peraturan atau norma-norma pemerintah. Tentunya kebijakan
tarif rumah sakit merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, yang senantiasa
berubah karena sifatnya yang dinamis sesuai dengan kondisi masyarakat, lingkungan,
ekonomi, maupun politik.
Untuk tahun 2009, seiring perubahan tarif rumah sakit yang tertuang dalam
Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri, diharapkan selisih tarif yang ada dapat
diupayakan seminimal mungkin sehingga tidak memberatkan peserta. Hasilnya ternyata
cukup signifikan. Untuk tahun ini (2009) dari 470 rumah sakit pemerintah yang ada di
Indonesia, yang masih terdapat iur biaya hanya 92 rumah sakit atau sekitar 20 %. Serta
dari 41 rumah sakit TNI/POLRI , hanya 9 rumah sakit yang masih dikenakan iur biaya.
Hal ini masih dipengaruhi oleh perbedaan harga atau tarif di masing-masing rumah sakit.
Karena belum ada keseragaman ini, maka PT Askes (Persero) senantiasa melakukan
negosiasi kepada pihak rumah sakit untuk meminimalkan bahkan menghilangkan iur
biaya yang masih berlaku di beberapa tempat. Terutama bagi pelayanan kesehatan untuk
penyakit yang sifatnya katastropik.
Tujuan iur biaya adalah agar masyarakat bertindak rasional dan terhindar dari
moral hazard. Tapi disini juga harus berhati-hati, iur biaya yang melampaui batas
kemampuan peserta dapat menjadi paradoks dari prinsip asuransi kesehatan yang
memproteksi penduduk dari kerugian keuangan sekaligus menurunkan akses peserta.
Untuk itu menggunakan konsep iur biaya, harus dipilah-pilah mana pelayanan kesehatan
yang sekiranya bisa menimbulkan moral hazard mana yang tidak. Dengan melihat
kondisi perekonomian masyarakat Indonesia saat ini, jangan sampai iur biaya ini
menimbulkan kesenjangan bagi peserta Askes pada khususnya sehingga semakin jauh
dari akses pelayanan kesehatan. Di negara maju, yang kultur demand nya sudah berada di
titik maksimum wajib diberlakukan iur biaya agar tidak terjadi over utilisasi. Namun
untuk Indonesia pemerintah khususnya badan penyelenggara jaminan kesehatan harus
tepat memilih mana pelayanan yang boleh dikenakan iur biaya dan mana yang tidak,
terlebih jika nanti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam
implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Selain itu, Perlu diingat kembali sistem managed care yang dianut PT Askes
(Persero) yang harus memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif. Sehinngga
diharapkan puskesmas harus terus berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat
akan akses pelayanan kesehatan yang memadai. Hal ini disebabkan risiko over utilisasi di
rumah sakit sangat besar, baik dari segi pembiayaan maupun segi kesehatan pasien itu
sendiri. Di samping itu peserta dan masyarakat pun juga harus secara sadar mengetahui,
bahwa sistem yang dibuat oleh PT Askes (Persero) adalah bentuk terbaik walaupun ke
depannya nanti harus senantiasa dikembangkan seiring kemajuan zaman, dalam upaya
efektivitas mutu pelayanan kesehatan dan pembiayaan.